Anda di halaman 1dari 14

JRGI

KARAKTERISTIK BATUAN ULTRABASA PADA KOMPLEKS


OFIOLIT DESA PAKA INDAH KABUPATEN KONAWE UTARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Suryawan Asfar1, Erick S1
1
Jurusan Teknik Geologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Indonesia
Alamat e-mail: Suryawan_tambang@uho.ac.id

ABSTRAK

Batuan ultrabasa pada kompleks ofiolit di Lengan Tenggara Sulawesi memiliki sebaran yang cukup luas
di wilayah Kabupaten Konawe Utara. Secara administratif terletak di Desa Paka Indah, Kecamatan Oheo
Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis terletak pada koordinat
122007’00”-122011’00” Bujur Timur (BT) dan 03021’00”-03024’00” Lintang Selatan (LS). Penelitian
ini bertujuan menentukan karakteristik batuan ultrabasa, jenis magma serta lingkungan pembentuk
batuan ultrabasa yang ada pada daerah penelitian. Penelitian ini dilakukan terhadap kesebalas (11)
contoh batuan ultrabasa dari hasil kegiatan pengeboran kemudian dilakukan analisis mineralogi secara
petrografi dan analisis geokimia menggunaan XRF (X-Ray Flouresence). Dari hasil analisis data
penelitian didapatkan bahwa jenis batuan ultrabasa yang ada pada daerah penelitian terdiri dari dunit,
serpentinite dan peridotit. berdasarkan data oksida utama batuan, batuan ultrabasa pada daerah Paka
Indah memiliki jenis magma ultrabasa dengan SiO2 dan total alkali (K2O + Na2O) yang rendah, dengan
seri magma bersifat thoellitic yang memiliki nilai total alkali (K2O + Na2O) yang rendah dan nilai MgO
dan FeO yang tinggi. Batuan ultrabasa pada daerah penelitian terbentuk pada lingkungan tektonik
pemekaran lantai samudera atau mid oceanic ridge basalt (MORB).
Kata kunci: Karakteristik, Ofiolit, Ultrabasa, Konawe Utara, Petrografi, Geokimia.

Abstract. Ultramafic rocks in the ophiolite complex in Southeast Sulawesi have a fairly wide distribution
in the North Konawe Regency. Administratively it is located in Paka Indah Village, Oheo District,
Konawe Utara Regency, Southeast Sulawesi Province. Geographically located at coordinates
120007'00” – 122011'00" East Longitude (BT) and 03021'00"-03024'00" South Latitude (LS). This study
aims to determine the characteristics of ultramafic rocks, magma types and ultramafic rocks forming
the environment in the study area. This study was conducted on the back (11) samples of ultramafic rock
from the results of drilling activities and then carried out mineralogy analysis in petrography and
geochemical analysis using XRF (X-Ray Fluorescence). From the results of the data analysis, it was
found that the type of ultramafic rocks in the study area consisted of dunite, serpentinite, and peridotite.
Based on the main oxide data, ultramafic rocks in the area of Paka Indah have ultramafic magma types
with low SiO2 and total alkali (K2O + Na2O), with the magma series tholeiitic which has a low total
alkali (K2O + Na2O) and MgO values and High FeO. Ultramafic rocks in the study area are formed in
the tectonic environment of the expansion of the oceanic or basaltic floor (MORB).

Keywords: Characteristics, Ophiolite, Ultramafic, North Konawe, Petrographic, Geochemical

24
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
1. Pendahuluan
Batuan kompleks ofiolit dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi
dinamakan Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan
ultramafik disertai batuan sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik
dominan di Lengan Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke Utara, terutama di
sepanjang pantai Utara Lengan Tenggara Sulawesi. Sekuen ofiolit yang lengkap terdapat di
Lengan Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik, pillow lava dan batuan sedimen pelagis
yang didominasi limestone laut dalam serta interkalasi rijang berlapis. Berdasarkan data
geokimia sabuk ofiolit Sulawesi Timur ini diperkirakan berasal dari mid-oceanic ridge. [1]
East Sulawesi Ophiolite Belt (ESO) berupa kompleks ofiolit dan sedimen pelagik yang
tersebar di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi. Seri ofiolit lengkap dapat ditemukan di
Lengan Timur yang terdiri dari batuan mafik, ultramafik, lava bantal, dan batuan sedimen
pelagik berupa batugamping laut dalam perselingan rijang. Ofiolit ini terdiri dari sekuen dunit,
lherzolit, dan harzburgit, akumulasi ultramafik, gabro, sheeted dykes, dan lava bantal. Asal
dari ESO ini menunjukkan bahwa batuan ini berasal dari lingkungan mid – oceanic ridge, zona
supra-subduction, dan oceanic plateau [2][3]. Hasil dating K- AR menunjukkan ESO berumur
Kapur sampai Eosen. Akan tetapi, diintepretasikan sebagai umur Kapur, secara spesifik
Cenomanian [2].
Pada umumnya batuan mafik-ultramafic di Lengan Tenggara Sulawesi sudah mengalami
pensesaran dan deformasi kuat. Dibeberapa tempat batuan ini bercampur dengan batuan yang
berasal dari kepingan benua membentuk batuan campur aduk (mélange). Batuan mafik-
ultramafic di Lengan Tenggara Sulawesi tersusun oleh dunit, peridotite, piroksenit, dan
serpentinit serta mikrogabbro dan basalt. Peridotite terdiri atas harzburgit dan lhezorlite [4].
Daerah penelitian terletak pada wilayah Desa Paka Indah, Kecamatan Oheo, Kabupaten
Konawe Utara dimana hampir sebagian besar wilayahnya berdasarkan kondisi geologi disusun
oleh kompleks ofiolit. Berdasarkan konsep tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui karakteristik batuan ultrabasa pada daerah penelitian baik secara minieralogi
maupun geokimia.

2. Geologi Regional Wilayah Penelitian


2.1 Geomorfologi Regional
Lengan Tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian : ujung Utara, bagian Tengah, dan ujung
Selatan. Lembar Lasusua – Kendari terletak pada ujung Utara dan bagian Tengah Lengan
Tenggara Sulawesi. Lokasi penelitian terletak pada morfologi bagian tengah Lengan Tenggara
Sulawesi yang di dominasi pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah
Baratlaut – Tenggara. Pegunungan tersebut diantaranya pegunungan Mekongga, pegunungan
Tangkelamboke, pegunungan Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini sangat kasar dengan
kemiringan lereng tajam. Puncak tertinggi gunung Mekongga adalah 2790 mdpl, sedangkan
puncak gunung Tangkelemboke berada pada 1500 mdpl, dan pegunungan Matarombeo
berpuncak di Barat laut desa wawolondae dengan ketinggian 1551 mdpl. [5]
Secara umum daerah penelitian masuk kedalam peta geologi lembar Lasusua – Kendari
menempati bagian tengah dan ujung Utara dari Lengan Tenggara Sulawesi. Ada empat satuan
morfologi yang berkembang pada daerah penelitian, yaitu :
a. Morfologi Pegunungan
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini, terdiri atas
pegunungan Mekongga, pegunungan Tanggeboruwaki, pegunungan Hialu, pegunungan
Morombo, pegunungan Matarombeo, pegunungan Tinondo, pegunungan Abuki, dan
pegunungan Tangkelemboke. Ketinggian medan antara 600 dan 1550 m diatas muka laut
25
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
dengan lereng yang umumnya curam.. sungai di daerah pegunungan biasanya memiliki banyak
percabangan dan di beberapa tempat membentuk pola sejajar. Lembahnya banyak yang curam
dan berbentuk V.
b. Morfologi Perbukitan Rendah
Morfologi ini melampar luas di Utara Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah
dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama sedimen klastika
Mezosoikum dan Tersier.
c. Morfologi Pedataran
Morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah, ujung Selatan Lengan Tenggara
Sulawesi. Tepi Selatan dataran Wawotobi dan dataran Sampara berbatasan langsung dengan
morfologi pegunungan. Penyebaran morfologi ini tampak sangat di pengaruhi oleh sesar geser
mengiri (sesar Kolaka dan sistem sesar Konaweeha). Kedua sistem ini diduga masih aktif, yang
ditunjukan oleh adanya torehan pada endapan alluvial dalam kedua dataran tersebut [4][6].
Sehingga sangat mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan.
d. Morfologi Karst
Daerah karst terdapat di daerah Kabupaten Kolaka Utara di sekitaran Wawo dan
Tamborasi, dibagian timur Lembar, di Utara Kendari, disekitaran daerah Abuki serta setempat
di pulau Labengki. Morfologi karst melampar di berbagai tempat secara terpisah. Satuan ini
dicirikan oleh perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah. Sebagian dari
batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Perubahan ini erat
hubungannya dengan pensesar – naikan ofiolit keatas Kepingan Benua.

Daerah Penelitian

Gambar 1. Kenampakan Morfologi Bagian Selatan Lengan Sulawesi dari Citra IFSAR [4]
26
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
2.2 Stratigrafi Regional
Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Lembar Lasusua-Kendari dapat
dibedakan dalam dua lajur, yaitu Lajur Tinodo dan Lajur Hialu. Secara garis besar kedua
mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo. Batuan yang terdapat di Lajur Tinodo adalah batuan
malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon. Batuan yang terdapat di Lajur Hialu
adalah batuan ofiolit (Ku). Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras oleh Formasi Matano (Km)
yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari batugamping berlapis bersisipan rijang pada
bagian bawahnya.

Daerah Penelitian

Gambar 2. Peta geologi regional Lembar Lasusua-Kendari [6]

Formasi batuan penyusun daerah Kabupaten Konawe Utara dapat diuraikan dari termuda
sebagai berikut :
a. Alluvium (Qa)
Terdiri atas lumpur, lempung, pasir kerikil dan kerakal. Satuan ini berupa endapan rawa,
sungai dan pantai. Sebarannya meliputi daerah dataran, terutama dekat pantai dan tepi sungai.
Umurnya diperkirakan Holosen.
b. Formasi Pandua (Tmpp)
Terdiri atas konglomerat, batupasir dan batulempung dengan sisipan lanau. Umur dari
formasi ini adalah Miosen Akhir sampai Pliosen.
c. Formasi Matano (Km)
Terdiri atas batugamping hablur, rijang dan batusabak. Berdasarkan kandungan fosil
batugamping, yaitu Globotruncana sp dan Heterohelix sp, serta Radiolaria dalam, Formasi
Matano diduga berumur Kapur atas dengan lingkungan pengendapan pada laut dalam.
Berdasarkan persamaan litologi, satuan batuan ini dapat di sebandingkan dengan Formasi
Matano di lembar Bungku, maka satuan ini diduga berumur Kapur Akhir [6].
d. Batuan Ofiolit (Ku)
Terdiri atas harzburgit, dunit, wherlit, serpentinit, gabbro, basalt, dolerite, diorite, mafik
meta, amfibolit, magnesit dan setempat rodingit. Satuan ini diperkirakan berumur Kapur.
27
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
Batuan ultramafik ini diperkirakan merupakan batuan tertua dan alas di mendala Sulawesi
Timur, diduga berumur Kapur Awal.
e. Formasi Meluhu (TRJm)
Terdiri atas batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau, dan batulumpur dibagian bawah dan
perselingan serpih hitam, batupasir, dan batugamping dibagian atas. Formasi ini mengalami
tektonik kuat yang ditandai oleh kemiringan perlapisan batuan hingga 80o dan adanya puncak
antiklin yang memanjang Utara Baratdaya – Tenggara. Umur dari Formasi ini diperkirakan
Trias.
f. Formasi Tokala (TRJt)
Terdiri atas batugamping malih, pualam dan kuarsit. Batugamping malih dan pualam
merupakan penyusun utama formasi ini, sedangkan filit berupa sisipan pada bagian bawah.
g. Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm)
Terdiri atas sekis, gneiss, dan kuarsit. Gneiss berwarna kelabu sampai kelabu kehijauan;
bertekstur heteroblas, xenomorf sama butiran, terdiri dari mineral granoblas berbutir halus
sampai sedang. Jenis batuan ini terdiri atas gneiss kuarsa biotit dan gneiss muskovit. Bersifat
kurang padat sampai padat [6]. Batuan ini diperkirakan berumur lebih tua dari Trias, bahkan
mungkin Perm-Karbon. Hubungannya dengan batuan ultramafik dan mafik bersifat tektonik.
Tebalnya diperkirakan ribuan meter.

