Anda di halaman 1dari 3

Perang Pattimura (1817)

Maluku dengan hasil rempah-rempahnya diibaratkan bagaikan “mutiara dari


timur”. Kekayaan yang diibaratkan bagaikan “mutiara dari timur” itu, senantiasa
diburu oleh orang-orang Eropa. Namun tidak hanya memburu kekayaan, orang-
orang Eropa juga ingin berkuasa dan melakukan monopoli perdagangan. Kekuasaan
orang-orang Eropa itu telah merusak tata ekonomi dan pola perdagangan bebas
yang telah lama berkembang di Nusantara. Pada masa pemerintahan Inggris di
bawah Raffles keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Inggris bersedia
membayar hasil bumi rakyat Maluku. Kegiatan kerja rodi mulai dikurangi. Bahkan
para pemuda Maluku juga diberi kesempatan untuk bekerja pada dinas angkatan
perang Inggris.
Tetapi pada masa pernerintahan kolonial Hindia Belanda, keadaan kembali
berubah. Kegiatan monopoli di Maluku kembali diperketat. Dengan demikian,
beban rakyat semakin berat. Sebab selain penyerahan wajib, masih juga harus
dikenai kewajiban kerja paksa, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi. Kalau
ada penduduk yang melanggar akan ditindak tegas. Ditambah lagi terdengar
desas desus bahwa para guru akan diberhentikan untuk penghematan, sementara
itu para pemuda akan dikumpulkan untuk dijadikan tentara di luar Maluku.
Desas-desus ini membuat situasi semakin panas, ditambah lagi dengan sikap
arogan dan sikap sewenang-wenang dari Residen Saparua.
Suatu ketika Belanda memesan perahu orambai kepada nelayan. Setelah
selesai perahu diserahkan kepada Belanda. Tetapi Belanda tidak mau membayar
perahu itu dengan harga yang pantas. Mereka menuntut agar pemerintah bersedia
membayar perahu orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda dengan harga
yang pantas. Bahkan perahu orambai yang diserahkan kepada pemerintah
Belanda tidak pernah dibayar. Padahal orang-orang Maluku sudah berperan
menyediakan ikan asin untuk kapal- kapal Belanda di Maluku. Belanda sama
sekali tidak menghargai jasa orang- orang Maluku. Oleh karena itu, para
pembuat perahu mengancam akan mogok jika tidak dibayar. Residen Saparua Van
den Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat
Maluku semakin menjadi-jadi.
Menanggapi kondisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku
melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan
pertemuan rahasia di Pulau Haruku, pulau yang dihuni orang-orang Islam.
Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua (pulau yang dihuni orang-
orang Kristen) kembali diadakan pertemuan di sebuah tempat yang sering disebut
dengan Hutan Kayu Putih. Dalam berbagai pertemuan itu disimpulkan bahwa
rakyat Maluku tidak ingin terus menderita di bawah
keserakahan dan kekejaman Belanda. Oleh karena
itu, mereka perlu mengadakan perlawanan untuk
menentang kebijakan Belanda. Thomas Matulessy
yang kemudian terkenal dengan gelarnya Pattimura
dipercaya sebagai pemimpin. Pengalamannya
bekerja di dinas angkatan perang Inggris diyakini
dapat menguntungkan rakyat Maluku.

Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan


kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang
Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede.
Pattimura 1 Ternyata di benteng itu sudah berkumpul pasukan
Belanda. Dengan demikian terjadilah pertempuran
antara para pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Dalam perang itu
pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van den Berg. Sementara dari pihak para
pejuang dipimpin oleh para tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas
Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede


dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan
oleh serdadu Belanda dari dalam benteng. Sementara itu senjata para pejuang
Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. Dalam waktu yang hampir
bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan masuk ke dalam
benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para
pejuang Maluku. Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang
para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.

Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300


prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal perang
yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan
Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh. Kemenangan ini semakin
menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu,
Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk
menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku. Melihat gelagat itu maka pasukan
Belanda memperkuat pertahanan benteng di bawah komandannya Groot. Patroli
juga terus diperketat. Oleh karena itu, Pattimura gagal menembus Benteng
Zeelandia.
Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak
ada kesepakatan. Akhirnya Belanda mengerahkan
semua kekuatannya termasuk bantuan dari Batavia
untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Bulan
Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede
dikepung disertai tembakan meriamyang bertubi-tubi.
Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat
dipatahkan. Daerah di kepulauan itu jatuh kembali ke
tangan Belanda. Dalam kondisi yang demikian itu
Pattimura memerintahkan pasukannya untuk
meloloskan diri dan meninggalkan tempat
pertahanannya. Dengan demikian, Benteng
Christiana Tiahahu Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali.
Pattimura dan pengikutnya terus melawan dengan
gerilya. Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap
seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian
dijatuhi hukuman mati. Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tiahahu marah
dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya.
Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan,
Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan
diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya
Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung
di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan
perang gerilya akhirnya juga tertangkap. Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39
orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam
kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka
mulut. Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818.
Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian,
berakhirlah perlawanan Pattimura.

Anda mungkin juga menyukai