0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
105 tayangan7 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang tujuan dan dasar teori dari acara pembelajaran geologi, serta jenis-jenis batuan yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan hasil pemetaan peta geologi. Daerah tersebut terbentuk dari berbagai formasi batuan gunungapi seperti breksi, lava, dan tufa yang berasal dari Zaman Kuarter.
Dokumen tersebut membahas tentang tujuan dan dasar teori dari acara pembelajaran geologi, serta jenis-jenis batuan yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan hasil pemetaan peta geologi. Daerah tersebut terbentuk dari berbagai formasi batuan gunungapi seperti breksi, lava, dan tufa yang berasal dari Zaman Kuarter.
Dokumen tersebut membahas tentang tujuan dan dasar teori dari acara pembelajaran geologi, serta jenis-jenis batuan yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan hasil pemetaan peta geologi. Daerah tersebut terbentuk dari berbagai formasi batuan gunungapi seperti breksi, lava, dan tufa yang berasal dari Zaman Kuarter.
1. Mahasiswa mampu mengenali semua kenampakan yang ada pada peta
geologi dan mampu menggunakannya baik di laboratorium maupun di lapangan. 2. Mahasiswa mampu menyadap informasi yang ada pada peta geologi baik yang tersirat maupun yang tersurat dalam peta. 3. Mahasiswa mampu membuat penampang melintang geologi, membuat stratigrafi batuan maupun menentukan urutan umur geologi yang ada dalam peta, serta mampu merekayasa penampang tiga dimensional (blok diagram) dari formasi geologi berdasarkan beberapa penampang melintang yang dibuat.
II DASAR TEORI
Peta geologi memuat berbagai informasi antara lain; informasi
geologi, batuan penyusun formasi geologi, struktur geologi, umur geologi, penampang geologi, dan sungai utama. Informasi geologi ini sangat diperlukan oleh berbagai instansi yang berkecimpung dalam ilmu kebumian. Di kalangan perguruan tinggi, peta geologi sangat membantu dalam kerja laboratorium maupun kerja lapangan. Peta geologi bersistem disajikan dalam skala 1: 100.000, namun peta geologi yang rinci disajikan dengan skala lebih besar. Perpaduan data yang disadap dari peta topografi atau peta rupa bumi dan peta geologi sangat memudahkan dalam kerja lapangan, karena lokasi dapat ditemukan dari peta topografi atau rupa bumi, sedangkan informasi geologis dapat diketahui dari peta geologi. Oleh karena itu bagi mahasiswa geografi harus dapat menggunakan dan dapat menyadap data yang tersurat maupun yang tersirat pada peta tersebut. Dalam penyajiannya, penomoran peta geologi di Indonesia sudah dilakukan yaitu dengan penomoran lembar peta yang baku. Peta geologi bersistem memiliki skala 1: 100.000 dengan ukuran 30’ x 30’ (dalam koordinat geografis). Dalam legenda peta geologi terdapat contoh penampang melintang yang menggambarkan kondisi geologis pada setiap lokasi yang dilewati penampang tersebut, sehingga secara horizontal dapat diketahui perbedaan tipe litologi, formasi batuan dan struktur geologisnya dan serta secara vertikal dapat diketahui stratigrafi batuan, umur geologi relatif masing-masing perlapisan serta urut-urutan pengendapan dari masing-masing perlapisan serta urut-urutan pengendapan dari masing- masing perlapisan batuan.
Untuk mengetahui semua kenampakan yang ada pada peta geologi
baik tipe litologi maupun struktur batuan maka kenampakan-kenampakan tersebut disajikan dalam simbol titik, garis maupun area. Pada informasi batuan dan tipe litologi yang digunakan adalah simbol kode (huruf) dan simbol warna. Pewarnaan pada peta geologi tergantung pada tipe litologi yang ada.
Penamaan simbol litologi dan formasi batuan disesuaikan dengan
urutan-urutan terjadinya formasi tersebut, sehingga melalui kode formasi batuan dapat diketahui umur absolut dari setiap formasi dan melalui stratigrafinya dapat diketaui umur relatif masing-masing formasi terhadap formasi lainnya.
IV HASIL PRAKTIKUM
1. Profil kontur RBI skala 1:25.000 yang disesuaikan dengan peta
geologi skala 1:100.000 2. Penomoran peta geologi. V PEMBAHASAN
Yogyakarta merupakan suatu depresi atau cekungan yang dibatasi
di bagian utara oleh Gunung Merapi yang berumur Kuarter; bagian timurnya dibatasi oleh Pegunungan Selatan dan bagian baratnya dibatasi oleh Pegunungan Kulon Progo, dimana keduanya disusun oleh batuan berumur Tersier; serta bagian selatannya dibatasi oleh Samudera India.
Batuan berumur Tersier yang ada di Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulon Progo terdiri dari serial batuan klastik produk gunungapi purba (Formasi Nanggulan, Kebobutak, Semilir, Nglanggran, Wuni dan Sambipitu) dengan kisaran umur sekitar 57 – 18 juta tahun lalu, yang ditumpangi oleh serial batuan karbonat produk pengendapan laut dangkal (Formasi Wonosari, Jonggrangan, Kepek dan Sentolo) dengan kisaran umur sekitar 20 –1.6 juta tahun silam. Pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Simposium Geologi Yogyakarta Progo pada sekitar 1.6 juta tahun lalu telah menciptakan sebuah cekungan atau depresi diantara keduanya, yang diberi nama geografis sebagai Cekungan Yogyakarta.
Gunungapi Merapi kemudian muncul di sebelah utara dan mengisi
Cekungan Yogyakarta dengan endapan vulkaniknya, yang sebagian besar dibawa oleh sungai-sungai yang berhulu di lereng gunungapi tersebut. Ketebalan endapan vulkanik Merapi tersebut dapat mencapai lebih dari 100 m. Hingga saat ini, proses sedimentasi oleh sungai masih terus mendominasi di Cekungan Yogyakarta, mengendapkan kerikil, pasir, dan lempung di sepanjang lembah alirannya. Di sepanjang pesisir selatan, pasir halus yang kaya unsur besi yang telah dibawa oleh sungai-sungai tersebut ke laut diendapkan kembali oleh angin sebagai gumuk-gumuk pasir.
Suatu sistem patahan yang terletak diantara Cekungan Yogyakarta
dan Pegunungan Selatan berhasil dikenali dari survey gaya berat. Patahan tersebut dikenal dengan nama Patahan Opak dengan blok bagian baratnya relatif turun terhadap blok bagian timur. Kertapati. (1992) menginterpretasikan Patahan Opak sebagai patahan aktif namun tidak diketahui jenis pergerakannya. Sudarno (1997) melengkapi sistem Patahan Opak dan mengidentifikasi berbagai patahan berarah utara – selatan dan baratlaut – tenggara di sekitar Patahan Opak. MacDonald & Partners (1984) dengan pemboran geoteknik dan survey geolistrik telah menginterpretasikan sistem patahan yang tertimbun endapan vulkanik Merapi yang berarah utara – selatan dan timur – barat yang merupakan kelanjutan dari Patahan Opak ke arah Cekungan Yogyakarta.
VI KESIMPULAN
Menurut keadaan geomorfologi yang terbentuk oleh faktor endogen
dan eksogen, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 6 satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Dataran, Satuan Perbukitan Rendah Satuan Perbukitan Sedang,Satuan Perbukitan Tinggi (Pegunungan), Satuan Kaki Lereng Gunung Merapi, Satuan Tubuh Gunung Merapi.
Dari hasil pemetaan penampang geologi peta geologi yogyakarta
lembar 1408 – 2 dengan skala 1 : 100.000 jenis – jenis batuan yang tergambar pada peta dapat digolongkan dalam jenis batuan Gunungapi. Umur batuan yang ada kurang lebih memiliki umur yang hampir sama yaitu termasuk kedalam Zaman Q (Quaternary) seperti, Qsm, Qsmo, Qme, dan Qb. Formasi batuan yang didapatkan dari hasil pemetaan adalah sebagai berikut : 1. Endapan G. Sumbing Muda (Qsm) .Pasir Tufa Gunung Sumbing Muda (Qsm); Terdiri dari pasir tufaan, tuf pasiran dan breksi tufa. Pasir tufaan umumnya melapuk sedang berwarna coklat abu-abu, berupa lapisan pasir kasar kerikilan. Pasir sedang dan pasir halus kerikilan bersifat lepas dan mudah hancur. Formasi ini di permukaan didominasi oleh pasir tufa dengan kekeraasan umumnya sedang di beberapa tempat, nilai tekanan konus (CPT) berkisar antara 10 – 45 kg/cm2 . Tanah penutup umumnya berupa pasir hingga pasir halus, coklat kehitaman, agak padat hingga lepas, ketebalan berkisar antara 1 hingga 1,5 m.
2. Endapan G. Sumbing Tua (Qsmo) ; Dasit (d). Breksi Endapan
Gunung Sembing Tua (Qsmo); Terdiri dari breksi andesit, aglomerat dan tufa. Breksi andesit umumnya melapuk sedang berwarna kuning kecoklatan, komponen batuan andesitik (4 – 45 cm) agak segar, menyudut tanggung, tertanam pada masadasar pasir tufa berbutir kasar, agak padat sebagian mudah hancur. Formasi ini di permukaan didominasi oleh lava dengan kekerasan umumnya sangat keras. Tanah penutup umumnya berupa lanau pasiran berkerikil, coklat kemerahan, teguh-kaku, ketebalan rata-rata 1 m.
3. Endapan Vulkanik (Qme) : Endapan vulkanik G. Merbabu
.Breksi Lahar dan Lava Gunungapi Merbabu (Qme); Terdiri dari breksi lahar dan lava yang bersusunan andesit. Breksi lahar umumnya melapuk sedang, berwarna coklat tua, komponen tufa dan batuan agak segar yang berukuran pasir kasar hingga kerakal, menyudut sampai membulat tanggung, agak padu. Formasi ini di permukaan didominasi oleh lava yang secara umum mempunyai kekerasan adalah keras. Tanah penutup umumnya berupa pasir lanauan, coklat kehitaman, agak padat, ketebalan rata-rata 1-1,5 m.
Breksi vulkanik umumnya melapuk sedang, berwarna coklat kehitaman, komponen tufa dan batuan agak segar yang berukuran pasir kasar hingga kerakal, menyudut sampai membulat tanggung, agak padu. Breksi Vulkanik (Qb); Terdiri dari breksi yang bersifat andesitik, lava, batupasir tufaan dan breksi lahar. Breksi andesit umumnya melapuk sedang berwarna kuning kecoklatan, komponen batuan andesitik (4 – 45 cm) agak segar, menyudut tanggung, tertanam pada masadasar pasir tufa berbutir kasar, agak padat sebagian mudah hancur. Lava andesit umumnya melapuk ringan berwarna abu-abu tua, padu, bertekstur kasar dan porfiritik, terkekarkan cukup intensif dan terisi oleh mineral kuarsa. Batupasir tufaan umumnya melapuk sedang berwarna coklat abu-abu, berupa lapisan pasir kasar. Breksi lahar umumnya melapuk sedang, berwarna coklat tua, komponen tufa dan batuan agak segar yang berukuran pasir kasar hingga kerakal, menyudut sampai membulat tanggung, agak padu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta
terbentuk dari formasi batuan yang beragam. Terutama yang banyak ditemui adalah jenis batuan gunungapi atau Volcanic Rocks. Umur batuan relatif sama yaitu termasuk pada zaman Quaternary. VII DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi
Lembar Yogyakarta, Jawa, edisi ke-2, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Surono, B. Toha, dan I. Sudarno (1992), Peta Geologi lembar Surakarta- Giritontro, Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Verstappen, H.Th., and R.A. van Zuidam (1975) ITC-system of Geomorphological Survey. ITC Textbook of Photo-interpretation, vol. VII-2, 52 pp.