Anda di halaman 1dari 18

75

BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4.1 Struktur Geologi Regional

Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena

merupakan tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu; lempeng Indo-Australia

yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan

lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng yang lebih

kecil yaitu lempeng Filipina (Sompotan, 2012).

Pergerakan lempeng-lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya

struktur perlipatan dan pensesaran antara lain sesar mendatar mengiri Palu-Koro

yang memisahkan Laut Sulawesi dan Selat Makassar dan diperkirakan masih aktif

sampai sekarang dan telah bergeser sejauh 750 kilometer (Tjia dan Zakaria,1973

dalam Djuri, dkk., 1998).

Menurut Sukamto (1975) dalam Hall dan Wilson (2000) Sulawesi dibagi

menjadi beberapa provinsi tektonik, dari barat ke timur ; Busur Pluton-Vulkanik

Sulawesi Barat, Lajur Metamorphic Sulawesi Tengah, Ofiolit Sulawesi Timur dan

Mikro-kontinen Banggai Sula dan Buton - Tukang Besi (Gambar 4.1).

Menurut Sompotan (2012) berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan

pulau-pulau sekitarnya dibagi menjadi empat, yaitu ; Mandala barat (West &

North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan

bagian ujung timur Paparan Sunda, Mandala tengah (Central Sulawesi

Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh

sebagai bagian dari blok Australia, Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt)

75
76

berupa ofiolit yang merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan

batuan sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen Benua

Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara Sulawesi yang

merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena sesar strike-slip

fault dari New Guinea.

Daerah penelitian terpetakan dalam Lembar Majene dan bagian barat

palopo yang termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Barat (Sukamto, 1975

dalam Djuri, 1998). Mandala ini dicirikan oleh batuan sedimen laut dalam

berumur Kapur – Paleogen yang kemudian berkembang menjadi batuan

gunungapi bawah laut dan akhirnya gunungapi darat di akhir Tersier. Batuan

terobosan granitan berumur Miosen – Pliosen juga mencirikan mandala ini.

Sejarah tektoniknya dapat diuraikan mulai dari zaman Kapur, yaitu saat Mandala

Geologi Sulawesi Timur bergerak ke Barat mengikuti gerakan tunjaman landai ke

barat di bagian timur Mandala Sulawesi Barat. Penunjaman ini berlangsung

hingga hingga Miosen Tengah, saat kedua mandala tersebut bersatu pada akhir

Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi pengendapan sedimen molase secara tak

selaras di atas seluruh mandala geologi di Sulawesi, serta terjadi terobosan batuan

granitan di Mandala Geologi Sulawesi Barat (Djuri, dkk., 1998).

Menurut Sompotan (2012) selama proses penunjaman terjadi pula

pengangkatan di seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen Tengah,

membentuk sesar turun (block faulting) di berbagai tempat membentuk cekungan-

cekungan berbentuk graben. Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh block

faulting dan sesar utama seperti sesar Palu-Koro tetap aktif. Peristiwa tektonik
77

menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit di beberapa tempat dan beberapa

cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar terendapkan di cekungan-cekungan

ini dan membentuk Molase.

Gambar 4.1 Peta geologi Sulawesi dan tatanan tektoniknya (Hall & Wilson, 2000)

Pada Plio-Pliosen seluruh daerah Sulawesi terdeformasi. Di daerah

pemetaan deformasi ini diduga telah mengakibatkan terbentuknya lipatan dengan

sumbu berarah barat laut – tenggara, serta sesar naik dengan bidang sesar miring

ke timur. Setelah itu seluruh daerah Sulawesi terangkat dan membentuk bentang

alam seperti sekarang ini (Sukamto, 1975 dalam Djuri, dkk., 1998).
78

Arah gerak sesar Palu-koro memperlihatkan kesamaan gerak dengan jalur

sesar Matano dan jalur sesar Sorong dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan

arah sesar yang konsekuen terhadap Mandala Banggai-Sula. Hal ini

memperlihatkan bahwa terdapat pemampatan mendatar yang disebabkan oleh

Mandala Banggai-Sula yang bergerak ke arah barat, kemudian akibat lempeng

Asia yang bergerak dari arah Baratlaut menyebabkan terbentuknya jalur

penunjaman Sulawesi Utara sehingga pergerakan dari sesar Palu-Koro makin aktif

(Simandjuntak, 1986 dalam Djuri, dkk., 1998).

4.2 Struktur Geologi Daerah Penelitian

Pembahasan tentang struktur geologi daerah penelitian menjelaskan

tentang pola struktur geologi, identifikasi jenis struktur, umur dari struktur yang

dihubungkan dengan stratigrafi daerah penelitian dan interpretasi mekanisme gaya

yang menyebabkan terjadinya struktur pada daerah penelitian. Penentuan struktur

geologi didasarkan pada data yang diperoleh berupa data yang bersifat primer

maupun sekunder dan interpretasi pada peta topografi daerah penelitian.

Berdasarkan pengamatan di lapangan maka diperoleh data penciri struktur

geologi seperti breksi sesar dan data kekar. Struktur geologi yang berkembang

pada daerah penelitian berdasarkan penciri struktur yang dijumpai di lapangan

adalah :

1. Struktur lipatan

2. Struktur kekar

3. Struktur sesar
79

4.2.1 Struktur Lipatan

Lipatan adalah suatu bentuk dari satuan yang terjadi pada batuan sedimen,

batuan metamorf serta batuan-batuan gunungapi yang ditunjukkan dengan suatu

bentuk pelengkungan yang bergelombang (Billings, 1968). Lipatan merupakan

suatu bentuk distorsi dari volume material yang ditunjukan dalam bentuk

pelengkungan atau sekumpulan lengkungan pada suatu unsur garis dan bidang

(Hansen, 1971 dalam Ragan, 1973).

Bentuk pelengkungan yang terjadi pada suatu benda atau material tersebut

disebabkan oleh dua mekanisme menurut Asikin (1979), yaitu buckling dan

bending.

- Buckling (melipat) adalah perlipatan yang disebabkan gaya tekanan yang

arahnya sejajar permukaan lempeng.

- Bending (pelengkungan) adalah pelengkungan yang arah gayanya tegak lurus

permukaan lempeng.

Gejala struktur lipatan pada suatu daerah penelitian dapat dikenali dengan

melihat variasi kedudukan dan foliasi batuan, kemudian direkonstruksi dengan

menggunakan penampang sayatan untuk melihat kondisi perlipatan (Billings,

1968). Hal ini dilakukan untuk mengenali jenis lipatan yang berkembang pada

daerah penelitian dengan melakukan korelasi antara kedudukan batuan yang satu

dengan kedudukan batuan yang lain sehingga dapat diketahui hubungan antara

perlapisan batuan dan jenis lipatannya. Berdasarkan hasil pengamatan dan

pengukuran yang dilakukan di lapangan maka dapat diintepretasikan bahwa

struktur lipatan yang terdapat pada daerah penelitian berupa lipatan minor yaitu
80

lipatan seretan (drag fold) di daerah Rumbia dan lipatan sinklin di pinggir sungai

Passui sekitar 300 m dari stasiun 14.

Foto 4.1 Lipatan minor berupa lipatan seretan (drag fold) pada litologi
Batulempung pada stasiun 19 difoto ke arah N 77°E

Foto 4.2 Lipatan minor berupa sinklin pada litologi Batulempung pada sekitar
stasiun 14 difoto ke arah N 47°E

4.2.2 Kekar

Kekar merupakan rekahan pada batuan dimana tidak ada atau sedikit

sekali mengalami pergeseran (Billings, 1968). Penentuan jenis kekar pada daerah

penelitian didasarkan pada bentuk dan genetikanya. Kekar yang dijumpai di


81

lapangan diidentifikasi dengan melakukan pengukuran terhadap kedudukan kekar,

posisi kekar pada batuan, serta pengambilan foto kenampakan kekar tersebut.

Berdasarkan bentuknya, klasifikasi kekar Menurut Asikin (1979), terdiri

dari kekar sistematik dan tidak sistematik, adalah :

1. Kekar Sistematik yaitu kekar yang umumnya selalu dijumpai dalam bentuk

pasangan. Tiap pasangannya ditandai oleh arahnya yang serba sejajar atau

hampir sejajar jika dilihat dari kenampakan di atas permukaan.

2. Kekar Tidak Sistematik yaitu kekar yang tidak teratur susunannya, dan

biasanya tidak memotong kekar yang lainnya dan permukaannya selalu

lengkung dan berakhir pada bidang perlapisan.

Pengelompokan kekar berdasarkan genetiknya terdiri atas :

1. Compression Joints atau Kekar Gerus yaitu kekar yang diakibatkan oleh

adanya tekanan biasanya dikenal juga dengan shear joint.

2. Extention Joints atau kekar tarik merupakan kekar yang diakibatkan oleh

tarikan, terbagi atas dua jenis yaitu:

 Extension joints yaitu kekar yang disebabkan oleh tarikan / pemekaran.

 Release Joints yaitu kekar yang disebabkan karena berhentinya gaya

bekerja.

Berdasarkan bentuknya di lapangan, kekar yang dijumpai pada daerah

penelitian berupa kekar sistematik karena menunjukkan kenampakan yang relatif

teratur dan memotong kekar yang lainnya. Kekar sistematik pada daerah

penelitian dijumpai pada litologi batulempung di daerah Passui pada stasiun 10


82

(Foto 4.3) dan di pinggiran sungai Passui pada stasiun 48 (Foto 4.4). Kedua kekar

tersebut secara

genetik merupakan kekar gerus atau shear joint.

Foto 4.3 Kekar sistematis pada litologi Batulempung pada stasiun 10 difoto
ke arah N 220oE

Foto 4.4 Kekar sistematis pada litologi Batulempung pada stasiun 48 difoto
ke arah N 36oE

Untuk menentukan arah tegasan utama yang bekerja dan mengontrol

struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian maka dilakukan


83

pengambilan data kekar berupa pengukuran kedudukan sebanyak 50 kali pada

stasiun 10 (tabel 4.1) dan 30 kali (tabel 4.2) pada stasiun 48. Pengambilan sampel

kekar sebanyak ini dilakukan agar data kekar yang telah diukur dapat mewakili

singkapan yang dijumpai. Semakin banyak pasangan kekar yang diukur, maka

akan semakin mewakili populasi kekar pada setiap singkapan. Setelah itu,

dilakukan analisis data kekar menggunakan aplikasi dips. Adapun hasil analisa

data kekar tersebut sebagai berikut.

Tabel 4.1 Data pengukuran kekar pada batulempung pada stasiun 10

Strike/dip Strike/dip Strike/dip Strike/dip


No No No No
(N...OE/) (N...OE/) (N...OE/) (N...OE/)
1 86/70 14 79/67 27 176/55 40 85/38
2 96/63 15 81/61 28 176/54 41 118/62
3 75/64 16 221/63 29 202/63 42 123/66
4 87/53 17 228/70 30 188/66 43 132/61
5 321/67 18 204/68 31 178/68 44 97/55
6 332/70 19 190/66 32 95/44 45 63/41
7 75/69 20 192/61 33 96/60 46 141/62
8 97/67 21 188/63 34 97/44 47 141/68
9 213/72 22 178/67 35 101/53 48 143/46
10 202/70 23 201/68 36 105/71 49 151/54
11 188/66 24 189/66 37 112/56 50 155/37
12 183/64 25 178/53 38 112/66
13 177/63 26 73/58 39 88/32

Hasil pengukuran kekar pada litologi batulempung pada stasiun 10

diperoleh kedudukan umum kekar yang berarah relatif timur laut-barat daya

(N92°E – N 1840E), kemiringan bidang kekar berkisar antara 60 °-63°, panjang

kekar 2,3 meter, spasi kekar (1-9 cm), bukaan kekar (0,1-2 cm), tingkat pelapukan

tinggi, dengan permukaan yang licin. Kemudian dilakukan analisa dengan

menggunakan aplikasi Dips untuk menentukan arah tegasannya. Hasil analisa data
84

dengan menggunakan proyeksi dips diperoleh tegasan utama maksimum (σ1) N

184°E/63, tegasan utama menengah (2) N92°E/60° dan tegasan utama minimum

(3) N312°E/37° (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Proyeksi stereografi berdasarkan data kekar pada litologi batulempung pada
stasiun 10 di daerah Rumbia

Tabel 4.2 Data pengukuran kekar pada batulempung pada stasiun 48

Strike/dip Strike/dip Strike/dip


No No No
(N...OE/) (N...OE/) (N...OE/)
1 95/44 11 344/48 21 325/35
2 96/60 12 289/67 22 281/42
3 97/44 13 195/48 23 286/34
4 101/53 14 290/59 24 280/54
5 105/71 15 284/68 25 235/56
6 112/56 16 221/61 26 221/42
7 112/66 17 319/67 27 134/51
8 118/32 18 300/76 28 221/34
9 118/32 19 313/67 29 321/53
10 118/62 20 260/44 30 235/32

Hasil pengukuran kekar pada batulempung pada stasiun 48 diperoleh

kedudukan umum kekar yang berarah relatif Utara Timurlaut – Selatan

Baratdaya (N69°E – N1500E), kemiringan bidang kekar berkisar antara 65 °-68°,

panjang kekar 2,3 meter, spasi kekar (1-9 cm), bukaan kekar (0,1-2 cm), tingkat
85

pelapukan tinggi, dengan permukaan yang licin. Kemudian dilakukan analisa

dengan menggunakan aplikasi Dips untuk menentukan arah tegasannya. Hasil

analisa data dengan menggunakan proyeksi dips diperoleh tegasan utama

maksimum (σ1) N150°E/68, tegasan utama menengah (2) N69°E/65° dan tegasan

utama minimum (3) N282°E/29° (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Proyeksi stereografi berdasarkan data kekar pada litologi batulempung pada
stasiun 48 pada Salu Passui

