Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN
A. Kedatangan Negara-Negara Eropa dan Negara Jepang di Indonesia
1. Kedatangan Bangsa Portugis di Nusantara
Bangsa Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan
Nusantara. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-
rempah yang menguntungkan pada abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik. Bangsa
Portugis mesuk ke Indonesia melalui Goa-India dan Malaka. Tahun 1487, armada
Portugis yang dipimpin Bartolomeus Dias mengitari Tanjung Harapan dan memasuki
perairan Samudra Hindia. Selanjutnya pada tahun 1498, pelayaran dilanjutkan di
bawah pimpinan Vasco da Gama sampai di Calicut dan Goa, India.
Kemudian pada tahun 1511 dari India, Portugis mengirim ekspedisinya di
bawah pimpinan Alfonso d’Alburquerque, mengikuti perjalanan para pedagang Islam
menuju Nusantara. Pada tahun itu juga Portugis berhasil menduduki Malaka, pusat
perdagangan Islam di Asia Tenggara. Pada awalnya Bangsa Portugis hendak
melakukan perjanjian dagang dengan dengan Kerajaan Sunda di Parahyangan pada
tahun 1512. Namun, hal itu gagal karena mendapat penyerangan oleh raja-raja Islam
di Jawa seperti Demak dan Banten yang menguasai pantai utara Jawa.
Bangsa Portugis mengalihkan arah ke Kepulauan Maluku, yang terdiri atas
berbagai kerajaan daerah yang awalnya berperang satu sama lain. Kemudian Portugis
tiba di Ternate, Maluku tahun 1512. Awalnya masyarakat Maluku dan Sultan Ternate
menyambut baik kepada Portugis agar dapat membeli rempah-rempah dan membantu
Ternate menghadapi para musuhnya, terutama Kesultanan Tidore.
Pada saat itu, Kesultanan Ternate di Maluku diperintah oleh Kaicil Darus
meminta bantuan Portugis untuk mendirikan sebuah benteng agar terhindar dari
serangan daerah lain. Tahun 1522, Portugis mengabulkan permintaan sultan ternate
dengan mendirikan benteng Saint John. Benteng tersebut harus dibayar mahal dengan
perjanjian monopoli perdagangan rempah-rempah, perjanjian tersebut ternyata
menimbulkan kesengsaraan rakyat tidak boleh menjual rempah dengan harga bebas
karna harga sudah ditetapkan portugis dengan harga murah. Akibatnya terjadi
permusuhan antara Ternate dan Portugis.
Sebab-sebab perlawanan rakyat Ternate terhadap Portugis, antara lain:
1. Portugis melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate sehingga
merugikan rakyat.
2. Portugis memaksa Sultan Ternate mengakui kekuasaannya di Ternate.
3. Portugis membunuh Sultan Hairun sebagai raja Ternate.
Lalu Bangsa Spanyol pun tiba di Maluku, timbullah pertentangan antara bangsa
Portugis dan Spanyol, pertikaian tersebut sejalan dengan adanya pertentangan Sultan
Ternate dan Sultan Tidore. Untuk menyelesaikan pertikaian antara Portugis dan
Spanyol itu, pada tahun 1529 dilakukan perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara
lain:
1. Bumi ini dibagi atas dua pengaruh yaitu pengaruh bangsa Spanyol dan Portugis.
2. Wilayah kekuasaan Spanyol membentang Meksiko ke arah barat sampai ke
Kepulauan Filipina dan wilayah kekuasaan Portugis membentang dari Brazil ke arah
timur sampai ke Kepulauan Maluku

2. Kedatangan Bangsa Spanyol di Nusantara


Bangsa Spanyol tertarik melihat keberhasilan bangsa Portugis menemukan
jalur pelayaran menuju daerah asal rempah-rempah. Semangat untuk menjelajahi
samudra, khususnya untuk mencari jalur pelayaran ke Asia terus dilakukan oleh
bangsa Spanyol. Penguasa Spanyol, Charles V, memerintahkan Ferdinand Magellan
untuk menemukan jalur langsung ke Kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil
rempah-rempah.
Berbekal pengetahuan yang dipelajarinya dari penjelajahan yang telah
dilakukan oleh Columbus dan penjelajah-penjelajah lainnya, Magellan memulai
pelayarannya dengan mengambil jalur ke arah barat-daya melintasi Samudra Atlantik,
dan sampai ke ujung selatan Benua Amerika dan melalui selat sempit yang sekarang
diberi nama Selat Magellan. Dari sana ia menyeberang ke Samudra Pasifik menuju
arah Barat dan sampai di Kepulauan Filipina pada tahun 1521. Di kepulauan tersebut,
Magellan terlibat konflik antar kerajaan. Dalam sebuah perang, akhirnya Magellan
mati terbunuh. Tewasnya Magellan tidak menjadikan pelayaran berhenti. Akan tetapi,
di bawah pimpinan Sebastian del Cano, pelayaran terus dilakukan sampai tiba
kembali di Spanyol pada tahun 1522.
Pada tahun 1521, armada dua kapal milik Spanyol berhasil mencapai Maluku
yang pada waktu itu sedang dilanda persaingan antara Ternate dan Tidore. Kondisi
demikian dimanfaatkan oleh Spanyol dengan memberikan dukungan kepada Tidore
dalam menghadapi Ternate yang juga didukung oleh kekuatan Portugis. Rombongan
Spanyol diterima baik oleh masyarakat dan dijadikan sekutu oleh Kerajaan Tidore.
Hal ini dikarenakan pada saat itu Tidore sedang bermusuhan dengan Kerajaan Ternate
yang bersekutu dengan Portugis. Sebaliknya, kedatangan Spanyol di Maluku bagi
Portugis merupakan pelanggaran atas hak monopoli. Oleh karena itu, timbullah
persaingan antara Portugis dan Spanyol. Sebelum terjadi perang besar antara kedua
bangsa tersebut yang akhirnya diselesaikan dengan Perjanjian Saragosa. Berdasarkan
perjanjian tersebut, Spanyol harus keluar dari wilayah Maluku dan kembali ke
Filipina. Sedangkan Portugis tetap berkuasa di Maluku dan melakukan aktivitas
monopoli perdagangan.