2.3 Struktur Geologi Regional


Pada Lengan Tenggara Sulawesi, struktur utama yang terbentuk setelah tumbukan adalah
sesar geser mengiri, termasuk sesar Matarombeo, sistem sesar Lawanopo, sistem sesar
Konaweeha, Sesar Kolaka, dan banyak sesar lainnya serta liniasi. Sesar dan liniasi menunjukan
sepasang arah utama Tenggara – Baratlaut (332o), dan Timur laut – Barat daya (42o). Arah
Tenggara – Baratlaut merupakan arah umum dari sesar geser mengiri di Lengan Tenggara
Sulawesi termasuk searah dengan sesar geser jurus mengiri sesar Lasolo yang meliputi daerah
Kecamatan Asera, Kecamatan Molawe, Kecamatan Lasolo, Kecamatan Lembo, sampai
Kecamatan Sawa dan memanjang sampai ke Teluk Lasolo. Sesar Lasolo bahkan masih aktif
hingga saat ini. Sesar tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali
pada Kala Oligosen [6]. Sesar naik ditemukan di daerah Wawo sebelah Barat Tampakura dan
di Tanjung Labuandala di Selatan Lasolo, yaitu beranjaknya Batuan Ofiolit ke atas Batuan
Malihan Mekonga, Formasi Meluhu, dan Formasi Matano.

Wilayah Penelitian

Gambar 3. Struktur Geologi daerah Konawe Utara, modifikasi struktur geologi Lengan
Tenggara Sulawesi. [4]
28
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
Sistem sesar Lawanopo termasuk sesar-sesar berarah utama Baratlaut - Tenggara yang
memanjang sekitar 260 Km dari Utara Malili sampai Tanjung Toronipa. Ujung Baratlaut sesar
ini menyambung dengan sesar Matano di lembar Malili [6], sementara ujung Tenggaranya
bersambung dengan sesar Hamilton yang memotong sesar naik Tolo. Sistem sesar ini di beri
nama sesar Lawanopo oleh berdasarkan dataran Lawanopo yang ditorehnya [7]. Struktur lain
yang berkembang berupa struktur lipatan yang terdiri dari lipatan terbuka, lipatan lemah,
dengan kemiringan lapisan tidak melebihi 20o dan berkembang dalam batuan yang berumur
Neogen. Sumbu lipatan biasanya bergelombang, berarah Utara – Selatan dibagian Barat lembar,
dan Baratlaut – Tenggara dibagian tengah dan Timur lembar peta ini. Kekar di jumpai hampir
pada semua batuan, terutama batuan beku (kompleks ultramafik dan mafik), batuan sedimen
malih Mezosoikum, dan batuan malihan (kompleks pompangeo).

3. Metodologi
3.1 Lokasi penelitian
Kegiatan penelitian berada di wilayah Desa Paka Indah, Kecamatan Oheo, Kabupaten
Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara.

Wilayah Penelitian

Gambar 4. Wilayah kegiatan penelitian

3.2 Analisis Data


Kegiatan penelitian ini menggunakan beberapa jenis analisis data yaitu :
• Dalam menentukan karakteristik mineralogi batuan menggunakan analisis petrografi dengan
memanfaatkan mikroskop polarisasi Tipe Nikon Eclipse E200, analisis ini dilakukan untuk
mengetahui tekstur batuan dan sifat optic mineral yang dapat menunjukkan komposisi
mineraloginya.
• Pengklasifikasian jenis batuan beku ultrabasa pada daerah penelitian menggunakan
Klasifikasi menurut Streckeisen, 1976.

29
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI

Gambar 5. Klasifikasi batuan ultrabasa menurut Streckeisen, 1976. [8]

• Analisis geokimia menggunakan metode XRF (X-Ray Flouresence) digunakan untuk


menentukan klasifikasi jenis batuan berdasarkan kandungan unsurnya dengan menggunakan
klasifikasi menurut Le Bas, 1986 dimana klasifikikasi ini didasarkan atas kandungan unsur
Silika (Si).

Gambar 6. Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas 1986 [9]

Analisis geokimia juga dimanfaatkan untuk menentukan jenis magma dengan menggunakan
klasifikasi Irvine dan Baragar, 1971. Dimana klasifikasi ini berdasarkan atas perbandingan
nilai persentase berat senyawa alkali (Na2O + K2O) dengan persentase berat FeO dan
persentase berat MgO.

Gambar 7. Klasifikasi jenis magma menurut Irvine dan Baragar,1971 [10]

30
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
Selain itu analisis ini juga dimanfaatkan untuk menentukan asal magma dari suatu batuan
beku ultrabasa dengan menggunakan klasifikasi menurut Perce, 1977. Dimana klasifikasi
ini digunakan untuk menentukan asal magma dari suatu batuan beku berdasarkan
perbandingan nilai persentase berat senyawa MgO, FeO dan Al2O3. Oleh karena melibatkan
tiga buah variable, klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk diagram segitiga. Berdasarkan
analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan beku, apakah berasal dari kerak banua
atau dari kerak samudera.

Gambar 8. Klasifikasi Asal Magma Menurut Pearce 1977 [10]

4. Hasil Penelitian
4.1 Jenis Batuan Ultrabasa
Berdasarkan hasil analisis petrografi batuan yang dilakukan terhadap kesebelas (11) conto
sampel batuan, batuan tersebut dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
• Kelompok dunit yang dicirikan dengan komposisinya hampir secara keseluruhan berupa
mineral olivine dengan tekstur faneritik dengan tambahan mineral berupa mineral piroksen
seperti augit dan estantit dalam jumlah sedikit, serta mineral asesori berupa mineral
plagioklas dan mineral opak.

1.25 mm 1.25 mm

Gambar 9. Kenampakan mikroskopis kelompok dunit. Mineral olivine (Ol),


Clinopiroksen (Cpx), Orthopiroksen (Opx) dan Pl (Plagioklas). Perbesaran 40
kali.

• Kelompok peridotit yang terbagi atas (2) dua jenis yaitu :


1) Jenis lherzolite yang dicirikan dengan adanya keterdapatan orthopiroksen jenis enstantit
dan clinopiroksen jenis augit. Batuan ini memiliki tekstur faneritik.
31
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI

1.25 mm 1.25 mm

Gambar 10. Kenampakan mikroskopis litologi lhezorlite. Mineral olivine (Ol),


Clinopiroksen (Cpx), Orthopiroksen (Opx) dan mineral opak. Perbesaran 40
kali.

2) Jenis hazburgit yang dicirikan dengan adanya mineral orthopiroksen berupa estantite.
Batuan ini didominasi oleh kelompok magnesian olivine yang melimpah, namun
terdapat sedikit orthopiroksen dengan tekstur batuan faneritik.

1.25 mm 1.25 mm

Gambar 11. Kenampakan mikroskopis litologi Harzburgit. Mineral olivine (Ol), dan
Orthopiroksen (Opx). Perbesaran 40 kali.

• Kelompok serpentinite yang dicirikan dengan kehadiran mineral serpentin misalnya


antigorite dan krisotil yang melimpah. Mineral serpentin hadir mengisi rekahan-rekahan
pada batuan, dimana mineral serpentin terbentuk dari hasil perubahan secara kimiawi
mineral olivine dan mineral piroksin.

1.25 mm 1.25 mm

32
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
Gambar 12. Kenampakan mikroskopis kelompok serpentinit.. Mineral olivine (Ol), dan
Serpentin (Srp), dimana mineral olivine hampir secara keseluruhan
tergantikan oleh mineral serpentin. Perbesaran 40 kali.
4.2 Karakteristik Geokimia Batuan Ultrabasa
Unsur utama batuan ultrabasa pada daerah penelitian dilakukan terhadap kesebelas unit
sampel dari hasil pengeboran yang juga telah dilakukan analisis petrografi, dimana analisis
geokimia hanya dilakukan pada unsur utama (major element) pada batuan tersebut. Adapun
hasil analisis unsur utama dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Unsur utama batuan ultrabasa didaerah Paka Indah Kabupaten Konawe Utara
Lokasi Paka Indah

No. Sampel ES- ES- ES- ES- ES- ES- ES- ES- ES- ES- ES-
001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011

Tipe Batuan Dun Lherz Lherz Lherz Dun Serp Serp Harz Harz Harz Harz

Unsur Utama (wt%)

SiO2 31,71 36,46 34,54 34,95 33,79 33,03 34,73 35,79 36,03 35,27 31,48

TiO2 0,06 0,06 0,04 0,06 0,02 0,06 0,02 0,08 0,07 0,03 0,11

Al2O3 1,92 2,34 0,80 2,30 0,05 2,65 0,12 2,85 2,69 0,49 3,70

Fe2O3 9,50 9,60 9,64 9,50 9,82 10,20 9,80 8,85 9,72 11,01 12,68

FeO 8,50 8,65 8,68 8,54 8,84 9,18 8,82 7,96 8,75 9,91 11,41

MnO 0,13 0,14 0,14 0,14 0,13 0,14 0,13 0,14 0,14 0,15 0,18

MgO 27,33 32,30 30,86 31,09 35,14 26,18 36,06 27,71 28,94 29,77 22,47

CaO 2,40 2,85 2,46 2,98 0,41 2,24 0,42 3,51 3,23 0,47 2,92

Na2O 0,019 0,021 0,019 0,02 0,02 0,019 0,018 0,023 0,022 0,023 0,024

K 2O 0,008 0,009 0,01 0,011 0,004 0,01 0,006 0,012 0,011 0,004 0,009

P 2O 5 0,003 0,004 0,002 0,003 0,004 0,004 0,004 0,002 0,004 0,004 0,004

SO3 0,027 0,034 0,087 0,033 0,026 0,009 0,047 0,04 0,033 0,00 0,047

NiO 0,43 0,42 0,44 0,42 0,47 0,55 0,47 0,50 0,41 0,90 0,52

Cr2O3 0,35 0,36 0,39 0,36 0,14 0,41 0,25 0,39 0,39 0,41 0,55

LOI 0,27 0,12 0,09 0,10 0,34 2,04 0,57 0,25 0,22 2,90 0,35

TOTAL 82,61 93,38 88,19 90,50 89,21 86,74 91,45 88,11 90,67 91,34 86,44

Berdasarkan hasil analisis tersebut, secara kimiawi ketiga kelompok batuan tersebut
memiliki komposisi yang sama. Secara umum, batuan ultrabasa memiliki nilai SiO 2 yang
rendah, dibawah 45%. Kandungan SiO2 berkisar 31,48 wt % - 36,46 wt %, alumina (Al2O3)
33
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
0,05 wt % - 3,70 wt %, titanium (TiO2) 0,02 wt % - 0,11 wt %, besi (II) Oksida (Fe2O3) berkisar
8,85 – 12,68 wt %, besi (FeO) 7,91 wt % - 11,41 wt %, magnesium (MgO) 22,47 wt % - 36,06
wt %, kalsium (CaO) 0,41 wt % - 3,51 wt %, sodium (Na2O) 0,019 wt % - 0,024 wt %,
potassium (K2O) 0,008 wt % - 0,01 wt % , SO3 0,00 wt % - 0,087 wt %, nikel oksida (NiO)
0,42 wt % - 0,90 wt % dan LOI (Loss of Ignition) 0,12 wt % - 2,90 wt %. Pada hasil analisis
tersebut dapat dilihat bahwa kandungan SiO2, Al2O3, dan K2O cukup rendah sedangkan
kandungan MgO dan FeO maupun Fe2O3 cukup tinggi. Tingginya kandungan MgO dan
rendahnya kandungan SiO2, merupakan penciri batuan ultrabasa, dimana pada batuan ultrabasa
kaya akan mineral magnesium maupun mineral besi dan rendah silica.

4.3 Jenis Magma Batuan Ultrabasa


Berdasarkan hasil analisis kimia unsur utama maka kesebelas conto sampel batuan
memiliki jenis magma yaitu ultrabasa yang memiliki nilai SiO2 yang rendah, dibawah 45%.
Kandungan SiO2 berkisar 31,48 wt % - 36,46 wt %, alumina (Al2O3) 0,05 wt % - 3,70 wt %,
titanium (TiO2) 0,02 wt % - 0,11 wt %, besi (II) Oksida (Fe2O3) berkisar 8,85 – 12,68 wt %,
besi (FeO) 7,91 wt % - 11,41 wt %, magnesium (MgO) 22,47 wt % - 36,06 wt %, kalsium
(CaO) 0,41 wt % - 3,51 wt %, sodium (Na2O) 0,019 wt % - 0,024 wt %, potassium (K2O) 0,008
wt % - 0,01 wt %, SO3 0,00 wt % - 0,087 wt %, nikel oksida (NiO) 0,42 wt % - 0,90 wt %, dan
LOI (Loss of Ignition) 0,12 wt % - 2,90 wt %. Berdasarkan komposisi dari SiO2 dan Na2O +
K2O dalam klasifikasi yang telah di buat Le Bass 1986 setelah Middlemost 1985 yang
didasarkan atas perbandingan silica dan alkali, maka kesebelas conto sampel batuan tersebut
menunjukan bahwa jenis magmanya termasuk kedalam jenis magma ultrabasa, dimana hal ini
didukung oleh hasil analisis petrografi yang didominasi oleh mineral ferromagnesium serta
memiliki indeks warna >70 dengan warna batuannya secara megaskopis cenderung berwarna
gelap-sangat gelap.

Gambar 13. Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Le Bas 1986 setelah Middlemost 1985 [9]

4.4 Afinitas Magma Batuan Ultrabasa


Pada klasifikasi jenis batuan menurut Le Bass 1986 setelah Middlemost 1985 selain
penentuan jenis batuan terhadap kesebelas sampel juga dapat terlihat jenis seri magma yang ada
pada daerah ini. Jenis seri magma atau afinitas magma ini dapat pula terlihat pada diagram
AFM [10]. Afinitas ini dapat memperlihatkan derajat keasaman batuan yang berimplikasi pada
34
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
interpretasi proses perubahan dari magma induk menjadi magma yang lebih asam. Dilihat dari
diagram tersebut, batuan ultrabasa tersebut termasuk kedalam seri tholeiitic (Gambar 14). Tipe
ini sangat umum dijumpai pada setting tektonik berupa zona pemekaran samuder [11], dimana
nilai SiO2 dan K2O kecil, sedangkan kaya akan komposisi ferromagnesian seperti MgO dan
FeO.

Gambar 14. Klasifikasi jenis magma menurut Irvine dan Baragar 1971 [10]
Afinitas magma atau magma series dapat terbagi ke dalam dua kelompok yaitu alkaline
dan subalkaline. Batuan alkaline kaya akan alkali dan biasanya tidak jenuh dengan silika.
Sedangkan, batuan subalkaline jenuh akan silika. Golongan subalkaline terbagi lagi menjadi
calc-alkaline dan tholeiitic. Batuan tholeiitic lebih menunjukkan pengkayaan unsur Fe
dibanding Mg daripada batuan calc-alkaline dan umumnya variasi silikanya lebih sedikit.
Golongan calc-alkaline lebih menunjukkan pengkayaan silika dan alkali. Magma series juga
dapat menggambarkan variasi temporal dan spasial magma pada zona subduksi. Semakin jauh
dari trench yang dibentuk oleh subduksi maka afinitas magma berubah dari tholeiitic kemudian
calc-alkaline dan semakin jauh menjadi alkaline.

