Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN HASIL EVALUASI TIM KEBENCANAANPADA BENCANA BANJIR-

TANAH LONGSOR DI SULAWESI SELATANDAN PENAMBANGAN GALIAN C


DI SUNGAI JENEBERANG
1. Pendahuluan
A. LatarBelakang
B. Tujuan
2. Tim Evaluasi
3. LokasiKajian
- Das : Jeneberang, Je’ne lata, Maros, Tallo, Kelara, Karaeng loe,
- Administrasi : Gowa, Maros, Makassar, Takalar dan Jeneponto
4. Keadaan Umum Lokasi Kajian
- Tutupan lahan (Agung, Anca)
- Topografi (Kelerengan dan Ketinggian/elevasi) (Andang)
- Klimatologi (Farouk, Hendra-Pompengan)
- Tanah (Anwar+Anca)

4.5.Geologi

Penjelasan tentang tinjauan geologi pada daerah penelitian, meliputi geomorfologi,

stratigrafi, dan struktur geologi yang akan menjadi dasar informasi mengenai kondisi geologi

yang berkembang pada daerah penelitian.

A. Geomorfologi Daerah Penelitian

Menurut Sukamto dan Supriatna, 1982, daerah penelitian termasuk dalam lembar

Ujung Pandang, Benteng dan Sinjai. Kondisi geomorfologi pada sebelah barat Gunung

Cindako dan utara Gunung Baturape merupakan daerah berbukit, timur mencapai ketinggian

kira-kira 500 m, barat kurang dari 50 m di atas muka laut dan hampir merupakan pedataran.

Tersusun oleh batuan klastik gunungapi berumur Miosen. Bagian timur terdapat bukit-bukit

terisolir tersusun oleh batuan klastika gunungapi berumur Miosen dan Pliosen. Pesisir

baratdaya ditempati oleh morfologi berbukit memanjang rendah dengan arah umum kira-kira

baratlaut tenggara.

Pengelompokan satuan geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada

pendekatan morfografi dan morfometri. Pendekatan morfografi, yaitu pendekatan yang

didasarkan pada bentuk permukaan bumi yang dijumpai di lapangan yakni berupa topografi
pedataran, perbukitan dan pegunungan. Aspek bentukan ini perlu memperhatikan parameter

dari setiap topografi seperti bentuk puncak, bentuk lereng, dan bentuk lembah yang dijumpai

dilapangan.Sedangkan pendekatan morfometri berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng

berupa kelas lereng terdiri atas persentase lereng dan besar sudut lereng (Van Zuidam, 1985).

Dasar penamaan satuan bentangalam daerah penelitian menggunakan pendekatan

morfografi berupa bentuk topografi daerah penelitianmelaluipengamatanlangsung di

lapangan dan pendekatan morfometri denganmelakukan analisis relief dan beda

tinggipadapetatopografi skala 1 : 10.000 daerah penelitian. Berdasarkan hal tersebut maka

satuan bentangalam daerah penelitian termasuk dalam satuan bentangalam perbukitancuram

dengan kemiringan lereng 30-630dengan beda tinggi sekitar 100 meter (van Zuidam,1985).

Satuanbentangalam perbukitan curam menempati 4,1 km2 atau keseluruhan luas daerah

penelitian.

Foto 4.1 Kenampakan bentangalam perbukitan curam pada


daerah Lonjoboko.
Foto 4.2 Kenampakan bentangalam perbukitan curam pada jalan
Poros Malino-Sinjai

Daerah Aliran Sungai Jeneberang terletak pada 119o 23’ 50’’ BT – 119o56’10’’ dan

05o10’00’’ – 05o26’00’’ LS dengan jumlah panjang sungai 1199,42 kilometer. Panjang

sungai utama yang merupakan Sungai Jeneberang dari hulu hingga muara di Selat Makassar

78,75 km. Lokasi longsor dinding kaldera Gunung Bawakaraeng terletak di hulu Daerah

Aliran Sungai (DAS) Jeneberang dan material longsorannya menimbuni bagian hulu sungai

tersebut. Sementara DAS Jeneberang merupakan daerah yang mengalirkan air yang jatuh di

atas daerah tersebut ke aliran Sungai Jeneberang.

Sungai Jeneberang sendiri memiliki hulu sungai di sekitar puncak Gunung

Bawakaraeng dan Lompobattang pada ketinggian sekitar 1850 meter di atas permukaan laut

(mdpl). Sungai ini mengalir dari tengah pulau Sulawesi bagian selatan ke arah pantai barat

Sulawesi Selatan, melalui Waduk Bilibili dan bermuara di bagian selatan Kota Makassar,

(Gambar 1). Hal ini menyebabkan DAS Jeneberang seluas 820,28 km2 ini membentang dari

timur ke barat diapit oleh DAS Tallo dan DAS Tangka di bagian utaranya, serta DAS

Jenelata di bagian selatannya. Bentuk pola aliran sungai yang dendritik dengan dua cabang
sungai besar yaitu Salo Malino di bagian utara dan Salo Kausisi di bagian selatan,

menyebabkan bentuk DAS Jeneberang memanjang dari timur ke barat dengan bagian hulu

yang lebih luas dan mengerucut ke arah waduk Bilibili setelah percabangan Salo Malino dan

Salo Kausisi.

Gambar 1 Peta Topografi Lahan DAS Je'neberang

Pembagian wilayah berdasarkan ketiggian tempat dengan menganalisis peta Kontor

dari peta RBI Bakosurtanal skala 1:50.000 seta dengan menggunakan sistem penklasifkasian

lahan yang diterapkan oleh Kendall, dkk. (1952), maka lahan di DAS Je’neberang dapat

dibagi menjadi yaitu:

Tabel Topografi Lahan DAS Je'neberang

No Ketinggian (m dpl) Keterangan Luas (Ha) %

1 < 100 Dataran Rendah 46.339,14 44,17


2 100 - 300 Dataran Rendah 11.077,65 10,56
3 300 - 500 Dataran Rendah 12.094,27 11,53
4 500 - 700 Dataran Tinggi 12.081,09 11,52
5 700 - 900 Dataran Tinggi 8.675,94 8,27
6 900 - 1100 Dataran Tinggi 5.540,27 5,28
7 1100 - 1300 Pegunungan 3.148,23 3,00
8 1300 - 1500 Pegunungan 2.033,58 1,94
9 1500 - 1700 Pegunungan 1.558,61 1,49
10 1700 - 1900 Pegunungan 1.118,81 1,07
11 1900 - 2100 Pegunungan 666,2 0,64
12 2100 - 2300 Pegunungan 304,6 0,29
13 > 2300 Pegunungan 264,55 0,25
Luas DAS 104.902,94 100,00
Sumber: Hasil Analisis MapInfo dan Kendall, 2008

Berdasarkan tabel 13 bahwa DAS Je’neberang didominasi oleh dataran rendah yaitu

sekitar 69.511,06 Ha meliputi atau sekitar 66,29% dari luas keseluruhan DAS, sedangkan

darerah dataran tinggi memiliki luas 26.297,30 Ha atau sekitar 25,07 % dan daerah

pegunungan dengan luasan 9.094,58 Ha atau hanya sekitar 8,67 % dari luas DAS Je’neberang

Gambar 2 Kondisi endapan debris flow Gunung Bawakaraeng di aliran Sungai


Jeneberang (Departemen Pekerjaan Umum, 2008, Sumaryono dan Triyana, 2011).
Daerah penyelidikan merupakan lereng baratlaut dan selatan Gunung Bawakaraeng dengan

relief yang terjal mempunyai kemiringan lereng antara 30° hingga hampir tegak, dan ketinggian

tempat antara 1000 – 2830 m di atas permukaan laut. Material longsoran tahun 2004 yang menutupi

lembah sungai yang merupakan salah satu hulu Sungai Jeneberang berpotensi terjadi debris flow atau

mud flow. Morfologi sungai akibat longsoran membentuk Sungai yang sangat curam dan mempunyai

tingkat erosi samping yang tinggi.

Gunung Bawakaraeng sering terjadi bencana terutama debris flow atau mud flow

karena masih banyak volume material longsoran di atas Gunung Bawakaraeng. Berdasarkan

citra landsat material longsoran menyebar sejauh 7 km dari gawir longsoran dengan lebar

antara 100 – 300 m. Pada kejadian pertama, Maret 2004, ada yang menyebutkan bahwa

peristiwa ini disebut runtuhnya lereng (Slope Collapse), yaitu longsornya sebagian atau

seluruh lereng suatu bukit atau dinding bukit runtuh ke bawah akibat jenuh air hujan.

Runtuhnya/guguran lereng termasuk ke dalam gerakan tanah berbeda dengan guguran

material gunung api karena guguran lerengini tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung

api.

B. Litologi Daerah Penelitian

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian didasarkan atas

litostratigrafi tidak resmi yang bersendikan pada ciri-ciri fisik batuan yang dapat dipetakan

dalam skala 1:10.000 (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Dasar penamaan litologi dari satuan

batuan daerah penelitian terdiri atas dua cara yaitu pengamatan batuan secara megaskopis dan

secara mikroskopis. Pengamatan secara megaskopis ditentukan secara langsung terhadap sifat

fisik dan komposisi mineral yang bisa diamati, dan secara mikroskopis dengan menggunakan

mikroskop polarisasi dengan dasar penamaan menggunakan klasifikasi batuan beku menurut

Travis (1955).
Daerah Sungguminasa – Malino

Foto 4.3 Singkapan Basal pada daerah pengamatan.

Pada stasiun satu dijumpai singkapan dengan Kenampakan megaskopis memilikiciri

fisik warna segar abu-abu dan warna lapuk abu – abu kehitaman, tekstur hipokristalin,

granularitas afanitik, bentuk subhedral – anhedral, relasi inequigranular dengan komposisi

mineral berupa piroksin, plagioklas dan massa dasar. Berdasarkan ciri fisik dari kenampakan

tersebut maka dinamakan basal (Fenton, 1940).

Berdasarkan analisis petrografis dari contoh sayatan dengan nomor sayatan

AL/ST.01/BSL, memperlihatkan kenampakan sayatan batuan beku warna absorbsi kuning

kecoklatan, warna interferensi abu – abu kehitaman, tekstur hipokristalin, bentuk subhedral –

anhedral, inequigranular, tekstur khusus pilotasitik, yang tersusun atas fenokris dengan

mineral seperti plagioklas (40%) dengan ukuran mineral 0,02-0,5 mm, mineral piroksin (1%)

dengan ukuran mineral 0,05mm dan massa dasar (55%)yang terdiri dari mikrolit plagioklas

dengan ukuran <0,02 mm, dengan tipe struktur massive. Berdasarkan analisis petrografis,
dengan melihat karakteristik dan persentase material penyusun batuan, maka batuan ini

adalah Basal porfiri (Travis, 1955)Foto 4.4.

0,4 mm

Foto 4.4 Kenampakan mikroskopis Basaltporfiri daerah penelitian

Pada stasiun ini dijumpai singkapan dengan Kenampakan megaskopis memilikiciri

fisik warna segar abu-abu dan warna lapuk abu – abu kecoklatanstruktur tidak berlapis

tekstur klastik dengan komposisi mineral ortoklas, piroksin dan biotit. Berdasarkan ciri fisik

dari kenampakan tersebut maka dinamakan Tufa Lapili (Wentworth, 1922) foto 4.5

Foto 4.5 Kenampakan singkapanTufa Lapili daerah penelitian


0,4 mm

Foto 4.6 Kenampakan mikroskopis Tufa Lapili daerah penelitian

Berdasarkan analisis petrografis dari contoh sayatan dengan nomor sayatan

AL/ST.02/TF, memperlihatkan kenampakan sayatan batuan piroklastik warna absorbsi

kuning kecoklatan, warna interferensi abu – abu kehitaman, tekstur piroklastik halus, dengan

ukuran butir 0,02 – 2 mm, bentuk mineral subangular-subrounded, sortasi buruk, kemas

terbuka, komposisi mineral terdiri dari orthoklas, piroksin, biotit, mineral opak dengan

ukuran mineral 0,02-1 mm, rock fragmen dengan ukuran fragmen 0,5-2 mm, dan gelas

vulkanik dengan ukuran mineral <0,02 mm dangan nama batuan Litic Tuff (Petijohn 1956)

Foto 4.6.
Gambar 1 Peta Formasi dan Lithologi DAS Je'neberang

DAS Je’neberang berada di lengan Selatn Pulau Sulawesi tepatnya di lereng barat dari

pegunungan Lompobattang, sebuah pegunungan api (vulkan) tife strato yang sudah istirahat,

vulkan tife strato memiliki struktur batuan yag relatif tidak kompak. Pada bagian puncak

vulkan yang besar ini mempunyai sisa kawah yang masih dapat dikenal (Bemmelen, 1968).

Gunung api ini lahir dan aktif di zaman terstier tengah pada kurung miosen 25 mega tahun

yang lalu. Adapun bberapa puncak-puncak pegunungan dari vulkan Lompobattang yaitu

puncak Bawakaraeng (2.830 m dpl) dan Puncak Bantaeng (2.830 mdpl)

Berdasarkan peta Geologi Skala 1 : 250.000 dan peta Geologi Kabupaten Gowa

bahwa keadaan geologi yang terdapat di DAS Je’neberang ini yaitu:


Tabel Kondisi Geologi DAS Je'neberang
No Geologi Kode Luas %

1 Pusat Erupsi Gunungapi Qlv-c 44,71 0,04


Lompobattang
2 Batuan Gunungapi Lompobattang Qlv 6.007,63 5,73
F. Lompobattang (Breksi, Lahar,
3 Qlv1 10.660,61 10,16
Tufa)
Batuan Gunungapi Baturappe-
4 Tpbv 2.775,34 2,65
Cindako

5 Batuan Gunungapi Baturappe- Tpbl 491,05 0,47


Cindako (Terutama Lava)
6 Pusat Erupsi Gunungapi Baturappe- Tpb-c 1.001,02 0,95
Cindako
7 F. Camba (Breksi, Lahar, Tufa dan Tmcv 1.560,07 1,49
Konglomerat)
Batuan Sedimen Laut dan Tmc 24.573,73 23,43
8
Gunungapi Camba
9 F. Tonasa Temt 258,43 0,25
10 Batuan Malihan Kontak St 16.634,25 15,86
11 Batuan Terobosan (Diorit) d 628,16 0,60

12 Endapan Aluvium Sungai, Danau Qac 38.643,26 36,84


dan Pantai
13 Danau Mawang D 33,15 0,03
14 DAM Bili-bili D 1.591,53 1,52
Luas DAS 104.902,94 100,00
Sumber: Hasil Analisis MapInfo, 2008

Berdasarkan Tabel di atas dinyatakan bahwa kondisi geologi didominasi oleh

endapan aluvium sungai, danau dan pantai (Qac) utamanya sepanjang sungai induk

Je’neberang sampai terhampar di bagian hilir DAS hingga sampai di sepanjang pantai dengan

luas area 38.643,26 Ha atau dengan persentase 36,84% dari luas DAS, Formasi kedua yang

mendominasi DAS ini adalah Formasi Camba termasuk batuan sedimen laut dan gunungapi

(Tmc), breksi, lahar, tufa dan konglongmerat (Tmcv) yang banyak tersebar dibagian tengah

yaitu di sebelah utara dan selatan dari induk sungai Je’neberang dengan luas area 26.133,80
Ha atau dengan persentase 24,91% dari luas DAS sedangkan Formasi Lombobattang

termasuk Pusat Erupsi (Qlv-c), batuan Gunung api (Qlv) serta sebaran batuan breksi lahar

dan tufa (Qlv1) dengan luas 16.712,95 Ha atau dengan persentase 15,93 %, serta sebaran

keadaan geologi yang paling sempit yaitu Formasi Tonasa (Temt) dengan luas area 258,43

Ha atau hanya dengan persentase 0,25% (Praktek Lapang Pengelolaan DAS, Geografi Fisis,

2005).

Gambar 4. Penyebaran endapan longsoran di bagian barat daya Gunung Bawakaraeng


dengan batuan vulkanik (Departemen Pekerjaan Umum, 2008) endapan Sungai
Jeneberang yang telah menghanyutkan Jembatan Daraha (Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007).
Di sekitar Gunung Bawakaraeng sering terjadi bencana terutama debris flow atau mud

flow karena masih banyak volume material longsoran di atas Gunung Bawakaraeng. Ber-

dasarkan citra landsat material longsoran menyebar sejauh 7 km dari gawir longsoran dengan

lebar antara 100 – 300 m. Pada kejadian pertama, Maret 2004, ada yang menyebutkan bahwa

peristiwa ini disebut runtuhnya lereng (Slope Collapse), yaitu longsornya sebagian atau

seluruh lereng suatu bukit atau dinding bukit runtuh ke bawah akibat jenuh air hujan.

Runtuhnya/guguran lereng termasuk ke dalam gerakan tanah berbeda dengan guguran

material gunung api karena guguran lerengini tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunung

api.

Geologi di sekitar Gunung Bawakaraeng dibangun oleh Endapan Vulkanik Gunung

Lompobatang yang terdiri dari lava, tufa lahar dan breksi vulkanik yang telah mengalami

pelapukan pada bagian permukaannya menjadi lempung lanauan hingga pasir lanauan

berwarna kuning kecoklatan hingga coklat kehitaman, bersifat gembur, dengan ketebalan

antara 0,5 – 3 m. Batuan lainnya yang terdapat di sekitar lokasi penelitian antara lain

Endapan Aluvium, Endapan Sumbat, Endapan Erupsi Parasitik, Anggota Breksi, Endapan

Vulkanik Baturepe, dan Formasi Camba. Penyebaran struktur geologi di puncak Gunung

Bawakaraeng sangat intensif berupa sesar normal dengan arah sesar utara – selatan dan

baratlaut – tenggara. Dengan keberadaan struktur geologi ini menyebabkan kekuatan batuan

menjadi berkurang dan cenderung mudah runtuh jika dipicu curah hujan yang tinggi.
Gambar 2. Peta geologi kaldera Bawakaraeng dan sekitarnya (modifikasi dari Sukamto
dan Supriatna, 1982 dalam Maarif, 2012).
C. Stratigrafi Regional

Secara regional DAS Jeneberang tersusun atas Formasi sebagai berikut :

Endapan Permukaan

Temt FORMASl TONASA: batugamping, sebagian berlapis dan sebagian Pejal;

koral, bioklastika, dan kalkarenit. dengan sisipan napal globigerina. Batugamping kaya foram

besar, batugamping pasiran, setempat dengan moluska: kebanyakan putih dan kelabu muda.

sebagian kelabutua dan coklat. Perlapisan baik setebal antara 10 cm dan 30 cm, terlipat

lemah dengan kemiringan lapisan rata-rata kurang dari 25o; di daerah Jeneponto

banugamping berlapis berselingan dengan napal globigerina.

Fosil dari Formasi Tonasa dikenal: oleh D. Kadar (hubungan tertulis. 1973, 1974,

1975;. dan oleh Purnamaningsih (hubungan tertulis, 1974). Contoh-contoh yang dianalisa

fosilnya adalah: La.8, La.35, Lb.1, Lb.49, Lb83, Lc.44, Lc.97, Lc. 114, Td.37, Td.161, dan

Td.167. Fosil fosil yang dikenali termasuk: Discocyclina sp., Nummuliites sp,. Heterostegina

sp,. Flosculineilla sp., Spirochypues sp., S. Orbitoides DOUVILLE, Lepidocyclina sp., L.

ephippiodes JONES & CHAPMAN. L. verbeeki NEWTON & HOLLAND, L. cf.

Sumatrensis JONES & CHAPMAN, Miogypsina sp., Globigerina sp, Gn. triprtita COCH,

Globoquadrina altispira (CUSHMAN & JARVIS), Amphistegina sp.,Cycloclypeus sp.. dan

Operculina sp. Gabungan fosil tersebut menunjukkan umur berkisar dari Eosen sampai

Miosen Tengah (Ta - Tf). dan lingkungan pengendapan neritik dangkal sampai dalam dan

sebagian laguna.

Formasi ini tebalnya tidak kurang dari 1750 m, tak selaras menindih batuan

Gunungapi Terpropilitkan (Tpv) dan ditindih oleh Formasi Camba (Tmc); di beberapa tempat

diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan basal dan diorit; berkembang baik di sekitar

Tonasa di daerah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, sebelah utaranya.
Tmc FORMASI CAMBA: batuan sedimen laut berselingan dengan batuan

gunungapi, batupasir tufaan benselingan dengan tufa batupasir dan batulempung ; bersisipan

napal, batugamping , konglomerat dan breksi gunungapi dan batubara. Warna beraneka dari

putih, coklat, merah. kelabu muda sampai kehitaman umumnya mengeras kuat; berlapis-lapis

dengan tebal antara 4 cm dan 100 cm. Tufa berbutir halus hingga lapili; tufa lempungan

berwarna merah mengandung banyak mineral biotit; konglomenat dan breksinya terutama

berkomponen andesit dan basal dengan ukuran antara 2 cm dan 30 cm; batugamping pasiran

mengandung koral dan moluska; batulempung kelabu tua dan napal mengandung fosil foram

kecil; sisipan batubara setebal 40 cm ditemukan di S. Maros.

Fosil dari Formasi Camba yang dikenal oleh D. Kadar (hubungan tertulis 1974, 1975)

dan Purnamaningsih (hubungan tertulis, 1975). pada contoh batuan La.3. L.a.24, La.125, dan

La.448/4, terdiri dari: Globorotalia mayeri CUSHMAN & ELLISOR,. Gl. praefoksi BLOW

& MANNER, Gl. siakensis (LEROY), Flosculinella bontangensis (RUTTEN). Globigerina

venezuelana HEDBERG,. Globoquadrina altispira (CUSHMAN & JARWS). Orbulina

universa D’ORBIGNY, O. suturalis BROWNIMANN Cellantbus cratuculatus FICHTEL &

MOLL, dan Elphidium advenum (CUSHMAN) Gabungan fosil tersebut menunjukkan umur

Miosen Tengah (Tf). Lagi pula ditemukan fosil foraminifera jenis yang lain, ostrakoda dan

moluska dalam Formasi ini. Kemungkinan Formasi Camba di daerah ini berumur sama

dengan yang di Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, yaitu Miosen Tengah

sampai Miosen Akhir.

Formasi ini adalah lanjutan dari Formasi Camba yang terletak di Lembar Pangkajene

dan Bagian Barat Watampone sebelah utaranya kira-kira 4.250 m tebalnya, diterobos oleh

retas basal piroksen setebal antara ½ - 30 m, dan membentuk bukit-bukit memanjang Lapisan

batupasir kompak (10 - 75 cm) dengan sisipan batupasir tufa (1 - 2 cm) dan konglomerat
berkomponen basal dan andesit, yang tersingkap di P. Salayar diperkirakan termasuk satuan

Tmc.

Batuan Gunungapi

Tmcv Batuan Gunungapi Formasi Camba: breksi gunungapi, lava konglomerat dan

tufa berbutir halus hingga lapili bersisipan batuan sedimen laut berupa barupasir tufaan,

batupasir gampingan dan batulempung yang mengandung sisa tumbuhan. Bagian bawahnya

lebih banyak mengandung breksi gunungapi dari lava yang berkomposisi andesit ban basal;

konglomerat juga berkomponen andesit dan basal dengan ukuran 3 - 50 cm; tufa berlapis

baik, terdiri dari tufa litik, tufa kristal dan tufa vitrik. Bagian atasnya mengandung ignimbrit

bersifat trakit dan tefrit leusit; ignimbrit berstruktur kekar meniang, berwarna kelabu

kecoklatan dan coklat tua, tefrit leusit berstruktur aliran dengan permukaan berkerak roti,

berwarna hitam. Satuan Tmcv ini termasuk yang dipetakan oleh T.M. van Leeuwen

(hubungan tertulis, 1978) sebagai Batuan Gunungapi Sopo, Batuan Gunungapi Pamusureng

dan Baruan Gunungapi Lemo. Breksi gunungapi yang tersingkap di P. Salayar mungkin

termasuk formasi ini; breksinya sangat kompak, sebagian gampingan; berkomponen basal

amfibol, basal piroksen dan andesit (0,5 — 30 cm), bermassa dasar tufa yang mengandung

biotit dan piroksen.

Fosil yang dikenali oleh D. Kadar (hubungan rertulis, 1971) dari lokasi A.75 dan

A.76.b termasuk: Amphistegina sp., Globigerinides, Operculina sp., Orbulina universa

D’ORBIGNY, Rotaila sp., dan Gastropoda. Penarikhan jejak belah dan contoh ignimbrit

menghasilkan umur 13 ± 2 juta tahun dan K-Ar dan contoh lava menghasilkan umur 6,2 juta

tahun (TM. van Leeuwen, hubungan tertulis, 1978). Data paleontologi dan radiometri

tersebut menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir.


Satuan ini mempunyai tebal sekitar 2.500 m dan merupakan fasies gunungapi dari

pada Formasi Camba yang berkembang baik di daerah sebelah utaranva Lembar Pangkajene

dan Watampone Bagian Barat); lapisannya kebanyakan terlipat lemah, dengan kemiringan

kurang dari 20o; menindih tak selaras batugamping Formasi Tonasa (Temt) dan batuan yang

lebih tua.

Tpbv BATUAN GUNUNGAPI BATURAPE CINDAKO: lava dan breksi, dengan

sisipan sedikit tufa dan konglomerat. Bersusunan basal, sebagian besar porfiri dengan

fenokris piroksen besar-besar sampai 1 cm dan sebagian kecil tansatmata, kelabu tua

kehijauan hingga hitam warnanya; lava sebagian berkekar maniang dan sebagian berkekar

lapis, pada umumnya breksi berkomponen kasar, dari 15 cm sampai 60 cm, terutama basal

dan sedikit andesit, dengan semen tufa berbutir kasar sampai lapili, banyak mengandung

pecahan piroksen.

Kompleks terobosan diorit berupa stok dan retas di Baturape dan Cindako

diperkirakan merupakan bekas pusat erupsi (Tpbc); batuan di sekitarnya terubah kuat,

amigdaloidal dengan mineral sekunder zeolit dan kalsit: mineral galena di Baturape

kemungkinan berhubungan dengan terobosan diorit ini; daerah sekitar Baturape dan Cindako

batuannya didominasi oleh lava Tpbl. Satuan ini tidak kurang dari 1250 m tebalnya dan

berdasarkan posisi stratigrafinya kira-kira berumur Pliosen Akhir.

Qlv BATUAN GUNUNGAPI LOMPOBATANG: aglomerat, lava. breksi, endapan

lahar dan tufa. Membentuk kerucut gunungapi strato dengan puncak tertinggi 2950 m di atas

muka laut; batuannya sebagian besar berkomposisi andesit dan sebagian basal, lavanya ada

yang berlubang - lubang seperti yang di sebelah barat Sinjai dan ada yang berlapis; lava

yang terdapat kira-kira 2½ km sebelah utara Bantaeng berstruktur bantal; setempat breksi dan

tufanya mengandung banyak biotit.


Bentuk morfologi tubuh gunungapi masih jelas dapat dilihat pada potret udara: (Qlvc) adalah

pusat erupsi yang memperlihatkan bentuk kubah lava; bentuk kerucut parasit memperlihatkan

paling sedikit ada 2 perioda kegiatan erupsi, yaitu Qlvpl dan Qlvp2. Di daerah sekitar pusat

erupsi batuannya terutama terdiri dari lava dan aglomerat (Qlv), dan di daerah yang agak jauh

terdiri terutama dan breksi, endapan lahar dan tufa (Qlvb). Berdasarkan posisi stratigrafinya

diperkirakan batuan gunungapi ini berumur Plistosen.

Batuan Terobosan

d DIORIT: terobosan diorit, kebanyakan berupa stok dan sebagian retas atau sill;

Singkapannya ditemukan di sebelah timur Maros, menenobos batugamping Formasi Tonasa

(Temt); umumnya berwarna kelabu, bertekstur porfiri, dengan fenokris amfibol dan biotit,

sebagian berkekar meniang.

Penarikhan Kalium Argon pada biotit dan aplit (lokasi 2) dan diorit (lokasi 3) menunjukkan

umur masing- masing 9.21 dan 7,74 juta tahun atau Miosen. Akhir. (J.D. Obradovich

hubungan tertulis. 1974).

BASAL: terobosan basal berupa retas, sill dan stok, bertekstur porfir dengan fenokris

piroksen kasar mencapai ukuran lebih dan 1 cm, berwarna kelabu tua kehitaman dan

kehijauan; sebagian dicirikan oleh struktur kekar meniang, beberapa di antaranya mempunyai

tekstur gabro. Terobosan basal di sekitar Jene Berang berupa kelompok retas yang

mempunyai arah kira- kira radier memusat ke Baturape dan Cindako ; sedangkan yang di

sebelah utara Jeneponto berupa stok.

Semua terobosan basal menerobos batuan dan Formasi Camba (Tmc). Penarikan

Kalium/Argon pada batuan basal dari lokasi 1 dan 4, dan gabro dari lokasi 5 menunjukkan

umur masing-masing 7,5. 6,99 dan 7,36 juta tahun, atau Miosen Akhir (Indonesia Gulf Oil

Co., hubungan tertulis, 1972; J.D. Obradovich, hubungan tertulis, 1974). lni menandakan
bahwa kemungkinan besar penerobosan basal berlangsung sejak Miosen Akhir sampai

Pliosen Akhir.

Batuan Malihan

s BATUAN MALIHAN KONTAK: batutanduk yang berkomposisi mineral-mineral

antofilit. kordiorit, epidot, garnet, kuarsa, felspar, muskovit dan karbonat. Berwarna kelabu

kehiauan sampai hijau tua, tersingkap daerah yang sempit (±2 km2), pada kontak dengan

granodiorit (gd) dan dibatasi oleh sesar dari batuan gunungapi Tmcv. Batutanduk ini

mengandung banyak lensa magnetit.

Tabel 2.1.Kolom Stratigrafi Regional (Sukamto & Supriatna, 1982)


D. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Menurut Sukamto (1982),struktur geologi di daerah pegunungan Lompobattang dan

sekitarnya berupa struktur lipatan dan struktur sesar.

1. Struktur Lipatan

Struktur ini mempunyai arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan yang tidak

teratur,sehingga sulit untuk menentukan jenisnya.Adanya pelipatan dicirikan oleh kemiringan

lapisan batuan,baik batuan Tersier maupun batuan Kwarter(Plistosen),telah mengalami

perlipatan,sehingga umur lipatan ini ditafsirkan setelah Plistosen.

2. Struktur Sesar

Struktur sesar ini mempunyai arah yang bervariasi,seperti pada daerah Lompobattang

ditemukan sesar dengan arah Utara-Selatan, Timur-Barat, Baratdaya-Timurlaut,sedangkan

pada baian Utara mengarah Baratdaya-Timurlaut dan Baratlaut-Tenggara,dimana jenis sesar

ini sulit untuk ditentukan. Terjadinya pelipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses

tektonik daerah setempat,dimana akhir daripada kegiatan gunung api Miosen Bawah,diikuti

oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya pemulaan terbentuknya Walanae.Peristiwa ini

kemumngkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan menurun perlahan secara

sedimentasi berlangsung sampai kala Pliosen,hal ini diikuti oleh kegiatan gunung api pada

daerah sebelah Baratdaya.Peristiwa ini terjadi selama Miosen Tengah sampai Pliosen dengan

Gunung api bawah laut,dan muncul pada kala Pliosen sebagi gunung api kontinen yang

kemungkinan besar pada kala ini mulai terjadi perlipatan,dimana kegiatan-kegiatan magma

pada kala Plistosen Atas didikuti oleh kegiatan tektonik yang menyebabkan terjadinya sesar

di daerah ini.
Menurut Sukamto dan Supriatna (1982), secara regional struktur geologi daerah

Pegunungan Lompobattang dan sekitarnya berupa struktur lipatan dan struktur sesar.

Terjadinya perlipatan dan pensesaran berhubungan dengan proses tektonik, dimana akhir dari

kegiatan gunungapi Miosen diikuti oleh aktivitas tektonik yang menyebabkan terbentuknya

Terban Walanae. Peristiwa ini mengakibatkan terbentuknya sesar yang kemungkinan

berlangsung sejak awal Miosen Tengah sampai kala Pliosen yang disertai dengan proses

sedimentasi. Hal ini juga diikuti oleh kegiatan gunungapi pada daerah bagian Barat.

Peristiwa ini berlangsung selama Miosen Tengah sampai Pliosen. Berhentinya kegiatan

magma pada kala Plistosen Atas oleh kegiatan tektonik menyebabkan terjadinya sesar di

daerah ini.

DAS Jeneberang adalah wilayah yang rentan terhadap pergerakan tanah. Wilayah ini

terdapat bendungan Bilibili yang merupakan pemasok air bersih di Kota Makassar dan

Sungguminasa, juga merupakan sumber energi bagi PLTA Kampili Gowa. Pergerakan tanah

di lokasi ini disebabkan struktur geologi (sesar) yang tidak stabil. Metoda Geolistrik

digunakan dalam mengidentifikasi sesar-sesar di bawah permukaan sebagai data yang akan di

rekomendasikan untuk pemeliharaan/ penyelamatan bendungan Bilibili pada masa yang akan

datang. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis

dengan Konfigurasi elektroda Wenner. Dari hasil pengukuran diperoleh harga resistivitasnya

pada lintasan berkisar antara 5 - 2271 Ωm. Struktur sesar minor yang telah tertimbun oleh

produk-produk muda hasil longsoran Gunung Bawakareng. Sesar minor tersebut dicirikan

oleh adanya rekahan dan kekar-kekar di sekitar DAS Jeneberang dan penyebaran batuan

ubahan di sekitar lokasi penelitian. (Massinai dkk , 2013).


Gambar 1 Penampang Harga Resistivitas daerah DAS Jeneberang, (Massinai dkk ,
2013). Aplikasi Metoda Geolistrik Untuk IdentifikasiSesar Bawah
Permukaan Di Wilayah Das Jeneberang Sulawesi Selatan.
- Pertambangan (Hendra, Asri)
- Sosial (Supratman)
- Kebijakan (Syamsu Alam)
E. MetodeEvaluasi
- Analisis Tutupan Lahan (Agung, Anca, Jsr)
- Analisis Tanah (Anca, JSR, Anwar Umar)
- Analisis Kelerengan dan ketinggian
- Analisis Hidrologi /SWAT (Banjir, Aliran permukaan, infiltrasi) (Munajat, Usman,
Mukhsan)
- Analisis Erosi, sedimen dan longsor (Putri, Hasnawir, Andang)
- Analisis Geologi (Hendra, Asri)
- Analisis wilayah dampak berbasis skenario (JSR, Hendra, Andang, Mukhsan,
Munajat)
F. Hasil Evaluasi
A. BencanaBanjir
B. Bencana Tanah Longsor
C. Pertambangan
6. Rekomendasi
Pustaka

Anda mungkin juga menyukai