Anda di halaman 1dari 49

BAB II

GEOLOGI

2.1 Geomorfologi

Pada hakekatnya geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang

roman muka bumi beserta aspek-aspek yang mempengaruhinya. Adapun

bentangalam (landscape) didefinisikan sebagai panorama alam yang disusun oleh

elemen elemen geomorfologi dalam dimensi yang lebih luas dari terrain.

Pada dasarnya geomorfologi mempelajari bentuk-bentuk bentangalam,

bagaimana bentangalam itu terbentuk secara kontruksional yang diakibatkan oleh

gaya endogen, dan bagaimana bentangalam tersebut dipengaruhi oleh pengaruh

luar berupa gaya eksogen seperti pelapukan, erosi, denudasi, sedimentasi. Air,

angin, dan gletser, sebagai agen yang merubah batuan atau tanah membentuk

bentang alam yang bersifat destruksional, dan menghasilkan bentuklahan tertentu

(landform).

2.1.1 Dasar Teori Geomorfologi

Pada daerah penelitian pembagian satuan geomorfologi dilakukan

dengan 2 metode, yaitu satuan geomorfik morfometri dan satuan geomorfik

morfogenesa. Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan

satuan geomorfologi yang didasarkan pada kemiringan lereng dan beda tinggi

(Tabel 2.1) menurut van Zuidam dan van Zuidam - Cancelado (1979).

5
Tabel 2.1. Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van
Zuidam dan van Zuidam - Cancelado, 1979, modifikasi).
Kemiringan
No Relief Beda Tinggi
Lereng ( %)
1 Topografi dataran 02 <5

2 Topografi bergelombang lemah 37 5 50

3 Topografi bergelombang lemah-kuat 8 13 25 75

4 Topografi bergelombang kuat- perbukitan 14 20 50 200

5 Topografi perbukitan tersayat kuat 21 55 200 500

6 Topografi tersayat kuat- pegunungan 56 140 500 1000


7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

Morfogenesis daerah penelitian menggunakan klasifikasi bentuk lahan

berdasarkan genesis dan sistem pewarnaannya van Zuidam, (1983). Klasifikasi

bentuk lahan berdasarkan genesis dan sistem pewarnaannya van Zuidam, (1983)

membagi satuan geomorfologi menjadi 8 satuan geomorfologi, dengan rinciannya

ialah bentukan asal denudasional yang terbentuk oleh proses pelapukan,

degradasi, dan agradasi lanjutan, bentukan asal struktural yang terbentuk oleh

lipatan, kekar, ataupun sesar, lalu bentukan asal vulkanik yang terbentuk oleh

proses vulkanisme, selanjutnya bentukan asal fluvial yang terbentuk dari erosi dan

pengendapan yang dilakukan oleh media air, sedangkan yang dipengaruhi oleh

media angin akan membentuk bentukan asal eolian, bentukan asal karst yang

terbentuk akibat pelarutan dari batugamping, bentukan asal marine yang terbentuk

pada daerah pantai, dan terakhir bentukan asal glasial yang terbentuk pada daerah

es/salju (Lihat Tabel 2.2), bila mengacu pada bentukan asal ini daerah

penelitian termasuk dalam bentukan asal denudasional, adapun satuan unitnya di

jelaskan pada Tabel 2.3.

6
Tabel 2.2. Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem
pewarnaan (van Zuidam, 1983, modifikasi).
No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat
2 Struktural (S) Ungu
3 Vulkanik (V) Merah
4 Fluvial (F) Hijau
5 Marine (M) Biru tua
6 Karst (K) Orange
7 Glasial (G) Biru muda
8 Eolian (E) Kuning

Tabel 2.3. Klasifikasi unit geomorfologi bentukan oleh proses


denudasional (van Zuidam, 1983, modifikasi).
Kode Unit Keterangan

Lereng landai - sedang (topografi bergelombang -


D1 Lereng dan Perbukitan Denudasional
bergelombang kuat)

Lereng sedang - curam (topografi bergelombang


D2 Lereng dan Perbukitan Denudasional
kuat - bukit)

Perbukitan dan Pegunungan Lereng berbukit curam - sangat curam sampai


D3
Denudasional topografi pegunungan
Lereng berbukit curam - sangat curam. Bornhadts
= membulat, curam, dan halus, Monadnocks =
D4 Bukit sisa pelapukan dan erosi memanjang curam ; bentuk tidak teratur dengan
atau tanpa Block penutup, Tros = timbunan dari
batuan asal/induk
Hampir datar, topografi bergelombang lemah -
Dataran
D5 kuat

Dataran yang terangkat/dataran Hampir datar, topografi bergelombang lemah -


D6
tinggi kuat
Lereng relatif pendek, mendekati horisontal -
D7 Kaki lereng landai, hampir datar, topografi bergelombang
lemah
Lereng landai - menengah, topografi
D8 Piedmonts b ergelombang lemah - kuat pada kaki perbukitan
dan pegunungan yang terangkat
D9 Gawir Lereng curam - sangat curam

D10 Rombakan lereng dan kipas Lereng landai - curam

Tidak beraturan, lereng sedang - curam, topografi


D11 Daerah gerakan massa
bergelombang lemah - perbukitan

D12 Badlands Topografi dengan lereng curam - sangat curam

7
Dengan berjalannya waktu, suatu sistem jaringan sungai akan

membentuk pola pengaliran tertentu di antara saluran utama dengan cabang-

cabangnya. Pola aliran sungai merupakan pola dari organisasi atau hubungan

keruangan dari lembah-lembah, baik yang dialiri sungai maupun lembah yang

kering atau tidak dialiri sungai. Pola aliran dipengaruhi oleh lereng, kekerasan

batuan, struktur geologi, sejarah geologi dan geomorfologi dari daerah aliran

sungai. Dengan demikian pola aliran sangat berguna dalam interpretasi

kenampakan geomorfologis, batuan dan struktur geologi. Penentuan pola

pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan klasifikasi Howard

(1967, dalam Thornbury, 1969) (Lihat Gambar 2.1)

Stadia geomorfologi merupakan bentuk permukaan bumi yang disebabkan

oleh pengaruh tenaga eksogen. Stadia merupakan umur relatif bentuk lahan

tertentu yang dinyatakan dengan sebutan muda, dewasa, tua dan peremajaan ulang.

Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk mengetahui proses-proses

geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut. Proses tersebut bisa berupa

proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme) dan proses eksogen (erosi,

pelapukan, transportasi).

Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi tiga dan mempunyai

ciri tersendiri (Lihat Gambar 2.2), yaitu stadia muda, stadia dewasa dan

stadia tua. Stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah

sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai

besar, arus sungai deras, lembah berbentuk V, terkadang dijumpai air terjun dan

8
danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses

deformasi.

Gambar 2.1. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967,
dalam Thornbury, 1969), A Pola aliran utama, B & C
Pola aliran ubahan.

Stadia dewasa akan dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan

dalam dari sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, gradien sungai sedang,

aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander, umumnya tidak dijumpai air

terjun maupun danau, erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral,

9
lembahnya berbentuk U. Stadia tua dicirikan permukaan relatif datar, aliran

sungai tidak berpola, sungai berkelok dan menghasilkan endapan di kanan kiri

sungai, terbentuk pulau-pulau tapal kuda, arus sungai tidak kuat dan litologi

relatif seragam. Urutan proses mulai dari stadia muda sampai stadia tua dapat

kembali berulang menjadi seperti stadia muda lagi apabila terjadi peremajaan

ulang (rejuvenation) atas suatu bentang alam.

Proses peremajaan ulang (rejuvenation) terbentuk apabila pada daerah

yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu proses epirogenesis atau

orogenesis, maka daerah dengan stadia tua tersebut terangkat kembali.

Daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh proses

eksogenik maupun oleh sungai-sungai yang mengalir di daerah tersebut. Dari

proses tersebut mengakibatkan perubahan bentukan stadia morfologi menjadi

stadia muda lagi.

Gambar 2.2. Stadia daerah menurut Lobeck (1939).

10
2.1.2 Geomorfologi Regional

Van Bemmelen (1949), berdasarkan litologi dan tektoniknya, membagi

Pulau Jawa menjadi 7 jalur fisiografi dari utara ke selatan yaitu Dataran Aluvial

Pantai Utara Jawa, Antiklinorium Rembang-Madura, Antiklinorium Bogor -

Serayu Utara - Kendeng, Gunungapi Kuarter, Pegunungan Serayu Selatan -

Pegunungan Selatan (Lihat Gambar 2.3).

Daerah penelitian

Gambar 2.3. Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010).

Secara khusus van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Tengah

menjadi 5 bagian besar yaitu Dataran Pantai Utara Jawa, Pegunungan Serayu

Utara, Zona Depresi Sentral, Pegunungan Serayu Selatan, Dataran Pantai Jawa

Tengah Selatan.

Lokasi daerah penelitian terletak di Provinsi Jawa Tengah tepatnya di

Kabupaten Banyumas Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah, berdasarkan

peta fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur menurut van Bemmelen

(1949) daerah penelitian termasuk dalam Zona Serayu Selatan bagian barat.

11
2.1.2.1 Dataran Pantai Utara Jawa

Zona ini termasuk Dataran Aluvial Jawa Utara serta mempunyai lebar

maksimum 40 km di Selatan Brebes, Lembah Pemali sebagai pemisah antara

Zona Bogor (Bogor Range) Jawa Barat dengan pegunungan Utara Jawa Tengah.

Ke arah Timur dataran pantai ini makin menyempit dengan lebar antara 20 km di

sebelah Selatan Tegal dan seluruhnya menghilang di sebelah timur Pekalongan.

Antara Weleri dan Kaliwungu dataran pantai ini muncul lagi, berupa hamparan

endapan alluvial Sungai Bodri yang mengalami pertumbuhan maju ke arah Laut

Jawa.

2.1.2.2 Pegunungan Serayu Utara

Zona ini termasuk Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng dan

berada di bagian tengah tengah Utara Jawa Tengah dan merupakan rantai

penghubung antara Zona Bogor di Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di

Jawa Timur. Lebar pegunungan ini antara 30 km 50 km. Di bagian Barat

dibatasi oleh Gunung Slamet (3.429 m) dan bagian Timur tertutup oleh hasil

endapan vulkanik muda dari Gunung Rogojembangan (2.050 m). Garis batas

dengan Zona Bogor adalah jalur antara Prupuk Bumiayu-Ajibarang.

2.1.2.3 Zona Depresi Sentral

Zona ini termasuk zona pusat depresi Jawa dan Zona Randublatung.

Menempati bagian tengah dari Jawa Tengah dan dikenal dengan nama Lembah

Serayu Selatan. Disini mengalir sungai Serayu yang bermata air dari Dieng. Zona

ini meliputi mulai dari daerah Majenang, Ajibarang, Purwokerto, Banjarnegara

sampai Wonosobo. Antara Purwokerto dan Banjarnegara, zona ini mempunyai

12
lebar kurang lebih 15 km. Di sebelah Timur Wonosobo menjadi lebih lebar dan

sebagian ditutupi oleh hasil endapan vulkanik muda dari Gunung Sindoro (3.155

m) dan Gunung Sumbing (3.371 m). Zona ini muncul lagi di dataran Temanggung

- Magelang yang merupakan jalur pertama dari pegunungan Jawa Timur.

2.1.2.4 Pegunungan Serayu Selatan

Zona ini termasuk Domes dan Ridges dalam Zona Pusat Depresi yang

terdiri atas bagian Barat dan Timur. Pada bagian Barat (di daerah Kebanaran,

dengan tinggi puncaknya 360 m), yang merupakan awal dari pengangkatan Zona

Depresi Bandung Jawa Barat atau sebagai struktur baru yang terdapat di Jawa

Tengah. Bagian Timur Pegunungan Serayu Selatan membentuk geantiklin sebagai

akibat dari pengangkatan Zona Depresi Bandung, hal ini dapat dibandingkan

dengan pengangkatan kubah Bayah pada bagian Barat.

Bagian Timur Pegunungan Serayu Selatan seluruhnya terpisah dari bagian

Barat, dipisahkan oleh Lembah Jatilawang, yang dimulai dekat Ajibarang, dimana

sebuah antiklin berkembang dengan baik. Ke arah Timur antiklin ini menjadi

sempit dan terpotong oleh Sungai Serayu yang melintang dengan arah Utara

Selatan. Sebelah Timur Banyumas antiklin berkembang ke arah Timur

membentuk antiklinorium, lebarnya mencapai 30 km di daerah Luk Ulo sampai

Selatan Banjarnegara (Mindangan 1.043 m). Pada tempat ini mengalir Sungai Luh

Ulo yang bermata air dari Gunung Sindoro dan bermuara di Samudra Indonesia.

Ujung paling Timur dari Pegunungan Serayu Selatan berbentuk sebuah dome

(seolah-olah berdiri sendiri) dari Purworejo sampai ke Lembah Sungai Progo dan

dikenal dengan nama Pegunungan Kulon Progo.

13
2.1.2.5 Dataran Pantai Jawa Tengah Selatan

Zona ini termasuk Zona Pusat Depresi Jawa dan Zona Randublatung, lebar

zona ini antara 10 km 25 km. Bagian ini membentuk dataran rendah yang

kontras terhadap pantai Selatan Jawa Barat dan Timur, terletak pada ketinggian

tidak lebih dari 10 meter dari permukaan laut. Jalur dataran ini bergabung dengan

Zona Bandung Jawa Barat. Pada bagian tengah jalur ini terganggu oleh

Pegunungan Karangbolong (475 m), yang secara fisiografis dan struktural sama

dengan Pegunungan Selatan daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Sisa Pegunungan

Selatan ini tenggelam di bawah permukaan air laut antara Nusakambangan dan

muara Sungai Opak.

2.1.3 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembahasan dalan geomorfologi daerah penelitian meliputi satuan

geomorfologi, pola pengaliran, proses geomorfologi, dan stadia daerah.

2.1.3.1 Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian ditentukan melalui

analisis pada peta topografi dengan melihat pola-pola kontur dan kemudian

melakukan sayatan morfometri pada peta topografi. Morfometri adalah pembagian

geomorfologi berdasarkan pada perhitungan kemiringan lereng dan beda tinggi

(van Zuidam (1983) dan van Zuidam & Cancelado (1979)).

Selain itu, dilakukan pula pengukuran sudut kelerengan di lapangan. Hal

itu perlu dilakukan karena peneliti merasa pengukuran berdasarkan sayatan

morfometri pada peta topografi kurang begitu mewakili keadaan yang sebenarnya.

14
Sebagai contoh, terdapat daerah yang mengalami perubahan tata guna lahan,

dahulu merupakan lahan kosong dibudidayakan menjadi perkebunan. Hal itu,

tentunya akan mengubah suatu topografi suatu daerah yang berdampak pada

berubahnya suatu kelerengan.

Berdasarkan hasil perhitungan beda tinggi, kelerengan (morfometri), peta

topografi serta melihat morfogenesa yang ada di daerah penelitian, maka peneliti

menyimpulkan untuk membagi satuan geomorfologi daerah penelitian menjadi 3

tipe relief yakni morfologi bergelombang, perbukitan sampai dengan morfologi

tersayat kuat. Pembagian satuan morfologi daerah penelitian mengacu pada

bentukan lahan berdasarkan genesis dan sistem pewarnaanya menurut klasifikasi

van Zuidam (1983), sehingga mengacu pada klasifikasi ini peneliti menyimpulkan

daerah penelitian termasuk kedalam bentuklahan denudasional. Peneliti membagi

daerah penelitian menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu:

1. Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah Perbukitan Denudasional (D1)

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional (D2)

3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tersayat Kuat Denudasional (D3)

2.1.3.1.1 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah Perbukitan

Denudasional (D1)

Satuan geomorfologi ini meliputi 20% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi daerah Desa Kedungwadas, Desa Citembong dan Desa Besuki. Litologi

penyusunnya berupa batulempung karbonatan dan batupasir karbonatan. Satuan

ini memiliki beda tinggi rata-rata 30,4 meter dengan kelerengan rata-rata 23,8%.

15
Satuan ini dimanfaatkan sebagai pemukiman, persawahan dan ladang oleh

penduduk setempat (Lihat Gambar 2.4.).

2.1.3.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Denudasional (D2)

Satuan geomorfologi ini meliputi 30% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi Desa Karanggayam, Desa Cikedondong dan Desa Bulaksari. Litologi

penyusunnya berupa batupasir karbonatan sisipan batulempung karbonatan dan

batulempung karbonatan. Satuan ini memiliki beda tinggi rata-rata 77,1 meter

dengan kelerengan rata-rata 40%. Satuan ini dimanfaatkan sebagai pemukiman,

persawahan dan ladang oleh penduduk setempat (Lihat Gambar 2.4.).

Gambar 2.4. Satuan geomorfologi bergelombang lemah perbukitan


denudasional (D1) dan satuan geomorfologi perbukitan
denudasional (D2), Lensa menghadap ke timurlaut (Foto
diambil di LP 50).

2.1.3.1.3 Satuan Geomorfologi Perbukitan - Tersayat Kuat Denudasional

(D3)

Satuan geomorfologi ini meliputi 50% dari daerah penelitian yaitu

disekitar daerah Desa Kedunggede, Desa Binangun dan Desa Citepus. Litologi

berupa batugamping, batupasir karbonatan dan batupasir karbonatan. Satuan ini

memiliki beda tinggi rata-rata 87,5 meter dengan kelerengan rata-rata 47,8%.

Faktor pengontrol pada satuan ini adalah proses denudasional berupa pelapukan

16
dan erosional yang cukup intensif. Satuan ini dimanfaatkan sebagai pemukiman,

persawahan dan ladang oleh penduduk setempat serta terdapat kawasan hutan jati

dan hutan pinus perhutani (Lihat Gambar 2.5.).

Gambar 2.5. Satuan geomorfologi perbukitan tersayat kuat (D3). Lensa


menghadap ke timur (Foto diambil dari luar lokasi penelitian
disebelah barat lokasi penelitian).

2.1.3.2 Pola Pengaliran Daerah Penelitian

Pola pengaliran di daerah penelitian dibagi menjadi 2 pola pengaliran

(Lihat Gambar 2.6.). Penentuan pola pengaliran di daerah penelitian berdasarkan

pada pengamatan peta topografi maupun pengamatan lapangan, kedua

pengamatan ini dimaksudkan untuk menentukan jenis pola aliran di daerah

penelitian yang didasarkan pada jenis-jenis pola aliran menurut Howard (1967)

dalam Thornbury (1969) (Lihat Gambar 2.1.).

Pola Pengaliran Dendritik

Pola pengaliran ini meliputi 100% daerah penelitian. Sungai-sungai

yang masuk pola pengaliran ini adalah Kali Ci Lalat, Kali Ci Pondok, Kali

Ci Glagah, Kali Lopasir, Kali Bedagung, Kali Katong, Kali Cidora dan

Kali Kotasari. Pola pengaliran ini berkembang di satuan geomorfologi

dataran, satuan geomorfologi bergelombang lemah perbukitan dan

satuan geomorfologi perbukitan - tersayat kuat denudasional.

17
Gambar 2.6. Peta Pola aliran daerah penelitian

2.1.3.3 Stadia Geomorfologi

Stadia daerah merupakan gambaran tentang bagaimana suatu bentuk

morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya sehingga tingkat

kedewasaan daerah atau stadia daerah tersebut dapat ditentukan dengan melihat

keadaan bentang alam serta kondisi sungai yang mempengaruhi stadia daerah

tersebut.

Kenampakan sungai di daerah penelitian berdasarkan tingkat stadia sungai

menurut Thornbury (1969) dapat dibagi menjadi 2 jenis stadia sungai. Pembagian

jenis stadia sungai didasarkan pada data dan hasil pengamatan di lapangan. Dua

tingkat stadia sungai yang berkembang di daerah penelitian terdiri dari stadia

muda dan stadia dewasa.

18
a. Stadia muda

Stadia muda pada daerah penelitian dicirikan dengan proses

erosional secara vertikal lebih dominan daripada secara lateral, lembah

berbentuk V, dan bentuk sungai relatif lurus, debit sungai relatif sedikit

dengan aliran yang cukup deras dan beuim dijumpainya gosong sungai.

Stadia sungai ini terdapat di kali Katong, kali Binangun.

Gambar 2.7. Kenampakan aliran Kali Binangun dengan sifat erosional vertikal
membentuk seperti huruf V, lensa menghadap ke barat (foto
diambil di LP 38).
b. Stadia dewasa

Stadia dewasa pada daerah penelitian dicirikan dengan proses

erosional secara lateral lebih dominan daripada secara vertikal, lembah

berbentuk U, debit air cukup besar dengan aliran yang tidak begitu deras,

juga dijumpai gosong sungai baik dibagian tengah sungai ataupun

sampignya dan sudah mengalami proses meander sungai. Stadia sungai

ini terdapat Kali Bedagung dan Kali Lopasir.

19
Gambar 2.8. Kenampakan aliran Kali Bedagung dengan sifat erosional
horizontal yang membentuk seperti huruf U, lensa menghadap ke
timur (foto diambil di LP 30).

Pada dasarnya stadia daerah merupakan gambaran bagaimana suatu bentuk

morfologi telah berubah dari bentuk morfologi aslinya. Tingkat kedewasaan

daerah atau stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat keadaan bentang alam

dan kondisi sungai yang terdapat di daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan

keadaan morfologi di lapangan, ditemukan intensitas proses eksogenik dan bukti-

bukti lain dilapangan yaitu adanya proses penelanjangan akibat denudasional

dimana proses ini menyebabkan batuan dasar di daerah penelitian tersingkap

dengan baik. Menurut Lobeck (1939) stadia pada daerah penelitian termasuk

dalam daerah dengan stadia maturity, morfologi yang relatif dataran dan

bergelombang kuat. Selain proses eksogen, proses endogen juga berkembang di

daerah penelitian.

20
Keterangan : : Daerah penelitian
Gambar 2.9. Stadia daerah menurut Lobeck (1939),

2.2 Stratigrafi

Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan

dan kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dengan ruang dan waktu,

sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian batuan (Sandi Stratigrafi

Indonesia, 1996).

2.2.1 Dasar Teori Stratigrafi

Penggolongan stratigrafi ialah pengelompokan bersistem batuan

menurut berbagai cara, untuk mempermudah pemerian aturan dan hubungan

batuan yang satu terhadap lainnya. Kelompok bersistem tersebut di atas dikenal

sebagai Satuan Stratigrafi (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

21
Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri

satuan tersebut sebagaimana didefinisikan batas satuan stratigrafi jenis tertentu

tidak harus berhimpit dengan batas satuan satuan stratigrafi jenis lain, bahkan

dapat memotong satu sama lain (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Terdapat

beberapa prinsip dasar yang berlaku didalam pembahasan mengenai stratigrafi,

yaitu:

1. Hukum atau prinsip yang dikemukakan oleh Steno (1669 dalam White 1968),

terdiri dari:

Prinsip Superposisi (Superposition Of Strata)

Didalam suatu urutan perlapisan batuan maka lapisan paling bawah relatif

lebih tua umurnya daripada lapisan yang berada diatasnya selama belum

mengalami deformasi. Konsep ini berlaku untuk perlapisan berurutan.

Prinsip Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity)

Lapisan yang diendapkan oleh air terbentuk terus-menerus secara lateral

dan hanya membaji pada tepian pengendapan pada masa cekungan itu

terbentuk, tapi lapisan tersebut di pisahkan oleh lembah atau ada bidang

yang tererosi.

Prinsip Akumulasi Vertikal (Original Horizontality)

Lapisan-lapisan sedimen diendapkan mendekati horisontal dan pada

dasarnya sejajar dengan bidang permukaan dimana lapisan sedimen

tersebut diendapkan. Susunan lapisan yang kedudukannya tidak horisontal

berarti telah mengalami proses geologi lain setelah pengendapannya,

misalnya dipengaruhi oleh gaya tektonik.

22
2. Hukum Intrusi/Penerobosan (Cross Cutting Relationship) oleh Potter dan

Robinson (1878). Suatu intrusi (penerobosan) adalah lebih muda daripada

batuan yang diterobosnya.

3. Hukum uniformitarisme oleh Hutton (1795), yaitu proses-proses yang terjadi

pada masa lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang

terjadi sekarang, atau dengan kata lain masa kini merupakan kunci dari masa

lampau (the present is the key to the past). Maksudnya adalah bahwa

proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai

dasar pembahasan proses geologi masa lampau.

4. Hukum V oleh Ragan (1973), Hukum ini menyatakan hubungan antara

lapisan yang mempunyai kemiringan dengan relief topografi yang

menghasilkan suatu pola singkapan. Morfologi yang berbeda akan

memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan

tebal dan dip yang sama. Hukum V digunakan untuk mengetahui pola

penyebaran dari singkapan sehingga memudahkan untuk mendeterminasi

kearah mana kira-kira singkapan berlanjut.

a) Bidang horizontal, garis kontur pada topografi dapat dianggap

sebagai garis khayal bidang permukaan horizontal, oleh karena

itu lapisan horizontal akan mengikuti pola garis kontur

topografi,pola ini sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi, maka

singkapan batuan yang tersingkap akan membentuk huruf V

terbalik mengikuti pola garis kontur (Lihat Gambar 2.10).

b) Bidang perlapisan yang berarah berlawanan dengan kemiringan

23
lereng, seperti pada bidang horizontal diatas, dimana arah dip

belawanan arah dengan kemiringan lereng, pola yang didapat pada

bidang horizontal akan mengalami berubahan menjadi V dengan

sudut tumpul (Lihat Gambar 2.10). Dengan kemiringan lapisan

batuan yang semakin curam, singkapan perlapisan batuan akan

semakin sulit tercermin pada keadaan topografi.

c) Bidang perlapisan vertikal, khusus untuk kedudukan batuan

dengan dip 90, singkapan batuan akan memperlihatkan pola lurus

dan sejajar dengan strike, tanpa mengikuti keadaan topografi,

juga tidak membentuk pola V, dengan demikian bidang

perlapisan ini tidak dipengaruhi keadaan dari topografi pada peta

(Lihat Gambar 2.10).

d) Bidang perlapisan yang berarah sama dengan kemiringan lereng,

terdapat 3 permodelan pada bagian ini, yaitu tergantung dari

hubungan antara sudut kemiringan batuan dan juga tingkat

kecuraman lereng, jika kemiringan perlapisan batuan lebih curam

dari kemiringan lereng, maka akan membentuk pola V (Lihat

Gambar 2.10), namun jika kemiringan perlapisan batuan dan sudut

kemiringan lereng hampir sama, maka pola batuan yang tersingkap

tidak akan memotong lembah maupun membentuk pola V,

melainkan membentuk pola tegak lurus menerus seperti tiang sampai

ke atas (Lihat Gambar 2.10), jika kemiringan perlapisan batuan

lebih landai dari kemiringan lereng (hampir sejajar), namun masih

24
searah dengan kemiringan lereng, maka akan membentuk pola V

terbalik (Lihat Gambar 2.10).

Gambar 2.10. Ekspresi Hukum V yang menunjukkan hubungan


kedudukan lapisan dengan morfologi (Ragan, 1973).
5. Hukum Fasies sedimen oleh Selley (1978). Yaitu suatu kelompok litologi

dengan ciri ciri yang khas yang merupakan hasil dari suatu lingkungan

pengendapan tertentu baik aspek fisik, kimia, atau biologi suatu endapan dalam

kesatuan waktu. dua buah batuan yang diendapkan pada satu waktu dikatakan

beda fasies apabila berbeda fisik, kimia, biologi.

2.2.2 Dasar Teori Pemerian Batuan

Pemerian nama batuan sangat berpengaruh dalam menetukan stratigrafi

daerah penelitian, hal ini sangat membantu dalam penentuan nama formasi

sehingga peneliti dimudahkan untuk menetukan umur pada satuan batuan yang

tidak memiliki kandungan fosil untuk dianalisa kandungannya. Dalam

menentukan nama batuan pada daerah penelitian, peneliti menggunakan dua

25
metode, yakni dengan cara pemerian langsung di lapangan secara megaskopis

(petrologi), kemudian dengan sayatan tipis secara mikroskopis (petrografi).

2.2.2.1 Dasar Teori Petrologi

Pada dasarnya konsep dari analisis petrologi ialah pemerian batuan yang

dilakukan dengan cara pendeskripsian secara megaskopis, berdasarkan apa yang

terlihat oleh mata dan bantuan lup, pada pemerian dengan metode ini peneliti

menggunakan beberapa klasifikasi dari peneliti terdahulu untuk memudahkan

proses pemerian, seperti klasifikasi pemerian ukuran butir (Lihat Tabel 2.4.) pada

skala Wentworth (1992) dan klasifikasi Penggolongan batuan sedimen utama

serta proses pembentukannya (Lihat Gambar 2.11.) Koesoemadinata (1980) dalam

Suharwanto (2010).

2.2.2.2 Dasar Teori Petrografi

Analisa petrografi ialah analisa pemerian batuan melalui alat bantu berupa

mikroskop dengan menggunakan sayatan tipis, hal ini bertujuan untuk membantu

peneliti dalam hal menentukan pemerian litologi yang lebih detail lagi, hal ini

dikarenakan pada analisa ini mineral-mineral yang tidak tampak oleh pengamatan

secara langsung ataupun dengan bantuan lup akan dapat teramati dengan baik

pada mikroskop. Pada pemerian dengan metode ini peneliti menggunakan

beberapa klasifikasi dari peneliti terdahulu untuk memudahkan proses pemerian,

seperti klasifikasi untuk penamaan batuan campuran silisiklastik-karbonat (Lihat

Tabel 2.5.) menurut Mount (1985) dan klasifikasi batuan karbonat (Lihat Tabel

2.6) menurut Dunham (1962) dalam Wayne (2008).

26
Tabel 2.4. Skala Wentworth (1992, modifikasi).

Gambar 2.12. Penggolongan batuan sedimen utama serta proses pembentukannya


Koesoemadinata (1981) dalam Suharwanto (2010).

27
Tabel 2.5. Klasifikasi untuk penamaan batuan campuran silisiklastik-karbonat
menurut Mount (1985).

Tabel 2.6. Klasifikasi batuan karbonat (Dunham, 1962 dalam Wayne, 2008).

2.2.3 Dasar Teori Paleontologi

Analisa fosil juga penting dalam menentukan stratigrafi penelitian, analisa

ini berperan penting dalam hal menentukan kisaran umur suatu batuan dan juga

lingkungan pengendapannya. Dalam hal menentukan kisaran umur suatu batuan

peneliti menggunakan analisa mikrofosil foraminifera plangtonik, dengan

28
mencocokan kenampakan fosil pada mikroskop menggunakan buku penamaan

manual Postuma, (1971), hasil penamaan fosil yang didapat dimasukkan kedalam

tabel dan ditentukan kisaran umurnya dengan melihat kemunculan fosil awal

paling akhir, dan kemunculan fosil akhir paling awal.

Untuk menentukan lingkungan pengendapan suatu batuan peneliti

menggunakan analisa mikrofosil bentonik dengan menggunakan zona bathymetri

menurut Bandy (1967), tata cara analisanya sama dengan analisa kisaran umur,

nama fosil yang telah dianalisis dimasukkan kedalam tabel dan ditentukan

lingkungan pengendapan dari keterdapatan fosilnya, yaitu kedalaman awal paling

akhir, dan kedalaman akhir paling awal.

2.2.4 Stratigrafi Regional

Pada peta geologi regional lembar Majenang tersingkap satuan batuan

yang berumur Oligosen hingga Holosen. Yang terbagi atas endapan permukaan,

batuan sedimen dan batuan hasil aktifitas gunung api Kastowo (1975) Pada daerah

penelitian hanya dijumpai batuan sedimen yang berurutan dari tua ke muda adalah

Formasi Rambatan, Formasi Halang dan Formasi Kumbang (Lihat Gambar 2.14.).

2.2.4.1 Formasi Rambatan

Formasi Rambatan terdiri dari batupasir karbonatan dan konglomerat yang

bersisipan tipis dengan napal dan serpih menempati bagian bawah satuan,

sedangkan pada bagian atas satuan terdiri dari batupasir karbonatan berwarna

kelabu terang sampai kebiruan yang mengandung kepingan andesit. Terdapat fosil

foraminifera besar pada Formasi Rambatan yang menunjukkan Formasi Rambatan

berumur Miosen Tengah.

29
Keterangan : = daerah penelitian
Gambar 2.14. Kolom Stratigrafi Regional Daerah Penelitian (Kastowo 1975).

2.2.4.2 Formasi Halang

Formasi Halang bagian atas tersusun oleh Batupasir tufan, konglomerat,

napal, batulempung, sedangkan pada bagian bawah terdapat breksi bersusun

andesit, batupasir wacke yang merupakan runtuhan diendapkan sebagai sedimen

turbidit pada zona bahtyal atas, struktur sedimen berupa graded bedding,

laminasi, cross bedding, flute cast dan load cast. Setempat ditemukan kandungan

30
fosil foraminifera dan moluska. Formasi ini tertindih tidak selaras Formasi

Kumbang dan menindih selaras Formasi Lawak. Umur diduga Miosen Tengah-

Miosen Akhir. Ketebalan satuan mencapai 2400 m dan menipis ke arah timur.

2.2.4.3 Formasi Kumbang

Tersusun oleh breksi gunungapi, lava, retas (dike) dan tuf bersusunan

andesit basal; batupasir tuf dan konglomerat serta sisipan lapisan tipis magnetit,

satuan umumnya pejal dengan ketebalan maksimal lebih kurang 2000 m dan

menipis ke arah timur. Formasi Kumbang diperkirakan berumur Miosen Akhir

Pliosen Awal.

2.2.5 Stratigrafi Geologi Daerah Penelitian

Secara geologi regional lembar majenang (Kastowo, 1975), dan lembar

pangandaran (Simandjuntak dan Surono, 1992) di daerah penelitian terdapat 3

Formasi dari tua ke muda, yaitu: Formasi Rambatan, Formasi Halang dan Formasi

Kumbang. Pembahasan stratigrafi daerah penelitian dikelompokkan berdasarkan

ciri fisik litologi yang dapat diamati di lapangan menjadi beberapa satuan batuan

dan berpedoman pada azas-azas yang tercantum dalam Sandi Stratigrafi Indonesia

yaitu litostratigrafi atau penamaan satuan tidak resmi. Penamaan satuan batuan ini

berdasarkan pada litologi yang dominan pada penyusun satuan tersebut dan diikuti

dengan nama formasinya. Berdasarkan pengamatan pada lapangan serta

pendeskripsian pada laboratorium (analisis petrografi) dengan acuan

pendeskripsian batuan menggunakan klasifikasi peneliti dan juga berpedoman

pada hukum-hukum dasar geologi dan beberapa penelitian.

31
Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari empat satuan batuan berdasarkan

pada kesamaan ciri fisik litologi yang dapat diamati di lapangan dan mengacu

pada geologi regional daerah penelitian. Stratigrafi yang ada di daerah penelitian

diinterpretasikan berdasarkan, Peta geologi regional, dan penelitian lapangan

geologi. Proses penamaan keempat satuan batuan tersebut mengacu pada

litostratigrafi tidak resmi (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Pasal 14).

Keempat satuan batuan tidak resmi di daerah penelitian dari tua ke muda yaitu :

1. Satuan Batugamping Rambatan

2. Satuan Batulempung Halang

3. Satuan Batupasir Karbonatan Halang

4. Satuan Batupasir Kumbang

2.2.5.1 Satuan Batugamping Rambatan

Satuan ini disusun oleh batugamping. Ciri petrologi batugamping warna

lapuk kuning kehitaman, warna segar kuning cerah, tekstur klastik dengan ukuran

butir sedang, struktur berlapis, komposisi mineral karbonat dan bereaksi dengan

HCl (Lihat Gambar 2.15.).

Satuan ini menempati 31% dari luas daerah penelitian dan tersebar dengan

arah baratlaut tenggara di bagian utara peta menempati desa kedunggede, desa

cidora dan desa lumbir. Pada daerah penelitian satuan ini menempati unit satuan

geomorfologi perbukitan tersayat kuat denudasional. Berdasarkan rekonstruksi

penampang geologi A-B satuan ini memiliki ketebalan 375 meter.

32
Gambar 2.15. Batugamping (lensa menghadap tenggara), foto diambil di lp 56.

Secara petrografis pada sayatan tipis pada lokasi pengamatan 56

(batugamping), berwarna coklat kekuningan pada nikol sejajar dan warna coklat

kehitaman pada nikol silang, klastik dengan ukuran material penyusun 0,05-1 mm

yang tersusun oleh fosil, lumpur karbonat dan semen (lihat lampiran petrografi).

Mengacu pada klasifikasi Dunham (1962) termasuk tipe batuan packstone.

Penentuan umur pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil

foraminifera plangtonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan batugamping rambatan mempunyai kisaran umur N9-N13

(Miosen Tengah) yang didasarkan pada hadirnya Globorotalia Mayeri dan

Globigerinoides Subquadratus (Lihat Tabel 2.7.).

Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini didasarkan pada analisis

foraminifera bentonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan ini terendapkan pada bathial atas yang didasarkan pada

hadirnya Siphonina Bradaya, Planulina Ariminensis dan Sphaeroidina Bulloides

(Lihat Tabel 2.8.).

33
Tabel 2.7. Kisaran umur satuan batugamping rambatan berdasarkan klasifikasi
Blow (1969)

Tabel 2.8. Kisaran lingkungan pengendapan satuan batugamping rambatan


berdasarkan klasifikasi Bandy (1967)

Penentuan hubungan stratigrafi antar satuan batuan dapat melalui

penampang geologi maupun kenampakan di lapangan. Berdasarkan pada

rekonstruksi penampang A-B (Lihat Lampiran Lepas 2), maka peneliti

menyimpulkan hubungan stratigrafi antara satuan batugamping rambatan dengan

34
satuan batulempung karbonatan halang dan batupasir karbonatan halang adalah

selaras (Lihat Tabel 2.9.).

Tabel 2.9. Kolom litologi satuan batugamping rambatan (tidak dalam skala
sebenarnya

2.2.5.2 Satuan Batulempung Karbonatan Halang

Satuan ini disusun oleh batulempung karbonatan. Ciri litologi

batulempung karbonatan petrologi berupa warna lapuk coklat kemerahan, warna

segar abu - abu cerah, tekstur klastik dengan ukuran butir sangat halus, stuktur

berlapis dan bereaksi dengan HCl. (Lihat Gambar 2.16.).

Satuan ini menempati 13% dari luas daerah penelitian dan tersebar dengan

arah barat timur peta menempati desa citembong, desa jeruklegi, desa besuki

dan desa karanggayam. Pada daerah penelitian satuan ini menempati unit satuan

geomorfologi bergelombang lemah serta satuan geomorfologi perbukitan.

35
Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi A-B satuan ini memiliki ketebalan

425 meter.

Gambar 2.16. Batulempung Karbonatan (lensa menghadap utara), foto diambil di


LP 16.

Secara petrografis pada sayatan tipis pada lokasi pengamatan 16

(batulempung karbonatan), berwarna putih kekuningan pada nikol sejajar dan

warna putih kehitaman pada nikol silang, klastik dengan ukuran material

penyusun 0,04-0,2 mm yang tersusun oleh fosil, kalsit, mineral opak, lumpur

karbonat dan mineral lempung (lihat lampiran petrografi). Mengacu pada

klasifikasi Pettijohn (1975) termasuk tipe batuan marl.

Penentuan umur pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil

foraminifera plangtonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan batugamping rambatan mempunyai kisaran umur N14-N15

(Miosen Tengah) yang didasarkan pada hadirnya Globigerinoides Immaturus,

Globorotalia Menardii dan Globorotalia Siakensis (Lihat Tabel 2.10.).

Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini didasarkan pada analisis

foraminifera bentonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan ini terendapkan pada neritik tengah-bathial atas yang

36
didasarkan pada hadirnya Nodosaria, Siphonina Bradaya, Sphaeroidina Bulloides

dan Cibicides Corpulentus (Lihat Tabel 2.11.).

Tabel 2.10. Kisaran umur satuan batulempung karbonatan halang berdasarkan


klasifikasi Blow (1969)

Tabel 2.11. Kisaran lingkungan pengendapan satuan batulempung karbonatan


halang berdasarkan klasifikasi Bandy (1967)

Penentuan hubungan stratigrafi antar satuan batuan dapat melalui

penampang geologi maupun kenampakan di lapangan. Berdasarkan pada

37
rekonstruksi penampang A-B (Lihat Lampiran Lepas 2), maka peneliti

menyimpulkan hubungan stratigrafi antara satuan batulempung karbonatan halang

dengan batugamping rambatan dibawahnya adalah selaras sedangkan hubungan

stratigfrafi dengan satuan batupasir karbonatan halang adalah selaras menjari

(Lihat Tabel 2.12.).

Tabel 2.12. Kolom litologi satuan batulempung karbonatan halang (tidak dalam
skala sebenarnya

2.2.5.3 Satuan Batupasir Karbonatan Halang

Satuan ini disusun oleh litologi batupasir karbonatan dan dijumpai

batupasir sisipan lempung karbonatan. Ciri petrologi warna lapuk kehitaman,

warna segar abu - abu gelap, kecoklatan, tekstur klastik dengan ukuran butir

sedang kasar, struktur berlapis dan masif serta bereaksi dengan HCl. Ciri

petrologi sisipan batulempung karbonatan pada batupasir karbonatan warna lapuk

38
coklat kemerahan, warna segar abu - abu kekuningan, tekstur klastik dengan

ukuran butir lempung, struktur berlapis dan bereaksi dengan HCl (Lihat Gambar

2.17.).

Satuan ini menempati 39% dari luas daerah penelitian dan tersebar dengan

arah barat timur peta menempati desa citembong, desa bantarsari, desa jeruklegi,

desa cidora dan desa karanggayam. Pada daerah penelitian satuan ini menempati

unit satuan geomorfologi bergelombang lemah serta satuan geomorfologi

perbukitan. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi A-B satuan ini memiliki

ketebalan 575 meter.

Gambar 2.17. Batupasir Karbonatan Halang (lensa menghadap baratdaya), foto


diambil di LP 42.

Secara petrografis pada sayatan tipis pada lokasi pengamatan 44 (batupasir

karbonatan), berwarna kuning kecoklatan pada nikol sejajar dan warna kuning

kehitaman pada nikol silang, klastik dengan ukuran material penyusun 0,1-0,3

mm yang tersusun oleh feldspar, kuarsa, kalsit, mineral opak dan mineral lempung

(lihat lampiran petrografi). Mengacu pada klasifikasi Pettijohn (1975) yang

dimodifikasi termasuk tipe batuan calcareous arvosic arenite.

39
Penentuan umur pada satuan ini berdasarkan analisis kandungan fosil

foraminifera plangtonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan batugamping rambatan mempunyai kisaran umur N14-N17

(Miosen Tengah Miosen Akhir) yang didasarkan pada hadirnya Globigerinoides

Immaturus dan Globorotalia Lenguaensis (Lihat Tabel 2.13.).