4.5 Asal Magma Batuan Ultrabasa


Lingkungan tektonik atau asal magma pembentuk batuan ultrabasa pada daerah penelitian
dapat ditentukan menggunakan diagram segitiga Pearce, dkk 1977 dimana didasarkan pada
perbandingan unsur utama batuan ultrabasa berupa unsur FeO, MgO, dan Al2O3. Berdasarkan
diagram segitiga tersebut diketahui setting tektonik batuan tersebut termasuk dalam oceanic
ridge and floor (Gambar 15) atau yang umum dikenal sebagai mid oceanic ridge basalt
(MORB).
Berdasarkan diagram tersebut pada lokasi penelitian asal magma batuannya berasal dari
mid oceanic ridge basalt (MORB), sehingga dapat disimpulkan bahwa pembentukan batuan
pada lokasi penelitian terjadi zona divergen. Pembentukan magma pada zona ini lebih
disebabkan oleh adanya penurunan tekanan. Magma pada zona ini tidak terlalu mengalami
diferensiasi, sehingga magma yang dihasilkan lebih sering berkomposisi kimia basa (mafik).
Hal ini didukung pula oleh afinitas magma yang bersifat thoellitic yang umum terbentuk pada
zona pemekaran samudera.

35
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI

Gambar 15. Klasifikasi asal magma Menurut Pearce 1977. [10]

5. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :
• Secara mineralogi batuan ultrabasa yang terdapat didaerah penelitian dapat dibagi menjadi
tiga kelompok batuan, yaitu kelompok dunit, kelompok peridotite yang terdiri dari lhezorlite,
harzburgit dan kelompok serpentinit
• Secara geokimia batuan yang terdapat dalam lokasi penelitian memiliki jenis atau sifat
magma ultrabasa, afinitas magma thoellitic, dan asal magma/lingkungan pembentukan
batuannya di pemekaran lantai samudera (oceanic ridge and floor) atau mid oceanic ridge
basalt (MORB).

6. Referensi

[1] F. A. Sompotan, Struktur Geologi Sulawesi, Edisi 1. Bandung: Institute Teknologi


Bandung, 2012.
[2] M. A. Cottam, R. Hall, M. A. Forster, dan M. K. Boudagher-Fadel, “Basement character
and basin formation in Gorontalo Bay, Sulawesi, Indonesia: new observations from the
Togian Islands,” Geological Society, London, Special Publications, vol. 355, no. 1, hal.
177–202, 2011.
[3] A. Kadarusman, S. Miyashita, S. Maruyama, C. D. Parkinson, dan A. Ishikawa,
“Petrology, geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East Sulawesi
Ophiolite, Indonesia,” Tectonophysics, vol. 392, no. 1–4, hal. 55–83, 2004.
[4] Surono, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Edisi II. Badan Geologi, 2013.
[5] R. W. Van Bemmelen, The Geology of Indonesia, Vol. IA. Government Printing Office,
The Hague 1949, 1949.
36
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019
JRGI
[6] T. Simandjuntak, Surono, dan Sukido, “Peta Geologi Lembar Kolaka Skala, Sulawesi
Skala 1: 250.000.” Badan Geologi, Bandung, Jawa Barat, hal. 1, 1993.
[7] W. Hamilton, Tectonics of the Indonesian Region, First Edit., vol. 1. Washington: U.S.
Geological Survey, 1979.
[8] Hasria, E. Anshari, dan T. B. Rezky, “Pengaruh Batuan Dasar dan Geomorfologi
Terhadap Laterisasi dan Penyebaran Kadar Ni dan Fe Pada Endapan Nikel laterit PT .
Tambang Bumi Sulawesi , Desa Pongkalaero , Kabupaten Bombana , Sulawesi
Tenggara,” Jurnal Geografi Aplikasi dan Teknologi, vol. 3, no. 1, hal. 47–58, 2019.
[9] T. S. Van Nostrand, Lithogeochemistry of Ultramafic , Gabbroic and Tonalitic Rocks
From the Northeastern Archean Ashuanipi Complex , Western Labrador : Implications
for Petrogenesis and Mineral Potential, vol. 15–1. 2015.
[10] H. Rollison, Using Geochemical Data : Evaluation, Presentation, Interpretation, First
Edit. New York: Routledge, 2013.
[11] M. Wilson, Igneous Petrogenesis, A Global Tectonic Approach, First Edit. The
Netherlands: Springer, 2007.

37
JRGI | Jurnal Rekayasa Geofisika Indonesia.
Edisi Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai