2
Tidak hanya itu, PLTU juga menghasilkan emisi Nitrogen Dioksida (NO2) dan Sulfur
Dioksida (SO2) yang dapat meningkatkan risiko penyakit pernafasan dan jantung pada
orang dewasa. Bahkan, emisi tersebut dapat menyebabkan hujan asam yang merusak
tanaman dan tanah, serta membawa kandungan logam berat beracun, seperti arsenik,
nikel, krom, timbal dan merkuri.
Dengan demikian, akumulasi dari setiap jenis aktivitas yang akan dilakukan pihak
perusahaan, jelas tak hanya berisiko bagi masyarakat di Lingko Lolok dan Luwuk, tetapi
juga masyarakat sekitar yang terpapar dari seluruh jenis aktivitas perusahaan.
Seluruh potensi daya rusak itu, tentu tak dialami oleh Agas yang sebagian besar harinya
dihabiskan di Borong, tetapi jelas menjadi salah satu aktor penting di balik rencana
masuknya dua perusahaan itu. Maka, ketika Agas terus memfasilitasi masuknya kedua
perusahaan itu, tanpa diikuti dengan kejernihan cara berpikir, termasuk abai terhadap
suara penolakan berbagai pihak, maka, dugaan mendapat keuntungan dari perusahaan
pun patut diajukan. Apalagi, dalam tahap awal proses masuknya dua perusahaan itu,
Agas tampak seperti “calo perusahaan.”
Dari informasi yang kami peroleh, masyarakat setempat juga tidak mendapat informasi
dan pemahaman yang memadai terkait dampak kehadiran dua perusahaan itu bagi masa
depan mereka. Sejauh ini, yang mereka terima lebih banyak janji-janji manis, yang
dibarengi dengan pemberian uang yang diklaim sebagai DP (down payment) lahan
mereka.
Harapan untuk Gereja
Di hadapan berbagai ancaman di atas, kita tentu tidak bisa mengambil sikap diam.
Dengan menolak dua perusahaan ini, kita tidak sedang berbicara tentang hari ini, tetapi
juga tentang keselamatan masa depan kehidupan dan lingkungan kita. Wilayah di
Manggarai Raya terlalu kecil hanya untuk dimanfaatkan bagi industri ekstraktif.
Kami bersyukur bahwa Gereja Keuskupan Ruteng, bekerja sama dengan berbagai pihak
lain, telah mencatat sejarah berhasil mengakhiri rezim pertambangan ketika beberapa
tahun lalu semua perusahaan gulung tikar dari Manggarai Raya. Kami berharap, saat ini
Gereja mengambil sikap yang sama agar ancaman kerusakan ini tidak terjadi kembali.
Apalagi, sebagaimana ditegaskan Paus Fransiskus,“Tantangan yang mendesak untuk
melindungi rumah kita bersama mencakup upaya menyatukan seluruh keluarga manusia
guna mencari bentuk pembangunan berkelanjutan dan integral.” (Laudato si, art. 13)
Tentu saja, langkah ini tidak mudah, mengingat pergerakan perusahaan dan pemerintah
yang sudah lumayan jauh, termasuk dengan membuat kesepakatan bersama warga dan
menerbitkan izin lokasi. Namun, kami berharap, dengan meletakkan dasar sikap pada
komitmen merawat bumi dan menghadirkan alam yang baik bagi generasi masa depan,
sikap tegas dari Keuskupan Ruteng untuk menolak dua perusahaan ini perlu dilantangkan.
Gereja perlu tegas mengambil sikap mengingat tambang hanya melayani kepentingan
sesaat dan memperkaya segelintir orang tetapi membawa malapetaka untuk masa depan.
Kami perlu menambahkan catatan bahwa dengan memilih sikap demikian, Gereja perlu
terus mendorong pemerintah memaksimalkan sektor-sektor yang tidak membawa bahaya
bagi masa depan lingkungan dan generasi kita. Dan dalam rangka mendukung hal itu
3
serta menunjukkan keberpihakan pada masyarakat terutama di wilayah-wilayah yang terus
diganggu investor, Gereja kiranya perlu merumuskan pola pastoral yang menyapa situasi
mereka.
Kami menutup surat ini dengan kutipan dari Laudato si art. 159, dokumen yang pada 25
Mei tahun ini genap berusia lima tahun: “Krisis ekonomi global telah menunjukkan sangat
jelas kerugian yang diakibatkan bila kita mengabaikan nasib kita bersama yang juga
menyangkut orang-orang yang datang sesudah kita. Kita tidak bisa lagi berbicara tentang
pembangunan berkelanjutan tanpa solidaritas antargenerasi. Ketika kita memikirkan
keadaan dunia yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang, kita mulai berpikir
dengan cara yang berbeda, sadar bahwa dunia adalah hadiah yang telah kita terima
secara gratis dan yang kita bagi dengan yang lain. Jika bumi diberikan kepada kita, kita
tidak lagi dapat berpikir hanya menurut ukuran manfaat, efisiensi dan produktivitas untuk
kepentingan pribadi. Kita berbicara tentang solidaritas antargenerasi bukan sebagai sikap
opsional, tetapi sebagai soal mendasar keadilan, karena bumi yang kita terima juga milik
mereka yang akan datang.”