Anda di halaman 1dari 24

Kelompok 1 : 1.

Muhammad Najmi Amru (1811014310006)


2. Normalinda (1811014220002)
Mata Kuliah : Metode Kemagnetan Dan Gravitasi
Dosen : Bapak SIMON SADOK SIREGAR

IDENTIFIKASI STRUKTUR GEOLOGI MENGGUNAKAN DATA


ANOMALI MAGNETIK DI DESA SEDOA KECAMATAN LORE UTARA
KABUPATEN POSO (FULANSYAH J, RUSTAN EFENDI, M. RUSYDI. 2019)
JURNAL GRAVITASI

1. PENDAHULUAN
Struktur geologi di wilayah Desa Sedoa dan sekitarnya dipengaruhi oleh
struktur geologi yang berkembang di daerah Sulawesi, adanya sesar-sesar utama
seperti Sesar Palu-Koro dan Sesar Poso memberikan peranan dalam pembentukan
sesar-sesar lokal di sekitarnya. Sesar merupakan salah satu struktur geologi yang
dapat dijumpai di wilayah Desa Sedoa. Sesar yang melalui wilayah Desa Sedoa
merupakan sesar aktif, sehingga dapat diperkirakan gempa bumi Poso yang terjadi
merupakan akibat dari aktivitas sesar aktif yang berada di sekitar wilayah Desa Sedoa
dan sekitarnya.
Untuk melakukan identifikasi struktur geologi bawah permukaan berdasarkan
data magnetik diperlukan teknik interpretasi. Ada beberapa teknik interpretasi data
magnetik, salah satu teknik interpretasi data magnetik yang digunakan untuk
identifikasi struktur geologi bawah permukaan adalah teknik interpretasi pemodelan
kedepan (forward modelling).
Struktur geologi adalah gambaran bentuk dan hubungan dari keadaan batuan
di kerak bumi. Menurut Noor (2009), dalam geologi dikenal 3 jenis struktur yang
dijumpai pada batuan sebagai produk dari gaya-gaya yang bekerja pada batuan, yaitu
kekar (joint), lipatan (fold) dan Sesar/patahan (fault). Sesar/patahan adalah struktur
rekahan yang telah mengalami pergeseran. Umumnya disertai oleh struktur yang lain
seperti lipatan, rekahan dsb. Adapun di lapangan indikasi suatu sesar dapat dikenal
melalui gawir sesar atau bidang sesar, breksiasi, gouge, milonit, deretan mata air,
sumber air panas, penyimpangan/pergeseran kedudukan lapisan serta gejala-gejala
struktur minor seperti cermin sesar, gores garis, lipatan dan sebagainya.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Poso Sulawesi (Simanjuntak dkk, 1997)
bahwa penyusun batuan di wilayah Desa Sedoa dan sekitarnya merupakan daerah
Endapan Danau dengan batuan penyusun dari daerah endapan danau itu sendiri terdiri
atas lempung, lanau, pasir, dan kerikil. Wilayah Desa Sedoa dan sekitarnya
merupakan daerah yang banyak dilalui oleh jalur sesar dengan karakteristik normal,
untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta geologi daerah penelitian

2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Desa Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso,
Provinsi Sulawesi Tengah berada pada titik koordinat 1,3435° LS, 120,33731°BT
sampai 1,3435° LS, 120,3468333° BT dan 1,3529444° LS, 120,3468611°BT sampai
° °
1,3529167 LS, 120,33725 BT. Lokasi penelitian dan sekitarnya dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Lokasi Penelitian
Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
geomagnet. Data intensitas medan magnet merupakan data yang diperoleh dari proses
akuisisi data selanjutnya dilakukan pengolahan data, mulai dari beberapa koreksi
dilakukan koreksi IGRF dan koreksi variasi harian sehingga didapatkan data medan
magnet total ∆H. Data medan total dan data elevasi (ketinggian) pada lokasi
penelitian digunakan sebagai data input pada pemodelan kedepan 2D dengan
menggunakan software GM-SYS dari Geosoft. Selanjutnya dilakukan proses analisis
dan interpretasi model struktur batuan bawah permukaan yang diperoleh. Model yang
diperoleh dari hasil pemodelan digunakan dalam pembuatan tampilan 3D dengan
menggunakan software RockWorks 16.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil pengukuran nilai medan magnetik yang telah didapat dari lapangan
merupakan nilai anomali magnetik yang masih terpengaruh dari dalam dan luar bumi.
Oleh karena itu dilakukan dua koreksi untuk mengahasilkan nilai anomali magnetik
yang sudah tidak dipengaruhi oleh medan luar bumi (koreksi harian) dan medan
magnet dalam (koreksi IGRF). Setelah melakukan koreksi tersebut, didapatkan hasil
nilai anomali magnetik total (∆H) yang merupakan target dari pengukuran metode
magnetik yang dilakukan. Anomali magnetik total (∆H) digambarkan pada peta
kontur anomali (Gambar 3) dengan menggunakan software surfer 13.
Gambar 3. Peta kontur anomali magnetik total (∆H)
Berdasarkan kondisi di daerah lokasi penelitian yang terdapat beberapa
indikasi adanya struktur geologi, seperti adanya sumber air panas, sumber mata air,
sungai yang tepat memotong wilayah daerah penelitian, beberapa bangunan yang
rusak akibat pergeseran kedudukan lapisan pada saat terjadi gempa bumi, dan adanya
sesar yang nampak terpotong pada Peta Geologi Lembar Poso Sulawesi (Gambar 1)
maka dibuat lintasan pada daerah lokasi penelitian. Dalam penelitian ini dibuat 5
lintasan, yang akan merekontruksi model bawah permukaan dengan menghubungkan
nilai anomali magnetik total dan data geologi lokasi penelitian.
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat profil 5 lintasan, profil ini
memperlihatkan arah lintasan yang melalui disitribusi anomali magnetik total dan
distribusi batuan di lokasi penelitian. Satu lintasan dibuat melintasi sumber air panas
(Lintasan BB') berarah relatif Utara-Selatan, lintasan DD’ dan EE’ dibuat melintasi
daerah yang terdapat bangunan rusak akibat gempa bumi Poso tanggal 29 Mei 2017,
adapun lintasan AA’ melintasi jalur sungai yang ada di wilayah Desa Sedoa. Lintasan
CC’ dibuat memotong diagonal lokasi penelitian guna untuk memperlihatkan
gambaran model bawah permukaan pada arah yang berbeda dengan lintsan lainnya.
Gambar 4. Profil lintasan peta geologi

Gambar 5. Profil lintasan pada peta kontur anomali magnetik total


Dari hasil pemodelan lintasan AA’ (Gambar 6) diperoleh nilai error anomali
magnetik total sebesar 4,99 %, diperoleh 3 distribusi batuan yang memiliki nilai
suseptibilitas yang berbeda-beda dengan kedalaman interpretasi sampai 2,06 Km.
Lapisan pertama ditunjukkan dengan warna abu-abu memiliki nilai suseptibilitas (k)
sebesar 0,00017 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman dan ketebalan paling rendah
sekitar 0,001 Km dan tinggi sekitar 0,691 Km. Memanjang dari 0,464 Km sampai
1.01 Km. Batuan ini ditafsirkan sebagai batuan lempung.
Lapisan kedua ditunjukkan dengan warna hijau memiliki nilai suseptibilitas
(k) sebesar 0,0209 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman yang bervariasi dari
paling rendah sekitar 0,002 Km sampai paling tinggi sekitar 1,059 Km. Ketebalan
juga bervariasi yaitu sekitar 0,024 Km sampai 0,369 Km. Batuan ini diduga adalah
batu pasir lempungan yang memanjang sepanjang lintasan AA’.
Lapisan ketiga ditunjukkan dengan warna merah muda dan memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman yang
bervariasi dari paling rendah sekitar 0,025 Km sampai paling tinggi sekitar 1,06 Km.
Ketebalan juga bervariasi yaitu sekitar 0,696 Km sampai 2,035 Km. Batuan ini
diduga adalah batu granit yang memanjang sepanjang lintasan AA’.

Gambar 6. Model struktur lapisan bawah permukaan lintasan AA’


Penarikan garis penampang lintasan BB’ melintasi lokasi sumber air panas
yang ada di lokasi penelitian yakni sebagai indikasi adanya struktur geologi berupa
sesar. Dari hasil pemodelan lintasan BB’ diperoleh nilai error anomali magnetik total
yang cukup baik yaitu sebesar 3,89 %.
Berdasarkan hasil pemodelan 2D pada lintasan BB’ (Gambar 7) diperoleh 3
distribusi batuan yang memiliki nilai suseptibilitas yang berbeda-beda dengan
kedalaman interpretasi sampai 3,547 Km. Lapisan pertama ditunjukkan dengan warna
abu-abu memiliki nilai suseptibilitas (k) sebesar 0,00017 SI.
Batuan tersebut memiliki kedalaman sekitar 0,005 Km dan memiliki
ketebalan yang bervariasi yaitu sekitar 0,874 Km sampai 3,547 Km. Distribusi batuan
ini terbagi menjadi dua bagian yang memanjang dari 0 Km sampai 0,417 Km dan 0,5
Km sampai 1,006 Km. Batuan ini ditafsirkan sebagai batuan lempung.
Lapisan kedua ditunjukkan dengan warna hijau dimana memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,0209 SI yang sama besarnya dengan lapisan kedua pada
penampang lintasan AA’. Pada lapisan ini diduga berupa batu pasir lempungan yang
memanjang sepanjang lintasan BB’. Adapun kedalaman dan ketebalan yang dimiliki
batuan ini bervariasi, kedalaman pertama sebesar 0,036 Km dengan ketebalan sebesar
0,223 Km, pada kedalaman kedua dan kedalaman ketiga sebesar 0,444 Km dan 1.675
Km memiliki ketebalan yang sama yaitu sebesar 0,495 Km.

Gambar 7. Model struktur lapisan bawah permukaan lintasan BB’


Lapisan ketiga ditunjukkan dengan warna merah muda dan memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman yang
bervariasi dari paling rendah sekitar 0,223 Km, 1,058 Km sampai paling tinggi
sekitar 2,481 Km. Ketebalan juga bervariasi yaitu sekitar 1,066 Km, 2,489 Km
sampai 3,234 Km. Batuan ini diduga adalah batu granit yang memanjang sepanjang
lintasan BB’.
Penarikan garis penampang lintasan CC’ memotong secara diagonal daerah
penelitian ke arah Barat Daya guna untuk memperlihatkan gambaran model bawah
permukaan pada arah yang berbeda dengan lintsan lainnya (lintasan AA’, BB’, DD’
dan EE’). Hasil pemodelan lintasan CC’ (Gambar 8) diperoleh nilai error anomali
magnetik total sebesar 3,64 % dengan diperoleh 3 distribusi batuan yang memiliki
nilai suseptibilitas yang berbeda-beda dengan kedalaman interpretasi sampai 3,131
Km. Lapisan pertama ditunjukkan dengan warna abu-abu memiliki nilai suseptibilitas
(k) sebesar 0,00017 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman dan ketebalan paling
rendah sekitar 0,031 Km dan tinggi sekitar 2,023 Km. Memanjang sepanjang lintasan
CC’. Batuan ini ditafsirkan sebagai batuan lempung.
Lapisan kedua ditunjukkan dengan warna hijau memiliki nilai suseptibilitas
(k) sebesar 0,0209 SI. Pada lapisan ini diduga merupakan batu pasir lempungan yang
memanjang di sepanjang lintasan CC’. Adapun kedalaman dan ketebalan yang
didapatkan sepanjang lintasan CC’ bervariasi, yaitu pada kedalaman 0,038 Km
sampai 0.329 Km memiliki ketebalan yang sama yakni sebesar 0.409 Km, sedangkan
pada kedalaman 0,913 Km memiliki ketebalan sekitar 0,569 Km.
Lapisan ketiga ditunjukkan dengan warna merah muda dimana memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI. Berdasarkan nilai suseptibilitasnya diduga pada
lapisan ini terdapat jenis batuan granit yang memanjang sepanjang lintasan CC’.
Batuan ini memiliki kedalaman sekitar 0,255 Km pada kedalaman ini memiliki
ketebalan sebesar 0,539 Km. Sedangkan pada kedalaman 2,592 Km memiliki
ketebalan sebesar 2,876 Km.

Gambar 8. Model struktur lapisan bawah permukaan lintasan CC’


Lintasan DD’ dibuat melintasi lokasi yang terdapat bangunan rusak pada
daerah penelitian, berada pada daerah sebelah Barat lokasi penelitian dan dipotong
pada lintasan CC’. Dari pemodelan lintasan DD’ diperoleh nilai error anomali
magnetik toatal sebesar 3,58 %.
Berdasarkan hasil pemodelan 2D (Gambar 9) diperoleh 3 distribusi batuan
yang memiliki nilai suseptibilitas yang berbeda-beda dengan kedalaman interpretasi
sampai 2,022 Km. Lapisan pertama ditunjukkan dengan warna abu-abu memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,00017 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman dan
ketebalan paling rendah sekitar 0,028 Km dan tinggi sekitar 1,04 Km. Memanjang
sepanjang lintasan DD’. Batuan ini ditafsirkan sebagai batuan lempung.
Lapisan kedua ditunjukkan dengan warna hijau seperti yang terlihat pada
Gambar 10 dimana memiliki nilai suseptibilitas (k) sebesar 0,0209 SI. Berdasarkan
suseptibilitasnya batuan ini diduga merupakan batu pasir lempungan yang
memanjang sepanjang lintasan DD’. Berdasarkan hasil yang didapatkan pada lapisan
ini memiliki kedalaman dan ketebalan yang bervariasi. Pada kedalaman 0,028 Km
memiliki ketebalan 0,092 Km sedangkan pada kedalaman 0,577 Km memiliki
ketebalan 0,507 Km.

Gambar 9. Model struktur lapisan bawah permukaan lintasan DD’


Lapisan ketiga ditunjukkan dengan warna merah muda dan memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI. Batuan ini diduga adalah batu granit yang
memanjang sepanjang lintasan DD’. Berdasarkan hasil yang didapatkan, batuan jenis
ini memiliki kedalaman yang bervariasi yaitu sekitar 0,120 Km sampai 2,022 Km.
Adapun ketebalan lapisan ini juga bervariasi yaitu sekitar 0,727 Km sampai 1,902
Km.
Lintasan EE’ berada tepat di tengah lokasi penelitian dari arah Utara ke
Selatan/N 1800 dan dipotong pada lintasan CC’. Berdasarkan hasil pemodelan 2D
bawah permukaan anomali magnetik total (Gambar 10) diperoleh 3 distribusi batuan
yang memiliki nilai suseptibilitas yang berbeda-beda dengan kedalaman interpretasi
sampai 2,415 Km. Lapisan pertama ditunjukkan dengan warna abu-abu memiliki
nilai suseptibilitas (k) sebesar 0,00017 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman dan
ketebalan paling rendah sekitar 0,004 Km dan tinggi sekitar 1,602 Km. Memanjang
dari 0 Km sampai 0,419 Km dan 0,500 Km sampai 1,004 Km. Batuan ini ditafsirkan
sebagai batuan lempung.
Lapisan kedua ditunjukkan dengan warna hijau memiliki nilai suseptibilitas
(k) sebesar 0,0209 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman yang bervariasi dari
paling rendah sekitar 0,004 Km sampai paling tinggi sekitar 1,602 Km. Ketebalan
juga bervariasi yaitu sekitar 0,362 Km sampai 0,733 Km. Batuan ini diduga adalah
batu pasir lempungan yang memanjang sepanjang lintasan EE’.
Lapisan ketiga ditunjukkan dengan warna merah muda dan memiliki nilai
suseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI. Batuan tersebut memiliki kedalaman yang
bervariasi dari paling rendah sekitar 0,272 Km sampai paling tinggi sekitar 2,335
Km. Ketebalan juga bervariasi yaitu sekitar 0,08 Km sampai 2,143 Km. Batuan ini
diduga adalah batu granit yang memanjang sepanjang lintasan EE’.

Gambar 10. Model struktur lapisan bawah permukaan lintasan EE’


Pemodelan dilakukan melalui beberapa iterasi sampai didapatkan kecocokan
antara respon model data magnetik dengan respon data pengukuran dengan presentasi
kesalahan kurang dari 5%. Model dua dimensi (2D) distribusi perlapisan batuan
dibangun sampai kedalam ± 3 km. Setelah dilakukan pemodelan bawah permukaan
2D diperoleh adanya struktur geologi berupa sesar yang membatasi kontak antar
satuan batuan. Adapun bentuk sesar yang terbentuk dari keseluruhan pemodelan
adalah sesar normal dengan kedalaman yang bervariasi, dapat dilihat pada pemodelan
lintasan AA’, BB’, CC’, DD’ dan EE’ (Gambar 6–10). Struktur geologi yang diduga
berupa sesar normal dikarenakan pada lapisan batuan terdapat patahan yang
mengalami penurunan. Sesar normal diperoleh tidak nampak di permukaan pada
daerah penelitian, hal ini disebabkan karena lapisan batuan yang mengalami
penurunan tertutupi oleh lapisan batuan yang ada di atasnya. Dengan mengacu pada
titik-titik lokasi sesar yang terdapat pada setiap lintasan penampang dan kemudian
dihubungkan dengan Peta Geologi diperoleh gambaran sesar dalam bentuk lintasan
berwarna merah seperti yang terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Profil sesar normal di daerah penelitian pada peta geologi
Pada Gambar 11 nampak dua lintasan sesar dengan arah berbeda. Lintasan
sesar pertama tepat memotong lintasan AA’ dan CC’ yang berarah dari arah Tenggara
kearah Barat Laut, sedangkan lintasan sesar kedua tepat memotong lintasan AA’, EE’
DD’, CC’ dan BB’ yang berarah dari Timur Laut kearah Barat Daya. Setelah
mencapai lintasan DD’ arahnya berubah ke Barat Laut melewati lintasan CC’ dan
BB’. Berdasarkan Gambar 11 diduga dua sesar normal yang diperoleh dari hasil
pemodelan merupakan lanjutan dari sesar lokal yang ada di sekitar lokasi penelitian.
Pembuatan tampilan model penampang 3D pada penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan software RockWorks 16 berikut hasil dari tampilan model
penampang 3D.
Gambar 12. Tampilan model penampang 3D tampak dari arah selatan dan timur

Gambar 13. Tampilan model penampang 3D tampak dari arah selatan dan barat

Dari hasil model penampang 3D nampak lintasan CC’ memotong lintasan


AA’, BB’, DD’ dan EE’ (Gambar 12–13) serta memperlihatkan secara keseluruhan
bentuk bawah permukaan pada daerah lokasi penelitian. Pada Gambar 12 nampak
kondisi daerah penelitian dalam bentuk tampilan 3D dari arah Selatan dan Timur,
sedangkan pada Gambar 1 dan Gambar 4 nampak kondisi daerah penelitian dalam
bentuk tampilan 3D dari arah Barat dan Selatan. Berdasarkan hasil model penampang
3D nampak seluruh daerah lokasi penelitian terdistribusi oleh 3 jenis lapisan batuan,
tiga jenis lepisan batuan tersebut yaitu batu lempung, batu pasir lempungan dan batu
granit. Struktur geologi juga diperlihatkan dari hasil pemodelan ini yaitu berupa sesar
normal yang nampak memotong daerah lokasi penelitian, dimana lokasi sesar
cenderung berada di daerah Selatan lokasi penelitian.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemodelan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
struktur geologi berupa 2 sesar normal memiliki arah berbeda. Sesar-sesar tersebut
diduga merupakan lanjutan dari sesar local yang terdapat di Desa Sedoa. Struktur
lapisan bawah permukaan di Desa Sedoa terdapat 3 jenis batuan. Batuan tersebut
terdiri daru baty lempung memiliki nilai susptibilitas (k) sebesar 0,00017 SI, batu
pasir lempung memiliki nilai suseptibilitas (k) sebesar 0,0209 SI setara batu granit
memiliki nilaisuseptibilitas (k) sebesar 0,05 SI.
ANALISIS ANOMALI MAGNETIK DALAM PENENTUAN STRUKTUR
GEOLOGI DAN LITOLOGI BAWAH PERMUKAAN SEBAGAI
MANIFESTASI PANAS BUMI DI PANYABUNGAN SELATAN SUMATERA
UTARA (RATNI SIRAIT. 2021) JURNAL FISIKA FLUX: Jurnal Ilmiah Fisika
FMIPA Universitas Lambung Mangkurat

5. PENDAHULUAN
Panas bumi merupakan suatu sumber panas yang tersimpan di dalam inti bumi
dan membentuk suatu sistem hidrotermal yang ditunjukkan dengan adanya
manifestasi panas bumi dipermukaan seperti kolam air panas yang sangat banyak
dimanfaatkan masyarakat di daerah tersebut untuk keperluan mandi, mencuci
pakaian, masak dan masih banyak lagi pemanfaatan kolam air panasnya. Manifestasi
panas bumi terjadi karena terjadinya perambatan panas di bawah permukaan (Broto
& Putranto, 2011).
Indonesia adalah salah satu dari beberapa Negara yang mengalami aktivitas
vulkanik dan teknonik yang sangat tinggi. Aktivitas terebut disebabkan karena
adanya posisi kepulauan Indonesia yang berada antara pertemuan lempeng Eurasia di
Utara, lempeng Indo-Australia yang menunjam lempeng Eurasia dari Selatan serta
pertemuan lempeng Pasifik yang menunjam lempeng Eurasi dari arah Timur yang
bergerak aktif (Widodo, Yulianto, Harmoko, Yulianto, Widada, & Dewantoro, 2016).
Akibat pertemuan ketiga lempeng tersebut, terbentuklah deretan gunung api di
Indonesia yang menyebabkan terbentuknya sumber energi panas disekitar daerah
gunung api (Hidayat & Basid, 2011).
Untuk menunjukkan keberadaan potensi panas bumi dapat diketahui dengan
menentukan nilai resistivitas setiap batuan dengan menggunakan berbagai metode
geofisika yaitu metode geomagnetik, geolistrik, seismik dan gravitasi. Pada penelitian
ini, penentuan manifestasi panas bumi menggunakan metode geomagnetik yang
berdasarkan pengukuran anomali geomagnetik akibat adanya perbedaan suseptibilitas
magnetik yang terdapat pada daerah sekelilingnya. Tujuan dari penelitian adalah
untuk mengetahui struktur geologi pada sumber mata air panas di daerah
Panyabungan Selatan, untuk mengetahui jenis litologi dan untuk mengetahui litologi
yang berperan sebagai reservoir yang baik dalam manifestasi panas bumi.
Metode geomagnetik adalah salah satu metode geofisika dengan
memanfaatkan sifat kemagnetan setiap bahan dengan mengidentifikasi kerentanan
setiap magnet batuan untuk dapat menentukan bagaimana kondisi permukaan bumi
(Rusita, Siregar, & Sota, 2016). Menurut metode geomagnetik, bumi merupakan
batang magnet raksasa yang merupakan tempat medan magnet bumi (Takaeb, Sutaji,
& Bernandus, 2018). Kemampuan suatu batuan menghasilkan magnet bergantung
pada nilai suseptibilitas magnetik setiap masing-masing batuan. Kandungan mineral
tertentu pada suatu batuan akan menghasilkan eksplorasi geomagnet akibat adanya
anomali (Panjaitan, 2015).
Nilai suseptibilitas merupakan nilai yang dinyatakan dalam menentukan
kemampuan suatu batuan untuk dapat termagnetisasi. Dalam menentukan jenis
batuan didasarkan pada nilai suseptibilitas yang berbeda setiap batuan (Fatimah,
Lavanto, Gunawan, & Febriarto, 2018). Anomali negatif merupakan batuan yang
bersifat diamagnetik artinya batuan tersebut memiliki nilai suseptibilitas rendah
sehingga pada daerah tersebut merupakan daerah manifestasi panas bumi. Sedangkan
anomali positif merupakan batuan yang bersifat ferromagnetik artinya batuannya
memiliki nilai suseptibilitas tinggi sehingga daerah tersebut tidak merupakan
manifestasi panas bumi (Afandi, Maryanto, & Rachmansyah, 2013).

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Lubuk Sikaping (Sumber: Rock, 1983)


6. METODE PENELITIAN
Secara geografis, daerah penelitian terletak pada koordinat 0044’43.12’’N dan
99032’37.80”E. Adapun peralatan yang digunakan ketika pengambilan data magnetik
di lapangan adalah alat magnetometer yang berupa PPM tipe else 770, GPS, kompas,
stopwatch, software surfer, software magpick dan Mag2dc.
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
geomagnet. Sebelum data diambil, terlebih dahulu melakukan operasi alat dengan
memasang sensor magnetik pada tiang penyangga kemudian menghubungkan kabel
konektor dan menyetel konfigurasi waktu yaitu hari, tanggal, jam, menit dan detik.
Pengambilan data dilakukan secara zigzag dengan 32 titik pengukuran.
Setelah data diperoleh, tahapan selanjutnya adalah menganalisis data tersebut yang
mencakup koreksi harian, koreksi IGRF, reduksi bidang datar, komtinuasi ke atas,
reduksi ke kutub dan melakukan interpretasi kuantitatif. Koreksi harian dilakukan
karena terdapat penyimpangan yang disebabkan adanya pengaruh dari sinar matahari
sewaktu melakukan pengukuran medan magnet bumi di lapangan.
Agar proses pengolahan data magnetik lebih mudah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah melakukan reduksi bidang datar pada ketinggian yang sama
dengan menggunakan teknik Taylor Series Appoximation (Laela, Yulianto, &
Harmoko, 2015). Kemudian melakukan proses kontinuitas ke atas untuk
menghilangkan efek dari mereduksi pada magnetik lokal yang merupakan suatu
sumber utama benda magnetik yang permukaan topografinya tidak memiliki
hubungan dengan hasil survey (Santosa, Mashuri, & Sutrisno, 2012). Uji yang
digunakan pada proses kontinuitas ke atas menggunakan uji trial and error untuk
dapat mengetahui bagaimana pola kontur hasil kontinuasi pada ketinggian tertentu
(Indratmoko, Nurwidyanto, & Yulianto, 2009).
Tahap selanjutnya adalah menghilangkan sudut inklinasi dengan memfilter
hasil pengolahan data magnetik melalui tahap reduksi ke kutub (Yudianto &
Setyawan, 2014). Dan tahap akhir yaitu melakukan interpretasi kuantitatif dengan
tujuan untuk menganalisis sisa penampang anomali sepanjang lintasan untuk
mengetahui struktur geologi bawah permukaan (Raehanayati, Rachmansyah, &
Maryanto, 2013).

7. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Akuisisi Data Penelitian
Alat penelitian yang digunakan adalah Proton Procession Magnetometer tipe
else 770 buatan Littlemore Science. Pada penelitian ini, data di ambil sebanyak 3 kali
untuk setiap titik agar dapat mengurangi gangguan lokal (noise).

B. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan tujuan agar dapat mengetahui nilai magnet
total pada satu titik pengamatan disebabkan karena adanya nilai kemagnetan batuan
yang terjadi akibat adanya medan magnet utama, medan magnet total serta induksi
medan magnet luar. Data penelitian yang diperoleh saat di lapangan terlebih dahulu
diolah dengan cara mengkonversikan koordinat dalam bentuk satuan decimal degree
ke bentuk satuan Universal Transfer Mercator (UTM) agar memudahkan dalam
pembacaan software surfer 11 serta proses pengolahan data berikutnya. Setelah itu
tahap selanjutnya adalah melakukan koreksi harian dan koreksi IGRF agar diperoleh
hasil nilai anomali pada medan magnet total. Setelah hasil data tersebut dikoreksi,
proses pengolahan data selanjutnya adalah membuat peta kontur untuk intensitas
medan magnet total, peta kontur untuk anomali magnetik total, peta kontur anomali
magnetik total pada bidang datar, peta kontur anomali magnetik regional dan peta
kontur anomali lokal melalui tahap reduksi ke kutub.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa medan magnet yang terukur
menghasilkan nilai intensitas -1800 nT sampai 0 nT tingkat kemagnetannya rendah
dan terdiri dari skala warna hitam dan hijau tua. Sedangkan nilai kemagnetan 0 nT
sampai 3200 nT memiliki tingkat kemagnetan yang sedang dan tinggi dengan skala
warnanya hijau dan putih.
Gambar 2. Kontur pada intensitas medan magnet Total

 Koreksi Harian
Ketika nilai variasi harian diperoleh nilainya negatif, maka langkah
selanjutnya adalah nilai variasi harian ditambahkan dengan data magnetik yang
akan dikoreksi. Sedangkan jika nilai variasi harian diperoleh nilainya positif,
maka langkah selanjutnya adalah nilai variasi harian dikurangkan dengan data
magnetik yang akan dikoreksi (Santosa, Mashuri, & Sutrisno, 2012).

Gambar 3. Kontur hasil koreksi harian


Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai hasil pengukuran intensitas medan
magnet di lokasi penelitian pada peta topografi adalah -500 nT sampai 100 nT
tingkat kemagnetannya rendah yang terdiri dari skala warna hitam dan biru.
Sedangkan nilai kemagnetan 100 nT sampai 2300 nT memiliki tingkat
kemagnetan yang tinggi dengan skala warnanya biru muda, merah sampai putih.
Menurut (Patya, Rusdiana, Purwanto, & Ardi, 2018), skala warna biru
menunjukkan anomali yang semakin rendah, artinya nilai intensitas
kemagnetannya lebih rendah dari nilai intensitas kemagnetan rata-rata sedangkan
skala warna merah menujukkan nilai intensitas kemagnetannya lebih tinggi dari
nilai intensitas kemagnetan rata-rata.

 Koreksi IGRF

Gambar 4. Kontur anomali medan magnet AMT


Pada Gambar 4, sifat batuan adalah bersifat diamagnetik yang terdiri dari
batuan tufa dan batuan sedimen berdasarkan hasil kontur anomali medan magnet
yang bervariasi dengan nilai anomali rendah dan sedang. Menurut (Hasibuan,
Berutu, Sakdiah, & Rahmatsyah, 2017) berdasarkan hasil penelitian situs
purbakala di Tapanuli tengah dengan metode geomagnetik diperoleh jenis
batuannya bersifat non magnetik yaitu batuan tufa dan alluvium.
 Kontinuasi Ke Atas

Gambar 5. Kontur anomali regional dari hasil kontinuasi ke atas


Kontinuasi ke atas dilakukan pada ketinggian 250 mdpl dilakukan dengan
metode coba-coba (trial and error). Hasil kontinuasi ke atas menunjukkan nilai
anomali regional yang stabil. Artinya bahwa pada ketinggian 250 mdpl lemah
artinya dipole magnetic tidak memiliki pasangan (Gambar 5).

Gambar 6. Kontur anomali residual (lokal) hasil kontinuasi ke atas

Berdasarkan Gambar 6 diperoleh bahwa apabila nilai suseptibilitas batuan


bernilai positif maka nilai anomali magnetik tinggi. Sedangkan jika nilai
suseptibilitas batuan positif tetapi nilainya kecil maka nilai anomali magnetik
sedang. Untuk nilai suseptibilitas batuannya negatif maka nilai anomali magnetik
(J.Ahmad, Syarifin, Sousa, & Tumalang, 2019). Jadi dapat disimpulkan bahwa,
daerah Panyabungan Selatan memiliki nilai anomali yang rendah dan sedang yang
berpotensi sebagai manifestasi panas bumi karena memiliki nilai suseptibilitas
rendah maka batuan tersebut menghasilkan demagnetisasi. Hasil penelitian ini
merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh (Afandi, Maryanto, &
Rachmansyah, 2013) yaitu potensi panas bumi ditemukan dengan nilai
suseptibilitas rendah yang diakibatkan oleh zona batuan tersebut sudah
demagnetisasi oleh panas bumi.

 Reduksi Ke Kutub
Agar sudut inklinasi maka langkah selanjutnya adalah mentransformasi
reduksi ke kutub sehingga diperoleh nilai magnetik yang sudah terfilter. Hal
tersebut disebabkan karena anomali lokal masih dipengaruhi medan magnet luar.
Proses reduksi ke kutub ke kutub dibuat dengan membentuk sudut inklinasinya
sebesar 900 dan deklinasinya 00 . Hal tesebut disebabkan karena medan magnetik
bumi dan magnetisasi induknya sama-sama menuju ke arah bawah.

Gambar 7. Kontur anomali residual hasil ke Kutub

Berdasarkan Gambar 7, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap nilai


anomali dibandingkan dengan nilai anomali magnetik lokal sebelum ke kutub.
Setelah dilakukan proses reduksi ke kutub maka nilai kemagnetan menjadi tinggi.
Nilai anomali magnet bernilai -1400 nT sampai 14000 nT. Nilai tersebut sangat
berbeda jika dibandingkan dengan anomali magnet sebelum reduksi ke kutub
dilakukan (Gambar 7). Terdapat dua nilai anomali magnet pada reduksi ke kutub
yaitu nilai anomali dengan kemagnetan rendah (warna hitam sampai hijau) dan
nilai anomali dengan kemagnetan sedang (warna kuning sampai putih).

 Interpretasi Kuantitatif
Tujuan dilakukan interpretasi kuantitatif adalah untuk mengetahui struktur
geologi melalui pemodelan matematis yaitu berupa pemodelan trial and error agar
dihasilkan nilai error yang terkecil. Adapun fungsi dari penggunaan software
Mag2Dc adalah untuk menyamakan hasil dari bentuk anomali pengamatannya
berupa garis putus-putus
Gambar 8 menunjukkan hasil anomali lokal yang disayat pada lintasan A-A
dan B-B dengan menggunakan software Mag2dc. Dari hasil pengolahan data
menggunakan software mag2dc diperoleh nilai inklinasi sebesar -9.6940, nilai
deklinasi sebesar -0,4098 dan nilai IGRF sebesar 41726,4 nT. Kemudian jarak
lintasannya berada pada kolom X dan nilai anomali lokal berada pada kolom Y
yang merupakan hasil antara kedua perpotongan.
 Penampang Melintang A-A

Gambar 8. Sayatan kontur anomali residual lintasan A-A dan lintasan B-B

Gambar 9. Model Penampang Anomali Lokal Lintasan A-A


Hasil penampang A-A mengacu pada peta geologi lembar Lubuk Sikaping
yang menyatakan bahwa daerah tersebut terdapat adanya struktur geologi dimana
terdiri dari 4 formasi batuan yaitu salah satunya adalah batu gamping merupakan
salah satu reservoir yang baik untuk manifestasi panas bumi.

 Penampang Melintang B-B

Gambar 10. Model Penampang Anomali Lokal Lintasan B-B


Hasil penampang B-B mengacu pada peta geologi lembar Lubuk Sikaping
yang menyatakan bahwa daerah tersebut terdapat adanya struktur geologi dimana
terdiri dari 4 formasi batuan yaitu salah satunya adalah batu gamping dolomitan.

8. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa struktur geologi bawah
permukaan untuk penampang A-A adalah sesar naik, dimana nilai suseptibilitasnya
sebesar -0,9910 cgs adalah batu gamping dolomitan, suseptibilitas 0,6500 cgs adalah
batu andesit, suseptibilitas 0,3360 cgs adalah batu sabak, suseptibilitas 0,1030 cgs
adalah batu serpih , sedangkan untuk penampang BB adalah sesar turun, dimana nilai
suseptibilitasnya sebesar 0,3210 cgs adalah batu sabak, suseptibilitas 0,8250 cgs
adalah batu gamping dolomitan, suseptibilitas 0,5100 cgs adalah batu andesit,
suseptibilitas 0,0530 cgs adalah batu serpih, suseptibilitas 0,1340 cgs adalah
merupakan batu pasir, suseptibilitas 0,2540 cgs merupakan batu varian.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, R., Fulansyah, J., & Rusydi, M.H. 2019. Identifikasi Struktur Geologi Menggunakan
Data Anomali Magnetik Di Desa Sedoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso.
Jurnal Gravitasi. 18(1) : 67 ̶ 76.

Ratni, S. 2021. Analisis Anomali Magnetik dalam Penentuan Struktur Geologi dan Litologi
Bawah Permukaan sebagai Manifestasi Panas Bumi Di Panyabungan Selatan
Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Fisika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat.
18(2) : 83 ̶ 92.

Anda mungkin juga menyukai