Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


Secara geologi regional daerah penelitian termasuk kedalam Kulonprogo,
yang merupakan sebuah plato besar Jonggrangan. Kulonprogo merupakan
bagian dari zona Jawa Tengah bagian selatan, yaitu zona plato. Bagian utara dan
timur Kulon Progo ini dibatasi oleh dataran pantai Samudera Indonesia dan
bagian barat laut berhubungan dengan pegunungan Serayu Selatan (Bemmelen,
1949).

Gambar 2.1 Peta Geologi Regional Kulongprogo(Rahardjo dkk, 1977)

Menurut Sujanto dan Ruskamil (1975) daerah Kulonprogo merupakan


perbukitan yang dibatasi oleh tinggian dan dataran Kebumen di bagian barat dan
Yogyakarta di bagian timur, yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi
wilayah Jawa Tengah bagian selatan yang mencirikan tinggian Kulonprogo

4
5

yaitu banyaknya gunung api purba yang terbentuk dan tumbuh di atas batuan
paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang berumur neogen.
Berdasarkan sistem umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi
regional menurut Wartono Rahardjo dkk (1977) (Gambar 2.1), Wirahadikusumah
(1989), dan Mac Donald dan partners (1984), daerah Pegunungan Kulonprogo
dapat dibagi menjadi empat formasi, yaitu :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir,
sisipan lignit, napal pasiran dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu
gamping dan tuff, kaya akan fosil foraminifera dan molusca dengan ketebalan
300 m. berdasarkan penelitian tentang umur batuannya didapat umur Formasi
Nanggulan sekitar eosen tengah sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di
daerah Kali Watupuru dan Kali Songgo di bagian timur Kali Progo. Formasi
Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Axinea Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan lapisan sekitar 40 m, terdiri dari
batu pasir, dan batu lempung dengan sisipan lignit yang semuanya
berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil pelecypoda.
b. Yogyakarta beds
Formasi yang berada di atas axiena beds ini diendapkan secara selaras
denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu lempung ynag
mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir. Yogyakarta
beds mengandung banyak fosil foraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan secara selaras diatas Yogyakarta
beds dengan ketebalan sekitar 200m. Terdiri dari batu napal yang
berselingan dengan batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian
berselingan lagi dengan batuan serpih. Fosil yang terdapat pada
discocyclina beds adalah discocyclina.
6

2. Formasi Andesit Tua


Formasi ini mempunyai batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff,
tuff, breksi lapisi , Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang
tersingkap di daerah Kulonprogo. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras
dengan Formasi Nanggulan dengan ketebalan 660 m. Diperkirakan formasi ini
berumur Oligosen – Miosen.
3. Formasi Jonggrangan
Formasi ini mempunyai batuan penyusun yang berupa tufaan, napal,
breksi, batu lempung dengan sisipan lignit didalamnya, sedangkan pada
bagian atasnya terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu.
Ketebalan formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak selaras dengan formasi
andesit tua. Formasi Jonggrangan ini diperkirakan berumur Miosen. Fosil yang
terdapat pada formasi ini ialah foraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
4. Formasi Sentolo
Formasi Sentolo ini mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir
napalan dan batu gamping, dan pada bagian bawahnya terdiri dari napal
tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m. Letak formasi ini tak selaras dengan
formasi Jonggrangan. Formasi Sentolo ini berumur sekitar Miosen bawah sampai
Pleistosen.
Berdasarkan susunan formasi tersebut selain intenitas hujan di daerah
penelitian sangat kurang pada musim kemarau adapun kemungkinan lain
penyebab kekeringan yaitu kedalaman serta jenis akuifer dibawah permukaan
yang tersusun oleh litologi yang terbentuk oleh formasi daerah Kulonprogo.
2.2. Geologi Lokal
Desa Kembang merupakan salah satu daerah di Kecamatan Nanggulan
Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai
susunan litologi sedimen klastik yang cukup tebal dan juga persebarannya cukup
luas. Geologi regional daerah penelitian terbagi menjadi tiga formasi yaitu,
Formasi Nanggulan, Formasi Andesit Tua, dan Endapan Koluvial. Formasi
Nanggulan merupakan formasi tertua di pegunungan Kulonprogo berumur
Eosen
7

tengah sampai Oligosen dengan lingkungan pengendapan litoral pada fase genang
laut dan terbagi menjadi tiga beds berdasarkan kandungan fosil yang ada yaitu dari
tua ke muda terdiri dari Axinea beds, Yogyakarta beds, dan Discocyclina beds.
kemudian Formasi Andesit Tua diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Nanggulan dengan litologi terdiri atas breksi, lava dan intrusi andesit yang berumur
Oligosen. Serta, Endapan Koluvial yang merupakan endapan permukaan hasil
rombakan batuan sekitarnya yang berumur Holosen (Rahardjo dkk.,1977).

Gambar 2.2 Peta Geologi Lokal Daerah Penelitian


(Penyusun, 2017)
8

Berdasarkan formasi serta susunan litologi yang ada, dimana daerah penelitian
termasuk kedalam tiga formasi yaitu, Formasi Nanggulan yang berwarna biru,
Formasi Andesit Tua berwarna merah muda dan Endapan Koluvial yang berwarna
kuning bahwa di daerah Kecamatan Nanggulan Desa Kembang berpotensi memiliki
akuifer yang cukup baik karena secara litologi tersusun antara bautan sedimen dengan
batuan beku yang diatasnya diendapkan endapan koluvial atau dengan kata lain
kontak antara batuan sedimen dengan batuan beku dapat berpotensi menyimpan serta
meloloskan airtanah (Gambar 2.2).
2.3. Gerakan Massa
Gerakan massa / tanah longsor merupakan perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut,
bergerak kebawah atau keluar lereng menuruni lereng. Proses terjadinya tanah
longsor dapat diterangkan sebagai berikut : air yang meresap kedalam tanah akan
menambah bobot tanah. Jika air tersebutn menembus sampai tanah kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan
diatasnya akan bergerak mengikuti lereng (ESDM,2005).
Banyak factor semacam kondisi-kondisi geologi dan hidrogeologi, topografi,
iklim, dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng yang
mengakibatkan terjadinya longsoran. Gerakan massa tanah terjadi jika dipenuhi tiga
keadaan, yaitu :
1. Kelerengan cukup curam
2. dapat bidang gelincir dibawah permukaan tanah yang kedap air.
3. Terdapat cukup air (dari hujan) di dalam tanah diatas di atas lapisan kedap,
sehingga tanah jenuh air. Air hujan yang jatuh diatas permukaan tanah yang
kemudian menjenuhi tanah, sangat menentukan kestabilan lereng, yaitu
menurunnya tanah ketahanan geser yang jauh lebih besar dari penurunan
tekanan geser tanah, sehingga factor keamanan lereng menurun tajam,
menyebabkan lereng rawan longsor.
Karnawati (2005) menjelaskan bahwa pergerakan massa tanah/batuan pada
9

lereng dapat terjadi akibat interaksi pengaruh beberapa kondisi yang meliputi kondisi
morfologi, geologi, struktur geologi, hidrigeologi dan tata guna lahan. Kondisi-
kondisi tersebut saling berpengaruh sehingga mengkondisikan suatu lereng menjadi
rentan dan siap bergerak. Lereng yang rentan dan siap bergerak akan bernar-benar
bergerak apabila ada factor pemicu gerakan. Faktor pemicu terjadinya gerakan dapat
berupa hujan, getaran-getaran atau aktifitas manusia pada lereng, seperti pemotongan
dan penggalian, pembebanan yang berlebihan dan sebagainya.
Penyebab gerakan tanah

Factor-faktor Factor-faktor
Pengontrol Pemicu TERJADINY
KONDISI Infiltrasi A
Geomorfologi RENTAN Kedalaman lereng GERAKAN
(SIAP Aktifitas manusia
Batuan/tanah TANAH
Struktur geologi BERGERAK
Geohidrologi
Tata guna lahan

Kondisi stabil kondisi tak stabil kondisi kritis

Gambar 2.3 proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen penyebabnya (Karnawati,
2005)

Dari gambar 2.3 terlihat bahwa prpses terjadinya gerakan tanah melalui
beberapa tahapan, yaitu :
1. Tahapan stabil.
2. Tahapan rentan (siap bergerak)
3. Tahapan kritis
4. Tahapam benar-benar bergerak
Dari gambar 2.3 juga menunjukkan bahwa penyebab terjadinya gerakan tanah
dapat dibedakan menjadi penyebab tidak langsung (penyebab yang berupa
factor pengontrol) yaitu factor-faktor yang mengkondisikan suatu lereng
menjadi rentan atau siap bergerak, dan penyebab langsung (yang berupa
pemicu) yaitu proses-proses yang merubah kondisi lereng dari kondisi rentan
10

(siap bergerak) menjadi kondisi benar-benar bergerak setelah melampaui


batas kritis tertentu.

2.4. Metode Storie


Analisa tingkat kerentanan gerakan tanah dilakukan menggunakan metode
Storie (Sitorus, 1995). parameter yang digunakan dalam klasifikasi tingkat kerentanan
lahan ini adalah kemiringan lereng, tataguna lahan, curah hujan dan jenis tanah.
Data kemiringan lereng didapatkan dengan mengolah peda Digital Ekevation
Made (DEM) menggunakan salah satu program aplikasi berbasis GIS yaitu Global
Mapper. Data tataguna lahan daerah penelitian didapatkan dari peta penggunaan
lahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulonprogo. Informasi untuk data
parameter curah hujan bisa didapat dari peta rata-rata curah hujan daerah kulonprogo
dan sekitarnya dari BMKG. Data parameter kepadatan struktur (FFD) didapat dengan
menarik kelurusan-kelurusan segmen sungai yang aada pada daerah penelitian
menggunakan aplikasi global Mapper.
Pengolahan data masing-masing parameter menggunakan perangkat lunak
Global mapper13, MapInfo Professional10.5, Microsoft Excel, dan surfer.
Perhitungan tingkat kerentanan gerakan tanah dilakukan dengan metode Sorie
(Sitorus, 1995 ) ditambah parameter FFD, parameter-parameter seperti tataguna
lahan, kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan masing-masing diberi bobot.
Kemudian dizonasi menggunakan software Surfer
Metode storie yang awal mulanya digunakan untuk pengklasifikasian jenis
tanah untuk pertanian juga telah digunakan untuk menentukan tingkat kerentanan
gerakan tanah (Sitorus, 1995 ; Arifin et al., 2006 : Khori Sugianti et al., 2014) dengan
modofokasi parameter pada indeks storie sebagai berikut :
L = A x B/10 x C/10 x D/10x…….(2)
Keterangan :
A : tataguna lahan C : jenis tanah
B : kemiringan lereng D : curah hujan
11

A. Tataguna lahan
Penggunaan lahan pada suatu wilayah akan mempengaruhi tingkat kerentanan
gerakan tanah disuatu wilayah. Wilayah. Wilayah tataguna lahan hutan yang
memiliki vegetasi cukup banyak akan memiliki tingkat erosi yang rendah dan
kemungkinan pergerakan tanahnya lebih sedikit dibandingkat daerah yang peka
terhadap erosi seperti wilayah terbuka yang tidak memiliki vegetasi. Data tataguna
lahan tersebut kemudian dilakukan pembobotan sesuai tingkat erosi sesuai dengan
klasifikasi pemanfaatan lahan seperti pada tabel 1.
Tabel 2.1 Klasifikasi Pemanfaatan Lahan (Karnaawati 2003 :

Kelas tataguna lahan Tingkat erosi Bobot

Hutan tidak sejenis Tidak peka terhadap erosi 1

Hutan sejenis Kurang peka terhadap erosi 2

Perkebunan Agak peka terhadap erosi 3

Permukiman, sawah, kolam Peka terhadap erosi 4

Tegalan, tanah terbuka Sangat peka terhadap erosi 5

B. Kemiringan lereng
Kemiringan lereng merupakan salah satu factor yang berkaitan langsung
dengan bahaya pergerakan tanah. Daerah dengan topografi lereng yang curam akan
memiliki potensi pergerakan tanah yang lebih besar disbanding daerah yang topografi
lerengnya landai. Hal ini disebabkan karena perbandingan antara gaya penahan dan
gaya pendorong pada lereng yang curam lebih kecil disbanding lereng yang lebih
landau.
Data kemiringan lereng didapatkan dengan mengolah peta DEM yang diolah
menggunakan global mapper untuk membagi daerah penelitian berdasarkan tingkat
kelas kemiringan lerengnya. Klasifikasi dan pemberian bobot kemiringan lereng
didasarkan pada presentase kemiringan lereng Van Zuidam,1983 seperti pada tabel 2.
12

Tabel 2.2. Klasifikasi Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1983)

Kemiringan (%) Kelas lereng Satuan morofologi Bobot


0-8 Datar Dataran 1
9-15 Landau Perbukitan berelief halus 2
16-25 Agak curam Perbukitan berelief sedang 3
26-45 Curam Perbukitan berelief kasar 4
>45 Sangat curam Perbukitan berelief sangat kasar 5

C. Curah hujan
Informasi data untuk parameter curah hujan didapat dari peta rata-rata curah
hujan tahunan periode 2017-2018 di DIY dan sekitarnya dari BMKG. Pembobotan
didasarkan pada klasifikasi intensitas curah hujan.
Tabel 2.3. Klasifikasi intensitas curah hujan (Puslit Tanah, 2004)
Intensitas curah hujan (mm/tahun) Parameter Bobot
<2000 Kering 1
2000-2500 Sedang/lembab 2
2500-3000 Basah 3
>3000 Sangat basah 4

D. Jenis tanah
Data jenis tanah yang digunakan pada penelitian ini, didapatkan dari hasil
penelitian di lapangan yang mengacu pada pembagian jenis tanah menurut klasifikasi
Pusat Penelitian Tanah Bogor, (disempurnakan, 1982). Jenis–Jenis tanah menurut
Klasifikasi Pusat Penelitian Tanah Bogor, (disempurnakan, 1982) .
Tabel 2.4. Klasifikasi kepekaan jenis tanah terhadap tingkat erosi (Sobirin 2013)
Jenis tanah Tingkat erosi Bobot
Alluvial, Glei Tidak peka 1
Latosol Sedikit peka 2
Brown Forest, mediteran Agak peka 3
Andosol, grumosol, podsol Peka 4
Regosol, litosol, organosol Sangat peka 5
13

Dari beberapa parameter data yang digunakan, seperti data tataguna lahan,
data curah hujan, data kemiringan lereng, dan data jenis tanah, kemudian data
tersebut diolah dan hasilnya di sesuaikan dengan bobot dari klasifikasi tingkat
kerentanan terhadap gerakan tanah, di mana hasil nilai tersebut merupakan perkalian
parameter dengan rumus indeks storie.
2.5. Peneliti Terdahulu
Respati, Y.S. dkk, (2000) melakukan analisis GIS terhadap gerakan massa di
Girimulyo, Kulon Progo, daerah Istimewa Yogyakarta dan kajian factor-faktor
pengontrolnya. Tim longsoran Teknik Geologi UGM (2000) memetakan daerah
Purworejo dan Kulon Progo dalam lima zona titik rawan longsor. Lima zona tersebut
antara lain adalah zona sangat rawan, rawan, kerawanan menengah, kerawanan
rendah, dan aman dengan menggunakan skala 1 : 100000.

Anda mungkin juga menyukai