Anda di halaman 1dari 34

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Geomorfologi Daerah Penelitian


Pengamatan terhadap peta topografi daerah penelitian menunjukkan hampir seluruh
daerah penelitian didominasi oleh perbukitan dengan proses geologi tektonik yang
ditunjukkan oleh beberapa perbedaan ketinggian yang sangat jauh sehingga memiliki
evelasi yang berbeda yang diinterpretasikan memiliki struktur geologi yang berkembang
pada daerah penelitian. Sungai yang berkembang pada daerah penelitian memiliki anak
sungai yang sangat banyak sehingga dapat diinterpretasikan memiliki litologi yang
kurang resisten.

Daerah penelitian memiliki 2 satuan geomorfologi yaitu: Perbukitan Struktural (S2) dan
Perbukitan Struktural (S3). Satuan geomorfologi dibagi menjadi 2 karena memiliki
persen lereng yang berbeda serta pola kontur yang sangat berbeda. Persen lereng pada
daerah penelitian beragam dari landai – curam, pola kontur juga sangat berbeda dimana
terdapat daerah dengan pola kontur renggang hingga sangat curam.

Pada daerah dengan kontur rapat dipengaruhi oleh struktur geologi yang berkembang di
lokasi penelitian. Sungai yang berkembang pada daerah penelitian merupakan sungai
dendritik yang memiliki jenis muda hingga tua. Sungai tersebut berada tersebar
diseluruh daerah penelitian.

Pengamatan pada peta topografi daerah desa Sirau dan sekitarnya memperlihatkan
proses geomorfologi yang berubah secara berangsur-angsur dimana pola garis kontur
cukup curam pada bagian barat daya dan pada bagian timur laut garis kontur cenderung
sangat rapat. Proses pembentukan lahan daerah penelitian dipengaruhi oleh tektonisme.

4.1.1 Analisis Persen Lereng


Pada daerah penelitian nilai persen lereng memiliki nilai yang bervariatif dari nilai
rendah hingga tinggi, nilai tersebut muncul dikarenakan daerah penelitian memiliki
bentuk muka bumi yang beragam dari bukit yang curam hingga dataran yang cukup
datar. Berdasarkan hasil analisis daerah penelitian memiliki nilai persen lereng yang

38
sangat beragam dari datar hingga sangat curam. Berikut merupakan peta persen lereng
pada daerah penelitian (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Peta Persen Lereng Daerah Penelitian

Dari hasil persen lereng daerah penelitian memiliki nilai persen lereng 0–2% yang
merupakan daerah yang datar, terdapat pula daerah yang memiliki nilai persen lereng 3-
7% yang merupakan daerah lereng sangat landai, daerah yang memiliki 8-13% yang
merupakan daerah lereng landai, 14-20% mendominasi daerah penelitian yang
merupakan daerah lereng agak curam, pada beberapa bagian di puncak bukit memiliki
nilai persen lereng 21-55% yang merupakan lereng curam menurut Van Zuidam (1985).

4.1.2 Pola Aliran Sungai


Pada daerah penelitian sungai-sungai merupakan hulu-hulu sungai yang mengalir
dominan dari arah utara ke selatan dan ada beberapa anak sungai yang mengalir dari
selatan ke utara. Sungai yang ada pada daerah penelitian sebagian termasuk pada sungai
intermitten karena pada sungai tersebut memiliki debit air yang tidak tetap dan pola
alirannya yang relative berkelok tidak lurus. Pada beberapa bagian pada daerah
penelitian memiliki termasuk sungai dewasa karena memiliki debit air yang tetap pada
setiap musimnya.

39
Gambar 4.2 Tipe Pola Pengaliran Menurut Howard (1967).

Gambar diatas merupakan pembagian pola pengaliran dasar menurut Howard (1967)
yang merupakan pola pengaliran yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola
pengaliran dasar lainnya, gambar yang memiliki kotak yang berwarna merah merupakan
pola pengaliran yang terdapat pada daerah penelitian yaitu pola dendritik. Pola
pengaliran dendritik pada umumnya dicirikan oleh sungai yang memiliki percabangan
sungai yang membentuk penyebaran ranting pohon. Dimana pola aliran ini berkembang
pada daerah dengan singkapan batuan berlapis dengan kemiringan lereng landai sampai
sedang, selain itu pola aliran dendritik memiliki tipe batuan yang homogen dan berada
pada lembah yang bentuk V. Berikut merupakan peta pola aliran sungai daerah
penelitian (Gambar 4.3).

40
Gambar 4.3 Peta Aliran Sungai Daerah Penelitian

4.1.3 Satuan Geomorfologi


Daerah penelitian dibagi menjadi 2 satuan geomorfologi menurut Van Zuidam (1965).
Berikut merupakan peta geomorfologi daerah penelitian (Gambar 4.4)

Gambar 4.4 Peta Geomorfologi Daerah Penelitian

41
Satuan perbukitan struktural (S2) dan satuan perbukitan struktural (S3) dibedakan berdasarkan
nilai persen lereng yang didapat pada tiap lereng berikut merupakan penampang sayatan
geomorfologi (Gambar 4.5) dan kolom geomorfologi (Tabel 4.1)
PROFIL PENAMPANG SAYATAN GEOMORFOLOGI A-B
H=V

