Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai gunung api aktif terbanyak di
dunia, yaitu lebih dari 30% dari gunung aktif dunia ada di Indonesia. Kawasan gunung api
umumnya berpenduduk padat, karena kesuburan dan keindahan panoramanya. Hingga saat
ini gunung api aktif di Indonesia dikelompokkan hanya berdasarkan sejarah letusannya, yaitu
tipe A (79 buah), adalah gunung api yang pernah meletus sejak tahun 1600, tipe B (29 buah)
adalah yang diketahui pernah meletus sebelum tahun 1600, dan tipe C (21 buah) adalah
lapangan solfatara dan fumarola (Bemmelen, 1949; van Padang, 1951; Kusumadinata 1979).
Hasil kajian terhadap sebagian dari gunung api aktif tersebut di atas memperlihatkan
perbedaan karakter erupsi yang secara langsung berhubungan dengan potensi ancaman
bahaya letusannya. Berdasarkan sejarah letusannya, dikombinasikan dengan karakter fisik,
bentang alam puncak, struktur gunung api, dan tipe letusannya, gunung aktif di Indonesia
dapat dibedakan menjadi delapan tipe, yaitu tipe Tambora 1815 (letusan kaldera), Merapi
(kubah lava), Agung (kawah terbuka), Papandayan (runtuhan dinding kawah), Batur
(pascakaldera), Sangeangapi (aliran lava), dan Anak Krakatau (gunung api bawah laut).
Klasifi kasi gunung api ini diharapkan akan dapat lebih memperjelas perbedaan karakteristik
gunung api aktif di Indonesia, sehingga dapat dipergunakan untuk mendukung mitigasi
ancaman bencana gunung api, penelitian, dan pengembangan ilmu kegunungapian dan juga
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap gunung api aktif di Indonesia.
Lingkup studi mengenai gunungapi meliputi petrologi, mitigasi dan evaluasi bencana,
survey pemetaan geologi, pemantauan atau mitigasi erupsi, tata guna lahan, pertanian dan
eksplorasi sumber daya alam. Gunungapi bisa merupakan rangkaian pegunungan, tetapi
sangat berbeda dengan gunung lainnya, karena gunungapi tidaklah dibentuk oleh perlipatan,
erosi ataupun pengangkatan, tetapi membentuk tubuhnya sendiri oleh adanya pengumpulan
bahan erupsinya, seperti lava, batuan dan aliran piroklastik (Sumintadiredja, 2000). Diantara
129 gunungapi aktif di Indonesia itu, terdapat sekitar 10 hingga 15 gunungapi yang berada
dalam keadaan sangat potensial untuk meletus. Bentuk ancaman dari bencana alam ini berupa
korban jiwa dan kerusakan pemukiman/harta/benda akibat aliran lava, lemparan abu, awan
panas, gas beracun, dan lain lain
Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter
dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 73231 Lintang Selatan dan
1102646 Bujur Timur, secara administrasi terletak pada 4 wilayah Kabupaten. Lereng sisi
selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
sisanya berada dalam wilyah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,
Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Pada 26
Oktober 2010 Gunung Merapi mengalami erupsi pertama dan selanjutnya berturut-turut
hingga awal November 2010. Kejadian erupsi tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
dan harta. Bencana ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan bencana serupa dalam
lima periode waktu sebelumnya yakni tahun 1994, 1997, 1998, 2001 dan 2006.

1 |G e o h a z a r d
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu erupsi gunung api ?
2. Bagaimana pemberdayaan masyarakat pasca erupsi ?
3. Bagaimana adaptasi masyarakat terhadap bencana lahar dingin ?
4. Bagaimana pemodelan mitigasi bencana gunung api ?
5. Berapakah kerugian yang di timbulkan pasca erupsi ?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan makalah mitigasi bencana
erupsi gunung api ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian erupsi gunung api
2. Pemberdayaan masyarakat pasca erupsi
3. Adaptasi masyarakat terhadap bencana lahar dingin
4. Pemodelan mitigasi bencana gunung api
5. Mentaksir kerugian yang di timbulkan pasca erupsi

BAB II

2 |G e o h a z a r d
PEMBAHASAN

A. Erupsi Gunung Api


Erupsi adalah pelepasan magma, gas, abu, dll ke atmosfer atau ke permukaan bumi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Erupsi di definisikan sebagai letusan gunung berapi
atau semburan sumber minyak dan uap panas dari dalam bumi..
Erupsi gunung berapi terjadi jika ada pergerakan atau aktivitas magma dari dalam perut bumi
menuju ke permukaan bumi. Secara umum, erupsi di bedakan menjadi 2, yaitu Erupsi
eksplosif dan Erupsi efusif.

Erupsi Eksplosif adalah proses keluarnya magma, gas atau abu disertai tekanan yang sangat
kuat sehingga melontarkan material padat dan gas yang berasal dari magma maupun tubuh
gunung api ke angkasa. Erupsi eskplosif inilah yang terkenal sebagai letusan gunung berapi.
Letusan ini terjadi akibat tekanan gas yang teramat kuat. Contoh erupsi eksplosif adalah
letusan gunung krakatau, letusan gunung merapi,dll.

Erupsi Efusif (Non Eksplosif) yaitu peristiwa keluarnya magma dalam bentuk lelehan lava.
Erupsi elusif terjadi karena tekanan gas magmatiknya tidak seberapa kuat, sehingga magma
kental dan pijar dari lubang kepundan hanya tumpah mengalir ke lereng-lereng puncak
gunung itu. Contoh erupsi efusif adalah erupsi gunung semeru, erupsi gunung merapi, dll.

Erupsi efusif yang rutin dapat mencegah terjadinya erupsi eksplosif. Hal ini karena dengan
keluarnya lelehan lava, maka tekanan dalam perut bumi akan berkurang. Beberapa gejala
terjadinya letusan gunung berapi adalah terhentinya erupsi efusif yang rutin. Contohnya
erupsi efusif di gunung semeru. Para penduduk sekitar percaya, bahwa selama Lava masih
keluar dari kepundan gunung semeru secara rutin maka kemungkinan gunung semeru akan
meletus adalah sangat kecil. Tapi begitu erupsi efusif tidak terjadi, maka situasi akan di
naikan menjadi siaga.
Berdasarkan bentuk dan lokasi kepundan tempat keluamya magma,erupsi dibedakan:
1. Erupsi celah/linier (Fissure eruption)
Terjadi melalui retakan/celah batuan kerak bumi.
Contoh: Plato Dekan di India tertutup lava dengan ketebalan rata-rata 667 meter,
meliputi luas 5xl05 km2 sebagai akaibat erupsi celah.
2. Erupsi areal (Areal Eruption)
Terjadi karena dinding atas/atap batholith runtuh sehingga magma keluar ke permukaan
meliputi daerah yang luas. Proses ini sering disebut de roofing karena prosesnya menimpa
bagian atap batholith.
Contoh: Gunung api lumpur di Sumatra Selatan.
3. Erupsi pusat/Puncak (Central eruption/Pipe eruption/Summit eruption)
Terjadi melalui pipa kepundan, pada umumnya berlangsung singkat. Apabila magma agak
kental/kental kadang-kadang pipa kepundann tersumbat oleh magma yang membeku, disebut
sumbat lava (lava plug). sumbat lava tersebut akan menghalangi keluarnya magma. Gas-gas
yang menyertai magma menyusun kekuatan di bawahnya, dan apabila sudah cukup kuat
sumbat lava didobrak ke atas sehingga terjadi erupsi berikutnya. Kadang-kadang sumbat lava

3 |G e o h a z a r d
itu sangat kuat sehingga magma mencari jalan lain, menerobos batuan yang lebih lemah dan
terbentuk kepundan baru. Sebagian besar volkan di dunia mempunyai tipe erupsi pusat ini
Berdasar penyebab erupsi dapat digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Erupsi magma (Magmatic eruption) yaitu erupsi yang dihasilkan langsung dari magma.
2. Hidro erupsi (Hydro eruption) adalah erupsi yang disebabkan oleh uap yang berasal dari
pemansan air di luar magma.
3. Erupsi phreatik (Phreatic eruption) yaitu erupsi yang disebabkan oleh tekanan uap yang
berasal dari air tanah yang mengalami pemanasan.
4. Erupsi phreato-magmatic (Phreato magmatic eruption) adalah gabungan erupsi magma dan
phreatik.
B. Macam-Macam Gunung Api

1. Gunung Api Berdasarkan Bentuknya


Stratovolcano : Tersusun dari batuan hasil letusan dengan tipe letusan berubah-ubah
sehingga dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan,
sehingga membentuk suatu kerucut besar (raksasa), terkadang bentuknya tidak beraturan,
karena letusan terjadi sudah beberapa ratus kali. Gunung Merapi merupakan jenis ini.
Perisai : Tersusun dari batuan aliran lava yang pada saat diendapkan masih cair, sehingga
tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan berlereng
landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Contoh bentuk gunung
berapi ini terdapat di kepulauan Hawai.
Cinder Cone : Merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik
menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di
puncaknya. Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
Kaldera : Gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat yang melempar
ujung atas gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo merupakan jenis ini.

2. Gunung Api Berdasarkan Proses Terjadinya


Gunung api Maar, berbentuk seperti danau kawah. Terjadi karena letusan besar yang
kemudian membentuk lubang besar di bagian puncak. Bahan-bahan yang dikeluarkan berupa
benda padat/effiata. Contoh, Gunung Lamongan di Jawa Timur.
Gunung api kerucut/srato, yaitu jenis gunung api yang paling banyak dijumpai. Berbentuk
seperti kerucut dengan lapisan lava dan abu yang berlapis-lapis. Terjadi karena letusan dan

4 |G e o h a z a r d
lelehan batuan panas dan cair. Lelehan yang sering terjadi menyebabkan lereng gunung
berlapis-lapis sehingga disebut strato. Sebagian besar gunung api di Indonesia masuk dalam
kategori gunung api kerucut. Contoh, Gunung Merapi.
Gunung api perisai/tameng, berbentuk seperti perisai, terjadi karena lelehan yang keluar
dengan tekanan rendah, sehingga nyaris tidak ada letusan dan membentuk lereng yang sangat
landai dengan kemiringan 1 sampai 10 derajat. Contoh gunung api perisai/tameng antara lain
Gunung Maona Loa Hawaii di Amerika Serikat.

3. Gunung Api Berdasarkan Tipe Letusan


Hawaian, memiliki tipe letusan dengan pancuran lava ke udara mencapai ketinggian 200
meter, mudah bergerak dan mengalir secara bebas.
Strombolian, memiliki ciri letusan mencapai 500 meter dengan pijaran seperti kembang api.
Merapi, memiliki tipe letusan dengan ciri guguran lava pijar saat kubah lava runtuh.
Volcanian, memiliki ciri letusan yang membentuk volcano disertai awan panas yang padat.
Pelean, gunung api dengan tipe letusan yang paling merusak karena magma yang meletus
dari bagian lereng gunung yang lemah.
St. Vincent, gunung api dengan tipe letusan yang disertai longsoran besar dan awan panas
yang bisa menutupi area yang luas.
Sursteyan, gunung api dengan tipe letusan dengan vulkanian tetapi kekuatan letusannya
lebih besar.
Plinian, gunung api dengan tipe letusan eksplosif yang sangat kuat dengan ketinggian
letusan yang mencapai >500 km.

C. Sejarah Gunung Merapi


Gunung Merapi terletak di Yogyakarta & Jawa Tengah pada posisi 7o 32,5 LS dan
110o 26,5 BT. Kegiatan gunung api ini terekam dengan baik sejak tahun 1768, atau lebih
awal lagi adalah sejak tahun 1006, dikaitkan dengan sejarah Candi Borobudur. Kegiatan
erupsi Gunung Merapi purba, menyisakan bentuk bentang alam tapal kuda, yang meliputi
puncak-puncak Selokopo, Batulawang, Pusung London, Kendit, dan Plawangan. Kegiatan
resen Gunung Merapi terpusat pada kubah Gunung Anyar, yang terletak di dataran kawah
Pasarbubar (+ 2500 m). Sedikitnya enam erupsi besar pernah terjadi dalam sejarah Gunung
Merapi, di antaranya pada tahun 1587, 1672, 1768, 1822, 1849, dan 1872. Letusan gunung
api ini tahun 1822 menghasilkan endapan jatuhan iroklastika yang cukup tebal di bagian
barat laut dan timur laut gunung, dan endapan aliran piroklastika (awan panas letusan)
mengalir ke lembah-lembah Sungai Apu, Lamat, Blongkeng,Batang, Gendol, dan Woro
(Berthomier, 1990). Secara umum erupsi gunung api ini lebih bersifat eksplosif dan merusak

5 |G e o h a z a r d
pada abad VII hingga abad XIX,. Setelah itu erupsi Gunung Merapi cenderung menjadi efusif
(kecuali erupsi 1930) ditandai oleh pertumbuhan kubah lava pada puncak gunung api ini
(Gunung Anyar), yang disertai guguran kubah lava yang tersebar ke arah lereng barat, barat
daya,selatan, dan tenggara.Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api teraktif di dunia.
Karakteristik erupsinya bersifat aktif permanen, yaitu guguran kubah lava atau lava pijar,
membentuk aliran piroklastika (awan panas) atau nuee ardentes yang dalam bahasa
setempat dikenal dengan sebutan wedhus gembel. Kejadian ini dapat terjadi setiap saat,
baik yang dipicu oleh tekanan dari dalam pipa kepundannya ataupun akibat gaya gravitasi
yang bekerja pada kubah lava yang berada dalam posisi tidak stabil (pada dasar kawah lama
yang miring).Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 1930 tercatat sebagai letusan yang luar
biasa, ditandai oleh guguran kubah lava yang disertai letusan eksplosif,membentuk aliran
awan panas hingga mencapai 13,5 km dari pusat erupsi. Awan panas ini melanda kawasan
berpenghuni dan menimbulkan korban jiwa 1369 orang meninggal (Kemmerling,
1931;Escher 1933; van Padang, 1951; Abdurachman drr., 2000). Pada umumnya kegiatan
Gunung Merapi sangat khas, yaitu guguran kubah lava disertai atau tanpa erupsi eksplosif
membentuk aliran awan panas hingga 8 km dari pusat erupsi. Erupsi yang relative besar
umumnya terjadi sekali dalam seratus tahun (Newhall drr., 2000)
Gunung Merapi (ketinggian puncak 2.930 m dpl, per 2010) adalah gunung berapi di
bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng
sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi
barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara.
Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak
tahun 2004.
Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak
keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat
padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota
Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari
puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya
berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi
menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung
Api Dekade
Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang
mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona
subduksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan
munculnya aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang
ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh di sisi barat
daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan
seterusnya. Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan Merapi dalam
empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu
Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi
Tua terjadi ketika Merapi mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000
tahun lalu). Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan,
yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan (8000 - 2000 tahun

6 |G e o h a z a r d
lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi, seperti Bukit Gajahmungkur dan
Batulawang, yang tersusun dari lava andesit. Proses pembentukan pada masa ini ditandai
dengan aliran lava, breksiasi lava, dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan
efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan
material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar
12 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah)
diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak Anyar, baru
mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, diketahui terjadi
beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4 berdasarkan pengamatan lapisan tefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai dengan
keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas (nue ardente) yang
dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas. Letusan tipe Merapi ini secara umum
tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010
adalah hasil proses yang berlangsung sejak letusan gas 1969.
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah Merapi berisi
material seperti lumpur yang secara "signifikan menghambat gelombang getaran gempa
bumi". Para ilmuwan memperkirakan material itu adalah magma. Kantung magma ini
merupakan bagian dari formasi yang terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng Indo-
Australia ke bawah Lempeng Eurasia.

