Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERLAWANAN THOMAS MATULESSY


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah

Guru : Desi Nuryanti, S.Pd

Disusun Oleh :

Bunga Maharani

Shalsabilla Nur Syafana

KELAS XI MIPA 3

SMA NEGERI 1 CIKALONG

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik dan
tepat waktu.
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini ialah demi memenuhi tugas
kelompok mata pelajaran Sejarah dengan berjudul “Perlawanan Thomas
Matulessy”. Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat banyak bantuan
dari pihak-pihak tertentu. Maka dari itu,kami mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian makalah ini.
Meskipun kami telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan
makalah ini, namun ternyata masih banyak kesalahan yang terdapat di
dalamnya karena tidak ada yang sempurna di dunia ini. Oleh karena nya, kami
meminta maaf dan memohon agar pembaca memberi kritik dan saran agar di
masa mendatang makalah selanjutnya akan lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembacanya terlebih terhadap saya sendiri.

Tasikmalaya , 11 Sepember 2021

Penyusun
PEMBAHASAN

 Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Kapitan Pattimura dan


pasukannya

Perlawanan dimulai ketika rakyat melakukan protes di Kantor Residen


Saparua di dalam Benteng Duurstedee. Mereka menuntut agar pemerintah
bersedia membayar perahu Orambai yang dipesan oleh pemerintah Belanda
dengan harga yang pantas karena selama ini perahu orambai yang diserahkan
kepada pemerintah Belanda tidak pernah dibayar. Residen Saparua Van den
Berg menolak tuntutan rakyat itu. Kejadian itu menyebabkan kebencian rakyat
Maluku semakin menjadi-jadi.
Akhirnya perlawanan dengan kekerasan senjata terhadap Belanda pun
direncanakan. Dalam pertemuan antara para pemimpin rakyat Saparua
(berjumlah 100 orang) dibicarakan mengenai rencana perlawanan dan juga
dibicarakan mengenai siapa yang akan memimpin, selain itu di dalam rapat
tersebut muncul desas-desus bahwa Belanda akan mengenakan wajib militer
pada rakyat Maluku untuk ditugaskan ke Jawa, yang mana desas-desus ini
menimbulkan perasaan was-was dan semakin menambah kebencian pada
Belanda. Dalam rapat itu seorang pria bernama Matulessy tampak mendominasi
pertemuan. Mattulessy memiliki nama lengkap ketika lahir adalah Achmat
Lussy dan biasa dipanggil Mat Lussy, ketika Maluku dikuasai Inggris Mat
Lussy bekerja sebagai anggota tentara kolonial Inggris dan memperoleh
pangkat kapten (kapitan). Waktu itu Inggris membentuk Barisan Maluku di
mana ada 400 orang Maluku yang bekerja untuk tentara Inggris. Karena begitu
akrab dengan orang Inggris dan sangat menyukai kebudayaannya Mat Lussy
bahkan berpindah agama menjadi Kristen Protestan Anglikan dan merubah
namanya menjadi Thomas Matulessy. Pengalaman di kemiliteran Inggris
membuat Mattulessy cukup disegani karena keahliannya menyusun strategi
perlawanan terhadap Belanda, maka para pemimpin adat sepakat untuk
mengangkat Mattulessy sebagai pemimpin dengan gelar Pattimura.
Pattimura menetapkan sasaran adalah Benteng Duurstede. Benteng di
tepi pantai itu akan diserang oleh pasukan yang didaratkan dari pantai. Untuk
mengangkut pasukan Pattimura merencanakan akan memakai orambai yang
sedianya akan dipesan oleh Belanda.
Benteng Duurstede adalah tempat tinggal residen Saparua Johannes
Rudolph Van den Berg yang baru berusia 29 tahun yang sejak 15 Maret 1817
menetap di sana. Ia tinggal bersama istri dan 4 anaknya. Selain keluarga
residen, benteng ini juga dijaga oleh ratusan tentara dan pegawai administrasi.
Pada tanggal 15 Mei 1817 terjadi kerusuhan di Porto di mana sebuah
perahu pos Belanda dirampas oleh rakyat yang marah, rakyat mengancam jika
Pemerintah Belanda tidak bersedia membayar orambai maka perahu pos itu
tidak akan dikembalikan berikut isinya.
Residen Van den Berg dengan ditemani 7 pasukan pengawal berangkat
ke Porto untuk melakukan dialog dengan rakyat. Tetapi residen dan
pengawalnya tidak tahu bahwa rakyat itu adalah pengikut Pattimura. Ketika
sampai di daerah Haria, residen dan pengawalnya disergap dan semuanya
berhasil ditangkap, beberapa pengawalnya bahkan ada yang terbunuh. Kuda
residen dibunuh. Mengetahui residen ditawan oleh rakyat Saparua, maka dari
Benteng Duurstede dikirimkan sekelompok pasukan senapan berjumlah 20
orang dan 12 orang Jawa bersenjatakan tombak. Di tengah jalan 32 orang
serdadu itu dihujani dengan panah.
Pattimura kemudian membebaskan Van den Berg setelah residen ini
mengancam bahwa jika seorang residen ditahan maka pemerintah Belanda di
Batavia tidak akan tinggal diam dan pasti akan menghukum seluruh rakyat
Maluku. Akhirnya residen dibebaskan dengan jaminan bahwa residen telah
menganggap insiden penyanderaan itu selesai dan tidak akan
memperpanjangnya selain itu residen berjanji akan melunasi orambai yang
dibeli Belanda.
Sementara itu, setelah membebaskan residen dan pengawalnya
Pattimura dan pasukannya segera menuju Benteng Duurstede dengan menaiki
orambai-orambai yang berjumlah puluhan. Pagi hari sebelum matahari terbit
orambai-orambai itu sudah sampai di pantai dan ribuan orang segera turun ke
darat dan langsung melakukan serangan sporadis ke Benteng Duurstede. Pihak
Belanda sangat kaget dengan serangan ini dan berusaha bertahan mati-matian.
Tetapi tanpa dinyana dari hutan di belakang benteng juga terjadi serangan dari
rakyat. Akhirnya Benteng Duurstede berhasil direbut tanggal 16 Mei 1817,
seluruh isi benteng dibunuh termasuk residen dan keluarganya termasuk 4
anaknya yang masih kecil juga jadi korban sabetan kelewang yang tak bermata.
Rakyat Maluku yang bekerja untuk Belanda juga menjadi korban. Namun,
kemudian diketahui bahwa anak tertua Van den Berg tidak mati karena dia
bersembunyi di bawah tumpukan mayat. Dengan jatuhnya Benteng Duurstede
maka senjata-senjata yang ada di dalamnya juga ikut dirampas dan semakin
menguatkan kedudukan Pattimura. Setelah menduduki benteng, Pattimura
menurunkan bendera merah putih biru Belanda dan mengibarkan bendera
Union Jack Inggris.
Sore harinya anak tertua Van den Berg ditemukan oleh salah seorang
pemberontak bernama Samuel Pattiwael. Semua pasukan pemberontak ingin
membunuhnya tetapi Pattimura mencegahnya dan bahkan mengangkat anak itu
sebagai anak tirinya. Anak Van den Berg itu bernama Jean Lubbert.
Berita jatuhnya Benteng Duurstede dan terbunuhnya Residen Van den
Berg sampai ke Batavia. Pemerintah Hindia-Belanda segera memerintahkan
Mayor Beetjes untuk memimpin 242 pasukan dan 2 meriam untuk merebut
kembali benteng itu. Pasukan itu akan dikirim dengan perahu tanpa
perlindungan kapal perang. Hal ini dilakukan karena Pemerintah Belanda di
Ambon memandang kedudukan Belanda di Ambon masih labil sehingga kapal-
kapal perang harus tetap berada di Ambon. Tanpa perlindungan kapal perang
Beetjes berhasil mendarat di Pantai Wae Sisil. Usaha Beetjes menemui
kegagalan, setelah mendarat pasukannya disergap oleh ribuan rakyat Saparua
dihancurkan di pantai Wae Sisil depan Benteng Duurstede dan bahkan ia
sendiri terbunuh.
Kemudian dikirim pasukan lagi yang lebih besar (950 orang) yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Groot. Tetapi setelah pertempuran yang besar
dan habis-habisan pasukan ini pun bisa dihancurkan. Lagi-lagi pasukan Belanda
ini tidak dilindungi oleh kapal perang.
Keberhasilan Pattimura ini menghilhami para pemimpin Maluku di lain
daerah dan merekapun mengobarkan perlawanan terhadap Belanda. Di Hitu
perlawanan dipimpin oleh raja Ulupaha yang berusia 80 tahun. Selain itu
seorang raja bernama Paulus Tiahahu juga membantu perlwanan Pattimura
dengan dukungan ekonomi dan bahkan penyediaan logistik dan pasukan.
Bahkan salah seorang putri raja bernama Christina Martha Tiahahu memimpin
perlawanan Maluku dari laut dan darat dengan cara membajak kapal Belanda di
perairan Maluku.
Politik Devide et Impera dijalankan, Belanda mulai mendekati beberapa
tokoh Maluku yang berpengaruh seperti raja, kepala suku, pendeta Kristen dan
tokoh berpengaruh lainnya untuk ikut membantu mengalahkan Pattimura dan
pengikutnya yang masih bercokol di Benteng Duurstede.
Akhirnya pasukan besar berjumlah 2000 orang dibawah pimpinan
Brigadir Jenderal Buijskes didaratkan di Saparua pada tanggal 30 September
1817 dan mengepung Benteng Duurstede. Kali ini serangan Belanda didukung
oleh sebuah kapal perang penjelajah Maria Van Reigersbergen. Pattimura saat
itu tidak sedang berada di benteng sehingga tidak berhasil ditangkap. Akhirnya
benteng itu pun jatuh pada tanggal 3 Oktober 1817 dan beberapa tokoh
pemimpin perlawanan ditangkap.
Brigadir Jenderal Buijskes kemudian memecat Residen Van
Middelkoop dan Komisaris Engelhard. Buijskes mengangkat dirinya sebagai
residen militer dan bertanggung jawab atas Maluku. Buijskes kemudian
mengirim surat kepada Raja Ternate dan Tidore. Dia meminta kepada kedua
raja itu untuk mengirim pasukan membantu Belanda. Dalam suratnya itu
Buijskes membawa-bawa sentimen agama untuk memecah belah. Kedua raja
itu pun terpengaruh. Pada awal November 1817, sebanyak 1500 pasukan
Ternate dan Tidore dari Suku Alfuru berikut perahu kora-kora nya bergabung
dengan Belanda. Bergabungnya 1500 pasukan Ternate-Tidore dari suku Alfuru
ini membikin moral pasukan Pattimura sedikit kendor. Mereka merasa ngeri
dengan kebengisan orang-orang Alfuru yang suka memenggal kepala jika
membunuh musuhnya.
Pattimura membangun pertahanannya yang terdiri dari batu-batu
karang. Bahkan peluru meriam Belanda tak mampu menghancurkannya.
Pattimura membangun benteng karang ini di tempat-tempat strategis.
Pertahanan ala Pattimura ini menimbulkan rasa salut Belanda pada Pattimura.
Pada tanggal 9 November Kapal-kapal perang Belanda menghujani
sebuah benteng karang milik pasukan Maluku. Setelah dibombardir dengan
berat akhirnya kapal-kapal itu mendaratkan 3 kompi pasukan dan mengambil
posisi mengepung serta menutup tiap-tiap celah, sementara kapal-kapal perang
tetap menembaki, karena terus dikepung dan ditembaki akhirnya orang-orang
Maluku tidak tahan lagi dan menyerah. Akhirnya dengan taktik ini Belanda
mampu merebut benteng-benteng yang lain.
 Tokoh / Pemimpin Perang

Bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang berhasil menguasai


Maluku pada tahun 1512, kemudian disusul oleh bangsa Spanyol. Lalu disusul
bangsa Inggris menguasai Maluku pada tahun 1811. Berdasarkan Convention
of London (1814), daerah Maluku diserahkan oleh Inggris kepada Belanda.
Belanda kemudian menerapkan praktek monopoli perdagangan di Maluku, dan
melakukan tindakan-tindakan lain yang sangat merugikan rakyat Maluku.
Diantaranya diadakan "pelayaran hongi" dan "ekstirpasi" yaitu aksi penebangan
pohon pala dan cengkeh yang melanggar aturan monopoli.
Akibat penderitaan yang dialami rakyat Maluku, maka timbullah reaksi
dan perlawanan rakyat Maluku pada tahun 1817 dibawah pimpinan Thomas
Matulessy atau lebih dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, seorang bekas
sersan mayor pada dinas angkatan perang Inggris. Pattimura dibantu oleh
beberapa pejuang lainnya antara lain, Anthony Rhebok, Thomas Pattiwael dan
seorang pejuang putri Christina Martha Tiahahu.
 Proses Perlawanan
Serangan pertama terhadap Belanda dilancarkan pada malam hari
tanggal 18 Mei 1817.Serangan ini berhasil dengan dibakarnya perahu-perahu
pos di Porto (pelabuhan). Keesokan harinya mereka menyerang Benteng
Duurstede dan berhasil merebutnya. Pada saat itu Residen Van Den Berg
beserta keluarga dan pengawalnya yang ada di benteng berhasil dibunuh.
Untuk membalas dan merebut kembali benteng Duurstede, Belanda
mendatangkan bala bantuan dari Ambon ke Haruku pada tanggal 19 Mei 1817.
Bantuan itu berkekuatan 200 orang prajurit dan dipimpin oleh seorang mayor.
Mereka memusatkan kekuatan di benteng Zeelandia.
Raja-raja di Maluku mengerahkan rakyatnya untuk menyerang benteng
Zeelandia. Belanda menerobos kepungan rakyat dan melanjutkan perjalanan ke
Saparua. Terjadi pertempuran sengit di Saparua. Banyak jatuh korban dipihak
tentara Belanda. Dengan demikian berhasillah pasukan Pattimura
mempertahankan benteng Duurstede.
Kemenangan yang gemilang ini menambah semangat juang rakyat
Maluku, sehingga perlawanan meluas ke daerah lain seperti Seram, Hitu dan
lain-lain. Perlawanan rakyat di Hitu, ditangani oleh Ulupaha (80 tahun). Karena
pengkhianatan terhadap bangsa sendiri, akhirnya Ulupaha terdesak dan
tertangkap oleh Belanda.
Pada bulan Juli 1817, Belanda mendatangkan bala bantuan berupa kapal
perang yang dilengkapi dengan meriam-meriam. Benteng Duurstede yang
dikuasai oleh Pattimura dihujani meriam-meriam yang ditembakkan dari laut.
Akhirnya benteng Duurstede berhasil direbut kembali oleh Belanda. Pasukan
Pattimura melanjutkan perjuangan dengan siasat perang gerilya.
Pada bulan Oktober 1817, Belanda mengerahkan pasukan besar-besaran
untuk menghadapi Pattimura. Sedikit demi sedikit pasukan Pattimura terdesak.
Akhirnya pada bulan November 1817, Belanda berhasil menangkap Pattimura,
Anthonie Rhebok dan Thomas Pattiwael.
Pada tanggal 16 Desember 1817, Kapitan Pattimura dan teman-teman
menjalani hukuman gantung di depan benteng Neuw Victoria di Ambon.
Sementara Kapitan Paulus Tiahahu ditembak mati dan putrinya Christina
Martha Tiahahu diasingkan ke Pulau Jawa pada tanggal 2 Januari 1818 dan
meninggal diatas kapal perang Eversten. Christina meninggal diusia 17 tahun.
Jenazahnya diluncurkan di Laut Banda.
Atas jasa-jasanya, Pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada
Kapitan Pattimura an Christina Martha Tiahahu.
 Akhir dari Perlawanan Kapitan Pattimura dan Pasukannya

