Anda di halaman 1dari 13

Integrasi Metode Geolistrik, Seismik Refraksi dan Elektromagnetik

dalam Mengidentifikasi Potensi Pergerakan Tanah di Desa Seling,


Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen, Indonesia
Muhammad Hafiyyan Fikri1, Rizky Huthama Arsyad2, Gabriel Powericho L. D.3
Institut Teknologi Bandung
E-mail: hafiyyanfikri@gmail.com

Abstrak

Pergerakan tanah di Indonesia merupakan permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia telah mengalami 4.441 kasus pergerakan tanah yang
mengakibatkan korban jiwa sejumlah 1.838 orang. Oleh karena itu, kami berupaya melakukan penelitian
dengan tujuan mengetahui efektivitas integrasi metode geofisika dalam mengidentifikasi daerah yang
berpotensi terjadinya pergerakan tanah. Penelitian dilakukan di Desa Seling, Kecamatan Karangsambung,
Kabupaten Kebumen. Daerah penelitian ini memiliki susunan satuan batuan secara vertikal adalah top
soil, satuan batuan breksi , dan satuan batulempung. Susunan batuan tersebut memiliki potensi terjadinya
pergerakan tanah yang diakibatkan oleh terbentuknya bidang gelincir antara batas satuan batuan breksi
dan satuan batulempung. Metode geofisika yang digunakan untuk mengidentifikasi hal tersebut dipilih
berdasarkan kebutuhan data dalam mengetahui daerah yang rawan terjadi pergerakan tanah. Pengumpulan
data untuk mengidentifikasi pemetaan pergerakan tanah mencakup tiga aspek, yaitu susunan lapisan
batuan, kemiringan bidang gelincir, dan persebaran satuan batuan breksi. Penelitian dilakukan melalui
tiga metode geofisika. Metode geolistrik digunakan untuk mengetahui susunan lapisan batuan. Metode
seismik refraksi digunakan untuk mengetahui kemiringan bidang gelincir. Dan metode elektromagnetik
digunakan untuk mengetahui persebaran batuan breksi. Temuan menunjukkan bahwa integrasi antara
metode geolistrik, seismik refraksi, dan elektromagnetik dapat mengidentifikasi potensi pergerakan tanah
secara efektif. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam studi lanjutan bidang mitigasi bencana
pada daerah yang memiliki kondisi geologi serupa.
Kata kunci : bidang gelincir, metode geofisika, pergerakan tanah

Abstract
Landslide in Indonesia is a problem that needs special attention. In the past 10 years, Indonesia has
experienced 4,441 cases of landslide resulting in a total loss of 1,838 people. Therefore, we strive to
conduct research with the aim of knowing the effectiveness of the integration of geophysical methods in
identifying areas with potential landslide. The study was conducted in Seling Village, Karangsambung
District, Kebumen Regency. This research area has a vertical composition of rock units is top soil, rock
breccia unit, and claystone unit. The composition of the rock has the potential for landslide caused by the
formation of a slip surface between the rock breccia unit boundary and claystone unit. The geophysical
method used to identify this matter was chosen based on data needs in knowing the areas that are prone
to landslide. Data collection to identify the mapping of landslide includes three aspects, namely the
composition of rock layers, the slope of the slip surface, and the distribution of rock breccia units. The
research was conducted through three geophysical methods. The geoelectric method is used to determine
the composition of rock layers. The seismic refraction method is used to determine the slope of the slip
surface. And electromagnetic methods are used to determine the distribution of breccia rocks. The
findings show that the integration between geoelectric, seismic refraction, and electromagnetics methods
can effectively identify potential landslide. This research is expected to be applied in further studies in the
field of disaster mitigation in areas that have similar geological conditions.
Keywords : geophysical methods, landslide, slip surface

1
Pendahuluan

Bahaya pergerakan tanah menjadi salah satu masalah yang serius di Indonesia dan perlu
mendapatkan perhatian khusus. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki curah hujan
tinggi dan topografi yang beragam. Gerakan tanah yang terjadi di Indonesia seringkali
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi serta gempa bumi. Dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, Indonesia telah mengalami 4.441 kejadian gerakan tanah yang mengakibatkan korban
jiwa sebanyak 1.838 orang dan rumah rusak berat sebanyak 13.283 rumah (BNPB, 2018).
Selain itu, bencana gerakan tanah atau tanah longosor menyebabkan kerusakan yang cukup
signifikan pada jalan, infrastruktur, dan pertanian, yang menghambat keberlangsungan ekonomi
(Kuncoro dan Resosudarmo, 2006 dalam Cepeda et al, 2010).

Gerakan tanah secara umum adalah pergerakan batuan, tanah dan materal organik yang
menuruni suatu lereng atau bidang gelincir tertentu akibat pengaruh gravitasi dan bentuk
permukaan tanah. Kebumen merupakan kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki kerentanan
terhadap bencana pergerakkan tanah. Hal ini disebabkan karena kondisi morfologi yang
menunjukkan pegunungan dengan kemiringan lereng agak curam hingga curam. Tercatat
beberapa kejadian longsor pernah terjadi di Kebumen, khususnya di Karangsambung. Bencana
tersebut diidentifikasi terjadi akibat batas kontak antara batuan penyusun lereng yang telah
lapuk dengan batuan yang masih segar pada kemiringan lereng yang relatif agak curam (Alvian,
2018).

Ketidakstabilan tanah dapat terjadi apabila terdapat bidang gelincir di bawah permukaan tanah.
Selain itu juga dapat mengakibatkan terjadinya pergerakan tanah yang dapat memicu longsor.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui persebaran daerah yang memiliki bidang gelincir dan
kondisi lapisan lapuk. Hal ini dibutuhkan untuk mengetahui daerah yang rawan terjadi
pergerakan tanah. Untuk mengatahui lapisan dibawah permukaan tanah, dapat digunakan
metode geofisika sounding geolistrik. Dalam mengidentifikasi bidang gelincir, dapat digunakan
metode geofisika seismik refraksi. Sedangkan dalam mengidentifikasi persebaran lapisan lapuk
batuan dapat digunakan metode geofisika elektromagnetik. Dalam penelitian ini, kami memiliki
tujuan untuk mengetahui efektivitas integrasi ketiga metode geofisika tersebut dalam
mengidentifikasi daerah yang berpotensi terjadinya pergerakan tanah. Penelitian ini dilakukan di
Desa Seling, Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah yang telah
terindikasi terjadinya pergerakan tanah berupa rayapan (creep).

Studi-studi gerakan tanah di Indonesia dengan menggunakan metode geofisika sudah banyak
digunakan, umumnya dengan metode resistivitas (Mahartha et al, 2017, Izzati et al, 2017, Qodri,
2018), metode seismik refraksi (Pulungan dan Zulfahmi, 2016, Wibowo et al, 2015), dan
metode GPR (Wulandari, 2013). Akan tetapi publikasi mengenai studi pergerakkan tanah
dengan metode elektromagnetik belum banyak ditemukan, khususnya di Indonesia.

Tujuan

Mengidentifikasi potensi daerah rawan pergerakan tanah dengan metode:


1. Geolistrik (Vertical Electric Sounding), untuk mengidentifikasi perlapisan batuan secara
vertikal.
2. Seismik Refraksi, untuk mengidentifikasi kontak satuan batuan breksi dengan satuan
batulempung serta kemiringanya.
3. Elektromagnetik, untuk mengidentifikasi persebaran satuan batuan breksi di dekat
permukaan.

2
Data dan Metodologi

Metode Geolistrik

Metode geolistrik mampu memetakan formasi resistif rendah dan tinggi. Oleh karena itu metode
ini sangat berharga untuk vulnerability studies (Chistensen & Sørensen 1998, Sørensen et al.
2005). Pengukuran geolistrik dilakukan dengan merekam potensial listrik yang timbul dari arus
yang dimasukan ke dalam tanah dengan tujuan untuk mencapai informasi tentang struktur
resistivitas tanah. Dalam tanah yang homogen (halfspace) aliran arus radial keluar dari sumber
arus dan membangkitkan permukaan ekipotensial yang menjalar tegak lurus dengan garis aliran
arus dan membentuk setengah bola.

Vertical Electrical Sounding (VES), digunakan untuk menentukan variasi resistivitas terhadap
kedalaman. Hanya satu kali VES yang diterapkan pada suatu area, di mana tanah diasumsikan
horizontal berlapis dengan sedikit variasi lateral, karena kurva sounding hanya dapat
diinterpretasikan menggunakan model horizontally layered earth (1D) (Ernstson & Kirsch,
2006). VES biasanya dilakukan pada konfigurasi Schlumberger, di mana elektroda potensial
ditempatkan dalam posisi tetap dengan pemisahan pendek dan elektroda saat ini ditempatkan
secara simetris pada sisi luar elektroda potensial (Gambar 1) Setelah pengukuran resistivitas,
elektroda dipindahkan lebih jauh dari pusat array. Dengan cara ini arus dibuat bertahap untuk
mengalir melalui bagian yang lebih dalam dan lebih dalam dari tanah.

Gambar 1. Konfigurasi Metode Schlumberger

Pengambilan Data

Daerah pengukuran berada pada zona longsor Desa Seling tepatnya berada pada titik koordinat
49S 352980,70mT dan 9158866,95mU (Gambar 2). Metode yang digunakan adalah vertical
electrical sounding (VES) dengan konfigurasi Wenner-Schlumberger. Target kedalaman
pengukuran yang diinginkan sekitar 50 m sehingga pengukuran dilakukan dengan bentangan
maksimum sejauh 180 m arah utara-selatan. Berikut adalah peralatan yang digunakan: 1 set
Mini Sting, 1 buah power supply, 2 gulung meteran dengan panjang 100 m, 4 buah elektroda, 1
buah laptop.

3
Gambar 2. Peta Lintasan Pengukuran VES

Pengolahan Data

Data diolah menggunakan software IP2WIN sehingga diperoleh kurva sounding hasil dari
inversi.

Metode Elektromagnetik

Metode elektromagentik (EM) adalah salah satu metode geofisika yang digunakan untuk
mengetahui anomali di bawah permukaan dengan memanfaatkan sifat medan magnet dan
medan listrik. Sharma (1997) menyatakan bahwa metode EM sangat efektif untuk memisahkan
objek yang memiliki perbedaaan konduktivitas yang signifikan terhadap lingkungan sekitarnya
pada kondisi overburden mass (lapisan penutup) yang relatif dangkal. Survei EM pada dasarnya
diterapkan untuk mengetahui respons bawah permukaan menggunakan perambatan gelombang
elektromagnetik yang terbentuk akibat adanya arus bolak-balik dan medan magnetik. Medan
elektromagnetik primer dihasilkan oleh arus bolak-balik yang melewati sebuah kumparan yang
terdiri dari lilitan kawat. Respons bawah permukaan berupa medan elektromagnetik sekunder
dan resultan medan terdeteksi sebagai arus bolak-balik yang menginduksi arus listrik pada koil
penerima (receiver) sebagai akibat adanya induksi elektromagnetik.

Pengambilan Data

Pengukuran dilakukan didominasi pada lintasan dengan searah arah dip dari daerah longsoran
(utara-selatan), selain itu ada beberapa pengukuran yang diambil dengan mengikuti arah strike
(barat-timur). Panjang koil yang digunakan memiliki panjang 0.5 m dan 1 m. Pengambilan data
dilakukan setiap rentang 1 meter. Berikut adalah peralatan yang digunakan: 1 buah EM38, 8
buah pasak, 1 gulung meteran dengan panjang 100 m, 1 buah GPS, dan 1 buah laptop.

Pengolahan Data

Setelah data didapatkan, maka dilakukan proses pengolahan data yang meliputi proses convert
data, pengelolaan data di Microsoft Excel dan plotting data di Surfer. Hasil yang didapatkan
berupa data persebaran konduktivitas. Berikut adalah diagram alir dari ringkasan pengolahan
data.

4
Gambar 3. Diagram Alir Pemrosesan Data EM

Metode Seismik Refraksi

Metode seismik refraksi sudah seringkali digunakan untuk menginvestigasi gerakan tanah.
Metode ini didasarkan pada Hukum Snell, dimana penjalaran gelombang seismik pada batas
medium yang berbeda menghasilkan gelombang refraksi. Waktu tiba gelombang seismik
pertama (first break) yang direkam pada setiap receiver digunakan untuk mengidentifikasi
waktu tiba gelombang langsung maupun gelombang refraksi. Dengan mengetahui jarak masing-
masing receiver dari shot dan waktu tiba gelombang di setiap receiver, banyaknya lapisan
batuan dapat diidentifikasi beserta kecepatan dan undulasi setiap lapisan (Kearey et al, 2002).

Pengambilan Data

Metode seismik refraksi ini dilakukan pada daerah yang relatif datar untuk menempatkan
geofonnya. Alat yang digunakan adalah OYO McSeis. Arah lintasan survei ini berarah barat
laut-tenggara (Gambar 4), mengikuti arah kemiringan lapisan batuan. Channel yang digunakan
sebanyak 24 channel dengan spasi antar-geofon sebesar 2 m atau 3 m. Penembakan dilakukan
menggunakan palu godam sebanyak lima kali, yaitu mid shot, near shot, far shot, phantom near
shot, dan phantom far shot. Pada penelitian ini kami melakukan pengambilan data sebanyak dua
lintasan sebagai pembanding, yaitu lintasan 1 yang berarah barat laut-tenggara dengan spasi
antar-geofon sebesar 3 m, dan lintasan 2 yang berarah barat laut-tenggara dengan spasi antar-
geofon sebesar 2 m. Pada lintasan 1, kami menempatkan geofon 1 dan 24 masing-masing pada
koordinat 49S 352842,00mT 9158772,00mU dan 49S 352778,00mT 9158793,00mU. Pada
lintasan 2, kami menempatkan geofon 1 dan 24 masing-masing pada koordinat 49S
352875,00mT 9158804,00mU dan 49S 352836,00mT 9158822,00mU.

Gambar 4. Gambar Lintasan Pengukuran Metode Seismik Refraksi

5
Pengolahan Data

Data rekaman seismik refraksi diolah sedemikian rupa untuk mendapatkan model perlapisan
geologi. Hal yang dilakukan yakni melakukan first-break picking pada setiap trace masing-
masing shot menggunakan aplikasi Vista 7.00. Data first-break picking kemudian dikonversi
agar bisa dibaca pada program SeisREFA. Pada program SeisREFA, masukkan data shot, jarak
dan elevasi setiap shot dan receiver, lalu impor data first-break picking. Kemudian, SeisREFA
secara otomatis akan menghitung data-data tersebut sehingga diperoleh grafik X-T, model
penampang dan model raypath.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Pengolahan Data Metode Geolistrik

Setelah dilakukan pengolahan data VES, didapatkan kurva sounding hasil inversi (Gambar 5).
Hasil pengolahan data secara inversi ini menghasilkan data dengan error sebesar 3,66 %.
Terlihat dalam kurva tersebut terdapat tiga lapisan dengan nilai resistivitas semu yang berbeda.
Resistivitas semu lapisan pertama memiliki nilai 16,1 Ωm dengan ketebalan 1,7 m. Resistivitas
semu lapisan kedua memiliki nilai 21,8 Ωm dengan ketebalan 9,79 m. Resistivitas semu lapisan
ketiga memiliki nilai 5,09 Ωm dengan ketebalan 55,1 m.

Gambar 5. Kurva Sounding Hasil Inversi

Hasil Pengolahan Data Seismik Refraksi

Hasil pengolahan data seismik refraksi pada lintasan pertama (Gambar 6), menunjukkan adanya
tiga lapisan batuan. Lapisan pertama memiliki kecepatan 1,1 km/s dengan tebal 0-8 m. Lapisan
kedua memiliki kecepatan 1,6 km/s, memiliki undulasi dengan variasi kedalaman 0-8 m dari
permukaan tanah, dan variasi ketebalan 0-11 m. Lapisan ketiga memiliki kecepatan 4,6 km/s,
memiliki undulasi dengan variasi kedalaman 8-11 m dari permukaan tanah.

6
Gambar 6. Hasil Pengolahan Data Metode Seismik Refraksi pada Lintasan Satu

Hasil pengolahan data seismik refraksi pada lintasan kedua (Gambar 7) menunjukkan terdapat
tiga perlapisan batuan. Lapisan pertama memiliki kecepatan 1,0 km/s dengan ketebalan 0-8 m.
Lapisan kedua memiliki kecepatan 2,0 km/s berada pada kedalaman 0-8 m dari permukaan
tanah dengan ketebalan 12-16 m. Lapisan ketiga memiliki kecepatan 3,1 km/s yang berada pada
kedalaman 16-19 m dari permukaan tanah dengan variasi kemiringan 20-25° ke arah barat laut.

Gambar 7. Hasil Pengolahan Data Metode Seismik Refraksi pada Lintasan Dua

Hasil Pengolahan Data Metode Elektromagnetik

Dari hasil pengolahan data didapatkan persebaran anomali konduktivitas (Gambar 8). Gambar
sebelah kiri merupakan peta konduktivitas yang didapatkan dengan panjang coil saat

7
pengukuran adalah 0,5 m. Gambar sebelah kanan merupakan peta konduktivitas yang
didapatkan dengan panjang coil saat pengukuran adalah 1 m. Terlihat terdapat daerah dengan
nilai konduktivitas dominan yaitu -10 sampai 10 S (biru tua-biru muda) pada bagian tengah.

Gambar 8. Peta Persebaran Konduktivitas pada Kedalaman 0,75 m (kiri) dan 1,5 m (kanan)

Diskusi

Pada hasil pengolahan data metode geolistrik, lapisan pertama dengan nilai resistivitas semu
16,1 Ωm dapat diinterpretasikan sebagai top soil (hasil pelapukan batu breksi). Lapisan kedua
dengan nilai resistivitas semu 21,8 Ωm dapat diinterpretasikan sebagai satuan batuan breksi.
Sedangkan lapisan ketiga dengan nilai resistivitas semu 5,09 Ωm dapat diinterpretasikan sebagai
satuan batulempung. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan kondisi geologi Desa Seling yang
memiliki susunan satuan batuan secara vertikal adalah top soil, satuan batuan breksi, dan satuan
batulempung. Berdasarkan peta geologi regional Kebumen (Gambar 9), satuan batuan breksi
pada daerah ini berasosiasi dengan Formasi Halang dan satuan batulempung berasosiasi dengan
Formasi Penosogan.

Gambar 9. Peta Geologi Regional Desa Seling

Hasil pengolahan data seismik refraksi lintasan pertama dan kedua menunjukan adanya 3
lapisan dengan kecepatan seismik yang beragam. Lapisan pertama dengan nilai kecepatan 1,0-
1,1 km/s dapat diinterpretasikan sebagai top soil. Lapisan kedua dengan nilai kecepatan 1,6-2,0
km/s dapat diinterpretasikan sebagai lapisan satuan batuan breksi. Lapisan ketiga dengan nilai
kecepatan 3,1-4,6 km/s dapat diinterpretasikan sebagai lapisan satuan batulempung. Kedalaman
kontak antara batuan breksi dan lempung terdapat pada kedalaman 8-19 meter. Hal ini
dikonfirmasi oleh pengukuran sounding geolistrik yang menunjukkan kontak batuan breksi dan
batulempung pada kedalaman sekitar 10 meter. Susunan satuan batuan breksi dan satuan
batulempung memiliki potensi terbentuknya bidang gelincir dengan kemiringan 20-25° yang
dapat memicu terjadinya pergerakan tanah. Dengan hasil pengolahan seismik refraksi,

8
didapatkan hasil secara horizontal yang baik. Hal ini dapat menentukan kemiringan bidang
gelincir untuk mengidentifikasi seberapa besar potensi terjadinya pergerakan tanah.

Pada hasil pengolahan metode elektromagnetik terdapat anomali konduktivitas dengan nilai
rendah berwarna biru tua dapat diinterpretasikan sebagai persebaran batuan breksi (Gambar 10).
Gambar 10.a menunjukkan batuan breksi yang tersebar pada kedalaman 0,75 m sedangkan pada
Gambar 10.b dapat memperlihatkan persebaran batuan breksi pada kedalaman 1,5 m. Hal ini
dikonfirmasi dengan peta geologi regional dan pengukuran oleh metode geolistrik dan seismik
refraksi yang menunjukan kedalaman satuan batuan breksi pada kedalaman 0-8 meter. Peta
persebaran batuan breksi pada dekat permukaan yang diperoleh dari pengukuran
elektromagnetik dapat digunakan sebagai upaya mitigasi bencana pergerakan tanah dalam
pembangunan infrastruktur.

(a)

(b)
Gambar 10. Peta Gabungan Persebaran Konduktivitas dan Geologi Regional Pada Daerah Penelitian.
Gambar (a) Menunjukkan Persebaran Konduktivitas pada Kedalaman 0,75 m. Gambar (b) Menunjukkan
Persebaran Konduktivitas pada Kedalaman 1,5 m. Titik-Titik Hitam Menandakan Lokasi Pengambilan
Data.

9
Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa integrasi antara metode geolistrik, seismik refraksi, dan
elektromagnetik dapat mengidentifikasi potensi pergerakan tanah secara efektif. Metode
geolistrik dapat mengidentifikasi batuan secara vertikal. Hal tersebut dikonfirmasi oleh peta
geologi regional daerah penelitian. Metode seismik refraksi dapat mengidentifikasi kontak
batuan breksi dan satuan batulempung yang dapat berpontesi sebagai bidang gelincir.
Kemiringan bidang gelincir, dapat diintefikasi dengan baik oleh metode seismik refraksi.
Metode elektromagnetik dapat memberikan gambaran mengenai persebaran batuan breksi dekat
permukaan dengan baik. Hal ini dikonfirmasi oleh pemetaan geologi dan kedua metode
geofisika yang telah disebutkan sebelumnya.

10
Penutup

Integrasi berbagai metode geofisika pada penelitian ini seperti metode geolistrik, seismik
refraksi, dan elektromagnetik dapat dengan baik mengidentifikasi potensi gerakan tanah.
Metode elektromagnetik yang terbilang tidak umum digunakan dalam bidang kebencanaan,
dalam penelitian ini cukup efektif digunakan dalam memetakan persebaran batuan breksi dekat
permukaan. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam studi lanjutan bidang mitigasi
bencana pada daerah yang memiliki kondisi geologi serupa di Indonesia.
Daftar Pustaka

Alvian (2018). Longsor di daerah Karangsambung. Diakses 3 November 2018, dari


http://geotek.lipi.go.id/?p=9053

BNPB. (2018). Bencana Alam di Indonesia Tahun 2008 s.d. 2018 dalam Data Informasi
Bencana Indonesia (DIBI). Diakses pada 3 November 2018, dari
http://bnpb.cloud/dibi/grafik1a

Christensen, N.B., Sørensen K.I. (1998). Surface and borehole electric and electromagnetic
methods for hydrogeological investigations. European Journal of Environmental and
Engineering Geophysics 3, 75–90.

Christensen, N.B., Sørensen K.I. (2001). Pulled array continuous electrical sounding with an
additional inductive source: an experimental design study. Geophysical Prospecting 49,
241–254.

Ernstson, K., Kirsch, R. (2006). Geoelectrical methods, basic principles. Groundwater


Geophysics: A Tool for Hydrology, 85–108

Izzati, F. N., Laksmana, Z. S., Marcelina, B., Hutabarat, S. S., dan Widodo. (2017). Identifying
potential ground movement as a landslide mitigation approach using resistivity method.
1st International Geo-Electromagnetic Workshop (Geo-EM 2017). AIP Conference
Proceeding 1861, 030046-1–030046-4

Kearey, P., Brooks, M., dan Hill, I. (2002). An Introduction to Geophysical Exploration (2nd
ed.). Oxford: Blackwell

Kuncoro, A. dan Resosudarmo, B. P. (2006). Survey of recent developments. Bulletin of


Indonesian Economic Studies, 42(1), 7-31

Mahartha, D. S., Dewi, R. K., Hartono, K., Kristi, L. G., dan Widodo. (2017). Landslide
potential survey within Lembang fault using resistivity. 1st International Geo-
Electromagnetic Workshop (Geo-EM 2017). AIP Conference Proceeding 1861,
030037-1–030037-4

Pulungan, Z. dan Zulfahmi. (2016). Prediksi Gerakan Tanah Menggunakan Seismik Refraksi
dan Pemodelan Numerik dengan Metode Sirt dan Gauss-Seidel. Jurnal Teknologi
Mineral dan Batubara, 12(2), 81-92

Qodri, M. N., Budi, S., Dasahruddyn, F. T., Rahman, A., Widodo, dan Fatkhan. (2018).
Geophysical investigation of landslide using DC-Resistivity method: A case study in
Cikahuripan, West Bandung. International Symposium on Earth Hazard and Disaster
Mitigation (ISEDM) 2017. AIP Conference Proceeding 1987, 020017-1–020017-4

Sharma, V. P. (1997). Environmental an Engineering Geophysics. London: Cambridge


University Press

Sørensen, K.I., Auken, E., Christensen, N.B., Pellerin, L. (2005). An integrated approach for
hydrogeophysical investigations: new technologies and a case history. Near-Surface
Geophysics 2, Investigations in Geophysics 13, 585–603
Wibowo, B. A., Ngadmanto, D., Listyaningrum, Z., dan Putra, Y. M. K. (2015). Identifikasi
lapisan rawan longsor menggunakan metode seismik refraksi studi kasus: Kampus
Lapangan LIPI Karangsambung. Seminar Nasional Fisika Universitas Negeri Jakarta
2015, at Jakarta, 4, SNF2015-IX-19–SNF2015-IX-24

Wulandari, R. (2012). Analisis bawah permukaan Kelurahan Trikora dan sekitarnya


menggunakan metode GPR (ground penetrating radar) dan geolistrik. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian FMIPA UNILA, 1(1)

Anda mungkin juga menyukai