4.2.3 Sesar

Sesar atau patahan adalah suatu bidang rekahan atau zona rekahan yang

telah mengalami pergeseran (Ragan, 1976). Pergeseran yang terjadi menyebabkan

adanya perpindahan bagian-bagian dari blok-blok yang berhadapan sepanjang

bidang patahan tersebut. Berdasarkan teori kekandasan batuan, bahwa batuan akan

pecah bila melampaui batas plastisnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa

terjadinya struktur sesar akibat berlanjutnya gaya kompresi yang membentuk

struktur geologi sebelumnya.

Sedangkan menurut Sukendar Azikin (1979), sesar atau fault merupakan

rekahan pada batuan yang telah mengalami pergeseran sehingga terjadi


86

perpindahan antara bagian yang saling berhadapan, dengan arah yang sejajar

dengan bidang patahan.

Anderson 1951 dalam Mc. Clay, 1987, membuat klasifikasi sesar

berdasarkan pada pola tegasan utama sebagai penyebab terbentuknya sesar.

Berdasarkan pola tegasannya ada 3 (tiga) jenis sesar, yaitu sesar naik (thrust

fault), sesar normal (normal fault) dan sesar mendatar (wrench fault).

1. Normal fault, jika tegasan utama atau tegasan maksimum (σ1) posisinya

vertikal.

2. Wrench fault, jika tegasan menengah atau intermediate (σ2) posisinya vertikal.

3. Thrust fault, jika tegasan minimum (σ3) posisinya vertikal.

Penentuan struktur sesar yang berkembang di daerah penelitian

berdasarkan pada data-data yang dijumpai di lapangan baik yang bersifat primer

maupun sekunder berupa perubahan kedudukan batuan, pergeseran batas litologi,

breksi sesar, arah breksiasi, serta interpretasi pada peta topografi berupa pelurusan

kontur, kelokan sungai secara tiba-tiba, arah pelurusan topografi serta

perbandingan kerapatan kontur. Data yang didapatkan dilapangan kemudian

dipadukan dengan hasil interpretasi peta topografi dan hasil analisis arah tegasan

utama yang bekerja di daerah penelitian dengan menggunakan proyeksi stereonet.

Selain itu identifikasi struktur tetap mengacu terhadap setting tektonik regional

daerah penelitian.

Berdasarkan hal tersebut, maka struktur sesar yang berkembang pada

daerah penelitian adalah sesar geser dan sesar naik. Untuk mempermudah
87

pembahasan maka sesar ini diberi nama belakang berdasarkan nama geografis

daerah yang dilalui sesar tersebut.

4.2.3.1 Sesar Geser Bontongan

Sesar geser Bontongan memanjang dari arah Barat laut-Timur laut.

Penentuan struktur sesar yang berkembang pada daerah penelitian didasarkan

pada

keterdapatan data-data primer dan data-sekunder sebagai penunjang, yaitu :

1. Breksi sesar yang dijumpai pada sekitar stasiun 10 pada litologi batugamping

dengan arah breksiasi N 163°E (Foto 4.5)

2. Perubahan kedudukan batuan pada litologi batulempung

3. Lipatan Drag fold stasiun 19 pada litologi batulempung (Foto 4.1)

4. Pelurusan Sungai Passui yang relatif memanjang dari arah timur – barat laut.

Dijumpai pula kekar di stasiun 10 dan stasiun 48 pada litologi

batulempung dengan arah relatif tegasan utama timur laut-barat daya. Berdasarkan

hal tersebut dan pengolahan data kekar, maka diinterpretasikan terdapat sesar

geser dengan tegasan utama berarah timur-barat laut pada daerah penelitian. Sesar

geser ini melewati daerah Bontongan sehingga dinamakan sesar geser Bontongan.

Sesar geser Bontongan ini menempati satuan batulempung dan satuan filit,

sehingga dapat

disimpulkan sesar ini terbentuk setelah semua batuan terbentuk.


88

Foto 4.5 Breksi sesar pada litologi batugamping stasiun 10 difoto ke arah N178oE

4.2.3.2 Sesar Naik Katangka

Sesar naik terjadi apabila hanging wall relatif bergerak naik terhadap foot

wall. Berdasarkan sistem tegasan pembentuk sesarnya, posisi tegasan utama dan

tegasan minimum adalah horizontal dan tegasan menengah adalah vertikal.

Pembentukan sesar naik selalu berasosiasi dengan pembentukan lipatan, oleh

karenanya pola lipatan dan sesar naik yang terbentuk relatif bersamaan dinamakan

sebagai lipatan anjakan (Thrust fold belt atau Fold thrust belt) (Lowell, 1985).

Gambar 4.4 Arah tegasan yang bekerja pada patahan (Anderson, 1951) dalam
Mc. Clay (1987)

Sesar naik Katangka memanjang dari arah Utara Barat Laut – Selatan

Meneggara. Penentuan struktur sesar yang berkembang pada daerah penelitian


89

didasarkan pada keterdapatan data-data primer dan data-sekunder sebagai

penunjang, yaitu :

1. Memperlihatkan adanya pola kontur yang rapat dan adanya batuan tua

(filit)

yang tersingkap dipermukaan

2. Pada lokasi penelitian banyak dijumpai air terjun dengan ketinggian

berkisar 5-30 meter.

Foto 4.6 Air terjun pada litologi filit stasiun 31 difoto ke arah N 82°E
90

4.3 Mekanisme Struktur Geologi Daerah Penelitian

Mekanisme pembentukan struktur geologi pada daerah penelitian

didasarkan pada pendekatan teori Reidel (dalam McClay 1987) yang merupakan

modifikasi dari teori Harding 1974 (gambar 4.5) serta penggabungan dengan data

hasil analisis kekar dan penciri sesar yang dijumpai di lapangan. Pembentukan

struktur geologi pada daerah penelitian sangat erat hubungannya dengan struktur

regional. Gaya yang bekerja pada pembentukan struktur secara regional

mengakibatkan gaya imbas yang menghasilkan arah gaya secara lokal sehingga

menyebabkan terbentuknya struktur geologi pada daerah penelitian. Berdasarkan

hal tersebut maka dapat diketahui bahwa mekanisme pembentukan struktur

geologi yang terdapat pada daerah penelitian terjadi dalam tiga periode. Adapun

penjelasannya akan diuraikan sebagai berikut.

Gambar 4.5 Mekanisme terjadinya sesar berdasarkan


Model Reidel dalam Mc.Clay (1987)

Pada periode pertama, pada zaman Kapur Akhir setelah terbentuknya filit,

dimana aktivitas tektonik yang berlangsung pada kala ini mengakibatkan adanya
91

suatu hasil gaya kompresi yang menyebabkan batuan pada daerah penelitian

mengalami deformasi membentuk lipatan sinklin maupun lipatan – lipatan minor.

Kemudian gaya tersebut terus bekerja sehingga menyebabkan batas elastisitas

batuan yang berada pada daerah penelitian terlampaui dan mengakibatkan batuan

tersebut mengalami fase deformasi plastis sehingga batuan akan mengalami

patahan membentuk sesar naik Katangka.

Periode kedua terjadi pada kala Eosen Akhir diawali oleh kegiatan

tektonik secara regional akibat gaya kompresi yang berarah timur laut – barat

daya menghasilkan tegasan utama maksimum (σ1) yang berarah N 184oE, gaya

kompresi tersebut terus bekerja hingga melampaui batas elastisitas batuan,

sehingga mengakibatkan batuan mengalami fase deformasi plastis sehingga

terbentuknya kekar gerus pada batuan. Selanjutnya tekanan pada batuan terus

meningkat sehingga batuan mencapai fase deformasi plastis, dimana rekahan pada

batuan mengalami pergeseran menghasilkan sesar geser Bontongan yang sifatnya

Dextral (Gambar 4.6).

Penentuan umur struktur geologi daerah penelitian ditentukan secara

relatif melalui pendekatan umur satuan batuan termuda yang dilewati. Struktur

sesar naik Katangka dan sesar geser Bontongan melewati Satuan filit dan Satuan

batulempung sehingga dapat disimpulkan bahwa umur relatif dari sesar naik

Katangka dan sesar geser Bontongan adalah post Eosen.


TEORI REIDEL MEKANISME PEMBENTUKAN SESAR DAERAH PENELITIAN
DALAM MC CLAY (1987) TAHAP I TAHAP II

σ 3

N
FA
U
LT
S
σ1
TE
NS
IO
R2
EX
TH

P
RU
ST
FA
UL
TS

R1
R1

P
TH
RU
ST
FA
UL
TS

R2 FA
U
LT
S

N
IO
NS
TE
EX

σ1
σ
3
92

Gambar 4.6 Mekanisme pembentukan struktur geologi daerah penelitian, menunjukkan


gaya kompresi yang berarah timurlaut - baratdaya

Anda mungkin juga menyukai