3. Kedatangan Bangsa Belanda di Nusantara


Orang Belanda pertama kali masuk ke Nusantara pada tahun 1596, berpuluh-
puluh tahun setelah kedatangan Portugis dan Spanyol. Usaha pencarian rempah oleh
Belanda dipengaruhi oleh dominasi Spanyol dan Portugis, dua bangsa penguasa
terbesar pada masa itu. Awalnya, Belanda membeli rempah-rempah dari Lisbon,
Portugal. Namun, sejak Spanyol menguasai wilayah Belanda, mereka dilarang
menerima membeli rempah dari Portugis.
Sebenarnya, baik Spanyol dan Portugis mencoba merahasiakan keberadaan
kepulauan Nusantara dari bangsa lain di Eropa. Namun, terdapat awak kapal asal
Belanda dalam kapal Portugis yang melakukan penjelajahan. Orang-orang inilah yang
membuat catatan terperinci tentang seluk-beluk strategi, kelebihan, dan kekurangan
pelayaran yang dilakukan Portugis.
Kedatangan Pertama
Empat kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman tiba di pelabuhan
Banten pada 27 Juni 1596. Praktik kolonialisme Belanda di Nusantara segera dimulai,
dan Cornelis de Houtman adalah pembuka jalannya. Dari Banten, rombongan ini
melanjutkan pelayaran ke arah timur dengan menyusuri pantai utara Jawa hingga ke
Bali.
Cornelis menjadi salah satu orang paling berpengaruh. Namun, Cornelis de
Houtman dikenal sebagai kapten kapal yang berperilaku buruk. Semula
kedatangannya diterima oleh orang-orang Nusantara dengan tangan terbuka. Namun,
ulahnya mengubah relasi itu menjadi perseteruan dan peperangan.
Meskipun begitu, rombongan Cornelis de Houtman berhasil kembali ke
Belanda pada 1597 dengan membawa serta banyak peti berisi rempah. Pelayaran
pertama Belanda untuk mencari rempah di Nusantara kemudian dianggap sukses.
Kedatangan Kedua
Keberhasilan rombongan de Houtman kemudian mendorong pelayaran-
pelayaran lain dari Belanda menuju wilayah Nusantara. Pada 1598, sebanyak 22 kapal
bertolak dari Belanda untuk mengikuti langkah rombongan Cornelis de Houtman.
Kapal-kapal tersebut bukan merupakan kapal pemerintah Republik Belanda (Belanda
berbentuk republik 1581 – 1806), melainkan milik perusahan-perusahaan swasta
Belanda.
Salah satu rombongan di gelombang pelayaran kedua tersebut dipimpin oleh
Jacob van Neck. Berbeda dengan de Houtman, van Neck bersikap lebih hati-hati dan
tidak mencoba melawan para penguasa lokal Nusantara. Pada Maret 1599, rombongan
van Neck berhasil mencapai Maluku yang kala itu menjadi penghasil utama rempah-
rempah dalam jumlah besar. Keberhasilan van Neck menjangkau Maluku
membuatnya untung besar saat kembali ke Belanda.
Kedatangan Ketiga
Pada tahun 1601, sebanyak 14 buah kapal dari Belanda kembali datang ke
Nusantara. Rangkaian pelayaran itu lantas diikuti dengan langkah orang-orang
Belanda memonopoli perdagangan rempah di sejumlah daerah Nusantara. Belanda
sangat berhati-hati dalam melakukan kerja sama dengan kerajaan-kerajaan daerah di
Nusantara. Mereka belajar dari kesalahan Portugis dan Spanyol. Hingga akhirnya
Belanda terbilang cukup sukses memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Dari ketiga gelombang kedatangan ini memunculkan persaingan dagang antara
perusahaan-perusahaan Belanda. Apalagi, orang-orang Belanda secara rutin
mengirimkan kapal dagangnya ke wilayah Nusantara. Persaingan ini yang mendorong
terbentuknya persatuan dagang Belanda yang disebut Vereenig de Oost Indische
Compagnie (VOC) pada tahun 1602.
4. Kedatangan Bangsa Inggris di Nusantara
Bangsa Eropa yang paling akhir masuk ke Nusantara adalah Inggris. Pada
waktu itu Nusantara sudah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Namun, Inggris
tidak membeli rempah-rempah dari Belanda karena saat itu Belanda dikuasai oleh
Spanyol salah satu saingan Inggris. Inggris mengandalkan pembelian rempah-rempah
dari Portugal.
Namun, situasi itu tidak berlangsung lama. Setelah terjadi perang 80 Tahun
antara Inggris dan Portugal, Inggris tidak lagi mendapatkan rempah-rempah dari
Lisbon, Portugal. Orang-orang Inggris mulai melakukan pelayaran ke timur untuk
mencari rempah-rempah. Pelaut Inggris mengikuti jalur Portugis dan tiba di India.
Inggris kemudian berupaya memperkuat kedudukannya di India dengan membentuk
perusahaan dagang bernama East India Company (EIC) pada tahun 1600.
Pada awalnya Inggris telah memasuki Maluku dan tiba di Banda pada tahun
1601. Namun, di sana terjadi perselisihan dengan Belanda yang telah terlebih dahulu
tiba di Maluku. Untuk memperkuat pengaruhnya, Pemerintah Inggris mengirim
utusannya ke Banten untuk mengadakan hubungan dagang. Rombongan Inggris yang
sampai ke Banten di tahun 1602 dipimpin oleh Sir James Lancaster. Sultan Banten
kemudian memberi izin kepada Inggris untuk mendirikan sebuah kantor dagang di
daerah Banten. Selain itu, Inggris juga berhasil mendirikan beberapa kantor dagang di
daerah lainnya seperti Ambon, Makasar, Jepara, dan Jayakarta pada tahun 1604.
5. Kedatangan Jepang di Indonesia
Pada tanggal 7 Desember 1941, secara mendadak Jepang menyerang Pearl
Harbour yang merupakan pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Hawaii.
Serangan tersebut merupakan upaya Jepang untuk membangun suatu imperium di
Asia dengan mengobarkan perang di Pasifik. Akibatnya, Amerika menyatakan perang
kepada Jepang dan membantu pasukan sekutu Eropa. Jepang juga menyerbu
Indonesia dengan mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur pada 11 Januari 1942.
Kedatangan Jepang ini membuat pihak Belanda merasa terancam, karena beberapa
daerah Indonesia berhasil Jepang rebut kekuasaannya.
Jepang kemudian berhasil menguasai Kota Balikpapan (24 Januari 1942),
Pontianak (29 Januari 1942), Samarinda (3 Februari 1942), Banjarmasin (10 Februari
1942), lalu Ambon (4 Februari 1942), Palembang (16 Februari 1942), Teluk Banten,
Eretan Wetan, dan Kragen (28 Februari 1942). Pada akhirnya pihak Belanda yaitu
Gubernur Jenderal A.W.L.Tjarda van Starkenborgh Stachouwer mengaku menyerah
tanpa syarat kepada Jepang lewat perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942. Sejak itu
Indonesia dikuasai oleh Jepang dan penjajahan Belanda berakhir.
B. Pembentukan BPUPKI dan PPKI
1. Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI)

BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha – Usaha Kemerdekaan Indonesia)


atau Dokuritsu Junbi Cosakai merupakan badan yang didirikan untuk mempersiapkan
komponen – komponen kemerdekaan Indonesia. Sejarah BPUPKI diawali dari
keadaan genting Jepang pada tahun 1944 dimana Jepang mengalami kemunduran
dalam Perang Asia Timur Raya (Perang Dunia II di Asia Pasifik). Pada bulan April
1944 Sekutu mendarat di Papua dan dilanjutkan dengan jatuhnya Pulau Saipan pada
bulan Juli 1944 yang telah mengancam kedudukan Jepang di Indonesia.
Untuk mempertahankan diri dari tekanan serangan sekutu, Jepang harus
meningkatkan kekuatan dengan menambah bantuan dari rakyat Indonesia. Agar usaha
tersebut berjalan, Perdana Menteri Kuniaki Koiso memberikan janji kemerdekaan
bagi Indonesia. Di bawah Kabinet Koiso, situasi Jepang semakin genting. Jatuhnya
Pulau Okinawa menyebabkan Kabinet Koiso mengalami kejatuhan dan diganti
dengan Kabinet Suzuki. Dengan berakhirnya Kabinet Koiso membuat Koiso tidak
dapat berbuat apa pun atas rencana pembentukan BPUPKI yang diumumkan
Panglima Bala Tentara XVI Letnan Jenderal Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret
1945.

