Anda di halaman 1dari 9

BAB 4

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Geologi daerah penelitian merupakan identifikasi aspek geologi berdasarkan


rangkaian pengolahan data berupa data geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi.
Geomorfologi menggambarkan bentukan lahan, mulai dari morfologi, morfometri serta
morfogenesa yang terjadi di suatu daerah. Stratigrafi memperlihatkan periode
pengendapan batuan, serta lingkungan pengendapannya. Struktur geologi merupakan
hasil deformasi tektonik yang terjadi pada suatu daerah. Identifikasi dari ketiga aspek
diatas nantinya akan digunakan dalam menyusun sejarah geologi di daerah penelitian.

4.1. Geomorfologi
Geomorfologi merupakan kenampakan bentang alam yang terbentuk akibat
proses proses geologi yang mempengaruhi. Proses pembuatan peta geomorfologi
menggunakan data DEM yang nantinya dihubungkan terhadap kenampakan langsung
bentukan morfologi di lapangan melalui pengambilan foto. DEM (Digital Elevation
Model) dapat menggambarkan bentukan rupabumi yang mendekati keadaan nyata pada
lapangan yang diolah melalui program komputer (Duantari dan Cahyono, 2017).
Geomorfologi dapat dijelaskan secara 3 aspek yakni morfografi, morfometri dan
morfogenesa. Morfografi diartikan sebagai jenis bentukan lahan penelitian apakah
termasuk daerah perbukitan tinggi, perbukitan rendah, ataupun dataran rendah
(Widyamanti, et al., 2016). Morfometri merupakan satuan quantitative dari suatu
permukaan lahan seperti elevasi ataupun kemiringan lereng (Bishop, et al., 2018).
Sedangkan morfogenesa menjelaskan tentang proses proses geomorfik yang
menyebabkan morfologi tersebut dapat terbentuk seperti oleh pengaruh denudasional
ataupun dikontrol oleh struktur (Hugget, 2017).
Penamaan satuan gemorfologi yang terdapat di daerah penelitian berdasarkan
Hugget (2017), Widyamanti, et al., (2016), dan Ilia (2013) yang berkaitan terhadap ketiga
aspek penting dalam geomorfologi yaitu morfologi, morfometri dan morfogenesa.
Identifikasi geomorfologi juga didukung oleh beberapa data seperti kemiringan lereng,
elevasi, pola aliran sungai dan proses geomorfik.
4.1.1. Analisa Morfografi
Analisa morfografi dilakukan dalam mendeskripsikan bentukan morfologi seperti
lembah, dataran rendah, serta perbukitan. Widyamanti, et al (2016) membagi ketinggian
relatif berdasarkan beberapa klasifikasi yaitu daratan (<50m), perbukitan rendah (50 –
200 m), perbukitan (200 – 500 m), perbukitan tinggi (500 – 1000 m) dan pegunungan
(>1000 m). Pembuatan model elevasi morfologi menggunakan data DEM menunjukkan
di daerah penelitian memiliki rentang ketinggian mulai dari <50 meter – 600 meter
(Gambar 4.1) sehingga bentukan morfologi di daerah penelitian berdasarkan Widyamanti
(2016) terdiri dari dataran rendah sampai dengan perbukitan tinggi. Daerah dataran
rendah terletak di bagian barat daya daerah penelitian, daerah perbukitan mendominasi
pada bagian tengah daerah penelitian dan daerah perbukitan tinggi terdapat di bagian
utara daerah penelitian. Pada kenampakan model elevasi morfologi di bagian selatan
daerah penelitian terdapat bentukan morfologi lembah, yang mana terbentuk akibat
proses pelapukan dan erosi yang terjadi sangat cepat yang diakibatkan oleh sungai (Ilia,
2013).

Gambar 4.1. Model elevasi morfologi pada daerah penelitian dengan beda elevasi tiap
50 meter (tanpa skala).

