Setelah Belanda menerima penyerahan dari Inggris pada 1816,
kesejahteraan rakyat Maluku langsung menurun. Rakyat pun mulai melakukan perlawanan, yang meluas ke berbagai daerah di Maluku, seperti di Ambon, Seram, dan Hitu, dengan pusat perlawanan berada di Saparua. Oleh karena itu, disebut sebagai Perang Saparua, yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kaptain Pattimura. Perang Saparua termasuk salah satu pergolakan terbesar yang pernah dihadapi Belanda selama menjajah Indonesia
PENYEBAB PERANG SAPARUA
Perang Saparua dilatarbelakangi oleh banyak faktor, sebagai berikut.
- Semakin diperketatnya kebijakan monopoli perdagangan,
Pelayaran Hongi, dan kerja paksa, sehingga rakyat semakin menderita. - Pemerintah kolonial berencana menghapus sekolah-sekolah desa dan memberhentikan guru untuk menghemat anggaran. - Rakyat dipaksa menyediakan garam, ikan asin, dan kopi bagi kapal-kapal perang Belanda yang berlabuh di Ambon. - Adanya paksaan bagi para pemuda untuk menjadi serdadu Belanda di luar Maluku. - Adanya permasalahan dalam peredaran uang kertas yang semakin mempersulit kehidupan rakyat. - Adanya sikap arogan dan sewenang-wenang dari Residen Saparua, Van den Berg. TINDAKAN SEWENANG WENANG VAN DEN BERG Sebab khusus berkobarnya perlawanan rakyat Saparua tahun 1817 terhadap Belanda adalah penolakan Residen Van den Berg terhadap tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu dipisah sesuai harga sebenarnya.
Sejak Belanda menerima penyerahan dari Inggris pada 1816,
rakyat Maluku semakin menderita di bawah pimpinan Residen Saparua Van den Berg. Selama Residen Van den Bergh berkuasa, ia telah memberlakukan kembali kerja rodi (kerja paksa), yang sebelumnya sudah dihapuskan oleh pemerintahan Inggris.
Kemudian, Van den Berg juga mewajibkan rakyat Maluku
untuk menyediakan perahu (orambai) guna memenuhi keperluan administrasi dan militer Belanda. Akan tetapi, Belanda saat itu enggan membayar perahu yang mereka pesan. Alhasil, rakyat Maluku yang tidak terima mulai memberikan perlawanan.
Mereka berbondong-bondong melakukan aksi protes di kantor
Residen Saparua di Benteng Duurstedee. Rakyat Maluku menuntut Belanda untuk membayar perahu yang telah dipesan dengan harga yang sesuai.
Akan tetapi, Residen Van den Berg menolaknya. Alhasil, di
bawah pimpinan Kapitan Pattimura, rakyat Maluku menyerang Benteng Duurstede pada 15 Mei 1817 hingga menewaskan Residen Van den Berg TOKOH PERANG SAPARUA Akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda, rakyat Maluku semakin terdorong untuk melancarkan perlawanan. Para tokoh dan pemuda Maluku kemudian mengadakan serangkaian pertemuan rahasia. Misalnya pertemuan di Pulau Haruku dan di Pulau Saparua pada 14 Mei 1817. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat untuk melawan dan Pattimura dipercaya sebagai pemimpin perlawanan.
1. Kapitan Pattimura
Thomas Matulessy juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura
atau Pattimura adalah Pahlawan nasional Indonesia dari Maluku. Pattimura lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah pada 8 Juni 1783 dari keluarga Matulessy. Ayahnya bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama Fransina Silahoi. Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Namanya kemudian dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan Belanda melalui perang Pattimura.
Sejak abad ke 17 dan 18 berlangsung serentetan perlawanan
bersenjata melawan Belanda (VOC) dikarenakan terjadi praktik penindasan kolonialisme Belanda dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, kerja paksa dan sebagainya. Penindasan tersebut dirasakan dalam semua sisi kehidupan rakyat, baik segi sosial ekonomi, politis dan segi sosial psikologis.
Setelah dilantik sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa
orang pembantunya yang juga berjiwa ksatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pattimura bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.
2. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari desa
Abubu, Nusalaut, Maluku Tengah. Pada usia 17 tahun, ia ikut mengangkat senjata melawan tentara Belanda. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang membantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura pada 1817.________________ Tokoh wanita dari Maluku yang memimpin perlawanan terhadap kesewenangan pemerintah Belanda adalah Martha Christina Tiahahu. Ketika Martha sedang mendampingi sang ayah memimpin perlawanan di Pulau Nusalaut, di waktu yang sama Kapten Pattimura juga sedang melawan Belanda di Saparua.
Perlawanan di Saparua ini menjalar ke Nusalaut dan daerah
sekitarnya. Terjadinya perlawanan di Saparua didasari oleh adanya tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda melalui pelayaran Hongi di Maluku.
Kemudian, muncul kesengsaraan Maluku karena kebijakan
penyerahan wajib berupa penyerahan ikan asin, kopi, dan hasil laut lain kepada Belanda. Saat perlawanan terjadi, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu Kapiten Pattimura. 3. Kapitan Paulus Tiahahu
Kapitan Paulus Tiahahu (wafat di Nusalaut, 17 November 1817)
adalah seorang kapitan perang dari Negeri Abubu di Pulau Nusalaut yang turut dalam perang Pattimura tahun 1817. Paulus dan Anthony Reebok ditugaskan Pattimura untuk mengatur pertahanan di Nusalaut. Bersama-sama dengan pasukan rakyat ia merebut Benteng Beverwijk di Negeri Sila-Leinitu. Pasukan Belanda di benteng tersebut disergap dan dibunuh. Para pejuang dari Nusalaut mengambil bagian pula dalam pertempuran- pertempuran di Saparua, Haruku dan Jazirah Hatawano di Pulau Saparua. Paulus Tiahahu beserta raja-raja dan pati di Pulau Nusalaut ikut menandatangani Proklamasi Haria di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817. Paulus mempunyai seorang putri yang bernama Martha Christina. Putrinya selalu mendampingi dirinya dalam medan- medan pertempuran. Semangat tempur srikandi Nusalaut yang masih remaja ini selalu mengobarkan semangat pasukan Pattimura. Selain memimpin kaum wanita ikut pertempuran, ia berada juga di tengah-tengah pasukan dengan ayahnya menghadang musuh dan menggabungkan keberaniannya dalam medan pertempuran di Negeri Ouw-Ullath, Saparua Timur, Maluku Tengah, yang berada di Jazirah Tenggara Pulau Saparua. Pertempuran heroik di Front Ouw Ullath berakhir dengan kekalahan pejuang-pejuang rakyat. Kapitan Paulus Tiahahu, putrinya Martha Christina, Raja Hehanussa dari Negeri Titawaai, Raja Ullath dan Patih Ouw tertangkap. Mereka dibawa ke kapal perang “Everstsen”. Di kapal ini para pejuang bertemu dengan Thomas Matulessy dan para tawanan lainnya. Sesudah diinterogasi, Laksamana Buyskes menjatuhkan hukuman mati terhadap Paulus Tiahahu. Tanggal 16 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu dengan putrinya Martha Christina diangkut ke Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwijk. Pada tanggal 17 November 1817, sesuai dengan vonis yang dijatuhkan Buyskes ia dihukum mati tembak oleh regu penembak Belanda di depan Benteng Beverwijk.
JALANNYA PERANG SAPARUA
Perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Setekah itu, para pejuang Maluku menuju Benteng Duurstede di Pulau Saparua. Dalam pertempuran yang terjadi pada 15 Mei 1817 itu, Residen Van den Berg, yang memimpin pasukan Belanda, tewas dan Benteng Duurstede berhasil direbut pejuang Maluku.
Belanda kemudian mendatangkan 300 pasukan dari Ambon
yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Akan tetapi, bantuan itu kembali dilumpuhkan oleh para pejuang yang dipimpin oleh Pattimura. Bahkan Mayor Beetjes tewas dalam pertempuran. Kemenangan ini semakin meningkatkan semangat para pejuang dan perlawanan semakin meluas di Maluku. Di Saparua, perang terus berlanjut hingga Agustus 1817 dan Belanda terus mendatangkan bantuan. Salah satunya bantuan sekitar 1.500 pasukan dari Ternate dan Tidore. Dengan adanya bantuan itu, Pattimura mulai terkepung sehingga harus mengganti strategi. Benteng Duurstede kembali ke tangan Belanda. Strategi perang yang digunakan oleh Pattimura dan Christina Martha Tiahahu di Maluku adalah strategi perang gerilya
AKHIR PERANG SAPARUA
Setelah berbulan-bulan terlibat pertempuran, Belanda berusaha menyelesaikan menyelesaikan perang dalam waktu dekat.
Bahkan Belanda akan memberikan hadiah sebesar 1.000 gulden
kepada pihak yang berhasil menangkap Pattimura.
Akibat pengkhianatan yang dilakukan seorang warga, Belanda
mengetahui persembunyian Pattimura dan berhasil menangkapnya beserta para pejuang lainnya pada November 1817.
Pattimura akhirnya dijatuhi hukuman mati pada Desember 1817 di
Benteng Victoria, Ambon. Peristiwa ini menandai berakhirnya Perang Saparua