Melihat posisi Jepang yang tidak membaik serta mandat yang diberikan
membuat Kabinet Suzuki tidak dapat mengelak dari tanggung jawab atas janji
kemerdekaan Indonesia yang diberikan Koiso. Maka pada 29 April 1945 dibentuklah
BPUPKI dengan susunan keanggotaan ketua (kaico) terpilih Dr. K.R.T. Radjiman
Wedyodiningrat yang dibantu oleh dua orang wakil ketua (fuku kaico), yaitu
Ichibangase (orang Jepang) yang menjabat sebagai kepala badan perundingan dan
R.P. Suroso sebagai kepala sekretariat yang dibantu oleh Toyohito Masuda (orang
Jepang) dan Mr. A.G. Pringgodigdo.

Sidang Pertama BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945)


BPUPKI melakukan sidang pertama pada 29 Mei – 1 Juni 1945 dengan
agenda membicarakan rumusan dasar negara. Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat
selaku BPUPKI meminta pandangan kepada para anggota BPUPKI mengenai
rumusan dasar negara Indonesia dalam pembukaan sidang. Mr. Muh. Yamin, Prof.
Dr. Supomo, dan Ir. Soekarno memberikan usulan atas dasar negara. Pada tanggal 29
Mei 1945, Mr. Muh. Yamin mengajukan dasar negara yaitu peri kebangsaan,
perikemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.

Pada sidang tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Supomo mengajukan dasar negara
yaitu persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir dan batin, musyawarah, serta
keadilan sosial. Terakhir tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengemukakan dasar
negara, yaitu kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat
atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari seorang
ahli bahasa, kelima rumusan dasar negara tersebut oleh Ir. Soekarno diberi nama
Pancasila. Ir. Soekarno menjelaskan bahwa Pancasila dapat diringkas menjadi tiga sila
(trisila) terdiri dari sosial nasionalisme, sosial demokrasi, dan ketuhanan. Ir. Soekarno
juga menjelaskan bahwa tiga sila yang dijelaskan dapat diringkas menjadi satu sila
(ekasila) yaitu gotong royong.

Sidang pertama berakhir pada tanggal 1 Juni 1945, namun belum


mendapatkan keputusan akhir mengenai dasar negara. Pada akhirnya diadakan masa
reses (istirahat) selama satu bulan. Tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk panitia
kecil yang memiliki tugas melakukan pembahasan terkait usul dan konsep anggota
mengenai dasar negara Indonesia. Panitia kecil ini beranggotakan sembilan orang dan
diberi nama Panitia Sembilan.

Keanggotaan Panitia Sembilan diantaranya Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr.
Muh. Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Cokrosuyoso. Hasil dari Panitia Sembilan ini
dikenal dengan nama Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yang berisi : a) Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya. b) Dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. c) Persatuan Indonesia. d) Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. e)
Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sidang Kedua BPUPKI (10-17 Juli 1945)
Sidang BPUPKI kedua memiliki agenda membahas masalah rancangan UUD
termasuk mengenai pembukaan (preambule). Sidang kedua BPUPKI menetapkan
pembentukan tiga panitia, yaitu panitia hukum dasar, panitia masalah ekonomi, dan
panitia masalah bela negara. Sidang dilakukan tanggal 11 Juli 1945, panitia hukum
dasar yang ditugaskan membahas masalah rancangan UUD 1945 membentuk panitia
kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo.
Tanggal 14 Juli 1945, Ir. Soekarno selaku ketua panitia hukum dasar
melaporkan hasil panitia kecil yang isinya sebagai berikut.

a) Pernyataan Indonesia merdeka


b) Pembukaan UUD (diambil dari Piagam Jakarta)
c) Batang tubuh yang kemudian disebut undang – undang dasar
Rancangan pernyataan Indonesia merdeka diambil dari tiga kalimat awal
alinea pertama rancangan pembukaan UUD, sedangkan rancangan pembukaan UUD
diambil dari Piagam Jakarta. Akhirnya hasil kerja panitia hukum dasar yang
dilaporkan dalam sidang BPUPKI diterima. Dengan demikian, BPUPKI telah
menghasilkan pembukaan UUD, batang tubuh, aturan tambahan, dan aturan peralihan.
Intinya sidang BPUPKI meminta secara bulat hasil kerja panitia.

2. Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)


Setelah sidang kedua BPUPKI berhasil menyusun rancangan undang – undang
dasar, BPUPKI dianggap telah selesai melaksanakan tugasnya. Selanjutnya pada
tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Sebagai
gantinya pemerintah Jepang (Jenderal Terauchi) menyetujui dibentuknya Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai. Tugas PPKI
adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari
pihak Jepang kepada bangsa Indonesia.
Anggota PPKI berjumlah 21 orang yang terdiri dari 12 wakil dari Jawa, 3
wakil dari Sumatra, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang dari
Sunda Kecil (Nusa Tenggara), seorang dari Maluku, dan seorang lagi dari golongan
penduduk Cina. Pemilihan anggota PPKI dilakukan langsung oleh Jenderal Terauchi.
Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Drs. Moh. Hatta selaku wakil, dan Ahmad
Subarjo ditunjuk sebagai penasihat.

Pada tanggal 9 Agustus 1945, Marsekal Terauchi memanggil Ir. Soekarno,


Drs. Moh. Hatta, dan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat untuk datang ke Dalat,
Saigon. Kedatangan ketiganya untuk menerima informasi tentang pemberian
kemerdekaan. Pada pertemuan tanggal 12 Agustus 1945 di Dalat, Terauchi
menyampaikan bahwa Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan
kepada Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Pelaksanaan kemerdekaan dilakukan
segera setelah persiapannya selesai oleh PPKI. Wilayah kekuasaan Indonesia akan
meliputi seluruh bekas wilayah jajahan Belanda.

Pada perkembangan selanjutnya keanggotaan PPKI bertambah menjadi enam


orang tanpa seizin pemerintah Jepang sehingga secara keseluruhan anggota PPKI
berjumlah 27 orang. Alasan penambahan anggota tersebut adalah agar PPKI tidak
terkesan badan bentukan Jepang. Dengan demikian, para tokoh nasionalis ingin
mengambil alih PPKI untuk dijadikan alat perjuangan rakyat Indonesia.

C. Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat

Kota Hiroshima dijatuhi bom atom pada tanggal 6 Agustus 1945 oleh Amerika
Serikat. Sebanyak 40.000 orang dan wilayah 47 km persegi hancur akibat bom atom.
Bom ini berlanjut pada tanggal 9 Agustus 1945 dengan jatuhnya bom Nagasaki yang
menyebabkan menyerahnya Jepang. Melihat kondisi ini pada tanggal 15 Agustus
1945, dan secara resmi pada tanggal 2 September 1945. Jepang mengakui bahwa
mereka tidak akan bisa menang karena mereka sudah kalah dari segala sisi.

Berita menyerahnya Jepang sebenarnya berusaha ditutupi oleh pihak Jepang.


Namun, Sutan Syahrir dari golongan muda mendengar kekalahan tersebut dan
memanfaatkan untuk segera mendesak golongan tua memerdekakan diri. Awalnya
Soekarno dan Hatta menolak dengan alasan menunggu hasil keputusan sidang PPKI.
Guna menghindarkan pengaruh Jepang terhadap Soekarno dan Hatta, maka
diasingkanlah keduanya ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945.

D. Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan terhadap Soekarno dan


Hatta yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945. Peristiwa ini diawali atas
penyerahan Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Keadaan Jakarta
seakan kota tak bertuan, Jepang dalam posisi gamang sementara republik belum
berdiri. Melihat kondisi demikian, Golongan Muda yang dipimpin Chaerul Saleh
melakukan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Jalan Pegangsaan
Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945 malam. Hasil dari rapat tersebut adalah
pemuda akan mendesak Soekarno dan Hatta secepat mungkin, tanpa campur tangan
PPKI yang merupakan organisasi Jepang.

15 Agustus 1945, Golongan Muda Mendesak Golongan Tua


Soekarno dan Hatta tidak setuju dengan desakan para pemuda. Terjadi
perbedaan pendapat antara Golonan Tua dan Muda mengenai pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan. Tanggal 15 Agustus 1945, kira kira pukul 22.00 para pemuda
mendatangi rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Wikana mengancam
Soekarno, “Jika Bung tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan
berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar – besaran esok
hari”.

Hatta yang hadir pada pertemuan ini turut bicara, “Jepang adalah masa silam.
Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha kembali menjadi tuan
di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan
mengira bahwa saudara tela siap dan sanggup untuk memprokalamsikan
kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan itu sendiri? Mengapa
meminta Soekarno untuk melakukan hal itu?” Tanyanya.

Perdebatan berlangsung alot dan buntu, akhirnya Soekarno tidak bisa


memutuskan sendiri dan melakukan perundingan dengan tokoh lain seperti
Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto dan Sudiro. Tidak
lama kemudian Hatta menyampaikan keputusan bahwa mereka menolak usulan
pemuda dengan alasan perlunya perhitungan lebih cermat dan akan timbul banyak
korban jiwa dan harta.

16 Agustsu 1945, Penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok


Para pemuda yang merasa tidak puas dengan jawaban Hatta kembali ke
markas dan menyiapkan rencana baru, menculik Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Pukul 04.00 dinihari setelah sahur, tanggal 16 Agustus 1945, para
pemuda dipimpin Sodancho Singgih datang ke kediaman Soekarno meminta
Soekarno dan Hatta mengikuti kemauan pemuda untuk dibawa ke Rengasdengklok,
Karawang.

Raibnya Soekarno dan Hatta membuat Jakarta panik. Apalagi, pada hari
tersebut ada rapat pertama PPKI. Soebardjo yang pada malam sebelumnya turut hadir
dalam perdebatan antara Golongan Muda dan Golongan Tua berupaya mencari
Soekarno. Ia berkeliling ke beberapa lokasi termasuk markas Jepang namun tidak ada.
Dia curiga para pemuda dibalik raibnya Soekarno dan Hatta. Segera ia menghubungi
Wikana. Dari Wikana, Soebardjo mendapat info bahwa Soekarno dan Hatta disekap
di Rangasdengklok. Pagi itu juga, Soebardjo menuju ke Rengasdengklok.

Pemuda bersikukuh tak mau melepaskan Soekarno-Hatta, kecuali ada jaminan


kemerdekaan. Soebardjo berkata, “Kalau Proklamasi tidak dilakukan, saya bersedia
ditembak mati”. Setelah hampir seharian disekap, pada pukul sepuluh malam
Soekarno dan Hatta tiba di Jakarta dan segera menggelar rapat di rumah Laksamana
Tadashi Maeda. Setelah melalui perdebatan, teks proklamasi akhirnya selesai dibuat
habis subuh. Proklamasi yang awalnya akan dilangsungkan di lapangan IKADA,
namun dengan pertimbangan keamanan maka diputuskan dibacakan di rumah
Soekarno, jalan pegangsaan Timur 56.

17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan


Sekitar pukul 10.00 hari Jum’at pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno
keluar rumah. Di luar, sekitar seratus orang telah menunggu dengan perasaan campur
aduk. Dengan nada berwibawa Soekarno berkata :

“Maka kami, tadi malam, telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-


pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia.Permusyawaratan itu seia-sekata
berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudarasaudara, dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu….Dengarkanlah
proklamasi kami….”

E. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pengesahan UUD 1945, dan Pemilihan


Presiden dan Wakil Presiden RI yang Pertama

Sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus


1945, ketika bangsa Indonesia secara resmi menyatakan kemerdekaannya. Meskipun
kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menjadi salah satu latar belakang penting
yang mempercepat proses tersebut, kemerdekaan Indonesia bukanlah sebuah hadiah
yang diberikan langsung oleh Jepang.
Peranan Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II

Pada tanggal 6 Agustus 1945, sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota
Hiroshima, Jepang oleh Amerika Serikat, yang menurunkan moral dan semangat
tentara Jepang di seluruh dunia. Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945,
bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki, memaksa Jepang untuk menyerah
kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Serangkaian Peristiwa Menuju Proklamasi

Pertemuan dengan Marsekal Terauchi

Pada tanggal 10 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Radjiman


Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, Vietnam, untuk bertemu dengan Marsekal
Terauchi. Mereka diberitahu bahwa pasukan Jepang berada di ambang kekalahan dan
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pada tanggal 12 Agustus 1945,
Marsekal Terauchi mengumumkan kepada Soekarno, Hatta, dan Radjiman bahwa
pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan
proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari.

Desakan dan Peristiwa Rengasdengklok

Dua hari setelah pertemuan di Dalat, saat Soekarno, Hatta, dan Radjiman
kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak Soekarno untuk segera
memproklamasikan kemerdekaan. Namun, Soekarno belum yakin bahwa Jepang
benar-benar telah menyerah dan proklamasi kemerdekaan pada saat itu dapat
menimbulkan konflik yang besar. Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah
kepada Sekutu, namun masih memegang kekuasaan di Indonesia.

Pada tanggal 16 Agustus 1945, peristiwa Rengasdengklok terjadi. Para


pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih, dan
lainnya membawa Soekarno, Fatmawati, dan Guntur (anak mereka yang baru berusia
9 bulan) ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak
terpengaruh oleh Jepang. Di sana, mereka meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah
menyerah dan para pejuang Indonesia siap untuk melawan Jepang.
Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan

Penyusunan Teks Proklamasi

Setelah peristiwa Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.


Mereka bertemu dengan Mayor Jenderal Oosugi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa
Jepang harus menjaga status quo dan tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan
proklamasi kemerdekaan Indonesia seperti yang dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di
Dalat. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan tersebut dan menuju ke rumah
Laksamana Maeda untuk melakukan rapat guna menyiapkan teks Proklamasi.

Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad


Soebardjo, dan disaksikan oleh Soekardi, B.M. Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik. Teks
Proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Setelah selesai disepakati, Sayuti Melik
menyalin dan mengetik teks tersebut menggunakan mesin tik milik Mayor Dr.
Hermanto Kusumobroto (dari kantor perwakilan Angkatan Laut Jerman).

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Pada pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno di Jalan


Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi No.1), acara Proklamasi dimulai.
Pukul 10 pagi, Soekarno membacakan teks Proklamasi dan pidato singkat setelahnya.
Kemudian, bendera Merah Putih, yang dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan oleh
seorang prajurit PETA bernama Latief Hendraningrat yang dibantu oleh Soepardjo
dan seorang pemudi yang membawa nampan berisi bendera Merah Putih. Setelah
bendera berkibar, lagu Indonesia Raya dinyanyikan oleh semua hadirin. Bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Proklamasi Nasional hingga saat
ini.

Pasca Proklamasi

Pembentukan Undang-Undang Dasar (UUD)

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia


(PPKI) mengadakan rapat dan mengesahkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar
negara Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai UUD 45. Dengan
demikian, terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk
Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan secara sukarela
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Setelah usulan dari Mohammad Hatta dan persetujuan dari PPKI, Soekarno
dan Mohammad Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia yang pertama. Presiden dan Wakil Presiden akan diambil sumpahnya oleh
sebuah Komite Nasional.

Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17


Agustus 1945 menjadi tonggak bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan. Teks Proklamasi yang disusun dengan cermat dan kesungguhan para
pemimpin pada saat itu menjadi landasan dasar pembentukan negara Republik
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan merupakan momen penting yang harus dihargai
dan diingat oleh setiap generasi Indonesia sebagai simbol perjuangan dan semangat
kebangsaan.

F. Pertempuran 10 november 1945 di Surabaya

Setelah adanya proklamasi kemerdekaan di Indonesia tepatnya pada tanggal


17 Agustus 1945, bukanlah sebuah akhir dari perjuangan rakyat Indonesia. Hal ini
dikarenakan walaupun sudah mendeklarasi kemerdekaan tersebut, di beberapa daerah
Nusantara yang ada harus tetap berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan
tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya pertempuran pertama antara pejuang rakyat
Indonesia dengan pasukan negara asing setelah deklarasi kemerdekaan yang terjadi
tepatnya di Surabaya yang lebih dikenal dengan sebutan pertempuran Surabaya.

Pertempuran ini merupakan salah satu kejadian terbesar yang ada dalam
sejarah Revolusi Nasional Indonesia serta menjadi lambang atau simbol nasional yang
menjadi bukti akan perlawanan Indonesia terhadap adanya kolonialisme. Berdasarkan
buku Pertempuran Surabaya (1985) yang merupakan sebuah karya yang dibuat oleh
Nugroho Notosusanto menyebutkan bahwa Pertempuran Surabaya yang terjadi
merupakan pertempuran paling menegangkan yang menunjukkan semangat
patriotisme tinggi para masyarakat Indonesia untuk membela bangsa Indonesia.
Kejadian ini juga dibahas dalam komentar Ricklefs pada bukunya yang
berjudul A History of Modern Indonesia Since C.1200 yang menyatakan bahwa
Pertempuran Surabaya yang terjadi merupakan pertempuran paling sering sepanjang
masa revolusi. Pihak Inggris sebagai bagian dari pertempuran ini memandang
Pertempuran Surabaya tersebut sebagai laksana inferno atau neraka. Hal ini
dikarenakan, rencana Inggris yang ingin menguasai Surabaya menjadi terlambat dua
hari dari target waktunya yaitu tanggal 26 November yang disebabkan kegigihan para
pejuang Bangsa Indonesia yang ada di Surabaya.

Walaupun pada akhirnya Surabaya secara keseluruhan tetap jatuh ke tangan


Bangsa Inggris, dengan adanya kejadian Pertempuran Surabaya tersebut mengubah
cara pandang atau perspektif Bangsa Inggris dan juga Belanda terhadap Indonesia.
Karena ada kejadian ini, Bangsa Inggris menjadi lebih mempertegas posisi serta
kedudukannya sebagai pihak yang netral dan tidak perlu untuk mendukung Belanda.
Selain itu, Belanda yang pada awalnya meremehkan semangat Indonesia mulai
menyadari dan melihat perjuangan para pejuang yang ada dalam mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.

Adanya hal tersebut, membuat para pejuang Indonesia mendapatkan dukungan luas
dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dilihat Belanda sebagai sesuatu yang
berbeda dari gambaran mereka dan apa yang mereka bayangkan sebagai kelompok
pengacau sporadis atau ekstrimis.

G. Peristiwa Bandung Lautan Api (24 maret 1946)


Pada 24 Maret 1946, tentara Belanda yang kuat dengan dukungan senjata dan
alat militer modern mendekati Kota Bandung, yang saat itu dikuasai oleh pejuang
Indonesia. Walau dalam posisi yang sangat kurang persenjataan, pejuang Indonesia di
bawah pimpinan Mayor General TNI Gatot Soebroto berjuang dengan gigih untuk
mempertahankan kota ini.

Selama pertempuran yang berlangsung selama tiga hari, Kota Bandung


menjadi saksi perlawanan heroik rakyat Indonesia. Pejuang-pejuang Indonesia
menggunakan berbagai sumber daya yang mereka miliki, termasuk senjata tradisional,
untuk melawan Pasukan Belanda yang jauh lebih kuat. Salah satu momen paling
ikonik adalah ketika Mayor General TNI Gatot Soebroto memerintahkan pejuang
untuk melemparkan selongsong granat ke dalam parit, menciptakan “lautan api” yang
mengepung pasukan Belanda. Meskipun harus berjuang dalam kondisi yang sulit,
pejuang Indonesia berhasil mempertahankan Kota Bandung.

H. Peristiwa G30S PKI (30 september 1965)

Peristiwa G30S PKI terjadi pada masa pemerintahan Presiden Sukarno yang
menjalankan sistem “Demokrasi Terpimpin”. PKI, sebagai partai Stalinis terbesar di
luar Tiongkok dan Uni Soviet, memiliki jumlah anggota yang sangat besar. Selain itu,
PKI juga mengontrol gerakan serikat buruh dan gerakan petani di Indonesia. PKI
memiliki lebih dari 20 juta anggota dan pendukung yang tersebar di seluruh daerah.

