Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penentuan umur batuan dapat dilakukan dengan umur absolut dan umur
relatif. Umur absolut dapat diperoleh dari dating dengan unsur radioaktif.
Sedangkan umur relatif diperoleh dari analisis foraminifera yang terdapat pada
sampel batuan.
Dalam hal ini penentuan umur batuan yang dilakukan oleh penulis
berdasarkan umur relatif. Dilakukan dengan preparasi sampel batuan yang
diambil dari Kali Bancak, Desa Tegalrejo, Kab Grobogan dengan panjang
lintasan 100 meter, dan sampel diambil pada interval 5 meter.
Setelah sampel tersebut dipreparasi, lalu dapat diketahui jumlah dari jenis
foraminifera planktonic dengan metode analisis semi kuantitatif dan
foraminifera bentonik dengan metode kualitatif.

1.2 Maksud
Melakukan measuring stratigraphy (MS) dengan menggunakan metode
rentang tali.
Menentukan litologi dan struktur geologi daerah penelitian.
Melakukan pengambilan sampel litologi per 5 meter dan menganalisis
mikrofosil yang terdapat pada litologi tersebut.

1.3.Tujuan
Mampu memisahkan fosil (foram kecil) dengan pasir.
Mampu membedakan foraminifera bentonik dan plantonik.
Mampu mendeskripsi dan mengidentifikasi jenis foram dengan
menggunakan mikroskop.
Mampu menentukan umur dan lingkungan pengendapan dari hasil deskripsi
dan identifikasi fosil

1
1.4.Rumusan Masalah
Yang dibahas pada praktikum kali ini lebih mengacu pada :
Menentukan umur batuan dan perlapisan berdasarkan fosil foraminifera
plantonik
Menentukan lingkungan pengendapan dari bathymetri berdasarkan
keterdapatan fosil foraminifera bentonik

1.5 Waktu dan Lokasi Penelitian


Kegiatan praktikum mikropaleontologi acara measuring stratigraphy (MS)
dilaksanakan pada :
Tempat : Kali Bancak, Desa Tegalrejo, Kab Grobogan
Hari : Minggu
Tanggal : 27 September 2015
Pukul : 07.00- selesai

2
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1 Geologi Regional

Gambar 2.1 Sketsa Fisografi Pulau Jawa Bagian Timur (de Genevraye and Samuel,
1972)

Zona Kendeng juga sering disebut Pegunungan Kendeng dan adapula


yang menyebutnya dengan Kendeng Deep, adalah antiklinorium berarah
barat-timur. Pada bagian utara berbatsan dengan Depresi Randublatung,
sedangkan bagian selatan bagian jajaran gunung api (Zona Solo). Zona
Kendeng merupakan kelanjutan dari Zona Pegunungan Serayu Utara yang
berkembang di Jawa Tengah.
Menurut Van Bemmelen (1949), Pegunungan Kendeng dibagi menjadi 3
bagian, yaitu bagian barat yang terletak di antara G.Ungaran dan Solo (utara
Ngawi), bagian tengah yang membentang hingga Jombang dan bagian timur
mulai dari timur Jombang hingga Delta Sungai Brantas dan menerus ke Teluk
Madura. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat.
Menurut Harsono P. (1983) Stratigrafi daerah kendeng terbagi menjadi
dua cekungan pengendapan, yaitu Cekungan Rembang (Rembang Bed) yang
membentuk Pegunungan Kapur Utara, dan Cekungan Kendeng (Kendeng
Bed) yang membentuk Pegunungan Kendeng. Formasi yang ada di Kendeng
adalah sebagi berikut:

3
Formasi kerek mempunyai ciri khas berupa perselingan antara lempung,
napal lempungan, napal, batupasir tufaan gampingan dan batupasir tufaan.
Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan
bersusun (graded bedding) yang mencirikan gejala flysch. Berdasarkan fosil
foraminifera planktonik dan bentoniknya, formasi ini terbentuk pada Miosen
Awal Miosen Akhir ( N10 N18 ) pada lingkungan shelf. Ketebalan formasi
ini bervariasi antara 1000 3000 meter. Di daerah Lokasi Tipe, formasi ini
terbagi menjadi 3 anggota (de Genevreye & Samuel, 1972), dari tua ke muda
masing-masing : a. Anggota Banyuurip Tersusun oleh perselingan antara
napal lempungan, napal, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan
batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter. Pada bagian tengah
perselingan ini dijumpai batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter,
sedangkan bagian atas ditandai oleh adanya perlapisan kalkarenit pasiran
setebal 5 meter dengan sisipan tipis dari tuf halus. Anggota ini berumur N10
N15 (Miosen Tengah bagian tengah atas). b. Anggota Sentul Tersusun oleh
perulangan yang hampir sama dengan Anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang
bertufa menjadi lebih tebal. Ketebalan seluruh anggota ini mencapai 500
meter. Anggota Sentul diperkirakan berumur N16 (Miosen Tengah bagian
bawah). c. Batugamping Kerek Anggota teratas dari Formasi Kerek ini
tersusun oleh perselang-selingan antara batugamping tufan dengan perlapisan
lempung dan tuf. Ketebalan dari anggota ini adalah 150 meter. Umur dari
Batugamping Kerek ini adalah N17 (Miosen Atas bagian tengah).
Deformasi pertama pada Zona Kendeng terjadi pada akhir Pliosen (Plio
Plistosen), deformasi merupakan manifestasi dari zona konvergen pada
konsep tektonik lempeng yang diakibatkan oleh gaya kompresi berarah relatif
utara selatan dengan tipe formasi berupa ductile yang pada fase terakhirnya
berubah menjadi deformasi brittle berupa pergeseran blok blok dasar
cekungan Zona Kendeng. Intensitas gaya kompresi semakin besar ke arah
bagian barat Zona Kendeng yang menyebabkan banyak dijumpai lipatan dan
sesar naik dimana banyak zona sesar naik juga merupakan kontak antara
formasi atau anggota formasi.

4
Deformasi Plio Plistosen dapat dibagi menjadi tiga fase/ stadia, yaitu;
fase pertama berupa perlipatan yang mengakibatkan terbentuknya Geantiklin
Kendeng yang memiliki arah umum barat timur dan menunjam di bagian
Kendeng Timur, fase kedua berupa pensesaran yang dapat dibagi menjadi dua,
yaitu pensesaran akibat perlipatan dan pensesaran akibat telah berubahnya
deformasi ductile menjadi deformasi brittle karena batuan telah melampaui
batas kedalaman plastisnya. Kedua sesar tersebut secara umum merupakan
sesar naik bahkan ada yang merupakan sesar sungkup. Fase ketiga berupa
pergeseran blok blok dasar cekungan Zona Kendeng yang mengakibatkan
terjadinya sesar sesar geser berarah relatif utara selatan.
Deformasi kedua terjadi selama kuarter yang berlangsung secara lambat
dan mengakibatkan terbentuknya struktur kubah di Sangiran. Deformasi ini
masih berlangsung hingga saat ini dengan intensitas yang relatif kecil dengan
bukti berupa terbentuknya sedimen termuda di Zona Kendeng yaitu Endapan
Undak.

Gambar 2.2 Pola Struktur Jawa (Sribudiyani dkk., 2003)


Secara umum struktur struktur yang ada di Zona Kendeng berupa : 1.
Lipatan Lipatan yang ada pada daerah Kendeng sebagian besar berupa lipatan
asimetri bahkan beberapa ada yang berupa lipatan overturned. Lipatan
lipatan di daerah ini ada yang memiliki pola en echelon fold dan ada yang
berupa lipatan lipatan menunjam. Secara umum lipatan di daerah Kendeng
berarah barat timur. 2. Sesar Naik Sesar naik ini biasa terjadi pada lipatan
yang banyak dijumpai di Zona Kendeng, dan biasanya merupakan kontak

5
antar formasi atau anggota formasi. 3. Sesar Geser Sesar geser pada Zona
Kendeng biasanya berarah timur laut- barat daya dan tenggara -barat laut. 4.
Struktur Kubah Struktur Kubah yang ada di Zona Kendeng biasanya terdapat
di daerah Sangiran pada satuan batuan berumur Kuarter. Bukti tersebut
menunjukkan bahwa struktur kubah pada daerah ini dihasilkan oleh deformasi
yang kedua, yaitu pada Kala Plistosen.

2.2 Stratigrafi Terukur


Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah
suatu penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu
jalur, yang secara sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili
daerah tempat dilakukannya pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut
dapat meliputi satu formasi batuan atau lebih. Sebaliknya pengukuran dapat
pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi, sehingga hanya
meliputi satu atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi,
misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa perlapisan saja kolom
stratigrafi yang diperoleh dari jalur yang diukur siap dijadikan dasar untuk:
1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun
informal, yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak,
sehingga akan meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang
dilakukan di tempat dimana dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom
tersebut serta sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom
tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk
wilayah tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari
seluruh satuan yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih,
misalnya saja :
a. lapisan batupasir yang potensial sebagai reservoir.

6
b. lapisan batubara.
c. lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Metoda yang digunakan dalam stratigrafi terukur adalah :
Metoda rentang tali.
Metoda tongkat Jacob (Jacobs staff method).
Metoda rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metoda Brunton and tape
(Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988)
dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran panjang. Semua jarak
dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan
metoda ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya
apabila dipenuhi syarat sebagai berikut:
Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan.
Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah
kemiringan.
Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun
kemiringan

7
BAB III
METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan


Buku Catatan Lapangan
Kompas Geologi
Palu Chisel Point
Pita Ukur
Kolom MS
Alat Tulis
HCL
Kamera
Plastik Sampel

3.2. Metode Pelaksanaan


Lapangan
1. Pada peta lintasan, cara mendapatkan data yang dilakukan dilapangan
dengan menggunakan metode pita ukur, dimana memerlukan alat
berupa kompas dan alat ukur dalam meter. Fungsi kompas adalah
menunjukan arah pada dilapangan dan juga mengukur kelerengan pada
lintasan yang akan dilalui untuk diteliti. Sedangkan fungsi alat ukur
disini adalah untuk menghitung jarak dari titik yang satu ke titik yang
lainnya. Cara kerja dari pengambilan data ini pertama-tama
membentangkan meteran yang dilakukan dua orang, kemudian fungsi
kompas disini adalah menunjukan derajat arah antara orang yang
pertama ke orang yang kedua, setelah itu mengukur slope dengan
menggunakan kompas. Data yang ada kemudian dituliskan pada kertas
dengan alat bantu busur agar data lebih akurat.
2. Sambil menuliskan data dan menggambarkan peta lintasan, pada saat
ini digunakan juga untuk mengerjakan kolom stratigrafi. Cara

8
pembuatan data ini adalah dengan cara pengamatan langsung
dilapangan. Kenampakan-kenampakan litologi yang ada pada lapangan
dicatat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada lembar
deskripsinya. Terdapat ketentuan mengenai ukuran butir, ketebalan
litologi, keterdapatan fosil, jenis erosi pada litologi, struktur sedimen,
dan deskripsi masing-masing litologi. Pengukuran strike dan dip pada
masing-masing litologi juga diperlukan untuk mendukung data profil
sayatan. Data-data yang didapatkan ini adalah data yang paling penting
dalam tahap-tahap berikutnya.
3. Untuk mendukung data-data yang didapatkan dilapangan, maka
diperlukan foto litologi lengkap dengan pembandingnya. Dengan foto
yang mengikuti kaidah-kaidah geologi ini akan memperjelas
pembahasan yang akan dibuat nantinya.
Litologi yang didapatkan di lapangan yang kemudian dituliskan pada
kolom stratigrafi adalah batupasir karbonatan yang berukuran pasir halus
(1/8mm-1/4mm, Wentworth, 1922), sisipan batupasir halus kompak dan
batulanau (1/16-1/256mm, Wenworth, 1922). Batas antar litologi yang ada
di lapangan dibatasi dengan erosi yang berbentuk tegas dan berbentuk
gradasi. Terdapat juga struktur-struktur sedimen berupa laminasi, Graded
bedding, Normal graded bedding, Convolute.
Sedangkan untuk hasil yang didapatkan dilapangan yang kedua adalah
peta lintasan, peta yang menggambarkan tempat mana saja yang dilalui
yang sekaligus menggambarkan keadaan litologi secara singkat yang ada
pada lapangan. Peta lintasan yang digambarkan di kertas setelah dilakukan
pengamatan sepanjang 100 meter. Litologi tersebut berupa batupasir
berukuran pasir halus (1/8mm-1/4mm, Wentworth, 1922) sisipan batupasir
halus kompak dan batulanau (1/16-1/256mm, Wenworth, 1922),
Batulempung dengan ukuran (<1/256mm, Wenworth, 1922).
Pengambilan sampel di lapangan adalah hal yang paling penting selain
mendeskripsi singkapan ataupun litologi yang ada di lapangan. Teknik
yang digunakan disini adalah menggunakan alat bantu palu chisel point.

9
Singkapan dan litologi yang ada dilapangan berupa batuan sedimen secara
keseluruhan, maka palu geologi yang digunakan dalam pengambilan
sampel adalah palu sedimen. Sampel yang diambil dilapangan berukuran
hand specimen atau hanya sebesar genggaman tangan pada umumnya, dan
kemudian dimasukan kedalam kantong sampel yang diberi keterangan
jarak dan keterangan GP. Keterangan disini diperlukan untuk
mempermudah dalam memproses sampel pada tahap berikutnya.
Sampel yang ideal untuk diambil adalah litologi yang memiliki banyak
fosil-fosil yang terdapat pada tubuh batuannya, fosil ini biasanya dapat
dilihat secara kasat mata. Fosil-fosil ini penting, karena dari data-data fosil
ini dapat mendeterminasi umur batuan, dan pada praktikum ini digunakan
sebagai bahan utama dalam menentukan umur batuan secara detail.
Sampel batuan diambil setiap 5 meter jarak lintasan pada litologi yang
berukuran halus.
Laboratorium
Pada analisis laboratorium terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap
penumbukan, lalu dilarutkan dengan larutan peroksida dan
mengeringkannya, kemudian tahap pengayakan, dan yang terakhir tahap
pemisahan fosil dari butiran butiran non fosil.
1. Tahap Penumbukan
Sampel batuan diambil secukupnya kemudian dihaluskan hingga
tidak ada butiran yang menggumpal. Setelah itu sampel ditimbang
hingga memiliki berat bersih 200 gram.
2. Tahap melarutkan dengan hydrogen peroksida (H2O2)
Sampel batuan yang sudah dihancurkan, taruh sampel tersebut di
dalam wadah yang tahan hidrogen peroksida dan beri nama wadah
tersebut sesuai dengan nama sampel batuan.
Setelah itu encerkan larutan peroksidanya dengan takaran
perbandingan 1:5, kemudian tuang larutan peroksida yang telah
diencerkan ke dalam wadah yang berisi sampel satu persatu. Setelah

10
dilarutkan tunggu hingga minimal 5 sampai 6 jam, setelah itu
dikeringkan.
3. Tahap pengayakan
Pada tahap ini, setelah fosil kering dari tahap pelarutan dengan
menggunakan peroksida, sampel ditimbang masing-masing wadah
sebesar 100 gram. Kemudian sampel butiran tersebut kemudian diayak
dengan menggunakan ayakan atau mesh ASTM 40 mm, 100 mm dan
200 mm.
Butiran fosil langsung dimasukan ke dalam ayakan kemudian siram
ayakan dengan air supaya butiran-butiran sedimennya mudah terpilah
sesuai dengan ukuran butirnya.
Setelah sekiranya butiran tersebut sudah selesai terayak, residu
yang berada pada ayakan 100 mm dan 200 mm diambil. Sampel ditaruh
di kantong sampel secara terpisah, beri keterangan ukuran residunya
pada kantong sampel per wadah.
4. Tahap pemisahan preparasi fosil
Pada tahap terakhir ini setelah sampel butiran sedimen telah selesai
diayak, saatnya pemisahan butiran fosil dengan butiran non fosil.
Pemisahan ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler.
Caranya adalah, Alaskan meja objek dengan kertas mika bening
kemudian taruh sampel diatas mika bening tersebut. Nyalakan
mikroskopnya dan pisahkan butiran mikrofosil foraminifera planktonik
dan bentonik dengan butiran-butiran non fosil. Setelah dipisahkan,
taruh fosil-fosil tersebut di dalam preparasi yang sudah dibuat
sebelumnya.
5. Penentuan Umur Dengan Biozonasi
Siapkan sampel batuan yang akan diteliti, dalam bentuk peraga
butir. Dengan mikroskop binokuler, pisahkan peraga fosil dengan
butiran sedimen. Fosil yang didapat kemudian ditentukan jenisnya
(nama spesies). Masukkan semua spesies fosil tersebut pada daftar fosil
(fosil list). Pasang garis kisaran umur tiap spesies fosil tersebut (N3,

11
N4, N5 dst. Untuk mengetahui kisaran umur fosil, bisa dilihat pada
berbagai pustaka). Dari garis kisaran yang dibuat pada tiap spesies
tersebut, tentukan kolom dimana terjadi overlap dari kisaran-kisaran
tersebut. Umur batuan merupakan daerah overlap kisaran tersebut.

3.3 Sketsa Lintasan

12
3.4 Diagram Alir Tahapan Penelitian
Lapangan
Mulai

Mengukur strike dip, ketebalan dan lapisan


tiap litologi dari lintasan sepanjang 100 meter

Mendeskripsi singkapan meliputi jenis


batuan, ukuran butir, struktur sedimen

Mengambil sampel litologi dengan jenis


berbeda pada setiap jarak 5 meter

Membuat peta lintasan, kolom


stratigrafi yang sudah dikoreksi

Selesai

13
Laboratorium
Mulai

Menghancurkan sampel batuan sampai halus kemudian campur dengan H2O2.


Kemudian tiriskan dan keringkan.

Menimbang sebesar 100 gram


pada sampel batuan setiap GP

Pengamatan sampel dengan mikroskop binokuler untuk memisahkan


antara fosil foraminifera plankton dan Benton dari butiran sedimen

Deskripsi fosil dan determinasi nama


dan umur fosil berdasarkan postuma

Menempatkan fosil pada preparat


berdasarkan jumlah kamar

Membuat table distribusi foram


plankton dan benton

Membuat table distribusi foram


plankton dan benton

Membuat biozonasi berdasarkan


umur serta kelimpahan setiap spesies

Menyusun laporan

Selesai

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada saat melakukan praktikum MS, dilakukan pengambilan sample pada


setiap interval 5 meter dari panjang lintasan. Pengambilan sample dilakukan pada
batuan yang memiliki ukuran yang halus (batupasir dan lanau). Karena
diperkirakan pada batuan jenis tersebut mengandung fosil. Setelah dilakukan
preparasi sampel dan pengamatan secara mikroskop, didapatkan 25 macam
spesies yang terdiri dari 9 buah foraminifera planktonik dan 16 buah foraminifera
bentonik. Setelah menganalisis fosil-fosil yang didapat, maka didapatkan hasil
sebagai berikut:
4.1 Karakteristik Litologi
Litologi yang terdapat pada lokasi pengamatan secara umum terdapat
batupasir karbonatan, batulanau karbonatan, dan batulempung karbonatan.
Batupasir
Batuan ini memiliki warna kuning kecoklatan, tekstur ukuran butir pasir
halus (1/8 - 1/4 mm), bentuk butir rounded, kemas tertutup, sortasi well
sorted, semen berupa karbonatan. Batu peraga ini memiliki struktur massif,
dan struktur yang terbentuk saat pembentukan batuan sedimen berupa
laminasi, parallel laminasi, convolute .
Batu ini memiliki tekstur klastik karena terdiri dari debris atau material-
material lepasan hasil rombakan batuan yang lain. Tekstur klastik pada batu
ini terdiri dari ukuran butir berupa pasir halus (1/8 - 1/4 mm) menurut skala
Wentworth, 1922. Bentuk butir dari material pada batuan ini relatif termasuk
well-rounded (membundar baik). Batuan ini memiliki sortasi yang baik
karena pada batuan ini ukuran materialnya relatif sama ukurannya. Kemas
pada batuan ini tertutup karena hubungan antarbutirnya rapat.
Batuan bertekstur klastik seperti batuan ini dapat dibedakan komposisinya
menjadi fragmen, matriks, dan semen. Fargmen pada batuan ini adalah
material dengan ukuran pasir halus itu sendiri. Sedangkan matriks pada
batuan ini tidak dapat ditentukan dengan pengamatan secara megaskopis

15
karena ukuran material penyusunnya yang sangat kecil (invisible).
Sedangkan semen pada batuan ini dapat dideteksi jenisnya dengan
melakukan pengujian menggunakan larutan HCl. Pada batuan ini semennya
merupakan karbonatan karena terjadi reaksi saat dilakukan pengujian
dengan HCl.

Gambar 4.1 Diagram Hjulstrom untuk Material Berukuran Pasir Halus

Berdasarkan diagram Hjulstrom, material berukuran pasir sangat halus


(very fine sand) hingga pasir kasar (coarse sand) akan tererosi oleh arus
dengan kecepatan mulai dari sekitar 23 cm/s sampai sekitar 40 cm/s.
Material ini akan mudah tererosi karena berukuran kecil dan jika telah
terkonsolidasi masih akan menimbulkan adanya rongga sehingga
mempermudah air melakukan erosi. Material ukuran ini akan tertransport
pada kecepatan mulai dari 0,5 cm/s sampai 15 cm/s . Mekanisme
transportasinya adalah secara suspensi hingga bedload, yaitu material
melayang di dalam pengangkutnya hingga menggelinding. Material ini
kemudian akan terendapkan pada kecepatan arus sekitar 0,4 cm/s sampai 5
cm/s.

16
Petrogenesa batuan ini dimulai dari proses pelapukan dan erosi pada
batuan asal (provenan). Berdasarkan Goldich Weathering Series, batuan
jenis ini berasal dari proses pelapukan fisik yang hanya sedikit dipengaruhi
pelapukan secara kimiawi. Pelapukan fisik akan menghasilkan pecahan-
pecahan (fragmen) batuan. Hasil proses pelapukan dan erosi tersebutlah
yang dinamakan dengan debris atau klastika. Klastika pembentuk batuan ini
bisa ada dua kemungkinan, yaitu berukuran kecil seperti material penyusun
batuan ini atau berukuran besar namun kemudian akibat transportasi yang
jauh batuan ini telah mengalami erosi terus menerus sehingga ukurannya
menjadi kecil.
Klastika atau material tersebut kemudian mengalami transportasi oleh
media air. Mekanisme transportasi untuk material berukuran pasir halus
adalah secara suspensi. Mekanisme suspensi adalah mekanisme yang
membawa material melayang-layang terbawa oleh arus. Energi pengangkut
material ini termasuk kecil sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya
pada bagian Diagram Hjulstrom yaitu dengan kecepatan arus dibawah 19
cm/s. Akibatnya sortasi atau pemilahan pada batuan ini menjadi baik.
Pada saat energi pengangkutnya turun hingga 1,8 cm/s material berukuran
ini akan mulai terendapkan. Material berukuran ini juga akan terendapkan
pada arus yang lebih kecil dari itu. Akibat dari energi pengangkut yang kecil
saat terjadinya pengendapan adalah terjadinya pemilahan atau sortasi yang
baik pada material yang diendapkan. Lingkungan yang memungkinkan
terjadinya pengendapan dengan arus yang kecil seperti itu adalah danau,
yaitu lingkungan pengendapan yang memiliki arus yang kecil. Endapan
beruapa material ini akan membentuk kemas yang tertutup karena hubungan
antarbutirnya rapat.
Apabila terjadi pengendapan terus-menerus tanpa adanya gangguan dari
arus yang memiliki kecepatan tinggi, akan memungkinkan dimulainya
proses kompaksi. Endapan material ini akan mengalami kompaksi karena
beban dari endapan itu sendiri. Setelah itu terjadi proses pemampatan
(desication) dimana air yang ada pada endapan tersebut ditekan keluar. Air

17
atau fluida yang keluar tersebut meninggalkan unsur-unsur silika yang
kemudian bereaksi dengan material-material endapan menyebabkan
terjadinya sementasi dengan sifat silikaan (non karbonatan). Setelah itu
endapan ini mengalami diagenesis, yaitu proses yang dipengaruhi tekanan
dan suhu < 200C akibat burial atau penimbunan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan secara fisik, kimiawi, dan mungkin juga biologi pada
endapan ini hingga akhirnya terbentuk batuan ini.
Akibat proses petrogenesa yang demikian, maka batuan ini termasuk
batuan sedimen klastik. Berdasarkan ukuran materialnya, batuan ini disebut
Batupasir (Wentworth, 1922).
Batulanau
Batuan ini memiliki warna abu-abu cerah, strukturnya masif, tekstur
ukuran butir lanau (1/256 - 1/16 mm), bentuk butir rounded, kemas tertutup,
sortasi well sorted, dan semen berupa karbonatan. Batu peraga ini memiliki
struktur masif karena pada batuan ini tidak terdapat struktur sedimen, yaitu
struktur yang terbentuk saat pembentukan batuan sedimen berupa laminasi,
perlapisan, gradded bedding, cross bedding, cross lamination, load cast, flute
cast, atau pun struktur sedimen yang lain.
Batuan ini memiliki tekstur klastik karena terdiri dari debris atau material-
material lepasan hasil rombakan batuan yang lain. Tekstur klastik pada batu
ini terdiri dari ukuran butir berupa lanau (1/256 - 1/16 mm) menurut skala
Wentworth, 1922. Material berukuran kecil seperti ini dihasilkan oleh
pelapukan kimiawi (chemical weathering) pada batuan asalnya (provenan).
Batuan ini memiliki sortasi yang baik karena pada batuan ini ukuran
materialnya relatif sama atau seragam ukurannya. Kemas pada batuan ini
tertutup karena hubungan antarbutirnya rapat. Hal ini dapat terjadi karena
ukuran butirannya yang seragam dan kecil sehingga saat terkompaksi
butirannya bisa saling mengunci.
Batuan bertekstur klastik seperti batuan ini dapat dibedakan komposisinya
menjadi fragmen, matriks, dan semen. Fragmen dari batuan ini adalah
material berukuran lanau itu sendiri. Sedangkan matriks pada batuan ini

18
tidak dapat ditentukan dengan pengamatan secara megaskopis karena ukuran
material penyusunnya yang sangat kecil. Semen pada batuan ini dapat
dideteksi jenisnya dengan melakukan pengujian menggunakan larutan HCl.
Pada batuan ini semennya merupakan non karbonatan karena tidak terjadi
reaksi saat dilakukan pengujian dengan HCl.

Gambar 4.2 Diagram Hjulstrom untuk Material Berukuran Lanau

Berdasarkan diagram Hjulstrom, material berukuran lanau (silt) yang telah


mengalami konsolidasi akan tererosi oleh arus dengan kecepatan mulai dari
sekitar 20 cm/s sampai sekitar 110 cm/s. Material lanau yang telah
terkonsolidasi akan membutuhkan energi erosi yang besar karena material
berukuran ini akan memiliki kemas yang tertutup sehingga membuat air sulit
untuk mengerosi. Sedangkan untuk lanau yang belum terkonsolidasi akan
tererosi pada kecepatan arus di bawah 20 cm/s. Material ukuran ini juga
akan tertransport pada kecepatan di bawah itu. Mekanisme transportasinya
adalah secara suspensi, yaitu material melayang di dalam pengangkutnya.
Matreial ini kemudian akan terendapkan pada kecepatan arus sekitar 0,5
cm/s sampai 0 cm/s.
Petrogenesa batuan ini dimulai dari proses pelapukan dan erosi pada
batuan asal (provenan). Berdasarkan Goldich Weathering Series, batuan

19
jenis ini berasal dari proses pelapukan secara kimiawi (chemical
weathering). Pelapukan tersebut terjadi pada mineral-mineral feldspar dan
mineral yang mengandung Fe. Feldspar yang mengalami pelapukan kimia
akan membentuk mineral lempung seperti kaolinite dan smectite, sedangkan
mineral yang mengandung Fe akan membentuk mineral-mineral oksida besi.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan provenan dari batuan ini adalah
batuaun beku yang mengandung mineral feldspar dan mineral yang
mengandung Fe seperti olivine, piroksen, hornblend, dan biotit.
Mineral-mineral hasil pelapukan kimia tersebut kemudian akan
tertransport oleh air. Mekanisme transportasi untuk material berukuran lanau
adalah secara suspensi. Mekanisme suspensi adalah mekanisme yang
membawa material melayang-layang terbawa oleh arus. Energi transportasi
yang dibutuhkan untuk mentrasport material berukuran ini termasuk kecil,
sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian Diagram
Hjulstrom yaitu dengan kecepatan arus dibawah 20 cm/s.
Pada saat energi pengangkutnya turun hingga 0,5 cm/s material berukuran
ini akan mulai terendapkan. Material berukuran ini juga akan terendapkan
pada arus yang lebih kecil dari itu. Akibat dari energi pengangkut yang kecil
saat terjadinya pengendapan adalah terjadinya pemilahan atau sortasi yang
baik pada material yang diendapkan. Lingkungan yang memungkinkan
terjadinya pengendapan dengan arus yang kecil seperti itu adalah pada
danau, laguna, atau pada dataran banjir.
Apabila terjadi pengendapan terus-menerus tanpa adanya gangguan dari
arus yang memiliki kecepatan tinggi, akan memungkinkan dimulainya
proses kompaksi. Endapan material ini akan mengalami kompaksi karena
beban dari endapan itu sendiri. Setelah itu terjadi proses pemampatan
(desication) dimana air yang ada pada endapan tersebut ditekan keluar. Pada
lingkungan pengendapan laut baik berupa laguna ataupun laut dangkal air
atau fluida yang keluar tersebut meninggalkan unsur-unsur karbonat yang
kemudian bereaksi dengan material-material endapan menyebabkan
terjadinya sementasi dengan sifat karbonatan. Setelah itu endapan ini

20
mengalami diagenesis, yaitu proses yang dipengaruhi tekanan dan suhu <
200C akibat burial atau penimbunan yang mengakibatkan terjadinya
perubahan secara fisik, kimiawi, dan mungkin juga biologi pada endapan ini
hingga akhirnya terbentuk batuan ini.
Akibat proses petrogenesa yang demikian, maka batuan ini termasuk
batuan sedimen klastik. Berdasarkan ukuran materialnya, batuan ini disebut
Batulanau (Wentworth, 1922).
Batulempung
Batuan ini memiliki warna abu abu cerah, strukturnya masif, tekstur
ukuran butir lempung (< 1/256 mm), bentuk butir rounded kemas tertutup,
sortasi well sorted, semen berupa karbonatan. Batu peraga ini memiliki
struktur masif karena pada batuan ini tidak terdapat struktur sedimen, yaitu
struktur yang terbentuk saat pembentukan batuan sedimen berupa laminasi,
perlapisan, gradded bedding, cross bedding, cross lamination, load cast, flute
cast, atau pun struktur sedimen yang lain.
Batu ini memiliki tekstur klastik karena terdiri dari debris atau material-
material lepasan hasil rombakan batuan yang lain. Tekstur klastik pada batu
ini terdiri dari ukuran butir berupa lempung ( < 1/256 mm) menurut skala
Wentworth, 1922. Material berukuran kecil seperti ini dihasilkan oleh
pelapukan kimiawi (chemical weathering) pada batuan asalnya (provenan).
Batuan ini memiliki sortasi yang baik karena pada batuan ini ukuran
materialnya relatif sama atau seragam ukurannya. Kemas pada batuan ini
tertutup karena hubungan antarbutirnya rapat. Hal ini dapat terjadi karena
ukuran butirannya yang seragam dan kecil sehingga saat terkompaksi
butirannya bisa saling mengunci.
Batuan bertekstur klastik seperti batuan ini dapat dibedakan komposisinya
menjadi fragmen, matriks, dan semen. Fargmen pada batuan ini adalah
material dengan ukuran lempung itu sendiri. Sedangkan matriks pada batuan
ini tidak dapat ditentukan dengan pengamatan secara megaskopis karena
ukuran material penyusunnya yang sangat kecil (invisible). Sedangkan
semen pada batuan ini dapat dideteksi jenisnya dengan melakukan pengujian

21
menggunakan larutan HCl. Pada batuan ini semennya merupakan
karbonatan karena terjadi reaksi saat dilakukan pengujian dengan HCl.

Gambar 4.3 Diagram Hjulstrom untuk Material Berukuran Lempung

Berdasarkan diagram Hjulstrom, material berukuran lempung (clay) yang


telah mengalami konsolidasi akan tererosi oleh arus dengan kecepatan mulai
dari sekitar 120 cm/s sampai sekitar 200 cm/s. Material lempung yang telah
terkonsolidasi akan membutuhkan energi erosi yang besar karena material
berukuran ini akan memiliki kemas yang tertutup sehingga membuat air sulit
untuk mengerosi. Sedangkan untuk lempung yang belum terkonsolidasi akan
tererosi pada kecepatan arus di bawah 120 cm/s. Material ukuran ini juga
akan tertransport pada kecepatan di bawah itu. Mekanisme transportasinya
adalah secara suspensi, yaitu material melayang di dalam pengangkutnya.
Matreial ini kemudian hanya akan terendapkan pada kecepatan arus sekitar
0cm/s atau aliran telah benar-benar berhenti.
Petrogenesa batuan ini dimulai dari proses pelapukan dan erosi pada
batuan asal (provenan). Berdasarkan Goldich Weathering Series, batuan
jenis ini berasal dari proses pelapukan secara kimiawi (chemical

22
weathering). Pelapukan tersebut terjadi pada mineral-mineral feldspar dan
mineral yang mengandung Fe. Feldspar yang mengalami pelapukan kimia
akan membentuk mineral lempung seperti kaolinite dan smectite, sedangkan
mineral yang mengandung Fe akan membentuk mineral-mineral oksida besi.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan provenan dari batuan ini adalah
batuaun beku yang mengandung mineral feldspar dan mineral yang
mengandung Fe seperti olivine, piroksen, hornblend, dan biotit.
Mineral-mineral hasil pelapukan kimia tersebut kemudian akan
tertransport oleh air. Mekanisme transportasi untuk material berukuran lanau
adalah secara suspensi. Mekanisme suspensi adalah mekanisme yang
membawa material melayang-layang terbawa oleh arus. Energi transportasi
yang dibutuhkan untuk mentrasport material berukuran ini termasuk kecil,
sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bagian Diagram
Hjulstrom yaitu dengan kecepatan arus dibawah 120 cm/s.
Pada saat energi pengangkutnya turun hingga 0 cm/s material berukuran
ini baru akan terendapkan. Akibat dari energi pengangkut yang sangat kecil
saat terjadinya pengendapan adalah terjadinya pemilahan atau sortasi yang
sangat baik pada material yang diendapkan. Lingkungan yang
memungkinkan terjadinya pengendapan dengan arus yang sangat kecil
seperti itu adalah pada laut dalam, yaitu lingkungan pengendapan yang
memiliki arus yang sangat kecil atau hampir 0. Endapan beruapa material ini
akan membentuk kemas yang tertutup karena hubungan antarbutirnya rapat.
Apabila terjadi pengendapan terus-menerus tanpa adanya gangguan dari
arus yang memiliki kecepatan tinggi, akan memungkinkan dimulainya
proses kompaksi. Endapan material ini akan mengalami kompaksi karena
beban dari endapan itu sendiri. Setelah itu terjadi proses pemampatan
(desication) dimana air yang ada pada endapan tersebut ditekan keluar. Pada
lingkungan pengendapan laut dalam air atau fluida yang keluar tersebut
tidak meninggalkan unsur-unsur karbonat karena telah melewati batas CCD,
sehingga menyebabkan terjadinya sementasi dengan sifat nonkarbonatan.
Setelah itu endapan ini mengalami diagenesis, yaitu proses yang dipengaruhi

23
tekanan dan suhu < 200C akibat burial atau penimbunan yang
mengakibatkan terjadinya perubahan secara fisik, kimiawi, dan mungkin
juga biologi pada endapan ini hingga akhirnya terbentuk batuan ini.
Akibat proses petrogenesa yang demikian, maka batuan ini termasuk
batuan sedimen klastik. Berdasarkan ukuran materialnya, batuan ini disebut
Batulempung (Wentworth, 1922).

4.2 Hidrodinamika dan Mekanisme Transportasi


Singakapan yang diamati dilakukan di Wonosegoro, Grobogan, Jawa
Tengah. Dimana dari pengamatan lapangan yang dilakukan didapatkan data
yang kemudian dianalisis sebagai berikut :
Analisa Hidrodinamika
Singkapan yang diamati berada di wilayah Wonosegoro, Grobogan, Jawa
Tengah, yang tergolong pada stadia muda hingga dewasa dan sungai ini
terletak di daerah dekat hilir dicirikan dari erosi sungai yang cenderung
lateral.
Berdasarkan interpretasi lingkungan pengendapan yang berada di lower
fan hingga middle fan, maka kemungkinan proses sedimentasi dan
pengendapan litologi ini berada di area kipas laut dalam dengan slope yang
cukup terjal karena ditemukannya struktur sedimen penciri lingkungan
continental slope berupa struktur convolute di bagian ujung lintasan MS.
Diinterpretasikan, pada mulanya terdapat suplai pasokan sedimen yang
berasal dari darat kemudian mengalami transportasi dan terbawa hingga ke
arah slope. Karena melalui area slope ini, material sedimen yang tertransport
dapat membentuk arus turbidit. Arus ini mampu membawa material sedimen
hingga ke arah lower fan atau bagian outer fan. Arus turbidit ini relative
tergolong cukup kuat, hal tersebut diindikasikan dari adanya dominasi
material material sedimen endapan turbidit yang berukuran kasar, sedang
hingga halus, seperti pada litologi batupasir. Hal ini terlihat dari tebalnya
kenampakan endapan batupasir seperti pada kedalaman 0 meter yang
memiliki struktur sedimen gradasi menghalus ke atas. Dilihat dari energi

24
transportasi atau energi pengangkutannya, berdasarkan pengamatan terhadap
kecepatan aliran sungainya tergolong cukup kuat hingga kemudian
melemah. Arus sangat kuat saat melewati slope dan kemudian mulai
melemah saat slope semakin rendah hingga dapat mengendapkan endapan
pertama yaitu perselingan batupasir dan batulempung seperti pada
kedalaman 0-10 meter di kolom MS.
Jika dilihat dari keterdapatan struktur sedimennya, dapat
diinterpretasikan bahwa rezim aliran yang mempengaruhi pembentukkan
struktur sedimen pada daerah ini pada awalnya didominasi oleh lower flow
regime, hal tersebut dapat terlihat dari keterdapatan struktur ripple dan
paralel lamination yang terbentuk pada rezim aliran yang rendah, lalu
ukuran butir yang terdapat pada struktur tersebut tergolong ukuran butir
halus hingga sedang, yaitu batupasir. Kemudian juga terdapat struktur
laminasi yang mendukung hal tersebut.

Gambar 4.4 Diagram Rezim Aliran

25
Namun pada suatu waktu, rezim aliran yang mengontrol kemudian naik
menjadi upper flow regime dikarenakan bertambahnya suplai material
sedimen yang berasal dari darat hingga mengakibatkan endapan sedimen
yang sebelumnya sudah terbentuk digerus oleh material sedimen baru.
Kondisi ini berada pada low density sehingga dapat membentuk pola
gradasi. Akibat tambahan pasokan sedimen ini, terjadi proses sedimentasi
kembali hingga dapat menggerus endapan sebelumnya dan mampu
membawa material sedimen hingga kearah middle fan. Diindikasikan area
middle fan ini merupakan area slope sehingga mampu membentuk struktur
sedimen convolute.
Analisa Mekanisme Transportasi
Transportasi material-material yang terjadi pada daerah MS dipengaruhi
oleh media air. Air sebagai aliran permukaan (overland flow). Aliran-aliran
ini mungkin cukup kuat untuk membawa material kasar di sepanjang
dasarnya dan material yang lebih halus dalam suspensi. Material dapat
terbawa di dalam air sejauh ratusan atau ribuan kilometer sebelum
terendapkan sebagai sedimen. Mekanisme air yang menggerakkan material
ini akan dibahas di bawah. Dalam aliran laminar, semua molekul-molekul di
dalam fluida bergerak saling sejajar terhadap yang lain dalam arah
transportasi. Dalam fluida yang heterogen hampir tidak ada terjadinya
pencampuran selama aliran laminar.
Partikel semua ukuran digerakkan di dalam fluida oleh salah satu dari tiga
mekanisme. Pertama, partikel dapat bergerak menggelinding (rolling) di
dasar aliran udara atau air tanpa kehilangan kontak dengan permukaan dasar.
Kedua, partikel dapat bergerak dalam serangkaian lompatan, secara periode
meninggalkan permukaan dasar dan terbawa dengan jarak yang pendek di
dalam tubuh fluida sebelum kembali ke dasar lagi; ini dikenal sebagai saltasi
(saltation). Terakhir, turbulensi di dalam aliran dapat menghasilkan gerakan
yang cukup untuk menjaga partikel bergerak terus di dalam fluida; dikenal
sebagai suspensi (suspension).

26
Gambar 4.5 Mekanisme Hidrodinamika dan Transportasi Sedimen

Pada terbentuknya struktur sedimen laminasi, ripple, dan cross lamination


yang ditemukan pada daerah sungai lokasi MS, diinterpretasikan merupakan
produk dari hasil mekanisme transportasi berupa suspense. Hal ini dapat
dilihat dari ukuran butir yang menjadi litologi pada struktur sedimen
ini.Ccross lamination merupakan akibat adanya arus yang ke segala arah
atau disebut arus riak ( Current Ripple ). Migrasi arus ke arah hilir selama
pasir ditambahkan ke puncak dan menjadi semakin besar di atas lee slope.
Hal ini menggerakkan puncak dan dari sini titik pemisahan (separation
point) ke arah hilir. Efek dari ini untuk menggerakkan attachement point dan
lembah ke arah hilir juga. Gerusan di dalam lembah dan di dasar stoss side
menyuplai pasir yang menggerakkan lereng landai stoss side selanjutnya dan
juga semua deretan lembah dan puncak dari ripples maju ke arah hilir. Pasir
yang longsor di atas lee slope selama migrasi ini membentuk rangkaian
lapisan-lapisan di sudut lereng. Lapisan ini tipis, lapisan berlereng (inclined
layers) dari pasir disebut cross laminae; lapisan ini membentuk struktur
sedimen yang disebut sebagai cross lamination. Ketika dilihat dari atas,
current ripples menunjukkan variasi bentuk. Memiliki bentuk puncak yang
lurus sampai sinus.
Current ripples bermigrasi oleh perpindahan pasir dari stoss side dan
pengendapan di atas lee slope. Jika ada sejumlah pasir yang tersedia, ripples

27
akan bermigrasi di atas permukaan sebagai bentuk ripples sederhana,
dengan erosi di dalam lembah menyeimbangi penambahan puncak. Bentuk
starved ripples ini terawetkan jika tertutupi oleh lumpur. Di dalam suatu
keadaan dimana ada penambahan pasir dan arus membawa dan
mengendapkan partikel pasir, jumlah pasir yang diendapkan di atas lee slope
akan lebih besar daripada yang dipindahkan dari stoss side. Akan ada
penambahan pasir ke ripples dan akan tumbuh tinggi selama ripples
bermigrasi. Hal terpenting, kedalaman gerusan di lembah tereduksi,
menyisakan cross laminae yang tercipta oleh migrasi ripples yang lebih
awal yang terawetkan.
Struktur sedimen berikutnya merupakan struktur convolute. Proses
pembentukannya bisa dikarenakan akibat kondisi regional yang tidak stabil,
dapat berupa subduksi sehingga terjadi pengangkatan. Karena saat subduksi
berlangsung dapat membentuk area slope dan endapan sedimen yang belum
konsolidasi ini mengalami deformasi hingga membentuk kenampakan
convolute. Kemungkinan lain adalah akibat adanya longsoran. Material
sedimen mengalami transportasi secara bedload akibat adanya arus turbidit.
Kemudian saat energi transportasinya sudah melemah, terjadi proses
deposisi di daerah middle fannya. Pada kondisi ini, material sedimennya
belum terkonsolidasi kuat lalu karena material turbidit sudah berubah
menjadi aliran debris pada area ini, dapat membentuk struktur convolute.

4.3 Batimetri
Batimetri dari lokasi tersebut dapat diketahui dari lingkungan hidup dari
Foraminifera Bentonik serta struktur sedimen yang terdapat pada litologi.
Karakteristik foraminifera bentonik yang dijumpai pada sampel terambil
sebagai berikut.
1. Amphycorina scalaris
Amphycorina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak

28
transparan. Terdapat ornamen berupa costae dimana terdapat golongan
vertical yang dihubungkan oleh garis suture yang lebih halus. Memiliki
jumlah kamar polytalamus, dengan susunan kamar uniserial dengan
bentuk flaring megalospere dan bentuk aperture bulat yang terletak
diujung kamar. Umurnya Miocene hingga Recent dengan lingkungan
hidup Neritic to Bathial.
2. Bullimina thanetensis
Bullimina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera. Merupakan
fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan komposisi
dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial dengan bentuk tabular dan bentuk aperture bulat
yang terletak diujung kamar. Umurnya Early Eocene Middle Eocene
dengan lingkungan hidup Bathial.
3. Cassidullinoides sp
Cassidullinoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial trochospiral dengan bentuk flaring (obor) dan
bentuk aperture bulat yang terletak diujung kamar. Umurnya Late Miocene
- Recent dengan lingkungan hidup Upper Bathial.
4. Cibicidoides sp
Cibicidoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial trochospiral dengan bentuk biconvex dan bentuk

29
aperture memanjang yang terletak diujung kamar. Umurnya Early
Oligosen - Recent dengan lingkungan hidup Lower Neritic - Bathial.
5. Cibicidoides refulgens
Cibicidoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial trochospiral dengan bentuk flaring (obor) dan
bentuk aperture bulat yang terletak diujung kamar. Umurnya Late Miocene
- Recent dengan lingkungan hidup Upper Bathial.
6. Cibicidoides incrassatus
Cibicidoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial trochospiral (evolute) dengan bentuk biconvex
dan bentuk aperture memanjang yang terletak diujung kamar. Umurnya
Early Oligosen - Recent dengan lingkungan hidup Lower Neritic - Bathial.
7. Cibicidoides lamontdohertyi
Cibicidoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial trochospiral (evolute) dengan bentuk biconvex
dan bentuk aperture memanjang yang terletak diujung kamar. Umurnya
Late Eocene Late Miocene dengan lingkungan hidup Abysal.
8. Cibicidoides alazanensis

30
Cibicidoides merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial compressed trochospiral (evolute) dengan bentuk
planocomplex dan bentuk aperture memanjang yang terletak diujung
kamar. Umurnya Oligocene - Middle Miocene dengan lingkungan hidup
Primarily upper to Middle Bathyal.
9. Pyrgo fornasinii
Pyrgo merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera. Merupakan
fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Milliolina dengan komposisi
dinding test tersusun atas porselen sehingga nampak halus, putih, opak,
dan mengkilat. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan
cangkang yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar monotalamus,
dengan susunan kamar uniserial dengan bentuk biconvex dan bentuk
aperture bulat yang terletak diujung kamar. Umurnya Early Miocene
dengan lingkungan hidup Primarily Bathyal.
10. Fissurina orbignyara
Fissurina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera. Merupakan
fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan komposisi
dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar monotalamus, dengan
susunan kamar uniserial dengan bentuk kombinasi botol dan tabung dan
bentuk aperture bulat yang terletak diujung kamar. Umurnya Miocene to
Recent dengan lingkungan hidup Primarily Neritic.
11. Stilostomella lepidula
Stilostomella merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak

31
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial dengan bentuk globular dan bentuk aperture bulat
yang terletak diujung kamar. Umurnya Eocene to Recent dengan
lingkungan hidup Primarily Bathyal.
12. Stilostomella consobrina
Stilostomella merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan
komposisi dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang
yang halus tanpa hiasan. Memiliki jumlah kamar polytalamus, dengan
susunan kamar uniserial dengan bentuk tabular dan bentuk aperture bulat
yang terletak diujung kamar. Umurnya Late Eocene to Recent dengan
lingkungan hidup Primarily Bathyal.
13. Uvigerina mexicana
Uvigerina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera. Merupakan
fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Rotaliina dengan komposisi
dinding test tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak
transparan. Terdapat ornamen berupa costae dimana terdapat golongan
vertical yang dihubungkan oleh garis suture yang lebih halus. Memiliki
jumlah kamar monotalamus, dengan susunan kamar uniserial dengan
bentuk flaring, dan bentuk aperture bulat yang terletak diujung kamar.
Umurnya Late Eocene Early Miocene dengan lingkungan hidup Lower
Neritic - Bathyal.
14. Amphistegina dOrbigny
Amphistegina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Miliolina dengan
komposisi dinding test tersusun atas porselen calk imperforate. Terdapat
ornamen berupa bridge sutures dimana terdapat garis-garis suture yang
terbentuk dari septa yang putus-putus. Memiliki jumlah kamar
polytalamus, dengan susunan kamar uniserial trochospiral dengan bentuk

32
sperical, dan bentuk aperture bulat sederhana yang terletak diujung kamar.
Umurnya Early Miocene - recent dengan lingkungan hidup Outer Neritic.
15. Bathysipon sars
Bathysipon merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera.
Merupakan fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Fusulinina dengan
komposisi dinding test tersusun atas calc mikrogranular. Terdapat
ornamen berupa smooth dengan permukaan cangkang yang halus tanpa
hiasan. Memiliki jumlah kamar monotalamus, dengan susunan kamar
uniserial trochospiral dengan bentuk tabular, dan bentuk aperture bulat
sederhana yang terletak diujung kamar. Umurnya Early Miocene - recent
dengan lingkungan hidup Bathyal.
16. Siphonina reuss
Siphonina merupakan salah satu genus dari ordo foraminifera. Merupakan
fosil yang termasuk ke dalam sub ordo Miliolina dengan komposisi
dinding test tersusun atas porselen calk imperforate. Terdapat ornamen
berupa smooth dengan permukaan cangkang yang halus tanpa hiasan.
Memiliki jumlah kamar monotalamus, dengan susunan kamar uniserial
trochospiral dengan bentuk globular, dan bentuk aperture bulat sederhana
yang terletak diujung kamar. Umurnya Early Miocene - recent dengan
lingkungan hidup Upper bathyal.

Tabel 4.1 Distribusi Foraminifera Bentonik

33
Berdasarkan table batimetri diatas maka dapat disimpulkan lingkungan
pengendapannya adalah Outer Neritik hingga Upper Bathyal.

4.4 Fasies dan Lingkungan Pengendapan


Lingkungan pengendapan adalah tempat mengendapnya material sedimen
beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan terjadinya
mekanisme pengendapan tertentu (Gould, 1972). Interpretasi lingkungan
pengendapan dapat ditentukan dari struktur sedimen yang terbentuk. Struktur
sedimen tersebut digunakan secara meluas dalam memecahkan beberapa
macam masalah geologi, karena struktur ini terbentuk pada tempat dan waktu
pengendapan, sehingga struktur ini merupakan kriteria yang sangat berguna
untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Terjadinya struktur-struktur
sedimen tersebut disebabkan oleh mekanisme pengendapan dan kondisi serta
lingkungan pengendapan tertentu.
Selain itu, keterdapatan fosil pada lapisan batuan yang ada juga dapat
digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dan dapat mendukung
atau memperkuat data struktur sedimen. Dalam pendeskripsian lingkungan
pengendapan foraminifera bentonik digunakan pengamatan pada tabel chart
biozonasi kedalaman fosil benthonic. Pengklasifikasian ini ditentukan
berpengaruh pada kehidupan foraminifera tersebut, dimana sangat berkaitan
dengan korelasi dari tingkat kedalamannya yang akan mempengaruhi dari
bentuk cangkang dan komponen lainnya karena tergantung dari daya tahan
dari cangkang foraminifera tersebut terhadap tekanan air dari tiap
kedalamannya.
Pada lokasi pengamatan yaitu pada Sungai Bantar, Salatiga tersebut
didapatkan foraminifera bentonik yang telah menjadi fosil terdiri dari
Operculina complanata Nummulitidae dengan komposisi dinding test
tersusun atas hyalin sehingga nampak bening, agak transparan. Terdapat
ornamen berupa limbat suture dimana bentuk seperti garis radial yang
memanjang dari pusat kamar ke ujung. Pada bagian luar suture agak menebal
disebut dengan keel dan ke ujung suture mengalami liukan ke kanan dengan

34
lingkungan pengendapannya berada pada upper sampai middle bathyal dan
Elphidium adunus dengan susunan kamar planispiral, yaitu sifatnya berputar
pada satu bidang, semua kamar terlihat, dan pandangan serta jumlah kamar
ventral dan dorsal sama. Fosil ini memiliki bentuk test lentikuler, yaitu bentuk
lensa. Komposisi testnya yaitu hyalin yang terdiri dari zat-zat gampingan yang
transparan, jernih, agak melalukan cahaya, dan berpori. Selain itu, fosil ini
juga memiliki aperture yang terletak pada tepi pinggir daerah peripheral, di
mana bentuk aperturenya melengkung. Fosil ini memiliki lingkungan
pengendapan yang berada pada zona upper sampai lower bathyal.
Berdasarkan keterdapatan fosil foraminifera bentonik maka dapat diambil
kesimpulan jika pada section ini ada pada lingkungan Upper hingga Middle
Bathyal Zone.

4.5 Umur Batuan


Umur dari tiap batuan dari lokasi pengambilan sampel dapat diketahui dari
lingkungan hidup dari Foraminifera Plangtonik serta struktur sedimen yang
terdapat pada litologi. Karakteristik foraminifera plangtonik yang dijumpai
pada sampel terambil sebagai berikut.
1. Globigerina venezuelana
Globigerina venezuelana memiliki beberapa kamar (polythalamus)
yang terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral), kenampakan
kamar pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang (test) fosil
ini berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa calcareous
perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada ditengah kamar
atau sutural aperture dengan bentuk memanjang. Ornamen cangkang
smooth. Nampak ada material sedimen yang melingkupi. Dari komposisi
testnya yang berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka dapat
diinterpretasikan lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic
zone dengan kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan
tersebut kaya akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar
matahari yang cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini

35
diperkirakan hidup dengan floating memiliki umur Lower Miocene hingga
Pliocene (N2 N 19).
2. Globigerina praebulloides
Globigerina praebulloides memiliki beberapa kamar
(polythalamus) yang terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral),
kenampakan kamar pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang
(test) fosil ini berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada
ditengah kamar atau sutural aperture dengan bentuk memanjang.
Ornamen cangkang smooth. Dari komposisi testnya yang berupa hyaline
dan keterdapatan ornamen, maka dapat diinterpretasikan lingkungan hidup
foraminifera ini berada pada neritic zone dengan kedalaman 200 hingga
600 meter dimana pada lingkungan tersebut kaya akan unsur karbonatan,
suhu air hangat, intensitas sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan
cangkangnya. Organisme ini diperkirakan hidup dengan floating memiliki
umur Oligocene hingga Upper Miocene (N1 N 17).
3. Globigerina rubber
Globigerina rubber memiliki beberapa kamar (polythalamus) yang
terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral), kenampakan kamar
pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang (test) fosil ini
berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa calcareous
perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada ditengah kamar
atau sutural aperture dengan bentuk bulat memanjang. Dari komposisi
testnya yang berupa hyaline dan tidak adanya ornamen, maka dapat
diinterpretasikan lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic
zone dengan kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan
tersebut kaya akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar
matahari yang cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini
diperkirakan hidup dengan floating memiliki umur N18-N23 (Upper
Miocene-Quarternary).
4. Globorotalia tumida

36
Globorotalia tumida memiliki beberapa kamar (polythalamus)
yang terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral), kenampakan
kamar pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang (test) fosil
ini berbentuk angular conical, tembus cahaya, komposisi berupa
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada
pada kamar akhir dengan bentuk memanjang. Dari komposisi testnya yang
berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka dapat diinterpretasikan
lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic zone dengan
kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan tersebut kaya
akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar matahari yang
cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini diperkirakan hidup
dengan floating memiliki umur N18-N23 (Upper Miocene-Quarternary).
5. Orbulina bilobata
Orbulina bilobata memiliki beberapa kamar (polythalamus) yang
terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral), kenampakan kamar
pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang (test) fosil ini
berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa calcareous
perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada ditengah kamar
atau sutural aperture dengan bentuk memanjang, hingga menembus ke
bagian dorsal. Ornamen cangkang smooth. Dari komposisi testnya yang
berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka dapat diinterpretasikan
lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic zone dengan
kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan tersebut kaya
akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar matahari yang
cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini diperkirakan hidup
dengan floating memiliki umur Middle Miocene hingga Quarternary (N9
N 23).
6. Orbulina universa
Orbulina universa hanya memiliki satu kamar (monothalamus).
Kenampakan kamar pada dorsal maupun ventral hampir sama. Cangkang
(test) fosil ini berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa

37
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada
diujung kamar dengan bentuk bulat. Ornamen cangkang smooth. Dari
komposisi testnya yang berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka
dapat diinterpretasikan lingkungan hidup foraminifera ini berada pada
neritic zone dengan kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada
lingkungan tersebut kaya akan unsur karbonatan, suhu air hangat,
intensitas sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan cangkangnya.
Organisme ini diperkirakan hidup dengan floating memiliki umur Middle
Miocene hingga Quarternary (N9 N 23).
7. Orbulina sutur
Orbulina suture memiliki satu kamar (monothalamus),
kenampakan kamar pada dorsal maupun ventral hampir sama. Cangkang
(test) fosil ini berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada
diujung kamar dengan bentuk bulat. Ornamen cangkang smooth. Dari
komposisi testnya yang berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka
dapat diinterpretasikan lingkungan hidup foraminifera ini berada pada
neritic zone dengan kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada
lingkungan tersebut kaya akan unsur karbonatan, suhu air hangat,
intensitas sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan cangkangnya.
Organisme ini diperkirakan hidup dengan floating memiliki umur Middle
Miocene - Quarternary
8. Hastigerina aequilateralia
Hastigerina aequilateralia memiliki beberapa kamar
(polythalamus) yang terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral),
kenampakan kamar pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang
(test) fosil ini berbentuk biumbiliccle, tembus cahaya, komposisi berupa
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada
pada kamar akhir dengan bentuk bulat. Dari komposisi testnya yang
berupa hyaline dan keterdapatan ornamen, maka dapat diinterpretasikan
lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic zone dengan

38
kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan tersebut kaya
akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar matahari yang
cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini diperkirakan hidup
dengan floating memiliki umur N13-N23 (Middle Miocene-Quarternary).
9. Hantkenina alabamentis
Hantkenina alabamentis memiliki beberapa kamar (polythalamus),
kenampakan kamar pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang
(test) fosil ini berbentuk tak beraturan, tembus cahaya, komposisi berupa
calcareous perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada di
tengah kamar dengan bentuk bulat. Dari komposisi testnya yang berupa
hyaline dan keterdapatan ornamen, maka dapat diinterpretasikan
lingkungan hidup foraminifera ini berada pada neritic zone dengan
kedalaman 200 hingga 600 meter dimana pada lingkungan tersebut kaya
akan unsur karbonatan, suhu air hangat, intensitas sinar matahari yang
cukup untuk pertumbuhan cangkangnya. Organisme ini diperkirakan hidup
dengan floating memiliki umur P14-P16 (Upper Eocene).
10. Sphaeroidinella dehiscens
Sphaeroidinella memiliki beberapa kamar (polythalamus) yang
terputar lebih dari satu bidang putar (trochospiral), kenampakan kamar
pada dorsal maupun ventral sedikit berbeda. Cangkang (test) fosil ini
berbentuk globular, tembus cahaya, komposisi berupa calcareous
perforate atau hyalin. Letak aperture mikrofosil ini berada ditengah kamar
atau sutural aperture dengan bentuk membulat. Ornamen cangkang
smooth. Dari komposisi testnya yang berupa hyaline dan keterdapatan
ornamen, maka dapat diinterpretasikan lingkungan hidup foraminifera ini
berada pada neritic zone dengan kedalaman 200 hingga 600 meter dimana
pada lingkungan tersebut kaya akan unsur karbonatan, suhu air hangat,
intensitas sinar matahari yang cukup untuk pertumbuhan cangkangnya.
Organisme ini diperkirakan hidup dengan floating memiliki umur Middle
Miocene hingga Pliocene.
Tabel 4.2 Distribusi Foraminifera Planktonik

39
Berdasarkan table diatas maka dapat disimpulkan bahwa umur geologinya
adalah N18 hingga N23 (Upper Miocene hingga Quaternary)

4.6 Hasil Korelasi

40
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Daerah praktikum merupakan bagian dari Zona Pegunungan Kendeng
yang merupakan daerah hasil pengangkatan dari sedimen halus (lanau-
batupasir) karbonatan yang telah banyak mengalami deformasi secara
structural.
Berdasarkan biozonasi species Foraminifera planktonik, maka dapat
diperkirakan lokasi pengamatan tersebut berumur Upper Miocene-
Quarternary (N18-N23).
Dari hasil analisi chart biofacies kedalaman dasar laut dari Foraminifera
benthonik, maka dapat diperkirakan lingkungan pengendapan daerah
Outer Neritic hingga Upper Bathyal Zone.

5.2 Saran
Singkapan yang berada di Kali Bancak, Tegalrejo, Grobogan memiliki
potensi menjadi bahan galian C.
Sebagai objek kajian studi geologi

41
DAFTAR PUSTAKA

Kapid R., Harsono P. 2000. Foraminfera: Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi


Biosrtatigrafi. Geologi ITB: Bandung.
Koordinator Praktikum. 2014. Diktat Praktikum Mikropaleontologi. Teknik
Geologi UNDIP: Semarang.
Postuma, J.A. 1971. Manual of Planktonic Foraminifera. University of
California: Bataafse Internationale Petroleum Maatschappij
Syavitri D. 2011. Diktat Penuntun Praktikum Mikropaleontologi Dasar. Teknik
Geologi Trisakti: Jakarta

42

Anda mungkin juga menyukai