Anda di halaman 1dari 7

ACARA IV

MENDENTIFIKASI BENTUKLAHAN ASAL PROSES DENUDASIONAL

SHOFA EL KARERA
15405241038
I. Tujuan
1. Mampu mengidentifikasi bentuklahan asal proses denudasional
berdasarkan :
a. Relief
b. Pola aliran

II. Dasar Teori


Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang,
sehingga denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi.
Denudasi cendurung akan menurunkan bagian permukaan bumi yang
positif hingga mencapai bentuk permukaan bumi yang hampir datar
membentuk dataran nyaris (pineplain). Bentuklahan denudasional tidak
terlepas dari proses pelapukan, erosi dan gerak pencampakan massa
batuan, serta pengendapan. Akibat adanya gaya grafitasi yang bekerja
terhadap fragmen batuan hasil pelapukan tersebut, terjadilah suatu gerak
massa batuan yang dapat berupa jatuh bebas (fall), longsoran (slide),
menggelinding (roll), rayapan (creep), dan aliran (flow) dari fragmen
batuan tersebut menuruni lereng kemudian diendapkan pada tempat yang
lebih rendah (Suharsono, 2004, dalam Pramono dan Ashari, 2004)
Bentuk-bentuk denudasional terdapat pada daerah yang sangat
luas, terutama terdapat di daerah berbatuan lunak dan kondisi iklim
basah yang bentuk strukturalnya tidak dapat bertahan lama. Bentuklahan
denudasional dapat dibagi berdasarkan karakteristik morfometrik,
kemiringan lereng dan/atau kepadatan aliran/pengikisan, serta litologinya
(Joyosuharto, 1985, dalam Pramono dan Ashari, 2004). Termasuk dalam
katagori bentuklahan denudasional adalah pegunungan/perbukitan
denudasional, peneplain, inselberg, kipas koluvial, lereng kaki, dan lahan
rusak. Karakteristik masing – masing bentuklahan (Suharsono, 1998,
dalam Pramono dan Ashari, 2004) :
1. Pegunungan dan Perbukitan Denudasional
Pegunungan denudasional memiliki topografi bergunung dengan
lereng curam hingga sangat curam (55 hingga > 140%), dan
perbedaan tinggi antara tempat terendah dan tertinggi (relief) lebih dari
500 meter (Pramono dan Ashari, 2004: 112). Bentuklahan ini
mempunyai lembah yang dalam, berdinding terjal dan berbentuk V
karena didominasi oleh proses pendalaman lembah. Tingkat
pengikisan dipengaruhi oleh kondisi litologi, iklim, vegetasi penutup
serta proses erosi yang bekerja pada tempat tersebut.
Perbukitan denudasional mempunyai topografi berbukit dan
bergelombang dengan kemiringan lereng 15 hingga 55%, da
perbedaan tinggi antara 50 hingga <500 m. Bentuk lahan ini umumnya
mengalami pengikisan sedang hingga kecil, tergantung pada kondisi
litologi, iklim, vegetasi penutup baik alami maupun penggunaan
lahannya (Suharsono, 1998, dalam Pramono dan Ashari, 2004).

2. Peneplain
Apabila proses dunadasional bekerja terus menerus pada perbukitan
atau pegunungan, maka permukaan lahan pada daerah tersebut akan
cenderung menurun ketinggiannya dan membentuk suatu permukaan
yang hampir datar (Pramono dan Ashari, 2004: 114). Proses yang
membentuk peneplain adalah fluvial dan gravitasi pada lereng
perbukitan (Goudie, 2004 dalam Pramono dan Ashari, 2004).

3. Inselberg/perbukitan sisa terpisah


Merupakan kenampakan berupa bukit yang berdiri terisolasi dan
muncul secara tajam di atas permukaan dataran yang mengelilinginya
(Goudie, 2004 dalam Pramono dan Ashari, 2004). Inselberg terbentuk
apabila bagian depan (dinding) suatu pegunungan/perbukitan mundur
akibat proses denudasi dan lereng kaki (footslope) bertambah lebar
secara terus menerus sehingga meninggalkan bentuk sisa dengan
lereng dinding bukit sisa yang curam (Pramono dan Ashari, 2004:
114).
4. Kipas koluvial
Kipas koluvial mempunyai topografi berbentuk kerucut/kipas dengan
lereng curam. Material penyusun bentuklahan ini diperoleh dari hasil
pelapukan yang terpindahkan melalui proses gerakan massa
(Pramono dan Ashari, 2004: 116)

5. Lereng kaki (footslope)


Merupakan bentuklahan memanjang dan sempit dengan topografi
landai hingga berombak pada kaki suatu pegunungan/perbukitan. Cirri
utama bentuklahan ini adalah lereng landai, dengan sedikit pengikisan.
Lereng kaki dijumpai pada kaki pegunungan dan lembah (Pramono
dan Ashari, 2004: 117)

6. Lahan rusak
Lahan rusak sering disebut dengan badland, merupakan daerah
dengan lereng curam hingga sangat curam dan terkikis sangat kuat.
Hasil pengikisan ini telah membentuk lembah-lembah yang dalam dan
berdinding curam serta igir-igir tajam da
n membulat (Pramono dan Ashari, 2004: 117)
Struktur Pola Aliran Sungai

Beberapa pola aliran sungai yang banyak dikendalikan oleh struktur-struktur


batuan dasarnya, kekeraan batuan, dan sebagainya. Yaitu:

a. Pola aliran dendritik


Mirip sebuah gambaran batang pohon dengan cabang-cabangnya,
mengalir kesemua arah dan akhirnya menyatu di induk sungai. Terdapat
pada daerah dengan struktur batuan yang homogen (granit) atau lapisan
sedimen horizontal.
b. Pola aliran rektangular
Dibentuk oleh cabang–cabang sungai yang berkelok, berliku-liku, dan
menyambung secara membentuk sudut-sudut tegak lurus. Banyak
dikendalikan oleh pola kekar atau sesar yang juga berpola berpotongan
secara tegak lurus. Dapat terbentuk pada batuan kristalin, batuan keras
berlapis horizontal.
c. Pola aliran trelis
Berbentuk mirip panjang–panjang atau pola tralipagar. Pola ini
merupakan ciri dari sungai yang berada pada batuan yang berlipat dan
miring kuat. Sungai sungai yang lebih besar cenderung mengikuti
singkapan dari batuan lunak dan jurus (subsekuen),cabang-cabang
sungainya yang masuk dari kiri kanannya adalah berjenis obsekuen atau
resekuen. Induk sungai yang memotong arah struktur utama mungkin
karena superposisi.
d. Pola aliran radial
Terjadi dari banyak sungai jenis konsekuen yang sentrifugal dari suatu
puncak, misalnya pegunungan kubah atau gunung api muda. Cekungan
struktur dapat pula membentuk pola aliran radial yang sentripetal
ketengah atau sentrifugal menyebar dari tengah.
e. Pola aliran annular
Aliran yang terbentuk pada daerah kubah struktural yang telah terkikis
dewasa sehingga sungai–sungai besarnya mengalir melingkar
mengikuti struktur dan batuan yang lunak. Sungai-sungai ini jenis
subsekuen. Pola aliran annular dengan demikian merupakan variasi
dari pola aliran trelis

III. Alat dan Bahan


Alat :
1. Alat tulis digunakan untuk menulis dan mencatat praktikum.
2. Drawing pen 0,1 digunakan untuk menggambar peta.
3. Walking board digunakan sebagai alas untuk menulis dan menggambar
peta.
4. Penggaris digunakan untuk membuat legenda.

Bahan :

1. Kertas kalkir digunakan untuk menggambar peta.


2. Peta topografi digunakan sebagai bahan identifikasi.
3. Selotip digunakan untuk merekatkan kertas kalkir dan peta topografi.

IV. Langkah Kerja


1. Mempersiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan
2. Meletakkan potongan peta topografi bentuklahan asal denudasional di
atas walking board, kemudian ditumpuk dengan kertas kalkir, setelah itu
rekatkan kedua kertas tersebut pada walking board dengan
menggunakan selotip
3. Kemudian menggambar kenampakan bentuk asal proses denudasional
pada kertas kalkir dengan menggunakan drawing pen sedikit demi sedikit
4. Setelah selesai menggambar kenampakan, langkah selanjutnya adalah
memberi kode pada kenampakan yang tersedia, kode-kode yang
digunakan adalah sebagai berikut :
D1 : Pegunungan denudasaional
D2 : Perbukitan denudasional
D3 : Bukit sisa
D4 : Bukit terisolasi
D5 : Peneplain
D6 : Dataran koluvial dan alluvial
5. Setelah selesai memberi kode, langkah selanjutnya adalah membuat
legenda pada pojok kanan atas kertas kalkir
6. Setelah semuanya selesai, lepaskan selotip dari walking board

V. Hasil Praktikum

Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan terhadap peta kecamatan


Ponjong. Identifikasi dilakukan untuk menemukan bentuk-bentuklahan asal
denudasional.

Tabel no. 1 kenampakan bentuklahan denudasional

No. Kenampakan Keterangan


1. Relief Inselberg terdapat pada puncak ketinggan
368 mdpl, 421 mdpl, 568 mdpl, 493 mdpl,
338 mdpl, 551 mdpl, 558 mdpl
. Perbukitan pada peta kali ini terdapat
perbukitan pada ketinggian 226 mdpl, 276
mdpl, 314 mdpl

2. Pola aliran Dendritik


Jadi telah teridentifikasi beberapa kenampakan dari peta topografi pada
Kecamatan Ponjong.

1. Perbukitan Sisa (Inselberg)

Yang pertama terdapat kenampakan berupa beberapa Inselberg


atau perbukitan sisa. Perbukitan sisa yang dimaksud disini adalah
kenampakan berupa suatu bukit yang yang berdiri terisolasi dan muncul
secara tajam diatas permukaan daratan yang mengelilinginya.
Kenampakan ini dapat diidentifikasi dengan melihat konturnya yang
melingkar-lingkar namun pada salah satu sisinya terdapat kontur yang
rapat. Dapat dilihat seperti yang terdapat pada ketinggian 368 mdpl, 421
mdpl, 568 mdpl, 493 mdpl, 338 mdpl. Perbukitan sisa ini terbentuk apabila
bagian depan (dinding) suatu pegunungan/perbukitan mundur akibat
proses denudasi dan lereng kaki (footslope) bertambah lebar secara terus
menerus sehingga meninggalkan bentuk sisa dengan lereng dinding bukit
sisa yang curam.

2. Perbukitan denudasional
Perbukitan denudasional adalah perbukitan yang dicirikan dengan
topografi berbukit dan bergelombang dengan dengan kemiringan lereng
15% hingga < 55% dan perbedaan tinggi (relief lokal) antara 50% hingga
<500% meter. Bentuklahan ini juga dicirikan oleh konturnya yang
melingkar dan memiliki kerapatan tinggi pada satu sisi, namun pada sisi
yang lain kerapatan konturnya semakin renggang. Pada peta tersebut
bentuklahan ini dapat kita lihat pada titik 226 mdpl, 276 mdpl, 314 mdpl.
Bentuklahan ini umumnya terbentuk karena mengalami pengikisan
sedang hingga kecil. Pengikisan ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor salah satunya adalah erosi dan gelombang air laut sehigga
terbentuk lereng-lereng yang curam.
Adapun pola aliran pada peta tersebut adalah pola dendritik. Pola
dendritik adalah ciri dari bentuklahan daerah denudasional.
Daftar Pustaka
Pramono, Heru dan Arif Ashari. 2004. Geomorfologi Dasar. Yogyakarta: UNY
Press
Jurnal Bentang Denudasional oleh Upi Supriatna,S.Pd

Anda mungkin juga menyukai