Anda di halaman 1dari 21

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1. Geomorfologi
Parameter dalam klasifikasi geomorfologi dapat ditentukan dari beberapa aspek
yaitu, arah aliran sungai dan geomorfologi yang berbeda seperti, morfometri,
morfografi, dan morfogenesa. Analisis geomorfik dilakukan dengan mengolah data
DEMNAS yang diinterpretasikan dan dilanjutkan dengan validasi data lapangan
untuk mendapatkan data morfometri, morfografi, dan morfogenesa. Hasil
interpretasi dan analisis tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi
Van Zuidam (1985).

III.1.1. Morfometri
Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985) morfometri daerah penelitian dapat
dibagi menjadi lima klasifikasi (Tabel III.1).

Tabel III. 1. Klasifikasi Van Zuidam (1985).1


Klasifikasi Kemiringan Lereng
Lereng Datar 0-2%
Lereng Sangat Landai 3-7%
Lereng Landai 8-13%
Lereng Agak Curam 14-20%
Lereng Curam 21-55%

Morfometri pada daerah penelitian dibagi menjadi 5 kelas lereng yaitu dari datar-
curam. Terlihat dari peta (Gambar III.1) daerah penelitian berdominasi dengan
warna hijau tua, hujau muda, kuning, jingga, dan merah. Pada daerah yang
berwarna hijau tua terletak dibagian timurlaut menunjukan bahwa daerah tersebut
masuk ke dalam dataran. Pada daerah yang berwarna hijau muda sampai kuning
berada ditengah daerah penelitan menunjukan bahwa daerah tersebut masuk ke
dalam lereng sangat landai-lereng landai. Pada daerah yang berwarna jingga sampai
merah yang terletak dibagian baratlaut dan tenggara lokasi penelitian menunjukan
bahwa daerah tersebut masuk ke dalam lereng agak curam-lereng curam.

11
Gambar III. 1. Peta morfografi daerah penelitian.
III.1.2. Morfografi
Morfografi pada daerah penelitian memiliki elevasi yang berbeda-beda. Elevasi
tertinggi berada pada kontur 425 m dan yang paling rendah 112,5 m. Daerah
penelitian dapat diklasifikasikan menjadi morfografi Perbukitan Rendah, berada
pada bagian tengah daerah lokasi penelitian yang ditandai dengan warna kuning.
Morfografi Perbukitan berada pada bagian ujung baratlaut dan tenggara ditandai
dengan warna merah (Gambar III.2.).

12
Gambar III. 2.Peta morfografi daerah penelitian.

III.1.3. Pola Aliran Sungai


Pola aliran sungai terbentuk akibat adanya proses erosi dan tektonik. Proses tersebut
menghasilkan bentuk lembah sebagai tempat pengaliran air yang membentuk pola-
pola tertentu. Sistem pengaliran yang berkembang pada permukaan bumi secara
regional dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis batuan, ketebalan lapisan batuan,
struktur geologi, kerapatan vegetasi, dan kondisi iklim. Berdasarkan hasil
interpretasi, pola aliran sungai yang berkembang pada daerah penelitian dapat
dibagi menjadi 2 pola aliran sungai, yaitu pola aliran sub-paralel dan pola aliran
sub-dendritik berdasarkan klasifikasi A.D. Howard (1976) dalam Van Zuidam
(1985).
III.1.3.1. Pola Aliran Sungai Sub-dendritik
Pola aliran sungai sub-dendritik adalah jenis aliran sungai yang membentuk
percabangan menyebar seperti pohon rindang. Aliran sungai ini dapat mengikuti
kemiringan lereng dengan tipe batuan yang homogen dan berada pada lembah
berbentuk U. Pola aliran sungai ini tersebar pada daerah penelitian yang berada di
bagian utara, tepatnya di Desa Margosari, Banyuwangi, Madaraya, Sumber
Bandung, Giri Tunggal, dan Fajar Mulia (Gambar III.3).

13
III.1.3.2. Pola Aliran Sungai Sub-paralel
Pola aliran sub-paralel dapat ditandai dengan daerah yang memiliki lereng landai,
bentuk lahan dataran, dan memiliki bentuk lembah U-V. Pola aliran sungai ini
tersebar pada daerah penelitian di bagian selatan, tepatnya di Desa Kamilin, Banjar
Gung Ilir, Fajar Baru, Sinar Mulya, dan Banjarejo (Gambar III.3).

Gambar III. 3. Peta pola aliran sungai daerah penelitian.

III.1.4. Satuan Geomorfologi


Satuan geomorfologi pada daerah penelitian dapat dikasifikasikan berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam (1985). Pada daerah penelitian geomorfologi dapat dibagi
menjadi dua satuan, yaitu Dataran Denudasional Landai dan Perbukitan
Denudasional Agak Curam (Gambar III.8 / Lampiran.1).
III.1.4.1. Dataran Denudasional Landai
Satuan geomorfologi dataran denudasional landai (D.1) memiliki kemiringan
lereng 8-13% (lereng landai) dengan ketinggian elevasi 100-200 m, satuan ini
menempati sekitar 60% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Pada peta
geomorfologi satuan ini ditandai dengan warna coklat muda. Litologi batuan yang
dijumpai pada daerah ini berupa tuf dan filit dengan pola aliran sungai sub-paralel
berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985). Ditinjau dari aspek morfogenetik

14
satuan dataran denudasional ini terbentuk akibat gaya endogen berupa vulkanisme
dan tektonisme, sehingga bentuk lahan di daerah penelitian terdapat kekar dan
kemiringan lapisan batuan. Gaya eksogen yang bekerja pada satuan ini berupa erosi
dan pelapukan yang cukup tinggi. Lapisan tanah yang cukup tebal dan batuan yang
ditemukan memiliki kondisi segar sampai lapuk merupakan bukti dari proses
eksogen yang terjadi. Tata guna lahan pada satuan ini digunakan sebagai daerah
perkebunan, sawah, dan pemukiman (Gambar III.4).

Gambar III. 4. Dataran Denudasional Landai.

III.1.4.2. Perbukitan Denudasional Agak Curam


Satuan geomorfologi perbukitan denudasional agak curam (D.2) memiliki
kemiringan lereng 14-20% (lereng agak curam) dengan ketinggian elevasi 200-500
m. Satuan ini menempati sekitar 40% dari luas keseluruhan daerah penelitian. Pada
peta geomorfologi satuan ini ditandai dengan warna coklat tua. Litologi batuan
yang dijumpai pada daerah ini berupa kuarsit, sekis, filit, dan tuf. dengan pola aliran
sungai sub-dendritik berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985). Ditinjau dari
aspek morfogenetik satuan perbukitan denudasional ini terbentuk akibat gaya
endogen barupa vulkanisme dan tektonisme, sehingga bentuk lahan di daerah

15
penelitian terdapat kekar dan kemiringan lapisan batuan. Gaya eksogen yang
bekerja pada satuan ini berupa pelapukan dan erosi yang cukup tinggi. Lapisan
tanah yang cukup tebal dan batuan yang ditemukan memiliki kondisi segar sampai
lapuk merupakan bukti dari proses eksogen yang terjadi. Tata guna lahan pada
satuan ini digunakan sebagai daerah sawah dan perkebunan (Gambar III.5).

Gambar III. 5. Perbukitan Denudasional Agak Curam.

III.1.5. Tahapan Geomorfik


Berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat dua tahapan geomorfik pada daerah
penelitian yaitu, Tahapan Geomorfik Dewasa Dan Tahapan Geomorfik Muda.
Tahapan geomorfik dewasa dicirikan dengan bentuk sungai yang berkelok, terdapat
point bar disisi aliran sungai yang menandakan proses sedimentasi, dan lembah
sungai berbentuk U menempati sekitar 77% luas daerah penelitian (Gambar III.6).
Pada tahapan geomorfik muda bentuk lahan pada tahapan ini tidak berubah dari
bentuk lahan aslinya. Terdapat perbukitan dengan lereng cenderung curam, lembah
sungai berbentuk V, bentuk sungai yang lurus, dan erosi aliran sungai secara
vertikal. Menempati 23% luas daerah penelitian yang terletak pada bagian timurlaut
dan tenggara (Gambar III.7).

16
Gambar III. 6. Bentuk sungai lembah U.

Gambar III. 7. Bentuk sungai lembah V

17
Gambar III. 8. Peta Geomorfologi daerah penelitan.

III.2. Stratigrafi
Stratigrafi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan
dan analisis sayatan tipis. Terdapat 46 pos pengamatan petrologi, 5 pos pengamatan
petrografi, dan 3 pos pengamatan struktur (Lampiran 2). Data yang diperoleh
kemudian disetarakan dengan Peta Geologi Regional Lembar Kotaagung (Amin.,
dkk 1993). Urutan batuan tersusun dari tua ke muda sebagai berikut (Tabel III.2).

