Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nur Fitriani

Kelas : 8B

Perjuangan Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura dan I Gusti Ketut


Jelantik

Perjuangan Pangeran Diponegoro

Desa Tegal Rejo, 20 Juli 1825

Saat sudah diketahui gerak geriknya, Belanda bergerak cepat dengan mengirimkan pasukannya,
untuk menangkap pasukan Pangeran Diponegoro. Kemudian terjadilah pertempuran pertama,
pasukan pasukan Pangeran Diponegoro mampu memutar balikkan keadaan, dan berhasil kabur ke
Gua Selarong karena tersesak. Pasukan Belanda akhirnya berhasil menghancurkan desa-desa dengan
pembakaran desa.

Gua Selarong, 23 Juli 1825

Pangeran Diponegoro dan pasukan yang ikut berjuang, mengatur strategi malawan Belanda,
“kemarin kita sudah diserang, adat jawa sudah direndahkan, apakah kita tetap berpangku tangan
setelah melihat itu semua?” kira-kira itu yang disampaikan oleh Pangeran dalam menyemangati para
pejuang.

Mergolunyu, Bagelan Barat, Juli 1825

Serangkaian kemenangan demi kemenangan dimenangkan oleh para penjuang, mereka berhasil
merebut beberapa Desa yang dahulu pernah diambil alih oleh Belanda dengan menggunakan siasat
dan kesaktian dan doa. Jalur pembekalan milik Belanda berhasil diambil alih, sehingga berhasil
memutus pasokan pembekalan mereka.

Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III dan Ibunya
bernama R.A. Mangkarawati, dari Kesultanan Yogyakarta. Beliau memiliki nama asli Bendara
Pangeran Harya Dipanegara, namun sebelumnya bernama Mustahar, dengan nama kecil Bendara
Raden Mas Antawirya. Beliau terlahir di kota Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785. Beliau
wafat pada usia 69 tahun di Makassar, pada tanggal 8 Januari 1855, karena diasingkan oleh Hindia
Belanda.  

Pengeran Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, sebagai berikut:

 B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan.


 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung
Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang.
 R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta.
 R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri
selir.
 R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II).
 R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan.
 R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan.
 R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
 Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar).
Pengharagaan terhadap jasa Pangeran Diponegoro

Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari
1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro.

Untuk penghargaan jasa pahlawan Diponegoro di kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran
Diponegoro. Daerah di Jawa Tengah memberikan apresiasi pada Pangeran Diponegoro. Misalkan
pada stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro Semarang, serta
Komando Daerah Militer si kota Semarang.

Perjuangan Imam Bonjol

Lahir : Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatera Barat 1772

Wafat : Manado, Sulawesi Utara, 8 November 1864

Makam : Lotan, Manado

Nama sesungguhnya adalah Muhammad Syahab. Semasa remaja , ia biasa dipanggil dengan nama
Peto Syarif. Setelah menuntut ilmu agama di Aceh (1800-1802), ia mendapat gelar Malim basa.
Tahun 1803, Malim Basa kembali ke Minangkabau dan belajar pada Tuanku Nan Renceh. Ia adalah
murid kesayangan dari Tuanku Nan Renceh.Malim basa banyak mendapat pelajaran ilmu perang dari
Tuanku Nan Renceh.

Tahun 1807 Malim basa mendirikan Benteng di kaki bukit Tajadi yang kemudian diberi nama Imam
Bonjol. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol.

Pada waktu itu di Minangkabau, sedang terjadi pertentangan yang hebat antara kaum Paderi (kaum
agama) dengan kamu adat. Pada awalnya, pertentangan ini hanya melibatkan kaum adat dan kaum
paderi saja. Tapi karena kedudukan kaum adat semakin terdesak, Kaum adat lalu meminta bantuan
kepada Belanda.

Sejak saat itu pulalah, Belanda ikut campur dalam pertentangan di Minangkabau. Lalu Belanda mulai
mendirikan benten di Batu Sangkar dan di Bukit Tinggi untuk memperkuat kedudukannya. Tuanku
Imam Bonjol memliki banyak pengikut yang membuat Belanda kewalahan.

Apalagi pada saat yang bersamaan, Belanda juga terdesak dengan Perang Diponegoro sehingga
Belanda merasa perlu “berdamai sementara” dengan kaum paderi untuk mengalihkan kekuatan di
Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro.

Setelah berakhirnya perang Diponegoro, Belanda kembali menyerang Markas-markas Tuanku Imam


Bonjol. Namun Tuanku Imam Bonjol adalah panglima perang yang handal sehingga membuat
Belanda harus mengerahkan bantuan tambahan dan siasat-siasat licik.

Sehingga untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan cara-cara kotor dengan


cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Dan disitu pulalah Tuanku Imam
Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1937.
Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari Cianjur lalu ke Ambon dan
terakhir di Manado. Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat di Manado pada tanggal 8 November 1864.

Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No


087/TK/1973.

Perjuangan Pattimura

1. Kapitan Pattimura

Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi.
Pattimura pada masa kecilnya bernama Thomas Matulessy.

2. Sejarah perlawanan rakyat Ambon melawan VOC yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura.

Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk
lutut kepda Belanda. Pada tahun 1817 Belanda datang kembali yang mendapat tantangan keras dari
raky Maluku. Dikarenakan kondisi politik, ekonomi, dan hubungan dengan masyarakat yang buruk
selama kurang lebih dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit melawan dengan mengangkat
senjata di pimpin oleh Kapitan Pattimura. Kapitan Pattimura sebaagai pemimpin mengatur strategi
perang bersama para pendukungnya. Sebagai pemimpin Pattimura berhasil bekerjasama dengan
raja-raja dan patih dalam melaksanakan memimpin rakyat, pemerintahan, menyediakan pangan,
mengatur pendidikan, dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan melawan
Belanda Pattimura juga berhasil menggalang persatuan dan kerjasama dengan kerajaan Ternate dan
Tidore, kerajaan-kerjaan Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang melawan kolonila Belanda oleh Pattimura
dan rakyat Maluku hanya dapat dihentikan oleh Belanda dengan caara tipu muslihat, politik adu
domba, dan bumi hangus. Di wilayah Saparua, Pattimura dipilih oleh rakyat untuk memimpin
perlawanan kepada Belanda. Pattimura pun dinobatkan  dengan gelar Kapitan Pattimura.  

Pada 16 Mei 1817, terjadi pertempuran yang sengit. Rakyat Saparua dipimpin oleh Kapitan Pattimura
berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas,
termasuk Residen Van den Berg. Bantuan pasukan Belanda yang dikirim untuk merebut kembali
benteng Duurstede juga berhasil dihancurkan oleh pasukan Kapitan Pattimura. Selama tiga bulan
benteng Duurstede dikuasai pasukan pimpinan Kapitan Patimura . Namun, Belanda tidak mau
menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan
mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern.
Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.

Kapitan Pattimura bersama beberapa anggota pasukannya ditangkap pasukan Belanda disebuah
rumah di daerah Siri Sori lalu dibawa ke Ambon. Di Ambon Pattimura dibujuk agar bersedia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihan dan perjuangan dalam
memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura oleh pemerintah Republik Indonesia nobatkan
sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan”.

Perjuangan I Gusti Ketut Jelantik


I Gusti Ketut Jelantik adalah perdana menteri Kerajaan Buleleng di pulau Bali, yang melawan upaya
Belanda menaklukkan pulau Bali. Sebagai pemimpin rakyat Bali, Jelantik melakukan perlawanan
terhadap ekspedisi Belanda di Bali yang diadakan pada tahun 1846, 1848 dan 1849.

Saat itu Belanda sedang giat berupaya menguasai seluruh wilayah di Indonesia, karena sumberdaya
yang kaya dan juga untuk mencegah negara Eropa lain menjadi pesaingnya.

Sebagai alasan penyerangan terhadap Bali, Belanda menggunakan alasan praktik Tawan karang,
yaitu adat Bali di mana kapal yang karam di Bali menjadi hak raja setempat. Belanda juga menuntut
raja-raja Bali, termasuk Buleleng, untuk tunduk kepada pemerintahan Hindia Belanda, namun
tuntutan ini ditolak.

Pada tahun 1846, Ketut Jelantik melawan pasukan Belanda yang menyerang di Benteng Jagaraga.
Pada pertempuran ini, Belanda gagal mengalahkan pasukan Bali.

Perlawanannya berakhir setelah dia kalah perang, akibat serangan Belanda pada tahun 1849 yang
dibantu oleh tembakan meriam dari kapal Belanda. Ketut Jelantik akhirnya tewas saat diserang saat
mengungsi ke Kintamani di Gunung Batur, di wilayah Kerajaan Karangasem pada tahun 1849.

Atas jasanya melawan penjajah belanda, I Gusti Ketut Jelantik  diberikan penghargaan oleh
pemerintah Indonesia dengan gelar Pahlawan Nasional menurut SK Presiden RI No. 077/TK/Tahun
1993, oleh Presiden Suharto.

Anda mungkin juga menyukai