Gambar 4.5 Penampang Sayatan A-B Geomorfologi Daerah Penelitian

Tabel 4.1 Kolom Geomorfologi Daerah Penelitian


Satuan
Satuan Perbukitan Satuan Perbukitan
Unsur Geomorfologi
Struktural (S2) Struktural (S3)
Geomorfologi
Pelamparan 90 % 10 %
Persen Lereng Rata-rata 0-20 % 21-55 %
Titik Tertinggi 854 1237.5
Titik Terendah 441 850
Beda Ketinggian 413 387.5
Pola Pengaliran Dendritik Dendritik
Bentuk Lembah U V
Batupasir,
Litologi Penyusun Batupasir, Andesit
Batulempung, Andesit
Proses Endogenik Lipatan Lipatan
Proses Eksogenik Pelapukan dan Erosi Pelapukan dan Erosi
Struktur Geologi Sinklin dan Antiklin Antiklin
Pertanian, Perkebunan
Tata Guna Lahan Perkebunan
Pemukiman

4.1.3.1 Satuan Perbukitan Struktural (S2)


Satuan ini meliputi 90% daerah penelitian dan memiliki persen lereng sebesar 0-20%.
Titik tertinggi dan titik terendah daerah penelitian adalah 854-441 mdpl dengan
perbedaan ketinggian 413 mdpl (Gambar 4.6).

Litologi yang terdapat pada satuan ini berupa batu lempung, batu pasir dan andesit. Batu
pasir tersebut menutupi hampir seluruh daerah penelitian sehingga menutupi batuan

42
yang terbentuk lebih dahulu yaitu batu lempung. Tataguna lahan pada bentang lahan ini
berupa bahan galian, daerah pemukiman dan daerah pertanian serta perkebunan.

Gambar 4.6 Satuan Perbukitan Struktural

4.1.3.2 Satuan Perbukitan Struktural (S3)


Satuan ini meliputi 10% daerah penelitian dan memiliki persen lereng sebesar 85%.
Titik tertinggi dan titik terendah daerah penelitian adalah 1.237,5-850 mdpl dengan
perbedaan ketinggian 387,5 mdpl (Gambar 4.7).

Litologi yang terdapat pada satuan ini berupa batupasir yang memiliki ketinggian diatas
850 mdpl. Hal ini terjadi karena batu pasir pada daerah tersebut mengalami
pengangkatan akibat proses endogen sehingga kontur yang terdapat pada daerah ini
sangat rapat hingga berbentuk seperti tebing yang memanjang dari arah utara ke selatan.
Tataguna lahan pada bentang lahan ini berupa daerah pertanian dan perkebunan.

Gambar 4.7 Satuan Perbukitan Struktural

4.2 Satuan Stratigrafi Daerah Penelitian

43
Penamaan dan pengelompokan satuan batuan yang ada didaerah penelitian didasarkan
pada batuan yang ditemukan dilapangan, batuan yang mendominasi, keterdapatannya
yang dapat terpetakan didalam peta dan hubungan antara satuan batuan yang satu
dengan yang lainnya. Daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan batuan,
berikut akan diuraikan secara berurutan dari tua ke muda yaitu: Pada peta geologi dan
kolom stratigrafi satuan batu lempung diberi warna hijau, satuan batupasir diberi warna
kuning dan satuan andesit diberi warna merah (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Peta Geologi Daerah Penelitian

Satuan batuan daerah penelitian ditampilkan pada penampang sayatan geologi (Gambar 4.9) dan
Kolom Stratigrafi (Gambar 4.10)
PROFIL PENAMPANG SAYATAN GEOLOGI A-B
H=V

Gambar 4.9 Penampang Sayatan Geologi A-B Daerah Penelitian

44
Gambar 4.10 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian

4.2.1 Satuan Batulempung


a. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batu lempung daerah penelitian menempati 35% dari total daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini berada dibagian barat laut. Keadaan singkapan pada satuan
batuan ini tersingkap dalam keadaan segar - lapuk sedang. Berdasarkan hasil analisis
rekonstruksi penampang sayatan geologi memperlihatkan ketebalan satuan batu
lempung sekitar >150 meter.

Litologi batu lempung secara megaskopis berwarna abu-abu muda, ukuran butir halus-
sangat halus, bentuk butir membundar, kemas tertutup dan memiliki pemilahan yang
baik. Komposisinya terdiri dari kuarsa dan kalsit (Gambar 4.11).
45
Gambar 4.11 Satuan Batu Lempung

b. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Pada satuan ini fosil dapat ditemukan sehingga dapat ditentukan umur serta lingkungan
pengendapan satuan ini. Pada satuan ini ditemukan foraminifera berupa: Orbulina
universa, Orbulina suturalis, Globorotalia pseudomiocenica, Sphaeroidinellopsis
disjuncta, Globigerinoides obliquus, Phyrgo murhina. Analisis Fosil (Lampiran 6)
terlampir.

Berdasarkan hasil analisis fosil foraminifera yang didapatkan maka penentuan umur
pengendapan dapat ditentukan yaitu berumur N14 serta penentuan lingkungan
pengendapan neritik tengah.

c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan batulempung pada daerah penelitian memiliki butir halus,
memiliki bentuk butiran membulat, sortasi cukup baik, memiliki komposisi fragmen
kuarsa (10%), litik (5%), dan opak (4%).Matriks (81%) dan semen silika (Gambar
4.12).

46
Gambar 4.12 Sayatan petrografi batuan lempung

Setelah dilakukan pendeskripsian mineral secara petrografi, diperoleh presentase


mineral Kuarsa 10%, lithic 5%, dan matriks 81%. Kemudian dicari penjumlahan antara
Feldspar (F), Kuarsa (Q), dan Lithic (L) yang digunakan sebagai pembanding dalam
mencari nama batuan di klasifikasi Pettijohn (1975). Batuan ini masuk kedalam
kelompok mudrock (Gambar 4.13).

Gambar 4.13

4.2.2 Satuan Batupasir


a. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan batupasir daerah penelitian menempati 50% dari total daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini menyebar didaerah penelitian. Keadaan singkapan pada satuan
batuan ini tersingkap dalam keadaan lapuk sedang. Berdasarkan hasil analisis

47
rekonstruksi penampang sayatan geologi memperlihatkan ketebalan satuan batupasir
sekitar >200 meter.

Litologi batupasir secara megaskopis berwarna coklat gelap, ukuran butir sedang-kasar,
bentuk butir membundar, kemas tertutup dan memiliki pemilahan yang baik.
Komposisinya terdiri dari kuarsa, feldspar dan plagioklas (Gambar 4.14).

Gambar 4.14 Satuan batupasir

b. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Pada satuan ini fosil dapat ditemukan sehingga dapat ditentukan umur serta lingkungan
pengendapan satuan ini. Pada satuan ini ditemukan foraminifera berupa: Orbulina
universa, Globigerinoides immaturus, Globigerinoides sacculiferus, Globigerinoides
trilobus, Globigerinoides tumida, Phyrgo murhina. Analisis Fosil (Lampiran 6)
terlampir.

Berdasarkan hasil analisis fosil foraminifera yang didapatkan maka penentuan umur
pengendapan dapat ditentukan yaitu berumur N14-N19 serta penentuan lingkungan
pengendapan neritik tengah.

c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan batupasir pada daerah penelitian memiliki butir sedang-kasar,
memiliki bentuk butiran membulat-menyudut, sortasi cukup baik memiliki komposisi
fragmen kuarsa (10%), plagioklas (5%), K-Feldspar (10%), litik (25%), biotit (10%),
opak (5%), matriks (20%), semen karbonat (Gambar 4.15).

48
Gambar 4.15 Sayatan petrografi batuan pasir

Setelah dilakukan pendeskripsian mineral secara petrografi, diperoleh presentase


mineral Plagioklas 5%, K-feldspar 10%, Kuarsa 10%, lithic 25%, dan matriks 20%.
Kemudian dicari penjumlahan antara Feldspar (F), Kuarsa (Q), dan Lithic (L) yang
digunakan sebagai pembanding dalam mencari nama batuan di klasifikasi Pettijohn
(1975). Batuan ini masuk kedalam kelompok lithikarenite (Gambar 4.16).

Gambar 4.16 Klasifikasi Pettijohn (1987)

4.2.3 Satuan Lava Andesit


a. Penyebaran dan Ketebalan
Satuan lava andesit daerah penelitian menempati 15% dari total daerah penelitian.
Penyebaran satuan ini berada dibagian barat laut. Keadaan singkapan pada satuan
batuan ini tersingkap dalam keadaan lapuk sedang. Berdasarkan hasil analisis
rekonstruksi penampang sayatan geologi memperlihatkan ketebalan satuan batupasir
sekitar 50 meter.

49
Litologi batupasir secara megaskopis berwarna coklat muda, ukuran butir sedang-kasar,
bentuk butir membundar-menyudut sedang, kemas tertutup dan memiliki pemilahan
yang baik. Komposisinya terdiri dari kuarsa, feldspar dan plagioklas (Gambar 4.17).

Gambar 4.17 Satuan Lava Andesit

b. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Pada satuan ini fosil tidak ada, sehingga sulit menentukan umurnya dengan tepat,
namun dilihat dari stratigrafi dan sayatan pada peta geologi dapat dilihat satuan ini
berada diatas satuan batu pasir sehingga memiliki umur lebih muda dari satuan
batupasir dan lingkungan pengendapan satuan ini dapat diinterpretasikan berada dilaut
karena ditemukan lava bantal.

c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan andesit pada daerah penelitian memiliki butir sedang-kasar,
memiliki bentuk butiran membulat-menyudut, sortasi cukup baik komposisi mineral
terdiri dari plagioklas, piroksen, olivin, mineral opak, yang tertanam dalam masadasar
mikrokristalin dan gelas (Gambar 4.18).

50
Gambar 4.18 Sayatan petrografi andesit

Setelah dilakukan pendeskripsian mineral secara petrografi, diperoleh presentase


mineral Plagioklas 50% dan kuarsa 2%. Kemudian dicari penjumlahan antara
Plagioklas (P), Kuarsa (Q), dan alkali feldspar (F) yang digunakan sebagai
pembanding dalam mencari nama batuan di klasifikasi Streickesen (1978). Batuan ini
adalah Andesit (Gambar 4.19).

Gambar 4.19 Klasifikasi Streickessen (1975)

Analisis Plagioklas
a= 232o b= 173 o c= 131 o
X1 = | a-b | = | 232o - 258o | = 26o
X2 = | a-c | = | 232o - 208o | = 24o

51
| X1 - X2 | ≤ 2 o | 26o - 24o | = 2o
26+24
Xrata2 = =25o
2
Kemudian setelah didapat penghitungan pemadaman dan dilakukan plotting pada
diagram Michel-Levy maka didapat bahwa plagioklas merupakan andesine seperti pada
(Gambar 4.20) sehingga ditarik kesimpulan bahwa batuan memiliki sifat mengarah ke
andesit.

