Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

INTERPRETASI GEOLOGI AWAL DAERAH PENELITIAN

Interpretasi awal geologi daerah penelitian merupakan tahap interpretasi

peneliti pada daerah penelitian yang dilakukan dari hasil analisis serta sintesa awal

pada daerah penelitian. Interpretasi awal tersebut didasarkan pada hasil data

penelitian awal (reconnaissance) dan data sekunder yang diperoleh sehingga

peneliti memiliki gambaran awal terhadap aspek – aspek geologi yang meliputi

atas geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan pendekatan sedimentasi dari

daerah penelitian.

4.1. Geomorfologi Daerah Penelitian

Aspek – aspek yang dikaji dalam bahasan geomorfologi daerah penelitian

terdiri atas pola pengaliran, satuan geomorfologi, proses geomorfologi

(morfogenesis), stadia sungai dan stadia daerah. Dalam geomorfologi, banyak

peneliti mengacu pada mahzab Amerika yang mengikuti prinsip – prinsip

Davisian tentang “siklus geomorfologi”. Prinsip ini kemudian dijabarkan oleh

Lobeck (1939) dengan suatu klasifikasi bentang alam dan bentuk muka bumi yang

dikontrol oleh tiga parameter utama, yaitu struktur (struktur geologi; proses

geologi endogen yang bersifat konstruksional / membangun), proses (proses –

proses eksogen yang bersifat destruksional / merusak atau denudasional), dan

tahapan (yang kadang kala ditafsirkan sebagai “umur” tetapi sebenarnya adalah

respon batuan terhadap proses eksogen; semakin tinggi responnya, semakin

dewasa tahapannya). Dilain pihak terdapat mahzab Eropa, di antaranya adalah

MUH SARIF (410015052) 54


yang dikembangkan oleh Penck (dalam Thornbury, 1989) yang lebih menekankan

pada proses pembentukan morfologi dan mengenyampingkan adanya tahapan.

4.1.1. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan melalui

analisis peta topografi dengan melihat pola kontur, analisis pola pengaliran,

analisis citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) maupun analisis dan

pengamatan langsung data di daerah penelitian. Dari beberapa analisis tersebut

selain menghasilkan satuan geomorfologi juga untuk mengetahui stadia sungai

dan stadia daerah penelitian. Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian

mengacu pada klasifikasi Bentuk Muka Bumi (van Zuidam dan Cancelado, 1979),

berdasarkan proses geologi baik endogen maupun eksogen. Interpretasi dan

penamaannya berdasarkan deskriptif eksplanatoris (genetis), bukan secara empiris

atau parametris, misalnya dari kriteria persen lereng saja.

Selain pembagian yang didasarkan pada analisis studio, peneliti juga

melakukan pengecekan dan pengukuran terhadap sudut kelerengan secara

langsung di lapangan. Hal itu perlu dilakukan karena peneliti merasa pengukuran

berdasarkan sayatan morfometri pada peta topografi kurang begitu mewakili

keadaan yang sebenarnya. Sebagai contoh, terdapat daerah yang mengalami

perubahan tata guna lahan, dahulu merupakan lahan kosong dibudidayakan

menjadi perkebunan ataupun dilakukan proses penambangan. Hal itu, tentunya

akan mengubah suatu topografi suatu daerah yang berdampak pada berubahnya

suatu kelerengan.

Berdasarkan hasil analisis parameter di atas dan pengamatan secara

langsung di lapangan, serta memperhatikan aspek morfogenesa yang mengontrol

MUH SARIF (410015052) 55


morfologi pada daerah penelitian, maka satuan geomorfologi pada daerah

penelitian dapat dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi yaitu : satuan

geomorfologi Perbukitan & Lereng (denudational slopes and hills, D2), satuan

geomorfologi Dataran (denudational peneplains, D5), dan satuan geomorfologi

Dataran yang terangkat (denudational raized paneplains/plateus, D6).

4.1.1.1. Satuan Geomorfologi Denudasional Perbukitan & Lereng (D2)


Satuan ini meliputi luas kurang lebih 5 % dari total luas daerah penelitian

dan meliputi desa Delagan, desa Campurejo, desa Ngembo, desa Cangaan, dan

desa Gosari. sebelah selatan dengan morfologi berupa perbukitan. Morfologi pada

satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses sedimentasi yang

berlangsung pada daerah penelitian.

Gambar 4.1. Satuan Geomorfologi Denudasional Perbukitan & Lereng Curam


Menengah – Curam (D2) dan Dataran (D5)

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

mempunyai kemiringan lereng rata – rata 17,847 % dan range beda tinggi 12,5 –

37,5 m, berdasarkan klasifikasi van Zuidam dan Cancelado (1979), masuk

kedalam relief topografi perbukitan – tersayat kuat dan satuan unit geomorfologi

termasuk dalam Denudational slopes and hills. Pola pengaliran yang berkembang

MUH SARIF (410015052) 56


yaitu pola pengaliran dendritik. Litologi tersusun atas batugamping terumbu. Tata

guna lahan sebagai pertanian dan perkebunan (Gambar 4.1).

4.1.1.2. Satuan Geomorfologi Denudasional Dataran (D5)


Satuan ini meliputi luas kurang lebih 60 % dari total luas daerah penelitian

dan meliputi dengan morfologi berupa perbukitan. Morfologi pada satuan ini

secara morfogenesa terbentuk akibat proses sedimentasi yang berlangsung pada

daerah penelitian.

Gambar 4.2. Satuan Geomorfologi Dataran (D5)

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 1 – 3 % dengan rata – rata 2,29 %

dan range beda tinggi 12,5 – 25 m dengan rata - rata , berdasarkan klasifikasi van

Zuidam dan Cancelado (1979), masuk kedalam relief topografi bergelombang

lemah dan satuan geomorfologi ini termasuk dalam satuan unit Peneplains. Pola

pengaliran yang berkembang yaitu pola pengaliran dendritic dan Sub-Paralel

dengan bentuk dataran. Tersusun oleh litologi batugamping terumbu. Adapun tata

guna lahan sebagai pertanian dan pemukiman (Gambar 4.2).

MUH SARIF (410015052) 57


4.1.1.3. Satuan Geomorfologi Denudasional Dataran Yang Terangkat (D6)
Satuan ini meliputi luas kurang lebih 35 % dari total luas daerah penelitian

dan meliputi desa Surowiti, desa Ketanen, desa Gosari, desa Cangaan, desa

Ngembo dan desa Siwalan dengan morfologi berupa dataran. Morfologi pada

satuan ini secara morfogenesa terbentuk akibat proses sedimentasi yang

berlangsung pada daerah penelitian.

D6

Gambar 4.3. Satuan Geomorfologi Denudasional Dataran Yang Terangkat (D6)

Berdasarkan kenampakan morfologi dan morfometrinya, satuan ini

mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 3 – 8 % dengan rata – rata 6,55 %

dan range beda tinggi 12,5 – 25 m, berdasarkan klasifikasi van Zuidam dan

Cancelado (1979), masuk kedalam relief topografi landai sampai bergelombang

dan satuan unit geomorfologi termasuk dalam Raized Peneplains / Plateaus. Pola

pengaliran yang berkembang yaitu pola pengaliran dendritik. Litologi tersusun

dari batugamping terumbu, Kalkarenit dan batulempung. Adapun tata guna lahan

sebagai pertanian dan perkebunan (Gambar 4.3).

MUH SARIF (410015052) 58


4.1.2. Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Pola pengaliran (drainage basin) merupakan suatu pola dalam kesatuan

ruang yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang

saling berhubungan dan membentuk suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury,

1969). Pola pengaliran merupakan bagian penting dari tahapan geomorfologi yang

berhubungan erat dengan topografi dan sistem hidrologi daerah penelitian yang

hubunganya dengan curah hujan dan merupakan sifat – sifat yang paling penting

untuk klasifikasi bentang alam.

Pembagian jenis pola pengaliran didasarkan data alur sungai dan lembah

peta topografi maupun citra DEM SRTM maupun pengamatan lapangan. Pola

pengaliran di daerah penelitian berdasarkan jenis pola aliran sungai menurut

(Howard,1967) dapat dibagi menjadi 2 jenis pola pengaliran (Gambar 4.4) yaitu

Pola Dendritik dan Pola pengaliran Sub-Paralel.

 Pola Pengaliran Dendritik

Pola pengaliran dendritik yaitu pola aliran menyerupai percabangan

pohon, percabangan tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam.

Berkembang di batuan yang homogen dan kontrol struktur tidak dominan, kontrol

pembentukannya adalah pada batuan dengan resistensi yang seragam. (Howard,

1967; dalam Thornbury, 1969). Luas pola pengaliran ini meliputi 75 % dari

daerah penelitian. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi tersayat

kuat – perbukitan dan satuan geomorfologi hampir datar (Gambar 4.4).

 Pola Pengaliran Sub-Paralel

Pola Pengaliran Sub-Paralel Pada umumnya menunjukkan daerah yang

berlereng sedang sampai agak curam dan dapat ditemukan pula pada daerah

MUH SARIF (410015052) 59


bentuklahan perbukitan yang memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola

dendritik dengan pola paralel atau tralis (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969) .

Luas pola pengaliran ini meliputi 25 % dari daerah penelitian. Pola pengaliran ini

berkembang di satuan geomorfologi dataran. Pola aliran ini tersusun oleh

batugamping terumbu. (Gambar 4.4).

Gambar 4.4. Pola Pengaliran Daerah Penelitian

MUH SARIF (410015052) 60


4.1.3. Proses Geomorfologi Daerah Penelitian

Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan

bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses – proses geologi (proses

endogenik dan eksogenik) yang mengontrolnya (Thornbury, 1969). Jika media

berasal dari luar bumi, tetapi masih dalam lingkungan atmosfir, disebut proses

eksogen. Jika media berasal dari dalam bumi, disebut proses endogen.

Gambar 4.5. Bukti proses eksogenik yaitu pelapukan yang kurang intensif pada
lokasi pengamatan 22

Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil

(yang bersifat) membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil

(yang bersifat) merusak (detructional landform). Daerah penelitian sendiri

termasuk dalam proses geomorfologi berupa bentukan lahan yang bersifat

merusak dimana proses eksogen pada daerah penelitian (Gambar 4.5).

Proses eksogen didaerah penelitian berupa pelapukan yang kurang intensif

sehingga menghasilakan banyaknya batuan yang masih fresh di daerah penelitian.

MUH SARIF (410015052) 61


4.1.4. Stadia Sungai Daerah Penelitian

Stadia sungai dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat erosi (baik

erosi vertikal maupun erosi horisontal), kemiringan lereng, batuan penyusunnya,

kedalaman, iklim, aktivitas organisme dan waktu. Pembagian stadia sungai pada

daerah penelitian dilakukan dengan berdasarkan klasifikasi stadia sungai oleh

(Thornbury, 1969).

Berdasarkan tingkat stadianya, pada daerah penelitian mempunyai stadia

sungai yaitu stadia dewasa. Dikatakan stadia dewasa dikarenakan pada peta pola

pengaliran hanya terdapat sungai – sungai kecil dan anak sungai kecil lainnya.

Kenampakkan didaerah penelitian juga sungai yang tercermin pada pola

pengaliran telah mengalami kekeringan (pendangkalan) (gambar 4.6). Kemudian

sungai yang dijumpai pada lokasi penelitian menunjukkan sungai kecil dengan ciri

aliran sungai berarus tenang pada musim kemarau (tidak terlalu deras), tidak

terdapat adanya dataran banjir, terdapat proses pendapan (sedimentasi) pada tubuh

sungai, dan dominan yang terlihat pengaruh erosi berarah vertical yang

menyebabkan sungai berbentuk huruf U (gambar 4.7). Adapun jenis stadia sungai

ini umumnya berkembang baik pada satuan bentang alam denudasional lereng

landau – menengah.

Maka dapat disimpulkan dengan hasil pengamatan di lapangan, keadaan

morfologi di daerah penelitian, proses endogen dan eksogen yang berkembang,

sungai dengan erosi kearah vertikal, dan membandingkan terhadap model tingkat

stadia menurut Lobeck (1939), maka dapat disimpulkan secara umum stadia

daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa. Dilihat (gambar 4.8).

MUH SARIF (410015052) 62


Gambar 4.6. Kenampakkan sungai mengalami pengeringan (pendangkalan) pada
Lokasi Pengamatan 24

Gambar 4.7. Kenampakkan sungai stadia dewasa yang membentuk huruf U pada

Lokasi Pengamatan 36

MUH SARIF (410015052) 63


Gambar 4.8. Stadia daerah menurut Lobeck (1939)

4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Daerah penelitian secara fisiografi regional terletak pada Zona Fisiografi

Zona Rembang, Jawa Timur Bagian Utara. Identifikasi stratigrafi pada daerah

penelitian mengacu pada stratigrafi regional daerah penelitian menurut Harsono

Pringoprawiro (1983), dimana pada daerah penelitian teridentifikasi tersusun oleh

tiga formasi dan empat satuan batuan dari tua ke muda yaitu Formasi Kujung,

Formasi Tuban dan Formasi Paciran.

MUH SARIF (410015052) 64


Tabel 4.1. Stratigrafi Daerah Penelitian.

Berdasarkan hasil recognaisance, stratigrafi daerah penelitian terdiri dari 3

satuan batuan tidak resmi yaitu satuan satuan kalkarenit Kujung, satuan

batulempung Tuban dan satuan batugamping terumbu Paciran (Tabel 4.1).

Pengelompokan satuan batuan tidak resmi didasarkan pada kesamaan ciri fisik

litologi yang meliputi jenis batuan, keseragaman gejala geologi, kombinasi jenis

batuan, dan gejala – gejala lain yang dapat diamati di lapangan dan mengacu

kepada geologi regional daerah penelitian. Proses penamaan satuan batuan

tersebut mengacu pada litostratigrafi tidak resmi (Martodjojo dan Djuhaeni,

MUH SARIF (410015052) 65


1996), penamaan satuan batuan berdasarkan pada litologi yang dominan pada

penyusun satuan tersebut dan diikuti nama formasinya.

4.2.1. Satuan kalkarenit Kujung

Satuan kalkarenit Kujung merupakan satuan tertua yang tersingkap di

daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh dua litologi yaitu batulempung dan

kalkarenit. Berdasarkan ciri fisik batuan yang ditemukan di lapangan dengan

memperhatikan tata cara penamaan satuan litostratigrafi tidak resmi yang

tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996)

dan mengacu pada stratigrafi regional (Harsono Pringgoprawiro, 1983),

sehingga satuan batuan ini diberi nama satuan kalkarenit Kujung.

1. Penyebaran dan ketebalan

Satuan kalkarenit Kujung ini mempati ± 30% dari luas penelitian yang

mempunyai penyebaran batuan relatif pada bagian utara daerah penelitian.

Satuan ini meliputi daerah desa Surowiti, desa Ketanen dan desa Siwalan.

Satuan ini menempati satuan geomorfologi lereng curam menengah - curam

(topografi bergelombag kuat – berbukit), tersayat tajam (Denudational slopes

and hills/D2). Berdasarkan hasil dari pengukuran ketebalan dari penampang A

– A’, maka satuan ini mempunyai ketebalan ± 1000 meter. Dilihat dari tabel

4.1 bahwa hubungan stratigrafinya satuan ini mempunyai hubungan selaras

dengan satuan batulempung Tuban.

2. Litologi Penyusun

Satuan ini tersusun oleh batulempung karbonatan dan kalkarenit.

Litologi yang pertama yaitu batulempung karbonatan yang memiliki

MUH SARIF (410015052) 66


kenampakan di lapangan warna segar kelabu muda, warna lapuk coklat

kekuningan, tekstur klastik dengan ukuran butir <1/256 mm (lempung),

struktur berlapis, komposisi mineral lempung, dan Nama batuan batulempung

karbonatan. (gambar 4.9).

Kemudian litologi kalkarenit dengan warna segar coklat kekuningan,

warna lapuk coklat kemerahan, coklat jingga, tekstur klastik, ukuran butir 63µ -

2 mm (arenite), struktur massif dengan nilai kedudukan batuan N 311o E / 31o

(gambar 4.11) , dan komposisi mineral yaitu mineral kalsit (CaCO3). Nama

batuan kalkarenit (Grabau,1912). (gambar 4.10).

3. Umur

Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat

pada satuan ini terdapat ciri fisik batuan pada stratigrafi regional menurut

Harsono Pringgoprawiro (1983), maka satuan kalkarenit ini merupakan bagian

dari Formasi Kujung yang berumur Oligosen hingga Miosen Awal. Satuan

batuan ini merupakan satuan batuan tertua yang dijumpai pada daerah

penelitian. Dilihat dari tabel 4.1. bahwa hubungan stratigrafinya selaras antara

satuan kalkarenit Kujung dengan satuan batulempung Tuban.

MUH SARIF (410015052) 67


Gambar 4.9. Singkapan batulempung karbonatan Kujung pada LP 50 dengan arah
singkapan N 107o E

Gambar 4.10. Singkapan kalkarenit Kujung pada LP 4 dengan arah singkapan


N 192o E

Gambar 4.11. Singkapan kalkarenit Kujung pada LP 43 dengan arah singkapan


N 192o E, mempunyai kedudukan batuan N 310o /31o E

4.2.2. Satuan batulempung Tuban

Satuan batulempung Tuban merupakan satuan kedua yang tersingkap di

daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh litologi batulempung. Berdasarkan

ciri fisik batuan yang ditemukan di lapangan dengan memperhatikan tata cara

penamaan satuan litostratigrafi tidak resmi yang tercantum dalam Sandi

Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996) dan mengacu pada

MUH SARIF (410015052) 68


stratigrafi regional (Harsono Pringgoprawiro, 1983), maka satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Tuban, sehingga satuan batuan ini diberi nama

satuan batulempung Tuban.

1. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batulempung Tuban ini menempati ± 15 % dari luas penelitian

yang mempunyai penyebaran batuan pada daerah utara daerah penelitian.

Satuan ini meliputi daerah desa Prupuh dan Dalegan. Satuan ini menempati

satuan geomorfologi hampir datar (topografi landai sampai datar), elevasi

tinggi (Upwarped paneplains plateau/D6). Berdasarkan hasil dari pengukuran

ketebalan dari penampang A – A’, maka satuan ini mempunyai ketebalan ± 900

meter. Kemudian jika melihat dari tabel 4.1. bahwa hubungan stratigrafinya

dengan batugamping terumbu Paciran yang diatasnya bersifat ketidakselaras.

2. Litologi Penyusun

Satuan ini hanya tersusun oleh batulempung. Litologi batulempung

memiliki kenampakan di lapangan warna segar putih keabu – abuan, warna

lapuk putih kekuningan - kecoklatan, tekstur klastik, struktur laminasi dan

sebagian tempat ada yang berlapis dan komposisi mineral yaitu : mineral

lempung. Nama batuan: batulempung. (gambar 4.12)

3. Umur

Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat

pada satuan ini terdapat ciri fisik batuan pada stratigrafi regional menurut

Harsono Pringgoprawiro (1983), maka satuan batulempung ini merupakan

bagian dari Formasi Tuban yang berumur Miosen Tengah . Satuan batuan ini

merupakan satuan batuan termuda kedua yang dijumpai pada daerah penelitian.

MUH SARIF (410015052) 69


Gambar 4.12. Singkapan batulempung Tuban pada LP 37 dengan arah singkapan
N 44o E

4.2.3. Satuan batugamping terumbu Paciran

Satuan batugamping terumbu Paciran merupakan satuan ketiga yang

tersingkap di daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh litologi batugamping

terumbu. Berdasarkan ciri fisik batuan yang ditemukan di lapangan dengan

memperhatikan tata cara penamaan satuan litostratigrafi tidak resmi yang

tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996)

dan mengacu pada stratigrafi regional (Harsono Pringgoprawiro, 1983), maka

satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Paciran, sehingga satuan

batuan ini diberi nama satuan batugamping terumbu Paciran.

1. Penyebaran dan Ketebalan

Satuan batugamping terumbu Paciran ini menempati ± 55 % dari luas

penelitian yang mempunyai penyebaran batuan sangat luas pada daerah

penelitian baik pada daerah utara menuju ke selatan. Satuan ini meliputi daerah

desa Cangaan, desa Gosari, desa Ngembo, desa Wotan, desa Petung, desa

Petung, desa Mentaras, desa Mojopetung dan desa Sukodono. Satuan ini

menempati satuan geomorfologi hampir datar – bergelombang lemah

MUH SARIF (410015052) 70


(denudational peneplains / d5) dan satuan hampir datar (topografi landai

sampai datar), elevasi tinggi (Upwarped paneplains plateau/D6). Berdasarkan

hasil dari pengukuran ketebalan dari penampang A – A’, maka satuan ini

mempunyai ketebalan ± 1000 meter.

2. Litologi Penyusun
Satuan ini hanya tersusun oleh batugamping terumbu. Litologi

batugamping terumbu yang memiliki kenampakan di lapangan warna segar

putih keabu – abuan, warna lapuk putih kekuningan - kecoklatan, tekstur

kristalin, struktur masif dan komposisi mineral yaitu : mineral kalsit dan

karbonat. Nama batuan : batugamping terumbu. (gambar 4.13)

3. Umur
Berdasarkan kesebandingan ciri fisik batuan di lapangan yang terdapat

pada satuan ini terdapat ciri fisik batuan pada stratigrafi regional menurut

Harsono Pringgoprawiro (1983), maka satuan batugamping terumbu ini

merupakan bagian dari Formasi Paciran yang berumur Pliosen . Satuan batuan

ini merupakan satuan batuan termuda yang dijumpai pada daerah penelitian.

Gambar 4.13. Singkapan batugamping terumbu Paciran pada LP 38 dengan arah


singkapan N 98o E

MUH SARIF (410015052) 71


4.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat

diinterpretasikan berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian data citra SRTM

maupun dari peta geologi regional, interpretasi peta topografi dan yang paling

utama adalah data hasil reconnaissance. Dalam analisa maupun pengkajian data

struktur tersebut, peneliti merasa terdapat beberapa kesamaan dari data citra

ASTER DEM, peta geologi regional, peta pola topografi maupun kenampakan di

lapangan yang menghasilkan pola struktur geologi daerah penelitian.

Berdasarkan analisis pada Peta Gelogi Regional Lembar Tuban (Hartono

dan Suharsono 1993) adanya struktur geologi di daerah penelitian, namun hal

tersebut tidak terlalu mendukung karena bersifat regional, sehingga peneliti

melakukan analisis pada peta topografi, peta geologi regional dan citra di jumpai

beberapa kelurusan yang memungkinkan untuk menjadi kelurusan struktur,

namun daerah penelitian yang merupakan daerah sedimen sehingga perlu

diselidiki kembali apakah kelurusan tersebut merupakan kelurusan struktur. Akan

tetapi, berdasarkan hasil reconnaissance tidak dijumpai struktur geologi pada

daerah penelitian yang signifikan.

Kemudian penulis hanya melakukan analisa struktur daerah penelitian

dengan mengacu pada peta DEM, peta topografi, dan peta geologi regional hanya

belum ditemukan juga bahwa daerah penelitian dikontrol oleh struktur, seperti

gambar 4.14 dan dibawah ini.

MUH SARIF (410015052) 72


Gambar 4.14. Peta pola kelurusan daerah penelitian Garis (-) Barat Laut – Tenggara
berdasarkan Citra SRTM

MUH SARIF (410015052) 73

Anda mungkin juga menyukai