4.1. Geomorfologi
Geomorfologi merupakan kenampakan bentang alam yang terbentuk akibat
proses proses geologi yang mempengaruhi. Proses pembuatan peta geomorfologi
menggunakan data DEM yang nantinya dihubungkan terhadap kenampakan langsung
bentukan morfologi di lapangan melalui pengambilan foto. DEM (Digital Elevation
Model) dapat menggambarkan bentukan rupabumi yang mendekati keadaan nyata pada
lapangan yang diolah melalui program komputer (Duantari dan Cahyono, 2017).
Geomorfologi dapat dijelaskan secara 3 aspek yakni morfografi, morfometri dan
morfogenesa. Morfografi diartikan sebagai jenis bentukan lahan penelitian apakah
termasuk daerah perbukitan tinggi, perbukitan rendah, ataupun dataran rendah
(Widyamanti, et al., 2016). Morfometri merupakan satuan quantitative dari suatu
permukaan lahan seperti elevasi ataupun kemiringan lereng (Bishop, et al., 2018).
Sedangkan morfogenesa menjelaskan tentang proses proses geomorfik yang
menyebabkan morfologi tersebut dapat terbentuk seperti oleh pengaruh denudasional
ataupun dikontrol oleh struktur (Hugget, 2017).
Penamaan satuan gemorfologi yang terdapat di daerah penelitian berdasarkan
Hugget (2017), Widyamanti, et al., (2016), dan Ilia (2013) yang berkaitan terhadap ketiga
aspek penting dalam geomorfologi yaitu morfologi, morfometri dan morfogenesa.
Identifikasi geomorfologi juga didukung oleh beberapa data seperti kemiringan lereng,
elevasi, pola aliran sungai dan proses geomorfik.
4.1.1. Analisa Morfografi
Analisa morfografi dilakukan dalam mendeskripsikan bentukan morfologi seperti
lembah, dataran rendah, serta perbukitan. Widyamanti, et al (2016) membagi ketinggian
relatif berdasarkan beberapa klasifikasi yaitu daratan (<50m), perbukitan rendah (50 –
200 m), perbukitan (200 – 500 m), perbukitan tinggi (500 – 1000 m) dan pegunungan
(>1000 m). Pembuatan model elevasi morfologi menggunakan data DEM menunjukkan
di daerah penelitian memiliki rentang ketinggian mulai dari <50 meter – 600 meter
(Gambar 4.1) sehingga bentukan morfologi di daerah penelitian berdasarkan Widyamanti
(2016) terdiri dari dataran rendah sampai dengan perbukitan tinggi. Daerah dataran
rendah terletak di bagian barat daya daerah penelitian, daerah perbukitan mendominasi
pada bagian tengah daerah penelitian dan daerah perbukitan tinggi terdapat di bagian
utara daerah penelitian. Pada kenampakan model elevasi morfologi di bagian selatan
daerah penelitian terdapat bentukan morfologi lembah, yang mana terbentuk akibat
proses pelapukan dan erosi yang terjadi sangat cepat yang diakibatkan oleh sungai (Ilia,
2013).
Gambar 4.1. Model elevasi morfologi pada daerah penelitian dengan beda elevasi tiap
50 meter (tanpa skala).
Gambar 4.4. Proses perkembangan sungai : a. Sungai stadia muda dan b. Sungai stadia
dewasa.
Selain perkembangan stadia sungai, proses geomorfik juga dicerminkan dengan
keterdapatan pola pengaliran yang terdapat pada daerah penelitian. Menurut Twidale
(2004) pola pengaliran di daerah penelitian terbagi menjadi 2 jenis yaitu pola aliran
dendritik dan pola aliran paralel (Gambar 4.5). Pola aliran dendritik merupakan pola
pengaliran yang mempunyai kenampkan seperti ranting pohon. Pola aliran ini biasanya
terdapat pada daerah dengan morfologi pegunungan ataupun perbukitan. Pola aliran
dendritik menunjukkan variasi dari orientasi sungai, kebanyakan terdapat di daerah landai
dan tidak/sedikit dipengaruhi struktur. Pola aliran paralel merupakan bentuk aliran sungai
yang disebabkan oleh kemiringan lereng yang cukup curam sehingga arus sungai melaju
dengan cepat dan lurus menjadikan sungai mengalir cenderung terhadap satu arah.
Umumnya aliran sungai akan mengikuti arah kemiringan lerengnya.
Gambar 4.5. Pola pengaliran sungai di daerah Sipakpahi Aek Lobu dan sekitarnya
berdasarkan klasifikasi Twidale (2004).
Melalui identifikasi menggunakan diagram roset, didapatkan pola kelurusan
sungai yang berbeda dari kedua jenis sungai di daerah penelitian (Gambar 4.6). Pola
kelurusan sungai ini berimplikasi terhadap kontrol arah erosi sungai di daerah penelitian.
Pada pola kelurusan dendritik memiliki arah umum sekitar N 0o E – N 10o E atau relative
berarah Utara – Selatan sehingga pada pola sungai ini mengontrol erosi mulai dari
perbukitan sampai dataran rendah di daerah penelitian. Pada pola kelurusan paralel
didapati arah umum sekitar N 330o E – N 340o E atau relative berarah Barat Laut –
Tenggara sehingga pada pola ini mengontrol erosi pada perbukitan tinggi yang berada di
bagian Barat Laut daerah penelitian.
Gambar 4.6. Diagram roset : a. Pola pengaliran dendritik dan b. Pola pengaliran paralel.
Gambar 4.8. Kenampakan bentuk lahan lembah berlereng curam – sangat curam
denudasional.
Bagian tubuh sungai Aek Kalang mengalir pada elevasi pada rentang 0 – 50 meter
dan dinding lembah terletak pada elevasi 0 – 200 meter. Pada satuan bentuk lahan ini
terdiri dari litologi konglomerat, batupasir, dan batulempung yang menyebabkan proses
erosi menjadi penyebab terbentuknya lembah di daerah ini. Sungai Aek Kalang termasuk
ke dalam stadia sungai dewasa yang menandakan proses erosi juga telah berlangsung
sangat lama.
Gambar 4.9. a. Kenampakan satuan bentuk lahan perbukitan pada daerah penelitian dan
b. Proses longsoran yang terjadi pada daerah penelitian.
4.1.4.4. Perbukitan Tinggi Berlereng Curam – Sangat Curam Denudasional
Perbukitan tinggi berlereng curam – sangat curam denudasional merupakan
satuan bentuk lahan yang terdapat pada bagian utara daerah penelitian. Pada satuan lahan
ini terletak pada elevasi 500 – 650 meter dengan kelas lereng yang terbentuk curam –
sangat curam. Bentuk lahan ini memiliki besaran wilayah sekitar 30% dari daerah
penelitian. Satuan bentuk lahan ini terdiri dari litologi batupasir serta tuff riodasit. Akibat
lereng yang sangat curam maka pola pengaliran paralel terbentuk pada bentuk lahan ini
serta pola pengaliran dendritik, sehingga akibat dua pola pengaliran ini membentuk
morfologi perbukitan tinggi. Morfogenesa dari bentuk lahan ini diinterpretasikan berasal
dari proses erosi serta denudasional yang terjadi. Kenampakan bentuk lahan ini
ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10. Kenampakan bentuk lahan perbukitan tinggi berlereng curam – sangat
curam denudasional.