18
Tabel III. 2. Kolom stratigrafi daerah penelitian.

III.2.1. Satuan Kuarsit


Satuan Kuarsit berada di sebelah baratlaut lokasi daerah penelitian. Satuan ini
merupakan bagian dari Kompleks Gunungkasih (Pzg). Singkapan yang di temukan
pada lapangan memiliki kenampakan warna putih kecoklatan sampai kemerahan,
tidak bereaksi terhadap HCl, struktur non foliasi, dan komposisi mineral berupa
kuarsa (Gambar III.9). Tidak ditemukan kemiringan lapisan serta singkapan batuan
ditemukan di daerah perbukitan. Pada peta geologi satuan ini ditandai dengan warna
ungu tua.

19
Gambar III. 9. Singkapan kuarsit.
Berdasarkan pengamatan mikroskopis singkapan batuan kuarsit dilakukan pada
perbesaran okuler 10x dan perbesaran objektif 4x. Pada pengamatan ini didapatkan
warna abu-abu pada PPL dan warna abu-abu kehitaman pada XPL. Batuan ini
tersusun atas mineral kuarsa (8A) 97% dan opak(1B) 3%. Satuan batuan ini
memiliki struktur non foliasi, tekstur granoblastik, dan kondisi batuan yang segar
(Gambar III.10).

Gambar III. 10. Sayatan petrografi kuarsit.

Satuan kuarsit menempati sekitar 13,5% dari luas total daerah penelitian, terbentuk
akibat dari proses metamorfisme kontak, dengan dugaan protolit batupasir kuarsa.

20
Batupasir kuarsa mengalami proses metamorfisme kontak sehingga mengubah
tekstur dan struktur mineral menjadi batuan metamorf kuarsit.
III.2.2. Satuan Sekis
Satuan Sekis berada di utara daerah lokasi penelitian. Satuan ini merupakan bagian
dari batuan malihan pada Kompleks Gunungkasih (Pzg). Satuan sekis dapat
ditemukan pada daerah perbukitan dan juga tepi Sungai Way Waya. Pada saat
ditemukan, singkapan sekis memiliki warna abu-abu kehijauan dengan kondisi
segar sampai lapuk, tekstur lepidoblastik, dan struktur foliasi (Gambar III.11). Arah
foliasi pada singkapan ini ialah N183°E/32°, serta satuan ini ditandai dengan warna
ungu pada peta geologi.

Gambar III. 11. Singkapan sekis.

Berdasarkan analisis petrografi, pengamatan batuan ini dilakukan menggunakan


mikroskop dengan perbesaran okuler 10x dan perbesaran objektif 4x. pada
pengamatan PPL didapatkan warna abu-abu kehijauan, dan warna abu-abu
kehitaman pada pengamatan XPL. Batuan ini tersusun atas mineral kuarsa (3H)
46%, klorit (8H, I) 40%, opak (1B) 4%, dan biotit (9B) 10% (Gambar III.12).

21
Gambar III. 12. Sayatan petrografi sekis.

Satuan sekis menempati sekitar 9% dari luas total daerah penelitian, terbentuk
akibat dari proses metamorfisme regional, dengan dugaan protolit batupasir halus.
Batupasir halus mengalami proses metamorfisme regional sehingga mengubah
tekstur dan struktur mineral menjadi batuan metamorf sekis.

III.2.3. Satuan Filit


Satuan Filit berada di tenggara daerah penelitian yaitu pada Gunung Tembilangbesi.
Satuan ini merupakan batuan malihan dari Kompleks Gunungkasih (Pzg). Pada saat
di lapangan singkapan filit memiliki warna kehijauan, kondisi segar- lapuk, struktur
foliasi, tekstur lepidoblastik (Gambar III.13). Pada peta geologi satuan ini ditandai
dengan warna ungu muda.

Gambar III. 13. Singkapan filit.

22
Berdasarkan analisis petrografi, pengamatan batuan ini dilakukan menggunakan
mikroskop dengan perbesaran okuler 10x dan perbesaran objektif 4x. Pada
pengamatan PPL didapatkan warna putih kecoklatan dan warna abu-abu kecoklatan
pada XPL. Batuan ini tersusun atas mineral kuarsa (1H) 65%, biotit (8,9B) 22%,
muskovit (4G) 10%, dan piroksen (5I) 3% (Gambar III.14).

Gambar III. 14. Sayatan petrografi filit.

Satuan filit menempati sekitar 16,5% dari luas total daerah penelitian, terbentuk
akibat dari proses metamorfisme regional, dengan dugaan protolit batulanau.
Batulanau mengalami proses metamorfisme regional, sehingga mengubah tekstur
dan struktur mineral menjadi filit.

III.2.4. Satuan Tuf


Satuan Tuf berada di timurlaut dan baratdaya pada lokasi penelitian. Mekanisme
pembentukan tuf pada daerah penelitian merupakan piroklastik aliran, dimana
piroklastik aliran adalah matrial-matrial dari letusan gunungapi yang bergerak
dengan cepat kemudian tercampur oleh gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan.
Secara stratigrafi batuan ini mengalami ketidak selarasan dengan batuan metamorf.
Adapun jenis ketidakselarasan pada batuan ini yaitu nonconformity ditandai dengan
terdapatnya batuan kristalin dengan batuan sedimen. Piroklastik aliran pada daerah
penelitian dapat ditandai dengan bentuk butiran yang menyudut tanggung-

23
membundar serta memiliki struktur aliran. Hal tersebut di interpretasikan karena
batuan telah mengalami proses erosi akibat tertransportasi. Litologi pada satuan ini
diwakili oleh tuf litik dan tuf gelas. Pada peta geologi satuan ini ditandai dengan
warna merah muda, menempati sekitar 61% dari luas total keseluruhan daerah
penelitian.

III.2.4.1. Tuf Litik


Tuf litik berada di timurlaut daerah penelitian yang termasuk ke dalam Formasi
Kasai (Qtk). Batuan tuf litik ini hadir di Umur Kuarter. Pada pengamatan
megaskopis batuan tuf litik memiliki warna abu-abu kecoklatan kondisi segar-
lapuk, struktur massif, pemilahan sedang, ukuran butir 1/16-2 mm, dan derajat
kebundaran menyudut sampai membundar tanggung (Gambar III.15).

Gambar III. 15.Singkapan tuf litik.


Secara mikroskopis pengamatan batuan ini dilakukan menggunakan mikroskop
dengan perbesaran okuler 10x dan perbesaran objektif 4x. Pada pengamatan PPL
didapatkan warna abu-abu kecoklatan, dan warna coklat pada pengamatan XPL.
Batuan ini tersusun atas mineral litik (8C,D) 75%, gelas (3B) 10%, opak (1G)5%,
dan plagioklas (5F) 10% (Gambar III.16). Setelah diplotkan ke dalamk lasifikasi
Pettijohn, (1975) batuan ini termasuk ke dalam tuf litik.

24
Gambar III. 16. Sayatan petrografi tuf litik.

III.2.4.2. Tuf Gelas


Tuf ini ditemukan di daerah baratdaya pada lokasi penelitian. Secara megaskopis
batuan ini memiliki warna putih terang, dengan ukuran butir 1/16-1 mm, terpilah
sedang, dengan struktur perlapisan, dan bentuk butir menyudut tanggung-
membundar tanggung (Gambar III.17).

Gambar III. 17. Singkapan tuf gelas.

Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran


lensa okuler 10x dan lensa objektif 4x. Pada pengamatan PPL didaptkan warna abu-
abu terang dan warna hitam keabu-abuan pada pengamatan XPL. Batuan ini

25
tersusun atas mineral gelas (7H) 65%, litik (4F) 10 %, kuarsa (10C) 20%, dan opak
(1D)5%. (Gambar III. 18). Berdasarkan klasifikasi Pettijohn (1975) termasuk ke
dalam tuf gelas.

Gambar III. 18. Sayatan petrografi tuf gelas.

III.3. Struktur Geologi


Struktur geologi adalah deformasi dari kerak bumi dan batuan yang telah terjadi
selama ratusan tahun. Struktur geologi dapat disebabkan oleh adanya gaya yang
mendeformasi batuan, sehingga batuan tersebut dapat berubah bentuk dan
volumenya. Secara umum, struktur geologi dapat terbentuk akibat dari proses
tektonik (Sapiie dkk., 2014). Pada daerah penelitian terdapat struktur geologi
berupa kekar dan sesar.

III.3.1. Pola Kelurusan


Pola kelurusan ini dianalisis untuk mengetahui arah tegasan utama yang berada di
daerah penelitian. Penarikan garis kelurusan dilakukan dengan cara menarik
kelurusan punggungan dan lembahan melalui DEMNAS. Untuk garis punggungan
ditandai dengan garis warna kuning sedangkan warna merah untuk garis lembahan.
Berdasarkan analisis pada pola kelurusaan, didapatkan arah dominan baratlaut-
tenggara (Gambar III.19).

26
Gambar III. 19. Peta kelurusan daearah penelitian.

III.3.2. Analisis Kekar


Kekar cukup banyak dijumpai pada bagian baratlaut dan tenggara di daerah
penelitian. Kekar yang didapat di daerah penelitian berupa kekar gerus, yaitu kekar
yang terjadi akibat adanya gaya kompresi atau tekanan. Untuk pengolahan kekar
digunakan perangkat lunak dips 7.0 sehingga dapat mengetahui arah dominan dari
kekar. Untuk penamaan kekar menggunakan klasifikasi Anderson (1951). Analisis
ini berdasarkan pengukuran kekar yang didapat pada stasiun pengamatan gr/2,
gr/20, dan gr/39 ditemukan kekar gerus (shear fracture) pada litologi kuarsit, filit,
dan tuf.

Berdasarkan hasil pengolahan data kekar pada stasiun gr/2 memiliki arah tegasan
utama timurlaut-baratdaya yang berada di daerah Fajar Baru. Kekar yang sudah
didapatkan kemudian diolah menggunakan software Dips 7.0. dengan (σ1)
trend/plunge 06°, N 314°E, (σ2) trend/plunge 49°, N 218°E dan (σ3) trend/plunge
37°, N 34°E. Dari hasil pengeplotan pada stereonet, tegasan kedua memiliki nilai
plunge yang dominan tegak lurus dengan bidang utama (σ2 = 49°). (Gambar III.20).
Pada stasiun gr/20 di daerah Way Waya memiliki tegasan 1 (σ1) trend/plunge 23°,

27
N 123°E, tegasan 2 (σ2) trend/plunge 66°, N 283°E, tegasan 3 (σ3) trend/plunge
04°, N 22°E. Memiliki nilai plunge (σ2 = 66°) (Gambar III.21). Pada stasiun gr/39
pada daerah Way Kunir memiliki tegasan 1 (σ1) trend/plunge 20°, N 169°E, tegasan
2 (σ2) trend/plunge 59°, N 65°E, dan tegasan 3(σ3) trend/plunge 21°, N 295°E. Dari
hasil pengeplotan pada stereonet, tegasan kedua memiliki nilai plunge (σ2 = 59°).
Maka menurut klasifikasi Anderson (1951) dapat diindikasikan bahwa sesar ini
merupakan sesar mendatar (Gambar III.22).

Gambar III. 20. Struktur kekar pada stasiun gr/02.

Gambar III. 21. Struktur kekar pada stasiun gr/20.

28
Gambar III. 22. Struktur kekar pada stasiun gr/39.

III.3.3. Sesar
Sesar diidentifikasi dari pola kelurusan, pembelokan sungai, pergeseran morfologi,
dan bukti struktur yang ditemukan di lapangan. Pada daerah penelitian ini terdapat
dua sesar mendatar, yakni Sesar Mendatar Way Kunir yang berada di sebelah
baratlaut dan Sesar Mendatar di Fajar Baru yang berada di sebelah tenggara daerah
penelitian .

III.3.3.1 Sesar Mendatar Daerah Way Kunir


Sesar mendatar daerah Way Kunir dapat ditemukan sesar mendatar memanjang dari
arah timurlaut-baratdaya dapat dilihat pada kelurusan sungai Way Kunir. Pola
penarikan dilakukan berdasarkan pergeseran morfologi pada kelurusan sesar,
sehingga dapat dilihat di lapangan dengan dicirikanya kelokan sungai yang tajam
dan morfologi yang landai-curam (Gambar.III.25). Didapatkan arah sesar
N29°E/60° dan pitch 20°. Berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) sesar ini
dinamakan Left Slip Fault. (Gambar III.23).

29
Gambar III. 23. Arah sesar stasiun 39.

III.3.3.2 Sesar Mendatar Daerah Fajar Baru


Sesar mendatar pada daerah Fajar Baru memanjang dari arah timurlaut-baratdaya.
Penarikan pola sesar ini berdasarkan adanya pergeseran morfologi dua bukit di
daerah Fajar Baru (Gambar III.25). Didapatkan arah sesar N198°E/74° dan pitch
18°. Berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) sesar ini dinamakan Left Slip Fault
(Gambar III.24).

Gambar III. 24. Arah sesar stasiun 02.

30
Gambar III. 25. Peta geologi dearah penelitian.

31

Anda mungkin juga menyukai