Puncak Merapi pada tahun 1930.


Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan
yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali.
Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar
tercatat pada
tahun 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872,
dan 1930. Letusan pada tahun 1006 membuat
seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi
abu, berdasarkan pengamatan timbunan debu
vulkanik. Ahli geologi Belanda, van Bemmelen,
berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang (Mataram Kuno) harus
berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam
catatan geologi modern dengan skala VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010,
diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun 1930, yang
menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan
catatan korban terbesar hingga sekarang.
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke bawah hingga
menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998
cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan
terakhir gunung ini adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung
terus-menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat
menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan awan panas.
Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai yang terbesar
sejak letusan 1872 dan memakan korban nyawa 273 orang (per 17 November 2010),
meskipun telah diberlakukan pengamatan yang intensif dan persiapan manajemen

7 |G e o h a z a r d
pengungsian. Letusan 2010 juga teramati sebagai penyimpangan dari letusan "tipe Merapi"
karena bersifat eksplosif disertai suara ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20
30 km.
Gunung ini dimonitor non-stop oleh Pusat Pengamatan Gunung Merapi di Kota
Yogyakarta, dibantu dengan berbagai instrumen geofisika telemetri di sekitar puncak gunung
serta sejumlah pos pengamatan visual dan pencatat kegempaan di Ngepos (Srumbung),
Babadan, dan Kaliurang.

4. Gunung Api Berdasarkan Aktifitasnya


Gunung api aktif, yaitu gunung api yang masih bekerja dan mengeluarkan asap, gempa, dan
letusan.
Gunung api mati, yaitu gunung api yang tidak memiliki kegiatan erupsi sejak tahun 1600.
Gunung api istirahat, yaitu gunung api yang meletus sewaktu-waktu, kemudian beristirahat.
Contoh, Gunung Ceremai dan Gunung Kelud.

8 |G e o h a z a r d
Skema Peringatan Gunung Berapi di Indonesia

D. Sejarah Geologi Gunung Merapi

Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Merapi sangat kompleks.


Wirakusumah (1989) membagi Geologi Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi
Muda dan Merapi Tua. Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall & Bronto, 1995;
Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi yang semakin detil. Menurut
Berthommier,1990 berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Merapi dapat dibagi atas 4 bagian :

Pra-Merapi (+ 400.000 tahun lalu)

Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur 700.000 tahun
terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali. Batuan gunung Bibi bersifat
andesit-basaltik namun tidak mengandung orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian
sekitar 2050 m di atas muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi
sekarang sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami alterasi
yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.

Merapi Tua (60.000 8000 tahun lalu)

Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang merupakan fase awal
dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna. Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik
yang membentuk Gunung Turgo dan Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk
aktivitasnya terdiri dari batuan dengan komposisi andesit basaltic dari awanpanas, breksiasi
lava dan lahar.

Merapi Pertengahan (8000 2000 tahun lalu)

Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan
Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya terdiri dari aliran
lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi dicirikan dengan letusan efusif
(lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan debris-
avalanche ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km,

9 |G e o h a z a r d
lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah
Pasarbubar.

Merapi Baru (2000 tahun lalu sekarang)

Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini disebut sebagai
Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi. Batuan dasar dari Merapi
diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan Merapi yang sekarang ini berumur sekitar
2000 tahun. Letusan besar dari Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya
telah menutupi Candi Sambisari yang terletak 23 km selatan dari Merapi. Studi stratigrafi
yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah menunjukkan bahwa beberapa letusan besar,
dengan indek letusan (VEI) sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar
terakhir dengan sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar
sekitar 500 tahun yang lalu.

Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan
Pasarbubar tephra. Skema penampang sejarah geologi Merapi menurut Berthommier, 1990.

Skema penampang sejarah geologi Merapi

Peta di atas menunjukkan sebaran awan panas atau Wedus gembel dari Merapi dari tahun
1911-2006. Hanya wilayah timur lereng yang bebas dari arah aliran awa panas dalam kurun
waktu tersebut. Tapi semua kawasan harus waspada terhadap awan panas ini.

E. Sejarah Letusan Gunung Merapi

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung paling aktif di bumi Nusantara, sejarah
mencatat setidaknya letusan gunung Merapi sudah terjadi sejak 1000 tahun lalu. Dan karena

10 |G e o h a z a r d
aktivitas Merapi lah yang mengakibatkan berpindahnya kebudayaan kerajaan Mataram kuno
ke daerah Jawa Timur.

Selain itu banyak desa dan candi-candi peninggalan kerajaan Mataram Hindu maupun Budha
tertimbun abu vulkanik Gunung Merapi, candi-candi tersebut berada di dusun-dusun seperti
Kadisoka, Kedulan, dan Sambisari (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta). Selain itu letusan
Gunung Merapi merubah wujud asli Candi Borobudur yang mulanya berada di tengah-tengah
danau.

Saat ini Gunung Merapi yang berada di 4 Kabupaten di Jawa Tengah itu mulai beraktivitas
lagi, berikut jurnal letusan Gunung Merapi paling dahsyat yang terekam sejarah.

Tahun 1006 M, menurut Van Bemmelen (1949) Gunung Merapi pernah meletus. Akibat
letusan ini sebagian puncak runtuh dan longsor ke arah barat daya, tertahan oleh Perbukitan
Menoreh, kemudian membentuk gundukan-gundukan bukit yang dikenal sebagai Gendol
Hills.

Letusan di tahun ini menurut Wikipedia tercatat sebagai salah satu ledakan Gunung Merapi
paling hebat membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan,
letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram kuno harus berpindah ke Jawa Timur,
karena tersapu lumpur, namun catatan Van Bemmelen ini masih banyak dipertentangkan
dikalangan sejarahwan.

Sejarah mencatat sekitar abad 9-11 Masehi, Gunung Merapi kembali meletus. Tidak diketahui
secara pasti berapa jumlah korban jiwa dalam letusan kali ini, diduga akibat letusan ini
mengakibatkancandi-candi yang berada di kawasan sekitar Jawa Tengah bagian selatan
terkubur akibat abu vulkanik ini.

Di tahun 1672 M Gunung Merapi meletus, akibat letusan itu 3000 orang meninggal dunia.

Gunung Merapi kembali meletus dahsyat di tahun 1786, di tahun ini tidak tercatat secara jelas
jumlah korban yang tewas akibat ledakan tersebut.

Pada tahun 1822, kembali Gunung Merapi meletus tercatat setidaknya 100 orang meninggal
dunia.Hanya berselang 50 tahun tepatnya di tahun 1872, Gunung Merapi kembali
menghamburkan abu vulkanik secara dahsyat akibatnya 200 orang meninggal dunia.Di tahun
1930 letusan hebat kembali terjadi, kali ini aliran lava, piroklastika, dan lahar hujan,
mengguyur dan menghancurkan 13 desa akibatnya 1400orang tewas akibat peristiwa alam
ini.Selain letusan hebat diatas, setidaknya banyak letusan Gunung Merapi juga terjadi di
tahun-tahun tersebut di bawah ini:

Tahun Korban Meninggal Dunia Korban Luka


1832 32 orang
1872 200 orang
1904 16 orang

11 |G e o h a z a r d
1920 35 orang
1930 1369 orang
1954 64 orang luka 57 orang
1961 6 orang
1969 3 orang
1976 29 orang luka 2 orang
22 November 1994 66 orang luka 6 orang
1997 tidak ada korban
1998 tidak ada korban
2001 tidak ada korban
Mei 2006 2 orang meninggal

Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi Tahun 2010 yang
menunjukkan kawasan rawan bencana Gunung Merapi, hasil letusan tahun 2010. Lebih lanjut
peta akan dilengkapi dengan informasi penting terkait dengan kawasan rawan bencana. Lebih
lanjut peta akan dilengkapi dengan informasi terkait dengan ancaman lahar dingin lainnya
(BPPTK).
Sejarah letusan G. Merapi secara tertulis mulai tercatat sejak awal masa kolonial
Belanda sekitar abad ke-17. Letusan sebelumnya tidak tercatat secara jelas. Sedangkan

12 |G e o h a z a r d
letusan-letusan besar yang terjadi pada mas sebelum periode Merapi baru, hanya didasarkan
pada penentuan waktu relatif. Secara umum, letusan G. Merapi dapat dirangkum sbb :
- Pada periode 3000 - 250 tahun yang lalu tercatat lebih kurang 33 kali letusan, dimana 7
diantaranya merupakan letusan besar. Dari data tersebut menunjukkan bahwa letusan besar
terjadi sekali dalam 150-500 tahun (Andreastuti dkk, 2000).
- Pada periode Merapi baru telah terjadi beberapa kali letusan besar yaitu abad ke-19 (tahun
1768, 1822, 1849, 1872) dan abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 jauh lebih besar
dari letusan abad ke-20, dimana awan panas mencapai 20 km dari puncak. Kemungkinan
letusan besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000).
- Aktivitas Merapi pada abad ke-20 terjadi minimal 28 kali letusan, dimana letusan terbesar
terjadi pada tahun 1931. Sudah abad tidak terjadi letusan besar.
Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, G. Merapi meletus lebih dari 80 kali atau
rata-rata sekali meletus dalam 4 tahun. Masa istirahat berkisar antara 1-18 tahun, artinya
masa istirahat terpanjang yang pernah tercatat andalah 18 tahun. Secara umum, letusan
Merapi pada abad ke-18 dan abab ke-19 masa istirahatnya relatif lebih panjang, sedangkan
indeks letusannya lebih besar. Akan tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa masa istirahat yang
panjang, menentukan letusan yang akan datang relatif besar. Karena berdasarkan fakta,
bahwa beberapa letusan besar, masa istirahatnya pendek. Atau sebaliknya pada saat
mengalami istirahat panjang, letusan berikutnya ternyata kecil. Ada kemungkinan juga bahwa
periode panjang letusan pada abad ke-18 dan abad ke-19 disebabkan banyak letusan kecil
yang tidak tercatat dengan baik, karena kondisi saat itu. Jadi besar kecilnya letusan lebih
tergantung pada sifat kimia magma dan sifat fisika magma. Diskripsi singkat letusan G.
Merapi yang tercatat disajikan pada gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan
grafik statistik letusan G. Merapi sejak abad ke-18. Pada abad ke-18 dan ke-19, letusan G.
Merapi umumnya relatif besar dibanding letusan pada abad ke-20, sedangkan masa
istirahatnya lebih panjang.

13 |G e o h a z a r d
Grafik statistik letusan G. Merapi sejak abad ke-18. Pada abad ke-18 dan ke-19, letusan G.
Merapi umumnya relatif besar dibanding letusan pada abad ke-20, sedangkan masa
istirahatnya lebih panjang.

Karakteristik Letusan
Gunung Merapi berbentuk sebuah kerucut gunungapi dengan komposisi magma
basaltik andesit dengan kandungan silika (SiO2) berkisar antara 52 - 56 %. Morfologi bagian
puncaknya dicirikan oleh kawah yang berbentuk tapal kuda, dimana di tengahnya tumbuh
kubah lava.
Letusan G. Merapi dicirikan oleh keluarnya magma ke permukaan membentuk kubah lava di
tengah kawah aktif di sekitar puncak. Munculnya lava baru biasanya disertai dengan
pengrusakan lava lama yang menutup aliran sehingga terjadi guguran lava. Lava baru yang
mencapai permukaan membetuk kubah yang bisa tumbuh membesar. Pertumbuhan kubah
lava sebanding dengan laju aliran magma yang bervariasi hingga mencapai ratusan ribu meter
kubik per hari. Kubah lava yang tumbuh di kawah dan membesar menyebabkan
ketidakstabilan. Kubah lava yang tidak stabil posisinya dan didorong oleh tekanan gas dari
dalam menyebabkan sebagian longsor sehingga terjadi awan panas. Awanpanas akan
mengalir secara gravitasional menyusur lembah sungai dengan kecepatan 60-100 km/jam dan
akan berhenti ketika energi geraknya habis. Inilah awan panas yang disebut Tipe Merapi yang
menjadi ancaman bahaya yang utama.
.

14 |G e o h a z a r d
Peta sebaran awanpanas G. Merapi yang terjadi sejak tahun 1911-2006
Dalam catatan sejarah, letusan G. Merapi pada umumnya tidak besar. Bila diukur
berdasarkan indek letusan VEI (Volcano Explosivity Index) antara 1-3. Jarak luncur
awanpanas berkisar antara 4-15 km. Pada abad ke-20, letusan terbesar terjadi pada tahun
1930 dengan indeks letusan VEI 3. Meskipun umumnya letusan Merapi tergolong kecil,
tetapi berdasarkan bukti stratigrafi di lapangan ditemukan endapan awan panas yang diduga
berasal dari letusan besar Merapi. Melihat ketebalan dan variasi sebarannya diperkirakan
indeks letusannya VEI 4 dengan tipe letusan antara vulkanian hingga plinian. Letusan besar
ini diperkirakan terjadi pada masa Merapi Muda, sekitar 3000 tahun yang lalu.
Sejak tahun 1768 sudah tercatat lebih dari 80 kali letusan. Diantara letusan tersebut,
merupakan letusan besar (VEI 3) yaitu periode abad ke-19 (letusan tahun 1768, 1822, 1849,
1872) dan periode abad ke-20 yaitu 1930-1931. Erupsi abad ke-19 intensitas letusanya relatif
lebih besar, sedangkan letusan abad ke-20 frekuensinya lebih sering. Kemungkinan letusan
besar terjadi sekali dalam 100 tahun (Newhall, 2000). Letusan besar bisa bersifat eksplosif
dan jangkauan awanpanas mencapai 15 Km.
Letusan G. Merapi sejak tahun 1872-1931 mengarah ke barat-barat laut. Tetapi sejak letusan
besar tahun 1930-1931, arah letusan dominan ke barat daya samapi dengan letusan tahun
2001. Kecuali pada letusan tahun 1994, terjadi penyeimpangan ke arah selatan yaitu ke hulu
K. Boyong, terletak antara bukit Turgo dan Plawangan. Erupsi terakhir pada tahun 2006,
terjadi perubahan arah dari barat daya ke arah tenggara, dengan membentuk bukaan kawah
yang mengarah ke Kali Gendol.

