BAB II
GEOMORFOLOGI
Geomorfologi berasal dari bahasa yunani kuno, terdiri dari tiga akar kata,
yaitu Geo = bumi, morphe = bentuk dan logos = ilmu, sehingga kata geomorfologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi. Berasal
dari bahasa yang sama, kata geologi memiliki arti ilmu yang mempelajari tentang
proses terbentuknya bumi secara keseluruhan. Jadi geomorfologi adalah ilmu yang
berlangsung terhadap permukaan bumi sejak bumi terbentuk sampai sekarang (Van
Zuidam, 1985).
Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo, Sulawesi pada koordinat
yang meliputi daerah ParePare, Sidrap, Wajo, Pinrang, Enrekang, Luwu, Palopo
dan Tana Toraja, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan serta
Majene, Polmas dan Mamasa, yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi
Barat. Lembar peta geologi ini berbatasan dengan Lembar Mamuju di bagian utara,
Makassar di bagian barat dan Teluk Bone di bagian timur (Djuri dan Sudjatmiko,
1974 ; Djuri dkk, 1998). Daerah penelitian juga termasuk dalam wilayah Peta
19
20
Bujur Timur dan 3o2400 3o2800 Lintang Selatan meliputi daerah Sidrap,
Enrekang dan Pinrang yang termasuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
Sukido dkk, 1997 dalam Djuri dkk, 1998 membagi satuan geomorfologi
daerah penelitian yang terdiri dari dataran rendah (plain area), perbukitan
rendah menempati bagian barat yang memanjang hingga bagian tenggara daerah
bagian tengah dan timur daerah penelitian, serta sedikit dibagian selatan. Daerah
bergelombang lemah sampai kuat. Di bagian pesisir timur yang berbatasan dengan
Teluk Bone merupakan dataran rendah, secara umum disusun oleh alluvium.
sungai, berupa jenis sungai, pola aliran sungai, klasifikasi sungai, tipe genetik
sungai, serta stadia sungai yang terdapat pada daerah penelitian yang akhirnya dapat
interpretasi peta topografi, studi literatur yang mengacu pada teori dari beberapa
ahli yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu kesimpulan mengenai stadia
daerah penelitian.
tentang bentuk lahan. Geomorfologi juga didefinisikan sebagai ilmu tentang bentuk
didefinisikan sebagai studi yang mendeskripsi bentuk lahan dan proses serta
mencari hubungan antara bentuk lahan dan proses dalam susunan keruangannya.
Adapula pendapat dari Djauhari (2001) bahwa bentang alam (landscape) itu sendiri
lebih luas. Sedangkan bentuk lahan (landforms) adalah kompleks fisik permukaan
ataupun dekat permukaan suatu daratan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia.
tersebut meliputi proses, stadia, jenis litologi serta pengaruh struktur geologi atau
jenis batuan penyusun daerah tersebut, serta struktur geologi (Thornbury, 1969).
berubahnya batuan menjadi tanah (soil) baik oleh proses fisik atau mekanik
adanya urutan perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia yang
menjadi parameter dari tabel diatas yaitu perubahan warna, kekerasan batuan, dan
kondisi permukaan massa batuan yang dibagi menjadi 6 derajat pelapukan dari
batuan segar (fresh rock) hingga menjadi tanah residu (residual soil). Parameter
penelitian.
dikontrol oleh proses eksogen, proses endogen serta proses ekstra terrestrial
pelapukan (kimia, fisika, biologi), serta campur tangan manusia yang cenderung
23
didasarkan pada bentuk permukaan bumi yang tampak di lapangan berupa topografi
pegunungan. Adapun aspek aspek ini perlu memperhatikan parameter dari setiap
topografi seperti bentuk puncak, bentuk lembah dan bentuk lereng (Van Zuidam,
1985).
Satuan bentangalam ini menempati wilayah dengan luas sekitar 23,04 km2
atau sekitar 42 % dari luas keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan ini
Mondong pada bagian Utara-Timur Laut terdiri dari puncak Buttu Marruh di Utara,
puncak Buttu Racak di Timur Laut dan desa Matawai, Bongso, Potokullin dan
Foto 2.1 Satuan geomorfologi pegunungan struktural pada stasiun 15 daerah Buntubatu difoto ke arah N75 E
25
diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng yang relatif terjal dengan beda
tinggi 900 meter. Kenampakan topografi dari satuan ini memberikan gambaran
pola kontur yang rapat, ditandai dengan adanya bentuk puncak yang runcing,
pembentukan satuan bentangalam ini, dimana satuan bentang alam yang tersusun
oleh satuan Filit ini tersingkap ke permukaan akibat pengangkatan sesar naik. Oleh
karena itu, berdasarkan karakteristik di atas maka analisis morfologi daerah ini
proses pelapukan dan erosi. Proses pelapukan yang dijumpai berupa pelapukan
biologi dan kimia. Pelapukan biologi ditandai dengan adanya aktifitas biologi atau
organisme pada batuan tersebut. Misalnya pertumbuhan akar pohon atau aktivitas
yang pada akhirnya batuan akan mengalami disintegrasi (Foto 2.2). Sedangkan
pelapukan kimia ditandai dengan adanya perubahan warna pada batuan yang
pada litologi Filit, hal ini menandakan bahwa telah terjadi perubahan komposisi
kimia dari batuan tersebut (Foto2.3). Tingkat pelapukan pada daerah penelitian
tergolong rendah ditandai dengan ketebalan soil yang dijumpai yaitu 0,3- 1 m dan
jenis soil secara umum adalah residual soil yang terbentuk dari hasil lapukan batuan
26
dibawahnya.
Foto 2.2 Pelapukan biologi ditandai dengan tanaman yang tumbuh pada celah
batuan Filit pada stasiun 20 difoto ke arah N139o E.
Foto 2.3 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi
Filit, pada stasiun 4 difoto ke arah foto N 218E (A) dan stasiun 22
difoto ke arah N145E (B)
Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi alur (rill
erosion). Rill erosion adalah erosi yang berbentuk alur yang tidak lebih dari 50 cm
Foto 2.4 Rill erosion pada litologi Filit, pada stasiun 12 difoto ke arah N3E
Adapun tata guna lahan satuan bentang alam ini dimanfaatkan sebagai area
pemukiman dan perkebunan penduduk. Terdapat pula air terjun yang berpotensi
Satuan geomorfologi ini menempati wilayah dengan luas sekitar 31,66 km2
atau sekitar 58 % dari luas keseluruhan daerah penelitian. Penyebaran satuan ini
menempati bagian Barat yang memanjang dari Utara hingga ke Barat Daya-Selatan,
meliputi Desa Tirowali, Bontongan, Lunjen, dan Passui pada bagian Utara-Barat
terdiri dari puncak Buntu Pangalih dan Buntu Batu dan Desa Janggurara, Eranbatu
diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng yang relatif terjal dengan beda
tinggi 705 meter. Kenampakan topografi dari satuan ini memberikan gambaran
pola kontur yang relatif renggang, ditandai dengan bentuk puncak yang tumpul,
bentuk lereng landai sebagai akibat dari proses denudasional. Satuan bentangalam
erosi, gerakan tanah dan sedimentasi. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik di
atas maka analisis morfologi daerah ini merupakan pegunungan denudasional (Foto
Foto 2.6 Satuan geomorfologi pegunungan denudasional pada stasiun 6 daerah Bontongan difoto ke arah N205E
30
proses pelapukan, erosi, dan gerakan tanah. Proses pelapukan yang dijumpai berupa
pelapukan kimia dan biologi. Pelapukan kimia pada bentangalam ini ditandai
dengan adanya perubahan warna pada Batulempung yang semula berwarna merah
(Foto 2.7), hal ini disebabkan karena adanya perubahan komposisi kimia dari
A B
Foto 2.7 Pelapukan kimia yang menunjukkan perubahan warna pada litologi Batulempung
pada stasiun 27 difoto ke arah N254E (A) dan pada litologi Batugamping pada
stasiun 18 difoto ke arah N37E (B)
unsur yang ada di atmosfir langsung ke mineral-mineral pada batuan dimana reaksi
sebagai batuan segar. Kecepatan dan derajat pelapukan kimia sangat dipengaruhi
oleh curah hujan. Proses pelapukan kimia kadang-kadang diikuti juga oleh
pelapukan mekanik. Proses ini dapat terjadi pada batuan yang telah mengalami
rekahan yang teratur dan pelapukan kimia terjadi melalui rekahan tersebut.
31
Fragmen batuan yang mengalami pelapukan akan terlepas dari batuan induknya
Foto 2.8 Spheroidal weathering pada litologi Batulempung difoto ke arah N63E
Dadoke ditandai dengan adanya pertumbuhan akar pohon atau aktivitas organisme
lainnya melalui bidang-bidang lemah batuan dan memberikan tekanan yang pada
Foto 2.9 Pelapukan biologi pada litologi Batugamping pada stasiun 42 difoto
ke arah N63E
32
Tingkat pelapukan pada daerah penelitian relatif sedang sampai tinggi, yang
dapat dilihat dari ketebalan soil sekitar 1 - 2,4 meter (foto 2.10). Jenis soil secara
umum merupakan jenis residual soil yang terbentuk dari hasil lapukan batuan yang
ada dibawahnya.
Foto 2.10 Soil pada litologi Batulempung di daerah Bambak difoto ke arah
N355E
bidang/alur gully erosion yang berperan juga sebagai bidang rayapan, dimana
material lepas yang terkikis oleh air hujan, terangkut dan terakumulasi kemudian
tinggi. Pada foto 2.11 dibawah, menunjukkan gerakan tanah yang teridentifikasi
sebagai debris slide yaitu gerakan tanah melalui bidang gelincir dengan material
yang bergerak tersusun atas material tak terkonsolidasi yang terdiri dari tanah,
Foto 2.11 Debris slide pada daerah Salo Passui difoto ke arah N166E
Jenis erosi yang berkembang pada daerah penelitian berupa erosi saluran
(gully erosion). Gully erosion merupakan erosi berbentuk saluran dengan ukuran
lebar tidak lebih dari 1 meter dan telah mengalami pelebaran, berada sekitar 15
Foto 2.12 Gully erosion pada daerah Loko difoto ke arah N247E
Proses sedimentasi yang ada pada satuan morfologi ini berupa endapan sungai
seperti point bar (foto 2.13). Material penyusun point bar yaitu berangkal pasir
34
kasar.
Foto 2.13 Point bar pada daerah Salo Passui difoto ke arah N317E
pula gumuk pasir yang berpotensi sebagai tempat wisata pada daerah Buttu
Foto 2.14 Gumuk pasir pada daerah Tampang difoto ke arah N57E
35
Foto 2.15 Gumuk pasir pada daerah Buttu Pangalih difoto ke arah N166E
2.2.2 Sungai
Sungai adalah tempat air mengalir secara alamiah membentuk suatu pola
daerah penelitian yaitu Sungai Passui, terdapat dibagian Barat Laut daerah
penelitian dengan arah aliran Timur-Barat Laut, dan Sungai Bangkan yang berada
klasifikasi sungai yang didasarkan pada kandungan air yang mengalir pada tubuh
sungai sepanjang waktu. Pola aliran sungai dikontrol oleh beberapa faktor seperti
kemiringan lereng, kontrol struktur, vegetasi dan kondisi iklim. Tipe genetik
menjelaskan tentang hubungan arah aliran sungai dan kedudukan batuan. Dari hasil
pembahasan di atas maka pada akhirnya dapat dilakukan penentuan stadia sungai
daerah penelitian.
36
termasuk dalam aliran air yang mengalir di permukaan bumi membentuk sungai.
Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai (Thornbury,1969) maka jenis sungai
musim, dimana pada musim hujan debit alirannya menjadi besar dan pada
Sungai episodik, merupakan sungai yang hanya dialiri air pada musim
Berdasarkan debit air pada tubuh sungai (kuantitas air sungai), maka jenis
sungai pada daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi sungai permanen dan
sungai episodik. Sungai permanen berkembang pada sungai utama yaitu Salu Passui
(Foto 2.16), sedangkan sungai episodik berkembang pada anak-anak sungai Passui
(Foto 2.17). Jenis sungai permanen membuat keberadaan sungai ini sangat penting
bagi masyarakat setempat, karena digunakan sebagai sumber air untuk kehidupan
sehari-hari.
37
Foto 2.16 Salu Passui merupakan sungai permanen pada stasiun 33 dengan
arah aliran N 67oE, difoto ke arah N56oE
Foto 2.17 Anak sungai Passui merupakan sungai episodik pada stasiun 28
dengan arah aliran N354oE, difoto ke arah N254oE
beberapa individu sungai yang saling berhubungan membentuk suatu pola dalam
kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Perkembangan pola aliran sungai yang ada pada
daerah penelitian dikontrol oleh beberapa faktor, seperti kemiringan lereng, kontrol
38
struktur, dan stadia geomorfologi dari suatu cekungan pola aliran sungai, vegetasi
pola aliran sungai daerah penelitian termasuk dalam pola aliran dasar (basic
pattern) yaitu pola aliran yang mempunyai karakteristik khas yang bisa dibedakan
dengan pola aliran lainnya (A.D Howard, 1967 dalam van Zuidam, 1985).
Berdasarkan hal tersebut maka pada daerah penelitian termasuk dalam jenis pola
paralel. Pola aliran paralel dibentuk dari aliran cabang cabang sungai yang sejajar
atau paralel pada bentang alam yang memanjang serta mencerminkan kemiringan
Induk sungai yang mengontrol pola aliran pada daerah penelitian yaitu Salu Passui.
Penyebaran anak sungainya dari arah timur ke arah barat daya daerah penelitian.
(Gambar 2.1).
39
39
Gambar 2.1 Pola aliran sungai parallel yang berkembang pada daerah penelitian
40
Tipe genetik sungai merupakan salah satu jenis sungai yang didasarkan atas
genesanya yang merupakan hubungan antara arah aliran sungai dan terhadap
Secara umum tipe genetik sungai yang terdapat pada daerah penelitian
terdiri atas :
Tipe genetik sungai konsekuen merupakan tipe genetik sungai yang arah
aliran sungainya mengalir searah kemiringan perlapisan batuan (dip). Tipe genetik
ini dijumpai pada sungai Passui pada litologi batupasir di stasiun 48 (Foto 2.18).
Foto 2.18 Aliran sungai yang searah dengan kemiringan perlapisan pada litologi Batupasir
pada stasiun 48 difoto ke arah N56o E.
lapangan berupa profil lembah sungai, pola saluran sungai, jenis erosi yang bekerja
A.K Lobeck (1939) membagi stadia sungai kedalam tiga jenis yaitu sungai
muda (young river), dewasa (mature river), dan tua (old age river).
sungainya berupa bebatuan, dengan dinding yang sempit dan curam, terkadang
dijumpai air terjun, aliran air yang deras, dan biasa pula dijumpai potholes yaitu
lubang-lubang yang dalam dan berbentuk bundar pada dasar sungai yang
disebabkan oleh batuan yang terbawa dan terputar-putar oleh arus sungai. Selain
itu, pada sungai muda (young river) proses erosi masih berlangsung dengan kuat
karena kecepatan dan volume air yang besar dan deras yang mampu mengangkut
material-material sedimen dan diwaktu yang sama terjadi pengikisan pada saluran
sungai tersebut. Karakteristik sungai dewasa (mature river) biasanya sudah tidak
ditemukan adanya air terjun, arus air relatif sedang, dan erosi yang bekerja relatif
seimbang antara erosi vertikal dan lateral, dan sudah dijumpai sedimentasi
tua (old age river) memiliki karakteristik berupa arus sungai lemah yang disertai
dengan sedimentasi, erosi lateral mendominasi, dijumpai adanya oxbow lake atau
(Foto 2.19) pada anak sungai Passui dengan penampang yang curam dan relatif
Foto 2.19 Anak sungai Passui dengan penampang sungai berbentuk V pada
stasiun 30 difoto ke arah N68oE
Passui (Foto 2.20) dengan pola sungai yang relatif lurus dan kadang berkelok.
Foto 2.20 Sungai Passui dengan penampang sungai berbentuk U pada stasiun
14 difoto ke arah N 76oE
lateral (Foto 2.21), umumnya terjadi pada lereng-lereng bukit yang membentuk
Foto 2.21 Hasil dari proses erosi lateral yang memperlihatkan dinding sungai
berupa bebatuan dan arus yang deras yang mengangkut material
berukuran bongkah hingga kerikil pada sungai Passui difoto arah
N237oE
Sedangkan erosi vertikal lebih dominan bekerja pada daerah yang memiliki
kemiringan lereng yang relatif besar yang umumnya terjadi pada litologi Filit, hal
sungai akibat aktivitas arus sungai. Dijumpai pula adanya proses sedimentasi yang
ditandai dengan adanya endapan sungai berukuran bongkah hingga pasir pada point
bahwa stadia sungai pada daerah penelitian mengarah kepada stadia sungai muda
menjelang dewasa.
bentuk permukaan bumi yang dihasilkan dan didasarkan pada siklus erosi dan
pelapukan yang bekerja pada suatu daerah mulai saat terangkatnya hingga pada
Pada daerah penelitian proses erosi terjadi secara lateral dan vertikal yang
menghasilkan profil sungai. Selain proses erosi juga terjadi proses sedimentasi yang
pegunungan.
Proses erosi pada daerah penelitian dapat dilihat dari bentuk penampang
adanya bidang-bidang erosi berupa erosi rill pada daerah pegunungan struktural,
erosi gully pada daerah pegunungan denudasional. Jenis erosi yang terjadi pada
satuan morfologi tersebut berupa erosi lateral dan erosi vertikal yang bekerja
point bar. Jenis sungainya berupa permanen dan episodik, penampang sungai pada
45
berbentuk V dan U. Pada daerah penelitian dijumpai pola saluran yang lurus
dan sebagian berkelok. Tingkat pelapukan pada daerah penelitian mengalami lapuk
rendah hingga membentuk tanah residual. Jenis pelapukan yang terjadi adalah
pelapukan kimia dan biologi. Vegetasi relatif sedang sampai tinggi dengan tata
atau ciri-ciri bentukan alam yang dijumpai di lapangan maka stadia daerah