Tabel 2.13. Kisaran umur satuan batupasir karbonatan halang berdasarkan


klasifikasi Blow (1969)

Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini didasarkan pada analisis

foraminifera bentonik. Berdasarkan analisis tersebut maka peneliti dapat

memperkirakan satuan ini terendapkan pada neritik tengah-bathial atas yang

didasarkan pada hadirnya Nodosaria, Cibicides Corpulentus dan Sphaeroidina

Bulloides (Lihat Tabel 2.14.).

Penentuan hubungan stratigrafi antar satuan batuan dapat melalui

penampang geologi maupun kenampakan di lapangan. Berdasarkan pada

rekonstruksi penampang A-B (Lihat Lampiran Lepas 2), maka peneliti

menyimpulkan hubungan stratigrafi antara satuan batupasir karbonatan halang

40
dengan batugamping rambatan dibawahnya adalah selaras sedangkan hubungan

stratigfrafi dengan satuan batulempung karbonatan halang adalah selaras menjari

(Lihat Tabel 2.15.).

Tabel 2.14. Kisaran lingkungan pengendapan satuan batupasir karbonatan halang


berdasarkan klasifikasi Bandy (1967)

Tabel 2.15. Kolom litologi satuan batugamping rambatan (tidak dalam skala
sebenarnya

41
2.2.5.4 Satuan Batupasir Kumbang

Satuan ini disusun oleh batupasir dengan ciri petrologi warna lapuk coklat

kehitaman dan warna segar kuning kecoklatan, tekstur klastik dengan ukuran butir

pasir sedang - kasar, struktur berlapis (pada beberapa lokasi pengamatan dijumpai

struktur masif), komposisi berupa mineral silica (Lihat Gambar 2.18.).

Satuan ini menempati 17% dari luas daerah penelitian dan tersebar dengan

arah barat timur disebelah baratdaya peta menempati desa bulaksari, dan desa

cikedongdong. Pada daerah penelitian satuan ini menempati unit satuan

geomorfologi bergelombang lemah perbukitan. Berdasarkan rekonstruksi

penampang geologi A-B satuan ini memiliki ketebalan 300 meter.

Gambar 2.16. Batulempung Karbonatan (lensa menghadap utara), foto diambil di


LP 16.

Secara petrografis pada sayatan tipis pada lokasi pengamatan 16

(batulempung karbonatan), berwarna putih kecoklatan pada nikol sejajar dan

warna putih kehitaman pada nikol silang, klastik dengan ukuran material

penyusun 0,1-0,5 mm yang tersusun oleh fragmen batuan, kuarsa, mineral opak,

mineral lempung dan gelas volkanik (lihat lampiran petrografi). Mengacu pada

42
klasifikasi Pettijohn (1975) termasuk tipe batuan tuffaceous feldsphatic

greywacke.

Penentuan umur pada satuan ini menggunakan metode kesebandingan

litologi dan asosiasinya di lapangan terhadap ciri fisik pada stratigrafi regional

menurut Kastowo (1975) maka satuan ini termasuk Formasi Kumbang yang

berumur Pliosen.

Penentuan lingkungan pengendapan satuan ini didasarkan pada data

lapangan dimana dijumpai batupasir tufan yang tidak bereaksi dengan HCl

sehingga peneliti beranggapan bahwa satuan ini terendapkan di lingkungan darat.

Penentuan hubungan stratigrafi antar satuan batuan dapat melalui

penampang geologi maupun kenampakan di lapangan. Berdasarkan pada

rekonstruksi penampang A-B (Lihat Lampiran Lepas 2), maka peneliti

menyimpulkan hubungan stratigrafi antara satuan batupasir tufan kumbang

dengan satuan batupasir karbonatan halang dibawahnya adalah tidak selaras (Lihat

Tabel 2.16.).

Tabel 2.16. Kolom litologi satuan batupasir tufan kumbang (tidak dalam skala
sebenarnya

43
2.2.5.8 Korelasi Stratigrafi Regional denga Daerah Penelitian

Berdasarkan hasil analisis secara keseluruhan pada satuan batuan yang

terdapat pada daerah penelitian, maka peneliti membuat korelasi antara stratigrafi

daerah penelitian dengan stratigtafi regional oleh peneliti terdahulu yakni

Kastowo (1975) (Lihat Tabel 2.17.).

Tabel 2.17. Korelasi antara stratigrafi daerah penelitian dengan stratigrafi regional
oleh Kastowo (1975) (tidak dalam skala sebenarnya)

2.3 Struktur Geologi

Struktur geologi adaah struktur perubahan lapisan batuan sedimen akibat

tektonik, sehingga tidak lagi memenuhi hukum stratigrafi selain itu struktur

geologi juga merupakan struktur kerak bumi yang merupakan produk deformasi

tektonik.

2.3.1 Dasar Teori Tektonik

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat ditentukan

berdasarkan pada pengamatan dan pengkajian peta geologi regional;interpretasi

44
peta topografi; dan yang paling utama adalah data hasil penelitian langsung di

lapangan yang berupa catatan, foto, dan pengukuran dari datadata struktur dan

unsurunsur penyertanya yang ada pada daerah penelitian. Dalam pemberian

nama struktur didasarkan pada nama geografis, baik berupa nama desa maupun

nama sungai yang dilewati oleh struktur geologi tersebut.

Dalam mempelajari struktur yang berkembang pada daerah penelitian

dilakukan pendekatan dengan model struktur yang dikemukakan oleh

Harding, dkk (1973) (Lihat Gambar 2.17). Konsep tersebut menerangkan

mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi

dan ekstension yang disebabkan oleh tektonik.

Gambar 2.17. Model struktur geologi (Harding, dkk 1973).

2.3.2 Struktur Lipatan

Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang ditunjukkan

sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di

45
dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam mekanisme gaya yaitu

buckling (melipat) dan bending (pelengkungan). (Lihat Gambar 2.18. dan Gambar

2.19).

Struktur lipatan di daerah penelitian berupa antiklin dengan sumbu relatif

baratlaut tenggara. Untuk merekonstruksi lipatan digunakan metode arcmethod

dan free hand method. Sedangkan untuk mengetahui nama dan jenis lipatan

dilakukan analisis dengan menggunakan klasifikasi Fleuty (1964, dalam Ragan,

1973) yang didasarkan pada sudut antara kedua sayap lipatan (interlimb angle)

(Lihat Tabel 2.18).

Gambar 2.18. Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya


suatu lipatan (Prastistho, 1993)

46
Gambar 2.19. Bagian-bagian dari suatu lipatan (Prastistho, 1993)

Tabel 2.18. Klasifikasi lipatan berdasarkan Interlimb Angle ( Fleuty,


1964 dalam Ragan, 1973 )
Interlimb Angle Description Fold

180 - 120 Gentle

120 - 70 Open

70 - 30 Close

30 - 0 Tight

0 Isoclinal

Negative Mushroom

Pada daerah penelitian dijumpai struktur lipatan berupa antiklin dengan

sumbu relatif berarah baratlaut tenggara, jurus dan kemiringan batuan yang ada

disekitar sumbu antiklin saling bertolak belakang dengan kedudukan umum sayap

timurlaut N290E/45 dan sayap baratdayadengan kedudukan N118E/37.

Sumbu ini berada pada satuan tertua di daerah penelitian, yakni batugamping

Rambatan.

47
Berdasarkan hasil analisis didapatkan interlimb angle dari lipatan tersebut

adalah 98 sehingga berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964 dalam Ragan, 1973)

dimasukkan kedalam jenis lipatan Open Fold (Lihat Gambar 2.20.).

Gambar 2.20. Sudut antar sayap antiklin Cidora

2.4 Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan pada penelitian lapangan sejarah geologi daerah penelitian

dimulai pada awal Miosen Tengah (N9) dengan diendapkannya satuan

batugamping Rambatan pada lingkungan Neritik Luar Bathial Atas (100 500

m) pada suatu cekungan dengan litologi berupa batugamping yang diendapkan

sampai akhir Miosen Tengah (N13).

Setelah pengendapan satuan batugamping Rambatan kemudian

terendapkan secara selaras satuan batulempung karbonatan Halang pada akhir

Miosen Tengah (N14) pada lingkungan Neritik Tengah Bathial Atas (90 500

m) dengan litologi berupa batulempung karbonatan serta dijumpai sisipan

batupasir karbonatan di beberapa lokasi pengamatan yang mengalami

pengendapan sampai awal Miosen Akhir (N15), satuan ini memiliki hubungan

selaras menjari dengan satuan batupasir karbonatan Halang yang juga dimulai

pada akhir Miosen Tengah (N14) pada lingkungan Neritik Tengah Bathial Atas

48
(90 500 m) dengan litologi berupa batupasir karbonatan serta dijumpai sisipan

batulempung karbonatan di beberapa lokasi pengamatan yang mengalami

pengendapan sampai akhir Miosen Akhir (N17).

Setelah proses pengendapan satuan batupasir karbonatan Halang, terjadi

kegiatan tektonik pada daerah penelitian sehingga mengakibatkan perlipatan yang

membentuk antiklin Cidora yang melipatkan satuan batugamping Rambatan,

satuan batulempung karbonatan Halang dan satuan batupasir karbonatan Halang

dengan arah sumbu relatif baratlaut tenggara.

Setelah proses tektonik yang mengakibatkan terbentuknya antiklin Cidora

kemudian diendapkan secara tidak selaras satuan batupasir tufan Kumbang yang

seakan-akan menindih satuan batupasir karbonatan Halang pada Pliosen Awal.

Setelah itu daerah penelitian mengalami proses eksogenik yang cukup

intensif hingga saat ini berupa pelapukan, erosi, transportasi serta sedimentasi

yang menyebabkan tersingkapnya litologi dan memperlihatkan bentangalam

ubahan, sehingga tampak morfologi yang seperti sekarang dimana lebih dominan

di kontrol oleh proses eksogenik.

2.5 Geologi Lingkungan

Geologi lingkungan adalah cabang ilmu geologi terapan yang membahas

tentang pemanfaatan sumber kekayaan bumi oleh manusia dan berhubungan erat

dengan masalah perencanaan fisik, pengembangan wilayah dan usaha,

pengendalian lingkungan hidup dengan melihat aspek geologi yang ada di

suatu daerah. Geologi lingkungan dalam pengembangan dan peruntukan suatu

49
wilayah mempertimbangkan reaksi lingkungan dan benturan yang mungkin

timbul sebagai akibat peruntukan tersebut. Keadaan lingkungan dikontrol kuat

oleh beberapa aspek geologi yang mencakup sifat keteknikan, tanah dan

batuan terhadap kemantapan lereng, letak dan potensi batuan untuk bahan

galian, letak endapan potensial dan potensi bencana alam akibat pengaruh

kondisi geologinya. Perencanaan dengan tinjauan geologi lingkungan akan

membantu dalam pemanfaatan lingkungan seoptimal mungkin dan membantu

mengurangi dan mencegah semaksimal mungkin pengaruh negatif dari

pemanfaatan lingkungan. Dalam usaha peningkatan potensi yang dimiliki

daerah Kawunganten dan sekitarnya, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten

Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, khususnya yang berkaitan dengan potensi

geologi yang berhubungan dengan lingkungan dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi sumber daya geologi yang ada.

2.5.1 Sumber Daya Alam

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang dapat

dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya baik

primer maupun sekunder, termasuk yang telah digunakan pada masa kini maupun

pada masa yang akan datang. Pada daerah penelitian dijumpai dua jenis sumber

daya alam berupa sumber daya tanah dan sumber daya air, untuk sumber daya

tanah pada daerah penelitian dimanfaatkan oleh warga sebagai daerah pemukiman

(Lihat Gambar 2.21.), sawah, kebun/ladang (Lihat Gambar 2.23.) dan juga

dimanfaatkan sebagai kawasan hutan oleh perhutani yang ditanami jati dan pinus

(Lihat Gambar 2.23.) sedangkan untuk sumber daya air pada daerah penelitian

50
dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan juga air

minum dan juga dimanfaatkan untuk irigasi sawah (Lihat Gambar 2.24.).

Gambar 2.21. Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai daerah pemukiman (foto
diambil di desa citembong, lensa menghadap timurlaut).

Gambar 2.22. Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai sawah/ladang (foto


diambil di desa besuki, lensa menghadap utara).

Gambar 2.23. Pemanfaatan sumber daya tanah sebagai kebun oleh perhutani (foto
diambil di desa citembong, lensa menghadap selatan).

51
Gambar 2.24. Pemanfaatan sumber daya air sebagai irigasi (foto diambil di desa
Besuki, lensa menghadap barat).

Tabel 2.19. Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Daerah Penelitian


Sumber Daya
LP Pemanfaatan Keterangan
Alam
Pada daerah ini dijumpai litologi berupa
batulempung karbonatan serta batupasir
karbonatan, pemukiman menempati
10% daerah penelitian. Kurangnya
45 Tanah Pemukiman
control struktur pada daerah penelitian
sehingga aman bagi masyarakat unutk
menjadikan wilayah ini sebagai daerah
pemukiman.
Litologi yang berkembang pada daerah
pemanfaatan ini ialah batulempung
32 Tanah Sawah/Ladang karbonatan serta batupasir karbonatan,
pemukiman menempati 25% daerah
penelitian.
Dijumpai litologi berupa batugamping,
wilayah ini dimanfaatkan oleh perhutani
sebagai kebun produksi baik berupa
hutan jati maupun hutan pinus, pada
52 Tanah Perkebunan
daerah ini didominasi oleh batugamping
sehingga baik untuk perkembangan
tanaman jati. Daerah pemanfaatan ini
menempati 65% daerah penelitian.
Pemanfaatan air ini berada di aliran
sungai manggis yang berarah barat-
timur, daerah ini menempati litologi
27 Air Irigasi
berupa batupasir karbonatan yang
dialirkan ke sawah. Daerah pemanfaatan
ini menempati 10% daerah penelitian.

52
2.5.2 Bencana Alam

Bencana alam merupakan suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam,

manusia atau oleh kedua-duanya (Sampoerno, 1979).

Bencana alam yang dijumpai di daerah penelitian berupa rusaknya jalan

raya, hal ini diakibatkan oleh kondisi litologi yang berfraksi halus serta

penggunaan jalan yang berlebihan oleh masyarakat berupa penggunaan jalan raya

dengan beban yang sangat berat sehingga berpengaruh terhadap kegeologian

teknik.

53

Anda mungkin juga menyukai