Anda di halaman 1dari 9

Nama: Veron

NIM: 191200008

Tugas: 4

Kolonisasi Portugis dan Spanyol

Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de Albuquerque. Karena tokoh inilah, yang membuat
kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa dan dimulainya Kolonisasi berabad-
abad oleh Portugisbersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.
Dari Sungai Tagus yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi
Samudra Atlantik, yang mungkin memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati
Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke
Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati
oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus
atau Biara Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun
1502 di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.
Museum Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja
Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.
Selain patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu. Di
bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di
India yang berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai
kekuatan sentral kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan di
museum itu, bahkan gundukan lada atau merica.
Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli
sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five
Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah,
menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu
mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan
igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer,
dan penyebaran agama Katolik.
Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan
Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin
langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan
kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu
Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai
Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat
rempah-rempah.

Periode Kejayaan Portugis di Nusantara

Periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi
Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera,
Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk
menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian
diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat
rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang
sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu
tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta
Barat. Dengan perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di
Sunda Kelapa.
Pada tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco
Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku.
Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan menggunakan
nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara
hingga tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak
sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara,
khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di bagian Utara
Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda.
Bangsa Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada
waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d’Abreu dan
Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka
menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat – seperti dengan Kerajaan
Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikaoli, begitupula
Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah
ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus
melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang misionaris terkenal adalah Francis
Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546, kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba
pada tahun 1547, dan tanpa kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan
Maluku untuk melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir
pada tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575), membuat
Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan Ambon.
Perlawanan rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan
kakinya di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk
menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada
Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram,
dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian besar wilayah
Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun
1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah
kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di
Maluku sepunuh di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC
tidak segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu
orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
kemudian mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512
membangun Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol
maka daerah Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660).
Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca buku :Sejarah
Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong). Abad 17 datang armada dagang
VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir Portugis dari Ternate, sehingga kemudian
Portugis mundur dan menguasai Timor timur (sejak 1515).
Kolonialisme dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali
dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin Cornellis
de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan berdagang.
Perlawanan Rakyat terhadap Portugis

Kedatangan bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dan ke Kepulauan Maluku merupakan


perintah dari negaranya untuk berdagang.

Perlawanan Rakyat Malaka terhadap Portugis


Pada tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh Albuquerque menyerang Kerajaan
Malaka. Untuk menyerang colonial Portugis di Malaka yang terjadi pada tahun 1513
mengalami kegagalan karena kekuatan dan persenjataan Portugis lebih kuat. Pada tahun
1527, armada Demak di bawah pimpinan Fatahillah/Falatehan dapat menguasai
Banten,Sunda Kelapa, dan Cirebon. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh
Fatahillah/Falatehan dan ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang
artinya kemenangan besar, yang kemudian menjadi Jakarta.

Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis


Mulai tahun 1554 hingga tahun 1555, upaya Portugis tersebut gagal karena Portugis
mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh. Pada saat Sultan Iskandar Muda berkuasa,
Kerajaan Aceh pernah menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan 1629.
Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Portugis

Bangsa Portugis pertama kali mendarat di Maluku pada tahun 1511. Kedatangan Portugis
berikutnya pada tahun 1513. Akan tetapi, Ternate merasa dirugikan oleh Portugis karena
keserakahannya dalam memperoleh keuntungan melalui usaha monopoli perdagangan
rempah-rempah.
Pada tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku untuk mengusir
Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh Sultan Hairun dapat
kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis, namun dapat diperdaya oleh
Portugis hingga akhirnya tewas terbunuh di dalam Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin
oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574. Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau
Timor.

Kolonisasi Spanyol
Ferdinand Magelhaens (kadang juga ditulis Ferdinan) Magelan. Karena tokoh inilah, yang
memimpin armada yang pertama kali mengelilingi dunia dan membuktikan bahwa bumi
bulat, saat itu itu dikenal oleh orang Eropa bumi datar. Dimulainya Kolonisasi berabad-abad
oleh Spanyol bersama bangsa Eropa lain, terutama Portugis,Inggris dan Belanda.

Dari Spanyol ke Samudra Pasifik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Pasifik,
melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan
ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati
oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui samudera.
Pada tanggal 20 September 1519, San Antonio, Concepción, Victoria, dan Santiago—yang
terbesar hingga yang terkecil—mengikuti kapal induk Magelhaens, Trinidad, kapal terbesar
kedua, seraya mereka berlayar menuju Amerika Selatan. Pada tanggal 13 Desember, mereka
mencapai Brasil, dan sambil menatap Pāo de Açúcar, atau Pegunungan Sugarloaf, yang
mengesankan, mereka memasuki teluk Rio de Janeiro yang indah untuk perbaikan dan
mengisi perbekalan. Kemudian mereka melanjutkan ke selatan ke tempat yang sekarang
adalah Argentina, senantiasa mencari-cari el paso, jalur yang sulit ditemukan yang menuju ke
samudera lain. Sementara itu, udara semakin dingin dan gunung es mulai tampak. Akhirnya,
pada tanggal 31 Maret 1520, Magelhaens memutuskan untuk melewatkan musim salju di
pelabuhan San Julián yang dingin.
Pelayaran tersebut kini telah memakan waktu enam kali lebih lama daripada pelayaran
Columbus mengarungi Samudra Atlantik yang pertama kali—dan belum terlihat satu selat
pun! Semangat juang mereka mulai sedingin cuaca di San Julián, dan pria-pria, termasuk
beberapa kapten serta perwira, merasa putus asa dan ingin pulang saja. Tidaklah
mengherankan bila terjadi pemberontakan. Namun, berkat tindakan yang cepat dan tegas di
pihak Magelhaens, hal itu digagalkan dan dua pemimpin pemberontak tersebut tewas.
Kehadiran kapal asing di pelabuhan pastilah menarik perhatian penduduk lokal yang kuat—
dan berbadan besar. Merasa seperti orang kerdil dibandingkan dengan raksasa-raksasa ini,
para pengunjung tersebut menyebut daratan itu Patagonia—dari kata Spanyol yang berarti
“kaki besar”—hingga hari ini. Mereka juga mengamati ‘serigala laut sebesar anak lembu,
serta angsa berwarna hitam dan putih yang berenang di bawah air, makan ikan, dan memiliki
paruh seperti gagak’. Tentu saja tidak lain tidak bukan adalah anjing laut dan pinguin!
Daerah lintang kutub cenderung mengalami badai yang ganas secara tiba-tiba, dan sebelum
musim dingin berakhir, armada itu mengalami korban pertamnya—Santiago yang kecil.
Namun, untunglah para awaknya dapat diselamatkan dari kapal yang karam itu. Setelah itu,
keempat kapal yang masih bertahan, bagaikan ngengat kecil bersayap yang terpukul di tengah
arus laut yang membeku dan tak kunjung reda, berjuang sekuat tenaga menuju ke selatan ke
perairan yang semakin dingin—hingga tanggal 21 Oktober. Berlayar di bawah guyuran air
hujan yang membeku, semua mata terpaku pada sebuah celah di sebelah barat. El paso? Ya!
Akhirnya, mereka berbalik dan memasuki selat yang belakangan dikenal sebagai Selat
Magelhaens! Namun, bahkan momen kemenangan ini ternoda. San Antonio dengan sengaja
menghilang di tengah jaringan rumit selat itu dan kembali ke Spanyol.
Ketiga kapal yang masih bertahan, diimpit oleh teluk yang sempit di antara tebing-tebing
berselimut salju, dengan gigih berlayar melewati selat yang berkelok-kelok itu. Merek
mengamati begitu banyaknya api di sebelah selatan, kemungkinan dari perkemahan orang
Indian, jadi mereka menyebut daratan itu Tierra del Fuego, “Tanah Api”.
Tiba di Pilipina Magelhaens mengajak para penduduk lokal dan pimpinan mereka untuk
memeluk agama Katolik. Tetapi semangatnya juga menjadi bencana, dimana kemudian ia
terlibat dalam pertikaian antarsuku. Hanya dengan dibantu kekuatan 60 pria, ia menyerang
sekitar 1.500 penduduk pribumi, dengan keyakinan bahwa meskipun harus melawan senapan
busur, senapan kuno, namun Tuhan akan menjamin kemenangannya. Akan tetapi yang terjadi
adalah Sebaliknya, ia dan sejumlah bawahannya tewas. Magelhaens pada saat itu berusia
sekitar 41 tahun. Pigafetta yang setia meratap, ‘Mereka membunuh cerminan, penerang,
penghibur, dan penuntun sejati kita’. Beberapa hari kemudian, sekitar 27 perwira yang hanya
menyaksikan dari kapal mereka, dibunuh oleh para kepala suku yang sebelumnya bersahabat.
Dikarenakan jumlah awak kapal yang tersisa hanya sedikit, sehingga tidak mungkin untuk
berlayar menggunakan tiga kapal, mereka kemudian menenggelamkan Concepción dan
berlayar dengan dua kapal yang masih tersisa, Trinidad dan Victoria ke tujuan terakhir
mereka, yaitu kepulauan Rempah. Setelah ke 2 kapal tersebut diisi penuh dengan rempah-
rempah, kemudian kedua kapal itu kembali berlayar secara terpisah. Akan tetapi salah satu
dari ke 2 kapal tersebut,Trinidad tertangkap oleh Portugis dan kemudian awak kapalnya
dipenjarakan.
Namun, Victoria, di bawah komando mantan pemberontak Juan Sebastián de Elcano, luput.
Sambil menghindari semua pelabuhan kecuali satu, mereka mengambil risiko melewati rute
Portugal mengelilingi Tanjung Harapan. Namun, tanpa berhenti untuk mengisi perbekalan
merupakan strategi yang mahal. Sewaktu mereka akhirnya mencapai Spanyol pada tanggal 6
September 1522—tiga tahun sejak keberangkatan mereka—hanya 18 pria yang sakit dan
tidak berdaya yang bertahan hidup. Meskipun demikian, tidak dapat dibantah bahwa
merekalah orang pertama yang berlayar mengelilingi bumi. Juan Sebastián de Elcano pun
menjadi pahlawan. Sungguh suatu hal yang menakjubkan, muatan rempah Victoria seberat 26
ton menutup ongkos seluruh ekspedisi!
Ketika satu kapal yang selamat, Victoria, kembali ke pelabuhan setelah menyelesaikan
perjalanan mengelilingi dunia yang pertama kali, hanya 18 orang laki-laki dari 237 laki-laki
yang berada di kapal pada awal keberangkatan. Di antara yang selamat, terdapat dua orang
Itali, Antonio Pigafetta dan Martino de Judicibus. Martino de Judicibus (bahasa Spanyol:
Martín de Judicibus) adalan orang dari Genoa[1] yang bertindak sebagai Kepala Pelayan. Ia
bekerja dengan Ferdinand Magellan pada perjalanan historisnya untuk menemukan rute barat
ke Kepulauan Rempah-rempah Indonesia. [2] Sejarah perjalanannya diabadikan dalam
pendaftaran nominatif pada Archivo General de Indias di Seville, Spanyol. Nama keluarga ini
disebut dengan patronimik Latin yang tepat, yakni: “de Judicibus”. Pada awalnya ia
ditugaskan pada Caravel Concepción, satu dari lima armada Spanyol milik Magellan.
Martino de Judicibus memulai ekspedisi ini dengan gelar kapten. (baca selengkapnya dalam
buku “Sejarah Kolonial Spanyol di Indonesia” oleh David DS Lumoindong.
Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado Tua
sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau tersebut kapal-kapal
Spanyol memasuki daratan Sulawesi-Utara melalui sungai Tondano. Hubungan musafir
Spanyol dengan penduduk pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran
(sekarang kota Amurang) ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras, damar,
madu dan hasil hutan lainnya dengan ikan dan garam.
Gudang Kopi Manado dan Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena kesuburan
tanahnya dan digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang berasal dari Amerika-Selatan
untuk dipasarkan ke daratan Cina. Untuk itu di- bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga
bagi pedagang Cina yang memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan
dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga menjadi
daya tarik masyarakat Cina oleh kofi sebagai komoditi ekspor masyarakat pedalaman
Manado dan Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan gudang kofi (kini
seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan dan pemukiman. Para pendatang
dari daratan Cina berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk
masyarakat pluralistik di Manado dan Minahasa bersama turunan Spanyol, Portugis dan
Belanda.
Kemunculan nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan niaga yang
dilakukan Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak memapankan posisinya di Ternate .
Untuk itu Portugis melakukan pendekatan mengirim misi Katholik ke tanah Manado dan
Minahasa pada 1563 dan mengembangkan agama dan pendidikan Katholik. Lomba Adu
Pengaruh di Laut Sulawesi
Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian
kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi
persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal
Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke Minahasa,
tapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama
Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi
panglima perang karena dia ahli menembak meriam dan senapan Portugis untuk melawan
penyerang dari Mongondouw di wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang
Ternate dengan nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk
menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van
Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate
sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan
Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentenan, bajak
laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke
Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah Penduduk asli
wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di
pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh. Nama Opo’ Soputan ini
muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik
Raliu dan Potangkuman. Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para
pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak
laut mungkin dari Sangihe.
[sunting] Perjuangan Minahasa Melawan Spanyol

Ratu Oki berkisar pada tahun 1644 sampai 1683. Waktu itu, terjadi perang yang hebat antara
anak suku Tombatu (juga biasa disebut Toundanow atau Tonsawang) dengan para orang-
orang Spanyol. Perang itu dipicu oleh ketidaksenangan anak suku Tombatu terhadap orang-
orang Spanyol yang ingin menguasai perdagangan terutama terhadap komoditi beras, yang
kala itu merupakan hasil bumi andalan warga Kali. Di samping itu kemarahan juga
diakibatkan oleh kejahatan orang-orang Spanyol terhadap warga setempat, terutama kepada
para perempuannya. Perang itu telah mengakibatkan tewasnya 40 tentara Spanyol di Kali dan
Batu (lokasi Batu Lesung sekarang – red). Naasnya, di pihak anak suku Tombatu, telah
mengakibatkan tewasnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde
tidak lain adalah suaminya Ratu Oki. Menurut yang dikisahkan dalam makalah itu, Panglima
Monde tewas setelah mati-matian membela istrinya, Ratu Oki.Menurut P.A. Gosal, dkk.,
dalam masa kekuasaan Ratu Oki, anak suku Toundanow (sebutan lain untuk anak suku
Tombatu atau Tonsawang) yang mendiami sekitar danau Bulilin hidup sejahtera, aman dan
tenteram. “Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toudanow maka Ratu
Oki disahkan juga sebagai Tonaas atau Balian. Selama kepemimpinnan Ratu Oki, Spanyol
dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak Toundanow,”
Perang Minahasa lawan Spanyol
Para pelaut awak kapal Spanyol berdiam di Minahasa dan bahkan membaur dengan
masyarakat. Mereka menikah dengan wanita-wanita Minahasa, sehingga keturunan mereka
menjadi bersaudara dengan warga pribumi.
Tahun 1643 pecah perang Minaesa Serikat melawan kerajaan Spanyol. dalam suatu
peperangan di Tompaso, pasukan spanyol dibantu pasukan Raja Loloda Mokoagouw II
dipukul kalah, mundur oleh gabungan pasukan serikat Minaesa, dikejar hingga dipantai tapi
Tahun 1694 dalam suatu peperangan di Tompaso, pasukan Raja Loloda Mokoagouw II
dipukul kalah, mundur oleh gabungan pasukan serikat Minahasa, dikejar hingga ke pantai
tapi dicegah dan ditengahi oleh Residen V.O.C. Herman Jansz Steynkuler. Pada tahun 1694
bulan September tanggal 21, diadakanlah kesepakatan damai, dan ditetapkan perbatasan
Minahasa adalah sungai Poigar. Pasukan Serikat Minaesa yang berasal dari Tompaso
menduduki Tompaso Baru, Rumoong menetap di Rumoong Bawah, Kawangkoan mendiami
Kawangkoan bawah, dan lain sebagainya.
Pada pasa pemerintahan kolonial Belanda maka daerah ini semula masih otonom tetapi lama
kelamaan kelamaan kekuasaan para raja dikurangi dengan diangkatnya raja menjadi pejabat
pemerintahan Belanda, sehingga raja tinggal menjadi pejabat wilayah setingkat ‘camat’.

Anda mungkin juga menyukai