Anda di halaman 1dari 12

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN GEOLOGI KOMPREHENSIF

CEKUNGAN AIR TANAH (CAT) WATUPUTIH DAN SEKITARNYA,


KABUPATEN REMBANG, PROVINSI JAWA TENGAH

1. Pendahuluan

Konflik pemanfaatan sumber daya alam di dalam kawasan CAT Watuputih menyebabkan
petani khawatir sumber air di wilayah tersebut terganggu. Menindaklanjuti masalah
tersebut maka:

a. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui surat Nomor:


S.62/MenLHK/Setjen/Pla.3/2/2017 tanggal 3 Februari 2017 hal Dukungan Pemetaan
Sistem Aliran Sungai Bawah Tanah CAT Watuputih, Rembang, Jawa Tengah.
b. Menteri ESDM melalui surat Nomor: 2537/42/MEM.S/2017 tanggal 24 Maret 2017
merekomendasikan agar dilakukan penelitian rinci baik geometri, hidrograf sungai,
hidrokimia, serta uji tracer.
c. Berdasarkan arahan Presiden dan Hasil KLHS tahap I, menugaskan Badan Geologi -
KESDM untuk melakukan kajian geologi komprehensif.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut Badan Geologi melaksanakan kajian geologi


komprehensif tersebut dengan membentuk 5 tim (Geologi, Geofisika, Pengeboran Inti,
Susur Goa, dan Hidrogeologi) pada Maret – September 2017.

Maksud kajian ini untuk mengetahui karakteristik hidrogeologi CAT Watuputih, dan
tujuannya untuk memberikan rekomendasi terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam
dan perlindungan air di daerah Watuputih dan sekitarnya berdasarkan kondisi hidrogeologi.
Daerah kajian dibatasi oleh koordinat 111° 26’ - 111° 33’ Bujur Timur dan 6° 49’ - 6° 55’
Lintang Selatan, meliputi sebagian wilayah Kecamatan Gunem, Sale, dan Pamotan,
Kabupaten Rembang, serta sedikit wilayah Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora.

Personil yang terlibat dalam kegiatan pengambilan data primer sejumlah 53 (lima puluh
tiga) orang dari Badan Geologi, dibantu oleh 10 (sepuluh) orang dari Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada, 1 (satu) orang dari Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN, 2
(dua) orang dari Institut Teknologi Bandung, dan dibantu 27 (dua puluh tujuh) orang
tenaga lokal. Sedangkan untuk pembahasan metoda dan/atau konstribusi data sekunder
dibantu oleh KLHK, KSP, UPN, UNPAD, IAGI, PAAI, JMPPK, ISS, ASC, WALHI, serta
dukungan pemerintah daerah setempat.

1
2. Metodologi
Pemetaan geologi inderaan jauh diawali dengan studi pustaka, dilanjutkan interpretasi
geologi pada citra TerraSAR-X, pengambilan data lapangan yang dilengkapi dengan
pengukuran stratigrafi rinci dan pengambilan sampel batuan, pengujian laboratoriun dan
analisis studio, serta pembuatan peta dan laporan.
Metode geofisika yang digunakan dalam kajian ini adalah: Electrical Resistivity
Tomography (ERT) untuk mengetahui batuan yang berpotensi mengandung air berdasarkan
resistivitas batuan; Gaya Berat (micro-Gravity) untuk mengetahui batas formasi batuan
berdasarkan nilai densitas batuan; dan Georadar (Ground Penetrating Radar-GPR) untuk
mengetahui fitur bawah permukaan baik itu rongga, goa, maupun rekahan.
Pengeboran inti dilakukan dengan teknik pengeboran putar (rotary drilling) dan coring,
serta geofisika well-logging untuk mengetahui jenis, sifat fisika dan visual batuan secara
vertikal.

Metode Hidrogeologi (hidrologi, neraca air, hidrokimia, hidroisotop, dan penjejak/tracer)


untuk mengetahui daerah imbuhan dan lepasan air tanah, serta karakteristik dan pola aliran
air tanah.

Penelusuran Goa untuk membuktikan keberadaan sungai bawah tanah di dalam goa terpilih
dan mengetahui arah alirannya.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Geologi

Hasil pemetaan geologi memperlihatkan adanya pembaruan sistem tatanama satuan batuan
yang lebih rinci (Gambar 1). Sebaran Batugamping Formasi Bulu, selain yang tersebar
cukup merata di seluruh daerah kajian, ditemukan terpola melingkar mengelilingi Kawasan
Watuputih. Batugamping Formasi Paciran terendapkan takselaras di atas batuan yang lebih
tua, termasuk Batugamping Formasi Bulu yang menjadi alas pengendapan. Satuan batuan
ini terdiri atas batugamping klastika berlapis halus hingga sangat kasar, setempat kapuran,
dengan sisipan batugamping terumbu, dan berketebalan mencapai 120 m. Batuan
terendapkan pada Pliosen hingga Plistosen di lingkungan lereng depan, runtuhan terumbu
depan dan setempat membentuk terumbu lokal. Luas sebaran Batugamping Formasi
Paciran menjadi lebih kecil daripada sebaran satuan batuan tersebut pada peta geologi
terdahulu, yaitu dari 25,68 km2 menjadi 15,83 km2.

2
Gambar 1. Peta geologi inderaan jauh daerah Watuputih dan sekitarnya, yang memperlihatkan luasan sebaran
Batugamping Formasi Paciran.

3.2 Geofisika

Hasil analisis metode ERT memperlihatkan di lokasi sebelah baratlaut dan timur CAT
mempunyai nilai resistivitas kecil (1 – 115 Ohm.m), yang mencerminkan batuan tidak
terlalu kompak dan jenuh air (zona basah). Spot-spot nilai resistivitas besar yang
mengindikasikan adanya sisipan batugamping kompak. Resistivitas besar (115 – 40000
Ohm.m) menunjukkan batuan kompak atau kering (zona kering), umumnya berada di
bagian tengah. Nilai resistivitas kecil di tepi CAT menunjukkan adanya rekahan.

Anomali Gravity regional (Gambar 2a) menunjukkan adanya cekungan yang berhubungan
dari bagian selatan hingga baratlaut. Selain itu, patahan di bagian timur yang berarah
baratlaut – tenggara juga teridentifikasi. Patahan utama ini memotong mataair Brubulan di
Desa Tahunan. Selain itu, pada lokasi mataair Rambutsemen di Desa Gading terdapat
indikasi patahan minor berarah barat – timur. Anomali Gravity residual (Gambar 2b)
menunjukkan densitas tinggi tersebar di sebelah selatan, barat, dan tengah. Nilai densitas

3
tinggi ini diinterpretasi sebagai sebaran batuan Formasi Bulu yang memiliki nilai densitas
lebih tinggi daripada formasi yang lain.

Gam
bar 2. Peta anomali Gravity. (a) Anomali regional, (b). Anomali residual

Pemodelan Gravity berarah barat-timur (Gambar 3a) menunjukkan urutan batuan yang
sesuai dengan densitas batuan: Formasi Tawun 2.70 gr/cm 3, Formasi Ngrayong 2.20
gr/cm3, Formasi Bulu 2.73 gr/cm3, Formasi Wonocolo 2.10 gr/cm3, Formasi Ledok 2.40
gr/cm3, dan Formasi Paciran 2.46 gr/cm3. Penampang berarah utara-selatan (Gambar 3b)
mempunyai pola yang hampir mirip dengan penampang sebelumnya, berupa patahan naik
dan patahan turun yang cukup intens. Pada bagian utara terlihat adanya batuan gunungapi.
Tidak menerusnya pola perlapisan pada kedua penampang tersebut disebabkan banyaknya
patahan.

(a) (b)
Gambar 3. Penampang anomali Gravity. (a) arah barat – timur (b). arah utara – selatan.

Salah satu penampang georadar di Goa Wiyu (Gambar 4) menunjukkan arah goa relatif
menurun dan mengecil ke utara. Penampang GWR 1 berlokasi di dekat mulut goa berada
pada elevasi 274.5 mdpl, sementara penampang GWR 2 di dalam goa berada pada elevasi
271.5 mdpl, dan penampang GWR 3 di dalam goa berada pada elevasi 268 m.dpl. Pada
lokasi goa lain, dijumpai fitur rongga di sekitar goa yang mencerminkan adanya bentukan
rongga lain di sekitar goa walaupun rongga tersebut tidak saling berhubungan.

4
Gambar 4. Penampang Georadar di Goa Wiyu. Terlihat geometri Goa Wiyu semakin mengecil dan
mendalam ke utara (dipping).

3.3 Pengeboran Inti

Hasil pengeboran inti di titik bor WP-1 pada elevasi 373 mdpl: di permukaan merupakan
batugamping Formasi Paciran, bersifat kapuran hingga kedalaman 3 m; selanjutnya
batugamping Formasi Bulu yang bersifat keras hingga kompak, terkekarkan, hingga
kedalaman ± 86 m. Pada kedalaman 35,2 m, 36,3 m, dan 66,2 m dijumpai paleosoil dan
rongga di beberapa tempat. Selanjutnya, di dalam Formasi Bulu dijumpai sisipan batupasir
Formasi Ngrayong mulai dari kedalaman 86 m. Zona basah ditemukan mulai pada
kedalaman 88,3 m. Hal ini sesuai dengan hasil interpretasi ERT.

Hasil pengeboran inti di titik bor WP-2 pada elevasi 377 mdpl: di permukaan merupakan
batugamping Formasi Paciran hingga kedalaman 73,5 m. Bagian bawahnya merupakan
batugamping Formasi Bulu hingga kedalaman 150 m. Hasil interpretasi geolistrik
menunjukkan di lokasi ini merupakan zona kering, dan hasil pengeboran inti memberikan
hasil tidak berair hingga kedalaman 150 m.

Hasil pengeboran inti di titik bor WP-3 pada elevasi 310 mdpl, di permukaan merupakan
batugamping Formasi Paciran hingga kedalaman 24 m. Selanjutnya ditemukan
batugamping Formasi Bulu hingga kedalaman 76,9 m. Hasil interpretasi geolistrik
menunjukkan pada lokasi ini merupakan zona kering hingga kedalaman 76,9 m, dan
pengeboran inti memberikan hasil yang sama.

Hasil Caliper-log pada titik bor WP-1 dan WP-2 menunjukkan cukup banyak rongga
dengan diameter terbesar 16.4 inchi (41.6 cm). Hasil gamma-ray menunjukkan nilai besar
mulai dari awal pengeboran di titik bor WP-1, sedangkan pada titik bor WP-2 nilai besar
hanya dijumpai pada kedalaman di bawah 70 m (Gambar 4). Besar kecilnya nilai gamma-
ray ini dipengaruhi oleh kehadiran mineral lempung sebagai akibat dari banyaknya rekahan
5
(fracture). Hasil Downhole Camera di titik bor WP-1 menunjukkan adanya zona basah
berupa muka air tanah di kedalaman 88,3 m dari permukaan tanah (284,7 mdpl).

Gambar 4. Hasil geofisika well-logging.

3.4 Penelusuran Goa

Penelusuran goa dilakukan pada lima goa, yaitu Goa Manuk, Goa Rambut, Goa
Temuireng, Goa Menggah, dan Goa Wiyu 1. Hasil penelusuran goa yang dilakukan di
sekitar Watuputih didapatkan dimensi dan kondisi masing-masing goa (Tabel 1).

Tabel 1. Dimensi dan kondisi goa di wilayah kajian

N Elevasi Mulut Panjang Kedalaman Debit


Nama Goa Kondisi Goa
o Goa (mdpl) Total (m) (m) (l/det)
1 Goa Manuk 390 282.6 57 terdapat aliran air 1
2 Goa Rambut 155 176.37 18.75 terdapat genangan air -
3 Goa Temuireng 390 294.63 27.57 terdapat aliran air 1
4 Goa Menggah 287 116.28 24.57 terdapat genangan air -
basah pada ornamen
5 Goa Wiyu 380 60.5 27.48 -
goa

3.5 Hidrogeologi

3.5.1 Hidrogeologi Umum

Kegiatan kajian di sekitar Watuputih telah mengidentifikasi 39 mataair, 17 galian berair,


dan 4 goa berair yang secara geologi terdapat di luar Formasi Paciran (Gambar 5). Mataair
tersebut secara umum keluar melalui sistem rekahan batuan dengan debit sesaat pada
musim hujan (April 2017) bervariasi 0,05 - 1547 l/det (rata-rata geometrik 2,04 l/det),

6
sedangkan pada musim kemarau (Juli – Agustus 2017) bervariasi 0,01 - 1516 l/det (rata-
rata geometrik 0,5 l/det). Kompleks Mataair Sumbersemen (1516 - 1547 l/det) dan
Brubulan Tahunan (165 - 189 l/det) sebagai mataair utama yang bersifat artesis, terletak
pada elevasi 140 – 160 mdpl, yang merupakan zona lepasan air tanah regional.

Mataair di sebelah timur seperti Mataair Sumbersemen, Brubulan Tahunan, dan Kalutan
dikontrol oleh patahan. Karakter mataair yang dikontrol oleh patahan lainnya terlihat pada
kompleks mataair di bagian baratdaya daerah kajian yaitu Kompleks Mataair Kajar,
Sumberan, Waru, dan Mermo. Mataair yang dikontrol oleh sistem lipatan terlihat pada
bagian barat hingga selatan, yaitu Mataair Wali, Brubulan Pesucen, Sayuran, Sumbersoko,
Ngleweh, Jurangjero, dan Sami. Mataair lainnya yang memiliki debit relatif kecil (< 10
l/detik) umumnya dikontrol oleh lapisan kedap air di bagian bawahnya, seperti Mataair
Bibis, Aren, Cumpleng, Sumber Brengkeng, Brengkeng, dan Kajar, dan Sumber Suntri.

Gambar 5. Distribusi spasial obyek hidrogeologi di Watuputih dan sekitarnya.

3.5.2 Hidrogeokimia

Hasil analisis hidrokimia contoh air, baik pada bulan April 2017 maupun pada bulan Juli-
Agustus 2017 menunjukkan kation yang melimpah adalah kalsium (Ca2+) dengan nilai rata
– rata 96,6 mg/l dan 104,17 mg/l, Magnesium (Mg2+) dengan nilai rata-rata 16,4 mg/l dan
14,66 mg/l. Anion utama yang melimpah adalah bikarbonat (HCO3-) dengan nilai rata-rata
332,8 mg/l dan 360,64 mg/l, ion sulfat (SO42-) dengan nilai rata-rata 23,1 mg/l dan 25,76

7
mg/l. Fasies hidrokimia yang dominan adalah Ca-HCO3 dan Ca-Mg-HCO3 yang
menunjukkan air tanah berinteraksi/melalui batugamping.

Hasil analisis koefisien variasi sifat kimia fisika air (Mataair Sumbersemen, Brubulan
Tahunan, Kajar, dan Ngandong), serta pengeplotan sumber air pada diagram tekanan
parsial CO2 dan kejenuhan terhadap CaCO3, menunjukkan sebagian besar merupakan tipe
mataair tropis dengan sistem penyimpanan dan pengaliran dominan melalui mekanisme
difusi yang dapat melalui media pori atau sistem rekahan yang rapat.

3.5.3 Hidroisotop
18
Hasil analisis 53 contoh isotop O dan 2H dapat dikelompokkan menjadi empat kelas
(rendah, rendah-sedang, sedang-tinggi, dan tinggi). Mataair dengan nilai isotop rendah
hadir pada zona patahan di bagian timur dan barat Formasi Paciran dengan arah baratlaut-
tenggara. Mataair tersebut memiliki kesamaan sumber dengan mataair yang berada di
18
sekitar Gunung Gutak. Rendahnya komposisi isotop O dan 2H menunjukkan bahwa
mataair-mataair tersebut memiliki sistem air tanah relatif dalam, dikontrol sistem patahan
dan landaian hidrolika.

Sumber air dengan komposisi isotop 18O dan 2H sedang - tinggi terutama pada kompleks
mataair di bagian baratlaut - baratdaya dan pada kompleks galian berair di bagian baratlaut
Formasi Paciran. Tingginya komposisi isotop sumber air ini berkaitan dengan aliran air
tanah menengah hingga lokal yang dipengaruhi oleh penguapan.

Perbandingan komposisi isotop 18O dan 2H beberapa contoh air yang diambil pada April
2017 dan Juli – Agustus 2017 menunjukkan bahwa Mataair Brubulan Tahunan, Mataair
Sumbersemen, Goa Rambutsemen, dan Mataair Kajar memiliki kandungan isotop yang
relatif sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumber air pada mataair tersebut tidak
terpengaruh iklim, menandakan sistem air tanah relatif dalam.

Hasil pengukuran aktivitas isotop radon (222Rn) menunjukan sumber air memiliki variasi
nilai 440 - 22.800 Bq/m3 dengan rata-rata geometrik 8.470,95 Bq/m3. Berdasarkan
keterkaitan dengan litologi lokasi sumber air, pada litologi batupasir kuarsa Formasi
Ngrayong memiliki aktivitas radon yang relatif tinggi (rata-rata 12.986 Bq/m 3), sedangkan
pada batuan yang bersifat gampingan memiliki aktivitas radon yang bervariasi dari rendah
(<5.000 Bq/m3) hingga tinggi (>12.000 Bq/m3). Tingginya aktivitas radon pada sumber air

8
sangat berkaitan dengan struktur geologi, baik patahan maupun lipatan melalui mekanisme
transfer aliran air tanah dari Formasi Ngrayong dengan formasi batuan yang lebih muda.

3.5.4 Neraca Air

Hasil analisis neraca air menggunakan Metode Mock menunjukkan luasan daerah
tangkapan Kompleks Mataair Sumbersemen dan Brubulan Tahunan adalah sekitar 132,78
km2. Berdasarkan hal ini maka luasan daerah tangkapan seluruh sumber air pada daerah
kajian jauh lebih besar dari 132,78 km2.

3.5.5 Pola Aliran Air Tanah

Pola aliran air tanah di daerah kajian secara umum dibagi menjadi dua tipe. Tipe aliran air
tanah dangkal (tidak tertekan) terdapat di bagian baratlaut, dikontrol oleh topografi dengan
arah dari utara menuju ke barat, baratdaya, dan tenggara (Gambar 6). Tipe aliran air tanah
dalam bersifat tertekan pada Formasi Ngrayong dan tidak tertekan pada formasi batuan di
atasnya. Arah aliran relatif dikontrol oleh patahan berarah baratlaut-tenggara dan beberapa
lokasi menunjukkan arah timurlaut-baratdaya.

9
Gambar 6. Model konseptual hidrogeologi Watuputih dan sekitarnya, (a) Arah Barat-Timur (b) Arah Utara-
Selatan.

4. Kesimpulan

a. Luas sebaran Batugamping Formasi Paciran menjadi lebih kecil daripada sebaran
satuan batuan tersebut pada peta geologi terdahulu, yaitu dari 25,68 km 2 menjadi
15,83 km2. Kajian ini fokus pada Formasi Bulu dan Formasi Paciran: Formasi Bulu
membentuk eksokarst (mataair, bukit karst) dan endokarst (sungai bawah tanah),
sedangkan Formasi Paciran tidak membentuk eksokarst dan endokarst

10
b. Hasil analisis hidrokimia, isotop, hidrolika, dan geofisika menunjukkan sistem air
tanah Kompleks Mataair Sumbersemen, Brubulan Tahunan, serta Kajar melalui
mekanisme pengaliran dari formasi batuan yang lebih tua dari Formasi Paciran.
Pemunculan mataair dikontrol oleh keberadaan patahan di bagian barat dan timur
batugamping Formasi Paciran. Dengan demikian, kontribusi Formasi Paciran dalam
proses peresapan dan pengaliran air tanah hanya 11,92% terhadap mataair
Sumbersemen dan Brubulan Tahunan, terutama pada saat hujan.
c. Keberadaan mataair yang terletak di bagian barat – utara Formasi Paciran secara
umum dikontrol oleh topografi dan perlapisan batuan setempat, serta tidak terkait
dengan Formasi Paciran.
d. Hasil pengeboran inti pada titik bor WP-1 dijumpai paleosoil pada Formasi Bulu di
kedalaman 35,2 m, 36,3 m, dan 66,2 m serta sisipan batupasir Formasi Ngrayong
mulai di kedalaman 86 m. Hal ini sesuai dengan pengukuran geofisika, baik ERT
maupun well-logging.
e. Hasil penelusuran goa menunjukkan hanya Goa Manuk dan Temuireng yang
memiliki aliran air dengan debit sekitar 1 liter/detik, sedangkan Goa Menggah dan
Rambutsemen hanya terdapat genangan air. Selain itu, berdasarkan data geofisika,
Goa Wiyu bagian atas terletak di Formasi Paciran, sedangkan bagian dasar goa
termasuk pada Formasi Bulu
f. Berdasarkan analisis sebaran goa, luweng, morfologi, dan ditunjang oleh data
hidrokimia dan geofisika, goa-goa tersebut tidak menunjukkan sistem jaringan
rongga yang saling terhubung.

4. Rekomendasi
a. Berdasarkan kriteria eksokarst (mataair, bukit karst) dan endokarst (sungai bawah
tanah) pada pasal 4 Permen ESDM No.17/2012 Tentang Penetapan Kawasan
Bentang Alam Karst (KBAK), maka sebagian Formasi Bulu perlu dilindungi. Oleh
karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah agar menyampaikan usulan penetapan
KBAK kepada MESDM (Gambar 7).
b. Mataair di luar area usulan penetapan KBAK tetap harus dilindungi (contoh:
Sumbersemen, Brubulan Tahunan, Bitingan, dan Jurangjero)

11
c. Kegiatan budidaya yang mengubah bentang alam masih dapat dilakukan pada
Formasi Paciran hingga batas atas Formasi Bulu (Gambar 8).

Gambar 7. Peta indikasi Kawasan Bentang Alam Karst

Gambar 8. Batas perubahan bentang alam yang direkomendasikan.

12

Anda mungkin juga menyukai