15 |G e o h a z a r d
Gambar Letusan G. Merapi berupa luncuran awanpanas ke K. Gendol pada Juni 2006.
Letusan 2010
Peningkatan aktivitas mulai terlihat pada September 2010, dan pada tanggal 20
September 2010, Merapi dinaikkan statusnya menjadi 'Waspada' (Level II). Kenaikan status
berdasarkan peningkatan aktivitas seismik, yaitu Gempa Fase Banyak dengan 38
kejadian/hari, Gempa Vulkanik 11 kejadian/hari, dan Gempa Guguran 3 kejadian/hari.
Pada 21 Oktober 2010 status Merapi kembali dinaikkan menjadi 'Siaga' (Level III). Kenaikan
status juga berdasarkan peningkatan aktivitas seismik, yaitu Gempa Fase Banyak hingga 150
kejadian/hari, Gempa Vulkanik 17 kejadian/hari, dan Gempa Guguran 29 kejadian/hari, dan
laju deformasi mencapai 17 cm/hari. Semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera
berlanjut ke letusan atau menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana.
Pada 25 Oktober 2010 status Merapi ditetapkan 'Awas' (Level IV), dengan kondisi akan
segera meletus, ataupun keadaan kritis yang dapat menimbulkan bencana setiap saat.
Aktivitas yang teramati secara visual yaitu, tanpa kubah lava, tanpa api diam, dan tanpa lava
pijar guguran-guguran besar. Sedangkan seismisitasnya meningkat menjadi 588 kejadian/hari
Gempa Fase Banyak, 80 kejadian/hari Gempa Vulkanik, 194 kejadian/hari Gempa Guguran,
dengan laju deformasi 42 cm/hari. Radius aman ditetapkan di luar 10 km dari puncak Merapi.
Pada 26 Oktober 2010 pukul 17:02 WIB terjadi letusan pertama. Letusan bersifat
eksplosif disertai dengan awanpanas dan dentuman. Hal ini berbeda dengan kejadian
sebelumnya, yaitu letusan bersifat efusif dengan pembentukan kubah lava dan awanpasan
guguran. Letusan yang terjadi pada 29 - 30 Oktober lebih bersifat eksplosif. Pada 3
November 2010 terjadi rentetan awanpanas yang di mulai pada pukul 11:11 WIB. Melalui
pengukuran dengan mini DOAS diketahui bahwa terjadi peningkatan fluks SO2 yang
mencapai 500 ton/hari. Pada pukul 16:05 diteteapkan radius aman di luar 15 km dari puncak

16 |G e o h a z a r d
Merapi. Dan pada pukul 17:30 dilaporkan bahwa awanpanas mencapai 9 km di luar K.
Gendol.
Tren meningkat pada data RSAM antara 3 - 4 November 2010 menunjukkan proses
pertumbuhan kubah lava yang mencapai volume 3.5 juta m3 dan tren menurun pada 5
November 2010 menandakan penghancuran kubah lava tersebut yang menghasilkan aliran
awanpanas hingga sejauh 15 km dari puncak G. Merapi ke arah K. Gendol. Pada 4 November
2010 terekam Tremor menerus dan over scale serta peningkatan massa SO2 di udara
mencapai lebih dari 100 kiloton. Radius aman ditetapkan di luar 20 km dari Puncak G.
Merapi. 5 November 2010, terjadi penghancuran kubah lava yang menghasilkan awanpanas
sejauh 15 km ke K. Gendol. Erupsi ini merupakan erupsi terbesar. Pada 6 November 2010,
Tremor masih menerus dan over scale massa SO2 di udara mencapai puncaknya sebesar 250
- 300 kiloton.
13 November 2010, intensitas erupsi mulai menurun, dan radius aman juga dirubah. Yaitu
Sleman 20 km, Magelang 15 km, Boyolali 10 km, Klaten 10 km.
Pada 19 November intensitas erupsi kembali menunjukkan penurunan. Radius aman juga
dirubah, yaitu Sleman sebelah barat K. Boyong 10 km, Sleman sebelah Timur K. Boyong 15
km, Magelang 10 km, Boyolali 5 km, dan Klaten 10 km.
Korban jiwa akibat erupsi G. Merapi 2010 sebanyak 347 Orang (BNPB). Korban terbanyak
berada di Kabupaten Sleman yaitu 246 jiwa. Menyusul Kabupaten Magelang 52 jiwa, Klaten
29 jiwa, dan Boyolali 10 jiwa. Sedangkan pengungsi mencapai 410.388 Orang (BNPB).
Berdasarkan hasil evaluasi data pemantauan G. Merapi secara instrumental dan visual,
disimpulkan bahwa aktivitas G. Merapi menunjukkan penurunan. Dengan menurunnya
aktivitas tersebut, maka terhitung mulai tanggal 3 Desember 2010 pukul 09.00 WIB, status
aktivitas G. Merapi diturunkan dari tingkat "AWAS" menjadi "SIAGA".
Ancaman berikutnya adalah lahar hujan produk erupsi Merapi yang mencapai 150 juta m3.
Sekitar 35% produk letusan G. Merapi tersebut masuk ke K. Gendol berupa aliran piroklastik
dan sisanya tersebar di sungai-sungai lain yang berhulu di lereng G. Merapi, seperti K. Woro,
K. Kuning, K. Boyong, K. Bedog, K. Krasak, K. Bebeng, K. Sat, K. Lamat, K. Senowo, K.
Trising dan K. Apu. Setelah erupsi pertama tanggal 26 Oktober hingga kini apa bila terjadi
hujan di puncak G. Merapi, terjadi banjir lahar di sungai yang berhulu di G. Merapi.
Sejarah Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Fasies Gunungapi Di Daerah Aliran
Sungai Bedog, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil analisis menunjukkan bahwa DAS Bedog memiliki fasies medial dan fasies
distal (Gambar 4). Fasies medial terletak di sebelah hulu dengan ciri-ciri litologi yang
ditemukan meliputi endapan lahar, sedangkan fasies distal terdapat di daerah hilir dengan
ciri-ciri litologi berupa endapan konglomerat. Namun demikian, pada wilayah diantara kedua
fasies tersebut ditemukan wilayah peralihan antara fasies medial dan fasies distal. Wilayah
peralihan tersebut dicirikan dengan ditemukannya endapan lahar yang merupakan ciri dari
fasies medial (Gambar 5) dan endapan konglomerat sebagai ciri fasies distal secara
bersamaan dalam satu

17 |G e o h a z a r d
lokasi (Gambar 6).

18 |G e o h a z a r d
Tabel 1 menunjukkan lokasi dan karakteristik batuan yang ditemukan pada lokasi
pengamatan dan pengambilan sampel batuan. Endapan lahar yang menjadi ciri dari fasies
medial terdapat di bagian hulu sampai dengan bagian tengah DAS Bedog. Pada bagian hulu,
endapan lahar nampak pada tebing-tebing bekas penambangan pasir dan tebing-tebing sungai
yang memiliki lembah yang dalam. Sedangkan pada bagian tengah yang merupakan wilayah
transisi antara fasies medial dan distal, endapan lahar ditemukan di persawahan yang terletak
di tepi sungai dan sebagian terletak agak jauh dari sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa
lembah sungai telah mengalami perpindahan.

Selain itu, Tabel 1 juga menunjukkan bahwa batuan konglomerat yang menjadi ciri
fasies distal ditemukan pada bagian tengah sampai hilir DAS Bedog. Batuan aglomerat ini
hanya ditemukan di dalam alur sungai. Hal ini karena pada wilayah tengah sampai dengan
hilir DAS Bedog didominasi dengan proses pengendapan material sehingga tidak ditemukan
singkapan batuan. Selain itu, ditemukan juga batuan gamping napalan yang merupakan
bagian dari Formasi Sentolo. Formasi ini bukan merupakan bagian dari fasies Gunungapi
Merapi. Litofasies yang terdapat di DAS Bedog mengindikasikan bahwa pada masa lampau
sungai ini juga dilalui banjir lahar. Proses yang terjadi berikutnya adalah perubahan alur
sungai disebabkan oleh proses sungai dalam waktu yang lama, atau dapat pula disebabkan
oleh adanya penumpukkan material awan panas yang kemudian menyebabkan alur Sungai
Bedog bagian atas terkubur dan menjadi lebih tinggi dari sekitarnya. Kondisi ini juga terjadi
pada Sungai Gendol setelah erupsi Gunungapi Merapi tahun.

19 |G e o h a z a r d
Identifikasi fasies di DAS Bedog menunjukkan bahwa wilayah kajian terdiri dari fasies
medial dan fasies distal dari Gunungapi Merapi. Hal ini berarti bahwa pada masa lampau
telah terjadi jatuhan awan panas, hujan abu, dan aliran lahar pada fasies medial dan hujan abu
pada fasies distal.
F. Model Pemberdayaan Masyarakat Pascaerupsi Gunung Merapi

Tlogolele adalah desa di Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini
terletak dekat dari puncak Gunung Merapi dan berada pada zona berbahaya (berjarak 4 km
dari puncak) dengan kondisi daerah berada di dataran tinggi berbatasan langsung dengan
Gunung Merapi dan berjarak kurang lebih 4 km dari puncak Gunung Merapi. Desa Tlogolele
mempunyai luas wilayah 463.1376 Ha dibagi menjadi 4 Dusun, 8 Dukuh, 5 RW dan 19 RT.
Karena lokasi wilayah di lereng gunung maka banyak diantara waraga yang bekerja sebagai
petani dan buruh tani dilading/tegalan (Sumber: Data Demografi Desa Tlogolele 2012).

20 |G e o h a z a r d
Jumoyo adalah desa yang ada di Kecamatan Salam Kabupaten Magelang Jawa
Tengah, memiliki luas wila yah 380,07 Ha dan jarak dari puncak gunung merapi kurang lebih
16 km. Desa Jumoyo memiliki penduduk kurang lebih 7376 jiwa yang tersebar di 10 dusun
atau RW. Penduduk Desa Jumoyo umumnya berprofesi sebagai petani terutama petani salak,
dan ada juga yang berprofesi sebagai pedagang (Sumber: Data Demografi Desa Jumoyo
2012). Balerante merupakan salah satu desa di Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten
Provinsi Jawa Tengah dengan luas desa 831.1230 Ha yang terbagi dalam 4 wilayah dusun, 8
RW dan 17 RT. Kemudian memiliki jarak dengan Gunung Merapi kurang lebih 7 km. Mata
pencaharian penduduk terbanyak menjadi petani, peternak dan buruh tani (Sumber: RPJM
Desa Balerante 2011- 2015). Desa Kepuharjo berada di Kecamatan Cangkringan Kabupaten
Sleman Provinsi Yogyakarta memiliki luas wilayah 875 Ha dengan jarak ke Gunung Merapi
kurang lebih sekitar 8 km. Penduduknya sebagian besar menjadi petani dan buruh tani sektor
pertanian, perkebunan serta peternakan, kemudian terdapat juga penduduk banyak bekerja di
bidang jasa perdagangan dan pariwisata (Sumber: Data Demografi Desa Kepuharjo 2012).
Adapun peta lokasi penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 1. Model Pemberdayaan Hasil
dari identifikasi dan analisis permasalahan serta potensi sumber daya di lokasi penelitian
berdasarkan proses wawancara, FGD dan obervasi terhadap masyarakat pascaerupsi Gunung
Merapi, yaitu masyarakat lebih menekankan pada kebutuhan program pemberdayaan secara
komprehensif, mulai dari kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan sebagai suatu
kesatuan. Hal tersebut berguna untuk pemulihan (recovery) usaha-usaha ekonomi masyarakat
yang dulu telah terbentuk dan menjadi mata pencaharian. Sebagaimana dalam hasil penelitian
Andrayani (2011: 47) yang salah satunya membahas kebutuhan awal untuk pemenuhan
ekonomi bagi masyarakat Merapi antara lain menghidupkan kembali usaha lama yang tidak
memerlukan pembenahan fisik terlebih dahulu, aktifitas perdagangan di pasar tradisional,
pemberian benih, pemberian modal atau kredit lunak, alat produksi, pakan ternak,
pendampingan UMKM sampai kepada pemasaran hasil produksi, menciptakan mata
pencaharian baru dan atau memanfaatkan material yang ada. Revitalisasi kelompok tani

21 |G e o h a z a r d
maupun koperasi sebagai sentra pemulihan, pemberdayaan dan terwujudnya kemandirian
desa di sekitar lereng Merapi perlu dilakukan. Maka dalam penelitian ini terdapat tahapan
hasil penelitian berupa, identifikasi masalah dan potensi yang ada di masyarakat. Tahapan
berikutnya menganalisis dan mencari solusi kongkrit, kemudian tahapan pembuatan model
pemberdayaan. Rangakaian tahapan hasil penelitian ini merupakan hasil dari, oleh dan untuk
masyarakat pascaerupsi di lokasi penelitian Gunung Merapi. Mengggunakan metode
Participatory Rural Apprasial (PRA) sebagai istilah dalam pendekatan penelitian yang
menggunakan metode partisipatif dengan menekankan kepada pengetahuan lokal dan
kemampuan masyarakat untuk membuat penilaian sendiri, menganalisis sendiri, dan
merencanakan sendiri apa yang dibutuhkan. PRA memfasilitasi proses saling berbagi
informasi (information sharing), analisis dan aktifitas antar stakeholders. Menurut Syahyuti
(2006: 143) PRA intinya adalah ...to enable development practiotioners, goverment official,
and local people to work together to plan context appropriate programs (Syahyuti, 2006:
143). Hal tersebut diperkuat oleh konsep dari Nair dan White (2004: 176) tentang model
pembaharuan budaya dalam proses pembangunan yang memperhatikan sensitifitas,
menghormati keberagaman dan bersifat toleran yang difahami melalui dialog untuk menilai
kebutuhan serta merefleksikan proses aksi. Rangkaianya adalah: (1) Tahapan mendiagnosa
proses, dengan mengartikulasi kebutuhan, mengidentifikasi, menginventarisir, membuat peta
alternatif menuju pada tahap selanjutnya; (2) Tahapan proses penelitian partisiatif, di awali
dengan memilih beberapa alternatif, merancang penelitian, mengumpulkan data, dan
menganalisis data menuju tahapan berikunya; (3) Tahapan proses aksi, yang di mulai dengan
melanjutkan tindakan, memperhitungkan, merefleksikan dan memikirkan konsep. Maka
berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian di masyarakat pascaerupsi Gunung Merapi di
keempat lokasi, adalah sebagai berikut:
Model Pemberdayaan di Desa Tlogolele Pertama, Identitikasi masalah, yaitu: (1)
Masyarakat belum maksimal dalam memanfaatkan akses jaringan internet untuk pemasaran,
promosi, menjalin akses kerjasama atau kemitraan. Padahal sudah terdapat fasilitas jaringan
internet di kantor desa; (2) Kegiatan pendampingan hanya dilakukan pada proses produksi,
tetapi belum sampai ke proses pemasaran pascaproduksi; (3) Kelompok siaga bencana masih
kurang siap dan mampu untuk menangani bencana yang lebih besar seperti dalam
menyediakan tempat penampungan evakuasi; (4) Peternakan sapi yang belum maksimal
dalam proses penggemukan dan pembuatan pupuk organik; (5) Kurangnya kesadaran petani
untuk melakukan budi daya pertanian organik, sehingga masih memiliki ketergantungan pada
pupuk kimia (non organik); (6) Terdapat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan bibit sayuran
dan pupuk; (7) Peternak dan pasar belum terintegrasi, sehingga harga daging ditentukan oleh
tengkulak; (8) Masih rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hal ini diindikasikan
dengan masih besarnya jumlah lulusan sekolah dasar, dikarenakan masyarakat masih
mengangap keberlanjutan pendidikan hanya menjadi beban ekonomi keluarga dan masih
adanya budaya pernikahan pada usaha dini; (9) Masalah pada fasilitas umum pascabencana
adalah air bersih, jalan umum, jalur evakuasi, jembatan dan jaringan irigasi yang masih dalam
keadaan rusak; (10) Belum ada sertifikasi untuk tanaman organik, sehingga hasil tanaman
organik ketika dipasarkan dihargai sama dengan yang hasil non organik; (11) Terdapat
sebagian dari masyarakat yang masih belum sadar bahaya bencana merapi, sehingga kembali
lagi ke zona (wilayah) tempat tinggalnya yang dikatago rikan bahaya. Karena merasa
kesulitan beradaptasi dan kehilangan tempat pencaharian jika tinggal di tempat evakuasi
(wilayah baru); (12) Masyarakat menilai bantuan dan pendampingan baik dari LSM dan

22 |G e o h a z a r d
pemerintahan masih belum selesai, karena kurangnya pada tahap pendampingan; (13) Belum
bisa memanfaatkan hasil pertanian menjadi bahan olahan makanan, terbukti belum ada
kelompok usaha olahan makanan; (14) Belum berkembang lembaga ekonomi bersama seperti
koperasi untuk membantu hasil produksi dan pemasaran dari perternakan serta pertanian.
Kedua, Potensi yang teridentifikasi yaitu: (1) Adanya potensi dan minat dari masyarakat
untuk memanfaatkan fasilitas jaringan internet yang tersedia di desa; (2) Terdapat potensi
yang cukup besar di bidang peternakan seperti sapi, kambing dan ikan lele; (3) Potensi besar
dibidang pertanian seperti sayur mayur organik dan tembakau; (4) Sudah terbentuknya
kelompok tani dan kelompok siaga bencana yang sudah diberikan pelatihan serta memiliki
pengalaman menangani bencana baik skala kecil maupun besar. Kemudian memiliki
semangat dan kepedulian yang tinggi dari masyarakat terhadap tanggap bencana; (5) Ada
tempat relokasi untuk hunian tetap yang telah disediakan oleh pemerintah bagi masyarakat
yang daerahnya terkena bencana erupsi gunung merapi; (6) Masyarakat masih memiliki
semangat untuk menerima dan bekerjasama dengan pihak luar seperti untuk kegiatan
penyuluhan, pelatihan, bantuan dan pendampingan; (7) Sudah terdapat kelompok simpan
pinjam yang diasumsikan oleh masyarakat sebagai lembaga koperasi yang belum diformalkan
atau belum ada ijin pendirian secara resmi. Ketiga, Analisis dan solusinya: (1) Perlu ada
pelatihan internet bagi perangkat desa, kelompok usaha dan kelompok siaga bencana; (2)
Perlu perbaikan fasilitas jaringan telekomunikasi serta internet; (3) Memerlukan pelatihan
dan pendampingan peternakan sapi dan pertanian sayur mayur organik; (4) Mengintegrasikan
hasil peternakan dan hasil pertanian mulai dari proses produksi sampai pemasaran; (5)

Bagi kelompok siaga bencana memerlukan pelatihan lanjutan secara periodik untuk
mengantisipasi terjadinya bencana yang tidak terduga; (6) Memerlukan penyuluhan,
pendekatan dan pendampingan yang lebih komprehensif, mulai dari aspek psikologis, sosial,

23 |G e o h a z a r d
ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat yang masih menolak untuk direlokasi; (7)
Mengusulkan perbaikan fasilitas umum seperti air bersih, jalan dan irigasi kepada pihak
pemerintah; (8) Memerlukan penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk pembentukan
koperasi yang berbadan hukum sebagai lembaga ekonomi bersama bagi kelompok usaha
masyarakat. Berdasarkan identifikasi masalah dan potensi, serta analisis solusi, maka dapat di
buat model pemberdayaan yang diimplementasikan dapat dilihat pada Gambar 2. Model
Pemberdayaan di Desa Jumoyo Pertama, Identifikasi masalah: (1) Bantuan bibit salak pondoh
dari pemerintah dan LSM tidak cocok dengan lahan yang dimiliki; (2) Irigasi dalam keadaan
rusak, sehingga mengganggu usaha perikanan dan pertanian; (3) Kesulitan sumber air bersih,
karena mata air yang hilang; (4) Kelompok usaha batik masih memiliki masalah perlatan
produksi, pemasaran dan pengembangan spesifikasi jenis produksi; (5) Belum terbentuknya
koperasi induk yang resmi dan dapat menghimpun kelompok usaha; (6) Masyarakat menjadi
kurang berminat menanam Salak, karena jangka produksinya lama dan banyak lahan
masyaralat yang sudah tertutup oleh timbunan pasir, sehingga masyarakat beralih profesi
menjadi kuli pasir sekaligus menyewakan lahan pasirnya; (7) Bantuan dari LSM dan
pemerintah sangat banyak, tetapi masih berbasis proyek dan tidak ada keberlanjutan dan
pendampingan; (8) Penyuluhan dan pelatihan yang diikuti warga juga sudah sangat banyak,
tetapi pihak desa tidak menginventarisir kegiatan tersebut, sehingga kurang adanya
pemerataan kegiatan; (9) Belum ada upaya masyarakat untuk mengolah sumber pasir yang
tersedia, hanya dimanfaatkan untuk penambangan pasir. Kedua, Potensi yang teridentifikasi
adalah: (1) Masyarakat sudah berpengala man secara turun temurun untuk budi daya salak
pondoh dan produksi gula merah; (2) Memiliki kemampuan dan semangat untuk
memproduksi batik; (3) Melimpahnya sumber penambangan pasir yang bisa lebih
dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi hasil produksi seperti batako dan pavingblock; (4)
Perkoperasian kelompok usaha sudah terbentuk mulai dari pengurus dan anggota serta sudah
berjalannya usaha simpan pinjam, namun belum memiliki koperasi induk yang badan hukum;
(5) Terdapat potensi bahan baku seperti ketela dan pepaya untuk usaha pengolahan makanan;
(6) Terdapat radio komunitas yang memiliki frekuensi yang sudah terdaftar. Ketiga, Analisis
dan solusi: (1) Perlu dilaksanakan kajian tentang lahan warga yang dulunya sangat potensial
ditananami salak pondoh; (2) Perlu dicarikan alternatif sumber air atau revitalisasi sumber
air; (3) Pengadaan alat produksi batik dan pelatihan peningkatan diversifikasi produk batik;
(4) Perlu dilakukan pelatihan koperasi untuk mengintegrasikan kelompok usaha dalam satu
lembaga koperasi yang berbadan hukum; (5) Menginventarisasi jenis penyuluhan dan
pelatihan yang telah diikuti oleh warga, sehingga bisa memenuhi unsur pemerataan; (6)
Membutuhkan pelatihan

24 |G e o h a z a r d
keterampilan pengolahan produksi makanan dari ketela dan pepaya.(7) Perlu adanya
perbaikan fasilitas radio komunitas dan pelatihan produksi siaran radio khususnya segmentasi
tanggap bencana. Adapun model pemberdayaan yang dirancang untuk dapat
diimplementasikan dpaat dilihat pada Gambar 3. Model Pemberdayaan di Desa Balerante
Pertama, Identifikasi masalahnya: (1) Kelompok usaha makanan kering masih terbatas alat
pengering untuk membuat makanan kering yaitu keripik pisang, ceriping ketela, keripik
nangka dan kripik bayam. Kemudian masih kesulitan mengembangkan pemasaran dan
penyediaan kebutuhan bahan bakunya yang bersifat musiman; (2) Kelompok usaha batik
masih belum memiliki keterampilan (skill) lanjutan dalam memproduksi batik Merapi,
dikarenakan anggota kelompok yang pernah dilatih masih sedikit dan waktunya sebentar.
Kemudian penghasilan dari batik masih minim dan kendala kesulitan pemasarannya serta
harga jual yang masih belum bisa bersaing (masih mahal); (3) Masih kesulitan mengolah
cacing untuk pakan ikan (pelet ikan); (4) Masyarakat pemilik sapi tidak melanjutkan sistem
gaduh. Sehingga terjadi persoalan ketika ada ganti rugi terhadap sapi yang mati akibat
bencana; (5) Adanya permasalahan dalam proses produksi seperti pada teknologi pengolahan
produksi minyak cengkeh, akibatnya hasil produksi masih sedikit, belum mendapat serifikat
uji laboratorium dan pengemasan produk masih dijual secara eceran biasa, dengan tidak
dalam bentuk kemasan botol kecil yang lebih menarik; (6) Permasalahan koperasi belum
memenuhi persyaratan untuk bisa menjadi lembaga koperasi simpan pinjam dan memiliki
badan hukum; (7) Kesulitan kebutuhan sumber air bersih dan untuk irigasi. Kedua,
Identifikasi potensi, yaitu: (1) Kelompok usaha keripik pisang, keripik ketela, keripik bayam,

25 |G e o h a z a r d
selai pisang dan selai nangka sudah memiliki keterampilan, karena telah mendapat pelatihan
olahan makanan; (2) Terdapat kelompok pengrajin kain batik Merapi, karena sudah pernah
dilatih untuk membuat batik di Universitas Mu hammadiyah Surakarta (UMS); (3)
Pemasaran batik merapi memiliki khasan dan daya tarik tersendiri seperti motif flora dan
fauna Merapi; (4) Budidaya pupuk kompos cacing sangat mudah dan tingkat permintaan
pasar tinggi, khususnya untuk tanaman hias. (5) Kelompok usaha makanan olahan telah
memiliki jaringan (akses) pemasaran ke Supermarket Mirota Yogyakarta; (6) Bahan baku
daun cengkeh tersedia banyak dan hasil minyak cengkeh memiliki permintaan pasar yang
cukup tinggi serta tidak memiliki kesulitan dalam pemasaran; (7) Kemudian sudah terbentuk
kelompok penyuling cengkeh yang bernama Al Barokah; (8) Terdapat personil untuk tim
siaga bencana yang sudah dilatih. Ketiga, Analisis dan Solusi: (1) Melakukan kegiatan
penyuluhan pelatihan dan pendampingan produksi dan desain batik; (2) Pelatihan dan
pendampingan teknik penyulingan minyak cengkeh dengan pendekatan inovasi teknologi dan
pengemasan produk dengan label yang lebih menarik. Kemudian melakukan studi banding ke
perusahaan penyulingan minyak cengkeh; (3) Pengadaan alat pembuatan konsentrat pakan
sapi; (4) Penyediaan dan penambahan bahan baku, melakukan pendampingan, pemasaran dan
memfasilitasi permodalan bagi kelompok olahan makanan; (5) Memfasilitasi dan melakukan
pendampingan untuk mendapatkan sertifikat standar laboratorium bagi produksi minyak
cengkeh serta standar pengemasan yang lebih bersaing. Model pemberdayaan yang dirancang
untuk dapat diimplementasikan dapat dilihat pada Gambar 4.

Desa Kepuharjo Sleman Pertama, Identifikasi masalah: (1) Kelompok usaha


pembuatan kripik aneka rasa memiliki kesulitan permodalan dan pemasaran; (2) Masih
kurang memadai tempat untuk kegiatan promosi dan pemasaran; (3) Terdapat kesulitan dalam
menejemen komunal untuk pengelolaan kandang ternak sapi secara bersama di hunian tetap
(Huntap), karena belum ada pengurus yang terorganisir untuk pengelolaan kandang sapi
bersama dan modal usaha bersama; (4) Kesulitan dalam mencari rumput untuk pakan sapi,
sehingga sebagian peternak mengembala sapi di tempat hunian lama yang berstatus bahaya;
(5) Permasalahan megembangkan pemasaran produk wedang uwuh instan sebagai minuman

26 |G e o h a z a r d
khas; (6) Kelompok usaha yang dahulunya sudah dilatih dan terbentuk di hunian sementara,
tidak melanjutkan usahanya karena setiap anggota berpindah ke lokasi tempat tinggal di
hunian tetap yang berbeda. Akibatnya para anggota kelompok usaha sulit berkoordinasi dan
berkerja sama lagi serta terhenti proses produksi; (7) Masih kesulitan dalam proses
pengeringan kandungan minyak pada produk olahan makanan. Kemudian belum mendapat
sertifikat ijin usaha industri rumah tangga dari departemen kesehatan. Kedua, Identifikasi
potensi: (1) Teredia bahan baku untuk produksi keripik, sebagian masyarakat sudah mendapat
pelatihan pembuatan kripik; (2) Sudah terbentuknya tim promosi desa untuk memasarkan
produk dan sudah memiliki tempat pemasaran atau promosi serta sudah ada akses pemasaran
ke swalayan di Kota Yogjakarta; (3) Terdapat kandang sapi komunal yang telah dibangun
secara permanen di hunian tetap; (4) Terdapat bahan baku untuk membuat wedang uwuh
sebagai minuman tradisional khas Yogyakarta; (5) Terdapat kelompok tani Pepaya Thailan
dan lahan tersedia seluas 10 hektar milik kelompok tani dengan sumber pembibitan bantuan
dari LSM; (6) Ada kelompok kerajinan tas rajut sebagai bentuk usaha pribadi dan terdapat
potensi kerajinan sangkar burung dari bambu serta usaha batako dari pasir Merapi. Ketiga,
Analisis dan solusi: (1) Melakukan pendampingan untuk mendapat akses permodalan dan
perluasan pemasaran bagi kelompok usaha; (2) Mengadakan pelatihan dan pendampingan
bagi pembentukan lembaga usaha bersama dalam bentuk koperasi yang berbadan hukum; (3)
Pembentukan pengurus kelompok pengelola kandang sapi komunal di hunian tetap; (4)
Perbaikan sarana dan prasarana tempat untuk promosi dan pemasaran; (5) Pelatihan dan
pembuatan website bagi tim promosi desa untuk membantu pemasaran produk; (6)
Memfasilitasi industri rumah tangga untuk mendapatkan ijin usaha dari departemen
kesehatan; (7) Menyediakan lahan bagi penanaman rumput yang dapat menjadisumberpakan
sapi di zona larangan hunian yang terkena bencana. Model pemberdayaan yang dirancang
untuk dapat diimplementasikan dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan hasil penelitian di
empat lokasi tersebut, terdapat persamaan yaitu kebutuhan model pemberdayaan masyarakat
yang komprehensif sebagai bentuk peningkatan kemampuan dan keberdayaan mulai dari
individu, kelompok, hingga ke suatu komunitas untuk dapat meraih kemandirian dan
kesejahteraan. Sebagaimana dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan
melalui tiga aras atau matra (Suharto, 2005: 66-67) yaitu: (1) Aras Mikro, pemberdayaan
dilakukan terhadap klien secara individual melalui bimbingan, konseling, stress manajemen,
crisis intervention. Tujuan utamanya membimbing atau melatih klien dalam menjalankan
tugas-tugas kehidupannya; (2) Aras Mezzo, pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok
klien sebagai media intervensi. Pendidikan, pelatihan dan dinamika kelompok digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap
klien agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapinya; (3) Aras Makro,
pemberdayaan yang diarahkan kepada lingkungan yang lebih besar (large-system strategy),
seperti perumusan kebijakan, perencanaan sosial, dan manajemen konflik. Klien sebagai
orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasinya dan untuk memilih serta
menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Kemudian menurut Persons et al; (1994:
106) ada tiga dimensi pemberdayaan yaitu: (1) Proses pembangunan yang bermula dari
pertumbuhan individual yang selanjutnya berkembang menjadi sebuah perubahan yang lebih
luas; (2) Keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu
mengendalikan diri dan orang lain; (3) Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan
sosial, yang dimulai dari pendidikan dan memperkuat posisi tawar orang-orang yang tidak
berdaya, untuk selanjutnya melibatkan upaya kolektif dari orang-orang yang tidak berdaya
tersebut memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menguasai.

27 |G e o h a z a r d
Sebagaimana menurut Ife (2002: 53) pemberdayaan berfungsi untuk meningkatkan
keberdayaan dari pihak yang dirugikan (the disadvantaged). Maka dengan hasil penelitian
berupa model pemberdayaan masyarakat memiliki tujuan yang diharapkan. Sebagaimana
menurut Mardikanto (2010: 127-128) pemberdayaan memiliki tujuan: (1) Perbaikan
pendidikan (better education); (2) Perbaikan aksestabilitas (better accessibility); (3)
Perbaikan tindakan (better action); (4) Perbaikan kelembagaan (better instution); (5)
Perbaikan usaha (better bussines); (6) Perbaikan pendapatan (better income); (6) Perbaikan
lingkungan (better environment); (7) Perbaikan kehidupan (better living); (8) Perbaikan
masyarakat (better community).

Ketangguhan sosial, ekonomi dan budaya di daerah rawan bencana seperti di


masyarakat yang terkena dampak eruspi Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta
masih harus mendapat perhatian serius, salah satunya melalui program pemberdayaan
masyarakat (community empowerment) dan penguatan kapasitas kelembagaan. Maka sangat
penting dan strategis adanya penelitian yang menghasilkan model pemberdayaan masyarakat
yang implementatif dalam perspektif yang lebih partisipatif dengan menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). Hasil penelitian berupa identifikasi masalah dan potensi
serta analisis solusi berdasarkan teknik wawancara, observasi dan Focus group discussion
(FDG) dari keempat lokasi, memiliki kesamaan dalam model pemberdayaan yaitu
membutuhkan serangkaian kegiatan yang komprehensif mulai dari penyuluhan, pelatihan dan
pendampingan harus satu sinergi yang tidak boleh dipisahkan. Selama pascaerupsi,
banyaknya penyuluhan, pelatihan dan bantuan yang diberikan kepada masyarakat, namun
menjadi kurang mendukung pada aspek keberlanjutan, karena tidak disertai dengan kegiatan
pendampingan. Kemudian kebutuhan lembaga koperasi induk yang memiliki badan hukum
sebagai pusat usaha perekonomian untuk memenuhi kebutuhan permodalan, penyediaan
bahan baku, dan akses jaringan pemasaran bagi kelompok usaha. Kemudian masyarakat
membutuhkan pelatihan secara periodik dan penguatan kembali kelompok siaga bencana di

28 |G e o h a z a r d
tingkat desa. Adapun perbedaan di empat lokasi penelitian sebagai kekhasan yang harus
menjadi perhatian bagi implementasi model pemberdayaan yaitu: Desa Tlogolele Kecamatan
Selo. Kabupaten Boyolali yaitu pemberdayaan yang mengintegrasikan bidang usaha
peternakan dan pertanian organik mulai dari proses produksi sampai pemasaran. Desa
Jumoyo Kecamatan Salam Kabupaten Magelang, membutuhkan adanya riset lanjutan
pengkajian dan optimalisasi lahan untuk budidaya salak pondoh, serta pemberdayaan tentang
budi daya salak pondoh. Desa Balerante Kecamatan Kemalang Kabupaten Kelaten, yaitu
penerapan inovasi teknologi produksi dan pengemasan minyak cengkeh serta uji laboratorium
untuk mendapatkan sertifikasi. Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman,
yaitu pembentukan kelompok komunal peternak sapi, penyediaan pakan sapi dan peningkatan
fasilitas tempat promosi serta pemasaran untuk produksi usaha.
G. Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar

Desa Kemiren dapat dijangkau dari Magelang melalui jalur angkutan umum
Magelang Muntilan Bulu, dari Yogyakarta melalui jalur Yogya Tempel Bulu. Desa
Kemiren terdiri dari tiga dusun, yaitu Dusun Kamongan Cilik, Dusun Kemiren, dan Dusun
Jamburejo. Desa Kemiren terbagi dalam tiga Dukuh, empat RW dan meliputi enam RT. Desa
Kemiren memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Kawasan Lingkar Gunung Merapi
b. Sebelah Selatan : Desa Kamongan
c. Sebelah Barat : Desa Ngablak
d. Sebelah Timur : Desa Kaliurang Desa Kemiren ini berbatasan langsung dengan
kawasan lingkar Gunung Merapi.
Kehidupan masyarakatnya banyak bergantung pada kelestarian lingkungan alam
kawasan Lingkar Merapi ini. Baik untuk ketersediaan air, lahan pertanian maupun untuk
kebutuhan peternakan serta sebagai daerah bangunan penahan lahar (Sabo Dam) maupun
banjir yang berasal dari Gunung Merapi. Luas Desa Kemiren ini adalah 616,840 ha. Dimana
439,741 ha (71,28%) merupakan area sawah dan ladang, 47,868 ha (7,76%) adalah
pemukiman atau area perumahan, 0,029 ha (4,76%) adalah perkantoran pemerintah, dan
129,202 ha (20,54%) adalah tanah lain-lain.

29 |G e o h a z a r d
Kondisi Struktur Sosial
Penduduk Desa Kemiren sebanyak 1.103 jiwa dengan komposisi penduduk berjenis
kelamin lakilaki sebesar 553 (50,13%) sedangkan penduduk berjenis kelamin perempuan
sebesar 550 (49,86%) dan kesemuanya WNI. Jumlah penduduk yang berstatus kepala
keluarga 296 KK. Dengan demikian rata-rata setiap keluarga beranggotakan 4 orang. Ilustrasi
demografi penduduk ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3 (Data Monografi Desa Kemiren bulan
Juli tahun 2007). Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa penduduk Desa
Kemiren didominasi oleh penduduk muda yang disebut pemuda yang juga merupakan
penduduk usia produktif, yaitu usia antara 15-40 tahun sebesar 465 jiwa dengan presentase
sebesar 42,15 %. Sedangkan penduduk Desa Kemiren yang berusia antara 40-60 tahun ke
atas hanya sebesar 297 jiwa dengan presentase sebesar 26,92 %. Penduduk yang berusia
antara 0-14 tahun sejumlah 334 jiwa dengan presentase sebesar 30,28 %. Kondisi
Perekonomian Desa Kemiren merupakan salah satu desa yang terletak tepat di kaki Gunung
Merapi dan merupakan kawasan yang terletak di kawasan Lingkar Merapi. Penduduk yang
terdapat di Desa Kemiren ini sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan
komoditas utama pertanian di desa ini adalah pertanian salak pondoh. Salak pondoh menjadi
komoditas utama pertanian di desa ini sejak tahun 1990-an. Oleh karena itu, faktor
lingkungan alam seperti ketersediaan air untuk pengairan sawah dan kebun menjadi sangat
penting selain untuk kebutuhan sehari-hari. Selain bertani penduduk juga banyak yang
memelihara ternak sapi, kambing maupun kerbau, dan ternak unggas lainnya sehingga
kebutuhan rumput untuk pakan ternak menjadi tinggi. Hal inilah yang menjadi alasan
pentingnya kelestarian lingkungan alam kawasan hutan lingkar Merapi yang mengalami
kerusakan pasca aktivitas penambangan pasir di luar badan sungai.

Adaptasi Masyarakat Sistem Mitigasi Resiko


Bencana Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa
serta kerugian harta benda yang besar telah membuka mata kita bersama bahwa
pengelolaan/manajemen bencana sangat diperlukan untuk mengurangi resiko terjadinya
kerusakan, kerugian, dan timbulnya korban jiwa melalui kegiatan mitigasi. Secara umum
kegiatan mitigasi bencana dapat dibagi dalam tiga kegiatan utama, yaitu:
1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, kesiapsiagaan, dan
peringatan dini
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan
darurat, dan pengungsian
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.
Pengelolaan/manajemen bencana dalam hal ini adalah kegiatan mitigasi bencana
merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana
yang dilakukan sebelum, saat terjadi, dan setelah terjadinya bencana alam yang dikenal
sebagai Siklus Manajemen Bencana. Tujuannya untuk mencegah kehilangan jiwa,
mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat, dan pihak berwenang
mengenai resiko serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama yang berakibat ada

30 |G e o h a z a r d
hilangnya nilai ekonomis infrastuktur tersebut. Dengan adanya mitigasi maka resiko yang
mungkin muncul akan dapat diperkirakan. Penerapan teknologi sabo merupakan bagian dari
upaya mitigasi bencana yang mungkin terjadi, yaitu bencana banjir lahar. Teknologi sabo
yang telah diterapkan di Desa Kemiren adalah pembuatan dam sabo yang mengapit Desa
Kemiren, yaitu BE-RD3 dan BAD1. Dam sabo berfungsi melindungi manusia dan
kekayaannya terhadap bahaya aliran sedimen untuk melindungi infrastruktur dan fasilitas
irigasi serta untuk melestarikan lingkungan.

Pengembangan Institusi Masyarakat


Dengan banyaknya penduduk yang berusia muda, maka ketika terjadi permasalahan
dengan lingkungan alam yang terjadi di desa ini para pemuda kemudian tergerak untuk
membentuk organisasi swadaya yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan alam di
daerahnya dan meningkatkan nilai ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah melalui
Lembaga Pengelola Sumberdaya dan Potensi Desa (LPSPD) Bumi Lestari. Struktur
Organisasi LPSPD Bumi Lestari digambarkan dalam Gambar 4. Organisasi ini merupakan
organisasi sosial kemasyarakatan yang dibentuk tanggal 17 Mei 2008. Tujuan organisasi
adalah mengelola sumberdaya dan potensi Desa Kemiren secara adil dan bijaksana serta
berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (dalam rangka partisipasi
publik dalam pembangunan daerah).

Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar


Analisis perilaku adaptasi masyarakat Kemiren berdasarkan pelaku adaptasi, yaitu
pemerintah dan masyarakat Kemiren yang diwakili oleh LPPD Bumi Lestari, seperti yang di
tampilkan dalam Tabel 1. Kemudian akan dijabarkan dalam paragraf berikutnya. Adapun

31 |G e o h a z a r d
adaptasi masyarakat yang telah dilakukan oleh penduduk Desa Kemiren pada beberapa
sektor, antara lain sektor pertambangan, sektor pertanian, dan sektor lingkungan.
Sektor Pertambangan
Usaha penambangan pasir merupakan salah satu usaha yang mampu menyedot
lapangan kerja namun usaha ini juga rawan terhadap pengerusakan lingkungan. Menurut
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan, pengrusakan
lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung/tidak langsung terhadap
sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Penambangan material dilakukan di Dam
BERD3, yaitu salah satu dam di Kali Bebeng. Dam BERD3 merupakan dam tipe tertutup.
Ditunjukkan dalam Gambar 5 dan Gambar 6. Kali Bebeng merupakan perbatasan antara Desa
Kemiren dan Desa Kaliurang. Kegiatan penambangan, seperti ditunjukkan pada Gambar 9
dilakukan oleh masyarakat Kemiren dan masyarakat Kaliurang. Berdasarkan kesepakatan
dari kedua desa tersebut pembagian lokasi penambangan di sungai tersebut dibagi 2 dengan
batasnya merupakan garis tengah dari sungai tersebut. Setiap truk yang akan melakukan
muatan akan dikenakan retribusi yang akan dikutip di portal desa oleh petugas yang ada
(gambar 7). Besarnya retribusi yang dikutip adalah Rp. 10.000,-/rit. Setiap truk akan diberi 3
karcis yang di dalamnya tertera harga pasir dan batu. Petugas memberikan tiga lembar karcis
yang terdiri dari 1 lembar untuk supir truk, 1 lembar untuk material, dan 1 lembar untuk
penambang. Sebagai contoh di dalam karcis tertulis harga pasir Rp. 120.000,-/rit pasir dengan
rincian Rp. 100.000,- untuk penambang pasir, Rp. 10.000,- untuk pemilik lahan, dan Rp.
10.000,- untuk desa. Dalam 1 hari jumlah truk yang mengangkut material adalah 50 truk dan
jumlah penambang +100 orang. Di Magelang hanya baru Bumi Lestari yang menerapkan
sistem retribusi ini dari 54 pemegang SPM (Surat Pengambilan Material). Menyadari dampak
negatif dari adanya kegiatan penambangan pasir, diantaranya adalah (1) sarana jalan desa
yang rusak, (2) pencemaran lingkungan berupa debu, kebisingan, dan kepadatan lalu lintas
desa, (3) bahaya kerusakan infrastruktur pengendali banjir lahar, (4) penurunan elevasi muka
air tanah, dan (5) penurunan kesuburan tanah, maka LSM Bumi Lestari mencoba untuk
mengendalikan kegiatan penambangan pasir secara optimal. Dapat dilakukan dengan cara
penerapan teknologi pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir di wilayah Desa
Kemiren. Pengolahan penambangan material golongan C termasuk wilayah kerja bidang
pertambangan Mereka mengolah sendiri sisa hasil tambang pasir salah satunya adalah bantak.
Bantak biasanya dipisahkan secara manual oleh penambang pasir sewaktu menambang pasir.
Bantak biasanya berdiameter antara 10 - 15 cm, karena penambang biasanya mengambil pasir
atau batu yang lebih besar dari bantak, sehingga bantak tidak digunakan lagi. Oleh penduduk,
bantak dimanfaatkan dengan diolah kembali menjadi split berukuran 1- 4 cm. Pengolahan
bantak menggunakan alat pemecah batu (stone crusher), seperti ditunjukkan dalam Gambar 8.
Penduduk membeli sendiri stone crusher bekas dari Mojokerto seharga 140 juta. Selanjutnya
mesin stone crusher yang ditunjukkan pada Gambar 8 dimodifikasi diganti dengan mesin truk
bekas. Dalam proses penggilingan batu biasanya dibutuhkan 15 20 orang dengan kapasitas
produksi 70 m3 split dan atau pasir. Mereka memproduksi berdasarkan pesanan dengan
pendapatan 90 rb/ m3 dan pasir 65 rb/m3. Selanjutnya pasir yang dihasilkan dari proses
penggilingan ini dimanfaatkan penduduk dengan cara diolah menjadi batako dan paving
block. Dalam proses pembuatan batako ini biasanya dibutuhkan 5 orang pekerja.
Sektor Pertanian

32 |G e o h a z a r d
Pada bidang pertanian, masyarakat sekitar yang dibantu oleh LSM Bumi Lestari
memanfaatkan kembali lahan bekas erupsi tahun 1961 untuk dipergunakan kembali sebagai
lahan budidaya pertanian dengan menggunakan alat berat berupa backhoe. Pembagian lahan
didasarkan pada kepemilikan hak atas tanah (letter C) yang dimiliki secara turun temurun.
Biaya yang dikeluarkan untuk menata lahan agar bisa dipergunakan sebagai lahan pertanian,
seperti sewa dan operasional alat berat ditanggung oleh pemilik lahan. Sampai saat ini sudah
hampir 23 ha lahan bekas penambangan sudah mulai dibuka kembali dalam waktu kurang
lebih 3 bulan untuk selanjutnya tinggal pengukuran lahan garapan bagi penduduk Kemiren
yang akan memanfaatkannya. Pada saat penelitian lapangan dilakukan tanaman pertanian
yang dibudidayakan selain padi adalah tanaman tomat dan cabe. Lahan pertanian ini memang
dikhususkan untuk tanaman jangka pendek. Lokasi pertanian warga ini dilakukan di sekitar
sabo dam BA-D1 Kali Batang yang terletak di Dusun Ngablak, Desa Kemiren, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten Magelang, seperti diperlihatkan pada Gambar 9. Dari Gambar 10
terlihat bahwa perkerasan jalan terbuat dari batu yang tersusun rapi. Dari Gambar 11
menunjukkan bahwa lahan bekas penambangan yang ada diolah oleh masyarakat menjadi
lahan pertanian sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Hal ini
menunjukkan dukungan masyarakat dalam menjaga infrastruktur.
Sektor Lingkungan
Akibat penambangan pasir dan batu dalam jumlah besar di wilayah Desa Kemiren
pada tahuntahun sebelumnya, kawasan hutan Kaliandra yang berfungsi sebagai daerah
resapan air tanah dan benteng penghambat ancaman bencana alam dari Gunung Merapi ini
mulai dirambah untuk berbagai kepentingan pertanian. Penebangan pohon dan perambahan
hutan ini menyebabkan hilangnya vegetasi penutup lahan yang selama ini berfungsi sebagai
area resapan air tanah bagi kebutuhan hidup masyarakat Desa Kemiren. Pengelolaan tanah
dan cara bertani yang kurang tepat pasca pembukaan hutan juga telah banyak menghilangkan
kesuburan tanah di kawasan ini. Untuk itu, pada saat ini Desa Kemiren bekerjasama dengan
Bumi Lestari mulai mengembangkan hutan pariwisata yang berfungsi sebagai areal resapan
air serta menata areal rekreasi alam outbond dan sarana flying fox. Masyarakat Kemiren juga
membuat Gardu Pandang sebagai upaya adaptasi dalam bentuk mitigasi bencana. Gardu
Pandang, seperti terlihat pada Gambar 12, direncanakan akan dilaksanakan pada awal 2009
tapi baru terlaksana pasca erupsi merapi, di awal 2011. Dana pembangunan gardu pandang
bersumber dari bantuan Red Cross Denmark sebesar Rp. 177.000.000,- dalam bentuk
material dan 40 % dari swadaya masyarakat serta desain teknis gardu pandang tersebut
merupakan hasil kerjasama dengan UGM. Dalam penyusunan proposal kegiatan keterlibatan
masyarakat diwujudkan dalam bentuk penyampaian aspirasi pada perencanaan gardu
pandang. Sedangkan untuk desain dan gambar konstruksi diserahkan kepada Dinas PU
Magelang sebagai kontribusi dari Pemda Magelang. Tapi pada pelaksanaan di lapangan
gambar desain mengalami revisi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sejak erupsi
merapi ekonomi masyarakat menurun sehingga pembangunan gardu pandang diambil alih
oleh Bumi Lestari. Pembangunan gardu pandang untuk sementara berhenti karena terkendala
dana. Sementara masyarakat juga mulai mengembangkan hasil wisata lain yaitu wisata kolam
pemancingan ikan di dekat Gardu Pandang.
Rumusan Adaptasi Masyarakat
Bencana alam adalah fenomena alam yang apabila dicermati kemunculannya
memiliki pola keteraturan, periode ulang tertentu, lokasi yang terdampak dapat diprediksi,

33 |G e o h a z a r d
bahkan besarnya pun dapat dicatat dengan baik. Kejadian bencana banjir lahar juga
merupakan kejadian yang dapat diprediksi. Banjir lahar dipengaruhi kemiringan lereng
sungai, material yang tersedia, dan air hujan sebagai pengangkutnya. Curah hujan dapat
diprediksi dengan metode statistik, walaupun masih tetap mengandung kesalahan. Penerapan
teknologi sabo oleh pemerintah pusat dimana dilaksanakan oleh BBWS Serayu Opak, berupa
pembuatan dam BE-RD3 dan BA-D1, telah dilakukan dengan tujuan untuk mengendalikan
bencana banjir lahar. Pemahaman masyarakat tentang potensi bencana, fenomena dan
mekanisme kejadian banjir lahar, menjadi landasan adaptasi yang dilakukan. Masyarakat
Kemiren menjadi lebih siap dan waspada dengan adanya bencana banjir lahar walaupun
mereka tinggal didaerah rawan bencana. Setelah terjadi letusan Merapi, sebagai bencana
primer, bencana sekunder yang mungkin muncul adalah banjir lahar dingin. Dengan
penerapan teknologi sabo maka hal ini telah dapat teratasi. Masyarakat Kemiren mampu
hidup berdampingan dengan bencana banjir lahar, dengan cara beradaptasi dengan adanya
penerapan teknologi sabo. Masyarakat Desa Kemiren telah mengambil langkah-langkah
adaptasi yang mengacu pada tujuan pembagunan. Adaptasi dalam rangka pengembangan
perekonomian didukung dengan berkembangnya aktifitas penambangan. Masyarakat
melakukan penarikan retribusi dengan tujuan untuk kemakmuran desa. Masyarakat Kemiren
melakukan pemantauan dan penataan kegiatan penambangan pasir. Masyarakat memahami
jumlah, jarak, dan jangka waktu penambangan. Penambangan pasir dan pengambilan batu
yang menyisakan material berupa Bantak oleh masyarakat Kemiren selanjutnya dijadikan
split dengan menggunakan alat stone crusher. Hal ini sangat bermanfaat, selain menambah
penghasilan masyarakat setempat, juga mengurangi potensi bencana banjir lahar, dikarenakan
material banjir yang berkurang. Kekawatiran penduduk akan bahaya letusan dan banjir lahar,
akan berdampak negatif bagi potensi pariwisata daerah. Oleh karena itu, masyarakat Kemiren
melalui LPPD Bumi Lestari melakukan adaptasi dalam rangka Pengembangan Wilayah.
Pengembangan wilayah dilakukan dengan program pariwisata seperti flying fox dan gardu
pandang. Selain itu masyarakat Kemiren memanfaatkan kembali lahan yang pernah terkena
erupsi menjadi lahan pertanian jangka pendek dan juga hutan pariwisata. Diharapkan dengan
adanya kegiatan pariwisata ini akan menambah pendapatan masyarakat, termasuk di
dalamnya adalah menyerap lapangan kerja, terutama usia produktif. Adaptasi masyarakat
juga dilakukan dengan menjaga infrastruktur yang ada, termasuk menjaga dam sabo. Hal ini
karena masyarakat menyadari adanya bencana banjir lahar yang dimungkinkan melanda
daerah mereka. Partisipasi masyarakat dalam menjaga infrastruktur diwujudkan dalam
pengawasan penambangan. Penambangan senantiasa dijaga supaya tidak merusak dam yang
sudah ada serta tetap terjaganya imbangan sedimen antara hulu dan hilir. Pengelolaan
bencana tentunya membutuhkan peran dari banyak pihak. Masyarakat Kemiren beradaptasi
dengan membentuk kelompok masyarakat yang bernama LPPD Bumi Lestari. Peran
Lembaga Bumi Lestari dalam memberdayakan masyarakat sangat signifikan. LPPD Bumi
Lestari menjadi menjadi lembaga sentral dan representatif masyarakat Kemiren dalam pola
kerjasama dengan pihak luar, yaitu akademisi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) lain, dan swasta (pihak penambang). Adapun skema peran LPPD Bumi Lestari
disimpulkan dalam Gambar 13.

34 |G e o h a z a r d
Pada prinsipnya adaptasi masyarakat dilakukan secara multi sektoral, yaitu pertambangan,
pertanian, dan lingkungan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, terbukti berhasil.
Kekhawatiran bahwa akan terjadi penolakan penduduk setempat ataupun ahli terhadap
teknologi sabo yang berdampak buruk pada lingkungan tidak terbukti. Masyarakat desa
Kemiren mampu menunjukkan adaptasi positif terhadap penerapan teknologi sabo.
H. Menaksir Kerugian Ekologis Di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi

Hasil klasifikasi kelas kerusakan kawasan dari citra LANDSAT dan survey lapangan
menunjukkan bahwa kawasan TNGM mengalami 3 kelas tingkat kerusakan. Kerusakan berat
terjadi pada kawasan seluas 1.242 Ha (19,37%), kerusakan sedang seluas 1.208 Ha
(18,84%), kerusakan ringan seluas 2.544 ha (39,68%) dan sisa kawasan adalah medan lava
dan lahar seluas 1.416 Ha (22,11%) yang sudah ada sejak sebelum erupsi 2010 (Gambar 2).
Tidak dijumpai kelas tidak terdampak erupsi karena seluruh kawasan TNGM menunjukkan
adanya jejak abu vulkanik sehingga kelas terdampak paling rendah adalah kerusakan ringan.
Persentase tingkat kerusakan di tiap wilayah kelola TNGM tersaji pada Gambar 3.

35 |G e o h a z a r d
Kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Pakem-Turi, RPTN
Cangkringan, RPTN Srumbung, RPTN Dukun, RPTN Sawangan, RPTN Selo dan RPTN
Kemalang merupakan kawasan yang mengalami kerusakan berat. Pada kawasan yang
mengalami rusak berat tersebut, tidak dijumpai lagi tegakan yang tersisa. Salah satu kawasan
yang mengalami kerusakan tingkat berat dan sedang adalah di resort TuriPakem dan resort
Cangkringan yang sebelum terdampak erupsi 2010 memiliki tutupan lahan berupa semak dan
rumput di bagian utara yang berdekatan dengan kepundan Gunung Merapi dan hutan campur
yang berada di bagian selatan (blok hutan Kinahrejo, blok hutan Alas Gandok) (lihat Gambar
4).

36 |G e o h a z a r d
Dampak yang ditimbulkan oleh rusaknya blok hutan tersebut adalah hilangnya potensi
hutan sebagai penyedia oksigen, penyerap karbon, dan habitat berbagai flora dan fauna khas
yang ada di Gunung Merapi. Menurut TNGM (2011), di kedua lokasi tersebut merupakan
habitat dari berbagai jenis burung yang dilindungi, antara lain: Elang Jawa (Spizaetus
bartelsi), Elang bido (Spilornis cheela), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Alap-alap Sapi
(Falco moluccensis), Betet (Psittacula alexandri), dan Serindit Jawa (Loriculus pusillus) yang
masuk dalam lampiran II CITES. Selain itu, di lokasi tersebut juga dijumpai (langsung
maupun tidak langsung) berbagai jenis mamalia, antara lain : Lutung Jawa (Trachypithecus
auratus), Babi Hutan (Sus scrofa), Kijang (Muntiacus muntjak), Kucing hutan (Prionailurus
bengalensis), Luwak (Paradoxurus hermaphroditus), Landak (Hystix brachyura) dan macan
tutul/kumbang (Panthera pardus melas). Kondisi relatif serupa juga terjadi di kawasan blok
hutan Ngasinan, Gumuk dan Petung di RPTN Kemalang, blok hutan Lencoh, Tlogolele di
RPTN Selo dan blok hutan Jaimin, Bedengan, Gejugan di RPTN Dukun yang mengalami
kerusakan berat dan sedang. Beberapa kawasan di TNGM hanya mengalami kerusakan
ringan yang dicirikan dengan penampakan vegetasi yang relatif utuh dengan jejak abu
vulkanik yang terlihat di permukaan tanah dan dedaunan. Kawasan ini terutama di bagian
timur Gunung Merapi yang masuk wilayah kelola RPTN Musuk-Cepogo dan sebagian
wilayah RPTN Kemalang dan RPTN Selo. Pada lereng selatan di wilayah blok hutan Turgo
(RPTN Pakem-Turi) dan pada lereng barat di beberapa bagian blok hutan Desa Ngargosoko
di RPTN Srumbung dan blok hutan Gemer, Kroyo (Desa Ngargomulyo) di RPTN Dukun
(lihat Gambar 5).

37 |G e o h a z a r d
Identifikasi Kerusakan Ekologis di TNGM
Pendekatan perubahan produktivitas (change of productivity) dan pendekatan biaya
pengganti (replacement cost) digunakan sebagai metode untuk menaksir kerugian ekologis di
TNGM yang ditimbulkan oleh erupsi 2010.
a.) Pendekatan perubahan produktivitas
Marhaento dkk. (2010) mengukur potensi stok karbon di kawasan Taman Nasional
Gunung Merbabu (TNGMb) yang memiliki kondisi lahan yang relatif mirip dengan TNGM.
Penulis menggunakan acuan taksiran potensi karbon di TNGMb (Marhaento dkk., 2010)
untuk mengukur potensi karbon di TNGM. Acuan tersebut kemudian digunakan untuk
melakukan estimasi stok karbon yang hilang akibat erupsi di tiap Sistem Penggunaan Lahan
(SPL). SPL yang diukur sebagai potensi kehilangan stok karbon adalah kelas SPL dengan
tingkat kerusakan sedang dan kerusakan berat (Gambar 6).

38 |G e o h a z a r d
Dengan asumsi harga CER karbon adalah $12.8/ton (Worldbank, 2012), dengan kurs Rp.
9.500 per $1, maka taksiran perubahan produktivitas di TNGM dapat ditaksir sesuai dengan
yang disajikan pada Tabel 2.

b.) Pendekatan biaya pengganti

39 |G e o h a z a r d
Biaya pengganti adalah biaya yang dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi
ekosistem (restorasi) Gunung Merapi seperti semula. Dalam tulisan ini, upaya restorasi
ekosistem dilakukan dengan penghutanan kembali kawasan-kawasan hutan yang rusak. Pada
kawasan yang sebelum erupsi Gunung Merapi adalah non hutan (rumput, semak) maka tidak
dilakukan perlakuan penghutanan kembali. Pada kawasan non hutan tersebut diasumsikan
akan dibiarkan untuk mengalami suksesi secara alami. Terdapat beberapa komponen biaya
umum yang perlu diperhatikan dalam upaya restorasi ekosistem Gunung Merapi, antara lain :
1. Pengadaan bibit Jenis yang digunakan dalam upaya restorasi ekosistem Gunung Merapi
harus jenis asli (native) yang ditentukan berdasarkan inventarisasi jenis-jenis tumbuhan yang
ada di kawasan TNGM. Pengadaan bibit harus dipastikan dari pohon induk yang baik.
Kriteria bibit yang ditanam adalah tinggi minimal 50 cm, sehat, dan batang sudah berkayu.
Asumsi harga yang digunakan adalah Rp7.500/bibit, sudah meliputi biaya transportasi bibit,
biaya penampungan bibit sementara dan biaya pemeliharaan sebelum ditanam.
2. Penyiapan dan pembersihan lahan Kegiatan penyiapan dan pembersihan lahan diperlukan
untuk menyiapkan lahan tanam dari bekas pohon yang bertumbangan. Sistem penanaman
dilakukan dengan cara membuat jalur tidak terputus dengan jarak antar jalur 5 m tegak lurus
kontur. Selanjutnya pada tiap-tiap jalur dibuat lubang-lubang tanam dengan jarak antar
lubang tanam 5 m. Pemilihan jarak tanam 5 x 5 m didasarkan pada Petunjuk Teknis
Rehabilitasi Hutan Bekas Terbakar di Areal HPH (Purnomo dkk., 1999). Asumsi harga yang
digunakan adalah harga per hektar, yaitu: 20 HOK dengan biaya Rp 65.000/HOK.
3. Penanaman Penanaman dilakukan pada saat hujan mulai stabil dengan tujuan untuk
mengurangi risiko kematian bibit. Kegiatan penanaman meliputi pemberian pupuk,
pemberian lapisan tanah atas pada tiap lubang tanam, pemberian mulsa, pembuatan acir, dan
pembuatan press block yang merupakan metode menanam bibit tanaman di lahan kritis
yang mampu mengatasi kondisi tapak berpasir yang memiliki daya cekam air yang sangat
rendah. Asumsi harga yang digunakan untuk kegiatan penanaman adalah Rp20.000/bibit,
sudah meliputi biaya tenaga tanam.
4. Pemeliharaan dan penyulaman Pemeliharaan tanaman dilakukan secara rutin setiap 2 bulan
sekali pada tahun pertama dan 6 bulan sekali pada tahun kedua. Setiap kegiatan pemeliharaan
diikuti dengan kegiatan penggemburan tanah/pendangiran di sekitar tanaman pokok dan
pemupukan. Penyulaman adalah kegiatan yang dilakukan dengan cara mengganti tanaman
pokok yang mati atau hilang dengan tanaman yang baru. Penyulaman dilakukan dengan
bibit yang relatif sama dengan tanaman yang digantikan. Asumsi biaya pemeliharaan dan
penyulaman adalah 30% total biaya pada tahun pertama dan 15% total biaya pada tahun
kedua. Lokasi kegiatan restorasi pada kawasan hutan yang mengalami kerusakan sedang dan
kerusakan berat adalah seluas 1.036,14 ha. Total prakiraan biaya yang dibutuhkan untuk
kegiatan restorasi ekosistem TNGM adalah sesuai yang disajikan pada Tabel 3.

40 |G e o h a z a r d
Hasil dari Rapid Damage Assessment (RDA) dengan menggunakan citra
penginderaan jauh dan survei lapangan menunjukkan bahwa 38,21% kawasan TNGM
mengalami kerusakan tingkat sedang hingga berat. Kawasan yang mengalami kerusakan
tersebut sebagian besar berada di sisi selatan, sisi barat dan sisi utara Gunung Merapi. Pada
sisi selatan, kerusakan terjadi di blok-blok hutan yang berada di sekitar Kali Woro (Kec.
Kemalang, Klaten), Kali Gendol dan Kali Kuning (Kec. Cangkringan, Sleman). Pada sisi
barat, kerusakan terjadi di blok-blok hutan yang berada di sekitar hulu Kali Putih (perbatasan
Kec. Dukun dan Kec. Srumbung, Magelang), hulu Kali Senowo, hulu Kali Lamat dan hulu
Kali Blongkeng (Kec. Dukun, Magelang). Pada sisi utara, kerusakan terjadi di blok-blok
hutan di sekitar Kali Jengglung, hulu Kali Apu (Kec. Selo, Boyolali). Kerusakan blok-blok
hutan tingkat sedang dan berat yang berada di sekitar lereng selatan, barat, dan utara Gunung
Merapi ini sesuai dengan pergerakan awan panas erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang
cenderung kearah tersebut (TNGM, 2011; Surono dkk., 2012). Bukit Turgo dan Gunung Bibi
yang berada di sisi lereng selatan dan lereng timur Gunung Merapi merupakan kawasan hutan
yang kondisinya relatif utuh paska erupsi 2010. Menurut Gunawan dkk. (2013), 44%
perjumpaan dengan satwa liar yang tergolong mamalia penting antara lain Monyet ekor
panjang, Lutung Jawa, Luwak, Babi Hutan, Kucing Hutan dan Kijang di kawasan TNGM
paska erupsi tahun 2010 terjadi pada kawasan yang mengalami kerusakan ringan dan yang
tidak terdampak sama sekali. Keberadaan kedua kawasan hutan tersebut diduga menjadi
tempat pelarian (refugee) bagi satwa liar yang ada di sekitar kawasan TNGM ketika erupsi
terjadi (Marhaento dan Faida, 2015). Hal ini memberikan harapan bahwa fungsi ekologis di
kedua kawasan hutan tersebut masih berjalan dengan baik. Pada kawasan yang mengalami
kerusakan tingkat sedang dan berat diduga memberikan dampak kerugian ekologis jangka
pendek yang cukup tinggi. Kerugian ekologis tersebut antara lain: kematian berbagai jenis
vegetasi, rusaknya habitat satwa liar, hilangnya potensi penyedia oksigen dan penyerap
karbon, gangguan pada suplai air, penurunan kualitas air dan tanah, dll. Dalam penelitian ini
digunakan pendekatan perubahan produktivitas dari komoditas serapan karbon karena
ketersediaan alat ukur dan informasi harga pasar yang disepakati. Nilai kerugian akibat
kematian satwa liar, potensi penurunan debit air, penurunan kesuburan tanah, penurunan
kualitas air dan udara, dll. tidak bisa disajikan dalam tulisan ini karena keterbatasan data dan
informasi. Selain itu, pendekatan biaya pengganti dilakukan dengan menggunakan acuan
komponen biaya pada kegiatan serupa yaitu kegiatan rehabilitasi lahan kritis di Suaka
Margasatwa Paliyan yang dibiayai oleh PT. Mitsui Sumitomo (BKSDA Yogyakarta, 2012).

41 |G e o h a z a r d
Namun demikian, komposisi biaya dan taksiran harga disesuaikan dengan kondisi yang ada di
kawasan TNGM untuk mengurangi bias karena perbedaan lokasi.
Hasil penaksiran kerugian ekologis jangka pendek di kawasan TNGM paska erupsi
tahun 2010 adalah total sebesar 766 Milyar rupiah yang terdiri dari 747,5 Milyar rupiah
dari biaya penurunan produktifitas serapan karbon dan 18,5 Milyar rupiah dari biaya
restorasi. Untuk menaksir total kerugian ekologis yang terjadi akibat erupsi tahun 2010,
penulis merujuk pada penelitian Van Beukering dkk. (2003) yang menyebutkan bahwa
penyerapan karbon memberikan kontribusi 2% dari total nilai ekonomi lingkungan di
kawasan konservasi. Apabila digunakan asumsi yang sama, maka total potensi kerugian
ekologis yang ditimbulkan akibat erupsi tahun 2010 di TNGM dapat diperkirakan adalah
sebesar 38,3 Trilliun rupiah. Nilai kerugian ekologis tersebut merupakan taksiran kasar dan
dianggap dibawah nilai sebenarnya (under estimate). Salah satu upaya untuk memitigasi
kerusakan dan kerugian lingkungan akibat erupsi Gunung Merapi adalah melalui penataan
zonasi TNGM berbasis risiko bencana. Marhaento dan Faida (2015) menyebutkan bahwa
zonasi TNGM yang ditetapkan pada tahun 2012 sudah cukup mampu merepresentasikan
kebutuhan perlindungan terhadap potensi keanekaragaman hayati yang ada. Namun
demikian, zona inti yang ada saat ini lebih difokuskan pada aspek pengamanan dari aktivitas
masyarakat dan tidak ada rencana kelola terkait ancaman erupsi gunung Merapi. Untuk itu,
diperlukan adanya rencana kontingensi dalam pengelolaan zona inti untuk menghindarkan
kematian dan kepunahan keanekaragaman hayati akibat bencana erupsi gunung Merapi salah
satunya dengan membuat kantong-kantong pelarian satwa liar (refugee) termasuk jalur
(koridor) pelariannya (Dowie, 2011).
I. Jalur Evakuasi

Jalur evakuasi merupakan jalan yang sangat penting bagi masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana, jalur tersebut digunakan untuk melakukan evakuasi menjauh dari
tempat bencana ke tempat yang lebih aman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui jalur evakuasi existing dan kondisi jalur evakuasi yang digunakan oleh
masyarakat Huntap Batur, serta mengetahui permasalahan yang dialami. Manfaat penelitian
ini untuk memberikan masukan serta pertimbangan kepada pihak-pihak terkait sehingga
dapat mengambil keputusan yang tepat dalam mempertimbangkan jalur-jalur yang digunakan
untuk evakuasi darurat. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif, dalam pembahasan
permasalahan jalur evakuasi erupsi Merapi, validitas atau keabsahan data dipriksa dengan
menggunakan metode triangulasi dengan teknik triangulasi metodologis. Teknik penentuan
informan yang digunakan adalah metode snowball sampling. Dari penelitian ini didapatkan
bahwa jalur evakuasi mengalami perubahan, jalur evakuasi tahun 2014 mengalami perubahan
lebih jauh dibandingkan jalur evakuasi tahun 2010. Kondisi jalur evakuasi Huntap Batur
mengalami banyak kerusakan, kerusakan terparah berada di segmen 0-1 sampai segmen 3-4
dengan jenis kerusakan amblas (deppreesion), bergelombang (corrugation), pelapukan,
butiran lepas, retak kulit buaya (alligator cracking) dan kerusakan jalan alur (rutting).
Berdasarkan jenis kerusakan yang terjadi di lapangan maka tindakan perbaikan dapat
dilakukan dengan tindakan perbaikan per segmen. Kondisi jalur evakuasi yang rusak dan
kelengkapan jalan yang tidak memadai menjadi permasalah utama yang sering kali
disinggung oleh masyarakat, pemerintah, dan relawan. Kondisi tersebut membuat ketidak
nyamanan masyarakat saat melakukan evakuasi pada erupsi Merapi Tahun 2010. Rusak nya
42 |G e o h a z a r d
jalur evakuasi berlangsung hingga Tahun 2014, sehingga kondisi tersebut tentunya juga akan
menggangu kenyamanan dan membahayakan saat melakukan evakuasi, kerusakan jalan juga
dapat mempengaruhi laju roda perekonomian warga masyarakat Huntap Batur. Kata kunci:
Jalur evakuasi, erupsi gunung Merapi, Kondisi jalur evakuasi.
Berdasarkan data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) per tanggal 27 November
2010, bencana erupsi Gunung Merapi ini telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 242 orang
meninggal di wilayah Yogyakarta dan 97 orang meninggal di wilayah Jawa Tengah. Selain
menimbulkan korban jiwa dan lukaluka, bencana erupsi Gunung Merapi ini juga telah
mengakibatkan kerusakan dan kerugian besar di wilayah yang tersebar di empat Kabupaten,
yakni Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten
Sleman di Daerah istimewa Yogyakarta. Di lereng gunung masih banyak terdapat pemukiman
yang hanya berjarak 4 km dari puncak Gunung Merapi. Tentunya kondisi ini sangat
berbahaya, baik itu untuk tempat tinggal, melakukan aktivitas sehari-hari dan bahkan saat
melakukan evakuasi. Terdapat 3 (tiga) zona wilayah rawan bencana letusan Gunung Merapi
yaitu :
1. Kawasan rawan bencana III, kawasan ini dapat terkena langsung aktivitas letusan merapi,
sering terkena awan panas, lava pijar, guguran batu pijar, gas racun, dan lontaran batu pijar
sampai radius 2 (dua) kilometer. Wilayahwilayah DIY yang terkena dampaknya adalah
Kecamatan Pakem, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.
2. Kawasan rawan bencana II, Kawasan ini akan berpotensi terkena awan panas, lontaran
batu pijar, gas beracun, dengan guguran lava pijar. Walaupun tidak terkena langsung dan
sering, di zona ini warga harus berhati-hati karena banyak aktifitas mereka dilereng merapi
yang sewaktu-waktu bisa mengancam jiwa akibat aktifitas merapi.
3. Kawasan rawan bencana I, kawasan ini dapat terkena ancaman banjir lahar dan juga
perluasan dari awan panas tergantung oleh faktor volume guguran dan arah angin pada
saat itu. Wilayah yang kemungkinan terlanda adalah Kecamatan Ngeplak, Kecamatan
Ngaglik, Kecamatan Tempel, Kecamatan Kalasan, Kecamatan Depok, Kecamatan
Seyegan, dan sebagian utara Kota Yogyakarta.
Bencana erupsi Gunung Merapi membawa dampak positif dan negatif terhadap masyarakat
sekitar pada saat erupsi Merapi 2010, dampak negatif akibat erupsi Gunung Merapi antara
lain :
1. Dampak dari abu gunung merapi yaitu berbagai jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2),
gas Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen Dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel
debu (Total Suspended Particulate atau Particulate Matter).
2. Kecelakaan lalu lintas akibat jalan berdebu licin, jatuh karena panik, serta makanan yang
terkontaminasi, dan lain-lain.
3. Banyak dari penduduk, terutama sekitar Gunung Merapi yang kehilangan pekerjaan rutin
kesehariannya.
4. Hujan debu dari Merapi juga meluas dan membatasi jarak pandang. Lalu lintas, baik darat
maupun udara, mulai terganggu. Bahkan, penerbangan dari dan ke Yogyakarta ditutup
sementara waktu.
5. Terjadi kebakaran hutan karena terkena lahar. 3

43 |G e o h a z a r d
6. Banyak sektor pertanian terganggu akibat bencana ini yang menyebabkan pendapatan
bisnis para petani menurun drastis.
Sedangkan untuk dampak positif erupsi Merapi 2010 antara lain :
1. Penambang pasir mendapat pekerjaan baru yaitu bekerja untuk mendapat pasir di
pinggiran aliran lahar dingin.
2. Hasil muntahan vulkanik bagi lahan pertanian dapat menyuburkan tanah, namun dampak
ini hanya dirasakan oleh penduduk sekitar gunung.
3. Bahan material vulkanik berupa pasir dan batu dapat digunakan sebagai bahan material
yang berfungsi untuk bahan bangunan, dan lain-lain.
Bencana erupsi Gunung Merapi sering menimbulkan ketakutan terutama bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar lereng Gunung Merapi, karena sering terjadi erupsi warga sekitar
dituntut untuk kesigapan evakuasi jika terjadi bencana. Perlu adanya pengetahuan warga
tentang jalur evakuasi untuk menuju tempat yang aman, sehingga dapat meminimalisir
timbulnya korban. Pemerintah juga dituntut untuk kesiapan dalam penyediaan jalur yang
memenuhi persyaratan evakuasi sehingga masyarakat sekitar Gunung Merapi dapat dengan
mudah mengakses dan mengetahui jalur evakuasi yang tersedia sehingga evakuasi dapat
berjalan lancar. Evakuasi adalah perpindahan langsung dan cepat dari orang-orang yang
menjauh dari ancaman atau kejadian yang berbahaya seperti bencana alam. Rencana evakuasi
darurat dikembangkan untuk memastikan waktu evakuasi teraman dan paling efisien bagi
semua masyarakat yang terancam bahaya bencana alam. Selain moda transportasi, jalan juga
merupakan salah satu faktor yang paling diperhatikan dikarenakan bahaya dari bencana alam
yang terjadi sangat cepat dan sulit diperkirakan, maka jalan memiliki peranan penting dalam
evakuasi masyarakat dari tempat rawan bencana ke tempat yang lebih aman. Pemilihan jalur
untuk melakukan evakuasi merupakan hal penting untuk dipikirkan masyarakat di daerah
rawan bencana untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan saat melakukan evakuasi darurat.
Faktor-faktor penting ketika memilih jalur untuk evakuasi tersebut, diantaranya: kondisi
jalan, kondisi perkerasan, kondisi 4 lingkungan, kondisi geografik, kenyamanan, dan
keamanan dari jalur evakuasi itu sendiri.

44 |G e o h a z a r d
Skenario Erupsi Gunungapi Merapi
Skenario Erupsi Gunungapi Merapi disusun oleh BPPTKG (Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian dan Geologi) Yogyakarta , yang mendasarkan pada
kajian vulkanologi.Skenario Erupsi Gunungapi Merapi, terdiri dari :
1. Skenario Efusif
2. Skenario Eksplosif
Kedua skenario erupsi tersebut diolah BPBD Kab. Sleman dengan memperhatikan aspek
sosial dan aspek spasial menjadi :
1. Skenario Plan A (Efusif)
2. Skenario Plan B (Efusif)
3. Skenario Plan C (Eksplosif)
Skenario Plan A
1. Letusan mendatang akan menuju sektor selatan-tenggara

45 |G e o h a z a r d
2. K. Gendol-K. Opak (10 Km), K. Woro (8 Km), dan K. Kuning (8 Km)
3. Perkiraan Area Terdampak Langsung : Desa Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo
Skenario Plan B
1. Perluasan area Skenario Plan A
2. Perkiraan Area Terdampak Langsung : Desa Umbulharjo, Kepuharjo, Glagaharjo,
Hargobinangun, Purwobinangun , Girikerto dan Wonokerto
Skenario Plan C
1. Letusan mendatang akan kesegala arah dan masuk ke semua alur sungai
2. Dominan menuju sektor selatan-tenggara mengarah ke alur K. Gendol-Opak dengan jarak
luncur maksimal 15 Km. Untuk K. Woro dan K. Kuning diperkirakan jarak luncur
maksimal 10 Km. Sungai yang lain jarak luncur maksimal 5 Km
3. Perkiraan Area Terdampak Langsung : Seluruh dusun di 14 Desa
Zonasi Wilayah KRB
Zinasi wilayah KRB didasarkan Peta KRB Gunungapi Merapi, yang dipilah menjadi 5
SEKTOR berdasarkan sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi
1. Sektor A : batas kabupaten sebelah barat Kali Boyong
2. Sektor B : Kali Boyong Kali Kuning
3. Sektor C : Kali Kuning Kali Opak
4. Sektor D : Kali Opak Kali Gendol
5. Sektor E : Kali Gendol batas kabupaten sebelah timur
Penentuan sungai sebagai basis pemilahan didasarkan pada karakter ANCAMAN erupsi
Gunungapi Merapi

46 |G e o h a z a r d
SOP Evakuasi Mandiri
Masyarakat di KRB III Gunungapi Merapi bersama BPBD Kab. Sleman menyusun
Standard Operating Procedure Evakuasi bagi masyarakat dan hewan ternak di level DUSUN
Unsur SOP Evakuasi Mandiri
1. Tim Tanggap Darurat Dusun
2. Titik Kumpul Dusun
3. Titik Tujuan Pengungsian (masyarakat dan ternak)
4. Mekanisme Komunikasi Tanggap Darurat Dusun
SOP Evakuasi Mandiri level Dusun merupakan bagian dari Skenario Penanggulangan
Bencana level Kabupaten Sleman .Per Desember 2013, sudah ada 21 Dusun yang memiliki
SOP Evakuasi Mandiri.
Penentuan Jalur Evakuasi didasarkan pada SOP Evakuasi Mandiri level Dusun yang dibahas
bersama dengan BPBD Kab. Sleman Jalur evakuasi dipilih berdasarkan :
1. Jarak dan waktu tempuh evakuasi
2. Topografi jalan
3. Ketersediaan sarana transportasi evakuasi

47 |G e o h a z a r d
4. Jumlah Pengungsi dan jumlah hewan ternak

48 |G e o h a z a r d
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari semua pembahasan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1) Erupsi adalah pelepasan magma, gas, abu, dll ke atmosfer atau ke permukaan bumi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Erupsi di definisikan sebagai letusan gunung
berapi atau semburan sumber minyak dan uap panas dari dalam bumi..
Erupsi gunung berapi terjadi jika ada pergerakan atau aktivitas magma dari dalam perut
bumi menuju ke permukaan bumi. Secara umum, erupsi di bedakan menjadi 2, yaitu
Erupsi eksplosif dan Erupsi efusif.
2) Ketangguhan sosial, ekonomi dan budaya di daerah rawan bencana seperti di masyarakat
yang terkena dampak eruspi Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta masih harus
mendapat perhatian serius, salah satunya melalui program pemberdayaan masyarakat
(community empowerment) dan penguatan kapasitas kelembagaan. Maka sangat penting
dan strategis adanya penelitian yang menghasilkan model pemberdayaan masyarakat
yang implementatif dalam perspektif yang lebih partisipatif dengan menggunakan
metode Participatory Rural Appraisal (PRA).
3) Identifikasi fasies di DAS Bedog menunjukkan bahwa wilayah kajian terdiri dari fasies
medial dan fasies distal dari Gunungapi Merapi. Hal ini berarti bahwa pada masa lampau
telah terjadi jatuhan awan panas, hujan abu, dan aliran lahar pada fasies medial dan hujan
abu pada fasies distal.
4) Hasil penaksiran kerugian ekologis dengan pendekatan perubahan produktivitas (change
of productivity) dan pendekatan biaya pengganti (replacement cost) di kawasan TNGM
paska erupsi Gunung Merapi tahun 2010 menunjukkan bahwa nilai kerugian adalah
sebesar 766 Milyar rupiah yang terdiri dari 747,50 Milyar rupiah dari biaya penurunan
produktifitas serapan karbon dan 18,5 Milyar rupiah dari biaya restorasi. Dengan
menggunakan asumsi bahwa serapan karbon hanya 2% dari total potensi jasa lingkungan
di kawasan konservasi, maka taksiran nilai total kerugian ekologis di kawasan TNGM
paska erupsi Gunung Merapi tahun 2010 adalah 38,3 Trilliun rupiah. Nilai kerugian
ekologis tersebut merupakan taksiran kasar dan dianggap dibawah nilai sebenarnya.
Salah satu upaya upaya untuk memitigasi kerusakan dan kerugian lingkungan akibat
erupsi Gunung Merapi adalah melalui penataan zonasi TNGM berbasis risiko bencana.
5) Adapasi bencana banjir lahar berbasis masyarakat melibatkan segala fenomena
sumberdaya yang ada, yaitu alam, manusia, dan institusi. Masyarakat Desa Kemiren
Kabupaten Magelang melalui lembaga swadaya Bumi Lestari telah menunjukkan
praktek langkah positif dalam mengelola potensi di daerahnya yaitu dengan
meningkatkan nilai manfaat dari deposit material pasir dan batuan vulkanik serta
pemanfaatan lahan dengan sistem agro-ekosistemnya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.Dari hasil pengamatan dan interaksi di lapangan, masyarakat Desa
Kemiren sudah cukup memahami ancaman dan resiko bencana yang mungkin dapat
terjadi dan menimpa geografis wilayah desa serta masyarakatnya, baik itu resiko

49 |G e o h a z a r d
ancaman langsung dari erupsi Gunung Merapi maupun pasca erupsi berupa banjir lahar.
Sehingga hal ini memotivasi masyarakat setempat untuk terus meningkatkan
kapasitasnya dalam kesiapsiagaan dan pengelolaan lingkungannya sebagai upaya
mitigasi bencana.
6) Jalur evakuasi merupakan jalan yang sangat vital dalam penanggulangan bencana erupsi
Gunungapi Merapi (dan Banjir Lahar Hujan) . Jalur evakuasi harus dalam kondisi baik,
agar memberi jaminan dapat digunakan dengan aman saat SOP Evakuasi dijalankan
.Jalur evakuasi dipisahkan (tidak digunakan) sebagai jalur transportasi penambangan
pasir (jalur normalisasi). Perlu SK Bupati atau Perbup dalam pengaturannya.

DAFTAR PUSTAKA

Pratomo, Indyo. "Klasifikasi gunung api aktif Indonesia, studi kasus dari beberapa letusan
gunung api dalam sejarah." Indonesian Journal on Geoscience 1.4 (2006): 209-227.

50 |G e o h a z a r d
Sugito, Toto, Bambang Suswanto, and Ahmad Sabiq. "Model pemberdayaan masyarakat
pascaerupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Yogyakarta." KOMUNITAS: INTERNATIONAL
JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE 5.2 (2013).

Marfai, Muh Aris, et al. "Sejarah Letusan Gunung Merapi Berdasarkan Fasies Gunungapi di
Daerah Aliran Sungai Bedog, Daerah Istimewa Yogyakarta." Jurnal RISET Geologi dan
Pertambangan 22.2 (2012): 73-80.

Marhaento, Hero, and Asep N. Kurnia. "Refleksi 5 tahun paska erupsi Gunung Merapi 2010:
Menaksir kerugian ekologis di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi." Geoplanning: Journal
of Geomatics and Planning 2.2 (2015): 69-81.

Iswardoyo, Jati. "Adaptasi Masyarakat Terhadap Bencana Banjir Lahar Studi Kasus: Kemiren,
Srumbung, Magelang, Jawa Tengah." Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 5.2 (2013).

http://bpbd.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2013/12/JALUR-DAN-RUANG-
EVAKUASI-ERUPSI-MERAPI.pdf

51 |G e o h a z a r d

Anda mungkin juga menyukai