4.1.2. Analisa Morfometri


Analisa morfometri dilakukan untuk mengetahui satuan quantitative dalam
daerah penelitian contohnya seperti kemiringan lereng (Bishop, et al., 2018). Analisa
kemiringan lereng dilakukan menggunakan klasifikasi Widymanati, et al., (2016) dimana
pada daerah penelitian terdapat 6 kelas lereng yaitu datar, agak miring, miring, cukup
miring, curam dan sangat curam (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Peta kemiringan lereng daerah penelitian berdasarkan


Widyamanti, et al., (2016)
Pada kenampakan peta kemiringan lereng di daerah penelitian didominasi oleh
kelas lereng curam dimana menempati kurang lebih 60% daerah penelitian yang
umumnya terdapat pada daerah perbukitan. Untuk kelas lereng sangat curam menempati
kurang lebih 10% yang mana untuk kelas lereng ini berada pada daerah perbukitan tinggi
dan lembah. Sedangkan pada kelas lereng datar – cukup miring menempati daerah
penelitian kurang lebih 30% yang terdapat pada perbukitan serta dataran rendah.

4.1.3 Proses Geomorfik


Proses geomorfik diamsusikan sebagai terubahnya bentukan permukaan bumi
baik itu secara fisik dan kimia yang disebabkan oleh proses endogen ataupun eksogen
(Hugget, 2017). Proses eksogen mempengaruhi bentuk lahan dari luar permukaan bumi
yang umumnya bersifat destruktif sedangkan proses endogen mempengaruhi bentukan
lahan dari dalam permukaan bumi yang bersifat konstruktif.
Tingkat resistensi batuan yang ada di lapangan menggambarkan proses geologi
yang terjadi pada daerah penelitian. Proses denudasional mendominasi dalam
pembentukan lahan di daerah penelitian. Pelapukan, erosi, serta adanya masa tanah yang
tertransport menjadi pertanda kuatnya proses denudasional di daerah tersebut (Hugget,
2017). Erosi yang disebabkan oleh sungai juga merupakan suatu proses geomorfik,
dimana nantinya aliran sungai menyebabkan pelebaran channel yang berpengaruh
terhadap bentuk permukaan morfologi dalam jangka panjang (Baishya, 2013).
Tingkat erosi yang tinggi mengontrol bentukan daerah penelitian tercermin dari
adanya longsoran serta banyaknya aktivitas sungai di bagian hulu dan hilir (Gambar 4.3).
Sehingga proses denudasional menjadi penyebab terbesar bentukan morfologi sekarang.

Gambar 4.3. Proses geomorfik yang terjadi di daerah penelitian : a. Kenampakan


longsor dengan gambar modifikasi Hamblin dan Christiansen (2004) dan b. Proses erosi
sungai di bagian hulu.
Keberadaan sungai di daerah penelitian juga menjadi salah satu proses geomorfik.
Sungai yang terdapat pada daerah penelitian, telah berkembang dari awal
pembentukannya dan terus berkembang sampai saat ini. Menurut Lobeck (1939) dan
Waryono (2002) berdasarkan proses perkembangannya, sungai di daerah penelitian
terbagi menjadi 2 stadia yaitu stadia muda dan dewasa (Gambar 4.4). Sungai stadia muda
biasanya terdapat di tempat dengan elevasi yang tinggi. Arus yang sangat deras
disebabkan oleh pengaruh kemiringan lereng mengakibatkan erosi vertikal yang cukup
kuat dan boulder dengan ukuran cukup besar yang tertransport. Untuk sungai stadia
dewasa biasanya ditemukan pada daerah dengan elevasi yang cukup rendah sehingga
proses erosi mulai berkurang dan timbul endapan di beberapa tempat. Pada sungai stadia
dewasa biasanya erosi secara vertikal akan berkurang namun erosi secara horizontal
mulai meningkat. Dataran banjir akan terbentuk akibat banyaknya deposit sedimen dari
bagian hulu ketika volume air meningkat.

Gambar 4.4. Proses perkembangan sungai : a. Sungai stadia muda dan b. Sungai stadia
dewasa.
Selain perkembangan stadia sungai, proses geomorfik juga dicerminkan dengan
keterdapatan pola pengaliran yang terdapat pada daerah penelitian. Menurut Twidale
(2004) pola pengaliran di daerah penelitian terbagi menjadi 2 jenis yaitu pola aliran
dendritik dan pola aliran paralel (Gambar 4.5). Pola aliran dendritik merupakan pola
pengaliran yang mempunyai kenampkan seperti ranting pohon. Pola aliran ini biasanya
terdapat pada daerah dengan morfologi pegunungan ataupun perbukitan. Pola aliran
dendritik menunjukkan variasi dari orientasi sungai, kebanyakan terdapat di daerah landai
dan tidak/sedikit dipengaruhi struktur. Pola aliran paralel merupakan bentuk aliran sungai
yang disebabkan oleh kemiringan lereng yang cukup curam sehingga arus sungai melaju
dengan cepat dan lurus menjadikan sungai mengalir cenderung terhadap satu arah.
Umumnya aliran sungai akan mengikuti arah kemiringan lerengnya.
Gambar 4.5. Pola pengaliran sungai di daerah Sipakpahi Aek Lobu dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi Twidale (2004).
Melalui identifikasi menggunakan diagram roset, didapatkan pola kelurusan
sungai yang berbeda dari kedua jenis sungai di daerah penelitian (Gambar 4.6). Pola
kelurusan sungai ini berimplikasi terhadap kontrol arah erosi sungai di daerah penelitian.
Pada pola kelurusan dendritik memiliki arah umum sekitar N 0o E – N 10o E atau relative
berarah Utara – Selatan sehingga pada pola sungai ini mengontrol erosi mulai dari
perbukitan sampai dataran rendah di daerah penelitian. Pada pola kelurusan paralel
didapati arah umum sekitar N 330o E – N 340o E atau relative berarah Barat Laut –
Tenggara sehingga pada pola ini mengontrol erosi pada perbukitan tinggi yang berada di
bagian Barat Laut daerah penelitian.

Gambar 4.6. Diagram roset : a. Pola pengaliran dendritik dan b. Pola pengaliran paralel.

4.1.4. Satuan Bentuk Lahan


Satuan bentuk lahan merupakan identifikasi yang dilakukan dalam menentukan
jenis bentukan morfologi yang terbentuk pada daerah penelitian. Penentuan satuan
bentuk lahan haruslah memperhatikan aspek secara morfografi, morfometri dan
morfogenesa. Dalam penentuan satuan bentuk lahan, didasarkan pada beberapa
pendekatan yang merujuk pada penelitian mengenai geomorfologi yaitu Widyamanti, et
al (2016) membahas aspek morfologi dan morfometri, Hugget (2017) membahas
morfogenesa bentuk lahan dan Ilia (2013) membahas lembah yang terbentuk pada daerah
telitian.

4.1.4.1. Dataran Rendah


Dataran rendah merupakan satuan bentuk lahan yang terdapat pada Baratdaya di
daerah penelitian. Dataran rendah menempati sekitar 10% dari luasan daerah penelitian,
dengan rentang elevasi sekitar 0 m – 50 m dan sungai Aek Kalang yang mengalir di
bagian tengahnya. Pada bentuk lahan ini hampir didominasi oleh kelas lereng datar. Pola
pengaliran dendritik menjadi pengontrol erosi pada bentuk lahan ini. Batuan penyusun di
satuan morfologi ini hampir didominasi oleh alluvium, walaupun terdapat di beberapa
bagian litologi batupasir. Daerah permukaan yang hampir ditutupi oleh unconsolidated
soil dengan kemiringan lereng yang datar menyebabkan persawahan menjadi tempat yang
ideal dengan keberadaannya yang mendominasi dengan kenampakan yang ditunjukkan
oleh Gambar 4.7.

Gambar 4.7. Kenampakan bentuk lahan dataran rendah.

4.1.4.2. Lembah Berlereng Curam - Sangat Curam Denudasional


Lembah berlereng curam – sangat curam denudasional adalah satuan bentuk lahan
yang terdapat pada bagian selatan daerah penelitian. Satuan bentuk lahan ini menempati
sekitar 15% dari luasan daerah penelitian. Pada bentuk lahan lembah sendiri dipotong
oleh keberadaan sungai Aek Kalang dimana pada dinding lembah memiliki kelas lereng
curam sampai sangat curam (Gambar 4.8).

Gambar 4.8. Kenampakan bentuk lahan lembah berlereng curam – sangat curam
denudasional.
Bagian tubuh sungai Aek Kalang mengalir pada elevasi pada rentang 0 – 50 meter
dan dinding lembah terletak pada elevasi 0 – 200 meter. Pada satuan bentuk lahan ini
terdiri dari litologi konglomerat, batupasir, dan batulempung yang menyebabkan proses
erosi menjadi penyebab terbentuknya lembah di daerah ini. Sungai Aek Kalang termasuk
ke dalam stadia sungai dewasa yang menandakan proses erosi juga telah berlangsung
sangat lama.

4.1.4.3. Perbukitan Berlereng Curam – Sangat Curam Denudasional


Perbukitan belereng curam – sangat curam denudasional merupakan satuan
bentuk lahan yang terdapat pada bagian tengah daerah penelitian. Satuan bentuk lahan ini
menempati sekitar 45% dari luas daerah penelitian. Bentuk lahan ini terdapat pada
rentang elevasi mulai dari 50 – 500 meter dengan kelas lereng curam – sangat curam.
Pola pengaliran dendritik berkembang pada bentuk lahan ini, yang menyebabkan alur
sungai menggerus batuan dan membentuk morfologi perbukitan. Morfologi perbukitan
tersebut disusun oleh litologi granit, tuff riodasit serta batupasir. Longsoran yang terdapat
pada bentuk lahan ini memperkuat bukti bahwa proses denudasional berperan besar
terbentuknya bentuk lahan ini (Gambar 4.9).

Gambar 4.9. a. Kenampakan satuan bentuk lahan perbukitan pada daerah penelitian dan
b. Proses longsoran yang terjadi pada daerah penelitian.
4.1.4.4. Perbukitan Tinggi Berlereng Curam – Sangat Curam Denudasional
Perbukitan tinggi berlereng curam – sangat curam denudasional merupakan
satuan bentuk lahan yang terdapat pada bagian utara daerah penelitian. Pada satuan lahan
ini terletak pada elevasi 500 – 650 meter dengan kelas lereng yang terbentuk curam –
sangat curam. Bentuk lahan ini memiliki besaran wilayah sekitar 30% dari daerah
penelitian. Satuan bentuk lahan ini terdiri dari litologi batupasir serta tuff riodasit. Akibat
lereng yang sangat curam maka pola pengaliran paralel terbentuk pada bentuk lahan ini
serta pola pengaliran dendritik, sehingga akibat dua pola pengaliran ini membentuk
morfologi perbukitan tinggi. Morfogenesa dari bentuk lahan ini diinterpretasikan berasal
dari proses erosi serta denudasional yang terjadi. Kenampakan bentuk lahan ini
ditunjukkan pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10. Kenampakan bentuk lahan perbukitan tinggi berlereng curam – sangat
curam denudasional.

4.2. Stratigrafi Daerah Penelitian


Pengelompokkan satuan stratigrafi pada daerah penelitian dikelompokkan
berdasarkan karakteristik lithostratigrafi serta analisis petrografi. Penarikan batas formasi
pada daerah penelitian dilakukan berdasarkan kesamaan antar jenis batuan dan dalam
menentukan umur batuan berdasarkan umur pada regioanal. Stratigrafi daerah penelitian
dari tua ke muda terdiri dari Komplek Granit Sibolga, Formasi Barus, Tuf Toba dan
Aluvium (Aspden, et al., 1982).
4.2.1. Komplek Granit Sibolga
Komplek Granit Sibolga merupakan formasi tertua yang terdapat pada daerah
penelitian, yang tersingkap ke permukaan disebabkan oleh adanya pengaruh tektonik
pada Cekungan Sibolga. Pada Kelompok Granit Sibolga terdiri dari tiga litologi batuan
yaitu granodiorit, granit dan diorit, tetapi yang ditemukan pada lokasi penelitian hanya
litologi granit. Komplek Granit Sibolga terbentuk pada zaman Perm (Aspden, et al.,
1982). Menurut hasil yang ditemukan pada lapangan, formasi ini terletak pada bagian
timur daerah penelitan dengan luasan wilayah yang ditempati sekitar 8%. Secara
megaskopis, granit memiliki warna lapuk hitam keabuan dan warna segar krim.

Anda mungkin juga menyukai