Pada bulan Juli 1959, parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan


konstitusi di bawah dekret presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Sukarno juga
memperkuat angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi
yang penting. PKI menyambut baik sistem “Demokrasi Terpimpin” dan percaya
bahwa mereka memiliki mandat untuk berkonsepsi dalam aliansi Konsepsi
Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM).

Namun, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional


dalam menekan gerakan independen kaum buruh dan petani tidak berhasil
memecahkan masalah politik dan ekonomi yang mendesak. Masalah ekonomi seperti
penurunan pendapatan ekspor, penurunan cadangan devisa, inflasi yang tinggi, dan
korupsi birokrat dan militer menjadi semakin merajalela.

PKI juga menguasai banyak organisasi massa yang dibentuk oleh Sukarno
untuk memperkuat dukungan bagi rezim Demokrasi Terpimpin. Dengan persetujuan
Sukarno, PKI memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” yang terdiri
dari pendukung bersenjata mereka. Namun, para petinggi militer menentang hal ini.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI berusaha menghindari bentrokan antara


aktivis massanya dengan polisi dan militer. Mereka berupaya menjaga “kepentingan
bersama” antara polisi dan rakyat. Pemimpin PKI, D.N. Aidit, mengilhami slogan
“Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”. Pada bulan Agustus 1964, Aidit
mengimbau semua anggota PKI untuk menjaga hubungan yang baik dengan angkatan
bersenjata dan mengajak para pengarang dan seniman sayap kiri untuk membuat
karya-karya yang mendukung “massa tentara”.

Di akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965, terjadi gerakan petani yang
merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan besar terjadi antara petani dan
polisi serta pemilik tanah. Untuk mencegah konfrontasi revolusioner semakin
berkembang, PKI mengimbau pendukungnya untuk tidak menggunakan kekerasan
terhadap pemilik tanah dan meningkatkan kerja sama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.

Pada awal tahun 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet
dan minyak milik Amerika Serikat. PKI menjawab dengan memasuki pemerintahan
secara resmi. Pada saat yang sama, para jenderal militer juga menjadi anggota
kabinet. Menteri-menteri PKI duduk di sebelah petinggi militer dalam kabinet
Sukarno dan terus mendorong citra bahwa angkatan bersenjata adalah bagian dari
revolusi demokratis rakyat.

Tujuan G30S PKI

Gerakan 30 September PKI memiliki tujuan yang menjadi perdebatan dan


interpretasi berbeda. Namun, beberapa tujuan umum yang dihubungkan dengan
gerakan ini adalah:

1. Pengambilalihan Kekuasaan

Tujuan utama gerakan ini diyakini adalah untuk mengambil alih kekuasaan
pemerintahan di Indonesia. Anggota gerakan ini, yang diduga terhubung dengan PKI,
berupaya melalui tindakan kudeta untuk merubah tata kelola politik negara sesuai
dengan pandangan ideologi mereka.

2. Mendukung Agendas Komunis

PKI adalah partai komunis yang memiliki pandangan sosialis dan komunis.
Salah satu tujuan gerakan ini mungkin adalah menggeser politik nasional ke arah yang
lebih sesuai dengan pandangan PKI, yang mencakup redistribusi kekayaan, reforma
agraria, dan penghapusan kapitalisme.
3. Menghapus Pengaruh Militer

Gerakan ini juga mungkin bertujuan untuk melemahkan pengaruh militer


dalam politik Indonesia. Keterlibatan perwira tinggi militer dalam gerakan ini dapat
diartikan sebagai usaha untuk menggantikan struktur kekuasaan yang ada dengan
kekuatan yang lebih sesuai dengan ideologi komunis.

4. Menghapus Faksi – Faksi Tertentu

Ada juga pandangan bahwa gerakan ini bertujuan untuk menghilangkan faksi-
faksi tertentu dalam militer atau politik yang dianggap tidak sejalan dengan tujuan
gerakan atau PKI. Pembunuhan perwira tinggi militer mungkin juga diartikan sebagai
langkah untuk mengurangi resistensi terhadap perubahan politik yang direncanakan.

5. Menciptakan Perubahan Sosial

PKI memiliki visi perubahan sosial yang luas, termasuk perubahan dalam
distribusi kekayaan dan penghapusan ketidaksetaraan. Gerakan ini mungkin bertujuan
untuk mendorong perubahan sosial melalui pengambilalihan kekuasaan dan
implementasi kebijakan-kebijakan komunis.

Perwira yang Gugur

Dalam peristiwa Gerakan 30 September PKI, tujuh perwira tinggi militer Indonesia
tewas sebagai hasil dari serangan yang terjadi. Para perwira yang gugur adalah:

1. Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani

2. Mayor Jendral Raden Soeprapto

3. Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono

4. Mayor Jendral Siswondo Parman

5. Brigadir Jendral Donal Isaac Panjaitan

6. Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo

7. Letnan Pierre Aandreas


Kematian perwira-perwira ini merupakan bagian dari peristiwa tragis yang
mengguncangkan Indonesia pada waktu itu dan membawa dampak yang signifikan
terhadap dinamika politik dan militer di negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai