Anda di halaman 1dari 55

Pengaruh Baby Blues Syndrome Post Partum terhadap kurangnya

pengetahuan orang tua dalam pemberian ASI Ekslusif


Di Program S-1 Keperawatan STiKes Widya Dharma Husada

Disusun oleh :
Bhintaria Wulandari (201030100473)

PRODI S1 KEPERAWATAN STIKES WIDYA DHARMA HUSADA


TANGERANG SELATAN 2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu indikator untuk mengetahui status kesehatan masyarakat di suatu

negara dapat dilihat dari tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian

Bayi (AKB). Penyebab utama kematian bayi adalah karena penyakit infeksi yaitu

infeksi sakuran pernafasan dan diare. Estimasi menurut Word Health Organication

(WHO) bahwa 53% kasus pneumonia akut, 55% kematian bayi akibat diare

dikarenakan pemberian makanan yang buruk pada enam bulan pertama kehidupan

(Gupta, 2013).

Salah satu upaya dalam menurunkan AKB adalah dengan memberikan Air

Susu Ibu (ASI) ekslusif. ASI adalah makanan alami pertama untuk bayi yang

memberikan semua vitamin, mineral dan nutrisi yang diperlukan oleh bayi untuk

pertumbuhan dalam enam bulan pertama dan tidak ada makanan atau cairan lain yang

diperlukan. ASI memenuhi setengah atau lebih kebutuhan gizi anak pada tahun

pertama hingga tahun kedua kehidupan (WHO, 2002). Disamping kandungan nutrisi

yang lengkap didalam ASI juga terdapat zat kekebalan seperti IgA, IgM, IgG, IgE,

laktoferin, lisosom, immunoglobulin dan zat lainnya yang melindungi bayi dari

berbagai penyakit infeksi (Moehji, 2008). Kandungan ASI antara lain yaitu sel darah

putih, zat kekebalan, enzim pencernaan, hormon dan protein yang sangat cocok untuk

memenuhi kebutuhan hingga bayi berumur 6 bulan. ASI mengandung karbohidrat,

protein, lemak, multivitamin, air, kartinin dan mineral secara lengkap yang sangat

cocok dan mudah diserap secara sempurna dan sama sekali tidak mengganggu fungsi

ginjal bayi yang sedang dalam tahap pertumbuhan. Komposisi ASI dipengaruhi oleh
stadium laktasi, ras, keadaan nutrisi, dan diit ibu (Soetjiningsih, 2012). Lebih dari 136

juta bayi lahir setiap tahunnya, dan sekitar 92 juta diantaranya tidak mendapatkan ASI

eksklusif sampai 6 bulan (Gupta, 2013).

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) pemberian ASI

eksklusif pada bayi usia 0-1 bulan 48,7% pada usia 2-3 bulan menurun menjadi

42,2% dan semakin menurun menjadi 42,2% dan semakin menurun seiring dengan

meningkatnya usia bayi yaitu 36,6% pada bayi berusia 4-5 bulan dan 30,2% pada bayi

usia 6 bulan. Pada tahun 2009 pencapaian cakupan ASI eksklusif sebesar 34,3% dan

menurun pada 2010 menjadi 33,6% (BPS, Susenas 2010). Sedangkan Hasil Riset

Kesehatan Dasar tahun 2013 jauh lebih rendah lagi yaitu 30,2% (Riskesda, 2013).

Angka tersebut masih jauh dari target cakupan ASI nasional yaitu sebesar 80%.

Bahkan berdasarkan data WBTI tahun 2012 tentang kondisi menyusui di 51 negara

berdasakan pengukuran indikator yang telah ditetapkan, Indonesia urutan ke 49 dari

51 negara dengan angka menyusui hanya sebesar 27,5% (IBFAN & BPNI, 2012). Hal

ini tentu sangat memprihatinkan mengingat Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki kebijakan tentang ASI yang cukupbaik serta upaya- upaya program

akselerasi untuk pencapaian ASI eksklusif yang sangat gencar baik dilakukan oleh

pemerintah, swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Salah satu penyebab rendahnya pemberian ASI di Indonesia adalah kurangnya

pengetahuan ibu hamil, keluarga dan masyarakat akan pentingnya ASI. Masalah ini

diperparah dengan gencarnya promosi susu formula dan kurangnya dukungan dari

masyarakat, termasuk institusi yang memperkerjakan perempuan yang beum

memberikan tempat dan kesempatan bagi ibu menyusui di tempat kerja (Depkes RI,

2011).
Selain itu, seorang wanita mempunyai reaksi emosi yang berbeda dalam

menghadapi masa hamil, persalinan dan nifas. Gangguan emosional pasca persalinan

dibagi menjadi tiga, yaitu post partum blues (maternity blues atau baby blues) post

partum depression, dan post partum psikosis. Baby blues dimengerti sebagai suatu

sindrom gangguan efek ringan yang tampak dalam minggu pertama persalinan. Baby

blues dapat terjadi sejak hari pertama pasca persalinan atau fase taking in, cenderung

akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang

waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan. Gejala baby blues yang paling wajar

adalah perasaan sedih, mudah lelah dan amat peka secara emosional. Baby blues

merupakan perasaan hipersensitif yang wajar terjadi pada ibu setelah melahirkan,

tetapi yang perlu diwaspadai, hal ini dapat bertambah serius dan bertahan lama yang

biasanya disebut dengan post partum depression. Post partum depression adalah

gangguan emosional pada wanita setelah pesalinan dan terjadi selama beberapa bulan

bahkan tahun. Gejala yang di alami wanita dengan post partum depression lebih lama

dibanding dengan baby blues. Post partum psikosis adalah krisis psikiatri paling parah

dan gejalanya dapat bermula dari baby blues atau post partum depression.

Penelitian terkait baby blues penting dilakukan karena gangguan baby blues

masih dianggap wajar sehingga sering kali terabaikan dan tidak tertangani dengan

baik. Baby blues dapat terjadi pada semua ibu post partum dari etnik dan ras manapun

serta dari ibu primipara maupun multipara.

Dampak baby blues pada ibu adalah dapat mengganggu kemampuan ibu

dalam menjalankan peran, salah satunya merawat bayi sehingga mempengaruhi

kualitas hubungan antara ibu dengan bayi. Baby blues pada ibu menyusui akan

menghambat pengeluaran oksitosin yang akhirnya mengurangi ASI. Akibatnya, dalam

jangka waktu pendek bayi akan mengalami kekurangan nutrisi dan tidak mendapat
asupan ASI dan hubungan emosional kurang terjalin dalam jangka waktu Panjang

akan menyebabkan keterlambatan perkembangan, mengalami gangguan emosional

dan masalah sosial.

Kadang kala ibu mendapatkan informasi yang salah tentang manfaat ASI

eksklusif, mengenai cara menyusui yang benar, dan apa yang harus dilakukan bila

timbul kesukaran dalam menyusui. Proses pemberian ASI bisa saja mengalami

hambatan dikarenakan produksi ASI berhenti (Febriyanti, Rosalina dan Dwi

Ermawati, 2015). Hambatan dalam pemberian ASI eksklusif antara lain ASI keluar

sedikit. Ibu takut payudara turun, dan ibu bekerja. Beberapa faktor yang

mempengaruhi penggunaan ASI ekslusif antara lain faktor pengetahun, faktor meniru

teman, faktpr sosial budaya, faktor psikologis, faktor fisik ibu, faktor perilaku, faktor

tenaga Kesehatan (Soetjiningsih, 2012)

Faktor pengetahuan dan informasi yang didapat akan mempengaruhi niat

seorang ibu untuk memberikan ASI Ekslusif. Faktor yang berpengaruh terhadap niat

ibu hamil dalam memberikan ASI Eksklusif yaitu usia kehamilan, norma social,

pekerjaan ibu dan pengalaman menyusui ibu (Jatmika, 2015). Niat erat kaitannya

dengan motivasi, yaitu dorongan yang timbul dalam diri seseorang secara sadar untuk

melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Niat untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu perilaku dipengaruhi oleh dua penentu dasar yaitu sikap dan norma

subyektif.

Seseorang akan memiliki niat yang kuat jika informasi yang dimilikinya cukup

kuat untuk meyakinkannya bahwa perilaku tersebut layak untuk dilakukan. Niat yang

sudah dimiliki seseorang, hendaknya diperkuat dengan menambah pengetahuan

mengenai ASI baik keunggulan, komposisi, manfaat, dan keutamaannya. Pengetahuan

diperlukan untuk memantapkan niat ibu untuk memberikan ASI (Nurani, 2013).
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “ Pengaruh Baby Blues Syndrome terhadap kurangnya

pengetahuan orang tua dalam pemberian ASI Ekslusif “.

B. Rumusan Masalah

Post partum baby blues tidak berhubungan langsung dengan Kesehatan ibu

dan bayinya maupun komplikasi obstetric tetapi bagaimanapun faktor- faktor tersebut

dapat mempengaruhi perubahan mood ibu. Gejala- gejala tersebut timbul setelah

persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam

sampai beberapa hari setelah persalinan. Namun pada beberapa kasus gejala- gejala

tersebut terus bertahan dan baru menghilang setelah beberapa hari, minggu atau bulan

bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat (Suhemi, 2009).

Berdasarkan paragraph di atas maka rumusan masalah dalam peneliti ini

adalah adakah hubungan antara pengaruh Syndrome Baby Blues Post Partum terhadap

pemberian ASI Eksklusif di Rumah Sakit Medika BSD kota Tangerang Selatan?

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gejala Baby Blues Syndrome Post Partum di Rumah Sakit Medika

BSD kota Tangerang Selatan?

2. Faktor apa saja yang menyebabkan Baby Blues Syndrome Post Partum di Rumah

Sakit Medika BSD kota Tangerang Selatan?

3. Dampak apa saja yang muncul dari Baby Blues Syndrome Post Partum di Rumah

Sakit Medika BSD kota Tangerang Selatan?

4. Bagaimana cara mengatasi Baby Blues Syndrome Post Partum di Rumah Sakit

Medika BSD kota Tangerang Selatan.


D. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui ada tidaknya pengaruh Baby Blues Syndrome Post Partum

terhadap pemberian ASI Eksklusif di RS. Medika BSD Kota Tangerang selatan,

Tahun 2021.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gejala perilaku penderita Baby Blues Syndrome Post Partum.

b. Mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya Baby Blues

Syndrome Post Partum.

c. Mengetahui dampak- dampak perilaku Baby Blues Syndrome Post Partum.

d. Mengetahui cara mengatasi perilaku Baby Blues Syndrome Post Partum.

E. Manfaat penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan masukan dan

tambahan ilmu pengetahuan tentang tanda gejala, faktor- faktor dan dampak Baby

Blues Syndrome Post Partum dan mengetahui cara untuk mengatasinya.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu keperawatan dan

sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme dalam

memberikan pendidikan kesehatan. Selain itu dapat dijadikan dasar untuk

memberikan pengetahuan kepada ibu melahirkan, suami, dan keluarganya.


3. Bagi Lokasi Penelitian

Dapat dijadikan sebagai bahan/ referensi sebagai media untuk pengajaran

yang dapat mempermudah dalam menurunkan angka terjadinya Baby Blues

Syndrome Post Partum. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi subyek penelitian

yaitu pasien RS Medika BSD yang belum mampu mengatasi Baby Blues

Syndrome Post Partum terhadap pemberian ASI.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar dan pembanding untuk

penelitian selanjutnya dalam melaksanakan penelitian yang berkaitan dengan

Baby Blues Syndrome Post Partum. Memberikan pengetahuan dan wawasan

penelitian selanjutnya tentang manfaat pentingnya pengetahuan tentang pengaruh

Baby Blues Syndrome Post Partum terhadap pemberian ASI eksklusif. Sebagai

data penunjang untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang masih terkait dengan

pengaruh pengaruh Baby Blues Syndrome Post Partum terhadap pemberian ASI

eksklusif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP TEORI

1. TINJAUAN UMUM TENTANG SYNDROME BABY BLUES POST PARTUM

a. Definisi

Baby Blues Syndrome sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875

telah menulis referensi di literatur kedokteran mengenai suatu keadaan disforia

(perasaan tidak nyaman) ringan pasca- persalinan yang disebut sebagai “milk

fever” karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa

ini, Baby Blues Syndrome atau sering juga disebut Maternity Blues atau Post-

partum Blues dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan afek ringan yang

sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan, dan ditandai dengan

gejala-gejala seperti : reaksi depresi/ sedih/ disforia, menangis , mudah

tersinggung, cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri,

gangguan tidur dan gangguan nafsu makan.

Yusari dan Risneni (2016) berpendapat terdapat tiga bentuk perubahan

psikologis pada masa postpartum yaitu meliputi Pasca Partum Blues (Maternitas

Blues atau Baby Blues), Depresi Pasca Partum dan Psikosa Post Partum. Baby

Blues Syndrome ini dikategorikan sebagai sindrom gangguan mental yang paling

ringan dari tiga perubahan psikologis pasca melahirkan oleh sebab itu sering tidak

dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksana sebagaimana

seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak

menyenangkan dan dapat membuat perasaan perasaan tidak nyaman bagi wanita
yang mengalaminya, dan bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang

menjadi keadaan yang lebih berat yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama

dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya.

Baby Blues Syndrome merupakan salah satu bentuk gangguan perasaan akibat

penyesuaian terhadap kelahiran bayi, yang muncul hari pertama sampai hari ke

empat belas setelah proses persalinan, dengan gejala memuncak pada hari ke lima

(Diah: 2015). Baby Blues Syndrome merupakan perasaan sedih yang berkaitan

dengan bayinya karena perubahan perasaan yang di alami ibu saat hamil sehingga

sulit untuk menerima kehadiran bayinya (Ambarwati, dkk: 2010). Ummu Syfa

Jauza (2009:96) menyebutkan bahwa gangguan emosi ringan seperti ketakutan

melihat bayi sampai menangis sendiri tanpa sebab, yang biasa terjadi dalam kurun

waktu 2 minggu atau 14 hari setelah ibu melahirkan dikenal dengan istilah Baby

Blues Syndrome. Pada hari-hari dan pekan-pekan pertama sesudah melahirkan

anak, 70 sampai 80 persen di antara semua wanita mengalami suatu tingkat

perubahan emosional yang dapat sebutan “Baby Blues Syndrome” (kesedihan

sesudah melahirkan). Ini disebabkan oleh perpaduan antara kelelahan,

kegelisahan, dan perubahan pada tingkat hormone dalam tubuh. (Philip,

2009:380).

Post Partum Blues atau Baby Blues Syndrome merupakam fenomena yang

terjadi pada hari-hari pertama post partum dengan puncak gejala yang terjadi pada

hari ke-3 sampai ke-5 dengan durasi jam sampai beberapa hari (Lisna: 2015).

Baby Blues Syndrome adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa

beberapa jam setelah melahirkan, sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan

kemudian dia akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis

yang baik. (Suryati: 2008) Gejala-gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan
pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai

beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat

berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. Berdasarkan beberapa pengertian

di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian Baby Blues Syndrome adalah suatu

gangguan ringan kestabilan emosi ibu akibat penyesuaian terhadap kelahiran bayi

yang bisa berlangsung dalam durasi jam dan hari paska melahirkan selama kurang

lebih dua minggu dengan puncak di hari ke 3 sampai hari ke 5.

b. Gejala Baby Blues Syndrome

Baby Blues Syndrome merupakan sindrom gangguan mood ringan yang

sering tidak dipedulikan oleh ibu pascsa melahirkan, keluarganya atau petugas

kesehatan yang pada akhirnya Baby Blues Syndrome dapat berkembang menjadi

depresi bahkan psikosis yang dapat berdampak buruk yaitu ibu mengalami

masalah hubungan perkawaninan bahkan dengan keluarganya dan tumbuh

kembang anaknya. Gejala Baby Blues Syndrome menurut Mansyur (2009)

meliputi menangis, perubahan perasaan, cemas, khawatir megenai sang bayi,

kesepian, penurunan gairah seksual. Baby Blues Syndrome ditandai dengan reaksi

depresi atau sedih, menangis, mudah tersinggung, cemas, perasaan labil,

cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur, gangguan napsu makan

(Marni dalam Lina Wahyu, 2016). Gejala-gejala ini mulai muncul setelah

persalinan dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam

sampai beberapa hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian,

bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. Beberapa gejaka

Baby Blues Syndrome menurut Ambarwati dan Diah (2008:91) meliputi sulit

tidur, bahkan ketika bayi sudah tidur, nafsu makan hilang, perasaan tidak berdaya
atau kehilangan kontrol, terlalu cemas atau tidak perhatian sama sekali pada bayi,

tidak menyukai atau takut menyentuh bayi, pikiran yang menakutkan tentang bayi,

sedikit atau tidak ada perhatian terhadap penampian pribadi, gejala fisik seperti

banyak wanita sulit bernafas atau perasaan bedebar.

Pendapat lain menjelaskan tentang bentuk Baby Blues Syndrome (Marmi:

2012):

1. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis tanpa

sebab.

2. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran.

3. Tidak memiliki tenaga atau sedikit saja Selain hormon, hadirnya si kecil yang

harus betul-betul diawasi, dipenuhi perhatiannya, diasuh siang dan malam

banyak menguras tenaga ibu, sehingga ibu mengalami keletihan dan kurang

waktu istirahat.

4. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga Selain itu kecemasan yang

menghantui para ibu, kecemasan akan masa depan anak, kecemasan apakah

mampu atau tidaknya membesarkan anak dengan baik, dan kecemasan lainnya

yang menghantui ibu juga bisa memicu Baby Blues Syndrome.

5. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan

dan kuatir terhadap bayinya.

6. Tidak percaya diri karena adanya perubahan bentuk tubuh pasca melahirkan.

7. Sulit beristirahat dengan tenang bisa juga tidur lebih lama Merawat bayi

memerlukan perhatian ekstra. Dibutuhkan tenaga dan pikiran yang tidak

sedikit yang dapat membuat ibu sangat letih. Peningkatan berat badan yang

disertai dengan makan berlebihan.


8. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan Merawat bayi

memerlukan perhatian ekstra. Dibutuhkan tenaga dan pikiran yang tidak

sedikit yang dapat membuat ibu sangat letih. Peningkatan berat badan yang

disertai dengan makan berlebihan

9. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya.

Yusari dan Risneni (2016) menjelaskan beberapa gejala Baby Blues

Syndrome yaitu sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahagia, tidak

sabar, penakut, tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit kepala sering berganti

mood, merasa terlalu sensitive dan cemas berlebihan, tidak bergairah, tidak

percaya diri, tidak mau berkonsentrasi dan sangat sulit membuat keputusan,

merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja dilahirkan,

dan merasa tidak menyayangi bayinya, insomnia yang berlebihan.

Semua gejala tersebut akan hilang dalam jangka waktu beberapa jam atau

hari. Namun jika masih berlangsung untuk beberapa minggu dan bahkan bulan

maka hal tersebut dapat dikatakan ibu mengalami depresi post partum. Selain itu

Ari Sulistyawati (2009:91) juga memaparkan Baby Blues Syndrome memiliki

gejala meliputi menangis, merasa letih karena melahirkan, gelisah, perubahan

alam perasaan, menarik diri, serta reaksi negatif terhadap bayi dan keluarga.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa

Baby Blues Syndrome adalah periode penyesuaian bagi ibu dalam dua minggu

pertama setelah melahirkan dengan menunjukkan beberapa bentuk perilaku antara

lain kelelahan, merasa bersalah, mudah tersinggung, merasa sedih, menangis

tanpa sebab, sulit berkonsentrasi, khawatir berlebihan, hingga merasa ketakutan.

Meskipun bisa hilang dengan sendirinya, ibu dengan Baby Blues Syndrome dapat

memberikan dampak negatif pada anak jika tidak segera ditangani


c. Faktor Penyebab Baby Blues Syndrome

Kemampuan seseorang untuk melewati masa kehamilan dan keberanian

seseorang untuk melewati proses melahirkan akan berbeda satu sama lain.