Kini Belanda di atas angin, dan Pattimura makin terdesak dan terpaksa
harus melawan secara gerilya. Usaha pembersihan kemudian dilakukan Belanda
untuk meredam terulangnya kembali pemberontakan dan yang paling utama
adalah menangkap Pattimura.
Usaha Belanda menangkap Pattimura terus menerus mengalami
kegagalan dan akhirnya Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah
SiriSori.Pattimura dapat ditangkap karena pengkhianatan salah satu anak
buahnya. Karena Pattimura bukanlah raja maka dia diperlakukan seperti
tawanan perang rendahan. Tertangkapnya Pattimura ini tidak membuat surut
perlawanan Maluku. Raja Manusama Paulus Tiahahu dari Abobu, Nusa Laut
terus melakukan pemberontakan dengan cara membajak kapal-kapal Belanda.
Untuk menumpas pemberontakan Belanda bertindak sangat kejam
dalam menghukum daerah yang dicurigai sebagai sarang pemberontak. Rumah-
rumah dibakar. Orang-orang Ternate dan Tidore yang membantu Belanda
diijinkan untuk merampok dan merampas desa-desa di Saparua.
Raja Abobu Manusama Paulus Tiahahu akhirnya berhasil ditangkap
beserta putrinya Christina Martha Tiahahu yang masih kecil (kurang lebih 17
tahun). Komodor VarHuell diperintahkan memimpin kapal perang Evertzen ke
Nusa Laut. Sesampainya di Nusa Laut Evertzen mendapat penumpang istimewa
yaitu Paulus Tiahahu dan anaknya Christina Martha Di pantai telah berkumpul
rakyat Nusa Laut. Kemudian raja digiring ke geladak kapal dan ditembak di
depan anaknya dan disaksikan oleh rakyatnya dari pantai. Akhirnya karena
masih kecil, Christina Martha dibebaskan. Tetapi Christina malah meneruskan
perlawanan bapaknya. Sampai akhirnya ia kembali tertangkap bersama 39
orang sisa pengikutnya. Akhirnya 40 orang tahanan itu dibawa ke Batavia
dengan kapal Evertzen-kapal tempat ayah Christina dihukum mati-. Di tengah
perjalanan Christina tidak mau makan, sampai akhirnya ia mati kelaparan. Pada
tanggal 1 Januari 1818 jenasah Christina dibuang ke laut.
Pada tanggal 16 Desember 1817, para pemimpin perlawanan Maluku
dihukum gantung di Benteng Nieuw Victoria di tepi pantai Ambon. Mereka
adalah Pattimura, Anthoni Ribok, Philip Latumahina, dan Said Parintah. Anak
Residen Van den Berg yang telah dikembalikan kepada Belanda diharuskan
menyaksikan hukuman ini. Upacara eksekusi ini cukup megah karena
dimeriahkan dengan formasi kapal perang Belanda dan kora-kora Ternate dan
Tidore, salvo meriam dan marching band. Kemudian paduan suara gereja
menyanyikan lagu-lagu rohani. Kemudian seorang tentara berpangkat kapten
membacakan keslaahan-kesalahan Pattimura dan kawan-kawan untuk kemudian
membacakan keputusan vonis mati dengan digantung. Sebelum digantung
Pattimura mengucapkan sebuah kata-kata yang terkenal. ”Pattimura-Pattimura
tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan
melawan.” Akhirnya matilah Pattimura dan kawan-kawan. Jenasah-jenasah
para pemberontak ini dibiarkan bergantung di muka umum sampai membusuk.
Jean Lubbert-anak Van den Berg-, memohon kepada Pemerintah
Belanda agar ia diizinkan melengkapi namanya menjadi Van den Berg Van
Saparua untuk mengenang Pattimura. Perlawanan rakyat Maluku berhenti
setelah banyak pemimpin yang tertangkap atau terbunuh.
PENUTUP
 Kesimpulan

Akhirnya pada tahun 1821 perlawanan Maluku dapat dikatakan


berakhir. Perlawanan Maluku terjadi lagi pada tahun 1858, 1860, 1864, dan
1866 walaupun tidak seheroik pertempuran 1817. Meskipun Pattimura telah
gugur, namun semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan yang beliau
miliki masih melekat pada Rakyat Maluku. Semangat tersebut terus mereka
bawa dan tidak akan pernah padam untuk menembus segala rintangan demi satu
tujuan yang mulia yaitu merdeka. Tepat seperti kata – kata terakhir beliau yang
mengatakan ”Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura
muda akan bangkit kembali dan melawan.” Hingga akhirnya seluruh
perjuangan mereka terbayarkan dengan terusirnya penjajah dari tanah Indonesia
pada tahun 1945.
Namanya kini diabadikan untuk Universitas Pattimura dan Bandar Udara
Pattimura di Ambon.
DAFTAR PUSTAKA

Notosusanto, Nugroho:Poesponegoro Marwati Djoened. 2008. Sejarah


Nasional Indonesia  Jilid IV.  Jakarta: PN Balai Pustaka.
Suyono Capt.R.P. 2003. Peperangan Kerajaan di Nusantara. Jakarta:PT
Gramedia
Hanna, Williard. 1996. Ternate dan Tidore. Jakarta : PT Penebar Swadaya
http://www.warnetgadis.com/2015/10/makalah-perlawanan-thomas-
matulessy.html
http://iskandarberkasta-sudra.blogspot.com/2011/02/kedatangan-belanda-ke-
indonesia.html
https://amanddd.blogspot.com/2018/08/makalah-kapitan-pattimura.htmlPearce,
A. J. and Robinson B. R. 2008. Manajemen Strategis Edisi 10.
Salemba Empat. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai