Anda di halaman 1dari 15

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi Regional

Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu cekungan yang terbentuk


akibat aktivitas pergerakkan tektonik antara lempeng India-Australia terhadap
Eurasia. Cekungan Sumatera Selatan mulai terbentuk selama ekstensi antar kedua
lempeng tersebut yang berarah Timur-Barat pada akhir Pra Tersier-awal Tersier.
Cekungan ini secara geologi merupakan cekungan dengan tipe foreland basin
atau back arc basin (Daly, 1987).

Subduksi antara Lempeng India-Australia dengan Eurasia pada pembentukkan


Sumatera memiliki pola yang khas, yaitu perubahan penunjaman dengan gerak
rotasi searah jarum jam. Akibat perubahan ini, terbentuk fase waktu pergerakkan
berdasarkan arah dari penunjaman. Subduksi antara lempeng tersebut membentuk
pola struktur sesar yang mendatar seiring rotasi berarah oblique. Sehingga
pengaruh sistem sesar Sumatera mengakibatkan terjadinya kompleksitas regime
stress dan pola strain pada Sumatera (Darman dan Sidi, 2000).

Berdasarkan lembar geologi Lahat yang telah dibuat oleh Gafoer dkk (1986),
daerah penelitian terletak di atas formasi Muara Enim, serta terdapat formasi Air
Benakat di sekitar lokasi penelitian (gambar II.1).

Gambar II.1. Geologi daerah penelitian

6
II.1.1 Stratigrafi Regional
Cekungan Sumatera Selatan terdiri atas batuan sedimen tersier yang terendapkan
secara tidak selaras di atas batuan dasar metamorfik dan batuan beku berumur pra-
tersier (Koesomadinata, 1980).

Gambar II.2. Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan (Koesomadinata, 1980)

Adapun urutan stratigrafi dari tua ke muda yaitu :


a. Formasi Lahat
Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar
metamorfikdan batuan beku pra-Tersier pada kala Paleosen – Oligosen Awal.
Formasi ini tersusun atas batuan sedimen dan piroklastik berupa konglemerat,
breksi vulkanik, tuf, lava, batupasir, dan endapan lahar (Koesomadinata, 1980).
b. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar terendapkan secara selaras di atas formasi Lahat pada kala
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Formasi ini tersusun atas lapisan sedimen dengan

7
tebal hingga 1100 m berupa perselingan batulanau dan batupasir serta sisipan
batubara yang terendapkan pada lingkungan laut dangkal (Koesomadinata, 1980).
c. Formasi Baturaja
Formasi Batuaraja terendapkan secara selaras di atas formasi Talang Akar pada
lingkungan laut dangkal memasukki kala Miosen Awal. Formasi ini tersusun atas
lapisan batuan sedimen dengan tebal hingga 160 m berupa batugamping,
batugamping pasiran/ serpihan, napal, dan serpih gampingan (Koesomadinata,
1980).
d. Formasi Gumai
Formasi Gumai terendapkan pada lingkungan neritik menuju laut dalam pada kala
akhir Miosen Awal – awal Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas batuan
sedimen dengan tebal hingga 2200 m yang terdiri atas batuserpih – gampingan/
karbonan dan pirit, batupasir – gampingan disertai sisipan batulempung, serta
napal (Koesomadinata, 1980).
e. Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat terendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai berumur
akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir pada lingkungan laut dangkal.
Formasi ini tersusun atas batuan sedimen dengan tebal hingga 500 m yang
meliputi perselingan batulempung – pasir disertai sisipan konglomerat gampingan
serta sisipan setempat batubara (Koesomadinata, 1980).
f. Formasi Muara Enim
Formasi Muara Enim terendapkan secara selaras di atas formasi Air Benakat
berumur Miosen Akhir – Pliosen.Formasi ini merupakan formasi yang
menyimpan endapan batubara dalam jumlah besar sehingga dikenal sebagai
formasi pembawa batubara. Mengacu pada kondisi lengkap, formasi ini terbagi
menjadi empat anggota yaitu anggota M1, M2, M3, dan M4 (Shell, 1978).
Masing- masing anggota memiliki karakteristik tersendiri berupa tebal lapisan tiap
sedimen. Formasi ini tersusun atas lapisan sedimen dengan tebal hingga 750 m
yang meliputi batulempung, lempung pasiran, pasir dan lapisan tebal batubara
(Koesomadinata, 1980).

8
g. Formasi Kasai
Formasi Kasai terendapkan di atas formasi Muara Enim pada lingkungan darat
berumur Pliosen Akhir – Pleistosen Awal. Formasi ini tersusun atas batuan
vulkanoklastik dengan tebal hingga 450 m berupa tuf dengan sisipan batulempung
– pasir tufaan, serta setempat konglomerat dengan kandungan fosil kayu
(Koesomadinata, 1980).

II.1.2 Struktur Geologi Regional


Sistem Subduksi Pulau Sumatera terbagi menjadi tiga periode arah pergerakkan
subduksi yang membentuk tiga pola sesar utama pada Sumatera, yaitu sesar
berarah Baratlaut-Tenggara yang terjadi saat Jura Akhir-Kapur Akhir ketika
subduksi mengalami fase kompresi, kemudian berarah Utara-Selatan saat Kapur
Akhir-Tersier Awal ketika mengalami fase tension, dan berarah Timurlaut-
Baratdaya yang terjadi saat Miosen Tengah-Resen ketika subduksi mengalami
kembali fase kompresi (Pulunggono, 1992). Memasuki kala Tersier, terjadi pola
subduksi berarah oblique berkecepatan 5-7 cm/tahun sehingga membentuk sudut
N 25⁰E pada bagian selatan dan N 031⁰E pada utara pulau Sumatera. Pergerakkan
secara oblique memicu terbentuknya zona patahan utama pembentuk Pulau
Sumatera (Sesar Semangko) (Newcomb dan McCann, 1987).

Fase pergeraklan lempeng saat itu memicu terbentukya beberapa sesar sehingga
membentuk ruang berupa horst, half graben, dan beberapa blok patahan sebagai
pondasi awal terbentuknya cekungan-cekungan tersier meliputi cekungan muka
busur dan cekungan belakang busur. Daerah penelitian termasuk kedalam
cekungan Sumatera Selatan yang merupakan cekungan belakang busur (back arc
basin). Memasukki Miosen Akhir, terjadi peningkatan fase kompresi yang intens
sehingga membentuk struktur lipatan, terangkatnya batuan tua ke permukaan, dan
munculnya jajaran gunung api pada zona Bukit Barisan dari Aceh hingga Teluk
Lampung (De Coster, 1974). Oleh karena itu, pola struktur yang terdapat di
Sumatera didominasi oleh struktur yang relatif sejajar Sesar Semangko, yaitu
berarah Baratlaut-Tenggara.

Akibat dinamika tersebut, cekungan ini memiliki tiga antiklinorium yang terdiri
atas Antiklinorium Palembang, Antiklinorium Pendopo-Limau, dan Antiklinorium

9
Muara Enim. Sistem antiklin yang berada dekat dengan lokasi penelitian adalah
Antiklinorium Muara Enim dengan ciri terdapatnya assymetrical-overtuned
dengan arah umum Baratlaut-Tenggara serta memilikki sayap perlipatan relatif
curam pada bagian utara (Pulunggono, 1986). Arah tegasan utama yang terjadi
pada Antiklinorium Muara Enim berarah Timurlaut-Baratdaya dan mempunyai
sumbu lipatan yang dilalui oleh dua kelurusan, yaitu Kelurusan Gumai dengan
arah Barat-Timur dan Kelurusan Garba dengan arah Baratlaut-Tenggara (Gafoer
dkk., 1986).

II.2 Geologi Daerah Penelitian


Geologi daerah penelitian disusun dengan urutan stratigrafi dari tua ke muda,
yaitu kelompok batulempung tufaan, batulanau dan batupasir dengan perselingan
batubara berumur Miosen-Pliosen yang dikenal sebagai Formasi Muara Enim.
Daerah penelitian ini memiliki banyak struktur sesar terutama sesar normal
dengan arah utara-selatan. Hal ini dapat mempengaruhi letak/posisi dimana
batubara tersebut berada. Formasi Muara Enim diendapkan selaras diatas Formasi
Air Benakat. Formasi ini mewakili tahap akhir dari fase regresi Tersier, berumur
Miosen Atas yang tersusun oleh batulempung, batulempung pasiran, dan batubara.
Struktur yang terdapat pada daerah ini berbetuk antiform atau kubah, karena
berasosiasi intrusi andesit di daerah Bukit Asam yang diperkirakan terjadi setelah
Orogenesa kala Pliosen-Pleistosen.

Stratigrafi lokal daerah penelitian berada pada formasi Muara Enim anggota A.
Anggota ini terdiri atas satuan batupasir sisipan batulanau, batulempung dan Seam
batubara A-E, dengan tebal formasi 100-300 m. Anggota ini terendapkan diatas
formasi Air Benakat dan dibawah dari anggota B formasi Muara Enim (Daranin,
1995).

Dalam menentukan seam suatu batubara, dapat dilihat berdasarkan karakteristik


seam, jumlah lapisan pengotor, dan litologi lapisan penutup atau overburden serta
tebal lapisan. Seperti (Gambar II.5) pada batubara A1 memiliki ketebalan dari 5 -
13,25 m dengan lapisan pengotor berupa batulanau tufaan. Kemudian terdapat
lapisan overburden setebal 0,5-4 m yang menjadi interval terhadap batubara A2.
Batubara A2 memiliki ketebalan berkisar 9,8-14,75 m dengan beberapa lapisan

10
pengotor. Antara batubara A2 dengan B1 terdapat lapisn overburden setebal 15-20
m berupa perselingan batupasir dan lanau, dengan karakteristik utama
ditemukannya Suban Marker berupa batubara dan batulempung tipis. Kemudian,
terdapat batubara B setebal 17 m yang mengalami splitting (percabangan) berupa
interval antara B1 dengan B2 setebal 2-5 m. Antara batubara B dengan C, terdapat
lapisan overburden setebal 25-44 m berupa perselingan batu pasir dan batulanau.
Kemudian terdapat lapisan batubara C setebal 13 m yang mengalami splitting
berupa batu lempung lanauan karbonan setebal 0,5-11,40 m.

Gambar II.3. Sekuen Stratigrafi Dan Kolom Litologi, Daerah Tanjung Enim Dan
sekitarnya (Dimodifikasi dari Daranin, 1995)

II.2 Log Geofisika


Logging merupakan salah satu metode geofisika yang mengukur besaran-besaran
fisis bawah permukaan terhadap sifat fisik batuan terhadap kedalaman
berdasarkan lubang bor. Berdasarkan dari tujuan logging dalam menentukan

11
besaran-besaran fisis bawah permukaan, sehingga dasar dari logging adalah sifat-
sifat fisik atau petrofisik batuan (Harsono, 1997).

Prinsip kerja dari metode log geofisika adalah memasukkan instrumen alat
kedalam sumur log. Instrumen tersebut kemudian menangkap besaran fisis bawah
permukaan untuk kemudian dicatat sifat fisik batuan berdasarkan
kedalamantertentu. Pencatatan hasil instrumen dilakukan berdasarkan kedalman,
waktu, dan jarak antar sumur log dalam skala tertentu dan secara digital
(Harsono,1997).

Well Logging memiliki beberapa instrumen yang digunakan dalam pengukuran.


Pada penilitan kali ini, digunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya
adalah:
1. Log gamma ray
Log gamma ray (GR) memiliki prinsip pengukuran berupa perekaman
radioaktivitas alami bumi. Perekaman radioaktivitas GR berasal dari tiga nunsur
utama yang mengandung radioaktif pada batuan, yaitu Uranium -U, Thorium -Th
dan Potasium -K, yang memancarkan pulsa energi gelombang gamma beradiasi
tinggi. Gelombang gamma yang memiliki sifat mampu menembus material yang
dilewati kemudian ditangkap oleh sensor gamma berupa detektor sintilasi
(Harsono, 1997).GR yang tertangkap oleh instrumen kemudian akan
memunculkan pulsa elekrik pada detektor hingga dapat tercatat dalam suatu nilai
gelombang gamma, yang umumnya memiliki satuan API (American Petroleum
Institute). Parameter yang terekam adalah jumlah dari pulsa yang tercatat alat per
satuan waktu (Harsono 1997). Hal tersebut dapat dilihat seperti pada (Gambar
II.7).
Setiap intrumen log geofisika memiliki kegunaannya masing-masing berdasarkan
sifat fisik batuan yang dapat direkam. Secara spesifik, log GR berguna dalam
menentukan lapisan permeabel dan impermeabel yang secara umum dapat dibagi
menjadi batupasir dan batuserpih. Log GR juga dapat dibandingkan dengan
instrumen lain agar mendapatkan hasil yang lebih dibutuhkan dan akurat,
contohnya log densita, ataupun log SP.

12
Gambar II.4. Unsur radiasi utama gamma-ray (Harsono, 1997)

Secara umum fungsi dari Log GR antara lain :


1. Mengevaluasi konsentrasi serpih Vsh
2. Menentukan lapisan permeabel dan impermeabel
3. Evaluasi mineral yang mengandung unsur radioaktif
4. Evaluasi mineral tidak mengandung unsur radioaktif
5. Mendapatkan korelasi antar sumur (Harsono, 1997).

2. Log Densitas
Alat instrumen kedua yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah log densitas
yang termasuk kedalam jenis log porositas. Perangkat yang digunakan dalam log
densitas dinamakan Perangkat Lito-Densitas atau Litho-Density Tool (LDT).
Prinsip kerja LDT adalah dengan menerapkan prinsip fisika nuklir dengan
menembakkan sinar gamma, sehingga LDT akan memberikan respon terhadap
efek fotolistrik dan hamburan Compton. Kemudian LDT menangkap sumber
radioaktif yang memproduksi sinar gamma dengan besar energi sebesar 75 Kev
sampai 2 Mev (Harsono, 1997).

Pada umumnya, log densitas memiliki satuan umum yaitu gr/cc. Sedangkan dalam
penelitian ini, log densitas memilisi satuan berupa counts per second (CPS).

13
Dalam mempermudah perhitungan data kualitas yang umumnya menggunakan
satuan standar, maka dilakukan konversi satuan dari CPS ke gr/cc. Hasil CPS
tegak lurus terhadap gr/cc. Sehingga apabila nilai CPS menunjukkan hasil yang
semakin tinggi, maka akan akan menunjukkan satuan gr/cc yang semakin rendah.
(Harsono, 1997).

Gambar II.5. Hubungan antara satuan CPS dan gr/cc yang telah dimodifikasi

Log densitas terdiri atas 2 macam log, yaitu Short Spacing Density (SSD) dan
Long Spacing Density (LSD). SSD digunakan untuk pengukuran tebal suatu
lapisan batubara, karena memiliki resolusi vertikal yang tinggi. Sedangkan LSD
digunakan dalam mengevaluasi suatu lapisan batubara, karena dapat menunjukkan
nilai densitas batubara yang sebenarnya akibat pengaruh pada dinding lubang bor
yang kecilBerdasarkan gambar 3.3 dapat diperoleh rumus, sebagai berikut:

Y = 177598 e-2.4325x

Keterangan:
Y : nilai densitas dalam satuan CPS
X : nilai densitas dalam satuan gr/cc
dan secara manual kurva hubungan antara satuan CPS dengan gr/cc (Warren,
2002, dikutip dari Akbari dan Sutrisno, 2014) dapat dilihat pada (Gambar kurva
II.8).

14
II.3 Interpretasi Data Log Geofisika
Interpretasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjelaskan sesuatu,
sedangkan interpretasi data log geofisika dilakukan dalam menentukan litologi
maupun struktur berdasarkan kedalaman pada bawah permukaan bumi. Masing-
masing litologi menunjukkan respon tersendiri pada kurva log, sehingga dari
defleki pada kurva log tersebut dapat ditentukan jenis litologi.

Gambar II.6. Grafik Log Gamma Ray terhadap Respon Litologi (Rider, 2002)

Menurut grafik log geofisika pada (Gambar II.9) dan (Gambar II.10) (Rider, 1996
dan 2002), ciri khas log dari suatu litologi ialah sebagai berikut:
1. Batulempung menunjukkan nilai yang tinggi pada sinar gamma dan densitas
tinggi (dalam satuan gr/cc).Batubara memiliki nilai sinar gamma rendah dan
densitas rendah.
2. Batubara menunjukkan nilai sinar gamma rendah dan densitas rendah.
3. Batupasir menunjukkan nilai sinar gamma sedikit rendah dan densitas sedikit
rendah.
4. Konglomerat menunjukkan nilai sinar gamma menengah dengan densitas
menengah.

15
5. Batugamping menunjukkan nilai sinar gamma yang rendah dengan densitasnya
yang tinggi.
6. Batuan vulkanik basa menunjukkan nilai sinar gamma rendah dengan densitas
tinggi (Harsono, 1997).

Gambar II.7. Grafik Log Density terhadap Respon Litologi (Rider, 1996).

II.4 Peringkat Batubara


Pengelompokkan batubara dilakukan berdasarkan kualitas, baik berupa nilai
reflektensi vitrinit, persentase komposisi nya, maupun berdasarkan besaran nilai
kalor. Batubara secara umum dikelompokkan menjadi lima kelas, yaitu gambut,
lignit, sub bitumen, bitumen, dan antrasit. Dalam klasifikasi standar ASTM,
batubara hanya dikelompokkan menjadi empat kelas, dengan menyisihkan kelas
gambut (kirk-Othmer, 1979). Klasifikasi ASTM merupakan salah satu standarisasi
dalam pertambangan batubara berdasarkan nilai proksimat.

Klasifikasi ASTM (Ameriac Society for Testing and Material) yang digunakan
pada penelitian ini merupakan klasifikasi standar ASTM D388, 2005 yang
dikembangkan oleh Bureau of Mines (Amerika). Standarisasi ini berdasarkan

16
peringkat atau perubahan selama proses pembatubaraan, yang ditentukan
berdasarkan nilai fixed carbon dan volatile matter dalam basis (Dry-Mineral-
Matter-Free) serta nilai kalor dalam satuan Btu/lb (moist,mmf). Berdasarkan
gambar II.11, penentuan klasifikasi bardasarkan limit persentase volatile matter
(VM). Apabila nilai VM lebih kecil dari 31%, maka klasifikasi didasarkan atas
nilai fixed carbon (FC). Sedangkan jika nilai VM lebih besar dari 31%, maka
klasifikasi didasarkan atas nilai kalor.

Gambar II.8. Klasifikasi ASTM D388 (2005)

II.5 Sumberdaya Batubara


Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 13-5014-1998 tentang Klasifikasi
Sumberdaya dan Cadangan Batubara, Sumberdaya merupakan bagian dari suatu
endapan batubara yang diharapkan untuk dapat dimanfaatkan berdasarkan tingkat
keyakinan geologi yang ditentukan. Sumberdaya ini kemudian terbagi menjadi
beberapa kelas yang ditentukan berdasarkan tingkat kompleksitas geologi secara
kualitatif dan jarak titik informasi secara kuantitatif. Sumberdaya merupakan
perkiraan prospek suatu endapan sebelum dilakukan kajian kelayakan dan
dinyatakan layak hingga menjadi cadangan. Kelas dari sumberdaya batubara
antara lain:

17
1. Sumberdaya Hipotetik
Merupakan jumlah suatu batubara pada daerah penilitan, yang dihitung jumlahnya
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan pada tahap penyelidikan survei tinjau.
2. Sumberdaya Tereka
Merupakan jumlah suatu batubara pada daerah penelitian, berdasarkan syarat-
syarat yang ditentukan pada tahap penyelidikan prospeksi.
3. Sumberdaya Tertunjuk
Merupakan jumlah suatu batubara pada daerah penelitian, berdasarkan syarat-
syarat yang ditentukan pada tahap eksplorasi pendahuluan.
4. Sumberdaya Terkira
Merupakan jumlah suatu batubara pada daerah penelitian, berdasarkan syarat-
syarat yang ditentukan pada tahap eksplorasi rinci.

II.6 Perhitungan Sumberdaya Batubara


Dalam melakukan perhitungan batubara, perlu dilakukan pembagian kelas-kelas
sumberdaya untuk mempermudah perhitungan. Pembagian kelas-kelas
sumberdaya dilakukan berdasarkan kondisi geologi/tingkat kompleksitas maupun
jarak titik informasi geologi (gambar II.12). Karakteristik geologi pembentukkan
batubara dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kondisi Geologi Sederhana
Sumberdaya batubara memenuhi syarat pada kondisi geologi sederhana apabila
memiliki endapan yang umumnya tidak terpengaruh oleh aktivitas tektonik.
Memiliki lapisan yang umumnya landai, menerus sampai beberapa ribu meter,
dan hampir tidak memiliki percabangan. Sehingga ketebalan dan kualitas batubara
secara lateral tidak memiliki variasi yang signifikan (SNI 13-5014-1998.)
2. Kondisi Geologi Moderat
Sumberdaya batubara memenuhi syarat pada kondisi geologi moderat apabila
memiliki endapan dengan kondisi sendimentasi yang lebih bervariasi atau pada
pada tahap tertentu mengalami perubahan pasca akktivitas tektonik. Sesar dan
perlipatan tidak banyak, begitu juga dengan struktur geologi yang diakibatkan
tidak mempengaruhi secara signifikan. Memiliki kemiringan dan ketebalan
lapisan yang relatif bervariasi, serta berkembangnya percabangan batubara yang

18
masih dapat diikuti sampai beberapa ratus meter. Kualitas batubara secara
langsung berkaitan dengan tingkat perubahan (sedimentasi) atauapun akibat
intrusi lokal suatu plutonik (SNI 13-5014-1998).
3. Kondisi Geologi Kompleks
Sumberdaya batubara memenuhi syarat pada kondisi geologi kompleks apabila
memiliki deformasi tektonik maupun pengaruh kondisi geologi yang intensif,
sehingga sebaran lapisan, dan tebal batubara yang dapat berubah drastis dan sulit
dikorelasikan, memiliki kemiringan lapisan yang terjal, sehingga sebaran
batubara hanya dapat diikuti sampai beberapa puluh meter (SNI 13-5014-1998).

Tabel II.1 Aspek Tektonik dan Sedimentasi Sebagai Parameter dalam Pengelompokkan
Kondisi Geologi (SNI 13-5014-1998)

Tabel II.2. Hubungan Jarak Titik Informasi terhadap Kondisi Geologi (SNI 13-5014-
1998)
Kondisi Sumberdaya
Kriteria
Geologi Tereka Terunjuk Terukur
Sederhana Jarak titik 1000< x ≤ 500<x≤1000 m ≤500 m
informasi (m) 1500 m
Moderat Jarak titik 500<x≤1000 250<x≤500 m ≤250 m
informasi (m) m
Kompleks Jarak titik 200<x≤400 100<x≤200 m ≤100 m
informasi (m)

19
Prinsip dasar dalam menghitung sumberdaya batubara yang umum digunakan
oleh perangkat lunak pertambangan adalah dengan metode polygon, salah satunya
perangkat lunak Minescape ver. 5.7. Perhitungan tersebut didasarkan pada konsep
mendefenisikan sebuah sampel sebagai prisma. Hasil dari bentuk volume yang
dihasilkan berupa bentuk tiga dimensi dan dinyatakan nilainya dalam table
viewer. Tabel tersebut menampilkan hasil perhitungan berupa volume, massa,
maupun nilai lain berdasarkan data kualitas yang dimasukkan.

20

Anda mungkin juga menyukai