Daerah penelitian memiliki 2 satuan geomorfologi yaitu: Perbukitan Struktural (S2) dan
Perbukitan Struktural (S3). Satuan geomorfologi dibagi menjadi 2 karena memiliki
persen lereng yang berbeda serta pola kontur yang sangat berbeda. Persen lereng pada
daerah penelitian beragam dari landai – curam, pola kontur juga sangat berbeda dimana
terdapat daerah dengan pola kontur renggang hingga sangat curam.
Pada daerah dengan kontur rapat dipengaruhi oleh struktur geologi yang berkembang di
lokasi penelitian. Sungai yang berkembang pada daerah penelitian merupakan sungai
dendritik yang memiliki jenis muda hingga tua. Sungai tersebut berada tersebar
diseluruh daerah penelitian.
Pengamatan pada peta topografi daerah desa Sirau dan sekitarnya memperlihatkan
proses geomorfologi yang berubah secara berangsur-angsur dimana pola garis kontur
cukup curam pada bagian barat daya dan pada bagian timur laut garis kontur cenderung
sangat rapat. Proses pembentukan lahan daerah penelitian dipengaruhi oleh tektonisme.
38
sangat beragam dari datar hingga sangat curam. Berikut merupakan peta persen lereng
pada daerah penelitian (Gambar 4.1).
Dari hasil persen lereng daerah penelitian memiliki nilai persen lereng 0–2% yang
merupakan daerah yang datar, terdapat pula daerah yang memiliki nilai persen lereng 3-
7% yang merupakan daerah lereng sangat landai, daerah yang memiliki 8-13% yang
merupakan daerah lereng landai, 14-20% mendominasi daerah penelitian yang
merupakan daerah lereng agak curam, pada beberapa bagian di puncak bukit memiliki
nilai persen lereng 21-55% yang merupakan lereng curam menurut Van Zuidam (1985).
39
Gambar 4.2 Tipe Pola Pengaliran Menurut Howard (1967).
Gambar diatas merupakan pembagian pola pengaliran dasar menurut Howard (1967)
yang merupakan pola pengaliran yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola
pengaliran dasar lainnya, gambar yang memiliki kotak yang berwarna merah merupakan
pola pengaliran yang terdapat pada daerah penelitian yaitu pola dendritik. Pola
pengaliran dendritik pada umumnya dicirikan oleh sungai yang memiliki percabangan
sungai yang membentuk penyebaran ranting pohon. Dimana pola aliran ini berkembang
pada daerah dengan singkapan batuan berlapis dengan kemiringan lereng landai sampai
sedang, selain itu pola aliran dendritik memiliki tipe batuan yang homogen dan berada
pada lembah yang bentuk V. Berikut merupakan peta pola aliran sungai daerah
penelitian (Gambar 4.3).
40
Gambar 4.3 Peta Aliran Sungai Daerah Penelitian
41
Satuan perbukitan struktural (S2) dan satuan perbukitan struktural (S3) dibedakan berdasarkan
nilai persen lereng yang didapat pada tiap lereng berikut merupakan penampang sayatan
geomorfologi (Gambar 4.5) dan kolom geomorfologi (Tabel 4.1)
PROFIL PENAMPANG SAYATAN GEOMORFOLOGI A-B
H=V
Litologi yang terdapat pada satuan ini berupa batu lempung, batu pasir dan andesit. Batu
pasir tersebut menutupi hampir seluruh daerah penelitian sehingga menutupi batuan
42
yang terbentuk lebih dahulu yaitu batu lempung. Tataguna lahan pada bentang lahan ini
berupa bahan galian, daerah pemukiman dan daerah pertanian serta perkebunan.
Litologi yang terdapat pada satuan ini berupa batupasir yang memiliki ketinggian diatas
850 mdpl. Hal ini terjadi karena batu pasir pada daerah tersebut mengalami
pengangkatan akibat proses endogen sehingga kontur yang terdapat pada daerah ini
sangat rapat hingga berbentuk seperti tebing yang memanjang dari arah utara ke selatan.
Tataguna lahan pada bentang lahan ini berupa daerah pertanian dan perkebunan.
43
Penamaan dan pengelompokan satuan batuan yang ada didaerah penelitian didasarkan
pada batuan yang ditemukan dilapangan, batuan yang mendominasi, keterdapatannya
yang dapat terpetakan didalam peta dan hubungan antara satuan batuan yang satu
dengan yang lainnya. Daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan batuan,
berikut akan diuraikan secara berurutan dari tua ke muda yaitu: Pada peta geologi dan
kolom stratigrafi satuan batu lempung diberi warna hijau, satuan batupasir diberi warna
kuning dan satuan andesit diberi warna merah (Gambar 4.8).
Satuan batuan daerah penelitian ditampilkan pada penampang sayatan geologi (Gambar 4.9) dan
Kolom Stratigrafi (Gambar 4.10)
PROFIL PENAMPANG SAYATAN GEOLOGI A-B
H=V
44
Gambar 4.10 Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian
Litologi batu lempung secara megaskopis berwarna abu-abu muda, ukuran butir halus-
sangat halus, bentuk butir membundar, kemas tertutup dan memiliki pemilahan yang
baik. Komposisinya terdiri dari kuarsa dan kalsit (Gambar 4.11).
45
Gambar 4.11 Satuan Batu Lempung
Berdasarkan hasil analisis fosil foraminifera yang didapatkan maka penentuan umur
pengendapan dapat ditentukan yaitu berumur N14 serta penentuan lingkungan
pengendapan neritik tengah.
c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan batulempung pada daerah penelitian memiliki butir halus,
memiliki bentuk butiran membulat, sortasi cukup baik, memiliki komposisi fragmen
kuarsa (10%), litik (5%), dan opak (4%).Matriks (81%) dan semen silika (Gambar
4.12).
46
Gambar 4.12 Sayatan petrografi batuan lempung
Gambar 4.13
47
rekonstruksi penampang sayatan geologi memperlihatkan ketebalan satuan batupasir
sekitar >200 meter.
Litologi batupasir secara megaskopis berwarna coklat gelap, ukuran butir sedang-kasar,
bentuk butir membundar, kemas tertutup dan memiliki pemilahan yang baik.
Komposisinya terdiri dari kuarsa, feldspar dan plagioklas (Gambar 4.14).
Berdasarkan hasil analisis fosil foraminifera yang didapatkan maka penentuan umur
pengendapan dapat ditentukan yaitu berumur N14-N19 serta penentuan lingkungan
pengendapan neritik tengah.
c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan batupasir pada daerah penelitian memiliki butir sedang-kasar,
memiliki bentuk butiran membulat-menyudut, sortasi cukup baik memiliki komposisi
fragmen kuarsa (10%), plagioklas (5%), K-Feldspar (10%), litik (25%), biotit (10%),
opak (5%), matriks (20%), semen karbonat (Gambar 4.15).
48
Gambar 4.15 Sayatan petrografi batuan pasir
49
Litologi batupasir secara megaskopis berwarna coklat muda, ukuran butir sedang-kasar,
bentuk butir membundar-menyudut sedang, kemas tertutup dan memiliki pemilahan
yang baik. Komposisinya terdiri dari kuarsa, feldspar dan plagioklas (Gambar 4.17).
c. Karakteristik Batuan
Secara petrografis sayatan andesit pada daerah penelitian memiliki butir sedang-kasar,
memiliki bentuk butiran membulat-menyudut, sortasi cukup baik komposisi mineral
terdiri dari plagioklas, piroksen, olivin, mineral opak, yang tertanam dalam masadasar
mikrokristalin dan gelas (Gambar 4.18).
50
Gambar 4.18 Sayatan petrografi andesit
Analisis Plagioklas
a= 232o b= 173 o c= 131 o
X1 = | a-b | = | 232o - 258o | = 26o
X2 = | a-c | = | 232o - 208o | = 24o
51
| X1 - X2 | ≤ 2 o | 26o - 24o | = 2o
26+24
Xrata2 = =25o
2
Kemudian setelah didapat penghitungan pemadaman dan dilakukan plotting pada
diagram Michel-Levy maka didapat bahwa plagioklas merupakan andesine seperti pada
(Gambar 4.20) sehingga ditarik kesimpulan bahwa batuan memiliki sifat mengarah ke
andesit.
52
Topographic Mission). Hal itu dilakukan untuk melihat arah tegasan daerah penelitian
dan sebagai interpretasi awal untuk menentukan keterdapatan struktur geologi di daerah
penelitian.
Berdasarkan analisis pola kelurusan terhadap citra SRTM (Shuttle Radar Topographic
Mission) didapatkan memiliki arah yang dominan yaitu barat-timur. Untuk mengetahui
gambaran arah sesar nilai kelurusan-kelurusan tersebut disajikan dalam bentuk diagram
roset (Gambar 4.21).
Setelah terendapkannya satuan batulempung terjadi transgresi (S. Bachri, 2011). Pada
kala Miosen Akhir sampai Pliosen Awal (N17-N19) diendapkan sedimen dengan
karakteristik yang berbeda yaitu satuan batupasir dengan material vulkaniklastik yang
termasuk kedalam formasi halang terdiri atas batupasir masif dan batupasir sisipan
batulempung dengan tebal kurang lebih 255 m pada batimetri Neritik Luar dari hasil
53
analisis fosil. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan satuan batupasir ini termasuk
ke dalam lingkungan Submarine Fan bagian middle fan (Walker,1992).
Setelah diendapan kedua satuan batuan di daerah penelitian, terjadi proses endogenik
yang menyebabkan munculnya lava andesit. Lava tersebut terbentuk di interpretasikan
berasal dari Gunung Kumbang selain itu terjadi perlipatan, pengangkatan sehingga
menyebabkan terbentuknya struktur lipatan antiklin, sinklin. Proses eksogen berupa
pelapukan, erosi dan juga proses sedimentasi terus terjadi hingga membentuk morfologi
daerah penelitian seperti saat ini.
Pengambilan lokasi longsor yang berada di Desa Sirau dikarenakan desa ini masuk
kedalam desa yang termasuk kedalam desa rawan bencana longsor (Data BPBD
Purbalingga 2018), selain itu potensi gerakan tanah/longsor pada Desa Sirau masuk
kedalam kategori menegah-tinggi yaitu daerah yang mempunyai potensi untuk
terjadinya gerakan tanah/longsor jika pada daerah tersebut terjadi curah hujan di atas
normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing
jalan selain itu gerakan tanah/longsor lama dapat aktif kembali (Data Badan Geologi
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi).
54
Gambar 4.23 Peta SRTM Daerah Penelitian
55
Gambar 4.24 Penampang Sayatan Longsoran Daerah Penelitian
56
Gambar 4.25 Singkapan pada titik longsor
Tiap tingkat pelapukan pada lereng penelitian dilakukan pengujian analisis XRD untuk
mengetahui mineral lempung yang terdapat pada tiap tingkat pelapukan. Dibawah ini
merupakan tabel hasil pengujian analisis XRD pada tiap tingkat pelapukan, sebagai
berikut:
Tabel 4.2 Hasil analisis XRD
Tingkat Nama Mineral (%)
No
Pelapukan Kaolinite Illite Montmorillonite
1 6 30.5 65.9 3.6
2 5 34.2 62.1 3.7
3 4 28.3 68.2 3.5
Dari data pada tabel tersebut diketahui bahwa mineral lempung yang bersifat sangat
plastis dan mempunyai sifat mengembang yaitu montmorillonite berkembang pada
tingkat 4, 5 dan 6 sehingga menjadikan lereng sangat rawan untuk terjadinya sebuah
longsor karena mineral tersebut sangat rentan akan longsor jika terjadi penjenuhan air.
4.6. Kondisi Geologi Teknik Longsor Daerah Penelitian
Kondisi lereng pada daerah penelitian memiliki ketinggian 18 m dengan slope 74o,
tiap tingkat pelapukan di beri warna yang berbeda-beda dimana tingkat pelapukan 4
di beri warna kuning, tingkat pelapukan 5 diberi warna hijau dan tingkat pelapukan 6
57
di beri warna merah selain itu masing-masing tingkat pelapukan memiliki ketebalan
yang berbeda tingkat 4 = 4,8m, tingkat 5 = 12,2m dan tingkat 6 = 1m , dari
kenampakannya lereng tersebut pernah terjadi longsor sebelumnya dan masih terlihat
sangat rawan untuk terjadi tanah longsor berikutnya sehingga diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keamanan lereng tersebut dengan mengambil
sampel tanah pada lokasi tersebut (Gambar 4.).
58
Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai berat isi tanah, kohesi
dan sudut geser dalam diperlukan pengujian Direct Shear. Dibawah ini merupakan hasil
pegujian Direct Shear.
Tabel 4.4 Uji Direct Tingkat Pelapukan 4
No. Sampel 1 2 3
156.3
Berat Tanah + Cawan g 135.40 140.00
0
Berat Cawan g 41.70 41.70 41.70
114.6
Berat Tanah g 93.70 98.30
0
Kadar Air wN (%) 38.16
Berat Isi Tanah γ (g/cm3) 1.45 1.77 1.52
Berat Isi Kering γd (g/cm3) 1.05 1.28 1.10
Tegangan Nornal (kg/cm2) 0.10 0.20 0.30
Tegangan Stress (kg/cm2) 0.23 0.25 0.32
Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 1.143 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 11.21 kN/m3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress.
0.4
0.3
Shear stress, t kg/cm2
0.2
0.1
0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2
59
4.6.1.2 Tingkat Pelapukan 5
Hasil dari laboratorium mekanika tanah untuk menentukan nilai berat isi tanah, kohesi
dan sudut geser dalam diperlukan pengujian Direct Shear. Dibawah ini merupakan hasil
pegujian Direct Shear.
Tabel 4.5 Uji Direct Shear Tingkat Pelapukan 5
No. Sampel 1 2 3
141.9
Berat Tanah + Cawan g 136.80 125.80
0
Berat Cawan g 41.70 41.70 41.70
100.2
Berat Tanah g 95.10 84.10
0
Kadar Air wN (%) 39.94
Berat Isi Tanah γ (g/cm3) 1.55 1.47 1.30
Berat Isi Kering γd (g/cm3) 1.11 1.05 0.93
Tegangan Normal (kg/cm2) 0.10 0.20 0.30
Tegangan Stress (kg/cm2) 0.21 0.23 0.28
Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 1.03 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 10.1 kN/m 3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress.
0.3
0.2
0.1
0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2
60
dikonversi menjadi kPa dengan cara 1 kg/cm 2 = 98.06 kPa sehingga nilai kohesi adalah
16.67 kPa.
Dari tabel tersebut nilai berat isi kering tanah di jumlahkan lalu dibagi 3 sehingga
didapatkan 0.92 g/cm3, nilai tersebut dikonversi menjadi kN/m 3 dengan cara 1 g/cm3 =
9.80 kN/m3, sehingga berat isi kering tanah adalah 9.02 kN/m 3. Untuk nilai kohesi dan
sudut geser dalam didapat dari grafik yang terbentuk antara tegangan normal dan
tegangan stress. Untuk nilai kohesi dan sudut geser dalam didapat dari grafik yang
terbentuk antara tegangan normal dan tegangan stress.
0.3
Shear stress, t kg/cm2
0.1
0.0
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40
Normal Stress, sn kg/cm2
61
Dari diagram tersebut di dapat nilai y = 0.264x + 0.129, dimana y = (arctan(nilai) =
sudut geser dalam)x + (kohesi). Sehingga nilai dusut geser dalam yang di dapat adalah
arctan (0.264) = 14.79o dan dan untuk kohesi adalah 0.1 kg/cm2 nilai tersebut dikonversi
menjadi kPa dengan cara 1 kg/cm2 = 98.06 kPa sehingga nilai kohesi adalah 17.25 kPa.
Nilai dari berat isi kering tanah, kohesi dan sudut geser dalam yang sudah dihitung
selanjutnya akan dimasukkan kedalam software slide 6 untuk mengetahui nilai faktor
keamanan dari lereng tersebut.
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tingkat 4 memiliki indeks plastisitas
sebesar 12.91, tingkat 5 memiliki indeks plastisitas sebesar 10.57 dan tingkat 6
memiliki indeks plastisitas sebesar 18.81.
62
Berat Air (gr) 3.20 3.20 2.49 1.93 2.07 1.70
Kadar Air 48.0
(%) 83.12 71.11 56.46 42.42 44.74
(Tanah Kering) 3
Rata-rata (%) 59.29 46.38
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 4 memiliki nilai
batas cair sebesar 59.29% dan batas plastis sebesar 46.38% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 59.29% - 46.38% = 12.29 %
Tabel 4.9 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif
Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 12.29% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.
63
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 5 memiliki nilai
batas cair sebesar 40.37% dan batas plastis sebesar 29.80% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 40.37% - 29.80% = 10.57 %
Tabel 4.11 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif
Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 10.57% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.
64
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada pelapukan tingkat 6 memiliki nilai
batas cair sebesar 63.32% dan batas plastis sebesar 44.51% untuk menghitung nilai
indeks plastisitas adalah dengan rumus IP = LL – PL
IP = 63.32% - 44.51% = 18.81 %
Tabel 4.12 Nilai Indeks Plastisitas dan Sifat Tanah (Hardiyatno, 2002)
IP % Sifat Tanah Kohesi
0 Non Plastis Non Kohesif
<7 Plastisitas Rendah Kohesi Sebagian
7-17 Plastisitas Sedang Kohesif
>17 Plastisitas Tinggi Kohesif
Dari hasil uji plastisitas didapatkan nilai 18.81% yang merupakan sifat tanah berupa
plastisitas sedang dan kohesinya yaitu kohesif, yang mengakibatkan tanah tersebut
akan mengembang bila kadar air bertambah, dan akan menyusut apabila kadar air
menurun. Sifat inilah yang menyebabkan akan terjadinya tanah longsor.
65
Dari hasil perhitungan software slide 6 lereng tersebut memiliki nilai faktor keamanan
sebesar 0.899 yang berada dominan pada tingkat pelapukan 5 nilai tersebut merupakan
nilai faktor keamanan terkecil pada lereng tersebut.
Tabel 4.13 Nilai Faktor Keamanan (Bowles, 1991)
Nilai Faktor Keamanan Kejadian / Intensitas Longsor
FK < 1,07 Longsoran terjadi biasa/sering (kelas labil)
FK antara 1,07 – 1,25 alabillabil)
Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)
FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)
Dari hasil analisis kestabilan lereng didapatkan nilai 0.899 yang merupakan kelas
labil dimana lereng tersebut masih sering terjadi sehingga diperlukan penanganan
khusus untuk menghindari longsoran di lain waktu.
66
Gambar 4.32 Nilai faktor keamanan lereng
Dengan penanggulangan pemotongan lereng di dapatkan nilai faktor keamanan menjadi 1.27
dimana lereng tersebut menjadi stabil yang diharapkan tidak terjadi longsor di kemudian hari.
Cara selanjutnya merupakan perubahan geometri lereng dapat dilakukan dengan mengurangi
kemiringan lereng pada daerah penelitian lereng sehingga lereng tersebut juga memiliki
beban yang lebih sedikit. Lereng pada daerah penelitian memiliki slope 74o dengan
mengurangi nilai slope menjadi 54o.
67
Gambar 4.34 Nilai faktor keamanan lereng
Dengan pengurangan pada kemiringan lereng di dapatkan nilai faktor keamanan sebesar
1.262 dimana lereng tersebut juga menjadi stabil sehingga di harapkan tidak terjadi longsor
di kemudian hari.
68
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil Geologi dan Analisis Kestabilan Lereng Desa Sirau, Kecamatan
Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah dapat disimpulkan
beberapa hal, antara lain:
1. Satuan geomorfologi pada daerah penelitian dibagi menjadi 2 satuan geomorfologi
yaitu satuan perbukitan struktural (S2) dan satuan perbukitan struktural (S3), dengan
urutan stratigrafi pada daerah penelitian dari tua ke muda yaitu satuan batu lempung,
satuan batupasir dan satuan batu andesit.
2. Faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng pada setiap tingkat pelapukan adalah
berat isi tingkat 6 : 9.02 kN/m3, kohesi tingkat 6 : 13.14 kPa, besar sudut geser
dalam tingkat 6 : 14.79o, berat isi tingkat 5 : 10.1 N/m3, kohesi tingkat 5: 16.67 kPa,
besar sudut geser dalam tingkat 5: 19.39o, berat isi tingkat 4 : 11.21 kN/m3, kohesi
tingkat 4: 17.25 kPa, besar sudut geser dalam tingkat 4 : 27o
3. Dari hasil analisis faktor kestabilan lereng menggunakan software slide 6.0 sebagai
acuan untuk penentuan nilai FK yang digunakan. Gerakan tanah pada daerah
penelitian memiliki nilai FK minimum = 0.899
4. Untuk memperbaiki kemantapan lereng dapat dilakukan macam-macam metode
perbaikan lereng dengan cara merubah geometri lereng pelandaian lereng atau
penghilangan beban dari tumit lereng dan metode penanaman tanaman dengan
sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya gerakan tanah serta
penanggulangannya dengan melakukan penghijauan/reboisasi.
5.2 Saran
Adapun beberapa saran berdasarkan kesimpulan dari pembahasan yang harus
diperhatikan agar lebih baik, antara lain:
1. Sebaiknya analisis uji direct shear dilakukan jangan tiap tingkat pelapukan tapi per 1
meter untuk melihat lebih rinci perubahan nilai mekanika tanahnya.
2. Untuk perhitungan data mekanika tanah tiap tingkat pelapukan jangan dihitung 3
kali baiknya 4 atau 5 kali agar didapatkan kurva yang lebih baik lagi.
69
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Diktat Kuliah Petrografi. Bandung: Kelompok Bidang Keahlian (KBK)
Petrografi, Jurusan Teknik Geologi ITB.
Anonim. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan. Purbalingga: Teknik
Geologi Universitas Jenderal Soedirman.
Asikin, S. 1992. Geologi Struktur Indonesia. Bandung: Lab. Geologi Dinamis-Geologi
ITB.
Aziz, M., dan Subana. 2010. Modul Praktikum Petrologi. Purbalingga: Laboratorium
Teknik Geologi Unsoed.
Djuri, M. 1996. Peta Geologi Regional Lembar Purwokerto-Tegal. Bandung: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Harsolumakso, A. H. 2005. Buku Pedoman Geologi Lapangan. Bandung: Departemen
Teknik Geologi, FIKTM ITB.
Kastowo, dan Suwarna. 1996. Peta Geologi Lembar Purwokerto-Tegal Jawa Skala 1 :
100.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Marshak, S, M, G. 1988. Basic Methods of Structural Geology. New Jersey: Prentice
Hall.
Plunggono A., dan Martodjojo S. 1994. Perubahan Tektonik Paleogen – Neogen
Merupakan Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Proceeding Geologi dan
Geoteknik Pulau Jawa.
Sadisun, I.A., dan Bandono. 1998. Pengenalan derajat pelapukan batuan guna
menunjang pelaksaan berbagai pekerjaan sipil dan operasi pertambangan.
Gakuryoko, Vol. IV, No. 2. 10-23.
Tucker, M. 1991. Sedimentary Petrology An Introduction To Origin Of Sedimentary
Rocks. New York: Blackwell
Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia, vol.1. A, The Haque, Martinus
Nijhoff.
Van Zuidam, R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ Enschede The Hague.
Wesley, L.D. 1977. Mekanika Tanah. Badan Penerbit Pekerjaan Umum. Jakarta
Selatan.
Williams, H., Francis T dan Gilbert M. 1982. Petrography – An Introduction to the
Study of Rocks in Thin Section. San Francisco: W.H. Freeman and Company.
70
71