Anda di halaman 1dari 12

METODE PEMETAAN GEOMORFOLOGI

Kata geomofologi berasal dari bahasa latin yaitu geo (bumi) morpho (proses) dan logos
(ilmu) jadi dapat dikatakan bahwa geomorfologi merupakan ilmu untuk mempelajari bentukan muka
bumi. Istilah gemorfologi pertama kali digunakan pada medio tahun 1870 hingga 1880an untuk
menjelaskan fenomena proses pembentukan muka bumi atau pada saat itu dikenal dengan ilmu yang
mempelajari bentukan topografi (Huggett, 2017). Tapi geomorfologi saat ini sudah jauh berkembang,
geomorfologi saat ini tidak hanya mempelajari proses terbentuknya saja, tetapi mempelajari hingga
bentukannya yang dikenal dengan istilah landform atau bentuk lahan. Pada intinya geomorfologi
mempelajari hubungan antara bentuk lahan dan proses pembentukannya. Bahkan pada beberapa
penelitian geomorfologi juga dikaitkan dengan aktivitas manusia pada bentuk lahan yang ada di
permukaan bumi (Huggett, 2017).

Ada 3 komponen utama untuk memahami geomorfologi yaitu bahan dasar, proses, dan
bentuk lahannya. Bahan dasar terkait dengan batuan dasar penyusun atau geologi dan material
tanah. Bahan batuan yang berbeda seperti batuan beku, sedimen dan metamorf tentu akan
menghasilkan prses yang berbeda-beda. Proses berhubungan dengan proses fisika dan kimiawi dari
bahan dasar. Tentu saja proses yang terjadi pada batuan beku, akan berbeda dengan proses pada
batuan sedimen dan metamorf. Pada proses inilah terjadi gaya endogen dan eksogen. Gaya endogen
merupakan gaya yang terjadi secara lambat pada wilayah yang luas akibat pergerakan lempeng. Gaya
endogen ini membentuk bentukan-bentukan struktural seperti patahan dan patahan dan bentukan
vulkanik seperti gunung api. Gaya ekogenik merupakan gaya yang terjadi dalam waktu yang relatif
singkat pada wilayah yagn relatif kecil. Hasilnya berupa bentukan bentukan yang dipengaruhi oleh air,
angin, es, laut. Secara sederhana sering dikatakan bahwa gaya endogen membentuk dan gaya
eksogen merusak. Sedangkan bentuk lahan adalah hasil dari proses yang membentuk bentuk lahan di
permukaan bumi.
Gambar 1. Interkasi antara bentuk lahan (landform) dan proses (Huggett, 2017)

Untuk membuat peta geomorfologi ada 4 aspek penting yang menjadi hal yang penting. 4 hal
tersebut adalah morfologi, morfogenesa, morfoaransemen, dan morfokronologi (Thornbury, 1958).
Morfologi terdiri dari morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan bentukan permukaan bumi
pada suatu wilayah, misalanya dataran, dataran bergelombang, hingga pegunungan, sedangkan
morfometri adalah perhitungan matematis dari suatu wilayah seperti lereng atau kemiringan lahan.
Hakekatnya untuk mendapatkan morfologi dipelukan pemahaman mengenai morfografi dan
perhitungannya (morfometri). Morfogenesa adalah asal mula atau proses pembentukan suatu bentuk
lahan. Pada hal ini dikaji mengenai bahan dasar, hingga proses yang bekerja pada suatu bentuk lahan.
Tidak menutup kemungkinan pada suatu bentuk lahan tedapat dua gaya yang bekerja seperti pada
wilayah estuari. Wilayah ini merupakan perpaduan antara bentukan fluvial dan bentukan marin atau
sering dikenal dengan sebutan fluvio-marin. (Strahler, 2013) membagi bentuk lahan berdasarkan
proses pembentukannya.

