Anda di halaman 1dari 11

1.

Sultan Mahmud Badaruddin II

Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Sultan Palembang yang mendapat gelar


Pahlawan Nasional Indonesia karena melakukan perlawanan terhadap penjajah Inggris dan
Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam.
Berkuasa selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), Sultan Mahmud Badaruddin
beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda. Melalui perjuangan
panjang dalam membebaskan tanah Palembang dari tangan Belanda, Palembang jatuh ke
tangan Belanda pada 25 Juni 1821. Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate
hingga ajal menjemput pada 26 September 1852. Memiliki nama kecil Raden Hasa, Sultan
Mahmud Badaruddin lahir pada 1 Rajab 1181 (1767 M). Sang ayah adalah Raja Palembang
ke-VI bernama Sultan Muhammad Badaruddin bin Susuhunan Ahmad Najamuddin (I). Sang
ibu adalah Ratu Agung Puteri Datuk Murni bin Abdullah Alhadi.
Perlawanan pertama Sultan Mahmud Badaruddin II dinamakan Peristiwa Loji Sungai
Aur, dimana Sultan Mahmud Badaruddin II kemudian mengakhiri kekuasaan Belanda di
Palembang. Sejak timah ditemukan di Bangka, Palembang menjadi wilayah incaran Inggris
dan Belanda pada abad ke-18. Penjajahan bermula saat bangsa Eropa mendirikan Loji
(kantor dagang di Sungai Aur. Pada 14 September 1811, Belanda menduduki Palembang dan
kemudian memberi kekuasaan pada Raffles dari Inggris. Berdasarkan perjanjian Tuntang
antara Belanda dan Inggris, kekuasaan terhadap Palembang diserahkan pada Inggris
Peristiwa itu mendapat pertentangan dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Raffles lalu
mengirim ekspedisi militer pada 20 Maret 1812 yang membuat Sultan Mahmud Badaruddin
II terdesak mundur. Sultan Mahmud Badaruddin II kemudian melakukan perang gerilya yang
memaksa Inggris untuk mengakui keunggulan Sultan dan mengakui kedaulatannya sebagai
Raja.
Pada 13 Agustus 1814, Belanda mengambil kembali daerah-daerah yang dijajah
Inggris. Namun Palembang menolak jatuh ke tangan Belanda. Serangan-serangan Belanda,
baik melalui taktik adu domba, berhasil dipatahkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II.
Serangan-serangan pada 1 September 1819, 3 November 1819 semua berhasil dikalahkan
oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Pemerintah Hindia Belanda di Batavia kemudia
mengerahkan kekuatan angkatan perang untuk menyerang Palembang untuk ketiga kalinya
pada 10 Juni 1821. Pertempuran besar pun terjadi dan mendapat perlawanan sengit dari
Sultan Mahmud Badaruddin II. Namun dengan tipu daya Jenderal de Kock, pada 24 Juni
1821, Belanda berhasil menduduki benteng pertahanan. Sultan Mahmud Badaruddin II dan
keluarga ditawan dan diberangkatkan ke Batavia pada 3 Juli 1821 untuk kemudian
diasingkan ke Ternate.
2. Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau biasa kita kenal dengan sebutan
Diponegoro adalah salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional Republik Indonesia dan
termasuk pahlawan nasional dari Jawa. Beliau lahir di Kesultanan Yogyakarta pada tanggal
11 November 1785 dan meninggal di Makassar, Hindia Belanda, pada tanggal 8 Januari 1855
pada umur 69 tahun. Pangeran Diponegoro adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono III.
Beliau adalah raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Pahlawan yang kelak memimpin Perang
Jawa ini lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah
Mustahar. Ibunda Mustahar adalah selir yang bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari
Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar, Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro juga
dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya.
Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga
dia lebih suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut
putrinya atau permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng
Ratu Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota
perwalian yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan
pemerintahan keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen
Belanda. Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.
Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah
milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal
dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan
sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya
sendiri. Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara
frontal, mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi,
sang paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua
yang diberi nama Gua Selarong.
Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa
perjuangannya adalah perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir.
Teriakan perang sabil yang dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke
wilayah Kedu dan Pacitan. Salah seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai
Maja juga ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong.
Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika suatu wilayah bisa dikuasai
pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya wilayah itu sudah berhasil
direbut kembali oleh pasukan pribumi.
3. Jenderal Ahmad Yani

Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo provinsi Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni
1922. Dia merupakan anggota keluarga Wongsoredjo. Wongsoredjo ini mendapatkan
penghasilan di pabrik gula yang dikendalikan oleh pemilik Belanda. Tahun 1927, Yani
kemudian pindah bersama keluarganya menuju ke Batavia karena tempat kerja ayahnya
yang kini bekerja untuk General Belanda. Pada tahun 1940 ketika perang dunia masih
berkecamuk, Yani memutuskan untuk menjalani program wajib militer di tentara Hindia
Belanda. Dia mempelajari topografi militer di Kota Malang Provinsi Jawa Timur.
Sesudah perang Kemerdekaan selesai, Yani bergabung tentara dan berperang
melawan Belanda. Di beberapa bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan, Yani
menciptakan dan memimpin sebuah batalion untuk menghadapi Inggris di Magelang. Dan
Yani pun berhasil menghancurkan Inggris. Tidak berhenti di situ, Yani juga berhasil
mempertahankan Magelang ketika Belanda mencoba untuk mengambil alih Magelang.
Kepahlawanannya di Magelang ini membuat Yani mendapat julukan Juruselamat Magelang.
Selain itu, karier Yani yang menonjol selama periode mempertahankan
kemerdekaan ini adalah melakukan serangan gerilya yang dikerahkan pada awal 1949.
Serangan ini berguna unutk mengalihkan perhatian Belanda agar mereka lengah. Selagi
mereka lengah, Letnan Kolonel Soeharto mempersiapkan pasukannya untuk Serangan
Umum 1 Maret yang mengarah langsung pada Yogyakarta. Peperangan terus berlangsung
hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Setelah perang mempertahankan Indonesia selesai, Yani pindah ke Tegal provinsi
Jawa Tengah. Yani beraksi lagi pada tahun 1952 ketika dia dipercaya untuk menghadapi
Darul Islam. Darul Islam adalah pemberontak yang mencoba untuk mendirikan sistem
pemerintahan teokrasi di Indonesia. Yani membentuk satuan pasukan khusus yang bernama
The Banteng Raiders. Banteng Raiders menghajar Darul Islam selama 3 tahun ke depan dan
terus menderita kekalahan satu demi satu. Perang melawan Darul Islam selesai pada tahun
1955.
Setelah menyelesaikan kasus Darul Islam, Yani berangkat ke Amerika Serikat pada
Desember 1955. Dia harus belajar ilmu Komando dan Staf Umum College, Fort Leavenworth
di Kansas. Yani baru kembali pada tahun 1956 dan dia dipindahkan ke Markas Besar
Angkatan Darat di Jakarta. Di Markas Besar ini, Yani menjadi anggota staf Umum untuk
Abdul Haris Nasution. Selain itu juga menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan
Darat. Beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk
urusan Organisasi dan Kepegawaian.
4. K. H. Zainal Mustafa

Nama kecil KH. Zainal Mustafa adalah Umri, dan terkadang dipanggil Hudaemi.
Perihal tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya tidak ada informasi valid. Ada yang menyebut
tahun 1901, sebagian lagi mengatakan tahun 1899. Bapaknya bernama Nawapi, seorang
petani Muslim di Kampung Bageur-Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sementara ibunya bernama Ratmah, seorang ibu rumah tangga. Umri mulai belajar serius
belajar ilmu-ilmu Islam di Pesantren Gunung Pari yang dipimpin Ajengan Zainal Mukhsin.
Kebiasaan belajar Umri pun berpindah-pindah sebagaimana lazimnya sebagai seorang santri
kelana.
Setelah 7 tahun di Gunung Pari, Umri nyantri di Pesantren Jamais, diteruskan ke
Pesantren Sukaraja, Garut. Setelah itu meneruskan ke Pesantren Sukamisikin, Bandung. Di
pesantren ini Umri mengubah nama menjadi Hudaemi. Dari Sukamiskin ini Hudaemi balik ke
Tasikmalaya dan berguru ke Kyai Muttaqien di Pesantren Cilenga, Singaparna.
Kecerdasannya yang menonjol membuatnya dipercaya sebagai asisten Kiai Muttaqien.
Hudaemi memiliki keinginan suatu saat bisa mendirikan dan mengelola pesantren.
Keinginannya itu kemudian terwujud. Pada 1927 sebuah pesantren berdiri di Kampung
Bageur Cikembang Girang, Desa Cimerah, Singaparna. Semula pesantrennya memiliki tiga
pondok,dan kemudian berkembang menjadi enam pondok. Pada tahun 1937 Hudaemi pun
menunaikan ibadah haji. Pada momentum ini ia mengubah namanya menjadi Zainal
Mustafa. Meski begitu kepada para santrinya, KH Zainal Mustafa tetap mewajibkan bahasa
Arab sebagai bahasa utama yang dipelajari dalam belajar ilmu-ilmu Islam. Di pesantrennya
juga diajarkan Sejarah Indonesia dengan materi kecintaan dan pembelaan Tanah Air. Karena
langkahnya ini KH Zainal Mustafa diawasi polisi intelijen kolonial (Politieke Inlichtingen
Dienst), dan beliau tahu tentang ini. Prinsip yang dipegangnya adalah hubbul wathon minal
iman; cinta tanah air adalah bagian dari iman. KH. Zainal Mustafa adalah anggota organisasi
Islam tradisional Nahdlatul Ulama (NU). Jabatan yang dipercayakan sebagai Wakil Syuriah
NU Tasikmalaya. Di masa itu, NU merupakan organisasi Islam yang berani bersikap kritis dan
mengecam beberapa kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Demikian halnya dengan KH Zainal Mustafa. Beliau pernah melontarkan kritik
terhadap Ordonansi Gurutahun1925. Peraturan pemerintah kolonial lain seperti wewenang
pencatatan nikah dan waris oleh Landraad (Pengadilan Kolonial), program Milisi Bumiputera
(Indische Werbaar), dan Artikelen 177 dan Artikelen 178 Indische Staatreegeling tentang hak
istimewa yang diberikan kepada kaum Kristen, juga tidak luput dari kritik dan kecamannya.
Pemerintah kolonial jelas terganggu dengan kritik-kritik itu. Pada 17 November 1941 KH.
Zainal Mustafa bersama KH. Ruchiyat, KH. Sirodj, Hambali, dan Syafii ditangkap dan
dimasukkan ke penjara Tasikmalaya, kemudian dipindah ke penjara Sukamiskin, Bandung.
Meski kemudian dibebaskan, tapi kecamannya terhadap pemerintah kolonial tetap saja
dilontarkan. Akibatnya, bersama KH. Rukhiyat, beliau ditangkap lagi pada Februari 1942, dan
ditahan di penjara Ciamis.
5. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien merupakan seorang pahlawan nasional wanita dari negara Indonesia
yang berasal dari daerah Aceh. Cut Nyak Dien telah lahir pada tahun 1848 dalam sebuah
keluarga bangsawan yang beragama di daerah Aceh Besar. Cut Nyak Dien merupakan dari
garis keturunan pada ayahnya adalah keturunan langsung dari sebuah Sultan Aceh. Ketika
berusia 12 tahun, Cut Nyak Dien menikah pada 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga,
yang juga berasal dari keluarga bangsawan. Pasangan muda ini diberkati dengan seorang
anak.
Ketika dalam sebuah perang Aceh meluas pada 26 Maret 1873, ayah dan suami Cut
Nyak Dien telah memimpin sebuah perang di garis depan melawan Belanda, yang
mempunyai adanya sebuah senjata yang lebih modern dan luas. Setelah bertahun-tahun
dalam berperang, pasukannya telah terpaksa mengungsi ke daerah yang begitu terpencil.
Semangat dalam perjuangan Njak Dien melawan kekuatan dalam kolonial Belanda terus
meningkat. Kematian Teuku Cek Ibrahim Lamnga dalam perang melawan Belanda pada 29
Juni 1878 di Sela Glee Tarun memicu kemarahan dan tekad wanita pemberani ini terhadap
kekuatan kolonial. Namun demikian, Cut Nyak Dien akan melanjutkan dalam sebuah
pertarungan dengan semangat yang begitu membara. Kebetulan, saat upacara pemakaman
suaminya, dia bertemu Teuku Umar, yang menjadi suami dan rekan dalam pertempuran
untuk tanah Rencong. Awalnya, Cut Nyak Dien Teuku telah menolak saran Umar, tetapi
setuju untuk menikahi pria yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya setelah
Teuku Umar memenuhi keinginannya untuk bergabung dengan medan perang. Selama
dalam pertarungan, Cut Nyak Dien telah menerima sebuah kutukan dari Cut Nyak Meutia
atas adanya sebuah strategi dalam suaminya, Teuku Umar yang telah berpura-pura untuk
menyerah kepada pasukan Belanda dan bekerja bersama Belanda.
Sementara itu, dalam sebuah pasukan terhadap Belanda telah diketahui dengan
sama bahwa dalam sebuah pasukan dari Cut Nyak Dien telah melemah dan hanya dapat
menghindar dalam adanya sebuah tekanan. Akibatnya, karena sudah mulai renta dalam
sebuah kondisi fisik serta dalam kesehatan Cut Nyak Dien pun telah menurun, tetapi dalam
sebuah pertempuran tersebut tetap beliau laksanakan. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien akan
pergi dengan semua dalam sebuah pasukan Belanda dan telah membawa peralatan berat,
senjata, dan amunisi dan tidak pernah kembali. Pengkhianatan ini disebut sebagai Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan oleh Teuku Umar).
Teuku Umar, yang telah mengkhianati terhadap pihak Belanda, telah membuat
marah Belanda dan telah meluncurkan sebuah pencarian atau operasi besar-besaran untuk
menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Gerilyawan sekarang telah dilengkapi dengan
berbagai peralatan dari pihak Belanda. Mereka mulai menyerang terhadap pihak Belanda
selama Jend. Van Swieten telah diganti. Dalam penggantinya, Jenderal Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel dengan cepat segera dibunuh dan sebuah pasukan Belanda berada dalam
posisi sangat kacau.
6. Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar
Dewantara adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Ki Hadjar Dewantara lahir di
Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki
Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Saat genap berusia
40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya Ki
Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Ki
Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan kemudian
melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran sakit,
sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.
Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-
tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki
Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki
Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang nantinya akan
dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik
pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini
untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu
pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalism dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar
Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda. Salah satunya adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan
tersebut menjadi tulisan terkenal hingga saat ini. Akibat karangannya itu, pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan
terhadap Ki Hadjar Dewantara.
7. Ir. Soekarno

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno,
lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Masa kecil
Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga
tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi
kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya.
Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische
Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT.Ia berhasil meraih gelar
“Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai
Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan
kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya
Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945
Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi
dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan
Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik
hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR
mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada
hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso,
Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai.
Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.
8. Mohammad Hatta

Mohammad Hatta kecil tumbuh di bawah pengasuhan ibunya Siti Saleha. Saat ia
berusia 8 bulan, ayahnya Bapak H. Mohammad Djamil pun meninggal dunia. Mohammad
Hatta Kecil menjadi satu satunya anak laki laki, diantara 6 saudara perempuannya saat itu.
Mohammad Hatta tumbuh menjadi sosok pemuda yang memiliki ketertarikan kuat dengan
organisasi pergerakkan kala itu. Ketertarikan Beliau telah terlihat semenjak ia duduk di Meer
Uirgebreid Lagere School (Sederajat Sekolah Menengah Pertama). Saat itu, Mohammad
Hatta memilih bergabung dan menjabat sebagai bendahara di perserikatan Jong Sumatranen
Bond.
Pendidikan Mohammad Hatta pun berlanjut hingga ke negara Belanda. Sekitar tahun
1932, beliau menyelesaikan pendidikannya di Nederland Handelshogeschool, Rotterdam,
Belanda, dan meraih gelar Drs. Momentum perubahan di dalam diri Mohammad Hatta pun
terjadi ketika ia bergabung dengan Indische Vereniging saat masih studi di Belanda.
Bergabungnya ia dengan organisasi tersebut telah menumbuhkan ketertarikannya dengan
dunia politik. Selang beberapa waktu, Indische Vereniging pun mengubah nama menjadi
Perhimpunan Indonesia (PI). Waktu terus berjalan, PI yang sebelumnya merupakan
organisasi mahasiswa biasa, pun berubah menjadi sebuah organisasi yang lebih besar dan
memiliki andil dalam kancah politik di Indonesia saat itu. Pengaruh PI yang kian massif,
membuatnya di akui sebagai pos depan pergerakan nasional di wilayah eropa.
Bukan hanya itu saja, kepiawaian beliau dalam berorganisasi juga sering
membuatnya terpilih menjadi pembicara dari Indonesia dalam berbagai konferensi bertaraf
internasional, seperti : konferensi terkait permasalahan buruh, hingga konferensi liga wanita
untuk perdamaian dan kebebasan di Swiss. Dalam kesehariannya, sedari kecil beliau telah
akrab dengan kegiatan membaca dan menulis. Bahkan, Mohammad Hatta adalah orang yang
sangat rajin merilis artikel di harian nasional dan beragam majalan perhimpunan. Tentunya
semua potensi ini tidak lepas dari kecerdasan linguistik yang beliau miliki yang telah di
anugrahkan oleh sang pencipta.
Sekitar awal Agustus tahun 1945, Mohammad Hatta dipercaya untuk menduduki
jabatan sebagai wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, di mana saat itu yang
menjadi ketuanya adalah Ir. Soekarno. Setelah teks proklamasi kemerdekaan selesai
dipersiapkan (16 Agustus 1946), keesokan harinya tepat 17 Agustus 1945 yang berlokasi di Jl.
Pangangsaan Timur Jakarta Pusat, Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Bangsa
Indonesia kepada dunia. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus di tahun yang sama,
Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden pertama Indonesia dengan didampingi Bapak
Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Pertama Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai