4.5.Geologi
stratigrafi, dan struktur geologi yang akan menjadi dasar informasi mengenai kondisi geologi
Menurut Sukamto dan Supriatna, 1982, daerah penelitian termasuk dalam lembar
Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai. Kondisi geomorfologi pada sebelah barat Gunung
Cindako dan utara Gunung Baturape merupakan daerah berbukit, timur mencapai ketinggian
kira-kira 500 m, barat kurang dari 50 m di atas muka laut dan hampir merupakan pedataran.
Tersusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen. Bagian timur terdapat bukit-bukit
terisolir tersusun oleh batuan klastika gunungapi berumur Miosen dan Pliosen. Pesisir
baratdaya ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah dengan arah umum kira-kira
baratlaut tenggara.
didasarkan pada bentuk permukaan bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi
pedataran, perbukitan dan pegunungan. Aspek bentukan ini perlu memperhatikan parameter
dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk lereng, dan bentuk lembah yang dijumpai
berupa kelas lereng terdiri atas persentase lereng dan besar sudut lereng (Van Zuidam, 1985).
dengan kemiringan lereng 30-630dengan beda tinggi sekitar 100 meter (van Zuidam,1985).
Satuanbentangalam perbukitan curam menempati 4,1 km2 atau keseluruhan luas daerah
penelitian.
Daerah Aliran Sungai Jeneberang terletak pada 119o 23’ 50’’ BT – 119o56’10’’ dan
sungai utama yang merupakan Sungai Jeneberang dari hulu hingga muara di Selat Makassar
78,75 km. Lokasi longsor dinding kaldera Gunung Bawakaraeng terletak di hulu Daerah
Aliran Sungai (DAS) Jeneberang dan material longsorannya menimbuni bagian hulu sungai
tersebut. Sementara DAS Jeneberang merupakan daerah yang mengalirkan air yang jatuh di
Bawakaraeng dan Lompobattang pada ketinggian sekitar 1850 meter di atas permukaan laut
(mdpl). Sungai ini mengalir dari tengah pulau Sulawesi bagian selatan ke arah pantai barat
Sulawesi Selatan, melalui Waduk Bilibili dan bermuara di bagian selatan Kota Makassar,
(Gambar 1). Hal ini menyebabkan DAS Jeneberang seluas 820,28 km2 ini membentang dari
timur ke barat diapit oleh DAS Tallo dan DAS Tangka di bagian utaranya, serta DAS
Jenelata di bagian selatannya. Bentuk pola aliran sungai yang dendritik dengan dua cabang
sungai besar yaitu Salo Malino di bagian utara dan Salo Kausisi di bagian selatan,
menyebabkan bentuk DAS Jeneberang memanjang dari timur ke barat dengan bagian hulu
yang lebih luas dan mengerucut ke arah waduk Bilibili setelah percabangan Salo Malino dan
Salo Kausisi.
dari peta RBI Bakosurtanal skala 1:50.000 seta dengan menggunakan sistem penklasifkasian
lahan yang diterapkan oleh Kendall, dkk. (1952), maka lahan di DAS Je’neberang dapat
Berdasarkan tabel 13 bahwa DAS Je’neberang didominasi oleh dataran rendah yaitu
sekitar 69.511,06 Ha meliputi atau sekitar 66,29% dari luas keseluruhan DAS, sedangkan
darerah dataran tinggi memiliki luas 26.297,30 Ha atau sekitar 25,07 % dan daerah
pegunungan dengan luasan 9.094,58 Ha atau hanya sekitar 8,67 % dari luas DAS Je’neberang
relief yang terjal mempunyai kemiringan lereng antara 30° hingga hampir tegak, dan ketinggian
tempat antara 1000 – 2830 m di atas permukaan laut. Material longsoran tahun 2004 yang menutupi
lembah sungai yang merupakan salah satu hulu Sungai Jeneberang berpotensi terjadi debris flow atau
mud flow. Morfologi sungai akibat longsoran membentuk Sungai yang sangat curam dan mempunyai
Gunung Bawakaraeng sering terjadi bencana terutama debris flow atau mud flow
karena masih banyak volume material longsoran di atas Gunung Bawakaraeng. Berdasarkan
citra landsat material longsoran menyebar sejauh 7 km dari gawir longsoran dengan lebar
antara 100 – 300 m. Pada kejadian pertama, Maret 2004, ada yang menyebutkan bahwa
peristiwa ini disebut runtuhnya lereng (Slope Collapse), yaitu longsornya sebagian atau
seluruh lereng suatu bukit atau dinding bukit runtuh ke bawah akibat jenuh air hujan.
material gunung api karena guguran lerengini tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung
api.
Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian didasarkan atas
litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri-ciri fisik batuan yang dapat dipetakan
dalam skala 1:10.000 (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Dasar penamaan litologi dari satuan
batuan daerah penelitian terdiri atas dua cara yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan
secara mikroskopis. Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat
fisik dan komposisi mineral yang bisa diamati, dan secara mikroskopis dengan menggunakan
mikroskop polarisasi dengan dasar penamaan menggunakan klasifikasi batuan beku menurut
Travis (1955).
Daerah Sungguminasa – Malino
fisik warna segar abu-abu dan warna lapuk abu – abu kehitaman, tekstur hipokristalin,
mineral berupa piroksin, plagioklas dan massa dasar. Berdasarkan ciri fisik dari kenampakan
kecoklatan, warna interferensi abu – abu kehitaman, tekstur hipokristalin, bentuk subhedral –
anhedral, inequigranular, tekstur khusus pilotasitik, yang tersusun atas fenokris dengan
mineral seperti plagioklas (40%) dengan ukuran mineral 0,02-0,5 mm, mineral piroksin (1%)
dengan ukuran mineral 0,05mm dan massa dasar (55%)yang terdiri dari mikrolit plagioklas
dengan ukuran <0,02 mm, dengan tipe struktur massive. Berdasarkan analisis petrografis,
dengan melihat karakteristik dan persentase material penyusun batuan, maka batuan ini
0,4 mm
fisik warna segar abu-abu dan warna lapuk abu – abu kecoklatanstruktur tidak berlapis
tekstur klastik dengan komposisi mineral ortoklas, piroksin dan biotit. Berdasarkan ciri fisik
dari kenampakan tersebut maka dinamakan Tufa Lapili (Wentworth, 1922) foto 4.5
kuning kecoklatan, warna interferensi abu – abu kehitaman, tekstur piroklastik halus, dengan
ukuran butir 0,02 – 2 mm, bentuk mineral subangular-subrounded, sortasi buruk, kemas
terbuka, komposisi mineral terdiri dari orthoklas, piroksin, biotit, mineral opak dengan
ukuran mineral 0,02-1 mm, rock fragmen dengan ukuran fragmen 0,5-2 mm, dan gelas
vulkanik dengan ukuran mineral <0,02 mm dangan nama batuan Litic Tuff (Petijohn 1956)
Foto 4.6.
Gambar 1 Peta Formasi dan Lithologi DAS Je'neberang
DAS Je’neberang berada di lengan Selatn Pulau Sulawesi tepatnya di lereng barat dari
pegunungan Lompobattang, sebuah pegunungan api (vulkan) tife strato yang sudah istirahat,
vulkan tife strato memiliki struktur batuan yag relatif tidak kompak. Pada bagian puncak
vulkan yang besar ini mempunyai sisa kawah yang masih dapat dikenal (Bemmelen, 1968).
Gunung api ini lahir dan aktif di zaman terstier tengah pada kurung miosen 25 mega tahun
yang lalu. Adapun bberapa puncak-puncak pegunungan dari vulkan Lompobattang yaitu
Berdasarkan peta Geologi Skala 1 : 250.000 dan peta Geologi Kabupaten Gowa
endapan aluvium sungai, danau dan pantai (Qac) utamanya sepanjang sungai induk
Je’neberang sampai terhampar di bagian hilir DAS hingga sampai di sepanjang pantai dengan
luas area 38.643,26 Ha atau dengan persentase 36,84% dari luas DAS, Formasi kedua yang
mendominasi DAS ini adalah Formasi Camba termasuk batuan sedimen laut dan gunungapi
(Tmc), breksi, lahar, tufa dan konglongmerat (Tmcv) yang banyak tersebar dibagian tengah
yaitu di sebelah utara dan selatan dari induk sungai Je’neberang dengan luas area 26.133,80
Ha atau dengan persentase 24,91% dari luas DAS sedangkan Formasi Lombobattang
termasuk Pusat Erupsi (Qlv-c), batuan Gunung api (Qlv) serta sebaran batuan breksi lahar
dan tufa (Qlv1) dengan luas 16.712,95 Ha atau dengan persentase 15,93 %, serta sebaran
keadaan geologi yang paling sempit yaitu Formasi Tonasa (Temt) dengan luas area 258,43
Ha atau hanya dengan persentase 0,25% (Praktek Lapang Pengelolaan DAS, Geografi Fisis,
2005).
flow karena masih banyak volume material longsoran di atas Gunung Bawakaraeng. Ber-
dasarkan citra landsat material longsoran menyebar sejauh 7 km dari gawir longsoran dengan
lebar antara 100 – 300 m. Pada kejadian pertama, Maret 2004, ada yang menyebutkan bahwa
peristiwa ini disebut runtuhnya lereng (Slope Collapse), yaitu longsornya sebagian atau
seluruh lereng suatu bukit atau dinding bukit runtuh ke bawah akibat jenuh air hujan.
material gunung api karena guguran lerengini tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung
api.
Lompobatang yang terdiri dari lava, tufa lahar dan breksi vulkanik yang telah mengalami
pelapukan pada bagian permukaannya menjadi lempung lanauan hingga pasir lanauan
berwarna kuning kecoklatan hingga coklat kehitaman, bersifat gembur, dengan ketebalan
antara 0,5 – 3 m. Batuan lainnya yang terdapat di sekitar lokasi penelitian antara lain
Endapan Aluvium, Endapan Sumbat, Endapan Erupsi Parasitik, Anggota Breksi, Endapan
Vulkanik Baturepe, dan Formasi Camba. Penyebaran struktur geologi di puncak Gunung
Bawakaraeng sangat intensif berupa sesar normal dengan arah sesar utara – selatan dan
baratlaut – tenggara. Dengan keberadaan struktur geologi ini menyebabkan kekuatan batuan
menjadi berkurang dan cenderung mudah runtuh jika dipicu curah hujan yang tinggi.
Gambar 2. Peta geologi kaldera Bawakaraeng dan sekitarnya (modifikasi dari Sukamto
dan Supriatna, 1982 dalam Maarif, 2012).
C. Stratigrafi Regional
Endapan Permukaan
koral, bioklastika, dan kalkarenit. dengan sisipan napal globigerina. Batugamping kaya foram
besar, batugamping pasiran, setempat dengan moluska: kebanyakan putih dan kelabu muda.
sebagian kelabutua dan coklat. Perlapisan baik setebal antara 10 cm dan 30 cm, terlipat
lemah dengan kemiringan lapisan rata-rata kurang dari 25o; di daerah Jeneponto
Fosil dari Formasi Tonasa dikenal: oleh D. Kadar (hubungan tertulis. 1973, 1974,
1975;. dan oleh Purnamaningsih (hubungan tertulis, 1974). Contoh-contoh yang dianalisa
fosilnya adalah: La.8, La.35, Lb.1, Lb.49, Lb83, Lc.44, Lc.97, Lc. 114, Td.37, Td.161, dan
Td.167. Fosil fosil yang dikenali termasuk: Discocyclina sp., Nummuliites sp,. Heterostegina
Sumatrensis JONES & CHAPMAN, Miogypsina sp., Globigerina sp, Gn. triprtita COCH,
Operculina sp. Gabungan fosil tersebut menunjukkan umur berkisar dari Eosen sampai
Miosen Tengah (Ta - Tf). dan lingkungan pengendapan neritik dangkal sampai dalam dan
sebagian laguna.
Formasi ini tebalnya tidak kurang dari 1750 m, tak selaras menindih batuan
Gunungapi Terpropilitkan (Tpv) dan ditindih oleh Formasi Camba (Tmc); di beberapa tempat
diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan basal dan diorit; berkembang baik di sekitar
Tonasa di daerah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, sebelah utaranya.
Tmc FORMASI CAMBA: batuan sedimen laut berselingan dengan batuan
gunungapi, batupasir tufaan benselingan dengan tufa batupasir dan batulempung ; bersisipan
napal, batugamping , konglomerat dan breksi gunungapi dan batubara. Warna beraneka dari
putih, coklat, merah. kelabu muda sampai kehitaman umumnya mengeras kuat; berlapis-lapis
dengan tebal antara 4 cm dan 100 cm. Tufa berbutir halus hingga lapili; tufa lempungan
berwarna merah mengandung banyak mineral biotit; konglomenat dan breksinya terutama
berkomponen andesit dan basal dengan ukuran antara 2 cm dan 30 cm; batugamping pasiran
mengandung koral dan moluska; batulempung kelabu tua dan napal mengandung fosil foram
Fosil dari Formasi Camba yang dikenal oleh D. Kadar (hubungan tertulis 1974, 1975)
dan Purnamaningsih (hubungan tertulis, 1975). pada contoh batuan La.3. L.a.24, La.125, dan
La.448/4, terdiri dari: Globorotalia mayeri CUSHMAN & ELLISOR,. Gl. praefoksi BLOW
MOLL, dan Elphidium advenum (CUSHMAN) Gabungan fosil tersebut menunjukkan umur
Miosen Tengah (Tf). Lagi pula ditemukan fosil foraminifera jenis yang lain, ostrakoda dan
moluska dalam Formasi ini. Kemungkinan Formasi Camba di daerah ini berumur sama
dengan yang di Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, yaitu Miosen Tengah
Formasi ini adalah lanjutan dari Formasi Camba yang terletak di Lembar Pangkajene
dan Bagian Barat Watampone sebelah utaranya kira-kira 4.250 m tebalnya, diterobos oleh
retas basal piroksen setebal antara ½ - 30 m, dan membentuk bukit-bukit memanjang Lapisan
batupasir kompak (10 - 75 cm) dengan sisipan batupasir tufa (1 - 2 cm) dan konglomerat
berkomponen basal dan andesit, yang tersingkap di P. Salayar diperkirakan termasuk satuan
Tmc.
Batuan Gunungapi
Tmcv Batuan Gunungapi Formasi Camba: breksi gunungapi, lava konglomerat dan
tufa berbutir halus hingga lapili bersisipan batuan sedimen laut berupa barupasir tufaan,
batupasir gampingan dan batulempung yang mengandung sisa tumbuhan. Bagian bawahnya
lebih banyak mengandung breksi gunungapi dari lava yang berkomposisi andesit ban basal;
konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 - 50 cm; tufa berlapis
baik, terdiri dari tufa litik, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya mengandung ignimbrit
bersifat trakit dan tefrit leusit; ignimbrit berstruktur kekar meniang, berwarna kelabu
kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur aliran dengan permukaan berkerak roti,
berwarna hitam. Satuan Tmcv ini termasuk yang dipetakan oleh T.M. van Leeuwen
(hubungan tertulis, 1978) sebagai Batuan Gunungapi Sopo, Batuan Gunungapi Pamusureng
dan Baruan Gunungapi Lemo. Breksi gunungapi yang tersingkap di P. Salayar mungkin
termasuk formasi ini; breksinya sangat kompak, sebagian gampingan; berkomponen basal
amfibol, basal piroksen dan andesit (0,5 — 30 cm), bermassa dasar tufa yang mengandung
Fosil yang dikenali oleh D. Kadar (hubungan rertulis, 1971) dari lokasi A.75 dan
D’ORBIGNY, Rotaila sp., dan Gastropoda. Penarikhan jejak belah dan contoh ignimbrit
menghasilkan umur 13 ± 2 juta tahun dan K-Ar dan contoh lava menghasilkan umur 6,2 juta
tahun (TM. van Leeuwen, hubungan tertulis, 1978). Data paleontologi dan radiometri
pada Formasi Camba yang berkembang baik di daerah sebelah utaranva Lembar Pangkajene
dan Watampone Bagian Barat); lapisannya kebanyakan terlipat lemah, dengan kemiringan
kurang dari 20o; menindih tak selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan batuan yang
lebih tua.
sisipan sedikit tufa dan konglomerat. Bersusunan basal, sebagian besar porfiri dengan
fenokris piroksen besar-besar sampai 1 cm dan sebagian kecil tansatmata, kelabu tua
kehijauan hingga hitam warnanya; lava sebagian berkekar maniang dan sebagian berkekar
lapis, pada umumnya breksi berkomponen kasar, dari 15 cm sampai 60 cm, terutama basal
dan sedikit andesit, dengan semen tufa berbutir kasar sampai lapili, banyak mengandung
pecahan piroksen.
Kompleks terobosan diorit berupa stok dan retas di Baturape dan Cindako
diperkirakan merupakan bekas pusat erupsi (Tpbc); batuan di sekitarnya terubah kuat,
amigdaloidal dengan mineral sekunder zeolit dan kalsit: mineral galena di Baturape
kemungkinan berhubungan dengan terobosan diorit ini; daerah sekitar Baturape dan Cindako
batuannya didominasi oleh lava Tpbl. Satuan ini tidak kurang dari 1250 m tebalnya dan
lahar dan tufa. Membentuk kerucut gunungapi strato dengan puncak tertinggi 2950 m di atas
muka laut; batuannya sebagian besar berkomposisi andesit dan sebagian basal, lavanya ada
yang berlubang - lubang seperti yang di sebelah barat Sinjai dan ada yang berlapis; lava
yang terdapat kira-kira 2½ km sebelah utara Bantaeng berstruktur bantal; setempat breksi dan
pusat erupsi yang memperlihatkan bentuk kubah lava; bentuk kerucut parasit memperlihatkan
paling sedikit ada 2 perioda kegiatan erupsi, yaitu Qlvpl dan Qlvp2. Di daerah sekitar pusat
erupsi batuannya terutama terdiri dari lava dan aglomerat (Qlv), dan di daerah yang agak jauh
terdiri terutama dan breksi, endapan lahar dan tufa (Qlvb). Berdasarkan posisi stratigrafinya
Batuan Terobosan
d DIORIT: terobosan diorit, kebanyakan berupa stok dan sebagian retas atau sill;
(Temt); umumnya berwarna kelabu, bertekstur porfiri, dengan fenokris amfibol dan biotit,
Penarikhan Kalium Argon pada biotit dan aplit (lokasi 2) dan diorit (lokasi 3) menunjukkan
umur masing- masing 9.21 dan 7,74 juta tahun atau Miosen. Akhir. (J.D. Obradovich
BASAL: terobosan basal berupa retas, sill dan stok, bertekstur porfir dengan fenokris
piroksen kasar mencapai ukuran lebih dan 1 cm, berwarna kelabu tua kehitaman dan
kehijauan; sebagian dicirikan oleh struktur kekar meniang, beberapa di antaranya mempunyai
tekstur gabro. Terobosan basal di sekitar Jene Berang berupa kelompok retas yang
mempunyai arah kira- kira radier memusat ke Baturape dan Cindako ; sedangkan yang di
Semua terobosan basal menerobos batuan dan Formasi Camba (Tmc). Penarikan
Kalium/Argon pada batuan basal dari lokasi 1 dan 4, dan gabro dari lokasi 5 menunjukkan
umur masing-masing 7,5. 6,99 dan 7,36 juta tahun, atau Miosen Akhir (Indonesia Gulf Oil
Co., hubungan tertulis, 1972; J.D. Obradovich, hubungan tertulis, 1974). lni menandakan
bahwa kemungkinan besar penerobosan basal berlangsung sejak Miosen Akhir sampai
Pliosen Akhir.
Batuan Malihan
antofilit. kordiorit, epidot, garnet, kuarsa, felspar, muskovit dan karbonat. Berwarna kelabu
kehiauan sampai hijau tua, tersingkap daerah yang sempit (±2 km2), pada kontak dengan
granodiorit (gd) dan dibatasi oleh sesar dari batuan gunungapi Tmcv. Batutanduk ini
1. Struktur Lipatan
Struktur ini mempunyai arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan yang tidak
2. Struktur Sesar
Struktur sesar ini mempunyai arah yang bervariasi,seperti pada daerah Lompobattang
ini sulit untuk ditentukan. Terjadinya pelipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses
tektonik daerah setempat,dimana akhir daripada kegiatan gunung api Miosen Bawah,diikuti
kemumngkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan menurun perlahan secara
sedimentasi berlangsung sampai kala Pliosen,hal ini diikuti oleh kegiatan gunung api pada
daerah sebelah Baratdaya.Peristiwa ini terjadi selama Miosen Tengah sampai Pliosen dengan
Gunung api bawah laut,dan muncul pada kala Pliosen sebagi gunung api kontinen yang
kemungkinan besar pada kala ini mulai terjadi perlipatan,dimana kegiatan-kegiatan magma
pada kala Plistosen Atas didikuti oleh kegiatan tektonik yang menyebabkan terjadinya sesar
di daerah ini.
Menurut Sukamto dan Supriatna (1982), secara regional struktur geologi daerah
Pegunungan Lompobattang dan sekitarnya berupa struktur lipatan dan struktur sesar.
Terjadinya perlipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses tektonik, dimana akhir dari
kegiatan gunungapi Miosen diikuti oleh aktivitas tektonik yang menyebabkan terbentuknya
berlangsung sejak awal Miosen Tengah sampai kala Pliosen yang disertai dengan proses
sedimentasi. Hal ini juga diikuti oleh kegiatan gunungapi pada daerah bagian Barat.
Peristiwa ini berlangsung selama Miosen Tengah sampai Pliosen. Berhentinya kegiatan
magma pada kala Plistosen Atas oleh kegiatan tektonik menyebabkan terjadinya sesar di
daerah ini.
DAS Jeneberang adalah wilayah yang rentan terhadap pergerakan tanah. Wilayah ini
terdapat bendungan Bilibili yang merupakan pemasok air bersih di Kota Makassar dan
Sungguminasa, juga merupakan sumber energi bagi PLTA Kampili Gowa. Pergerakan tanah
di lokasi ini disebabkan struktur geologi (sesar) yang tidak stabil. Metoda Geolistrik
digunakan dalam mengidentifikasi sesar-sesar di bawah permukaan sebagai data yang akan di
rekomendasikan untuk pemeliharaan/ penyelamatan bendungan Bilibili pada masa yang akan
datang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis
dengan Konfigurasi elektroda Wenner. Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya
pada lintasan berkisar antara 5 - 2271 Ωm. Struktur sesar minor yang telah tertimbun oleh
produk-produk muda hasil longsoran Gunung Bawakareng. Sesar minor tersebut dicirikan
oleh adanya rekahan dan kekar-kekar di sekitar DAS Jeneberang dan penyebaran batuan