Anda di halaman 1dari 27

Proposal Penelitian FAKTOR RISIKO BABY BLUES SYNDROME DI BPS LUSIA SANDADEN KELURAHAN SUDIANG RAYA KECAMATAN BIRINGKANAYA

KOTA MAKASSAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2011 Oleh Hasma 141 280 109

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum distress syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau empat setelah persalinan (Syahrir S, 2008). Gejala baby blues Syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health Association, 2003). Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues, atau postpartum blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah marah (Atmadibrata, 2005), dan disertai dengan gejala depresi, mood swings, gangguan

tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association, 2003). Menurut Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000) mengatakan bahwa mood wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan prediktor utama terjadinya mood wanita pada periode setelah melahirkan (Syahrir S, 2008). Faktor risiko dari baby blues syndrome yaitu faktor umur, paritas, adanya persalinan yang sulit dan kesulitan dalam menyusui, kehamilan yang sulit atau penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat depresi) masa kanak-kanak yang dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi pada hubungan yang penuh masalah dengan ibu di masa kanak-kanak dan dukungan dari suami yang dapat melatarbelakangi baby blues syndrome (Marshall F, 2004). Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda di tiap Negara, berkisar antara 10-34. Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada tahun 1995 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%), Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1% (Elvira S, 2006). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2002). Catatan medis tentang BBS telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami BBS. Dr. Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan,

atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata, 2005). Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami gejala tersebut (Syahrir S, 2008). Pada penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1% diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja dan mereka yang berpendidikan tinggi (Wratsangka R, 1996), beberapa penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian mencolok tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara lain yang ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7% (Papayungan, 2005). Hasil penelitian yang dilakukan Trika Rianta (2004) di RSIA Siti Fatimah Makassar melaporkan efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome sebesar 23% sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Alfiben (2000) di RSU Hasan Sadikin Bandung melaporkan bahwa efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome (depresi pasca persalinan) sebesar 33%. Selain itu kejadian baby blues syndrome di RSB Pertiwi Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 23 kasus (20,0%) dari 1362 persalinan. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu bidan di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan (Desember, 2011), yang merawat langsung ibu

postpartum di ruang rawat inap bersalin diketahui bahwa pada hari ketiga setelah melahirkan sering menemukan gejala-gejala pada ibu postpartum seperti bersedih, cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur dan kurang perhatian pada bayinya pada saat menangis. Hal ini merupakan bagian dari gejala gangguan psikologis yang mengarah pada baby blues syndrome. Berdasarkan hal diatas dan observasi awal yang peneliti lakukan terhadap ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan 9 bulan atau pun ibu-ibu yang telah melahirkan di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011, setelah memberikan kuesioner EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale) ditemukan kasus baby blues syndrome dengan jumlah kasus yaitu 37. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis besar risiko kejadian baby blues syndrome di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011 berdasarkan umur, paritas, riwayat depresi, komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan, dan dukungan suami.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Apakah umur ibu merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ? 2. Apakah paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome ? 3. Apakah riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome?

4. Apakah komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome? 5. Apakah komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome? 6. Apakah dukungan suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues syndrome?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis besarnya risiko baby blues syndrome di BPS Lusia Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome sberdasarkan umur ibu. b. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan jumlah paritas. c. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan riwayat depresi. d. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan komplikasi kehamilan e. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan komplikasi persalinan f. Menganalisis besar risiko baby blues syndrome berdasarkan dukungan suami.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Peneliti a. Bagi peneliti sendiri merupakan pengalaman berharga karena masalah ini belum pernah di teliti oleh mahasiswa FKM UMI khususnya mahasiswa epidemiologi FKM

UMI sehingga wawasan dan pengetahuan peneliti makin bertambah tentang kejadian baby blues. b. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) atau memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu literatur ataupun bacaan bagi peneliti selanjutnya. 3. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi BPS Lusia Sandaden dalam rangka meningkatkan peran dan dukungan psikologis yang diberikan pada klien serta menyadarkan bidan akan kecenderungan terjadinya baby blues syndrome pada ibu yang baru melahirkan sehingga dapat melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara dini. b. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk menyusun program dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di semua tatanan sehingga angka kejadian baby blues syndrome dapat diatasi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Baby Blues Syndrome 1. Defenisi Baby Blues Syndrome Baby Blues Syndrome adalah suatu sindroma gangguan mental ringan pada wanita pasca salin, yang diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan criteria Handley dan OHara yaitu bila didapatkan minimal 4 di antara 7 gejala yang mungkin muncul , yaitu reaksi depresi/sedih/disforia, labilitas perasaan, menangis, cemas, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, iritabilitas (mudah tersinggung). Meski

sering dianggap sebagai hal yang ringan dan bersifat Self limiting pada sebagian kasus, kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat, yaitu Psikosis puerperal yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam hal masalah hubungan perkawinan dengan suami dan juga perkembangan anaknya (Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998). Baby Blues Syndrome adalah guncangan emosional/kejiwaan pada seorang ibu yang baru melahirkan, kondisi ini hampir 50-75% dialami oleh perempuan yang baru melahirkan (Syahrir S, 2008). Kondisi ini dapat terjadi sejak hari pertama setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima setelah persalinan. Baby Blues Syndrome cenderung menyerang dalam waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Alfiben, 2000). Baby Blues Syndrome terjadi karena tubuh ibu yang habis melahirkan sedang mengadakan perubahan fisik yang besar. Hormon-hormon dalam tubuh juga akan mengalami perubahan besar dan ibu baru saja melalui proses persalinan yang melelahkan, semua ini akan

mempengaruhi perasaan seorang ibu (Mayla, 2007). Allah menciptakan tubuh manusia begitu sempurna dan unik. Salah satunya sistem hormon yang turut memengaruhi sistem metabolisme tubuh secara keseluruhan. Ketidakseimbangan hormon dapat mengacaukan mekanisme kerja tubuh kita, termasuk memengaruhi mood (emosi). Hal inilah yang dialami para ibu pasca-melahirkan. Perubahan hormon yang terjadi pada 3-4 hari setelah persalinan memicu mood menjadi lebih sensitif, rasa sedih dan ingin menangis tanpa sebab. Padahal, seharusnya ibu tengah berbunga-bunga karena si mungil yang dinantinanti selama sembilan bulan sudah ada dalam dekapan. Kondisi yang mungkin terasa aneh inilah yang disebut baby blues syndrome (Mayla, 2007).

Staf pengajar Bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono SpKJ menuturkan, baby blues merupakan fenomena normal yang dialami sekitar 70 persen wanita selepas melahirkan. Apalagi wanita yang baru melahirkan pertama kali, biasanya masih gugup menghadapi perubahan peran dan fungsinya sebagai ibu baru. Di satu sisi, hatinya terisi dengan kebahagiaan yang membuncah, di sisi lain fluktuasi mood menyebabkannya feeling blue. Sindrom baby blues sering kali tidak disadari, baik oleh wanita yang bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya. Wanita yang mengalami baby blues biasanya ditandai dengan gejala khas berupa depresi ringan, perasaan yang tidak menentu (moody), mudah sedih, murung dan rasa ingin menangis. Beberapa ada juga yang disertai gejala sulit tidur, sulit berkonsentrasi, sering bingung, dan pikiran yang terlalu mengkhawatirkan bayi atau ragu akan kemampuannya mengurus bayi. Namun, tidak perlu risau karena kondisi ini umumnya hanya berlangsung singkat (biasanya pada minggu pertama) (Mayla, 2007). Baby blues (depresi Pasca melahirkan) didalam islam dapat diartikan sebagai orang yang berputus asa dan didalam Al-Quran ALLAH SWT telah berfirman :

Terjemahan : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (Al-Baqarah : 286). Ayat diatas menjelaskan tentang larangan berputus asa dan Allah tidak memberikan beban kepada hambanya sesuai dengan kesanggupannya. Hubungan antara ayat diatas dengan kejadian baby blues terhadap ibu-ibu yang telah

melahirkan terletak pada kalimat Allah tidak membebani seseorang melainkan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya..Dimana seorang wanita dimasa mudanya telah berusaha mempersiapkan diri secara mental untuk memiliki anak dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang tata cara merawat bayi maka dia tidak akan stress atau merasa terbebani terhadap bayinya. Sedangkan wanita yang tidak siap secara mental maupun fisik, dan ditambah dengan pengetahuan yang rendah tentang tata cara merawat bayi, maka wanita tersebut rentan untuk depresi atau menderita baby blues syndrome dikarenakan tidak adanya kesiapan. 2. Etiologi Baby Blues Syndrome Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang Faktor yang menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan (Sari LS, 2009). Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara lain : a. Faktor Psikososial Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan merupakan gangguan spesifik yang dibedakan dari gangguan depresi klasik. Beliau menyebutkan dengan depresi atipik yang lebih merupakan respons terhadap stres non spesifik dibandingkan dengan perubahan yang bersifat biologik yaitu perubahan hormonal yang menyertai kelahiran anak (Sari LS, 2009). Penelitian keadaan psikososial dari depresi pasca persalinan meyakinkan adanya hubungan antara keadaan tertentu yang terjadi selama kehamilan dengan timbulnya depresi post partum. Kumar, Rabson, Watson dan kawan-kawan, Cox dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor - faktor psikososial yang berkorelasi dengan timbulnya sindroma depresi pasca persalinan antara lain (Sari LS, 2009): 1. Konflik dalam perkawinan, yang meliputi :

a) Adanya ketegangan yang kronis diantara pasangan yang menyebabkan timbulnya rasa permusuhan antara pasangan tersebut. b) Riwayat adanya ketidakstabilan emosi pada isteri atau suami yang menyebabkan kurangnya dukungan akan kelahiran bayi mereka. c) Pada wanita yang berusia tua, yang mengharapkan kelahiran anaknya (Sari LS, 2009). 2. Sikap ambivalen atau keraguan yang besar terhadap kehamilan dan keinginannya untuk mempunyai anak. 3. Riwayat pernah menderita gangguan depresi sebelumnya dan, atau reaksi terhadap kejadian tertentu dalam kehidupannya, termasuk stres akibat melahirkan anak. 4. Stres lingkungan Teori psikoanalitik menekankan pentingnya hubungan awal antara individu tersebut dengan ibunya. Birchnell, melakukan penelitian terhadap 50 wanita depresi dibandingkan dengan 40 wanita sebagai kontrol, ditemukan adanya hubungan signifikan antara ikatan awal wanita depresi dengan ibunya yang buruk dengan timbulnya depresi dikemudian hari pada wanita tersebut (Sari LS, 2009). b. Faktor Biologik Penelitian yang beraliran biologik, yang dipelopori oleh Dalton, menyatakan bahwa depresi pasca persalinan disebabkan oleh perubahan hormonal, terutama penurunan tajam dari sirkulasi progesteron dalam masa puerpural. Hormon-hormon yang diduga berperan terhadap timbulnya depresi postpartum antara lain, adalah estrogen, progesteron, kortisol dan hormon tiroid (Papayungan D, 2005). Periode pasca persalinan adalah periode dimana terjadi perubahan yang cepat dari konsentrasi beberapa hormon. Selama 48 jam pertama persalinan konsentrasi estrogen, progesteron dan kortisol menurun. Telah diketahui keterlibatan hormon

steroid dalam patogenesis gangguan mood non puerperal. Beberapa peneliti menduga peranan hormon tersebut terhadap timbulnya gangguan tiroid cukup tinggi dan menurun secara drastis setelah pasca persalinan. (Norhana SW, 1995). Disamping peran hormonal tersebut diatas, pada masa pasca persalinan juga dapat terjadi disfungsi tiroid. Fungsi tiroid juga memainkan peranan penting dalam pengaturan mood pada wanita (Parry BL dkk, 2000). Disfungsi tiroid

(hipothyroidisme atau hyperthyroidisme) dapat menimbulkan gejala-gejala psikiatrik, namun belum ada laporan secara pasti bahwa terdapat hubungan timbulnya depresi pasca persalinan dengan keadaan disfungsi tiroid. Ruth Freeman dan kawan-kawan dalam penelitiannya terhadap 212 wanita pasca bersalin menemukan prevalensi disfungsi tiroid sebesar 1,9%, sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Amino dan kawan-kawan terhadap 30 wanita pasca bersalin ditemukan disfungsi tiroid sebesar 5,5%. Angka kejadian disfungsi tiroid bervariasi sesuai dengan daerahnya. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Jepang yaitu 4,3% wanita pasca persalinan 3 bulan pertama dan juga di daerah Amerika Utara (Norhana SW, 1995). Selain faktor hormonal dan faktor genetik, faktor biologis seperti perubahan amin biogenik (serotonin, norepinefrin, dan dopamin) serta prekursornya dan sistem adenosin fosfat juga terlibat dalam terjadinya depresi pasca persalinan (Papayungan D, 2005). Telah dilaporkan 3 dari 18 wanita normal yang diteliti pada hari kedua sampai hari kelima pasca persalinan yang dihubungkan dengan plasma triptofan dan konsentrasi kortisol, ternyata menunjukkan peningkatan afek, tetapi tidak sampai hipomania. Kemampuan mengikat reseptor alpha 2 adenoreseptor dipengaruhi oleh konsentrasi estrogen dan progesteron. Pada ibu-ibu pasca bersalin dengan afek yang depresif dijumpai peningkatan kapasitas alpha 2 adenoreseptor dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak merasakan perasaan sedih, sehingga meningginya

sensitivitas adenoreseptor inilah yang kemudian dihubungkan dengan etiologi depresi (Papayungan D, 2005). Perubahan metabolisme amin biogenik erat hubungannya dengan gangguan depresi. Treadway dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan ekskresi norepinefrin di air kemih dan peningkatan insidensi neurosis dan depresi. Gangguan metabolisme indole amine diimplikasikan sebagai penyebab timbulnya depresi. Sintesa 5 OH tryptamin di otak menurun, sehingga kadar plasma bebas triptofan menjadi rendah (Papayungan D, 2005). Handley dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan plasma triptofan berhubungan dengan defisiensi piridoksin. Oleh karena beragamnya faktor etiologi dan rumitnya interaksi antar berbagai faktor tersebut maka sangat sulit untuk mengidentifikasi faktor risiko yang pasti berperan dalam timbulnya depresi pasca persalinan, dan sulit untuk menentukan secara pasti karakteristik wanita yang akan mengalami depresi pasca persalinan. (Papayungan D, 2005). Beberapa faktor yang diduga menempatkan wanita pasca bersalin pada risiko tinggi mengalami depresi, antara lain (Sari LS, 2009) : a) Dukungan sosial yang buruk, yang berarti tidak mempunyai seseorang yang dipercaya untuk membantu atau mencurahkan pikiran dan perasaan dengan teman karib. b) Peristiwa kehidupan yang serius dan multipel, seperti misalnya hubungan dengan keluarga atau rekan kerja yang sulit, perpindahan, pekerjaan baru atau perubahan besar, kematian orang yang dicintai, masalah keuangan yang serius. c) Riwayat premenstrual syndrome (PMS) sebelumnya, gangguan menstruasi, dan atau kesulitan untuk hamil. d) Riwayat kekerasan waktu kecil, termasuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.

e) Gangguan tiroid atau riwayat keluarga dengan gangguan tiroid. f) Infeksi jamur yang kronik, atau penggunaan antibiotik atau steroid yang sering yang menyebabkan pertumbuhan jamur di usus. g) Diet rendah lemak, rendah protein atau kurang nutrisi lain, atau morning sickness yang berat, yang menyebabkan malnutrisi. h) Hubungan dengan ibu yang tidak harmonis. i) Memiliki ibu yang mengalami depresi pasca persalinan. j) Penggunaan kontrasepsi oral atau suntikan segera setelah melahirkan, penghentian pemberian air susu ibu (ASI) segera setelah melahirkan, baik dengan pilihan sendiri atau karena ASI yang tidak cukup. k) Peningkatan berat badan selama hamil dan penurunan berat yang sedikit setelah melahirkan. l) Pengalaman melahirkan yang traumatis, termasuk operasi caesar yang tidak diharapkan atau prematur. m) Kepulangan yang dini dari rumah sakit (kurang dari 24-40 jam). n) Perselisihan perkawinan (marital discord). o) Kehamilan yang tidak diinginkan. p) Wanita yang melahirkan bayi pertama di atas usia 30 tahun (Sari LS, 2009). 3. Gejala Baby Blues Syndrome Baby Blue Sindrom / Baby Blues Syndrome, atau sering juga disebut Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Beberapa Gejala Kasus Baby Blues Syndrome yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, mudah kesal, lelah, cemas, tidak sabaran, enggan memperhatikan si bayi, tidak percaya diri, sulit beristirahat dengan tenang dan mudah tersinggung. Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan

Postpartum Depression yaitu terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum Depression, Anda akan merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih hebat, serta lebih lama (Mayla, 2007). Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan memperhatikan pola tidur si ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu bisa tertidur, maka besar kemungkinan si ibu hanya menderita Baby Blues Syndrome (BBS). Namun jika si ibu sangat sulit tertidur walaupun bayinya dijaga oleh orang lain, maka mungkin tingkat depresinya sudah termasuk ke dalam Postpartum Depression (PPD). Sedangkan gejala Postpartum Depression yaitu Cepat marah, bingung, mudah panik, merasa putus asa, perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan takut bisa menyakiti bayinya, ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya dengan baik, timbul perasaan bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD bisa berlangsung hingga 1 tahun setelah kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu bisa saja bunuh diri atau menyakiti bayinya sendiri (Mayla, 2007).

4. Dampak Baby Blues Syndrome Pada Bayi Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia juga tidak bias memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya (Syahrir S, 2008). Didalam Al-Quran Surah Al-Baqarah (2) ayat 233 ALLAH SWT telah

berfirman tentang ibu lebih berhak merawat anaknya dan berkasih sayang kepada anaknya yaitu :

Terjemahan: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Al-Baqarah (2) : 233). Selain itu didalam surah lain ALLAH SWT Berfirman Yaitu : Terjemahan : Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab (Qs Al-Imran (3) : 37) Ayat ayat diatas menjelaskan tentang kewajiban seorang ibu untuk merawat anaknya dengan cara menyusui anaknya selama dua tahun, mendidik seorang anak dengan pendidikan yang baik. Oleh karena itu seorang ibu hendaklah merawat anaknya dengan baik yang disertai ketulusan hati dalam merawat anak tanpa adanya tekanan jiwa atau pun rasa stress karena stress dan sikap yang tidak tulus ibu yang secara terus menerus diterima oleh bayi kelak bisa membuatnya menjadi anak yang mudah menangis, pencemas sekaligus pemurung. Dampak lain yang tidak kalah merugikan adalah bayi cenderung mudah sakit, kurangnya perhatian ibu pada bayinya juga merupakan dampak dari baby blues.

B. Tinjauan Umum Tentang Umur

Umur itu sendiri bukan faktor utama yang menentukan apakah wanita lebih rentan atau kurang rentan terhadap depresi pasaca melahirkan (baby blues). Namun, ada gunanya bila kita mengetahui berbagai tekanan yang dialami para wanita baik usia muda maupun tua karena hal ini berperan dalam terjadinya depresi. Dewasa ini, lebih banyak wanita melahirkan di usia cukup matang (rata-rata 28 tahun walaupun beberapa wanita menunda kehamilan beberapa tahun lebih lama), dengan kematangan dan toleransi yang lebih besar dan gaya hidup yang lebih mapan, wanita yang lebih tua juga lebih terbiasa memegang kendali, lebih mampu mengatur hidupnya, suatu sikap yang membuat depresi lebih muda terjadi bila hal itu berkaitan dengan perwatan bayi. Wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi dan dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang mencengkam imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk beberapa individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar wanita. Bagamainapun juga, wanita kariri yang sudah matang khususnya, sangat sulit melepaskan sikapnya yang teratur sewaktu merawat bayi. Mereka pikir mereka dapat menangani, tetapi sewaktu bayi membuatnya kerepotan dengan tangisannya yang terus menerus, rasa laparnya yang tidak teratur, jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, mereka umumnya lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan ibu yang usianya lebih muda, meskipun lebih muda menyesuaikan diri, tidak terlalu kaku dalam bertindak dan mempunyai energi fisik lebih besar, mereka tidak mempunyai kesabaran atau kematangan seperti yang dimiliki wanita lebih matang, yang telah menunggu lama untuk mendapatkan keturunan. Mereka lebih muda kehilangan rasa mudanya , atau bahwa mereka harus kehilangan karir yang sedang dibangunnya atau kadang baru dimulai. Kedua perasaan ini dapat menimbulkan kesdihan yang ikut berperan dalam terjadinya depresi (Marshall, 2004).

Ibu yang berusia 40 tahun ke atas mengalami risiko yang tinggi untuk mengandung. Biasanya bayi yang dilahirkan mengalami Sindrom Down. Tekanan darah tinggi, diabetes, kardiovaskular yang dialami oleh ibu yang juga berisiko pada janin yang dikandungnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa umur merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues pada umur <20 tahun atau >35 tahun 3,5 kali lebih besar dibanding penderita yang berumur 20-35 tahun (Syahrir S, 2008).

C. Tinjauan Umum Tentang Paritas Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu baik lahir hidup maupun lahir mati dengan umur kehamilan 28 minggu. Ibu dengan paritas tinggi menggambarkan tingkat kehamilan yag banyak dan cenderung mengalami komplikasi kehamilan. Hal ini disebabkan karena secara fisik jumlah paritas yang tinggi mengurangi kemampuan uterus sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan pembuluh darah dinding uterus akan memengaruhi sirkulasi nutrisi maupun oksigen ke janin (Wiknojosastro, 1997). Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi ditemukan pada kehamilan pertama. Mereka yang pernah mengalami baby blues (depresi pasca persalinan) dianggap sangat rentan untuk mengalaminya kembali (Marshall, 2004). Demikian juga pada penelitian Syahmawati yang menyatakan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang primipara 3,6 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang multipara. (Syahrir S, 2008).

D. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Depresi

Wanita dengan riwayat depresi postpartum mempunyai risiko yang bermakna dengan angka kekambuhan postpartum setinggi 50% dibandingkan dengan wanita yang hanya mengalami episode diluar masa nifas, wanita dengan riwayat depresi postpartum jelas mempunyai risiko yang lebih besar. Untuk semua wanita (dengan atau tanpa riwayat depresi berat), munculnya gejala depresi selama kehamilan meningkatkan risiko baby blues (depresi postpartum) (Elvira S, 2006). Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat depresi atau gangguan emosional yang pernah diderita atau gangguan emosional pasca persalinan (Safiuddin, 2001). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa riwayat depresi dan gangguan emosi merupakan perkiraan paling kuat akan munculnya depresi setelah melahirkan (Marshall, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko terhadap kejadian baby blues yang memiliki riwayat depresi 22 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai riwayat depresi (Syahrir S, 2008).

E. Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Kehamilan Komplikasi kehamilan adalah kegawat daruratan obstetrik yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Obstetri Fisiologi. 1983). Adapun Jenis Komplikasi Kehamilan yaitu: 1. Perdarahan Perdarahan yang berhubungan dengan persalinan dibedakan dalam dua kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi sebelum kehamilan 28 minggu seringkali

berhubungan dengan aborsi atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau penyakit saluran kelamin bagian bawah (Obstetri Fisiologi. 1983). 2. Pre-Eklamsia Per-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi pada waktu antepartum, intrapartum, dan pascapersalinan (Obstetri Fisiologi. 1983). Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mm Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg atau lebih dan tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mm Hg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Obstetri Fisiologi. 1983). Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat badan kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan (Obstetri Fisiologi. 1983). Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk protein lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein dalam urine, tetapi tidak melebihi 0,3 gr dalam 24 jam. Proteinuria menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut sehingga memerlukan perhatian dan penanganan segera (Obstetri Fisiologi. 1983).

Penyebab pre-eklamsi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Diduga penyebab hipertensi dalam kehamilan secara patologi terjadi karena akibat implantasi sehingga timbul iskemia plasenta yang diikuti sindroma inflamasi dan risiko meningkat pada hamil kembar, penyakit trombolas, diabetes mellitus, faktor herediter dan masalah vaskuler (Saifuddin, 2000). 3. Infeksi Infeksi pasca persalinan ialah meningkatnya suhu tubuh > 38C dan demam berturut-turut selama dua hari sesudah persalinan dan yang disertai keluarnya cairan yang berbau dari liang rahim. Infeksi jalan lahir dapat terjadi pada ibu bersalin yang pertolongan persalinannya tidak bersih atau pada wanita yang menggugurkan kandungan dengan cara berbahaya. Tanda-tandanya adalah panas tinggi lebih dari dua hari setelah melahirkan atau setelah keguguran. Keadaan ini berbahaya dan ibu perlu mendapatkan perawatan intensif. Infeksi ini dapat dicegah dengan pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Obstetri Fisiologi. 1983). Berdasarkan hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi kehamilan merupakan faktor risiko terhadap kejaidan baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi kehamilan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai komplikasi kehamilan (Syahrir S, 2008).

F. Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Persalinan Komplikasi pasca persalinan yang biasa terjadi adalah keadaan yang membahayakan janin seperti berkurangnya aliran oksigen, plasenta yang tidak

berfungsi dengan baik atau terpisah dari rahim, tekanan atatu kekusutan pada tali pusar, aktivitas rahim yang panjang dan berlebihan atau infeksi janin, cacat, perdarahan, serta penyakit pada ibu (anemia, hipertensi, penyakit jantung, tekanan darah rendah yang tidak wajar), distosia bahu, rahim robek, inverse rahim, luka goresan pada vagina dan leher rahim, perdarahan pasca kelahiran, serta infeksi pasca kelahiran (Marshall, 2000). Hampir 20% pada wanita hamil takut terhadap suatu persalinan sedangkan tingkatan nyeri persalinan sampai bentuk yang paling berat dirasakan sebagai hal yang tidak menyenangkan secara psikis dan ini tidak dapat diterima oleh sekita 30% wanita (Mathai M, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson (1987) dan Playfair (1981) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna, yaitu bahwa baby blues lebih banyak dialami oleh wanita dengan riwayat komplikasi obstetric yang kurang baik. Selain itu, dari hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki komplikasi persalinan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai komplikasi persalinan (Syahrir S, 2008).

G. Tinjauan Umum Tentang Dukungan Suami Interaksi pasien dengan lingkungannya merupakan faktor pendukung terjadinya proses kelahiran normal. Suami adalah orang terdekat yang

menyebabkan proses kehamilan namun kehadiran suami dalam persalinan masih janggal. Beberapa tempat [elyanan persalinan belum memperbolehkan kehadiran suami dalam persalinan istrinya, padahal beberapa peneltian di berbagai Negara telah membuktikan bahwa wanita yang melahirkan yang didampingi selama

persalinan baik oleh suami, kerababt wanita maupun tenaga khusus yang dilatih untuk itu menunjukkkan manfaat yang sangat banyak (Kusmiyanti dkk, 2004). Presentase dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues pada ibu primipara yaitu responden yang menyatakan dukungan dari suami kurang 4 orang sebanyak (16%), dukungan suami yang dikategorikan sedang mempunyai frekuensi 15 orang sebanyak (60%) dan dukungan suami yang dikategorikan tinggi 6 orang sebanyak (24%). Dukungan sosial (suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial maupun pasangan (Fatimah S, 2009). Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan membantu istri dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui bayinya, sang ayah tidak hanya tidur sepanjang malam. Ayah bisa menemani ibu dan bayi, mengangkat bayi dari tempat tidurnya, mengganti popok bayi bila perlu, memberikan bayi pada ibu saat jam menyusui, dan mengembalikan bayi ke tempat tidurnya ketika bayi telah tertidur kembali. Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari pertama yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah S, 2009). Peranan suami selama kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian baby blues. Maka upaya untuk meningkatkan dukungan suami selama proses tersebut diperkirakan apat menurunkan kejadian baby blues (Alfiben, 2000). Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Syamawati bahwa tidak adanya dukungan suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues tanpa dukungan dari suami 24 kali lebih besar dibanding penderita baby blues yang mendapatkan dukungan dari suami (Syahrir S, 2008). Maka dari itu perlu adanya peningkatan peranan suami sebagai pendamping dalam proses persalinan secara kontinyu guna menurunkan angka kejadian baby blues.

H. Tinjauan Umum Tentang Validasi Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) Riset yang dilakukan di Universitas Edinburgh telah menghasilkan kuesioner khusus untuk membantu tenaga kesehatan menilai apakah seorang wanita menderita depresi pasca melahirkan (Syahrir, 2008). Di luar negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood/ depresi sudah merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intenstas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaanpertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada baby blues (Iskandar, 2007) Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memilki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca persalinan saat itu (Mayu, 2004). Nilai skoring yang dianggap positif (Cut Of Point) depresi pasca persalinan para peneliti memberikan nilai bervariasi 9 sampai 13. Nilai skor 13

pada skala ini, dianggap pasien memilki kecenderungan untuk mengalami depress. EPDS telah diakui dapat mendetksi depresi pasca persalinan pada sampel yang diambil dari masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang 12/13, skala tersebut memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%. Skala ini terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu penilaian diagnosis psikiatri yang diakui dan diterapkan pemakaiannya di Inggris dan Australia (Alfiben, 2000). Dalam melengkapi kuesioner tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh anggota keluarga yang lain, hal ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih baik. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit (Rianta, 2004). EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa Negara seperti Belanda, swedia, Australia, italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan ila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian (Iskandar, 2007). Studi Caldwell dan Antonucci menemukan pada sampel 48 ibu-ibu remaja bahwa usia, dukungan status sosial ekonomi keluarga, secara signifikan berhubungan dengan simtom-simtom depresi pasca persalinan. Birkeland dan kawan-kawan meneliti depresi pasca persalinan dengan menggunakan Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) yang merupakan self report untuk mengukur simtom depresi mendapatkan skor EPDS 0,83 (Reid V dkk, 2007). Patricia Hannah dan kawan-kawan meneliti 217 pasien depresi pasca persalinan dengan menggunakan EPDS pada hari ketiga dan minggu keenam pasca persalinan, mendapatkan adanya korelasi positif yang signifikan dari kedua skor tersebut, bersama-sama dengan profil gejala yang sama. Dari 25 wanita menderita depresi pasca persalinan (skor EPDS minggu keenam adalah 13), 17

memiliki gejala-gejala yang sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor EPDS hari ketiga adalah 10) (Sari LS, 2009). Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa usia rata-rata depresi pasca persalinan adalah 26 tahun, 75% menjalani kelahiran normal, 15% menjalani secsio sesarea dan 10% menjalani kelahiran forcep. Sebagian besar sudah menikah (81%), sedangkan 13% memiliki mitra permanen. Hanya 6% yang merupakan orangtua tunggal. Prevalensi seumur hidup untuk depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 10%, pada wanita sekitar 25%. Paling sedikit 10% dari wanita menderita gangguan mood yang berhubungan dengan periode postpartum. Sedangkan angka prevalensi depresi pasca persalinan bervariasi antara 1 permil sampai 15% dari angka ibu melahirkan tergantung berat ringannya gangguan mental yang menjadi objek penelitian. Penelitian lainnya mendapatkan prevalensi depresi pasca persalinan yang lebih tinggi, yaitu 23,3% - 36,7%. Depresi pasca persalinan terjadi pada sekitar 1 dari 10 wanita hamil dan biasanya tidak terdiagnosa (Sari LS, 2009).

DAFTAR PUSTAKA Alfiben, 2000. Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan Terjadinya Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta. Elvira S. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI; Jakarta. Fatimah, Sitti. 2009. Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum Blues pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang: (Artikel Riset Keperawatan) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas di Ponegoro; Semarang Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum Blues. http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal akses 4 Desember 2011)

Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of Obstetricians and Gynecologists. Kusmiyanti Margaretha dkk. 2004.Pengaruh Pendampingan Keluarga Selama Proses Persalinan Terhadap Keberhasilan Persalinan di Pelayanan Kesehatan X Tahun 2004. Pascasarjana Kekhususan Kesehatan Reproduksi; FKM UI. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998. Vol.22. Nomor 2. Hlm 49-57; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo. Marshall, Fiona. 2004. Depresi Pasca Melahirkan . Arcan; Jakarta. Marshall, Connie. 2000. Awal Menjadi Seorang Ibu. Arcan; Jakarta. Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. 2000. Normal Labour and Childbirth. In : Manging Complication In pregnancy and Childbirth : A Guide For Midwivwes and Doctor. World Health Organization. Mayla, Freyja, 2007. Baby Blues Syndrome. http://www.freyjamayla.blogspot.com (tanggal akses 9 Desember 2011) National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression. http://www.nmha.org. (Diakses pada tanggal 17 Desember 2011) Norhana SW, 1995. Pendekatan Psychiatry Liaison pada Depresi Pasca Partus. Indonesian Psychiatric Quarterly ; XXVIII ;4:91-8. Obstetri Fisiologi. 1983. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Badung. Papayungan D, 2005. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry pada Penatalaksanaan Depresi Pasca Bersalin Indonesian Psychiatric Quarterly ; 4 : 79-92. Rianta, Trika. 2004. Efektifitas Pendampingan Suami Pada Kala II Persalinan dan Kejadian Depresi Pasca Persalinan. (Skripsi) Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I) Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. Reid V, Oliver MM, 2007. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An Integrative Review of the Literature. Journal of Pediatric Health Care ; 21 : 289-98. Saifuddin AB, Adriaans G, Wiknojosastro GH, Waspodo D. 2000. Persalinan Normal. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal., Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. Sari LS, 2009. Sindroma Depresi Pasca Persalinan Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. (Tesis) Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Syahrir S, 2008. Faktor Risiko Baby Blues di Rumah sakit Bersalin Pertiwi Propinsi Sulwasesi Selatan Tahun 2007.(Skripsi) Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar. Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Deoression. N Engl J Med ; 347 : 194 -99. Wicaksono, Aries. 2007. Cara Mengatasi Baby Blues Syndrome. http://www.liputan6.com/kesehatan/denpasar (tanggal akses, 16 Desember 2011) Wiknojosastro H, 1996. Fisiologi dan Meaknisme Persalinan Normal. Dalam : Ilmu Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; Jakarta. Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus Postpartum Blues di RSU Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI).

Anda mungkin juga menyukai