Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional

2.1.1 Fisiografi Lokal

Kerangka tektonik Pulau Kalimantan dibagi menjadi 12 yaitu: Paparan

Sunda, Pegunungan Mangkalihat, Paternoster Platform, Tinggian Kuching,

Tinggian Meratus, Tinggian Sampurna, Cekungan Melawi- Ketengau, Cekungan

Tarakan, Cekungan Kalimantan Barat-Laut, Cekungan Barito, Cekungan Asem-

asem dan Cekungan Kutai (Gambar 2.1)

Gambar 2. 1 Fisiografi Cekungan Tarakan (Biantoro,1992)


Salah satu unit kerangka tektonik Pulau Kalimantan adalah Cekungan

Tarakan, dimana Tinggian Sampurna merupakan batas pada bagian utara, Tinggian

Kuching batas pada bagian barat, Pegunungan Mangkalihat batas pada bagian

selatan dan membuka kearah Timur sampai ke Selat Makasar.

Proses Pengendapan Cekungan Tarakan dimulai dari proses pengangkatan

(trangresi) yang dikirakan terjadi pada kala Eosen sampai Miosen awal bersamaan

dengan terjadinya proses pengangkatan gradual pada Tinggian Kuchin dari barat ke

timur. Pada Kala Miosen Tengah terjadi penurunan (regresi) pada Cekungan

Tarakan, yang dilanjutkan dengan terjadinya pengendapan progradasi ke arah timur

dan membentuk endapan delta, yang menutupi endapan prodelta dan batial.

Cekungan Tarakan mengalami proses penurunan secara lebih aktif lagi pada kala

Miosen sampai Pliosen. Proses sedimentasi delta yang relatif bergerak ke arah timur

terus berlanjut selaras dengan waktu. Cekungan Tarakan berupa depresi berbentuk

busur yang terbuka ke Timur ke arah selat Makasar/Laut Sulawesi yang meluas ke

Utara – Sabah dan berhenti pada zona subduksi di Tinggian Sempurna dan

merupakan Cekungan paling utara di Kalimantan. Tinggian Kuching dengan inti

lapisan Pra-Tersier terletak di sebelah baratnya sedangkan batas selaatannya adalah

Punggungan Suikerbood dan Tinggian Mangkalihat. Ditinjau dari fasies dan

Lingkungan pengendapannya. Cekungan Tarakan terbagi menjadi 4 sub cekungan,

yaitu sub cekungan Tidung,Sub Cekungan Tarakan,Sub Cekungan Muara dan Sub

Cekungan Berau.
2.1.2 Struktur Geologi Regional

Pola struktur dan perkembangan tektonik selama Zaman Tersier di

Kalimantan diwarnai dengan pembentukan cekungan sedimentasi, kegiatan

magmatik serta deformasi yang di dominasi dan bersumber dari gerak gerak lateral

melalui sesar-sesar yang umumnya merupakan pengaktifan kembali sesar-sesar tua

yang terdapat dalam batuan dasar ( Asikin 2002)

Secara umum struktur geologi Cekungan Tarakan dikontrol oleh pola sesar

yang berarah relatif timurlaut-baratdaya dan pola lipatan dengan arah umum

baratlaut-tenggara. Struktur tersebut akibatt eskstensi pada umur Eosen-Miosen

Awal dan tereaktivitasi akibat kompresi selama Miosesn Tengah-Sekarang.

2.1.3 Stratigrafi Regional

Stratigrafi regional dapat dibagi menjadi endapan pra Tersier, Tersier, dan

Kuarter. Batuan pra-Tersier tertua dinamakan Formasi Danau, tersusun atas batuan

yang telah mengalami tektonik kuat dan batuan metamorf dengan ketebalan yang

signifikan, dengan umur yang masih menjadi perdebatan antara Perm-Karbon atau

Jura –Kapur (Marks, 1957 op, cif Achmad and Samuel, 1984)

Formasi Sembakung terendapkan aecara tidak selaras di atas Formasi

Danau, memiliki umur Eosen Tengah ( Achmad and Samuel, 1984). Pada bagian

bawah formasi ini terdiri atas batupasir merah dengan konglomerat. Pada bagian

atas, terdiri dari batulempung yang kaya karbon dan fosil. Formasi Sembakung dan

Formasi Danau merupakan batuan dasar dari Cekungan Tarakan.


Tatanan stratigrafi di atas batuan dasar dari tua-muda dapat dibagi menjadi

5 siklus sedimentasi menurut (Achmad and samuel) yaitu siklus 1 (Eosen Akhir-

Oligosen Akhir), siklus 2( Miosen awal-Miosen Tengah), Siklus 3 (Miosen Tengah-

Miosen Akhir), siklus 4 (Pliosen) dan siklus 5 ( Kuarter).

- Siklus 1

Siklus sedimentasi ini terdiri dari Formasi Sujau, Mangkabua, dan

Seioler, yang terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Danau

atau Sembakung dengan Lingkungan pengendapan litoral laut dangkal

berumur Eosen Akhir-Oligosen Awal.

- Siklus 2

Siklus sedimentasi yang kedua dimulai dengan diendapkannya

Formasi Tempilan secara tidak Selaras di atas Formasi Mangkabau.

Kemudia terjadi transgresi regional yang diikuti oleh pengendapan

Formasi Tabalar secara selaras di atas Formasi Tempilan dan secara

Lokal diendapkan tidak selaras diatas Formasi Seilor. Formasi Tabalar

berangsur berubah menjadi Formasi Birang pada cekungan bagian

selatan dan menjadi Formasi Mesalai atau Naintupo pada cekungan

bagian utara.

- Siklus 3

Siklus ini dimulai proses pengendapan deltalik yang berprogradai

dari barat-timur. Pada cekungan bagian selatan,siklus ini dimulai dengan

pengendapan Formasi Latih secara tidak selaras di atas Formasi Birang,

yang diikuti oleh pengendapan Formasi Menumbar secara selaras di atas


Formasi Latih dan Secara tidak Selaras di atas Formasi Birang pada

subcekungan Muara. Pada cekungan bagian utara, siklus ini

menghasilkan Formasi Meliat, Tabul, dan S antul yang

terendapkan pada fase regresi Lingkugan deltalik-transisi.

- Siklus 4

Pada siklus ini diendapkan Formasi Sajau secara selaras di atas

Formasi Menumbar, sedangkan Formasi Tarakan menindih secara tidak

selaras formasi yang lebih tua. Formasi Sajau terdapat pada

Subcekungan Muara dan berubah menjadi Formasi Domaring ke arah

barat. Formasi Tarakan berkembang pada Subcekungan Tidung dan

Tarakan. Ke arah Timur, formasi ini berubah secara berangsur menjadi

serpih dan batugamping.

- Siklus 5

Pada siklus ini diendapkan Formasi Bunyu secara tidak selaras

diatas Formasi Tarakan. Formasi Bunyu secara tidak selaras di atas

Formasi Tarakan. Formasi Bunyu diendapkan pada lingkungan upper

deltaic, plain-fluvial dan pada lingkungan non deltaic akan terendapkan

Formasi Waru.
2.2 Konsep Massa Batuan dan Bidang Diskontinu

2.2.1 Massa Batuan

Massa Batuan merupakan volume batuan yang terdiri dari material batuan

berupa mineral, tekstur dan komposisi, dan juga terdiri dari bidang-bidang

diskontinu, membentuk suatu material dan saling berhubungan dengan semua

elemen sebagai satu kesatuan. Kekuatan massa batuan sangat dipengaruhi oleh

frekuensi bidang-bidang diskontinu yang terbentuk, oleh sebab itu massa batuan

akan mempunyai kekuatan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan batuan utuh.

Menurut Hoek & Bray (1981), massa batuan adalah batuan insitu yang dijadikan

diskontinu oleh sisitem struktur seperti joint, sesar, dan bidang perlapisan.

2.2.2 Bidang Diskontinu


Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan komposisinya

adalah sebagai berikut :

1. fault (patahan)

fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan tanda-tanda

bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah zona

hancuran maupun slickensided atau jejak yang terdapat di sepanjang bidang fault. Fault

dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa

batuan dalam wilayah yang luas.

2. Joint (kekar)

Bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak mengalami pergerakan atau

walaupun bergerak, pergerakan tersebut sangat sedikit sehingga bisa diabaikan.

Joint merupakan jenis bidang diskontinu yang paling sering hadir dalam batuan.

3. Bedding (bidang perlapisan)


Bedding terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan

orientasi butir dari bauan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi selama

proses pembentukan batuan sedimen.

4. Fracture dan crack

Fracture diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah tidak parallel

dengan struktur lain yang tampak pada batuan. Beberapa rock mechanic engineer

menggunakan istilah fracture dan crack ntuk menjelaskan pecahan atau crack yang

terjadi pada saat pengujian batuan, peleakan dan untuk menjelaskan mekanisme

pecahnya batuan brittle.

5. Fissure

Fookes dan Deness (1969) mendefinisikan fissure sebagai bidang diskontinu yang

membagi suatu material utuh tanpa memisahkanya menjadi baigain terpisah.

2.3 Jenis-jenis Longsoran

Ada beberapa jenis longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan ,
diantaranya :

- Longsoran Bidang( Plane Failure)


- Longsoran Baji (Wedge Failure)
- Longsoran Guling ( Toppling Failure)
- Longsoran Busur ( Circular Failure)

2.3.1 Longsoran Bidang

Longsoran ini akan terjadi jika strike bidang luncur mendekati paralel

terhadap jurus bidang permukaan lereng,kemiringan bidang luncur harus lebih

kecil daripada kemiringan bidak permukaan lereng, kemiringan bidang luncur


lebih besar daripada sudut geser dalam serta terdapat bidang bebas yang

merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah yang longsor.

Gambar 2. 2 Longsoran Bidang

2.3.2 Longsoran Baji


Longsoran baji terjadi apabila terdapat dua bidang lemah atau lebih
berpotingan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng.
Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longoran yaitu longsoran
tunggal, dan longsoran ganda. Untuk longsoran tunggal, luncuran terjadi hanya
pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada
perpotongan kedua bidang. Longsoran baji tersebut akan terjadi apabila
memnuhi syarat kemiringan lereng lebih besar daripada kemiringan garis
potong kedua bidang lemah dan sudut garis potong kedua bidang lemah lebih
besar daripada sudut geser dalamnya.

Gambar 2. 3 Longsoran Baji


2.3.3 Longsoran Guling
Pada umumnya longsoran ini terjadi pada lereng yang terjal dan pada
batuan yang keras dengan struktur bidang lemahnya yang berbentuk kolom.
Kongsoran ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir dilereng
mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng.

Gambar 2. 4 Longsoran Guling

2.3.4 Longsoran Busur


Longsoran ini banyak terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat
terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan. Bentuk bidang gelincir pada
longsoran busur, sesuai namanya, akan menyerupai busur bila
digambarkanpada penampang melintasng. Longsoran jenis ini juga sering
terjadi apabila ukuran fragmen tanah atau massa batuan sagat kecil
dibandingkan dengan ukuran lereng. Oleh karena itu, lereng yang tersusun dari
meterial pasir, lanau, atau partikel lain yang ukurannya lebih kecil memiliki
kemungkinan besar untuk mengalami longsoran busur.
Gambar 2. 5 Longsoran Busur

2.4 Kestabilan Lereng


Kestabilan lereng, dilihat dari janis material penyusunnya, terdapat dua
macam lereng, yaitu lereng tanah dan lereng batuan , walaupun kenyataan yang
dijumpai pada lereng tambang selalu merupakan gabungan antara material tanah
dan batuan. Dalam analisis penentuan jenis tindakan pengamanannya, lereng tanah
tidak dapat disamakan dengan lereng batuan karena parameter dan jenis penyebab
longsor pada kedua material pembentukan lereng tersebut sangat jauh berbeda (
Romana, 1993).

Kestabilan lereng dipengaruhi oleh faktor geometri lereng, karakteristik


fisik dan mekanik material pembentukan lereng, air ( hidrologi dan hidrogeologi ),
struktur bidang lemah batuan ( lokasi, arah,frekkuensi, karakteristik mekanik),
tegangan alamiah dalam massa batuan, konsentrasi tegangan lokal, getaran (
alamiah :gempa, dan perbuatan manusia: efek ledakan, efek lalu lalang alat-alat
berat) iklim, hasil perbuatan pekerjaan tambang, serta pengaruh termik (Moshab,
1997). Kenyataan dilapangan memang memperlihatkan bahwa masalah
ketidakstabilan lereng yang timbul dapat diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut.
Oleh karena itu, faktor-faktor ini perlu mendapatkan perhatian agar kondisi lereng
dapat dijaga kestabilannya. Dalam keadaan alamiah, tanah dan batuan umumnya
berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang bekerja padanya, baik
gaya dari dalam maupun dari luar. Selain itu, di pengaruhi oleh beberapa faktor
yang dapat dinyatakan secara sederhana sebagai gaya-gaya penahan dan gaya-gaya
penggerak yang bekerja terhadap kestabilan lereng tersebut. Dalam keadaan gaya
penahan lebih besar dari gaya penggeraknya, maka lereng tersebut akan berada
dalam keadaan stabil. Sebaliknya, jika gaya penahan lebih kecil daripada gaya
penggeraknya, maka lereng tersebut menjadi tidak stabil dan longsor pun terjadi.
Untuk menyatakan nilai (tingkat) kestabilan suatu lereng dikenal apa yang disebut
dengan nilai Faktor Keamanan (Safety Factor) , yang merupakan hasil
perbandingan antara besarnya gaya penahan terhadap gaya penggerak longsoran,
dan dinyatakan sebagai berikut :

Apabila nilai FK untuk suatu lereng > 1,0 (gaya penahan > gaya penggerak

), lereng tersebut berada dalam kondisi stabil. Namun, apabila harga F < 1,0 ( gaya

penahan < gaya penggerak ), lereng tersebut berada dalam kondisi tidak stabil dan

mungkin akan terjadi longsoran pada lereng tersebut.

2.4.1 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng

Kondisi kestabilan lereng pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,


antara
lain:
1. Penyebaran dan jenis material
Penyebaran dan jenis material di daerah penelitian harus diketahui, karena
setiap jenis material akan memiliki sifat fisik dan mekanik serta kemampuan
menahan beban yang berbeda-beda.

2. Sifat fisik dan mekanik


Sifat-sifat fisik batuan yang mempengaruhi kestabilan lereng diantaranya
adalah:
a. Berat isi batuan (γ)
Merupakan perbandingan berat suatu batuan dengan volume total
batuan yang bersangkutan. Berat isi material berperan dalam menimbulkan
tekanan air pori pada permukaan bidang longsor serta menimbulkan beban
material yang akan longsor.

- Berat isi merupakan perbandingan antara berat batuan dengan volume


batuan

Keterangan:
γ=berat isi batuan
V=volume batuan
W=berat batuan

- Berat isi kering adalah perbandingan berat kering batuan dengan volume
batuan

Keterangan:
γ = berat isi kering
Ws = berat kering batuan
V = volume batuan
- Berat isi jenuh merupakan perbandingan berat jenuh batuan dengan
volume batuan
Keterangan:
γsa t = berat isi jenuh batuan
Ws+Vv.ρw = berat jenuh batuan
V = volume batuan

b. Porositas
Porositas batuan merupakan perbandingan antara volume pori
dengan volume keseluruhan batuan. Batuan yang mempunyai porositas
besar akan menyerap banyak air, dengan demikian berat isinya akan
menjadi lebih besar, sehingga memperkecil kestabilan lereng. Adanya air
dalam batuan juga akan memperkecil tekanan air pori yang memperkecil
kuat geser batuan. Batuan yang memiliki kuat geser kecil akan lebih mudah
longsor.

Keterangan:

n=porositas batuan

e=volume pori

1+e=volume keseluruhan batuan

c. Kadar air dalam batuan (ω)


Kadar air dalam batuan merupakan perbandingan antara berat air
dengan berat butiran dari batuan. Semakin besar kandungan air dalam
batuan, maka tekanan air pori akan semakin besar juga. Dengan demikian,
kuat geser batuan menjadi makin kecil, sehingga nilai kemantapan
lerengnya semakin kecil pula.

Keterangan:
ω=kadar air dalam batuan
Ww=berat air
Ws=berat butiran dalam batuan

d. Derajat kejenuhan (Sr)


Derajat kejenuhan adalah perbandingan volume air pori dengan
volume isi pori seluruhnya. Makin jenuh suatu batuan maka kadar air yang
dikandung oleh batuan tersebut semakin besar, sehingga kuat geser batuan
tersebut semakin rendah, akibatnya batuan tersebut cenderung lebih mudah
longsor.

Keterangan:
Sr=derajat kejenuhan
Vw=volume air pori
Vv=volume isi pori keseluruhan

Sementara sifat-sifat mekanik batuan yang berpengaruh terhadap kestabilan


lereng antara lain:
a. Uji Kuat Tarik Langsung, untuk mengetahui kuat tarik (tensile strength)
dari contoh batuan secara tidak langsung,

b. Uniaxial Compressive Strength Test ,untuk mengukur kekuatan tekan


batuan terhadap gaya axial dan mendapatkan modulus elastisitas serta
nisbah poisson.
c. Uji Triaxial, untuk menentukan kekuatan tekan batuan yang diberi
tegangan dari tiga arah, mendapatkan selubung kekuatan batuan , kohesi,
dan sudut gesek dalam batuan

d. Sudut geser dalam batuan (φ)


Sudut geser dalam adalah sudut yang dibentuk dari hubungan antara
tegangan normal dan tegangan geser dalam suatu batuan ataupun tanah.
Semakin besar sudut geser dalamnya, maka material tersebut semakin
besar tahanannya terhadap tegangan luar yang diterimanya.

3. Geometri lereng
Geometri lereng mencakup tinggi dan kemiringan sudut lereng.
Apabila susunan materialnya sama, lereng yang terlalu tinggi dan memiliki
kemiringan yang besar akan cenderung lebih mudah longsor dibandingkan
lereng yang rendah dengan kemiringan yang kecil.
4. Air
Selain berbagai beban, air juga berpengaruh terhadap berkurangnya
tegangan normal. Lereng dengan muka air tanah yang dangkal akan semakin
mudah longsor karena terjadi pembebanan oleh gaya hidrostatis yang
ditimbulkan oleh air dalam pori-pori tanah atau batuan.
5. Iklim

Iklim berpengaruh terhadap kemantapan lereng, karena iklim


mempengaruhi perubahan temperatur. Perubahan temperatur yang cepat
dalam waktu yang singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.
Lebih intensifnya pelapukan batuan di daerah tropis akan menyebabkan
lereng lebih mudah longsor.

Dalam keadaan tidak terganggu (alamiah), tanah atau batuan umumnya


berada dalam keadaan seimbang terhadap gaya-gaya yang timbul dari dalam. Jika
misalnya karena suatu sebab mengalami perubahan keseimbangan akibat
pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi, dan lain-lain, maka
tanah atau batuan itu akan berusaha mencapai keseimbangan yang baru secara
alamiah. Cara ini biasanya berupa degradasi atau pengurangan beban, terutama
dalam bentuk longsoran atau gerakan-gerakan lain sampai tercapai keseimbangan
yang baru.

Pada tanah atau batuan dalam keadaan tidak terganggu (alamiah) telah
bekerja tegangan-tegangan vertikal, horisontal, dan tekanan air pori. Ketiga hal di
atas mempunyai arti penting dalam membentuk kestabilan lereng. Sedangkan tanah
atau batuan sendiri mempunyai sifat-sifat fisik tertentu yang juga sangat
berpengaruh dalam menentukan kekuatan tanah dan juga mempengaruhi kestabilan
lereng.

2.4.2 Faktor-Faktor Pembentuk Gaya-Gaya Penahan

Faktor-faktor yang membentuk gaya-gaya penahan, antara lain sebagai berikut:


1. Jenis batuan
Batuan beku, sedimen, dan metamorf jenis tertentu umumnya memberikan
kestabilan yang baik, terutama bila batuan tersebut tersebar luas (monolitologi)
2. Kekuatan batuan
Batuan padu (intact rock) yang memiliki kuat tekan uniaksial tinggi dan
mempunyai sudut geser dalam (φ) yang tinggi merupakan batuan yang sangat stabil
terhadap longsoran.

2.4.3 Faktor-Faktor Pembentuk Gaya-Gaya Penggerak


Gaya penggerak umumnya dipengaruhi oleh gravitasi, sehingga berat
daripada beban atau bagian lereng yang bersangkutan merupakan salah satu
gaya penggerak terjadinya longsor, diantaranya:
1. Bobot isi (γ) ,Batuan dengan bobot isi yang besar akan memberikan
beban/gaya yang lebih besar pada lereng.
2. Kandungan air tanah ,Keberadaan air sebagai “moisture” tanah pada lereng
yang bersangkutan akan memberikan tambahan beban yang besar pada
lereng.
3. Sudut kemiringan lereng (α) , Sudut lereng yang besar akan memberikan
volume material/batuan besar, yang merupakan beban lereng yang lebih
besar.
Longsoran yang terjadi pada lereng alami ataupun buatan pada
umumnya terjadi karena ada perubahan-perubahan yang menghasilkan
pengurangan nilai faktor keamanan (Fs), atau dengan kata lain memperkecil
gaya penahan, memperbesar gaya penggerak, atau gabungan dari keduanya.

2.5 Metode Analisis Kestabilan Lereng

Analisis kestabilan lereng dilakukan untuk menilai tingkat kestabilan suatu

lereng. Isyilah kestabilan lereng dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu blok

di atas suatu permukaan miring ( diukur dari garis horizontal) terhadap runtuhan

(collapsing) dan gellincir ( slidding) (Klich,1999). Dalam hal ini setiap permukaan

tanah yang memiliki kemiringan terhadap garis horizontal disebut lereng, baik

alami maupun buatan manusia. Karena lereng tidak horizontal, melainkan

membentuk sudut, akan timbul suatu gaya penggerak akibat adanya gravitasi dan

cenderung membuat blok di atas pemukaan miring tersebut bergerak menuruni

lereng. Jika gaya penggerak tersebut sangat besar dan kekuatan geser dari material

penyususn lereng relatif kecil, dapat terjadi longsoran ( Terzaghi and Peck, 1967).

Metode- metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kestabilan leeng sangat

beragam. Penggunaan metode ini tergantung pada data yang tersedia, program

komputer (software) yang tersedia, tingkat ketelitian perhitungan yang diperlukan,

dan keluaran (output) yang diperlukan. Semakin teliti data yang digunakan untuk

perhitungan kestabilan lereng ini, hasil yang diperoleh akan semakin mendekati

kenyataan sebenarnya.
2.5.1 Metode Kesetimbangan Batas

Metode ini dinyatakan dengan persamaan-persamaan kesetimbangan dari

satu atau beberapa blok yang diasumsikan tidak terdeformasi dan mengurangi gaya-

gaya yang tidak diketahui (reaksi dari bagian stabil massa batuan atau gaya-gaya

antar blok), khususnya gaya geser yang bekerja pada permukaan longsoran yang

dipilih sebelumnya. Hipotesis yang dibuat secara umum adalah bahwa gaya-gaya

geser ini mewakili seluruh bagian yang sama dari kuat geser batuan dimana gaya-

gaya geser ini bekerja. Kondisi kestabilan lereng dengan menggunakan metode ini

dinyatakan dalam indeks faktor keamanan. Faktor keamanan dihitung

menggunakan kesetimbangan gaya atau kesetimbangan momen, atau menggunakan

kedua kesetimbangan gaya tersebut berantung dari metode perhitungan yang

dipakai.Dalam menentukan faktor keamanan lereng dengan menggunakan metode

ini, terdapar beberapa persamaan statis yang digunakan dalam penentuan faktor

keamanan, meliputi :

1. Penjumlahan gaya pada arah vertikal untuk setiap irisan yang digunakan
untuk menghitung gaya normal pada baian dasar irisan.
2. Penjumlahan gaya pada arah horizontal untuk setiap irisan yang digunakan
untuk mengihitung gaya
3. normal antar irisan.
4. Penjumlahan momen untuk keseluruhan irisan yang bertumpu pada satu
titik
5. Penjumlahan gaya pada arah horizontal untuk seluruh irisan
6. Sifat-sifat material yang relevan dengan masalah kematapan lereng adalah
sudut geser dalam (ϕ), kohesi
7. (c), dan berat satuan (γ) batuan. Gambar 2 menjelaskan secara sederhana
tentang suatu batuan yang mengandung bidang diskontinu, dimana bekerja
tegangan normal dan tegangan geser, sehingga batuan retak pada bidang
diskontinu dan mengalami pergeseran.

Gambar 2. 6 Hubungan antara kuat geser (𝜏) dan kuat tekan (𝜎)

2.5.2 Metoda Analisis Kestabilan Lereng

Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode.

Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F dapat dihitung dengan metoda

sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk suatu lereng dengan

penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya

dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi lereng longsor, sebaiknya nilai F yang

diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan demikian antisipasi akan diupayakan

maksimal. Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari

nilai F (faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut :

a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng) meliputi: sudut

lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke puncak lereng.

b. Data mekanika tanah,


Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak

terganggu. Kadar air tanah ( w ) diperlukan terutama dalam perhitungan yang

menggunakan komputer (terutama bila memerlukan data γ dry atau bobot satuan isi

tanah kering, yaitu : γ dry = γ wet / ( 1 + w ). Pada lereng yang dipengaruhi oleh

muka air tanah nilai F (dengan metoda sayatan, Fellenius) adalah sbb :

Dengan :

C = kohesi (kN/m2)

Φ = sudut geser dalam (derajat)

α = sudut bidang gelincir pada tiap sayatan (derajat)

μ = tekanan air pori (kN/m2)

l = panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m);

L = jumlah panjang bidang gelincir μi x

li = tekanan pori di setiap sayatan (kN/m)

W = luas tiap bidang sayatan (M2) x bobot satuan isi tanah (g, kN/m3) Pada

lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah sbb :
Gambar 2. 7 Cara Menghitung Fk dengan Menggunakan Metoda Sayatan, Fellenius

Gambar 2. 8 Cara Menghitung Sayatan Lereng

Anda mungkin juga menyukai