Pengalaman melahirkan sebelumnya juga memungkinkan seseorang untuk lebih

berani atau bahkan akan membuat seseorang akan merasa khawatir bila seseorang

tersebut memiliki pengalaman yang buruk dalam pengalamanya di masa lalu.

Banyak dikalangan kita atau pun dunia kesehatan menilai jika hormon

yang menyebabkan ibu mengalami Baby Blues Syndrome. Pada saat kehamilan

berlangsung maka ibu hamil akan banyak mengalami perubahan besar baik fisik

maupun non fisik termasuk di dalamnya perubahan hormon. Begitu juga pasca

melahirkan, perubahan tubuh dan hormon kembali terjadi lagi. Penurunan secara

drastis kadar hormon estrogen dan progesteron serta hormon lainnya yang di

produksi oleh kelenjar tiroid juga akan menyebabkan ibu sering mengalami rasa

lelah, depresi dan penurunan mood.

Banyak orang yang menganggap depresi adalah sesuatu yang sepele dan

bisa hilang dengan sendirinya, padahal pada dasarnya depresi merupakan bentuk

suatu penyakit yang lebih dari sekadar perubahan emosi sementara. Depresi

bukanlah kondisi yang bisa diubah dengan cepat atau secara langsung. Depresi

adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi

seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka

hal itu disebut sebagai suatu Gangguan Depresi Mayor. Beberapa gejala

Gangguan Depresi mayor adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan

setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas,
dan gangguan pola tidur. Depresi juga merupakan salah satu penyebab utama

kejadian bunuh diri.

Hamizann (2015) menyatakan Baby Blues Syndrome ini dapat dialami oleh

Ibu yang melahirkan baik secara normal maupun secara caesar. Hanya saja Ibu

dengan operasi caesar peluangnya lebih besar untuk terkena Baby Blues

Syndrome. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi pemulihan pasca partus cesar

yang lebih lama sehingga menimbulkan Ibu merasa tidak berdaya untuk langsung

merawat bayi yang baru dilahirkannya.

Hasil penelitian yang di lakukan oleh Lisna (2016) menyatakan

berdasarkan persalinan mayoritas responden hampir setengahnya persalinan

secara caesar yaitu 11 responden atau 27,5% mengalami Baby Blues Syndrome.

Selain faktor ibu, faktor bayi juga dapat memberikan andil dalam sindrom

ini. Mengurus bayi yang baru lahir (newborn) merupakan sebuah tantangan yang

berat. Waktu bayi baru lahir, perasaan yang ada adalah senang dan bahagia tak

terkira. Namun ekstra sabar. Kadang ibu membayangkan bayi barunya akan tidur

sepanjang malam, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Bayi sering terbangun di

tengah malam dan menangis karena lapar, haus, atau BAB/BAK. Tentu saja hal

ini akan menjadi tugas berat bagi ibbu untuk menenangkan bayinya di tengah

malam. Bagi sebagian bayi, ada yang terbangun tidak hanya semalam atau dua

malam saja, bahkan sampai dua atau tiga pekan ke depan masih juga demikian.

Butuh kesabaran agar bisa menidurkanya kembali. Hal ini tentu saja kurang baik

bagi ibu dan bayinya.

Baby blues dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun

faktor eksternal. Faktor internal dapat disebabkan antara lain faktor fluktuasi

hormonal. Parry mengatakan bahwa :


1. Hormon esterogen, meningkat selama kehamilan, dan menurun saat

melahirkan, menyebabkan depresi.

2. Hormon endorfrin yaitu hormon yang dapat memicu perasaan senang dan

Bahagia pada saat melahirkan menurun, berkontribusi terhadap kejadian

depresi.

3. Hormon tiroid, mengalami ketidakstabilan setelah melahirkan membuat ibu

kurang bergairah. Faktor internal lainnya yaitupenyakit yang menyertai ibu

selama hamil dan melahirkan.

Faktor eksternal yakni praktik budaya yang membatasi aktifitas ibu serta

kurangnya dukungan yang di peroleh ibu selama hamil, melahirkan dan post

partum. Ketidaknyamanan fisik yang dialami wanita seperti payudara bengkak

dan nyeri jahitan, rasa mulas, ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan

fisik emosional yang kompleks, faktor umum dan paritas, pengalaman dalam

proses persalinan dan kehamilan menimbulkan gangguan pada emosional.

Menurut Atus (2008), Munculnya Baby Blues Syndrome dipengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain:

1. Dukungan sosial

Perhatian dari lingkungan terdekat seperti suami dan keluarga dapat

berpengaruh. Dukungan berupa perhatian, komunikasi dan hubungan

emosional yang hangat sangat penting. Dengan adanya dukungan keluarga

maka sang ibu pun akan lebih memiliki rasa sayang terhadap anaknya. Karena

kasih sayang ibu terhadap anak akan berpengaruh terhadap perkembangan

anak ke depan terutama perkembangan sosial anak. Kemampuan berperilaku

sosial juga perlu dimiliki setiap individu sejak masa usia dininya, karena dapat

di jadikan pondasi bagi perkembangan kemampuan anak dalam berinteraksi


dengan lingkungan secara lebih luas (Mutmainah, 2012). Selain itu dorongan

moral dari teman-teman yang sudah pernah bersalin juga dapat membantu.

Dalam asuhan pasca persaliinan dukungan keluarga sangat diperlukan.

Keputusan dari suami dan arahan orangtua juga sangat berpengaruh dan

menjadi pedoman penting bagi sang ibu dalam praktik asuhan bayinya sehari-

hari ( Lisna, 2015). Hasil dari penelitian Lisna (2015) didapatkan hasil

berdasarkan dukungan sosial mayoritas responden hamper setengahnya yang

mendapatkan dukungan sosial yaitu 14 responden atau 35,0% mengalami

Baby Blues Syndrome ringan.

2. Keadaan dan kualitas bayi

Kondisi bayi dapat menyebabkan munculnya Baby Blues Syndrome

misalnya jenis kelamin bayi yang tidak sesuai harapan, bayi dengan cacat

bawaan ataupun kesehatan bayi yang kurang baik.

3. Komplikasi kelahiran

Proses persalinan juga dapat mempengaruhi munculnya Baby Blues

Syndrome misalnya proses persalinan yang sulit, pendarahan, pecah ketuban

dan bayi dengan posisi tidak normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim,

dkk (2012) dalam Lisna, dkk (2005) menyampaikan sebagian besar Baby

Blues Syndrome terdapat pada jenis persalinan sesar yaitu sebanyak 14

responden (46,7%), sedangkan pada persalinan normal hannya satu

responden(2,2%).

4. Persiapan untuk persalinan dan menjadi ibu

Kehamilan yang tidak diharapkan seperti hamil di luar nikah,

kehamilan akibat perkosaan, kehamilan yang tidak terencana sehingga wanita

tersebut belum siap untuk menjadi ibu. Paritas juga mempengaruhi terjadinya
Baby Blues Syndrome, dikarenakan pada ibu yang baru pertama kali

melahirkan akan meningkatkan stressor lebih tinggi dibandingkan yang sudah

melahirkan lebih dari satu kali. Lisna, dkk (2005) melakukan penelitianyang

menjelaskan jika Baby Blues Syndrome terjadi pada Ibu yang sudah memiliki

riwayat melahrikan sebelumnya yaitu dengan presentasi 25%. Hasill yang

berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh Irawati (2014) dalam

Lisna, dkk (2005) yang menjelaskan jika Baby Blues Syndrome terjadi pada

Ibu yang baru pertama kali melahirkan dengan angka 36,6%. Hasil penelitian

lain yang dilakukan oleh Lina (20) juga menyatakan 34 responden yang

mengalami Baby Blues Syndrome sebanyak 20 responden atau 58,8% tidak

menginginkan atau tidak merencanakan kehamilanya.

5. Faktor psikososial

Faktor psikososial seperti umur, latar belakang sosial, ekonomi, tingkat

pendidikan dan respon ketahanan terhadap stresor juga dapat mempengaruhi

Baby Blues Syndrome. Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan

merupakan gangguan spesifik yang dibedakan dari gangguan depresi klasik.

Beliau menyebutkan dengan depresi yang lebih merupakan respons terhadap

stres non spesifik dibandingkan dengan perubahan yang bersifat biologik yaitu

perubahan hormonal yang menyertai kelahiran anak (Sari, 2009).

Menurut Alwi (2005) dalam Lisna (2015) Pengetahuan berhubungan

dengan dimana secara umum seorang yang bekerja maka pengetahuan akan

tinggi karena banyak mendapatkan informasi penting yang dapat menunjang

pengetahuanya.

Faktor psikososial seperti umur, latar belakang sosial, ekonomi, tingkat

pendidikan dan respon ketahanan terhadap stresor juga dapat mempengaruhi


Baby Blues Syndrome. Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan

merupakan gangguan spesifik yang dibedakan dari gangguan depresi klasik.

Beliau menyebutkan dengan depresi yang lebih merupakan respons terhadap

stres non spesifik dibandingkan dengan perubahan yang bersifat biologik yaitu

perubahan hormonal yang menyertai kelahiran anak (Sari, 2009).

6. Pendidikan

Pendidikan juga sangat mempengaruhi terjadinya Baby Blues

Syndrome, karena semakin tinggi tingkat pendidikan nya resiko untuk terkena

Baby Blue Syndrome semakin rendah. Dikarenakan pola pikir, pembawaan

diri dan cara menyikapi sebuah masalah lebih baik dibandingkan yang

berpendidikan lebih rendah. Selain tingkat pendidikan pada ibu hamil,

pendidikan kesehatan juga sangat dibutuhkan untuk menunjang penurunan

resiko terjadinya Baby Blues Syndrome.

7. Riwayat depresi

Riwayat depresi atau problem emosional lain sebelum persalinan

dengan riwayat problem emosional menjadi faktor yang sangat rentan untuk

mengalami Baby Blues Syndrome.

8. Hormonal

Perubahan kadar hormon progresteron yang menurun disertai

peningkatan hormon estrogen, prolaktin dan kortisol yang drastis dapat

mempengaruhi kondisi psikologis ibu.

9. Budaya

Pengaruh budaya sangat kuat menentukan muncul atau tidaknya Baby

Blues Syndrome. Di Eropa kecenderungan Baby Blues Syndrome lebih tinggi


bila dibandingkan di Asia, karena budaya timur yang lebih dapat menerima

atau berkompromi dengan situasi yang sulit daripada budaya barat.

Dalam kajian lain menurut Surinah (2008:103), Penyebab munculnya

Baby Blues Syndrome antara lain:

1. Perubahan hormon

Usai bersalin, kadar hormon kortisol (hormon pemicu stres) pada

tubuh ibu naik hingga mendekati kadar orang yang sedang mengalami

depresi. Di saat yang sama hormon laktogen dan prolaktin yang memicu

produksi ASI sedang meningkat. Pada saat yang sama kadar progesteron

sangat rendah. Pertemuan kedua hormon ini akan menimbulkan keletihan

fisik pada ibu dan memicu depresi.

2. Stress (psikologis)

Berkurangnya perhatian keluarga, terutama suami karena semua

perhatian tertuju pada anak yang baru lahir. Setelah persalinan si ibu yang

merasa lelah dan sakit pascapersalinan membuat ibu membutuhkan

perhatian. Kecewa terhadap penampilan fisik si kecil karena tidak sesuai

dengan yang diinginkan juga bisa memicu Baby Blues Syndrome.

3. ASI tidak keluar

Setiap ibu pasti mengingikan segala sesuatu yang terbaik

untukbayinya. Begitu juga kebutuhan gizi bagi anak. Segala kebutuhan

giza bayi sudah sangat cukup apabila seorang ibu bisa memenuhi

kebutuhan ASI bayinya. Namun sebagian ibu hanya mampu memproduksi

ASI dlam jumlah yang sedikit. Keadaan ini yang sering membuat seorang
ibu mengalami rasa kecewa dan kemudian bisa memicu Baby Blues

Syndrome pasca melahirkan.

4. Kelelahan Fisik

Kelelahan pasca melahirkan, dan sakitnya akibat operasi. Keluhan

fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti

popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang di malam buta

sangatlah menguras tenaga. Dan jika tidak ada bantuan dari suami atau

anggota keluarga yang lain.

5. Problem dengan orangtua dan mertua

Support dari keluarga sangat penting terutama dari suami dan

orangtua guna menghindarkan ibu terkena Baby Blue Syndrome. Berkeluh

kesah pada suami, berbagi tugas dan tanggung jawablah dengan suami

akan meringankan beban ibu pasca melahirkan.

6. Sosial

Sang ibu merasa sulit menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai

ibu. Gaya hidupnya juga akan berubah dratis. Si ibu akan merasa dijauhi

oleh lingkungan dan merasa akan terasa terikat terus pada si kecil.

7. Takut kehilangan bayi

Produksi hormon yang tidak stabil membuat ibu menjadi tidak

dapat mengatur emosinya. Sama hal nya dengan persasaan sedih atau takut

kehilangan anaknya yang berlebih karena rasa sayang dimiliki sang ibu

terhadap bayinya.

8. Sendirian mengurus bayi, tidak ada yang membantu


Kelelahan dalam mengurus bayi tanpa adanya banntuan dari

oranglain seperti suami dan keluarga akan memicu munculnya Baby Blues

Syndrome, karena disaat kelelahan muncul sang ibuakan merasa bahwa

usai kelahiran bayinya kegiatan sang ibu berubah menjadi lebih

melelahkan dan hal tersebut bisa memicu kebencian dari ibu terhadap bayi.

Padahal hal tersebut tidak akan muncul jika bantuan dari oranglain yang

dapat meringankan sang ibu pasca melahirkan.

9. Bayi sakit

Kesehatan bayi pasca melahirkan yang kurang akan menjadikan

sang ibu lebih khawatir tentang bayinya atau bahkan akan membawa ibu

menjadi semakin merasa anaknya sebagai beban dalam hidupnya.

10. Rasa bosan si Ibu

Berbagai perasaan yang di rasakan oleh sang ibu pasca melahirkan

membuat ibu merasa bosan dengan hal yang bersangkutan dengan bayi.

Begitu juga kegiatan ibu dalam mengurus sang bayi dalam keseharianya

bisa jadi menjadikan ibu merasa bosan dan mengarah ke Baby Blues

Syndrome.

Di sisi lain Ummu Syfa Jauza (2009: 96) mengungkapkan beberapa

faktor terjadinya Baby Blues Syndrome:

1. Kelelahan pasca melahirkan

Pada hari-hari pertama setalah melahirkan, kondisi ibu masih

sangat capek akibat proses persalinan yang sangat mengursa tenaga.

Kondisi ini ditambah dengan kewajiban mengurus si kecil yang tak kalah

melelahkan. Belum lagi jika ibu dihadaokan pada kondisi bayi yang tidak

bias diajak kompromi, seperti bangun di tengah malam, hal ini akan
menambah perasaan lelah bagi si ibu, karena otomatis mengurangi waktu

istirahat.

2. Kesulitan Menyusui

Kondisi lain yang memicu sindrom ini biasanya adalah kesulitan

menyusui. Hal ini bisa terjadi karena mungkin si ibu belum terbiasa, belum

berpengalaman (karena bayi pertama), atau faktor payudara si ibu (kadang

ibu tidak dapat menyusui bayi karena putting payudara terbalik atau tidak

menonjol keluar). Ini akan mengakibatkan frustasi yang berdampak pada

kesediha ibu. Untuk kasus ini, diperlukan terapi khusus ketika masih

hamil, sehingga pada saatnya bayi lahir, payudara relah siap untuk

menyusui bayi. Jika masalah ada pada ASI yang belum keluar, maka ini

bisa dirangsang untuk terus menyusui banyinya (meski belum keluar),

karena semakin sering ibu menyusui, produksi ASI akan semakin

bertambah.

3. Trauma melahirkan dan depresi saat mengandung

Ibu yang mengalami kesulitan saat persalinan (terjadi pendarahan

hebat atau melalui operasi Caesar) akan berpeluang besar menderita

sindrom ini. Ibu yang pernah mengalami depresi berat saat mengandung

juga rentan mengalami sindrom ini. Tekanan atau depredi ini misalnya

perasaan sedih yang sangat karena kehilangan orangtua atau sanak

saudara.

4. Canggung mengurus bayi

Ibu baru mungkin akn merasa canggung menghadapi bayi barunya.

Bahkan tak jarang sampai takut menyentuh karena melihat bayinya sangan

mungil dan tampak rapuh. Hal ini membuat si ibu merasa takut bila
banyinya akan menangis atau terluka karena pegangan iu yang terlalu

kasar, misalnya Si ibu menjadi takut untuk menyentuh bayinya sendiri,

padahal dalam hati ingin sekali untuk melakukannya. Tentu saja kondisi

ini memicu kesedihan si ibu.

5. Pengaruh Hormon

Selain faktor-faktor kejiwaan, pengaruh hormonal memegang

peranan penting dalam kestabilan emosi ibu. Selama hamil, hormone

(esterogen dan progresteron) akan mengalami penigkatan. Hormonhormon

ini akan menurun tajam dalam tempo 72 jam setelah melahirkan.

Perubahan hormon akan diikuti perubahan emosi ibu.

d. Dampak Baby Blues Syndrome

Sekilas Baby Blues Syndrome memang tidak berbahaya, tapi kondisi ini

efeknya sangat nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang

mengalami Baby Blues Syndrome tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi

secara otomatis ia juga tidak bisa memberikan kebutuhan yang seharusnya

diterima anaknya, baik itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk

tubuhnya. Kebersihan dan perkembangan terganggu, ibu tidak bersemangat

menyusui bayinya sehingga pertumbuhan dan perkembangan bayinya tidak seperti

bayi-bayi yang ibunya sehat. Baby Blues Syndrome diestimasikan menimpa 50

persen wanita dan dapat menimpa wanita yang belum siap menjadi ibu. Meskipun

Baby Blues Syndrome hanya bersifat sementara, yakni selama dua minggu

pertama setelah melahirkan dikhawatirkan juga Baby Blues Syndrome dapat

berkembang menjadi Post Partum Depression (PPD) atau depresi paska

melahirkan dengan gejala yang lebih berat, yaitu adanya penolakan ibu terhadap
kenyataan seperti merindukan masa lajang yang tidak memerdulikan si kecil,

hingga membayangkan ingin menyakiti si kecil sampai berniat untuk bunuh diri.

Pengaruh negatif yang akan timbul pada bayi, ibu dan anak menurut

(Depkes RI, 2001) antara lain :

1. Pengaruh Baby Blues Syndrome pada Ibu

a. Mengalami gangguan aktivitas sehari-hari

b. Mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain (keluarga

atau teman)

c. Resiko menggunakan zat berbahaya seperti rokok, alkohol, narkotika.

d. Gangguan psikotik yang lebih berat

e. Kemungkinan melakukan suicide/ infanticide

2. Pengaruh Baby Blues Syndrome pada bayi

a. Bayi sering menangis dalam jangka waktu lama

b. Mengalami masalah tidur

c. Kemungkinan mengalami suicide

e. Penatalaksanaan Baby Blues Syndrome

Tenaga kesehatan di sini bisa dokter, bidan, atau perawat yang sedang

memberikan pelayanan kepada ibu yang habis melahirkan, baik di rumah sakit, di

klinik, di puskesmas, ataupun di tempat praktek bidan swasta, hendaklah

memberikan istirahat dan ketenangan yang banyak kepada ibu setelah melahirkan.

Ini merupakan hal yang sangat penting bagi ibu-ibu yang baru selesai menjalani

persalinan. Sebagai tenaga kesehatan, bidan khususnya, berilah ibu-ibu yang

selesai bersalin itu waktu dan kesempatan untuk istirahat dalam keadaan tenang
yang banyak, batasi dan atur jumlah tamu dan jam tamu berkunjung, dan jangan

biarkan tamu berkunjung terlalu lama.

Jika ditemui ibu-ibu menderita Baby Blues setelah melahirkan, di mana dia

merasa sangat sedih dan menangis, maka sebagai tenaga kesehatan, para bidan

khususnya, sebaiknya kita merawat ibu ini dalam ruangan yang terpisah, atau

ruangan khusus, dan selanjutnya membiarkan saja ibu ini menangis dalam

ketenangan, tetapi tetap diawasi. Biarkan saja ibu ini menangis dan meluapkan

semua emosinya sampai reda, tidak perlu disuruh berhenti nangisnya. Kita baru

bisa memberikan bantuan setelah dia tidak menangis, dan tidak emosi lagi. Pada

saat ini, baru ibu tersebut bisa mendengarkan apa yang kita bicarakan. Jika ibu

sudah tenang baru kita bisa menanyakan apa yang membuat dia begitu sedih. Di

sini sangat dibutuhkan konseling, agar ibu ini terbebas dari masalah yang

dirasakannya. Ibu-ibu yang sedang mengalami Baby Blues sangat memerlukan

ketenangan dan istirahat yang banyak agar Baby Blues nya cepat hilang.

Hal penting lain yang harus diketahui tenaga kesehatan, khususnya para

bidan adalah : banyak di antara ibu-ibu yang habis melahirkan ini over-sensitiv,

terhadap kata-kata atau perkataan penolong atau bidan. Oleh sebab itu para bidan

dan petugas kesehatan lainnya, berikanlah pelayanan yang baik, ramah, cepat,

menyenangkan ibu, serta lihatkanlah perilaku yang baik dan rasa empati yang

tinggi terhadap ibu-ibu yang habis bersalin ini. Jangan sekali-kali berkata-kata

kasar, menyakitkan, judes, tidak sopan, menyindir, memaksakan, memerintah

dengan kasar, dan lain-lain.

2. TINJAUAN UMUM TENTANG ASI EKSKLUSIF

a. Definisi
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa tambahan cairan seperti susu

formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti

pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim (Roesli, 2009). ASI

Eksklusif (menurut WHO) adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 6

bulan tanpa tambahan cairan ataupun makanan lain. ASI dapat diberikan sampai

bayi berusia 2 tahun (Kristiyansari, 2009). ASI Eksklusif adalah pemberian hanya

ASI saja tanpa makanan dan minuman lain. ASI Eksklusif dianjurkan sampai 6

bulan pertama kehidupan (Depkes RI, 2005). ASI adalah cairan putih yang

dihasilkan oleh kelenjar payudara Ibu melalui proses menyusui (Khasanah, 2011).

ASI merupakan makanan yang disiapkan untuk bayi mulai masa kehamilan

payudara sudah mengalami perubahan untuk memproduksi ASI. Makanan-

makanan yang diramu menggunakan teknologi modern tidak bisa menandingi

keunggulan ASI karena ASI mempunyai nilai gizi yang tinggi dibandingkan

dengan makanan buatan manusia ataupun susu yang berasal dari hewan sapi,

kerbau atau kambing.

Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan yang diciptakan khusus yang keluar

langsung dari payudara seorang ibu untuk bayi. ASI merupakan makanan bayi

yang paling sempurna, praktis, murah dan bersih karena langsung diminum dari

payudara ibu. ASI mengandung semua zat gizi dan cairan yang dibutuhkan bayi

untuk memenuhi kebutuhan gizi di 6 bulan pertamanya. Jenis ASI terbagi menjadi

3 yaitu kolostrum, ASI masa peralihan dan ASI mature. Kolostrum adalah susu

yang keluar pertama, kental, berwarna kuning dengan mengandung protein tinggi

dan sedikit lemak (Walyani, 2015).

World Health Organization (WHO) dan United Nations International

Children’s (UNICEF) dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding
mengatur pola pemberian makan terbaik pada bayi dari lahir sampai usia dua

tahun untuk meningkatkan kualitas kesehatan pada bayi dan anak dengan cara

memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayi segera dalam waktu satu jam setelah

bayi lahir, memberikan ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir

sampai bayi berusia 6 (enam) bulan, memberikan makanan pendamping air susu

ibu (MPASI) sejak bayi berusia 6 (enam) bulan sampai 24 bulan serta meneruskan

pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih.

b. Komposisi ASI

Menurut Suradi (2004) kandungan ASI terdiri dari :

1) Lemak

Sumber kalori utama dalam ASI adalah lemak. Sekitar 50% kalori ASI

berasal dari lemak. Kadar lemak dalam ASI antara 3,5-4,5%. Walaupun kadar

lemak dalam ASI tinggi, tetapi mudah diserap oleh bayi karena trigliserida

dalam ASI lebih dulu dipecah menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim

lipase yang terdapat dalam ASI. Kadar kolestrol ASI lebih tinggi dari pada

susu sapi, sehingga bayi mendapat 6 ASI seharusnya mempunyai kadar

kolestrol darah lebih tinggi. Disamping kolestrol, ASI mengandung asam

lemak essensial yaitu asam linoleat (Omega 6) dan asam linolenat (Omega 3).

Kedua asam lemak tersebut adalah pembentuk asam lemak tidak jenuh rantai

panjang disebut docosahexaenoic acid (DHA) berasal dari Omega 3 dan

arachidonic acid (AA) berasal dari Omega 6 yang berfungsi sangat penting

untuk pertumbuhan otak anak. Kadar lemak ASI matur dapat berbeda menurut

lama menyusui. Pada permulaan menyusu (5 menit pertama) disebut foremilk

kadar lemak ASI rendah (1-2 g/dl) dan lebih tinggi dapat hindmilk (ASI yang
dihasilkan pada akhir menyusu setelah 15-20 menit). Kadar lemak hindmilk

bisa mencapai 3 kali dibandingkan dengan foremilk.

2) Karbohidrat

Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa, yang kadarnya paling

tinggi dibanding susu mamalia lain (7gr%). Laktosa mudah diurai menjadi

glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase yang sudah ada dalam

mukosa saluran pencernaan sejak lahir. Laktosa mempunyai manfaat lain yaitu

mempertinggi absorbsi kalsium dan merangsang pertumbuhan Lactobasillus

bifidus.

3) Protein

Protein dalam susu adalah kasein dan whey. Kadar protein ASI sebesar

0.9%, 60% diantaranya adalah whey, yang lebih mudah dicerna dibanding

kasein. Dalam ASI terdapat dua macam asam amino yang tidak terdapat dalam

susu sapi yaitu sistin dan taurin. Sistin diperlukan untuk pertumbuhan somatic,

sedangkan taurin untuk pertumbuhan otak. Selain dari ASI, sebenarnya sistin

dan taurin dapat diperoleh dari penguraian tirosin, tetapi pada bayi baru lahir

enzim pengurai tirosin ini belum ada.

4) Vitamin

ASI cukup mengandung vitamin yang diperlukan bayi. Vitamin K

yang berfungsi sebagai katalisator pada proses pembekuan darah 7 terdapat

dalam ASI dengan jumlah yang cukup dan mudah dicerna. Dalam ASI juga

banyak vitamin E, terutama di kolostrum. Dalam ASI juga terdapat vitamin D,

tetapi bayi prematur atau yang kurang mendapat sinar matahari dianjurkan

pemberian suplementasi vitamin D.

5) Zat besi
Bayi aterm normal biasanya lahir dengan hemoglobin tinggi (16- 22

gr/dl), yang berukuran cepat setelah lahir. Zat besi yang diperoleh dari

pemecahan hemoglobin digunakan kembali. Bayi tersebut juga memiliki

persediaan zat besi dalam jumlah banyak cukup untuk setidaknya 4-6 bulan.

meskipun jumlah zat besi yang terkandung dalam ASI lebih sedikit dari yang

terkandung dalam susu formula, bioavailabilitas zat besi dalam ASI jauh lebih

tinggi. 70% zat besi dalam ASI dapat diserap, sedangkan hanya 10% jumlah

zat besi dapat diserap dalam susu formula. Perbedaan ini disebabkan

rangkaian interaksi kompleks yang terjadi di usus. Bayi yang diberikan susu

sapi segar atau susu formula dapat mengalami anemia karena perdarahan kecil

di usus.

6) Seng

Defisiensi mineral kelumit ini dapat menyebabkan kegagalan

bertumbuh dan lesi kulit tipikal. Meskipun seng lebih banyak terdapat pada

susu formula dibanding ASI, bioavalabilirasnya lebih besar pada ASI. Bayi

yang diberi ASI mampu mempertahankan kadar seng dalam plasma tetap

tinggi dibanding bayi yang diberi susu formula, bahkan meskipun konsentrasi

seng yang terdapat di dalamnya tiga kali lebih banyak daripada ASI.

7) Kalsium

Kalsium lebih efisien diserap dari ASI dibanding susu pengganti ASI

karena perbandingan kalsium fosfor ASI lebih tinggi. Susu formula bayi yang

berasal dari susu sapi tidak terelakkan memiliki 8 kandungan fosfor lebih tingi

dari pada ASI dan dilaporkan meningkatkan resiko tetanus pada neonatus.

8) Mineral
ASI memiliki kadar kalsium, fosfor, natrium, dan kalium yang lebih

rendah daripada susu formula. Tembaga, kobalt, dan selenium terdapat dalam

kadar yang lebih tinggi. Semakin tinggi bioavailabilitas mineral dan unsur

kelumit ini, dipastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi dan pada saat yang

bersamaan, juga menimbulkan beban penyerapan yang lebih rendah pada

ginjal neonatus dari pada susu pengganti ASI (Prasetyo, 2009).

c. Manfaat ASI bagi ibu dan bayi

1. Bagi Bayi

a) Mengandung komposisi yang tepat

ASI Berbagai bahan makanan yang baik untuk bayi yaitu terdiri

dari proporsi yang seimbang dan cukup kuantitas semua zat gizi yang

diperlukan untuk kehidupan 6 bulan pertama (Kristiyansari, 2009).

b) ASI meningkatkan kecerdasan bagi bayi

Lemak pada ASI adalah lemak tak jenuh yang mengandung omega

3 untuk pematangan sel-sel otak sehingga jaringan otak bayi yang

mendapat ASI Eksklusif akan tumbuh optimal dan terbebas dari

rangsangan kejang hingga sel-sel saraf otak (Kristiyansari, 2009).

c) Mengandung zat protektif

Bayi yang mendapat ASI lebih jarang menderita penyakit karena

adanya zat protektif dalam ASI (Sunardi, 2008).

d) Lactobasillus bifidus
Laktobasillus bifidus berfungsi mengubah laktosa menjadi asam

laktat dan asam asetat. Kedua asam ini menjadikan saluran pencernaan

bersifat asam sehingga menghambat pertumbuhan Lactobasillus bifidus.

Susu sapi tidak mengandung faktor ini (Sunardi, 2008).

e) Lactoferin

Lactoferin adalah protein yang berikatan dengan besi. Dengan

mengikat zat besi, maka Lactoferin bermanfaat menghambat pertumbuhan

kuman tertentu, yaitu staphylococus, E.coli, dan Entamoeba hystolytica

yang juga memerlukan zat besi untuk pertumbuhannya bakteri tersebut,

lactoferin dapat pula menghambat pertumbuhan jamur Candida (Suradi,

2004).

f) Lizozim

Lizozim adalah enzim yang dapat memecah dinding bakteri

(bakterisidal) dan anti inflamasi, bekerja bersama peroksida dan askorbat

untuk menyerang bakteri E.coli dan sebagian keluarga salmonella.

Keaktifan lizozim ASI beberapa kali lebih tinggi dibanding susu sapi.

Keunikan lizozim lainnya adalah bila faktor protektif lainnya adalah sesuai

tahap lanjut ASI, maka lizozim justru meningkat pada 6 bulan pertama

setelah kelahiran. Hal ini merupakan keuntungan karena setelah 6 bulan

bayi mulai mendapatkan makanan padat dan lizozim merupkan faktor

protektif terhadap kemungkinan serangan bakteri patogen dan penyakit

diare pada periode ini (Suradi, 2004).

g) Komponen C3 dan C4
Kedua komponen ini, walaupun kadar dalam ASI rendah,

mempunyai daya opsonik, anafilatik dan kemotaktik yang bekerja bila

diaktifkan oleh IgA dan IgE yang juga terdapat dalam ASI (Suradi, 2004).

h) Faktor antistreptococus

Dalam ASI terdapat faktor antistreptococus yang melindungi bayi

terhadap infeksi kuman streptococus (Suradi, 2004).

i) Antibodi

Secara elektroforetik, kromatografik dan radio immunoassay

terbukti bahwa ASI terutama kolostrum mengandung imunoglobin yaitu

IgA sekretorik (SigA), IgE, IgM, dan IgG. Dari semua imunoglobulin

tersebut yang terbanyak adalah SigA. Antibodi dalam ASI dapat bertahan

dalam saluran pencernaan bayi karena tahan terhadap asam dan enzim

proteolitik saluran pencernaan dan membuat lapisan pada mukosanya

sehingga mencegah bakteri patogen dan enterovirus masuk kedalam

mukosa usus. Dalam tinja bayi yang mendapat ASI terdapat bakteri E.coli

dalam konsentrasi yang tinggi sehingga jumlah bakteri E.coli dalam tinja

bayi tersebut juga rendah. Di dalam ASI selain antibodi terdapat E.coli

juga pernah dibuktikan adanya antibodi terhadap Salmonella typhi,

Shigella, dan antibodi terhadap virus seperti rotavirus, polio dan campak.

Antibodi terdapat rotavirus tinggi dalam kolostrum yang kemudian turun

pada minggu pertama dan bertahan sampai umur 2 tahun. Dalam ASI juga

didapatkan antigen terhadap Helicobacter jejuni penyabab diare. Kadarnya

dalam kolostum tinggi dan menurun pada usia 1 bulan dan kemudian

menetap selama menyusui (Sunardi, 2008).

j) Imunitas seluler
ASI yang mengandung sel-sel. Sebagian besar (90%) sel tersebut

berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis

mikroorganisme, membentuk C3 dan C4, lizozim dan lactoferin. Sisanya

(10%) terdiri dari limfosit B dan T. Angka leukosit pada kolostrum kira-

kira 5000/ml setara dengan angka leukosit darah tepi tetapi komposisinya

berbeda dengan darah tepi, karena hampir semuanya berupa

polimorfonuklear dan mononuklear. Dengan meningkatnya volume ASI

angka leukosit menurun menjadi 2000/ml. Walaupun demikian kapasitas

anti bakterinya sama sepanjang stadium laktasi. Konsentrasi faktor- faktor

anti infeksi tinggi dalam kolostrum. Kadar SisA, lactoferin, lizozim dan sel

seperti makrofag, neutrofil dan limfosit lebih tinggi pada ASI prematur

dibanding ASI matur. Perbedaan status gizi pada ibu tidak mempengaruhi

konsentrasi faktor anti infeksi dalam ASI (Suradi, 2004).

k) Tidak menimbulkan alergi

Pada bayi baru lahir sistem IgE belum sempurna. Pemberian susu

formula akan merangsang aktivitas sistem ini dan dapat menimbulkan

alergi. ASI tidak menimbulkan efek ini. Pemberian protein asing yang

ditunda sampai umur 6 bulan akan mengurangi kemungkinan alergi

(Suradi, 2004).

l) Mempunyai efek psikologis yang menguntungkan

Waktu menyusui kulit bayi akan menempel pada kulit ibu. Kontak

kulit yang dini ini akan sangat besar pengaruhnya pada perkembangan bayi

kelak. Walaupun seorang ibu dapat memberikan kasih sayang yang besar

dengan memberikan susu formula tetapi menyusui sendiri akan

memberikan efek psikologis yang besar. Dengan foto infra merah,


payudara ibu menyusui lebih hangat dibanding payudara ibu yang tidak

menyusui (Kristiyansari, 2009). Interaksi yang timbul waktu menyusui

antara ibu dan bayi akan menimbulkan rasa aman bagi bayi. Perasaan

aman ini penting untuk menimbulkan dasar kepercayaan pada bayi (basic

sense of trust) yaitu dengan mulai dapat mempercayai orang lain (ibu)

maka akan timbul rasa percaya pada diri sendiri (Suradi, 2004).

m) Mengurangi kejadian karies dentis dan maloklusi

Insiden karies dentis pada bayi yang mendapatkan susu formula

jauh lebih tinggi dibanding yang mendapat ASI karena kebiasaan

menyusui dengan botol dan dot terutama pada waktu akan tidur

menyebabkan gigi lebih lama kontak dengan sisa susu formula dan

menyebabkan asam yang terbentuk akan merusak gigi. Kecuali itu ada

anggapan bahwa kadar selenium yang tinggi dalam ASI akan mencegah

karies dentis. Telah dibuktikan bahwa salah satu penyebab maloklusi

rahang adalah lidah yang mendorong ke depan akibat menyusu dengan

botol dan dot (Sunardi, 2008).

n) Menyebabkan pertumbuhan yang baik

Bayi yang mendapatkan ASI mempunyai kenaikan berat badan

yang baik setelah lahir, pertumbuhan setelah periode perinatal baik dan

mengurangi kemungkinan obesitas. Ibu-ibu yang diberi penyuluhan

tentang ASI dan laktasi, turunnya berat badan bayi (pada minggu pertama

kelahiran) tidak sebanyak ibu-ibu yang tidak diberi penyuluhan. Alasannya

ialah bahwa kelompok ibu-ibu tersebut segera memberikan ASInya setelah

melahirkan. Frekuensi menyusui yang sering (tidak dibatasi) juga


dibuktikan bermanfaat karena volume ASI yang dihasilkan lebih banyak

sehingga penurunan berat badan bayi hanya sedikit (Suradi, 2004).

2. Bagi Ibu

a) Aspek kesehatan ibu

Isapan bayi pada payudara akan merangsang terbentuknya

oksitosin oleh kelenjar hipofisis. Oksitosin membantu involusi uterus dan

mencegah terjadinya perdarahan pasca persalinan. Penundaan haid dan

berkurangnya perdarahan pasca persalinan mengurangi prevalensi anemia

defisiensi besi. Kejadian karsinoma mammae pada ibu menyusui lebih

rendah dibanding yang tidak menyusui (Kristiyansari, 2009).

b) Aspek keluarga berencana

Menyusui secara murni Eksklusif dapat menjarangkan kehamilan.

Ditemukan rata-rata ibu yang menyusui adalah 24 bulan sedangkan yang

tidak menyusui 11 bulan. Hormon yang mempertahankan laktasi bekerja

untuk menekan hormon ovulasi sehingga dapat menunda kembalinya

kesuburan. Ibu yang sering hamil kecuali menjadi beban sendiri juga

merupakan risiko tersendiri bagi ibu untuk mendapatkan penyakit seperti

anemia, risiko kesakitan dan kematian akibat persalinan (Suryoprajogo,

2009).

c) Aspek psikologis

Keuntungan menyusui bukan hanya bermanfaat bagi bayi tetapi

juga untuk ibu. Ibu akan merasa bangga dan diperlukan, rasa yang

dibutuhkan oleh semua manusia (Suradi, 2004).

3. Bagi Keluarga

a) Aspek ekonomi
ASI tidak perlu dibeli sehingga dana yang seharusnya digunakan

untuk membeli susu formula dapat digunakan untuk keperluan lain.

Kecuali itu, penghematan juga disebabkan karena bayi yang mendapatkan

ASI lebih jarang sakit sehingga mengurangi biaya berobat (Sunardi, 2008).

b) Aspek psikologis

Kebahagiaan keluarga bertambah karena kelahiran lebih jarang

sehingga suasana kejiwaan ibu baik dan dapat mendekatkan hubungan

bayi dengan keluarga (Suradi, 2004).

c) Aspek kemudahan

Menyusui sangat praktis karena dapat diberikan dimana saja dan

kapan saja. Keluarga tidak repot untuk menyiapkan air masak, botol dan

dot yang harus selalu dibersihkan, orang tidak perlu minta pertolongan

orang lain (Arif, 2009).

4. Bagi Negara

a) Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi

Adanya faktor protektif dan nutrien yang sesuai dalam ASI

menjamin status gizi baik serta kesakitan dan kematian anak menurun.

Beberapa penelitian epidemiologis menyatakan bahwa ASI melindungi

bayi dan anak dari penyakit infeksi, misalnya diare, otitis media dan

infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah (Kristiyansari, 2009).

b) Mengurangi subsidi Kesehatan

Subsidi untuk rumah sakit berkurang karena rawat gabung akan

memperpendek lama rawat ibu dan bayi, mengurangi komplikasi

persalinan dan infeksi nosokomial, serta mengurangi biaya yang

diperlukan untuk perawatan sakit. Anak yang diberi ASI lebih jarang
dirawat di rumah sakit dibanding anak yang mendapat susu formula

(Suradi, 2004).

c) Menghemat devisa untuk membeli susu formula

ASI dapat dianggap sebagai kekayaan nasional. Jika semua ibu

menyusui Eksklusif selama 6 bulan berapa banyak devisa yang dapat

dihemat oleh negara yang sebelumnya dipakai untuk membeli susu

formula (Sunar, 2009).

d) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia

Anak yang mendapat ASI dapat bertumbuh dan berkembang secara

optimal sehingga kualitas generasi penerus bangsa akan terjamin.

e) Mengurangi polusi

Untuk pembuatan dan distribusi susu formula diperlukan bahan

bakar minyak. Selain itu juga kaleng serta karton kemasan susu juga

menyebabkan pencemaran lingkungan (Sunar, 2009).

f) Alasan Pemberian ASI Eksklusif

ASI diberikan kepada bayi karena mengandung banyak manfaat

dan kelebihan antara lain menurunkan resiko penyakit infeksi misalnya :

diare, infeksi saluran nafas dan infeksi telinga. Di samping itu ASI juga

bisa mencegah penyakit non infeksi misalnya alergi, obesitas, kurang gizi,

asma dan eksem. ASI dapat pula meningkatkan kecerdasan anak.

d. Dampak jika bayi tidak mendapatkan ASI

1. Bertambahnya kerentanan terhadap  penyakit (baik anak maupun ibu)

Menyusui diyakini dapat mencegah 1/3 kejadian infeksi saluran

pernapasan atas (ISPA), kejadian diare dapat turun 50%, dan penyakit usus
parah pada bayi prematur dapat berkurang kejadiannya sebanyak 58%. Pada

ibu, risiko kanker payudara juga dapat menurun 6-10%.

2. Biaya pengobatan bertambah

Mendukung ASI berarti dapat mengurangi kejadian diare dan

pneumonia sehingga biaya kesehatan dapat dikurangi 256,4 juta USD atau 3

triliun tiap tahunnya.

3. Kerugian kognitif – hilangnya pendapatan bagi individual

ASI eksklusif dapat meningkatkan IQ anak. Kelak ia memiliki potensi

untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik karena memiliki kecerdasan

tinggi. Tentunya hal ini akan meningkatkan potensi mendapatkan penghasilan

yang lebih optimal. Tahukah Anda dengan peningkatan IQ dan pendapatan per

kapita, negara dapat menghemat Rp 16,9 triliun.

4. Biaya susu formula

Di Indonesia, hampir 14% dari penghasilan seseorang habis digunakan

untuk membeli susu formula bayi berusia kurang dari 6 bulan. Dengan ASI

eksklusif, penghasilan orangtua dapat dihemat sebesar 14%.

e. Faktor pendorong terhadap pemberian ASI Eksklusif

1. Dukungan keluarga terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif

Keluarga merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan

seseorang. Dukungan dari keluarga sangat diperlukan oleh seorang ibu dalam

keberhasilannya memberikan ASI eksklusif, dukungan dari keluarga akan

mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI eksklusif.


2. Dukungan atasan terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif

Ibu yang bekerja memiliki resiko untuk berhenti menyusui, hal ini bisa

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebijakan instansi tempat

ibu bekerja termasuk didalamnya kebijakan atasan yang tidak atau kurang

mendukung ibu untuk tetap memberikan ASI.

3. Dukungan teman kerja terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif

Dukungan teman selama di tempat kerja akan membuat ibu

mempunyai kesempatan untuk tetap memberikan ASI. Ibu yang mendapat

dukungan dari tempat kerjanya mempunyai peluang untuk bisa memberikan

ASI eksklusif sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak

mendapat dukungan dari teman kerjanya.

f. Faktor pemungkin terhadap perilaku pemberian ASI eksklusif

1. Pelatihan manajemen laktasi

Pelatihan manajemen laktasi bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan khususnya tenaga Kesehatan dalam menyelesaikan masalah-

masalah yang ditemukan saat menyusui (Manel, Martens, Walker, 2007).

2. Ketersediaan fasilitas dengan perilaku pemberian ASI eksklusif

Ketersediaan fasilitas ini meliputi adanya pojok ASI, tempat

penyimpan ASI perah serta peralatan yang dimiliki oleh responden dalam

upaya untuk mendukung keberlangsungan dalam memberikan ASI.

B. PENELITIAN TERKAIT
Ringkasan hasil penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini:

No Peneliti/ tahun Judul Hasil


1 Wahyu lina Faktor terjadinya Hasil penelitian faktor yang
(2016) Baby Blues menyebabkan terjadinyan Baby
Syndrome pada ibu Blues Syndrome yaitu persalinan
nifas di BPM pertama, dukungan sosial yang
Suhatmi Puji Lestari kurang dan keadaan ekonomi
keluarga yang kurang.
2 Suryati (2008) The Baby Blues and Hasil penelitian menunjukkan
post natal bahwa ibu- ibu dengan Baby Blues
depression Syndrome setelah melahirkan akan
mengalami emosi yang berlebihan
dan merasa sangat sedihserta
diiringi tangisan tanpa alas an yang
jelas. Sebagian ibu merasa cemas
dan khawatir serta tegang setelah
melahirkan. Sebagan ibu juga
merasa tidak enak, tidak nyaman,
sakit,nyeri di mana- mana dan
tidak ada obat yang dapat
menolongnya atau
menyembuhkannya. Hamper
semua ibu- ibu ini merasa sangat
capek, lesu maupun malas pada
hamper setiap waktu setelah
melahirkan. Selain itu juga sering
ditemuin para ibu- ibu ini
mengalami sulit untuk tidur,
bahkan ada yang tidak bisa tidur
sama sekali.

3 Krisdiana Gambaran faktor- Hasil penelitian menyatakan bahwa


(2015) faktor risiko Post Post Partum Blues atau yang
Partum Bles di sering disebut Baby Blues
wilayah kerja Syndrome merupakan periode
puskesmas blora emosiona stress yang terjadi 80%
ibu setelah melahirkan. Kejadian
Post Partum Blues di Indonesia
yaitu 50% - 70% dan hal ini dapat
berlanjut menjadi post partum
depression dengan jumlah
bervariasi dari 5% hingga lebih
dari 25% setelah ibu melahirkan.

C. KERANGKA TEORI

Ibu pasca melahirkan sangat besar kemungkinan mengalami Baby Blues

Syndrome. Ibu yang melahirkan secara operasi akan merasa bingung dan sedih

terutama jika operasi tersebut dilakukan karena keadaan darurat. Hal itu akan mudah

menjadikan ibu depresi karena banyak pikiran, ketakutan, sedih dan rasa cemas yang

berlebihan. Selain itu, ibu yang pertama kali melahirkan juga mudah akan mengalami

Baby Blues Syndrome. Ibu yang belum memiliki pengalaman akan merasa

kebingunan ketika akan merawat anaknya. Ibu akan merasa gugup dalam menangani

anaknya yang baru. Selain itu kurangnya pengalaman menajdikan ibu dapat ikut

menangis ketika melihat anaknya yang menagis tidak berhanti-henti.

Persiapan pada ibu dalam menghadapi kelahiran sangat dibutuhkan sehingga

seorang ibu harus mengatahui apa saja gejala, faktor penyebab dan akibtnya jika

mengalami Baby Blues Syndrome. Hal ini akan mengurangi kejadian Baby Blues

Syndrome pada ibu. Seseorang yang sudah mengetahu faktor penyebab maka dapat

menyiasati kejadian tersebut sehingga dapat terhindar dari kejadian Baby Blues

Syndrome.
Kerangka teori

Ibu pasca melahirkan

Baby Blues Syndrome

Tanda dan gejala Faktor yang mempengaruhi Dampak yang timbul


a. Gejala a. Hormonal
perilaku b. Ketidaknyamanan
b. Gejala fisik fisik (Fisiologis) Pada ibu
c. Gejala c. Ketidaknyamanan a. Gangguan
emosional beradaptasi melakukan
d. Paritas aktivitas
e. Psikologis b. Gangguan
psikotik, dll
Gagal dalam
Produksi ASI
pemberian ASI
menurun
Eksklusif

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPRASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-

hal yang khusus. konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung diamati

atau diukur, konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang lebih dikenal

dengan nama variable. Vaiable adalah lambing atau symbol yang dapat menunjukan nilai

atau bilangan dari konsep. Variable yaitu suatu yang bervariasi ( Notoatmodjo, 2012).

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep terhadap konsep lainnya, atau antara variable dengan variable lainnya dari

masalah yang ingin di teliti (Notoatmodjo, 2012).

Kerangka Konsep
VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDENT

(Variabel Bebas) (Variabel Terikat)

Kurangnya pengetahuan dlm Baby Blues Syndrom


pemberian ASI eksklusif Post Partum

 Hormonal
 Ketidaknyam
anan fisik
(Fisiologis)
 Ketidaknyam
anan
beradaptasi
 Paritas
 Psikologis

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

B. Definisi Operasional

Definisi operasional ini juga untuk mengarah kepada pengukuran dan

pengamatan variable-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrument

(Notoatmodjo, 2012).
No Definisi operasional Alat ukur Kategori Skala
Variable independent
1 Pengetahuan ibu tentang Wawancara 1 Pengetahuan Ordinal
ASI eksklusif yaitu dengan Kurang; median <10
segala sesuatu yang panduan 2 Pengetahuan Baik;
diketahui dengan ASI kuesioner median ≥ 10
Eksklusif diantaranya:
- Manfaat ASI
untuk ibu
- Manfaat ASI
untuk Bayi

2 Psikologis Wawancara 0 Kurang; median < 2 Nominal


Berapa kali ibu dengan 1 Baik; median ≥ 2
melahirkan, perasaan panduan
stress, dan perasaan kuesioner
takut untuk menyusui
3 Ketidaknyamanan Wawancara 0 Tidak ada Nominal
beradaptasi dengan dukungan; median < 1
Hal ini diperlukan panduan 1 Ada dukungan;
dukungan keluarga kuesioner median ≥ 1
terdekat dengan ibu
perihal ASI Eksklusif
Variable dependen
2 Baby Blues Syndrome Wawancara 0 Kurang; median < 2 Ordinal
dimengerti sebagai dengan 1 Baik; median ≥ 2
suatu perasaan yg tidak panduan
nyaman (depresi/ sedih/ kuesioner
disforia, menangis ,
mudah tersinggung,
cemas, cenderung
menyalahkan diri
sendiri, gangguan tidur
dan gangguan nafsu
makan)
Apakah ibu mengalami
hal ini?

C. HIPOTESIS

Hipotesis merupakan jawaban sementara penelitian, yang kebenarannya akan


dibuktikan dalam penelitian tersebut. Hipotesis dalam penelitian keperawatan terdiri
atas hipotesis yang bertujuan untuk membuat ramalan tentang peristiwa yang terjadi
apabila gejala muncul (Notoatmodjo, 2012) :
1) Ha/hipotesis kerja : ada pengaruh Baby Blues Syndrom Post Partum terhadap
kurangnya pengetahuan orang tua dalam pemberian ASI eksklusif.
2) Hipotesis nol Ho: tidak adanya pengaruh Baby Blues Syndrom Post Partum terhadap
kurangnya pengetahuan orang tua dalam pemberian ASI eksklusif bermakna.
3) Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi hipotesis ini yaitu Ha diterima yang
artinya adalah : “Ada Pengaruh Baby Blues Syndrom Post Partum terhadap
kurangnya pengetahuan orang tua dalam pemberian ASI eksklusif di RS. MEDIKA
BSD kota Tangerang Selatan.

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian deskriptif

analitik dengan rancangan cross sectional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk

mendiskripsikan mengenai suatu fenomena/ kejadian yang ditemukan yaitu berupa

faktor resiko, efek atau hasil untuk kemudian dilakukan analisis hubungan antar

variable (Sastroasmoro dan Ismael, 2010). Penelitian ini dilaksanakan dengan cara

melakukan pengkajian terkait tanda gejala, faktor- faktor dan dampak yang timbul

dari Baby Blues Syndrome Post Partum terhadap pemberian ASI ekslusif.. Dimana

hal ini adalah untuk mengetahui pengaruh Baby Blues Syndrome Post Partum

terhadap pemberian ASI eksklusif di RS Medika BSD Tangerang Selatan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan di kamar perawatan di RS MEDIKA BSD

Tangerang Selatan.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan selama 2 minggu

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut

(Notoadmojo, 2010). Populasi dalam penelitian adalah subjek yang telah memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien di

ruang VK di RS MEDIKA BSD Tangerang Selatan.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoadmojo, 2010). Sampel adalah sekumpulan pengamatan secara individu yang


dipilih dengan sebuah prosedur khusus (Tiro dan Arbianingsih, 2011). Jumlah sampel

pada penelitian ini adalah 20 orang responden. Pengambilan sampel dalam penelitian

ini menggunakan purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel untuk tujuan

tertentu.

a. Kriteria Inklusi

1) Ibu bersedia melakukan wawancara sebagai responden

2) Bayi dalam keadaan sehat

b. Kriteria Eklusi

1) Ibu dengan bayi < 6 bulan

2) Ibu tidak bersedia

D. Instrument dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder :

1.1. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari responden, yaitu pasien post partum di ruang

VK RS Medika BSD Tangerang Selatan.

1.2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari rumah sakit yang akan menjadi tempat penelitian dan

data-data yang lain mendukung.

E. Pengolahan dan Analisa Data

1) Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari hasil dokumentasi dari pengukuran kemudian diolah

dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1.1. Editing

Langkah ini dilakukan dengan maksud mengantisipasi kesalahan dari data yang

dikumpulkan, juga memonitor jangan sampai terjadi kekosongan dari data yang

dibutuhkan.

1.2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data

yang terdiri atas beberapa kategori (Hidayat, 2009). Coding merupakan usaha

mengelompokkan data menurut variable penelitian. Coding dilakukan untuk

mempermudah dalam proses tabulasi dan analisa data selanjutnya.

1.3. Entry Data

Merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam

master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi

sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontigensi (Hidayat, 2009).

Data entry yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk kode dimasukan kedalam program komputer (Notoadmojo, 2010).

Aplikasi pada penelitian ini, peneliti akan memasukkan data dengan cara

memberi tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban responden.

1.4. Cleaning

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai dimasukan,

perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan, dan sebagainya, kemungkinan

dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini disebut pembersihan data (data

cleaning) (Notoadmojo, 2010).


Aplikasi pada penelitian ini yaitu dengan cara peneliti harus mengetahui

missing data (data yang hilang), mengetahui variasi data dan mengetahui

konsistensi data. Setelah selesai pembersihan data selanjutnya peneliti mulai

melakukan proses analisis data, yang dilakukan pada program komputer.

2) Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik. Analitik

adalah masalah statistik yang bertujuan untuk mencari hubungan antara variabel.

Masalah analitik dibedakan menjadi korelatif, komparatif, dan multivariat. Dalam

penelitian ini peneliti mengambil masalah analitik komparatif. Analitik komparatif

adalah statistik analitik yang membandingakan proporsi atau rerata. Analitik

komparatif tidak mencari hubungan antar variabel dengan ukuran kofisien korelasi

(Dahlan, S, 2010).

2.1. Analisa Univariat

Penelitian analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisa

tiap variable dari penelitian. Analisa univariat berfungsi untuk meringkas

kumpulan data hasil pengukuran semdikian rupa sehingga kumpulan data

tersebut berubah mejadi informasi yangberguna, peringkasan tersebut dapat

berupa ukuran statistic, table, grafik. Analisa univariat dilakukan masing-

masing variable yang diteliti yaitu variable bebas dan variable ikat.

2.2. Analisa Bivariat

Analisa data bivariate adalah analisa yang dilakukan untuk melihat

hubungan independen dengan dependen dalam bentuk tabulasi silang antara

variable tersebut. Bila data yang diuji berdistribusi normal atau mendekati

distribusi normal, maka untuk mengetahui penurunan tingkat kecemasan yang


terjadi setiap pemberian terapi music musical analisis dengan uji T berpasangan

( Paried Sample T test) karena dalam penelitian, pengaruh perlakuan di analisis

dengan uji beda menggunakan statistic t-test. Jika ada perbedaan signifikan,

maka perlakukan yang diberikan berpengaruh secara signifikan. Berdasarkan uji

statistic pada taraf signifikan 5% (α=0.05), dapat disimpulkan bahwa Ho di

tolak dan Ha diterima bila didapatkan nilai p ≤ 0.05 dan Ho diterima dan Ha

ditolak bila didapatkan nilai p > 0,05. Hasil yang didapatkan kemudian dianalisa

dengan menggunakan computer (Notoadmojo, 2012)

F. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting

dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2009). Etika

penelitian mencakup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti terhadap subjek

penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi masyarakat (Notoadmojo,

2012). Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:

1) Informed consent

Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum

penelitian dilakukan. Tujuan infoment consent adalah adalah agar subjek mengerti

maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka

peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa informasi yang harus ada dalam

informed consent antara lain: partisipasi pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis

yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang akan

terjadi, manfaat, kerahasiaan, informasi yang sudah dihubungi (Hidayat, 2009).


Aplikasi penelitian ini sebelum dilakukan intervensi, responden diminta untuk

mengisi lembar persetujuan untuk menjadi responden.

2) Anomity (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode

pada lembar pengumpulan data atau hasil peneliatian yang akan disajikan (Hidayat,

2009). Anonymity adalah salah satu hak responden untuk melindungi privasinya dan

salah satu cara yang paling aman untuk melindungi kerahasiaan dari data yang

diberikan dengan cara menulis data dengan kode tertentu.

Aplikasi penelitian ini dalam mengisi lembar pengukuran kemampuan mencuci

tangan tidak mencantumkan nama responden, tetapi dengan menggunakan kode atau

inisial nama.

3) Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini adalah masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan

hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi

yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset. (Hidayat, 2009). Masalah ini

merupakan masalah etika dengan memberikan janji bahwa setiap informasi yang

diberikan oleh responden tidak akan dipublikasikan dan diakses oleh orang lain.

Aplikasi penelitian ini peneliti tidak akan menyebarluaskan apapun hasil yang didapat

dari responden, peneliti akan menjaga kerahasiaan.

4) Juctice (Keadilan)
Responden harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah

keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka

tidak bersedia atau dikeluarkan dalam penelitian (Nursalam, 2009). Aplikasi

penelitian ini peneliti akan bertanggung jawab atas keadilan responden.

G. Keterbatasan Penelitian

1) Dalam penelitian ini, peneliti belum dapat secara maksimal mengontrol faktor-faktor

yang mempengaruhi perubahan tingkat kecemasan responden. Selain itu jga peneliti

mempunyai keterbatasan dalam menemukan jumlah sampel yang lebih banyak yang

sesuia dengan kriteria inklusi.

2) Pada penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa terjadinya perubahan tingkat

kecemasan pada pasien kemungkinan sepenuhnya bukan pengaruh dari terapi music

musical ini melainkan karena faktor lain. Hal ini disebabkan karena waktu penelitian

yang sangat singkat dan kemungkinan pasien sudah diberikan obat premedikasi

sebelumnya.

3) Pada saat penelitian, peneliti tidak dapat menyamakan waktu/jam untuk dilakukan

terapi music musical dikarenakan keterbatasan waktu.

4) Alat yang digunakan pada penelitian sangat sederhana.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai