Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


Cekungan Sumatera Selatan terbentuk akibat dari tiga fasa tektonik,
diantaranya fasa rifting yang ditandai dengan subduksi miring dari Lempeng
Samudera Hindia terhadap Lempeng Sunda Land yang terjadi pada masa Pra-Tersier,
±145 juta tahun lalu dan mengakibatkan terbentuknya Sesar Geser Musi dan Sesar
Geser Lumatang. Fasa selanjutnya yaitu sagging, terjadi pada peralihan masa
Oligosen akhir dan Miosen awal sekitar ±23 juta tahun lalu dan ditandai dengan
depresi dangkal yang mengubah bentuk Cekungan Sumatera Seltan menjadi bentuk
back arc. Fasa kompresi yang menjadi fasa terakhir dalam pembentukan Cekungan
Sumatera Selatan ini terjadi ±2 juta tahun yan lalu, ditandai dengan munculnya Bukit
barisan dan struktur struktur geologi yang menjadi cebakan minyak sebagai hasil dari
peristiwa tektonik berupa konvergensi antara Lempeng Samudera hindia dengan
Lempeng Sunda Land.
Cekungan ini terdiri dari kelompok Batuan Pra-Tersier, Tersier dan Kuarter.
Kelompok Batuan Pra-Tersier terdiri dari batuan beku, batuan metamorf dan batuan
sedimen yang menjadi basement atau batuan dasar. Batuan Pra-Tersier ini
diperkirakan sudah mengalami perlipatan dan patahan sekitar zaman kapur tengah
hingga akhir dan ditembus oleh intrusi pada sekitar zaman Mesozoikum Tengah.
Batuan Tersier terbagi menjadi beberapa Formasi, di antaranya (Koesomadinata,
1980):
Gambar 2.1 Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (Argakoesoemah & Kamal,
2004)

a. Formasi Lahat (LAF)


Formasi ini menunjukkan, terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung,
batupasir tufaan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir
hingga Oligosen Awal. Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu
tempat ke tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur.
b. Formasi Talang Akar (TAF)
Sama halnya dengan Formasi Lahat, Formasi Talang Akar juga
menunjukkan adanya ketidakselarasan dimana pada beberapa tenpat
terlihat menindih Formasi Lahat yang kemungkinan disebabkan oleh
selang waktu dari pengendapan sedimennya. Formasi Talang Akar terdiri
atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian
bawah kasar dan emakin atas semakin halus. Sedimen – sedimen ini
merupakan endapan fluviatil sampai delta. Formasi ini berumur Oligosen
Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan
cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara
cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter.
c. Formasi Baturaja (BRF)
Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Talang Akar.
Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan. Di gunung
Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufan, lapisan
batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih dengan lingkungan
pengendapan berupa laut dangkal. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan
berumur Miosen Awal.
d. Formasi Gumai (GUF)
Formasi Gumai ini berumur Miosen Tengah. Terdiri atas napal tufan
berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap, pada beberapa tempat juga
ditemukan lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff,
lempung serpih dan lapisan tipis batugamping.
e. Formasi Air Benakat (ABF)
Formasi ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologi
penyusunnya terdiri atas batupasir tufan, lempung tufan yang berasosiasi
dengan batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin
berkurang kandungan glaukonitnya.Ketebalan formasi ini berkisar 250 –
1550 meter.
f. Formasi Muara Enim (MEF)
Formasi ini terdiri atas batulempung dan batupasir coklat sampai
coklat kelabu, batupasir berukuran halus sampai sedang. Didaerah
Palembang terdapat juga lapisan batubara.Juga terdapat batulempung
pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa
lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna
putih sampai kelabu terang. Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750 meter.
g. Formasi Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian bawah terdiri
atas batupasir tufan dengan beberapa selingan batulempung tufaan,
kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung
tufaan dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf
batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan
berstruktur sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam
batupasir dan batulempung tufan.
2.2 Geologi Lokal

a b

c
Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah Penelitian (a) Jambi, (b) Bengkulu, (c) Lahat

Kavling dari penelitian yang dilakukan mencakup dua provinsi di Pulau


Sumatera, tepatnya Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan dengan mencakup
tiga kota/kabupaten, yaitu Jambi, Bengkulu dan Lahat. Pada Gambar 2.2 terdapat
Peta Geologi dari ketiga daerah yang tercakup ke dalam kavling penelitian, dimana
masing masing daerah memiliki litologi dan struktur geologi tersendiri.
Kota Jambi terletak di bagian barat cekungan Sumatera Selatan yang dibatasi
Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah
timur laut, tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga
Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah (Wisnu dan Nazirman, 1997). Ditinjau dari Peta
Geologinya, urutan stratigrafi Jambi dimulai dari pengendapan formasi Muaraenim
(Tmpm) yang terdiri dari perselingan antara batupasir tufan dan batulempung tufan,
perselingan batupasir kuarsa dan batulempung kuarsa, bersisipan batubara dan oksida
besi, kemudian secara selaras di atasnya diendapkan formasi Kasai (Qtk) yang terdiri
dari perselingan antara batupasir tufan dan batulempung tufan, dan endapan alluvium
(Qa), yang terdiri dari kerakal, kerikil, pasir, lanau, dan lempung, terendapkan secara
tidak selaras di atas permukaan Formasi Kasai (Mangga, dkk., 1993).
Kabupaten Lahat berbatasan dengan Kabupaten dan Musi Rawas di sebelah
utara, Kota Muara Enim dan Musi Rawas di sebelah selatan, Kota Pagar Alam dan
Kabupaten Bengkulu Selatan di sebelah timur dan Kabupaten Empat Lawang di
sebelah barat (Intan, 2017). Daerah Kabupaten Lahat tersusun atas Alluvium,
Endapan Rawa, Satuan Gunungapi Muda, Formasi Pasumah, Formasi Ranau, Batauan
Beku Andesit, Formasi Kasai, Formasi Muara Enim, Formasi Air Benakat, Formasi
Gumai, Formasi Talangkar, Diorit Kuarsa, Batu Gamping.
Kota Bengkulu ditempati oleh batuan yang termasuk Barisan (dalam Lajur
Formasi Hulusimpang, batuan terobosan dalam, formasi bal, Formasi Ranau, dan
batuan gunungapi) dan lajur Bengkulu (Formasi Seblat, Lemau, Sim Pangaur, dan
bintunan, serta satuan batuan gunung api kuarter). Cekungan Bengkulu diapit oleh
dua sesar, yaitu Sesar Sumatera (Semangko) dan Sesar Mentawai yang berupa sesar
geser (Yulianto, dkk., 1995).
2.3 Teori Tektonik lempeng
Bumi tersusu atas lapisan – lapisan yang bersifat mobile. Sifat dari lapisan
bumi ini ditunjukkan oleh teori tektonik lempeng. Pada dasarnya teori ini
membuktikan bahwa bumi pada hakekatnya berlapis – lapis dan dinamis atau terus
bergerak. Jenis pergerakan ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu (Noor, 2014):
a. Konvergen
Konvergen merupakan peristiwa tektonik dimana dua lempeng
bertumbukan. Batas dari pertumbukan ini dapat berupa subduksi, yaitu
Ketika salah satu lempeng menyusup masuk ke dalam bumi sehingga
lempeng lainnya terangkat membentuk palung atau cekungan, dan
obduksi, yaitu ketika pertemuan dari dua lempeng tersebut membentuk
pegunungan.
b. Divergen
Divergergen merupakan peristiwa Ketika dua lempeng saling menjauh
karena adanya gaya tarik. Peristiwa divergen dapat menyebabkan magma
naik ke permukaan dan membentuk lava yang kemudian perlahan
membeku menjadi batuan.
c. Transform
Transform terjadi ketika dua lempeng berpapasan dan bergeser satu
sama lain. Peristiwa ini dapat menghasilkan struktur geologi berupa
patahan ataupun sesar geser.
2.4 Petroleum System
Dalam ilmu kebumian, konsep yang menjelaskan hubungan proses geologi
dengan distribusi hidrokarbon di bawah permukaan disebut dengan Petroleum System.
Hidrokarbon menjadi faktor penting dalam eksplorasi minyak dan gas karena sebagai
unsur utama. Dalam petroleum system terdapat elemen – elemen penting, yaitu
(Heryanto, 2006):

Gambar 2.3 Petroleum System (SKK MIGAS, 2016)


a. Source Rock
Source Rock merupakan endapan batuan sedimen yang mengandung
bahan-bahan organik yang cukup untuk dapat menghasilkan minyak dan
gas bumi ketika endapan tersebut tertimbun dan terpanaskan, biasanya
batuan yang termasuk ke dalam batuan induk adalah batuan shale atau
batuan karbonat.
b. Reservoir Rock
Reservoir Rock adalah batuan yang memiliki sifat porositas dan
permeabilitas yang tinggi yang dapat menyimpan dan mengalirkan
hidrokarbon ke tempat terakumulasinya suatu hidrokarbon, umumnya
batuan yang termasuk reservoir rock adalah batuan pasir (sandstone).
c. Trap
Trap adalah suatu kondisi geometri lapisan yang menjebak suatu
hidrokarbon di dalam reservoir rock agar hidrokarbon tersebut tidak
keluar/bermigrasi dari reservoir rock dan terakumulasi di dalam reservoir
rock. Terdapat beberapa jenis jebakan hidrokarbon diantaranyanya jebakan
structural yang tercipta akibat deformasi pada suatu lapisan hingga
terbentuk suatu lipatan yang disebabkan karena adanya peristiwa
tektonik ., jebakan stratigrafi yang dipengaruhi oleh lapisan secara vertikal
dan lateral dan juga dikarenakan ketidakselarasan dalam litologi suatu
lapisan reservoir, dan jebakan kombinasi yang merupakan campuran
antara jebakan struktural dan jebakan stratigrafi.
d. Cap Rock
Cap Rock adalah suatu jenis batuan yang memiliki sifat porositas dan
permeabilitas yang kecil atau berbanding terbalik dengan sifat reservoir
rock, batuan pelindung ini memiliki fungsi agar hidrokarbon yang berada
di dalam reservoir rock tidak bermigrasi lagi ke bagian permukaan tanah
(Oil seep).
2.5 Metode Gravitasi
Metode gravitasi merupakan metode penyelidikan dalam geofisika yang
didasarkan pada variasi medan gravitasi di permukaan bumi. Dalam metode ini yang
dipelajari adalah variasi gravitasi akibat variasi rapat massa bawah batuan di bawah
permukaan, sehingga dalam pelaksanaannya yang diselidiki adalah perbedaan
gravitasi dari satu titik pengamatan terhadap pengamatan lainnya (Sulistianingsih,
2009). Menurut Sunaryo (1997) dalam metode gravitasi, pengukuran dilakukan
terhadap nilai komponen vertikal dari percepatan gravitasi di suatu tempat. Namun
pada kenyataannya, bentuk bumi tidak bulat sehingga terdapat variasi nilai percepatan
gravitasi untuk masing-masing tempat. Hal-hal yang dapat mempengaruhi nilai
percepatan gravitasi adalah perbedaan derajat garis lintang, perbedaan ketinggian
(topografi), kedudukan bumi dalam tata surya, variasi rapat massa batuan di bawah
permukaan bumi, perbedaan elevasi tempat pengukuran dan hal lain yang dapat
memberikan kontribusi nilai gravitasi, misalnya bangunan dan lain-lain (Taufiquddin,
2014).
2.6 Hukum Newton
Pada awalnya hukum gravitasi ini ditemukan oleh Sir Isaac Newton yang secara
tidak sengaja melihat apel jatuh dari pohon. Pada dasarnya gravitasi adalah gaya tarik-
menarik antara dua buah benda yang memiliki rapat massa 17 (densitas) yang
berbeda, gaya tarik-menarik ini dipengaruhi juga oleh jarak kuadrat kedua buah dan
massa kedua benda uji. Pada keadaan secara riil seharusnya percepatan gravitasi di
setiap tempat selalu berbeda- beda karena bentuk bumi yang berbentuk ellipsoid, yang
dimana jari-jari pada kutub bumi lebih pendek dibandingkan jari-jari di equator, maka
dapat disimpulkan bahwa percepatan gravitasi di daerah kutub lebih besar
dibandingkan di daerah equator.
Metode gravitasi memiliki prinsip mengukur variasi medan gravitasi bumi yang
disebabkan perbedaan densitas batuan bawah permukaan bumi (Reynolds, 2011).
Metode gravitasi didasarkan pada hukum newton gravitasi yang menyatakan bahwa
gaya tarik menarik antara dua buah benda sebanding dengan massa kedua benda dan
berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar pusat massa kedua benda tersebut
(Jacobs et. al., 1974). Persamaan hukum newton yang menyatakan hubungan gravitasi
adalah sebagai berikut:

m1 m2
𝐹(𝑟) = G (2.1)
r2

F(r) adalah gaya tarik menarik (N)


𝑚1 dan 𝑚2 adalah massa benda satu dan massa benda dua (kg)
𝑟 adalah jarak antara dua buah benda (m)
𝐺 adalah konstanta gravitasi universal (6,67 x 10-11 m3 kg-1s-2)
Hubungan antara gaya dengan percepatan didefinisikan Newton pada
persamaan hukum II Newton yang menyatakan gaya sebanding dengan perkalian
massa benda dengan percepatan yang dialami oleh benda sesuai dengan persamaan
berikut:

𝐹 = 𝑚. 𝑔 (2.2)

Benda dengan massa M apabila mengalami gaya tarik oleh benda


bermassa m pada jarak sebesar r maka akan memiliki percepatan yang dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut:
F
𝑔= (2.3)
M

sehingga percepatan gaya tarik bumi dapat dinyatakan sebagai berikut:

F M .m M
𝑔= =G 2= G 2
m m× r r
(2.4)

Keterangan:
g adalah percepatan gaya tarik bumi (m/s2)
M adalah massa bumi (kg)
m adalah massa benda (kg)
F adalah gaya berat (N)
r adalah jari – jari bumi (6,371×106 m) (Telford et al., 1990).

2.7 Konversi dan Koreksi Metode Gravitasi


3.4.1. Konversi Skala Pembacaan
Nilai pembacaan alat gravitymeter yang diperoleh dari suatu pengukuran
adalah dalam besaran skalar yang harus dikonversi ke dalam satuan percepatan
gravitasi (dalam satuan m Gal) (Sunaryo, 1997). Hal ini dilakukan dengan
menggunakan tabel konversi dari alat gravitymeter yang digunakan dalam penelitian.
Perumusan yang digunakan dalam melakukan konversi skala pembacaan tersebut
sebagai berikut (Wachidah, 2018) :

mGal=V ∈mGal +¿ (3.5)

dimana nilai CCF (Calibration Correction Factor) merupakan faktor kalibrasi dari
alat gravitymeter. Konversi pembacaann ini dilakukan untuk seluruh dalam setiap titik
pengukuran.
3.4.2. Koreksi Drift
Dikarenkan sering terjadi goncangan pada saat pengukuran (transportasi),
mengakibatkan bergesernya pembacaan titik nol pada alat (pada alat gravitymeter
tidak diklem sehingga pegas tetap bekerja). Koreksi ini dilakukan dengan cara
membuat lintasan tertutup pada titik-titik pengukuran (loop tertutup), yaitu dengan
cara melakukan pengukuran ulang pada stasiun awal (titik ikat pada tiap loop).
Besarnya koreksi drift adalah (Wachidah, 2018) :
'
g n−g1
DC (a) = ×(t a−t 1) mga (3.6)
t n−t 1

Dengan,
DC (a) : Koreksi drift di titik amat a
t1 : pembacaan dititik awal t 1
g’n : pembacaaan di titik awal saat t n
t1 : waktu pengamatan di titik awal
tn : waktu pengamatan saat menutup loop
ta : waktu pengamatan di titik a

3.4.2 Koreksi Udara Bebas


Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) dilakukan untuk
menghilangkan efek topografi atau efek ketinggian yang mempengaruhi nilai
pembacaan nilai Gayaberat tanpa memperhatikan efek dari massa batuan. Dengan
kata lain koreksi udara bebas merupakan perbedaan Gayaberat yang diukur pada
mean sea level (geoid) dengan Gayaberat yang diukur pada ketinggian h meter dengan
tidak ada batuan diantaranya. Nilai Gayaberat pada mean sea level dengan
menganggap bentuk bumi yang ideal, spheroid, tidak berotasi, dan massa
terkonsentrasi pada pusatnya, yaitu:

M
g0 =G 2 (3.7)
r

Nilai Gayaberat pada stasiun pengukuran dengan elevasi h (meter) dari mean sea level
adalah:

M ∂g
gh=G =g0 +h 0 (3.8)
(R+ h)
2
∂R
Perbedaan nilai Gayaberat antara yang terletak pada mean sea level dengan titik yang
terletak pada elevasi h (meter) adalah koreksi udara bebas (FAC) diberikan persamaan
sebagai berikut (Karunianto dkk, 2017).
M
∂(G )
∂ g0 2 g0
( )
2
R −2 GM (3.9)
FAC=∂ g f = h= h= h=− h=−0,3085 h
∂R ∂R R 3
R
dengan:
g0 = 981785 mGal
R = 6371000 meter
M = 5.97x1027 kilogram
h = ketinggian (m)
Sehingga besarnya anomali pada posisi tersebut menjadi :
FAA = 𝑔𝑜𝑏𝑠 - 𝑔𝜑 + FAC (3.10)
dengan :
FAA = Free Air Anomaly (mGal)
gobs = Gayaberat observasi (mGal)
g𝜑 = Gayaberat teoritis pada lintang (mGal)
FAC = Free Air Correction (mGal)

Gambar 3.1 Koreksi Udara Bebas Terhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

3.4.3 Koreksi Bouger


Dalam koreksi udara bebas dan gravitasi normal massa di bawah titik
pengukuran harus diperhitungkan. Jadi koreksi bouguer tergantung pada
ketinggian titik amat dari bidang datum dan rapat massa batuan antara titik amat dan
bidang datum (Burger, 1992). Koreksi bouguer harganya berlawanan dengan koreksi
udara bebas, dikurangkan jika titik amat berada di atas bidang datum dan
ditambahkan bila titik amat berada di bawah bidang datum (Islamiyah, 2015).
BC = 0.0429 x 𝜌 x h mGal (3.11)
dengan:
ρ = rapat massa rata-rata daerah penelitian (gr/cm3)
h = ketinggian titik amat (m)
Anomali Gayaberat setelah diaplikasikan koreksi udara bebas dan koreksi
Bouguer yaitu:

SBA = FAA – BC (3.12)


dengan:
SBA = Simple Bouguer Anomaly (mGal)
FAA = Free Air Anomaly (mGal)
BC = Bouguer Correction (mGal)
Gambar 3.2 Koreksi Bouger Terhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

3.4.3 Koreksi Medan


Koreksi medan mengakomodir ketidak teraturan pada topografi sekitar titik
pengukuran. Pada saat pengukuran, elevasi topografi di sekitar titik pengukuran,
biasanya dalam radius dalam dan luar, diukur elevasinya. Sehingga koreksi ini dapat
ditulis sebagai berikut :
2 πGρ
TC = ¿ (3.13)
n
dengan:
rL dan rD = radius luar dan radius dalam kompartemen
z = perbedaan elevasi rata-rata kompartemen
n = jumlah segmen dalam zona tersebut
Karena komponen gaya horizontal (koreksi medan) bersifat mengurangi nilai
Gayaberat terukur, maka koreksi medan harus ditambahkan pada Simple Bouguer
Anomaly (SBA), sehingga anomali menjadi Complete Bouguer Anomaly (CBA).
CBA = SBA + TC (3.14)
dengan:
CBA = Complete Bouguer Anomaly (mGal)
SBA = Simple Bouguer Anomaly (mGal)
TC = Terrain Correction (mGal)

Gambar 3.3 Koreksi Medan Terhhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

Anda mungkin juga menyukai