AB STR AK
Perairan Sumur hingga Teluk Lada merupakan bagian dari Selat Sunda, yang secara fisiografi merupakan ujung
barat dari Lajur Bogor, Lajur Depresi Tengah dan Lajur Bandung. Untuk menganalisis kondisi geologi bawah laut, dapat
dirunut dari geologi darat, yang mengacu pada Geologi Lembar Cikarang 1109-2 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi. Batimetri daerah penelitian memperlihatkan kecenderungan adanya pengaruh struktur
geologi terhadap perubahan kedalaman laut, dimana struktur geologi berupa sesar normal dan perlipatan banyak
dijumpai di daerah penelitian. Hasil penetrasi seismik dangkal yang dipergunakan secara umum terbatas hingga
kedalaman 350 milidetik, atau + 250 m. Terdapat 2 satuan batuan Pliosen (awal dan akhir) dan 4 satuan batuan
Pleistosen/Kuarter dari tua ke muda: Q0, Q1, Q2, dan Q3, yang dapat dikenali dari seluruh penampang seismik dangkal
di Selat Sunda.
Kata kunci: Selat Sunda, batimetri, struktur geologi, seismik stratigrafi.
AB STRA CT
Sumur waters until Teluk Lada is part of the Sunda Strait, which is physiographically is the westernmost end of the
Bogor Belt, Central Depression Belt, and Bandung Belt. To analyze the geological condition of the study area, it is
referred to the Geological Map of Cikarang Quadrangle1109-02 published by the Geological Research and
Development Center. The bathymetry of the study area tends to show the presence of geological structures that
influenced the change of water depths, where the normal faults and folds are widespread in this area. The maximum
penetration our system can reach of 350 msecond or 250 meters. There are two rock units of early and late Pliocene and
four rock units of Pleistocene/Quaternary, namely from the oldest to the youngest are Q0, Q1, Q2, and Q3; those can be
recognized in the entire shallow seismic profiles in Sunda Strait.
Keyword: Sunda Strait, bathymetry, geological structure, seismic stratigraphy.
Kontribusi:
Joni Widodo, Dida Kusnida dan Lukman Arifin adalah kontributor utama dalam makalah ini.
Gambar 1. Peta lokasi, peta geologi, dan lintasan seismik pantul dangkal diplot di atas peta batimetri. C-1-SX adalah sumur
eksplorasi migas Aminoil 1973. Notasi batuan dapat dilihat pada bab pendahuluan.
Gambar 2. Peta struktur geologi daerah Sumur, diplot di atas peta geologi Lembar Cikarang. Struktur geologi darat berasal dari
Peta Geologi Lembar Cikarang (Sudana & Santosa, 1992). Struktur geologi laut berasal dari hasil interpretasi data
seismik dangkal P3GL. Keterangan simbol satuan batuan dapat dilihat pada teks.
Gambar 3. Interpretasi penampang seismik L-12, arah barat laut-tenggara dekat pantai Sumur. Satuan batuan Pliosen
memperlihatkan amplitudo yang lemah dengan pola refleksi sub-paralel. Di bagian atas, amplitudo menguat dan
berasosiasi dengan channel. Satuan batuan Pliosen tidak secara luas dijumpai di daerah Honje dan kemungkinan
sebagian besar telah tererosi, namun diperkirakan ekivalen dengan Formasi Cipacar yang lebih dipengaruhi oleh
kegiatan kegunungapian di timur Honje. Satuan batuan Pleistosen Awal memperlihatkan karakter yang serupa dan
kemungkinan juga diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Satuan batuan Pleistosen Akhir umumnya merupakan
selang-seling antara sedimen berlingkungan fluvial dan laut dangkal. Struktur lipatan yang berasosiasi dengan
persesaran aktif hingga akhir Pleistosen Awal.
Gambar 4. Kelanjutan ke arah barat laut dari penampang seismik Gambar 3 yang memperlihatkan penurunan cekungan yang
konsisten dan cepat ke arah barat. Sehingga terjadi penebalan sedimen Pliosen hingga Pleistosen Tengah. Satuan
batuan Pleistosen Akhir (Q3e - Q3g) relatif tipis yang kemungkinan menunjukkan berkurangnya aktifitas penurunan
cekungan.
Gambar 6. Kelanjutan penampang seismik Gambar 5 ke arah barat. Satuan batuan Pleistosen Akhir masih mengalami penebalan
ke arah barat sebagai akibat adanya pengurangan penurunan cekungan. Adanya sesar aktif kemudian mengontrol
penebalan sedimentasi secara lokal pada satuan-satuan Q3e - Q3g.
Gambar 7. Interpretasi penampang seismik lintasan CL, arah barat laut-tenggara dekat pantai Sumur. Serupa dengan penampang
sebelumnya, onlapping dan penebalan pada satuan Q3a menunjukkan masih adanya penurunan cekungan hingga
awal Pleistosen Akhir. Sesar normal aktif yang terbentuk kemudian mengakomodir penurunan lokal dan mengontrol
sedimentasi pada satuan batuan Pleistosen Akhir.
Gambar 8. Interpretasi penampang seismik lintasan L-5, arah barat laut-tenggara melintasi ujung utara Tanjung Lesung. Satuan
batuan Pliosen Awal dan Pliosen Akhir memperlihatkan karakter yang serupa dengan di perairan Sumur dan dapat
dibagi menjadi 2 satuan yang dipisahkan oleh ketidakselarasan. Pembentukan struktur lipatan yang kemudian
disertai persesaran terjadi pada akhir Pleistosen Tengah. Pengendapan satuan Pleistosen Akhir Q3g dan Q3h tidak
terganggu oleh pembentukan struktur geologi dan menghasilkan cut and fill deposits (Q3g) dan highstand deposit
(Q3h).
Gambar 9. Ekstensi penampang seismik Gambar 8 ke arah barat, memperlihatkan ekstensi satuan-satuan batuan Pleistosen ke
arah barat. Satuan-satuan Q0 hingga Q3f kemungkinan diendapkan pada posisi yang relatif datar, sehingga
menghasilkan selang-seling fasies marin-non marin yang luas dengan ketebalan yang konsisten. Penurunan
cekungan ke arah barat kemungkinan terjadi pada akhir Pleistosen Tengah namun kemudian berkurang sehingga
satuan Q3g dan Q3h telah diendapkan pada posisi yang relatif datar.
Banyaknya satuan stratigrafi di atas menunjukkan yang lemah. Terdapat kecenderungan penguatan
kuatnya pengaruh perubahan muka laut global Kuarter di amplitudo dan berasosiasi dengan kemungkinan fluvial
Selat Sunda bagian utara yang mempunyai kedalaman channel dibagian atas satuan. Satuan batuan Pliosen tidak
laut umumnya kurang dari 80 m. Sebagaimana diketahui secara luas dijumpai di daerah Honje dan kemungkinan
sejak akhir Pliosen muka laut global cenderung menurun sebagian besar telah tererosi, namun diperkirakan
dari +25 muka laut saat ini hingga -120 meter pada jaman ekivalen dengan Formasi Cipacar yang lebih dipengaruhi
glasial dengan frekuensi perubahan yang sangat tinggi oleh kegiatan kegunungapian di timur Honje, dan
(Raymo drr., 2011). Satuan-satuan stratigrafi tersebut