Materi
Latar belakang perlawanan rakyat Indonesia terhadap bangsa Eropa adalah kebijakan-kebijakan kolonial
yang diterapkan sangat merugikan pribumi pada saat itu. Eropa merujuk pada bangsa Portugis, Spanyol,
Belanda dan Inggris. Perang melawan kolonialisme dan imperalisme sebelum abad ke-20 yaitu perlawanan
secara fisik. Bangsa Portugis dan Belanda menjajah sangat lama sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan
memiliki dampak signifikan yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat Indonesia serta pada akhirnya memicu
terjadinya perlawanan. Kebijakan-kebijakan yang memicu terjadinya perlawanan daerah, yaitu:
Portugis Belanda
1. Monopoli perdagangan 1. Monopoli perdagangan
2. Penyebaran agama katolik 2. Intervensi domestik atau
internal (campur tangan)
3. Sikap arogansi terhadap
pribumi
4. Diskriminasi
5. Penderitaan rakyat
6. Ekspansi wilayah
1. Perlawanan Mataram
Pada awalnya, Mataram dan Belanda menjalin hubungan baik ditandai dengan diizinkannya
mendirikan loji untuk kantor dagang di Jepara. Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen
memerintahkan Van der Marcht untuk menyerang Jepara pada tanggal 8 November 1618. Peristiwa
tersebut yang memperuncing perselisihan Mataram dengan Belanda. Sultan Agung segera
mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertama dilakukan pada
tahun 1628 namun tidak berhasil. Seragan pertama gagal dikarenakan: (1) Mataram kurang teliti dalam
memperhitungkan medan pertempuran; (2) kekurangan perbekalan; dan (3) kalah persenjataan. Serangan
kedua dimulai tanggal 1 Agustus – 1 Oktober 1629. Serangan kedua juga tidak berhasil karena lumbung-
lumbung padi sebagai persediaan pangan telah dihancurkan oleh Belanda.
2. Perlawanan Gowa
Gowa menjadi bandar atau lalu lintas perdagangan Malaka dan Maluku. Rempah-rempah dari
Maluku sebelum menuju ke Malaka harus singgah terlebih dahulu di Gowa. Kedudukan Gowa yang
sangat strategis membuat Belanda ingin menguasai. Usaha yang dilakukan oleh Belanda yaitu VOC
melakukan blokade terhadap pelabuhan Sombaopu, selain itu juga merusak dan merampas kapal-kapal
pribumi maupun asing. Kondisi yang seperti itu menyebabkan perlawanan antara Raja Gowa Sultan
Hasanuddin untuk menghadapi VOC yang sudah bekerja sama dengan Raja Bone yaitu Arung Palaka
(menerapkan politik devide et impera). Perang antara Gowa dan VOC terjadi pada 7 Juli 1667. Gowa
mengalami kekalahan dan perselisihan di akhiri dengan Perjanjian Bongaya berisi:
1. Gowa harus mengakui hak monopoli
2. Semua orang Barat kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa
3. Gowa harus membayar biaya perang
4. Makassar dibangun benteng-benteng
3. Perlawanan Banten
Puncak kejayaan Banten yaitu pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau Sultan Ageng Tirtayasa
(1650 – 1682). Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan terhadap VOC pada tahun 1651 karena
menghalangi kegiatan perdagangan di Banten. Strategi VOC dalam menghadapi Sultan Ageng Tirtayasa
yaitu menggunakan politik devide et impera atau mengadu domba dengan putranya yaitu Sultan Haji
yang dibantu oleh VOC. Sultan Ageng Tirtayasa saat pertempuran posisinya semakin terdesak sehingga
ditangkap. Kemudian Sultan Haji diangkat menjadi pemimpin menggantikan Sultan Ageng Tirtayasa.
Gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Kyai Tapa dan Ratu Bagus terhadap pemerintahan Sultan Haji
terjadi pada tahun 1750. Perlawanan berhasil dipadamkan atas bantuan VOC. Imbalannya Sultan Haji
harus melakukan perundingan dengan VOC yang isinya:
a. Sultan Haji harus mengganti biaya perang
b. Banten harus mengakui di bawah kekuasaan VOC
c. Pedagang selain VOC dilarang berdagang di Banten
d. Kepulauan Maluku tertutup bagi pedagang Banten
D. Perlawanan Terhadap Pemerintahan Belanda (1814 – 1942)
2. Jalannya Perlawanan:
Pertempuran pertama terjadi di Toba Silindung. Rakyat Batak untuk menghadapi serangan
Belanda memiliki dua macam benteng pertahanan yaitu benteng alam dan benteng buatan.
Pertempuran terus menjalar ke Bahal Batu. Pasukan Sisingamangaraja XII semakin terdesak
kemudian menyingkir. Berturut-turut akhirnya daerah jatuh ke tangan Belanda yang mengakibatkan
wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII semakin kecil. Belanda berhasil menawan keluarga
Sisingamangaraja XII. Pada pertempuran di daerah Dairi, Sisingamangaraja tertembak dan gugur
pada tanggal 17 Juni 1907. Gugurnya Sisingamangaraja XII, menandai bahwa seluruh tanah batak
jatuh ke tangan Belanda.