Morfogenasa dapat dikelompokkan ke dalam 3 proses yaitu morfostruktur aktif,


morfostruktur pasif, dan morfodinamik. Morfostruktur aktif merupakan proses endogenik yang terjadi
pada permukaan bumi, seperti pengangkatan, patahan hingga vulkanik. Morfostruktur pasif denudasi
pada batuan yang mengalami proses pengangkatan, patahan atau vulkanik. Contohnya adalah
bentukan seperti cuestas, domes, hogback, dan mesa. Sedangkan morfodinamik adalah proses
eksogenik yang oleh terjadi akibat tenaga angin, air, es, dan gerakan masa lainnya.

Berdasarkan morfostrukturnya, bentuk lahan dapat dibagi menjadi kelompok bentuk bentuk
lahan struktural, vulkanik, solusional/karst, fluvial, marin, aeolin, glacial, organik, denudasional,
atropogenik. Bentukan struktural dan vulkanik merupakan proses pembentukan akibat gaya endogen.
Bentukan struktural adalah bentuk lahan yang terjadi pada wilayah patahan dan lipatan baik pada
wilayah yang luas atau yang bersifat lokal. Contoh bentukan ini adalah horst, graben, hogback, cuesta,
dan bentuk lahan lainnya. Sedangkan bentuk vulkanik merupakan bentuk yang terjadi akibat proses
pembentukan muka bumi akibat aktivitas vulkanik atau aktivitas gunung api. Contoh bentukan ini
adalah lava dome, volcanic neck, creater, dan beberapa bentukan vulkanik lainnya.

Bentuk lahan fluvial, marin, aeolin, glasial, organik, denudasional merupakan bentuk lahan
yang terjadi akibat proses eksogenik. Air, angin es, dan aktivitas mahluk hidup menjadi faktor utama
dalam proses pembentukan bentuk lahan tersebut. Bentuk lahan fluvial terjadi akibat pengaruh dari
air, pada hal ini adalah sungai yang menjadi agen pembentukan bentuk lahan fluvial. Hal yang sama
terjadi pada bentuk lahan marin yang dipengaruhi oleh aktivitas laut dan samudera, aeolin akibat
pengaruh angin, glasial akibat es, organik akibat aktivitas mahluk hidup dan denudasional akibat
pengaruh air, angin, udara, hingga manusia.

Bentuk lahan karst/solusional dapat digolongkan ke dalam bentuk lahan akibat eksogenik.
Memang akan muncul pertanyaan, mengapa demikian? Padahal karst merupakan bentukan struktural
hasil pengangkatan dari sedimen laut. Untuk menjawab hal ini dapat kembali ke dasar pemikiran
geomorfologi yaitu bahan dasar, proses dan bentuk lahan. Bentuk lahan karst/solusional yang ada
saat ini merupakan bantuk hasil proses pelarutan dan pelapukan dari karst hasil pengangkatan. Lalu
bagaimana dengan antropogenik?

Istilah antropogenik pertama kali diperkenalkan oleh Coates (1984) yang yang menyebutkan
bahwa antopogenik merupakan proses pembentukan sebuah bentuk lahan atau kota akibat kegiatan
manusia. Ada beberapa pendapat mengenai antropogenik, Dessaunets (1987) tidak memasukkan
antropogenik ke dalam bagian bentuk lahan. Sedangkan Coastes (1984) mengkatogorikan
antropogenik sebagai bentuk lahan. Sehingga pemahaman dari peneliti dan sudut pandang yang
digunakan diperlukan untuk mengelompokan antropogenik sebagai bentuk lahan atau tidak termasuk
ke dalam bentuk lahan.

Aspek berikutnya adalah morfokronologi. Morfokronologi adalah umur relatif dan absolut dari
suatu bentuk lahan dan proses yang sedang terjadi pada bentuk lahan tersebut. Untuk mengetahui
umur absolut dari suatu bentuk lahan diperlukan pengukuran umum tanah dan batuan dengan
menggunakan penganggalan umur karbon. Sedangkan secara relatif dapat melihat stadia
geomorfologi yang diukapakan oleh (Lobeck, 1939). Stadia tersebut tersebut disebut dengan fase
geomorfologi yang terdiri dari stadia initial, youth, maturity dan old. Setelah fase old akan masuk ke
fase rejuvenation atau peremajaan dan kembali mengalami proses dari stadia awal.

Identifikasi bentuk lahan merupakan hasil akhir dari peta geomorfologi. Metode yang
digunakan adalah melihat perbedaan tinggi dan hubungannya dengan lereng. Metode ini
merupakan aplikasi dari metode pegukuran yang digunakan oleh (Zuidam, 1983), (Dessaunetes,
1977) dan (Verstappen, 2011) . Metode ini menjadi salah satu acuan dalam survei geomorfologi di
Indonesia.

Gambar 2 Skala dalam pemetaan geomorfologi (Strahler, 2013)

Skala pemetaan geomorfologi juga berbeda-beda tergantung kepada keperluannya.


Secara umum (Strahler, 2013) membaginya ke dalam 4 skala utama yaitu megascale, macroscale,
mesoscale, dan microscale. Perbedaan karakteristik keempatnya berdasarkan luas wilayah dan
umur atau morfokronologinya. Untuk kegiatan pemetaan unit geomorfologi pada skala 1:50.000,
identifikasi bentang lahan dilakukan pada mesoscale. Adapun tahapan untuk melakukan
identifikasi bentuk lahan hingga mendapatkan peta geomorfologi adalah (Mahmubin, Bayuni,
Sukmantalya, & Kusumastuti, 1985) :

1. Tahap Persiapan

a. Citra Satelit dengan resolusi mendukung untuk interpretasi bentuklahan microscale dan
mesoscale. Untuk itu dapat menggunakan Citra Landsat 8 dengan resolusi 30 meter
atau Sentinel dengan Resolusi 15 meter.

b. Pengumpulan data sekunder, seperti peta topografi, peta geologi, peta curah hujan,
peta jaringan sungai, peta tutupan lahan atau penggunaan tanah dan peta lain yang
dapat mendukung analisis.

c. Aplikasi untuk melakukan analisis dan identifikasi seperti ArcMap, Global Mapper,
Surfer dan aplikasi lain yang dapat mendukung analisis.

2. Interpretasi Bentang Lahan (studi atau laboratorium)

3. Pembuatan Peta Tentatif sebagai peta kerja

4. Survei Lapangan

5. Analisis Data

6. Re-Interpretasi Bentuk Lahan

7. Finalisasi Peta Geomorfologi (landform)

Morfologi

Morfologi dibagi menjadi dua yaitu morfografi dan morfometri. Untuk menentukan
morfografi maka diperlukan analisis morfometri. Analisis morfometri yang dimaksud adalah lereng
dan beda tinggi. Klasifikasi lereng yang digunakan mengikuti klasifikasi yang dibuat oleh (Zuidam,
1983). Klasifikasi tersebut antara lain :

Tabel 1 Kelas Lereng

Kelas Lereng Karateristik


(%)

<2 Flat or almost flat (Datar atau hampir datar)

2–7 Gently Sloping (Bergelombang)

8 – 15 Sloping (Berlereng)

16 – 30 Moderatly Sloping (Berlereng sedang)

31 – 70 Steep (Curam)

71 – 140 Very Steep (Sangat Curam)

> 140 Extremly Steep (Curam Sekali)

Kemudian untuk melakukan identifikasi morfografi atau lebih dikenal dengan istilah relief
digunakan analisis yang dikembangkan oleh (Dessaunetes, 1977). Klasifikasi tersebut antara lain:

Tabel 2 Hubungan Antara Relief, Kelas Lereng, dan Beda Tinggi


Beda Tinggi Relatif antara
Kelas
Relief titik tertinggi dan titik
Lereng
terendah

Flat (Datar) <2 Kurang dari 1 meter

Undulating (Bergelombang
2–7
Lemah)
Diantara 1 meter hingga 10
Rolling (Bergelombang) 8 – 15 meter

Hummocky (Bergelombang kuat


dan sedikit Berbukit kecil)

> 16 Dari 10 meter hingga 50


Hillocky (Berbukit Kecil)
meter

Dari 50 meter hingga 300


Hilly (Perbukitan)
meter

Mountainous (Pegunungan) Lebih dari 300 meter

Klasifikasi lereng dan relief permukaan bumi dilakukan sebelum ke lapangan. Digital
Elevation Model (DEM) dan Citra satelit resolusi menengah, hingga tinggi dapat digunakan sebagai
bantuan dalam melakukan identifikasi relief permukaan bumi. Sedangkan pada tahapan lapangan
hal yang dilakukan adalah pengamatan lereng dengan menggunakan clinometer dan distometer.
Tujuannya adalah untuk memverifikasi relief yang dilakukan di studio atau sebelum di lapangan.
Adapun teknik pengukuran lereng yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Jika posisi berdiri berada di lereng bagian bawah

a. Arahkan pandangan menghadap ke arah puncak lereng atau sampai tekuk lereng
apabila lerengnya tidak tunggal.

b. Arahkan klinometer atau abney level ke puncak lereng atau tekuk lereng dengan titik
pandang setinggi badan kita dari permukaan tanah yang berada di puncak lereng
atau di tekuk lereng.

c. Baca angka penunjuk kemiringan lereng, catat pada formulir yg sudah disediakan
dalam satuan persen (%) maupun derajat (o).

2. Jika posisi berdiri berada di lereng bagian atas

a. Arahkan pandangan menghadap ke arah lereng bawah atau tekuk lereng jika
lerengnya tidak tunggal dengan titik pandang setinggi badan kita dari permukaan
tanah yang berada di lereng bawah atau tekuk lereng.

b. Arahkan klinometer atau abney level ke puncak lereng atau tekuk lereng dengan titik
pandang setinggi badan kita dari permukaan tanah yang berada di puncak lereng
atau di tekuk lereng.
c. Baca angka penunjuk kemiringan lereng, catat pada formulir yang sudah disedian
dalam satuan persen (%) maupun derajat (o). Bacaan akan negatif tetapi dicatat
sebagai lereng positif.

3. Jika posisi berdiri berada di lereng tengah

a. Arahkan pandangan menghadap ke arah lereng bawah dan atas dengan titik
pandang seperti tersebut di atas.

b. Arahkan klinometer atau abney level ke puncak lereng atau lereng bawah dengan
titik pandang setinggi badan kita dari permukaan tanah yang berada di puncak
lereng atau lereng bawah.
c. Baca angka penunjuk kemiringan lereng, catat pada formulir yang sudah disedian
dalam satuan persen (%) maupun derajat (o). Bacaan akan negatif tetapi dicatat
sebagai lereng positif.

4. Pengukuran Amplitudo : Pengukuran amplitudo dilakukan dengan mengukur elevasi


tertinggi dan terendah di sampling area dengan meggunakan altimeter atau GPS
Handheld. Pengukuran dilakukan dengan membaca ketinggian yang tertera pada GPS
atau altimeter yang digunakan. Amplitudo dihitung berdasarkan selisih antara elevasi
tertinggi dan elevasi terendah

5. Setelah selesai melakukan pengukuran lereng dan mendapatkan beda tinggi, maka
reliefnya dapat diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi (Dessaunetes, 1977).

Morfogenesa

Mofogenesa merupakan bentukan asal. Untuk melakukan identifikasi morfogenesa harus


mengetahui hasil identifikasi batuan (dari singkapan) dan tanah penutup permukaan. Bahkan pada
bentukan tertentu seperti Karst, tutupan vegetasi berpengaruh terhadap morfogenesa.
Pengamatan morfogenesa dapat diidentifikasi dengan melihat singkapan. Dari singkapan tersebut
dapat didapatkan stratigrafi batuan yang dapat mengindikasikan apakan terjadi morfostruktur aktf
atau pasif. Pada wilayah karst hal yang dapat diamati adalah proses pelapukan yang terjadi
sehingga menghasilkan bentuk lahan tertentu. Selain itu untuk dapat membantu identifikasi
morfogenesa dapat dengan bantuan informasi mengenai litologi pada peta geologi.

Morfoaransemen

Morfoaransemen berkaitan dengan susunan bentuk lahan dalam ruang. Pengamatan


morfoaransemen dapat dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit untuk mengidentifikasi
sususan bentuk lahan dalam wilayah yang lebih besar. Selain itu juga dengan melakukan
pengamatan dengan berkeliling pada desa pengamatan dan melihat variasi bentuk lahan pada
wilayah tersebut. Contohnya, apabila menemukan suatu dataran, bahan induknya berasal dari
endapan batu gamping, dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut merupakan daerah deposisi dari
endapat karst yang membentuk dataran atau karst plain. Maka dapat dipastikan bahwa pada
wilayah sekitarnya terdapat bentukan karst lainnya, seperti karst cones, karst, doline, polyje, atau
uvala.

Morfokronologi

Morfokronologi berkaitan dengan umur batuan. Pengamatan morfokronologi dapat


menggunakan skala umur geologi sesuai dengan morfogenesa pada wilayah pengamatan
tersebut.

Peta Geomorfologi

Identifikasi unit geomorfologi merupakan konsep utama dalam pembuatan peta geomorfologi. Pada
skala 1:50.000 unit geomorfologi yang dipetakan pada tingkatan mesoscale atau pada skala
menengah. Untuk pewarnaan peta geomorfologi dibuat dengan menggunakan SNI 13-6185-1999.
Pewarnaan didasarkan pada morfogenesa atau bentukan asal dari bentuk lahan atau unit
geomorfologi.
Gambar 4 Ilustrasi Bentuk Lahan Struktural dan Vulkanik di Wilayah Kota Bandung dan sekitarnya dengan Latar Citra Landsat 8 OLI
Gambar 5 Ilustrasi Bentuk Lahan pada Karst, Struktural, dan Vulkanik di bagian timur laut Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Latar Citra Landsat 8 OLI
Referensi

Bemmelen, V. (1949). Geology of Indonesia (1–A ed.).

Dardji, N., Villemint, T., & Rampnoux, J. P. (1994). Paleostresses and strike-slip movement : the
Cimandiri Fault Zone , West Java , Indonesia JAVA, 9(I).

Febriani, F. (2014). Subsurface Structure of the Cimandiri Fault Zone, West Java, Indonesia, (August).

Gregory, K.J. (2010). The Earth’s Land Surface. California: SAGE

Hall, R., Clements, B., Smyth, H. R., & Cottam, M. A. (2007). A NEW INTERPRETATION OF JAVA’S
STRUCTURE, (May).

Haryanto, I., & Sudradjat, A. (2018). On the Geomorphology and Tectonic Position of West Java,
Indonesia, 2018(2), 47–54. https://doi.org/10.13189/ujg.2018.060203

Huggett, R. J. (2017). Fundamentals of Geomorphology (4th Editio). London: Routledge. Obruchev, V.


(1955). Fundamentals of Geology. Russia: Foreign Laguages Pubhlising House.

Pidwirny, Michael (2006). Fundamentals Of Physical Geography. Kanada: University of British


Columbia.

Strahler, A. (2013). Introduction To Physical Geography (6th Editio). Boston: Wiley. Verstappen, H. T.
(2011). Old and New Trends in Geomorphological and Landform

Mapping, 15(1952), 13–38. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-53446-0.00002-1

Anda mungkin juga menyukai