1 (1) (2017)
Physics Communication
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc
1
Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura,
Pontianak, Indonesia
2
Politeknik Negeri Pontianak, Indonesia
Alamat korespondensi: p-ISSN 2528-5971
Kampus FMIPA Universitas Tanjungpura
e-ISSN 2528-598X
Jl. Prof. Dr. Hadari Nawawi, Pontianak , 78124
E-mail: jokosampurno@physics.untan.ac.id
60
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
61
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
Intensitas medan magnet di permukaan bumi dapat Anomali magnet dalam medan magnet bumi
diukur menggunakan magnetometer. Medan disebabkan oleh dua jenis magnet yaitu induksi dan
magnet bumi biasanya seragam tetapi akan ada remanen magnetisasi. Medan magnet remanen
anomali jika ada mineral yang bersifat magnetik mempunyai peranan yang besar terhadap
(Jumarang & Zulfian, 2012). magnetisasi batuan yaitu pada besar dan arah
Medan magnet lokal diperoleh dengan medan magnetiknya serta berkaitan dengan
mengoreksi medan magnet observasi dengan medan peristiwa kemagnetan sebelumnya sehingga sangat
magnet IGRF dan intensitas medan magnet harian. rumit untuk diamati. Anomali yang diperoleh dari
Hubungan ini dapat ditulis dengan persamaan survei merupakan hasil gabungan medan magnetik
(Telford,1990): remanen dan induksi, bila arah medan magnet
remanen sama dengan arah medan magnet induksi
H H obs H IGRF H v (1) maka anomalinya bertambah besar, demikian pula
dengan: sebaliknya. Dalam servei magnetik, efek medan
∆H = medan magnet lokal (nT) remanen akan diabaikan apabila anomali medan
Hobs = medan magnet observasi (nT) magnetik kurang dari 25% medan magnet utama
HIGRF = medan magnet IGRF (nT) bumi, sehingga dalam pengukuran medan magnet
Hv = medan magnet harian (nT) berlaku (Telford,1990):
62
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
Suatu benda magnetik yang ditempatkan Tie-line leveling pada dasarnya memiliki dua
pada suatu medan magnet dengan kuat medan H, tahapan. Pertama, lintasan-lintasan pengikat
maka akan terjadi polarisasi magnetik pada benda diasumsikan berdasarkan rata-rata perbedaan antara
tersebut yang besarnya (Breiner,1999):
tie-line dengan seluruh lintasan utama yang
(3) berpotongan dengannya memberikan sebuah nilai
M kH
koreksi tahap awal. Hal ini mengasumsikan bahwa
dengan: ada nilai yang tepat pada crossing lines yang
merepresentasikan perataan statistik terhadap
M = intensitas medan magnet (nT)
variasi waktu sepanjang lintasan. Asumsi ini
k = suseptibilitas magnetik
menunjukkan bahwa tie-line hanya memiliki sebuah
H = kuat medan magnet (nT) base level. Kedua, seluruh lintasan survei dikoreksi
Suseptibilitas magnetik adalah ukuran dasar sehingga diharapkan memiliki nilai anomali yang
bagaimana sifat kemagnetan suatu bahan yang cocok disetiap perpotongan lintasan (Sahudin &
merupakan sifat magnet bahan, ditunjukkan dengan Subarsyah, 2012).
adanya respon terhadap induksi medan magnet
yang merupakan rasio antara magnetisasi dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
intensitas medan magnet. Mengetahui nilai
suseptibilitas magnetik suatu bahan dapat juga
Peta kontur sebaran anomali sebagaimana
mengetahui sifat-sifat magnetik lain dari bahan
terlihat pada Gambar 2. Nilai intensitas medan
tersebut.
magnet lokal di lokasi penelitian berkisar antara -
800 nT s.d 839 nT. Nilai medan magnet yang
Metode Tie-Line Levelling
dominan adalah antara -527 nT s.d -229 nT yang
Medan magnet lokal diperoleh dengan
ditunjukkan dengan warna hijau dan coklat.
mengoreksi medan magnet observasi dengan medan
Anomali medan magnet dengan warna biru yang
magnet IGRF dan intensitas medan magnet harian.
memiliki nilai -800 nT s.d -672 nT. Sedangkan
Akan tetapi, pada kenyataannya kondisi ideal
anomali medan magnet yang berwarna ungu yang
tersebut sulit diperoleh karena disebabkan oleh
memiliki nilai -130 nT s.d 839 nT.
berbagai faktor. Misalnya akuisisi data yang tidak
lengkap akibat area yang terlalu luas, interval yang
Lintasan AB
sangat jarang, lokasi base station yang terlalu jauh
Lintasan AB terletak pada koordinat
dari area survei atau malah tidak ada data base station
108˚23’40,56’’ BT s.d 108˚53’8,52” BT dan
dan alasalan-alasan teknis lainnya. Kondisi tersebut
1˚48’14,04” LU s.d 1˚48’6,48” LU dengan panjang
sangat berpengaruh terhadap kualitas data dan hasil
lintasan 36.109 m yang terbentang dari timur ke
pengolahan data (Sahudin & Subarsyah, 2012).
barat. Hasil pengolahan secara inversi dengan
Untuk dapat menyelesaikan masalah
menggunakan software Mag2dc menghasilkan
ketiadaan data base station atau lokasi base station
distribusi nilai suseptibilitas secara vertikal dengan
yang terlalu jauh maka salah satu teknik yang dapat
nilai korelasi antara data observasi dan data
diterapkan adalah metode tie-line levelling. Tie-line
kalkulasi sebesar 0,99 sebagaimana terlihat pada
levelling adalah sebuah teknik yang digunakan untuk
Gambar 3. Berdasarkan hasil interpretasi di lintasan
menyesuaikan data setiap lintasan dimana lintasan-
AB dengan nilai suseptibilitas 2,1728 SI maka
lintasan utama dengan lintasan pengikat (cross line)
anomali magnetik pada lintasan ini diduga
dititik yang sama akan memiliki nilai yang sama
disebabkan oleh mineral magnetit yang berada pada
ketika berpotongan (Sahudin & Subarsyah, 2012).
kedalaman 3 m hingga 45 m dan RMSE (Root Mean
Square Error) sebesar 156,56.
63
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
software Mag2dc menghasilkan distribusi nilai kedalaman 37 m hingga 100 m dan RMSE (Root
suseptibilitas secara vertikal sebagaimana terlihat Mean Square Error) sebesar 170,29. Nilai korelasi
pada Gambar 5. Berdasarkan hasil interpretasi di antara data observasi dan data kalkulasi sebesar
lintasan EF memiliki nilai suseptibilitas 2,0326 0,98.
maka anomali magnetik pada lintasan ini diduga
disebabkan oleh mineral magnetit yang berada pada
65
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
66
Aripin dkk/ Phys. Comm. 1 (1) (2017)
DAFTAR PUSTAKA
67