Gambar 4.20 Diagram Michel-Levy (1950)

4.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian


Morfologi daerah penelitian memiliki perbedaan ketinggian yang sangat jauh
diperkirakan merupakan ekspresi adanya struktur geologi, sehingga dapat
diinterpretasikan daerah penelitian memiliki struktur geologi. Interpretasi awal
dilakukan dengan cara menginterpretasi perbedaan ketinggian dengan melihat
kelurusan-kelurusan topografi pada peta topografi maupun citra SRTM (Shuttle Radar
Topographic Mission) hal tersebut diharapkan dapat memberi gambaran ketika
mengambil data di lapangan pada lokasi-lokasi yang telah diinterpretasikan adanya
kelurusan yang diperkirakan adanya struktur geologi.

4.3.1 Analisis Kelurusan citra SRTM


Analisis struktur geologi daerah Belik dan sekitarnya dilakukan dengan cara
menganalisa kelurusan bukit dan lembah berdasarkan peta SRTM (Shuttle Radar

52
Topographic Mission). Hal itu dilakukan untuk melihat arah tegasan daerah penelitian
dan sebagai interpretasi awal untuk menentukan keterdapatan struktur geologi di daerah
penelitian.
Berdasarkan analisis pola kelurusan terhadap citra SRTM (Shuttle Radar Topographic
Mission) didapatkan memiliki arah yang dominan yaitu barat-timur. Untuk mengetahui
gambaran arah sesar nilai kelurusan-kelurusan tersebut disajikan dalam bentuk diagram
roset (Gambar 4.21).

Gambar 4.21 Peta SRTM Daerah Penelitian

4.4 Sejarah Geologi Daerah Penelitian


Pada kala miosen tengah hingga Miosen Akhir (N14-N17) diendapkan satuan
batulempung yang terdiri atas batulempung dan perselingan batulempung-batupasir
yang termasuk kedalam formasi rambatan dengan tebal kurang lebih 160 m. Didapatkan
paleobatimetri neritik tengah dari hasil analisis fosil, dan diinterpretasikan lingkungan
pengendapan satuan batulempung ini termasuk ke dalam lingkungan shelf bagian outer
shelf dicirikan dengan adanya fluktuasi energi arus hingga menyingkapkan butir yang
lebih kasar dengan pola perselingan.

Setelah terendapkannya satuan batulempung terjadi transgresi (S. Bachri, 2011). Pada
kala Miosen Akhir sampai Pliosen Awal (N17-N19) diendapkan sedimen dengan
karakteristik yang berbeda yaitu satuan batupasir dengan material vulkaniklastik yang
termasuk kedalam formasi halang terdiri atas batupasir masif dan batupasir sisipan
batulempung dengan tebal kurang lebih 255 m pada batimetri Neritik Luar dari hasil

53
analisis fosil. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan satuan batupasir ini termasuk
ke dalam lingkungan Submarine Fan bagian middle fan (Walker,1992).

Setelah diendapan kedua satuan batuan di daerah penelitian, terjadi proses endogenik
yang menyebabkan munculnya lava andesit. Lava tersebut terbentuk di interpretasikan
berasal dari Gunung Kumbang selain itu terjadi perlipatan, pengangkatan sehingga
menyebabkan terbentuknya struktur lipatan antiklin, sinklin. Proses eksogen berupa
pelapukan, erosi dan juga proses sedimentasi terus terjadi hingga membentuk morfologi
daerah penelitian seperti saat ini.

4.5. Lokasi Longsor Daerah Penelitian


Titik longsor daerah penelitian terletak pada Desa Sirau, Kecamatan Karangmoncol,
Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah dengan koordinat longsor di 109° 26'
49.7171" E dan 7° 11' 2.2978" S.

Gambar 4.22 Peta Longsor dan Peta 3D Daerah Penelitian

Pengambilan lokasi longsor yang berada di Desa Sirau dikarenakan desa ini masuk
kedalam desa yang termasuk kedalam desa rawan bencana longsor (Data BPBD
Purbalingga 2018), selain itu potensi gerakan tanah/longsor pada Desa Sirau masuk
kedalam kategori menegah-tinggi yaitu daerah yang mempunyai potensi untuk
terjadinya gerakan tanah/longsor jika pada daerah tersebut terjadi curah hujan di atas
normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing
jalan selain itu gerakan tanah/longsor lama dapat aktif kembali (Data Badan Geologi
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).

54
Gambar 4.23 Peta SRTM Daerah Penelitian

4.5. Kondisi Geologi dan Pelapukan Daerah Penelitian


Longsor memiliki litologi batulempung. Batulempung tersingkap di daerah longsoran
dengan ciri-ciri secara megaskopis berwarna abu-abu, matrik pasir, sortasi buruk, kemas
tertutup. Batulempung mengalami pelapukan dan dapat diklasifikasikan ke dalam 3
bagian tingkat pelapukan, yaitu zona 4, 5 dan 6. Masing-masing tingkat pelapukan
mempunyai karakteristik yang berbeda dan dibedakan dari perbedaan warna, jejak
bidang rekahan, struktur dan tekstur batuan. Dari pengamatan pada lapangan ditemukan
adanya retakan-retakan yang diprediksi akibat dari hasil longsor yang terjadi
sebelumnya sehingga diperlukan analisis lebih lanjut untuk mencegah tidak terjadinya
tanah longsor susulan pada bagian lain lereng tersebut. Masing-masing tingkat
pelapukan dapat diidentifikasikan berdasarkan asumsi umum yang digunakan oleh Irfan
dan Dearman 1978 dalam Sadisun dkk. 1998, dalam mengklasifikasikan tingkat
pelapukan batuan lempung. Klasifikasi umum tersebut dapat membedakan masing-
masing tingkat pelapukan batuan untuk batuan homogen. Parameter yang digunakan
adalah perubahan warna, perbandingan intensitas batu dan tanah.

55
Gambar 4.24 Penampang Sayatan Longsoran Daerah Penelitian

4.5.1 Tingkat Pelapukan 4


Pada tingkat pelapukan 4 batuan mudah dihancurkan dengan tangan pada beberapa
bagian masih memiliki warna batuan asalnya memiliki struktur dan tekstur yang terlihat
hancur, dengan perbandingan intensitas batuan asal dengan tanah memiliki jumlah yang
hampir sama.

4.5.2 Tingkat Pelapukan 5


Pada tingkat pelapukan 5 batuan sangat mudah dihancurkan dengan tangan
hampir seluruh bagian batuan sudah memiliki warna yang berbeda dengan batuan
asalnya memiliki struktur dan tekstur yang sudah hancur sehingga sulit untuk
mengetahui batuan asalnya, dengan perbandingan intensitas batuan asal dengan tanah
memiliki jumlah tanah yang lebih banyak dari batuan asal.

4.5.3 Tingkat Pelapukan 6


Pada tingkat pelapukan 6 batuan sudah berubah menjadi tanah dengan warna
yang berbeda dan struktur dan tekstur batuan yang sudah tidak terlihat lagi, dengan
perbandingan intensitas antara batuan asal dengan tanah memiliki jumlah tanah
seutuhnya.

56
Gambar 4.25 Singkapan pada titik longsor

Tiap tingkat pelapukan pada lereng penelitian dilakukan pengujian analisis XRD untuk
mengetahui mineral lempung yang terdapat pada tiap tingkat pelapukan. Dibawah ini
merupakan tabel hasil pengujian analisis XRD pada tiap tingkat pelapukan, sebagai
berikut:
Tabel 4.2 Hasil analisis XRD
Tingkat Nama Mineral (%)
No
Pelapukan Kaolinite Illite Montmorillonite
1 6 30.5 65.9 3.6
2 5 34.2 62.1 3.7
3 4 28.3 68.2 3.5

Dari data pada tabel tersebut diketahui bahwa mineral lempung yang bersifat sangat
plastis dan mempunyai sifat mengembang yaitu montmorillonite berkembang pada
tingkat 4, 5 dan 6 sehingga menjadikan lereng sangat rawan untuk terjadinya sebuah
longsor karena mineral tersebut sangat rentan akan longsor jika terjadi penjenuhan air.
4.6. Kondisi Geologi Teknik Longsor Daerah Penelitian
Kondisi lereng pada daerah penelitian memiliki ketinggian 18 m dengan slope 74o,
tiap tingkat pelapukan di beri warna yang berbeda-beda dimana tingkat pelapukan 4
di beri warna kuning, tingkat pelapukan 5 diberi warna hijau dan tingkat pelapukan 6

57
di beri warna merah selain itu masing-masing tingkat pelapukan memiliki ketebalan
yang berbeda tingkat 4 = 4,8m, tingkat 5 = 12,2m dan tingkat 6 = 1m , dari
kenampakannya lereng tersebut pernah terjadi longsor sebelumnya dan masih terlihat
sangat rawan untuk terjadi tanah longsor berikutnya sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keamanan lereng tersebut dengan mengambil
sampel tanah pada lokasi tersebut (Gambar 4.).

Gambar 4.26 Singkapan pada titik longsor

4.6.1. Hasil Analisis Uji Direct Shear


Di bawah ini adalah tabel hasil perhitungan dari pengujian sifat fisik tanah, pada tiap
sampel batuan sebagai berikut:
Tabel 4.3 Hasil Analisis Direct Shear
Berat Isi Kering Kohesi Sudut Geser
Nama Material
(kN/m3) (kPa) Dalam (o)
Tingkat 4 11.21 17.25 23.7
Tingkat 5 10.1 16.67 19.39
Tingkat 6 9.02 12.65 14.79
Dari tabel tersebut tingkat pelapukan 4 memiliki berat isi kering 11.21, nilai kohesi
17.25 dan sudut geser dalam 23.7, tingkat pelapukan 5 memiliki berat isi kering 10.1,
nilai kohesi 16.67 dan sudut geser dalam 19.39, tingkat pelapukan 6 memiliki berat
isi kering 9.02, nilai kohesi 16.67 dan sudut geser dalam 14.79.

4.6.1.1 Tingkat Pelapukan 4

58
Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai berat isi tanah, kohesi
dan sudut geser dalam diperlukan pengujian Direct Shear. Dibawah ini merupakan hasil
pegujian Direct Shear.
Tabel 4.4 Uji Direct Tingkat Pelapukan 4
No. Sampel 1 2 3
156.3
Berat Tanah + Cawan g 135.40 140.00
0
Berat Cawan g 41.70 41.70 41.70
114.6
Berat Tanah g 93.70 98.30
0
Kadar Air wN (%) 38.16
Berat Isi Tanah γ (g/cm3) 1.45 1.77 1.52
Berat Isi Kering γd (g/cm3) 1.05 1.28 1.10
Tegangan Nornal  (kg/cm2) 0.10 0.20 0.30
Tegangan Stress  (kg/cm2) 0.23 0.25 0.32

Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 1.143 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 11.21 kN/m3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress.

0.4

0.3
Shear stress, t kg/cm2

f(x) = 0.44 x + 0.18

0.2

0.1

0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2

Gambar 4.27 Diagram Tegangan Normal dan Tegangan Stress

Dari diagram tersebut di dapat nilai y = 0.439x + 0.176, dimana y = (arctan(nilai) =


sudut geser dalam)x + (kohesi). Sehingga nilai dusut geser dalam yang di dapat adalah
arctan (0.439) = 23.7o dan untuk kohesi adalah 0.176 kg/cm2 nilai tersebut dikonversi
menjadi kPa dengan cara 1 kg/cm2 = 98.06 kPa sehingga nilai kohesi adalah 17.25 kPa.

59
4.6.1.2 Tingkat Pelapukan 5
Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai berat isi tanah, kohesi
dan sudut geser dalam diperlukan pengujian Direct Shear. Dibawah ini merupakan hasil
pegujian Direct Shear.
Tabel 4.5 Uji Direct Shear Tingkat Pelapukan 5
No. Sampel 1 2 3
141.9
Berat Tanah + Cawan g 136.80 125.80
0
Berat Cawan g 41.70 41.70 41.70
100.2
Berat Tanah g 95.10 84.10
0
Kadar Air wN (%) 39.94
Berat Isi Tanah γ (g/cm3) 1.55 1.47 1.30
Berat Isi Kering γd (g/cm3) 1.11 1.05 0.93
Tegangan Normal  (kg/cm2) 0.10 0.20 0.30
Tegangan Stress  (kg/cm2) 0.21 0.23 0.28

Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 1.03 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 10.1 kN/m 3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress.
0.3

f(x) = 0.35 x + 0.17


Shear stress, t kg/cm2

0.2

0.1

0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2

Gambar 4.28 Diagram Tegangan Normal dan Tegangan Stress

Dari diagram tersebut di dapat nilai y = 0.352x + 0.170, dimana y = (arctan(nilai) =


sudut geser dalam)x + (kohesi). Sehingga nilai dusut geser dalam yang di dapat adalah
arctan (0.352) = 19.39o dan dan untuk kohesi adalah 0.170 kg/cm2 nilai tersebut

60
dikonversi menjadi kPa dengan cara 1 kg/cm 2 = 98.06 kPa sehingga nilai kohesi adalah
16.67 kPa.

4.6.1.3 Tingkat Pelapukan 6


Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai berat isi tanah, kohesi
dan sudut geser dalam diperlukan pengujian Direct Shear. Dibawah ini merupakan hasil
pegujian Direct Shear.
Tabel 4.6 Uji Direct Shear Tingkat Pelapukan 6
No. Sampel   1 2 3
Berat Cawan + Tanah g 119.70 129.00 134.50
Berat Cawan g 41.70 41.70 41.70
Berat Tanah g 78.00 87.30 92.80
Kadar Air wN (%) 44.45
Berat Isi Tanah  (g/cm3) 1.21 1.35 1.44
Berat Isi Kering  (g/cm3) 0.84 0.94 0.99
Tegangan Normal  (kg/cm2) 0.10 0.20 0.30
Tegangan Stress  (kg/cm2) 0.16 0.18 0.21

Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 0.92 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 9.02 kN/m 3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress. Untuk nilai kohesi dan sudut geser dalam didapat dari grafik yang
terbentuk antara tegangan normal dan tegangan stress.

0.3
Shear stress, t kg/cm2

0.2 f(x) = 0.26 x + 0.13

0.1

0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2

Gambar 4.29 Diagram Tegangan Normal dan Tegangan Stress

61
Dari diagram tersebut di dapat nilai y = 0.264x + 0.129, dimana y = (arctan(nilai) =
sudut geser dalam)x + (kohesi). Sehingga nilai dusut geser dalam yang di dapat adalah
arctan (0.264) = 14.79o dan dan untuk kohesi adalah 0.1 kg/cm2 nilai tersebut dikonversi
menjadi kPa dengan cara 1 kg/cm2 = 98.06 kPa sehingga nilai kohesi adalah 17.25 kPa.

Nilai dari berat isi kering tanah, kohesi dan sudut geser dalam yang sudah dihitung
selanjutnya akan dimasukkan kedalam software slide 6 untuk mengetahui nilai faktor
keamanan dari lereng tersebut.

4.6.2. Hasil Analisis Uji Plastisitas


Di bawah ini adalah tabel hasil perhitungan dari pengujian plastisitas tanah, pada tiap
sampel batuan sebagai berikut:
Tabel 4.7 Nilai Indeks Plastisitas
Batas Cair Batas Plastis Indeks
Nama Material
(%) (%) Plastisitas (%)
Tingkat 4 59.29 46.38 12.91
Tingkat 5 40.37 29.80 10.57
Tingkat 6 63.32 44.51 18.81

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tingkat 4 memiliki indeks plastisitas
sebesar 12.91, tingkat 5 memiliki indeks plastisitas sebesar 10.57 dan tingkat 6
memiliki indeks plastisitas sebesar 18.81.

4.6.1.1 Tingkat Pelapukan 4


Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai indeks plastisitas
diperlukan pengujian batas cair dan batas plastis. Dibawah ini adalah tabel hasil
perhitungan dari pengujian batas cair, batas plastisitas dan indeks plastisitas, pada
tiap sampel batuan sebagai berikut:
Tabel 4.8 Uji Plastisitas Tingkat Pelapukan 4
Batas Cair Batas Plastis
Banyaknya Pukulan 19 22 27 29
Berat Cawan (gr) 3.80 3.50 3.60 4.10 5.10 5.30
Berat Tanah Basah + 11.4 10.80
(gr) 10.85 11.20 10.50 10.58
Cawan 8
Berat Tanah Kering + 9.41 9.10
(gr) 7.65 8.00 8.01 8.65
Cawan
Berat Tanah Kering (gr) 3.85 4.50 4.41 4.55 4.31 3.80

62
Berat Air (gr) 3.20 3.20 2.49 1.93 2.07 1.70
Kadar Air 48.0
(%) 83.12 71.11 56.46 42.42 44.74
(Tanah Kering) 3
Rata-rata (%) 59.29 46.38
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 4 memiliki nilai
batas cair sebesar 59.29% dan batas plastis sebesar 46.38% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 59.29% - 46.38% = 12.29 %
Tabel 4.9 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif

Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 12.29% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.

4.6.1.2 Tingkat Pelapukan 5


Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai indeks plastisitas
diperlukan pengujian batas cair dan batas plastis. Dibawah ini adalah tabel hasil
perhitungan dari pengujian batas cair, batas plastisitas dan indeks plastisitas, pada
tiap sampel batuan sebagai berikut:
Tabel 4.10 Uji Plastisitas Tingkat Pelapukan 5
Batas Cair
Batas Plastis
Banyaknya Pukulan 17 21 26 231
Berat Cawan (gr) 3.60 2.90 3.50 3.50 3.60 3.30
Berat Tanah Basah +
(gr) 7.50 7.30 6.70 7.90 6.60 6.40
Cawan
Berat Tanah Kering +
(gr) 6.00 5.90 5.80 6.90 5.90 5.70
Cawan
Berat Tanah Kering (gr) 2.40 3.00 2.30 3.40 2.3 2.40
Berat Air (gr) 1.50 1.40 0.90 1.00 0.70 0.70
Kadar Air
(%) 62.50 46.67 39.13 29.41 30.43 29.17
(Tanah Kering)
Rata-rata (%) 40.37 29.80

63
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 5 memiliki nilai
batas cair sebesar 40.37% dan batas plastis sebesar 29.80% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 40.37% - 29.80% = 10.57 %
Tabel 4.11 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif

Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 10.57% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.

4.6.1.3 Tingkat Pelapukan 6


Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai indeks plastisitas
diperlukan pengujian batas cair dan batas plastis. Dibawah ini adalah tabel hasil
perhitungan dari pengujian batas cair, batas plastisitas dan indeks plastisitas, pada
tiap sampel batuan sebagai berikut:
Tabel 4.12 Uji Plastisitas Tingkat Pelapukan 6
Batas Cair
Batas Plastis
Banyaknya Pukulan 21 23 27 29
(gr
Berat Cawan 3.00 2.90 2.80 2.80 2.80 2.70
)
Berat Tanah Basah + (gr
10.53 8.64 13.32 10.16 4.80 4.60
Cawan )
Berat Tanah Kering + (gr
7.16 6.17 9.67 7.80 4.20 4.00
Cawan )
(gr
Berat Tanah Kering 4.16 3.27 6.87 5.00 1.40 1.30
)
(gr
Berat Air 3.73 2.47 3.65 2.36 0.60 0.60
)
Kadar Air (%
81.01 75.54 53.13 47.20 42.86 46.15
(Tanah Kering) )
(%
Rata-rata 63.32 44.51
)

64
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 6 memiliki nilai
batas cair sebesar 63.32% dan batas plastis sebesar 44.51% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 63.32% - 44.51% = 18.81 %
Tabel 4.12 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif

Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 18.81% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.

4.7. Analisis Kestabilan Lereng


Setelah melakukan analisis fisik dan mekanik di daerah penelitian. Kejadian gerakan
tanah atau gerakan massa ini terdapat pada lapukan batuan semua tingkat pelapukan
dari lempung (Gambar 4.30).

Gambar 4.30 Nilai faktor keamanan lereng

65
Dari hasil perhitungan software slide 6 lereng tersebut memiliki nilai faktor keamanan
sebesar 0.899 yang berada dominan pada tingkat pelapukan 5 nilai tersebut merupakan
nilai faktor keamanan terkecil pada lereng tersebut.
Tabel 4.13 Nilai Faktor Keamanan (Bowles, 1991)
Nilai Faktor Keamanan Kejadian / Intensitas Longsor
FK < 1,07 Longsoran terjadi biasa/sering (kelas labil)
FK antara 1,07 – 1,25 alabillabil)
Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)
FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)

Dari hasil analisis kestabilan lereng didapatkan nilai 0.899 yang merupakan kelas
labil dimana lereng tersebut masih sering terjadi sehingga diperlukan penanganan
khusus untuk menghindari longsoran di lain waktu.

4.9. Penanggulangan Gerakan Tanah


Penanggulangan gerakan tanah pada daerah penelitian dilakukan dengan mengubah
geometri lereng sehingga beban pada lereng dapat dikurangi selain itu juga mengurangi
kemiringan lereng yang cukup curam atau membuat tembok penahan pada bagian
dinding lereng sehingga menaikkan ketahanan lereng terhadap longsor yang akan
terjadi. Selain 2 cara diatas penanaman tanaman yang memiliki akar yang kuat juga
mampu menahan beban pada lereng sehingga longsor dapat dihindari.

4.9.1 Merubah Geometri Lereng


Perubahan geometri lereng yang dilakukan dengan mengambil bagian lereng pada
ketinggian 5 meter sedalam 3 meter dapat menambah nilai fk sehingga lereng menjadi
stabil karena beban pada lereng berkurang yang diharapkan aman dari terjadinya
longsor.

Gambar 4.31 Perubahan Geometri Lereng

66
Gambar 4.32 Nilai faktor keamanan lereng

Tabel 4.14 Nilai Faktor Keamanan (Bowles, 1991)


Nilai Faktor Keamanan Kejadian / Intensitas Longsor
FK < 1,07 Longsoran terjadi biasa/sering (kelas labil)
FK antara 1,07 – 1,25 alabillabil)
Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)
FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)

Dengan penanggulangan pemotongan lereng di dapatkan nilai faktor keamanan menjadi 1.27
dimana lereng tersebut menjadi stabil yang diharapkan tidak terjadi longsor di kemudian hari.

Cara selanjutnya merupakan perubahan geometri lereng dapat dilakukan dengan mengurangi
kemiringan lereng pada daerah penelitian lereng sehingga lereng tersebut juga memiliki
beban yang lebih sedikit. Lereng pada daerah penelitian memiliki slope 74o dengan
mengurangi nilai slope menjadi 54o.

Gambar 4.33 Perubahan Geometri Lereng

67
Gambar 4.34 Nilai faktor keamanan lereng

Tabel 4.15 Nilai Faktor Keamanan (Bowles, 1991)


Nilai Faktor Keamanan Kejadian / Intensitas Longsor
FK < 1,07 Longsoran terjadi biasa/sering (kelas labil)
FK antara 1,07 – 1,25 alabillabil)
Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)
FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)

Dengan pengurangan pada kemiringan lereng di dapatkan nilai faktor keamanan sebesar
1.262 dimana lereng tersebut juga menjadi stabil sehingga di harapkan tidak terjadi longsor
di kemudian hari.

4.9.2 Metode Penanaman Tanaman


Pada daerah penelitian penanaman tanaman yang memiliki akar yang kuat dapat
menjadi solusi karena daerah lereng memiliki tanah yang dapat ditumbuhi tanaman
dengan akar yang kuat sehingga tanah menjadi tahan terhadap beban yang ada.

68
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil Geologi dan Analisis Kestabilan Lereng Desa Sirau, Kecamatan
Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah dapat disimpulkan
beberapa hal, antara lain:
1. Satuan geomorfologi pada daerah penelitian dibagi menjadi 2 satuan geomorfologi
yaitu satuan perbukitan struktural (S2) dan satuan perbukitan struktural (S3), dengan
urutan stratigrafi pada daerah penelitian dari tua ke muda yaitu satuan batu lempung,
satuan batupasir dan satuan batu andesit.
2. Faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng pada setiap tingkat pelapukan adalah
berat isi tingkat 6 : 9.02 kN/m3, kohesi tingkat 6 : 13.14 kPa, besar sudut geser
dalam tingkat 6 : 14.79o, berat isi tingkat 5 : 10.1 N/m3, kohesi tingkat 5: 16.67 kPa,
besar sudut geser dalam tingkat 5: 19.39o, berat isi tingkat 4 : 11.21 kN/m3, kohesi
tingkat 4: 17.25 kPa, besar sudut geser dalam tingkat 4 : 27o
3. Dari hasil analisis faktor kestabilan lereng menggunakan software slide 6.0 sebagai
acuan untuk penentuan nilai FK yang digunakan. Gerakan tanah pada daerah
penelitian memiliki nilai FK minimum = 0.899
4. Untuk memperbaiki kemantapan lereng dapat dilakukan macam-macam metode
perbaikan lereng dengan cara merubah geometri lereng pelandaian lereng atau
penghilangan beban dari tumit lereng dan metode penanaman tanaman dengan
sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya gerakan tanah serta
penanggulangannya dengan melakukan penghijauan/reboisasi.

5.2 Saran
Adapun beberapa saran berdasarkan kesimpulan dari pembahasan yang harus
diperhatikan agar lebih baik, antara lain:
1. Sebaiknya analisis uji direct shear dilakukan jangan tiap tingkat pelapukan tapi per 1
meter untuk melihat lebih rinci perubahan nilai mekanika tanahnya.
2. Untuk perhitungan data mekanika tanah tiap tingkat pelapukan jangan dihitung 3
kali baiknya 4 atau 5 kali agar didapatkan kurva yang lebih baik lagi.

69
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Diktat Kuliah Petrografi. Bandung: Kelompok Bidang Keahlian (KBK)
Petrografi, Jurusan Teknik Geologi ITB.
Anonim. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan. Purbalingga: Teknik
Geologi Universitas Jenderal Soedirman.
Asikin, S. 1992. Geologi Struktur Indonesia. Bandung: Lab. Geologi Dinamis-Geologi
ITB.
Aziz, M., dan Subana. 2010. Modul Praktikum Petrologi. Purbalingga: Laboratorium
Teknik Geologi Unsoed.
Djuri, M. 1996. Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto-Tegal. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Harsolumakso, A. H. 2005. Buku Pedoman Geologi Lapangan. Bandung: Departemen
Teknik Geologi, FIKTM ITB.
Kastowo, dan Suwarna. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto-Tegal Jawa Skala 1 :
100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Marshak, S, M, G. 1988. Basic Methods of Structural Geology. New Jersey: Prentice
Hall.
Plunggono A., dan Martodjojo S. 1994. Perubahan Tektonik Paleogen – Neogen
Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa.
Sadisun, I.A., dan Bandono. 1998. Pengenalan derajat pelapukan batuan guna
menunjang pelaksaan berbagai pekerjaan sipil dan operasi pertambangan.
Gakuryoko, Vol. IV, No. 2. 10-23.
Tucker, M. 1991. Sedimentary Petrology An Introduction To Origin Of Sedimentary
Rocks. New York: Blackwell
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia, vol.1. A, The Haque, Martinus
Nijhoff.
Van Zuidam, R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ Enschede The Hague.
Wesley, L.D. 1977. Mekanika Tanah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta
Selatan.
Williams, H., Francis T dan Gilbert M. 1982. Petrography – An Introduction to the
Study of Rocks in Thin Section. San Francisco: W.H. Freeman and Company.

70
71

Anda mungkin juga menyukai