Anda di halaman 1dari 37

REFRAT

BABY BLUES SYNDROME

Disusun oleh :
Taufik Adi Susilo
J510 1650 86

Pembimbing :
Agung Priatmaja, dr., Sp.KJ, M. Kes

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA DAERAH dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Pasca melahirkan adalah periode dimana ibu menjalani hari yang

melelahkan. Kelelahan ini terkait dengan keadaan sang bayi maupun perubahan

kondisi fisik dan psikis ibu, dan hal ini dapat memicu perasaan tertekan (stres).

Banyak ibu baru melahirkan mengalami depresi pasca persalinan atau lebih dikenal

sebagai baby blues syndrome. Baby blues syndrome, atau sering juga disebut

postpartum distress syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami oleh

sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya terjadi dalam 14 hari

pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga atau

empat setelah persalinan (Syahrir S, 2008).

Gejala baby blues Syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari

melahirkan namun memudar setelah beberapa minggu (National Mental Health

Association, 2003). Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi ringan yang

dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity blues, atau postpartum

blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung, panik, mudah

marah (Atmadibrata, 2005), dan disertai dengan gejala depresi, mood swings,

gangguan tidur dan selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya

merupakan akibat perubahan hormonal (National Mental Health Association,

2003). Menurut Stanton dan Danoff-Burg, 1995 dalam Stoppard (2000)

mengatakan bahwa mood wanita yang terjadi selama periode kehamilan merupakan

prediktor utama terjadinya mood wanita pada periode setelah melahirkan (Syahrir

S, 2008).
Baby blue syndrome perlu dibedakan dengan postpartum depression,

dimana pada postpartum depression gejalanya lebih berat dan sering serta onsetnya

lebih dari 2 minggu. Faktor risiko dari baby blues syndrome yaitu faktor umur,

paritas, adanya persalinan yang sulit dan kesulitan dalam menyusui, kehamilan

yang sulit atau penuh kekhawatiran, setiap jenis trauma (riwayat depresi) masa

kanak-kanak yang dapat menimbulkan depresi, lebih khusus lagi pada hubungan

yang penuh masalah dengan ibu di masa kanak-kanak dan dukungan dari suami

yang dapat melatarbelakangi baby blues syndrome (Marshall F, 2004).

Banyak faktor yang bisa menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : faktor

dari ibu, bayi yang di lahirkan dan lingkungan sekitar. Kelelahan saat melahirkan,

kesulitan menyusui, trauma melahirkan dan depresi saat mengandung dan

canggung mengurus bayi adalah beberapa contoh faktor yang berasal dari ibu.

Faktor kesulitan menyusui dan canggung menggurus bayi biasanya terjadi pada

kelahiran pertama, hal ini dikarenakan sang ibu belum terbiasa dan berpengalaman

mengurus bayi. Bahkan ada beberapa ibu yang takut menyentuh bayinya karena

melihat bayinya sangat kecil dan rapuh. Faktor hormon juga berpengaruh dalam

terjadinya sindrom ini, dimana perubahan keseimbangan hormon akibat melahirkan

membuat ketidak-seimbangan emosi dari sang ibu. Kondisi dari bayi yang baru

lahir merupakan faktor yang berasal dari sang bayi, contohnya bayi lahir dengan

berat badan rendah atau bayi lahir dengan kondisi yang tidak normal. Faktor dari

lingkungan dapat berasal dari mertua, tetangga bahkan suami atau ayah bayi sendiri.

Prevalensi kejadian baby blues syndrome dari berbagai penelitian berbeda

di tiap Negara, berkisar antara 10-34. Penelitian di Negara barat menunjukkan


kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan dari asia, pada

penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca persalinan di Malaysia pada

tahun 1995 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras India (8,9%),

Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura

dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1% (Elvira S, 2006). Sedangkan penelitian

yang dilakukan oleh Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues

syndrome sekitar 10%-20% (Jofesson A, 2002).

Catatan medis tentang BBS telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar abad

ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek

kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI

melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami BBS.

Dr. Irawati menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu

melahirkan, atau 2/3 dari jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia (Atmadibrata,

2005). Sedangkan The National Mental Health Association (2003) mengemukakan

bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk pertama kalinya mengalami

gejala tersebut (Syahrir S, 2008).

Pada penelitian pendahuluan yang pernah dilakukan dibagian/KSMF

Obstetri dan Ginekologi FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar

33,1% diantara wanita yang melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan

pula bahwa baby blues syndrome tersebut lebih banyak dijumpai pada wanita

pekerja dan mereka yang berpendidikan tinggi (Wratsangka R, 1996), beberapa

penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di

Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian
mencolok tinggi yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara

lain yang ada di Asia. Dan penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome

yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7% (Papayungan, 2005).

Hasil penelitian yang dilakukan Trika Rianta (2004) di RSIA Siti Fatimah

Makassar melaporkan efektifitas dukungan suami dalam hubungannya dengan

kejadian baby blues syndrome sebesar 23% sedangkan penelitian yang dilakukan

oleh Alfiben (2000) di RSU Hasan Sadikin Bandung melaporkan bahwa efektifitas

dukungan suami dalam hubungannya dengan kejadian baby blues syndrome

(depresi pasca persalinan) sebesar 33%. Selain itu kejadian baby blues syndrome

di RSB Pertiwi Propinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 23 kasus (20,0%)

dari 1362 persalinan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu bidan di BPS Lusia

Sandaden Kelurahan Sudiang Raya Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar

Propinsi Sulawesi Selatan (Desember, 2011), yang merawat langsung ibu

postpartum di ruang rawat inap bersalin diketahui bahwa pada hari ketiga setelah

melahirkan sering menemukan gejala-gejala pada ibu postpartum seperti bersedih,

cemas, mudah marah, tidak nafsu makan, susah tidur dan kurang perhatian pada

bayinya pada saat menangis. Hal ini merupakan bagian dari gejala gangguan

psikologis yang mengarah pada baby blues syndrome.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi Baby Blues Syndrome

Baby Blues Syndrome adalah suatu sindroma gangguan mental ringan

pada wanita pasca salin, yang diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan

criteria Handley dan O’Hara yaitu bila didapatkan minimal 4 di antara 7 gejala

yang mungkin muncul , yaitu reaksi depresi/sedih/disforia, labilitas perasaan,

menangis, cemas, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, iritabilitas (mudah

tersinggung). Meski sering dianggap sebagai hal yang ringan dan bersifat Self

limiting pada sebagian kasus, kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang

menjadi keadaan yang lebih berat, yaitu Psikosis puerperal yang mempunyai

dampak lebih buruk, terutama dalam hal masalah hubungan perkawinan dengan

suami dan juga perkembangan anaknya (Majalah Obstetri dan Ginekologi

Indonesia, 1998).

Baby Blues Syndrome adalah guncangan emosional/kejiwaan pada

seorang ibu yang baru melahirkan, kondisi ini hampir 50-75% dialami oleh

perempuan yang baru melahirkan (Syahrir S, 2008). Kondisi ini dapat terjadi

sejak hari pertama setelah persalinan dan cenderung akan memburuk pada hari

ketiga sampai kelima setelah persalinan. Baby Blues Syndrome cenderung

menyerang dalam waktu 14 hari terhitung setelah persalinan (Alfiben, 2000).

Baby Blues Syndrome terjadi karena tubuh ibu yang habis melahirkan sedang

mengadakan perubahan fisik yang besar. Hormon-hormon dalam tubuh juga

akan mengalami perubahan besar dan ibu baru saja melalui proses persalinan
yang melelahkan, semua ini akan mempengaruhi perasaan seorang ibu (Mayla,

2007).

Allah menciptakan tubuh manusia begitu sempurna dan unik. Salah

satunya sistem hormon yang turut memengaruhi sistem metabolisme tubuh

secara keseluruhan. Ketidakseimbangan hormon dapat mengacaukan

mekanisme kerja tubuh kita, termasuk memengaruhi mood (emosi). Hal inilah

yang dialami para ibu pasca-melahirkan. Perubahan hormon yang terjadi pada

3-4 hari setelah persalinan memicu mood menjadi lebih sensitif, rasa sedih dan

ingin menangis tanpa sebab. Padahal, seharusnya ibu tengah berbunga-bunga

karena si mungil yang dinanti-nanti selama sembilan bulan sudah ada dalam

dekapan. Kondisi yang mungkin terasa “aneh” inilah yang disebut baby blues

syndrome (Mayla, 2007).

Staf pengajar Bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono

SpKJ menuturkan, baby blues merupakan fenomena normal yang dialami sekitar

70 persen wanita selepas melahirkan. Apalagi wanita yang baru melahirkan

pertama kali, biasanya masih gugup menghadapi perubahan peran dan fungsinya

sebagai ibu baru. Di satu sisi, hatinya terisi dengan kebahagiaan yang

membuncah, di sisi lain fluktuasi mood menyebabkannya “feeling blue”.

Sindrom baby blues sering kali tidak disadari, baik oleh wanita yang

bersangkutan maupun orang lain di sekitarnya. Wanita yang mengalami baby

blues biasanya ditandai dengan gejala khas berupa depresi ringan, perasaan yang

tidak menentu (moody), mudah sedih, murung dan rasa ingin menangis.

Beberapa ada juga yang disertai gejala sulit tidur, sulit berkonsentrasi, sering
bingung, dan pikiran yang terlalu mengkhawatirkan bayi atau ragu akan

kemampuannya mengurus bayi. Namun, tidak perlu risau karena kondisi ini

umumnya hanya berlangsung singkat (biasanya pada minggu pertama) (Mayla,

2007).

Dimana seorang wanita dimasa mudanya telah berusaha mempersiapkan

diri secara mental untuk memiliki anak dan memiliki pengetahuan yang cukup

tentang tata cara merawat bayi maka dia tidak akan stress atau merasa terbebani

terhadap bayinya. Sedangkan wanita yang tidak siap secara mental maupun fisik,

dan ditambah dengan pengetahuan yang rendah tentang tata cara merawat

bayi, maka wanita tersebut rentan untuk depresi atau menderita baby blues

syndrome dikarenakan tidak adanya kesiapan.

2. Epidemiologi Baby blues

Sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah menulis

referensi di literatur kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca-

salin yang disebut sebagai “milk fever” karena gejala disforia tersebut muncul

bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, baby blue syndrome atau sering juga

disebut maternity blues atau post-partum blues dimengerti sebagai suatu

sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama

setelah persalinan, dan ditandai dengan gejala-gejala seperti : reaksi depresi

/sedih/disforia, menangis , mudah tersinggung (iritabilitas), cemas, labilitas

perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur dan gangguan

nafsu makan. Gejala-gejala ini mulai muncul setelah persalinan dan pada

umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa
hari. Namun pada beberapa minggu atau bulan kemudian, bahkan dapat

berkembang menjadi keadaan yang lebih berat. Baby blues ini dikategorikan

sebagai sindrom gangguan mental yang ringan oleh sebab itu sering tidak

dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksana sebagaimana

seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak

menyenangkan dan dapat membuat perasaan perasaan tidak nyaman bagi

wanita yang mengalaminya, dan bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat

berkembang menjadi keadaan yang lebih berat yaitu depresi dan psikosis

pasca-salin, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam masalah

hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anaknya. Dalam

dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian khusus

pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca salin, dan telah

melaporkan beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga

mempunyai kaitan dengan gejala-gejala tersebut. Berbagai studi mengenai

baby blue syndrome di luar negeri melaporkan angka kejadian yang cukup

tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan disebabkan

karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan.

Untuk di Indonesia dari penelitian Wratsangka pada tahun 1996 di RS Hasan

Sadikin Bandung, ditemukan 33% wanita pasca persalinan mengalami baby

blue syndrome. Hasil penelitian di berbagai tempat yang ditelaah Bagian

Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM menunjukkan, paling sedikit terdapat

26%. Etiologi Penelitian menunjukkan penyebab baby blue syndrome adalah

faktor hormonal yang akan mempengaruhi keadaan kimiawi otak . Itu


merupakan proses biologis dan bukan merupakan kesalahan seorang ibu atau

bergantung pada kepribadian yang lemah. Baby blue syndrome terjadi 50-80

% pada ibu baru. Kondisi ini ditunjukan dengan peningkatan respon emosi. Ibu

baru akan menunjukan mood yang gampang berubah , mudah menangis,

gelisah, irritabilitas, kesulitan tidur dan merasa tidak sehat. Lebih dari 50 %

dari ibu yang mengalami depresi sebelumnya setelah melahirkan anak akan

menjadi depresi kembali pada kelahiran berikutnya. Wanita akan lebih rentan

apabila pada saat hamil mereka sudah mengalami depresi atau memiliki gejala

mood premenstruasi sebelum hamil. Apabila wanita tersebut mengalami

depresi selama hidupnya, resiko untuk berkembang menjadi postpartum

depression juga akan meningkat dari 10 sampai 25 % begitu pula dengan

wanita yang mengidap penyakit bipolar (manic-depressive-illness) akan

menempatkan wanita pada peningkatan resiko untuk mengalami postpartum

depression. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal

cenderung 3,64 kali berpeluang lebih besar mengalami baby blues

dibandingkan dengan ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan normal.

Ketidakseimbangan hormonal. Jumlah hormon wanita seperti estrogen dan

progesteron meningkat secara tajam pada saat kehamilan. Pada minggu-

minggu setelah melahirkan, jumlah hormon estrogen dan progesteron lebih

menurun dari jumlah sebelum kehamilan. Fluktuasi tiba-tiba pada tingkat

hormonal ini berhubungan dengan gejala dari depresi yang dialami seorang ibu

baru. Wanita lebih rentan pada ketidakseimbangan hormonal dari pria. Itu

disebabkan terjadinya reaksi kimia antara hormon dan otak yang meningkatkan
resiko terjadinya baby blue syndrome. Hormon Thyroid. Kelenjar thyroid

berukuran kecil dan terletak di leher. Beberapa wanita mengalami penurunan

hormon thyroid setelah melahirkan. Rendahnya hormon thyroid akan

menyebabkan gejala depresi, irritabilitas, berkurangnya minat pada aktivitas

biasa, kelemahan dan peningkatan berat badan. Akan tetapi tidak semua wanita

mengalami baby blue syndrome akibat ketidakseimbangan hormon thyroid.

Perubahan gaya hidup. Ibu baru mengalami banyak perubahan gaya hidup, dan

beberapa diantaranya akan berkontribusi dalam terjadinya baby blue syndrome.

Lingkungan yang meningkatkan resiko gejala baby blue syndrome antara lain

Perubahan jadwal sehari-hari akibat bayi yang baru lahir Kepikiran

pada berat badan dan bentuk tubuh setelah hamil Kelelahan dan kurang tidur

setelah melahirkan anak Sedikitnya dukungan dalam merawat bayi Khawatir

akan kemampuan untuk menjadi ibu yang baik depresi Yang perlu diperhatikan

sementara perubahan gaya hidup meningkatkan resiko menjadi depresi pada

beberapa wanita, lainnya dapat mengatasi perubahan tersebut tanpa

mengalami.

3. Etiologi Baby Blues Syndrome

Sampai saat ini masih belum ada kesepakatan diantara para ahli

tentang Faktor yang menjadi penyebab dari depresi pasca persalinan (Sari LS,

2009). Diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi

antara lain :
a. Faktor Psikososial

Pitt menyatakan bahwa depresi pasca persalinan merupakan

gangguan spesifik yang dibedakan dari gangguan depresi klasik. Beliau

menyebutkan dengan depresi atipik yang lebih merupakan respons terhadap

stres non spesifik dibandingkan dengan perubahan yang bersifat biologik

yaitu perubahan hormonal yang menyertai kelahiran anak (Sari LS, 2009).

Penelitian keadaan psikososial dari depresi pasca persalinan

meyakinkan adanya hubungan antara keadaan tertentu yang terjadi selama

kehamilan dengan timbulnya depresi post partum. Kumar, Rabson, Watson

dan kawan-kawan, Cox dan kawan-kawan menyatakan bahwa faktor -

faktor psikososial yang berkorelasi dengan timbulnya sindroma depresi

pasca persalinan antara lain (Sari LS, 2009):

1. Konflik dalam perkawinan, yang meliputi :

a) Adanya ketegangan yang kronis diantara pasangan yang

menyebabkan timbulnya rasa permusuhan antara pasangan tersebut.

b) Riwayat adanya ketidakstabilan emosi pada isteri atau suami yang

menyebabkan kurangnya dukungan akan kelahiran bayi mereka.

c) Pada wanita yang berusia tua, yang mengharapkan kelahiran

anaknya (Sari LS, 2009).

2. Sikap ambivalen atau keraguan yang besar terhadap kehamilan dan

keinginannya untuk mempunyai anak.


3. Riwayat pernah menderita gangguan depresi sebelumnya dan, atau

reaksi terhadap kejadian tertentu dalam kehidupannya, termasuk stres

akibat melahirkan anak.

4. Stres lingkungan

Teori psikoanalitik menekankan pentingnya hubungan awal antara

individu tersebut dengan ibunya. Birchnell, melakukan penelitian

terhadap 50 wanita depresi dibandingkan dengan 40 wanita sebagai

kontrol, ditemukan adanya hubungan signifikan antara ikatan awal

wanita depresi dengan ibunya yang buruk dengan timbulnya depresi

dikemudian hari pada wanita tersebut (Sari LS, 2009).

b. Faktor Biologik

Penelitian yang beraliran biologik, yang dipelopori oleh Dalton,

menyatakan bahwa depresi pasca persalinan disebabkan oleh perubahan

hormonal, terutama penurunan tajam dari sirkulasi progesteron dalam masa

puerpural. Hormon-hormon yang diduga berperan terhadap timbulnya

depresi postpartum antara lain, adalah estrogen, progesteron, kortisol dan

hormon tiroid (Papayungan D, 2005).

Periode pasca persalinan adalah periode dimana terjadi perubahan

yang cepat dari konsentrasi beberapa hormon. Selama 48 jam pertama

persalinan konsentrasi estrogen, progesteron dan kortisol menurun. Telah

diketahui keterlibatan hormon steroid dalam patogenesis gangguan mood

non puerperal. Beberapa peneliti menduga peranan hormon


tersebut terhadap timbulnya gangguan tiroid cukup tinggi dan menurun

secara drastis setelah pasca persalinan. (Norhana SW, 1995).

Disamping peran hormonal tersebut diatas, pada masa pasca

persalinan juga dapat terjadi disfungsi tiroid. Fungsi tiroid juga memainkan

peranan penting dalam pengaturan mood pada wanita (Parry BL dkk, 2000).

Disfungsi tiroid (hipothyroidisme atau hyperthyroidisme) dapat

menimbulkan gejala-gejala psikiatrik, namun belum ada laporan secara pasti

bahwa terdapat hubungan timbulnya depresi pasca persalinan dengan

keadaan disfungsi tiroid. Ruth Freeman dan kawan-kawan dalam

penelitiannya terhadap 212 wanita pasca bersalin menemukan prevalensi

disfungsi tiroid sebesar 1,9%, sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan

oleh Amino dan kawan-kawan terhadap 30 wanita pasca bersalin ditemukan

disfungsi tiroid sebesar 5,5%. Angka kejadian disfungsi tiroid bervariasi

sesuai dengan daerahnya. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Jepang yaitu

4,3% wanita pasca persalinan 3 bulan pertama dan juga di daerah Amerika

Utara (Norhana SW, 1995).

Selain faktor hormonal dan faktor genetik, faktor biologis seperti

perubahan amin biogenik (serotonin, norepinefrin, dan dopamin) serta

prekursornya dan sistem adenosin fosfat juga terlibat dalam terjadinya

depresi pasca persalinan (Papayungan D, 2005). Telah dilaporkan 3 dari 18

wanita normal yang diteliti pada hari kedua sampai hari kelima pasca

persalinan yang dihubungkan dengan plasma triptofan dan konsentrasi

kortisol, ternyata menunjukkan peningkatan afek, tetapi tidak sampai


hipomania. Kemampuan mengikat reseptor alpha 2 adenoreseptor

dipengaruhi oleh konsentrasi estrogen dan progesteron. Pada ibu-ibu pasca

bersalin dengan afek yang depresif dijumpai peningkatan kapasitas alpha 2

adenoreseptor dibandingkan dengan ibu-ibu yang tidak merasakan perasaan

sedih, sehingga meningginya sensitivitas adenoreseptor inilah yang

kemudian dihubungkan dengan etiologi depresi (Papayungan D, 2005).

Perubahan metabolisme amin biogenik erat hubungannya dengan

gangguan depresi. Treadway dan kawan-kawan melaporkan terjadinya

penurunan ekskresi norepinefrin di air kemih dan peningkatan insidensi

neurosis dan depresi. Gangguan metabolisme indole amine diimplikasikan

sebagai penyebab timbulnya depresi. Sintesa 5 OH tryptamin di otak

menurun, sehingga kadar plasma bebas triptofan menjadi rendah

(Papayungan D, 2005).

Handley dan kawan-kawan melaporkan terjadinya penurunan plasma

triptofan berhubungan dengan defisiensi piridoksin. Oleh karena

beragamnya faktor etiologi dan rumitnya interaksi antar berbagai faktor

tersebut maka sangat sulit untuk mengidentifikasi faktor risiko yang pasti

berperan dalam timbulnya depresi pasca persalinan, dan sulit untuk

menentukan secara pasti karakteristik wanita yang akan mengalami depresi

pasca persalinan. (Papayungan D, 2005).

Beberapa faktor yang diduga menempatkan wanita pasca bersalin

pada risiko tinggi mengalami depresi, antara lain (Sari LS, 2009) :
1. Dukungan sosial yang buruk, yang berarti tidak mempunyai seseorang yang

dipercaya untuk membantu atau mencurahkan pikiran dan perasaan dengan

teman karib.

2. Peristiwa kehidupan yang serius dan multipel, seperti misalnya hubungan

dengan keluarga atau rekan kerja yang sulit, perpindahan, pekerjaan baru

atau perubahan besar, kematian orang yang dicintai, masalah keuangan yang

serius.

3. Riwayat premenstrual syndrome (PMS) sebelumnya, gangguan menstruasi,

dan atau kesulitan untuk hamil.

4. Riwayat kekerasan waktu kecil, termasuk kekerasan emosional, fisik dan

seksual.

5. Gangguan tiroid atau riwayat keluarga dengan gangguan tiroid.

6. Infeksi jamur yang kronik, atau penggunaan antibiotik atau steroid yang

sering yang menyebabkan pertumbuhan jamur di usus.

7. Diet rendah lemak, rendah protein atau kurang nutrisi lain, atau morning

sickness yang berat, yang menyebabkan malnutrisi.

8. Hubungan dengan ibu yang tidak harmonis.

9. Memiliki ibu yang mengalami depresi pasca persalinan.

10. Penggunaan kontrasepsi oral atau suntikan segera setelah melahirkan,

penghentian pemberian air susu ibu (ASI) segera setelah melahirkan, baik

dengan pilihan sendiri atau karena ASI yang tidak cukup.

11. Peningkatan berat badan selama hamil dan penurunan berat yang sedikit

setelah melahirkan.
12. Pengalaman melahirkan yang traumatis, termasuk operasi caesar yang tidak

diharapkan atau prematur.

13. Kepulangan yang dini dari rumah sakit (kurang dari 24-40 jam).

14. Perselisihan perkawinan (marital discord).

15. Kehamilan yang tidak diinginkan.

16. Wanita yang melahirkan bayi pertama di atas usia 30 tahun (Sari LS,

2009).

4. Gejala Baby Blues Syndrome

Gambaran Klinis Baby blue syndrome ditandai perasaan sedih, seperti


menangis, perasaan kesepian atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa
gagal dan tidak bisa tidur. Baby blue syndrome relatif ringan dan biasanya
berlangsung 2 minggu. Perbedaan dengan Post partum Depression adalah pada
frekuensi, intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam Post partum
Depression, gejala yang lebih sering, lebih intens dan lebih lama. Beberapa
Gejala Kasus Baby blue syndrome
a. Dipenuhi oleh perasaan kesedihan dan depresi disertai dengan menangis
tanpa sebab
b. Mudah kesal, gampang tersinggung dan tidak sabaran
c. Tidak memiliki tenaga atau sedikit saja
d. Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
e. Menjadi tidak tertarik dengan bayi anda atau menjadi terlalu memperhatikan
dan kuatir terhadap bayinya
f. Tidak percaya diri
g. Sulit beristirahat dengan tenang bias juga tidur lebih lama
h. Peningkatan berat badan yang disertai dengan makan berlebihan
i. Penurunan berat badan yang disertai tidak mau makan
j. Perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri atau bayinya
Baby Blue Sindrom / Baby Blues Syndrome, atau sering juga disebut

Postpartum Distress Syndrome adalah perasaan sedih dan gundah yang dialami

sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Beberapa Gejala Kasus

Baby Blues Syndrome yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, mudah kesal,

lelah, cemas, tidak sabaran, enggan memperhatikan si bayi, tidak percaya diri,

sulit beristirahat dengan tenang dan mudah tersinggung. Perbedaan Baby Blues

Syndrome dengan Postpartum Depression yaitu terletak pada frekuensi,

intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum

Depression, Anda akan merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih

hebat, serta lebih lama (Mayla, 2007).

Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan

memperhatikan pola tidur si ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu

bisa tertidur, maka besar kemungkinan si ibu hanya menderita Baby Blues

Syndrome (BBS). Namun jika si ibu sangat sulit tertidur walaupun bayinya

dijaga oleh orang lain, maka mungkin tingkat depresinya sudah termasuk ke

dalam Postpartum Depression (PPD). Sedangkan gejala Postpartum

Depression yaitu Cepat marah, bingung, mudah panik, merasa putus asa,

perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan takut bisa menyakiti bayinya,

ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya dengan baik, timbul perasaan

bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD bisa berlangsung hingga 1

tahun setelah kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu bisa saja bunuh diri

atau menyakiti bayinya sendiri (Mayla, 2007).


5. Patofisiologi Baby blues

Bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor biologis dan

faktor emosi. Ketika bayi lahir, terjadi perubahan level hormon yang sangat

mendadak pada ibu. Hormon kehamilan (estrogen dan progesteron) secara

mendadak mengalami penurunan 72 jam setelah melahirkan dan juga disertai

penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang

menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan serta di

lain sisi terjadi peningkatan dari hormon menyusui. Perubahan hormon yang

cepat inilah bisa mencetuskan terjadinya baby blue syndrome. Level

neurosteroid berasal dari hormon progesteron yang mengalami fluktuasi

selama siklus menstruasi dan memuncak saat kehamilan. Hormon sex yang

dinamakan neurosteroid berikatan dengan beberapa tipe reseptor termasuk

reseptor GABAA untuk memodulasi eksitabilitas dari sel otak. Kekurangan

delta subunit reseptor GABAA pada wanita menunjukkan sikap depresi dan

gangguan cemas setelah melahirkan. Pemberian antidepresan saat kehamilan

akan berefek panjang pada sistem serotonin dan berpengaruh pada sensitivitas

reseptor GABAA. Sebagian besar ibu tidak siap untuk untuk menghadapi

kelahiran bayinya, mereka juga sangat khawatir bayi mereka yang terkena

penyakit jaundice dan kesulitan makan yang merupakan memiliki masalah

kesehatan yang umum bagi bayi. Selain itu, ibu yang pertama kali memiliki

bayi merasa tidak sanggup merawat bayinya seorang diri dirumah baik itu dari

segi kasih sayang maupun dari segi finansial. Baby blue syndrome juga sangat
mungkin terjadi oleh para ibu yang pernah mengalami trauma melahirkan atau

mengalami kejadian yang sangat menyedihkan selama mengandung

6. Dampak Baby Blues Syndrome Pada Bayi

Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya

sangat nyata pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami

baby blues tidak dapat merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia

juga tidak bias memberikan kebutuhan yang seharusnya diterima anaknya, baik

itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk ketubuhnya (Syahrir S,

2008).

Oleh karena itu seorang ibu hendaklah merawat anaknya dengan baik

yang disertai ketulusan hati dalam merawat anak tanpa adanya tekanan jiwa

atau pun rasa stress karena stress dan sikap yang tidak tulus ibu yang secara

terus menerus diterima oleh bayi kelak bisa membuatnya menjadi anak yang

mudah menangis, pencemas sekaligus pemurung. Dampak lain yang tidak

kalah merugikan adalah bayi cenderung mudah sakit, kurangnya perhatian ibu

pada bayinya juga merupakan dampak dari baby blues.

7. Faktor Risiko Baby Blues Syndrome

a. Tinjauan Umum Tentang Umur

Umur itu sendiri bukan faktor utama yang menentukan apakah wanita

lebih rentan atau kurang rentan terhadap depresi pasaca melahirkan (baby

blues). Namun, ada gunanya bila kita mengetahui berbagai tekanan yang

dialami para wanita baik usia muda maupun tua karena hal ini berperan
dalam terjadinya depresi. Dewasa ini, lebih banyak wanita melahirkan di usia

cukup matang (rata-rata 28 tahun walaupun beberapa wanita menunda

kehamilan beberapa tahun lebih lama), dengan kematangan dan toleransi

yang lebih besar dan gaya hidup yang lebih mapan, wanita yang lebih tua

juga lebih terbiasa memegang kendali, lebih mampu mengatur hidupnya,

suatu sikap yang membuat depresi lebih muda terjadi bila hal itu berkaitan

dengan perwatan bayi. Wanita berkarir tinggi yang baru melahirkan bayi dan

dapat kembali bekerja dalam waktu sepuluh hari adalah mitos yang

mencengkam imajinasi masyarakat kita dan meskipun ini cocok untuk

beberapa individu, tidaklah realistis untuk sebagian besar wanita.

Bagamainapun juga, wanita kariri yang sudah matang khususnya, sangat

sulit melepaskan sikapnya yang teratur sewaktu merawat bayi. Mereka pikir

mereka dapat menangani, tetapi sewaktu bayi membuatnya kerepotan

dengan tangisannya yang terus menerus, rasa laparnya yang tidak teratur,

jadwal yang tidak jelas dan membuatnya kurang tidur, mereka umumnya

lebih rentan terhadap depresi. Sedangkan ibu yang usianya lebih muda,

meskipun lebih muda menyesuaikan diri, tidak terlalu kaku dalam bertindak

dan mempunyai energi fisik lebih besar, mereka tidak mempunyai kesabaran

atau kematangan seperti yang dimiliki wanita lebih matang, yang telah

menunggu lama untuk mendapatkan keturunan. Mereka lebih muda

kehilangan rasa mudanya , atau bahwa mereka harus kehilangan karir yang

sedang dibangunnya atau kadang baru dimulai. Kedua perasaan ini dapat
menimbulkan kesdihan yang ikut berperan dalam terjadinya depresi

(Marshall, 2004).

Ibu yang berusia 40 tahun ke atas mengalami risiko yang tinggi untuk

mengandung. Biasanya bayi yang dilahirkan mengalami Sindrom Down.

Tekanan darah tinggi, diabetes, kardiovaskular yang dialami oleh ibu yang

juga berisiko pada janin yang dikandungnya. Pada penelitian yang dilakukan

oleh Syahrir S (2008) menyatakan bahwa umur merupakan faktor risiko

terhadap kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues pada umur

<20 tahun atau >35 tahun 3,5 kali lebih besar dibanding penderita yang

berumur 20-35 tahun (Syahrir S, 2008).

b. Tinjauan Umum Tentang Paritas

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh ibu baik

lahir hidup maupun lahir mati dengan umur kehamilan 28 minggu. Ibu

dengan paritas tinggi menggambarkan tingkat kehamilan yag banyak dan

cenderung mengalami komplikasi kehamilan. Hal ini disebabkan karena

secara fisik jumlah paritas yang tinggi mengurangi kemampuan uterus

sebagai media pertumbuhan janin. Kerusakan pembuluh darah dinding

uterus akan memengaruhi sirkulasi nutrisi maupun oksigen ke janin

(Wiknojosastro, 1997).

Salah satu penelitian menunjukkan bahwa depresi ditemukan pada

kehamilan pertama. Mereka yang pernah mengalami baby blues (depresi

pasca persalinan) dianggap sangat rentan untuk mengalaminya kembali

(Marshall, 2004). Demikian juga pada penelitian Syahmawati yang


menyatakan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby

blues, besar risiko penderita baby blues yang primipara 3,6 kali lebih besar

dibanding penderita baby blues yang multipara. (Syahrir S, 2008).

c. Tinjauan Umum Tentang Riwayat Depresi

Wanita dengan riwayat depresi postpartum mempunyai risiko yang

bermakna dengan angka kekambuhan postpartum setinggi 50%

dibandingkan dengan wanita yang hanya mengalami episode diluar masa

nifas, wanita dengan riwayat depresi postpartum jelas mempunyai risiko

yang lebih besar. Untuk semua wanita (dengan atau tanpa riwayat depresi

berat), munculnya gejala depresi selama kehamilan meningkatkan risiko

baby blues (depresi postpartum) (Elvira S, 2006).

Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat depresi atau

gangguan emosional yang pernah diderita atau gangguan emosional pasca

persalinan (Safiuddin, 2001). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan

menjelaskan bahwa riwayat depresi dan gangguan emosi merupakan

perkiraan paling kuat akan munculnya depresi setelah melahirkan

(Marshall, 2004). Pada penelitian yang dilakukan oleh Syahrir S (2008)

menyatakan bahwa riwayat depresi merupakan faktor risiko terhadap

kejadian baby blues, besar risiko terhadap kejadian baby blues yang

memiliki riwayat depresi 22 kali lebih besar dibanding penderita baby blues

yang tidak mempunyai riwayat depresi (Syahrir S, 2008).

d. Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Kehamilan


Komplikasi kehamilan adalah kegawat daruratan obstetrik yang

dapat menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Obstetri Fisiologi. 1983).

Adapun Jenis Komplikasi Kehamilan yaitu:

1. Perdarahan

Perdarahan yang berhubungan dengan persalinan dibedakan

dalam dua kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan

perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan

pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi

sebelum kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan aborsi

atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat

disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma, atau

penyakit saluran kelamin bagian bawah (Obstetri Fisiologi. 1983).

2. Pre-Eklamsia

Per-eklamsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,

edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan yang dapat

menyebabkan kematian pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada

umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi pada

waktu antepartum, intrapartum, dan pascapersalinan (Obstetri Fisiologi.

1983).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda

yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan

sistolik harus 30 mm Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya

ditemukan, atau mencapai 140 mm Hg atau lebih dan tekanan diastolik


naik dengan 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mm Hg maka

diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Obstetri Fisiologi. 1983).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan

dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat

badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Kenaikan berat

badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap

normal tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali, hal ini perlu

menimbulkan kewaspadaan (Obstetri Fisiologi. 1983).

Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi

dalam kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa bentuk

protein lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein dalam

urine, tetapi tidak melebihi 0,3 gr dalam 24 jam. Proteinuria

menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut sehingga

memerlukan perhatian dan penanganan segera (Obstetri Fisiologi.

1983).

Penyebab pre-eklamsi sampai sekarang belum diketahui dengan

pasti. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab

penyakit ini, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang

memuaskan. Diduga penyebab hipertensi dalam kehamilan secara

patologi terjadi karena akibat implantasi sehingga timbul iskemia

plasenta yang diikuti sindroma inflamasi dan risiko meningkat pada

hamil kembar, penyakit trombolas, diabetes mellitus, faktor herediter

dan masalah vaskuler (Saifuddin, 2000).


3. Infeksi

Infeksi pasca persalinan ialah meningkatnya suhu tubuh > 38ºC

dan demam berturut-turut selama dua hari sesudah persalinan dan yang

disertai keluarnya cairan yang berbau dari liang rahim. Infeksi jalan lahir

dapat terjadi pada ibu bersalin yang pertolongan persalinannya tidak

bersih atau pada wanita yang menggugurkan kandungan dengan cara

berbahaya. Tanda-tandanya adalah panas tinggi lebih dari dua hari

setelah melahirkan atau setelah keguguran. Keadaan ini berbahaya dan

ibu perlu mendapatkan perawatan intensif. Infeksi ini dapat dicegah

dengan pertolongan persalinan yang bersih dan aman (Obstetri

Fisiologi. 1983).

Berdasarkan hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit

Bersalin Pertiwi menyatakan bahwa komplikasi kehamilan merupakan

faktor risiko terhadap kejaidan baby blues, besar risiko penderita baby

blues yang memiliki komplikasi kehamilan 5,9 kali lebih besar

dibanding penderita baby blues yang tidak mempunyai komplikasi

kehamilan (Syahrir S, 2008).

e. Tinjauan Umum Tentang Komplikasi Persalinan

Komplikasi pasca persalinan yang biasa terjadi adalah keadaan yang

membahayakan janin seperti berkurangnya aliran oksigen, plasenta yang

tidak berfungsi dengan baik atau terpisah dari rahim, tekanan atatu

kekusutan pada tali pusar, aktivitas rahim yang panjang dan berlebihan atau
infeksi janin, cacat, perdarahan, serta penyakit pada ibu (anemia, hipertensi,

penyakit jantung, tekanan darah rendah yang tidak wajar), distosia bahu,

rahim robek, inverse rahim, luka goresan pada vagina dan leher rahim,

perdarahan pasca kelahiran, serta infeksi pasca kelahiran (Marshall, 2000).

Hampir 20% pada wanita hamil takut terhadap suatu persalinan

sedangkan tingkatan nyeri persalinan sampai bentuk yang paling berat

dirasakan sebagai hal yang tidak menyenangkan secara psikis dan ini tidak

dapat diterima oleh sekita 30% wanita (Mathai M, 2000). Penelitian yang

dilakukan oleh Jacobson (1987) dan Playfair (1981) menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna, yaitu bahwa baby blues lebih banyak dialami

oleh wanita dengan riwayat komplikasi obstetric yang kurang baik. Selain

itu, dari hasil penelitian Syahrir S (2008) di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi

menyatakan bahwa komplikasi persalinan merupakan faktor risiko terhadap

kejadian baby blues, besar risiko penderita baby blues yang memiliki

komplikasi persalinan 5,9 kali lebih besar dibanding penderita baby blues

yang tidak mempunyai komplikasi persalinan (Syahrir S, 2008).

f. Tinjauan Umum Tentang Dukungan Suami

Interaksi pasien dengan lingkungannya merupakan faktor

pendukung terjadinya proses kelahiran normal. Suami adalah orang terdekat

yang menyebabkan proses kehamilan namun kehadiran suami dalam

persalinan masih janggal. Beberapa tempat [elyanan persalinan belum

memperbolehkan kehadiran suami dalam persalinan istrinya, padahal


beberapa peneltian di berbagai Negara telah membuktikan bahwa wanita

yang melahirkan yang didampingi selama persalinan baik oleh suami,

kerababt wanita maupun tenaga khusus yang dilatih untuk itu

menunjukkkan manfaat yang sangat banyak (Kusmiyanti dkk, 2004).

Presentase dukungan suami dengan kejadian Postpartum Blues

pada ibu primipara yaitu responden yang menyatakan dukungan dari suami

kurang 4 orang sebanyak (16%), dukungan suami yang dikategorikan

sedang mempunyai frekuensi 15 orang sebanyak (60%) dan dukungan

suami yang dikategorikan tinggi 6 orang sebanyak (24%). Dukungan sosial

(suami) merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang di dalamnya

terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang

bersifat nyata, bantuan tersebut akan menempatkan individu-individu yang

terlibat dalam sistem sosial yang pada akhirnya akan dapat memberikan

cinta, perhatian maupun sense of attachment baik pada keluarga sosial

maupun pasangan (Fatimah S, 2009).

Dukungan suami terhadap istrinya bisa di lakukan dengan

membantu istri dalam perawatan bayi misalnya ketika ibu menyusui

bayinya, sang ayah tidak hanya tidur sepanjang malam. Ayah bisa

menemani ibu dan bayi, mengangkat bayi dari tempat tidurnya, mengganti

popok bayi bila perlu, memberikan bayi pada ibu saat jam menyusui, dan

mengembalikan bayi ke tempat tidurnya ketika bayi telah tertidur kembali.

Dukungan suami sangat penting dan tidak bisa diremehkan dan yang tak

kalah penting membangun suasana positif, dimana istri merasakan hari-hari


pertama yang melelahkan. Oleh sebab itu dukungan atau sikap positif dari

pasangan dan keluarga akan memberi kekuatan tersendiri bagi ibu (Fatimah

S, 2009).

Peranan suami selama kehamilan, persalinan, dan perawatan bayi

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian baby blues. Maka

upaya untuk meningkatkan dukungan suami selama proses tersebut

diperkirakan apat menurunkan kejadian baby blues (Alfiben, 2000). Dalam

penelitian yang dilakukan oleh Syamawati bahwa tidak adanya dukungan

suami merupakan faktor risiko terhadap kejadian baby blues, besar risiko

penderita baby blues tanpa dukungan dari suami 24 kali lebih besar

dibanding penderita baby blues yang mendapatkan dukungan dari suami

(Syahrir S, 2008). Maka dari itu perlu adanya peningkatan peranan suami

sebagai pendamping dalam proses persalinan secara kontinyu guna

menurunkan angka kejadian baby blues.

g. Tinjauan Umum Tentang Validasi Edinburgh Postnatal Depression

Scale (EPDS)

Riset yang dilakukan di Universitas Edinburgh telah menghasilkan

kuesioner khusus untuk membantu tenaga kesehatan menilai apakah

seorang wanita menderita depresi pasca melahirkan (Syahrir, 2008). Di luar

negeri skrining untuk mendeteksi gangguan mood/ depresi sudah

merupakan acuan pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk

skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner dengan sebagai alat


bantu. Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner

dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intenstas perubahan

perasaan depresi selama 7 hari pasca persalinan. Pertanyaan-pertanyaannya

berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta

mencakup hal-hal lain yang terdapat pada baby blues (Iskandar, 2007)

Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap

pertanyaan memilki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor

dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu

pasca persalinan saat itu (Mayu, 2004). Nilai skoring yang dianggap positif

(Cut Of Point) depresi pasca persalinan para peneliti memberikan nilai

bervariasi 9 sampai 13. Nilai skor ≥13 pada skala ini, dianggap pasien

memilki kecenderungan untuk mengalami depress. EPDS telah diakui

dapat mendetksi depresi pasca persalinan pada sampel yang diambil dari

masyarakat. Dengan menggunakan nilai ambang 12/13, skala tersebut

memilki sensitivitas 68% sampai 86% spesifitas sebesar 78% sampai 96%.

Skala ini terbukti memilki sensitivitas dan spesifitas baik untuk membantu

penilaian diagnosis psikiatri yang diakui dan diterapkan pemakaiannya di

Inggris dan Australia (Alfiben, 2000). Dalam melengkapi kuesioner

tersebut sebaiknya ibu tidak ditemani oleh anggota keluarga yang lain, hal

ini dilakukan untuk memberikan hasil yang lebih baik. Pertanyaan harus

dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5

menit (Rianta, 2004). EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa

Negara seperti Belanda, swedia, Australia, italia, dan Indonesia. EPDS


dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan ila

hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian

(Iskandar, 2007).

Studi Caldwell dan Antonucci menemukan pada sampel 48 ibu-

ibu remaja bahwa usia, dukungan status sosial ekonomi keluarga, secara

signifikan berhubungan dengan simtom-simtom depresi pasca persalinan.

Birkeland dan kawan-kawan meneliti depresi pasca persalinan dengan

menggunakan Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) yang

merupakan self report untuk mengukur simtom depresi mendapatkan skor

EPDS 0,83 (Reid V dkk, 2007).

Patricia Hannah dan kawan-kawan meneliti 217 pasien depresi

pasca persalinan dengan menggunakan EPDS pada hari ketiga

dan minggu keenam pasca persalinan, mendapatkan adanya korelasi

positif yang signifikan dari kedua skor tersebut, bersama-sama dengan

profil gejala yang sama. Dari 25 wanita menderita depresi pasca persalinan

(skor EPDS minggu keenam adalah 13), 17 memiliki gejala-gejala yang

sama pada minggu pertama pasca persalinan (skor EPDS hari ketiga adalah

10) (Sari LS, 2009).

Studi Cox dan kawan-kawan mendapatkan bahwa usia rata-rata

depresi pasca persalinan adalah 26 tahun, 75% menjalani kelahiran normal,

15% menjalani secsio sesarea dan 10% menjalani kelahiran forcep.

Sebagian besar sudah menikah (81%), sedangkan 13% memiliki mitra

permanen. Hanya 6% yang merupakan orangtua tunggal. Prevalensi


seumur hidup untuk depresi berat pada populasi umum adalah sekitar 10%,

pada wanita sekitar 25%. Paling sedikit 10% dari wanita menderita

gangguan mood yang berhubungan dengan periode postpartum. Sedangkan

angka prevalensi depresi pasca persalinan bervariasi antara 1 permil

sampai 15% dari angka ibu melahirkan tergantung berat ringannya

gangguan mental yang menjadi objek penelitian. Penelitian lainnya

mendapatkan prevalensi depresi pasca persalinan yang lebih tinggi, yaitu

23,3% - 36,7%. Depresi pasca persalinan terjadi pada sekitar 1 dari 10

wanita hamil dan biasanya tidak terdiagnosa (Sari LS, 2009).


BAB III
PENUTUP

Ringkasan Baby blues syndrome atau sering disebut juga dengan istilah
maternity blues atau post partum blues adalah gangguan emosi ringan yang
biasanya terjadi dalam kurun waktu 2 minggu atau 14 hari setelah ibu melahirkan.
Banyak faktor yang bisa menyebabkan baby blue syndrome, yaitu : dari ibu, bayi
yang di lahirkan dan lingkungan sekitar. Ketidakseimbangan hormonal, hormon
thyroid, perubahan gaya hidup juga dilaporkan sebagai faktor yang menyebabkan
baby blue syndrome. Baby blues ditandai perasaan sedih, seperti menangis,
perasaan kesepian atu menolak bayi, cemas, bingung, lelah, merasa gagal dan tidak
bisa tidur. Baby blues relatif ringan dan biasanya berlangsung 2 minggu.
Perbedaan dengan syndrome of postpartum distress adalah pada frekuensi,
intensitas dan lamanya durasi gejala. Dalam postpartum depression, gejala yang
lebih sering, lebih intens dan lebih lama. Seseorang terdiagnosis Baby Blues
Syndrome apabila terlihat secara psikologis kejiwaannya seperti di bawah ini.
Perasaan cemas, khawatir ataupun was was yang berlebihan, sedih, murung,
dan sering menangis tanpa ada sebab (tidak jelas penyebabnya). Seringkali merasa
kelelahan dan sakit kepala dalam beberapa kasus sering migrain. Perasaan
ketidakmampuan, misalnya dalam mengurus anak. Adanya perasaan putus asa
Jika pasien mengalaminya lebih dari 2 minggu, bisa jadi pasien mengalami
Post partum Depression. Apabila gejala diatas tidak disadari dan lama kelamaan
tekanan atau stres yang dirasakan semakin kuat atau semakin besar maka penderita
akan mengalami depresi pasca melahirkan yang berat.Meskipun gejalanya cukup
ringan bila dibandingkan dengan postpartum depression, bukan berarti sindrom ini
bisa di abaikan begitu saja. Penanganan yang bisa dilakukan antara lain : istirahat
yang cukup, berolahraga teratur, mengkonsumsi makanan yang bergizi, dan yang
paling penting adalah melakukan relaksasi agar emosi tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA

Alfiben, 2000. Efektifitas Peningkatan Dukungan Suami Dalam Menurunkan


Terjadinya Depresi Postpartum: (Tesis) Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta.

Elvira S. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI; Jakarta.

Fatimah, Sitti. 2009. Hubungan Dukungan Suami dengan Kejadian Postpartum


Blues pada Ibu Primipara di Ruang Bugenvile RSUD Tugurejo Semarang:
(Artikel Riset Keperawatan) Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas di Ponegoro; Semarang

Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum Blues.


http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal
akses 4 Desember 2011)

Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for
Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of
Obstetricians and Gynecologists.

Kusmiyanti Margaretha dkk. 2004.Pengaruh Pendampingan Keluarga Selama


Proses Persalinan Terhadap Keberhasilan Persalinan di Pelayanan
Kesehatan X Tahun 2004. Pascasarjana Kekhususan Kesehatan
Reproduksi; FKM UI.

Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1998. Vol.22. Nomor 2. Hlm 49-57;
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Marshall, Fiona. 2004. Depresi Pasca Melahirkan . Arcan; Jakarta.

Marshall, Connie. 2000. Awal Menjadi Seorang Ibu. Arcan; Jakarta.

Mathai M, Sanghvi H, Guidotti RJ. 2000. Normal Labour and Childbirth. In :


Manging Complication In pregnancy and Childbirth : A Guide For
Midwivwes and Doctor. World Health Organization.

Mayla, Freyja, 2007. Baby Blues Syndrome. http://www.freyjamayla.blogspot.com


(tanggal akses 9 Desember 2011)

National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression.


http://www.nmha.org. (Diakses pada tanggal 17 Desember 2011)

Norhana SW, 1995. Pendekatan Psychiatry Liaison pada Depresi Pasca Partus.
Indonesian Psychiatric Quarterly ; XXVIII ;4:91-8.
Obstetri Fisiologi. 1983. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran Badung.

Papayungan D, 2005. Pendekatan Consultation-Liaison Psychiatry


pada Penatalaksanaan Depresi Pasca Bersalin Indonesian Psychiatric
Quarterly ; 4 : 79-92.

Rianta, Trika. 2004. Efektifitas Pendampingan Suami Pada Kala II Persalinan dan
Kejadian Depresi Pasca Persalinan. (Skripsi) Program Pendidikan Dokter
Spesialis I (PPDS I) Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar.

Reid V, Oliver MM, 2007. Postpartum Depression in Adolescent Mothers : An


Integrative Review of the Literature. Journal of Pediatric Health Care ; 21
: 289-98.

Saifuddin AB, Adriaans G, Wiknojosastro GH, Waspodo D. 2000. Persalinan


Normal. Dalam : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal., Cetakan ke-2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; Jakarta.

Sari LS, 2009. Sindroma Depresi Pasca Persalinan Di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan. (Tesis) Bidang Ilmu Kedokteran Jiwa pada
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan.

Syahrir S, 2008. Faktor Risiko Baby Blues di Rumah sakit Bersalin Pertiwi Propinsi
Sulwasesi Selatan Tahun 2007.(Skripsi) Program Studi Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.

Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Deoression.


N Engl J Med ; 347 : 194 -99.

Wicaksono, Aries. 2007. Cara Mengatasi Baby Blues Syndrome.


http://www.liputan6.com/kesehatan/denpasar (tanggal akses, 16 Desember 2011)

Wiknojosastro H, 1996. Fisiologi dan Meaknisme Persalinan Normal. Dalam : Ilmu


Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
Jakarta.

Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus “Postpartum


Blues” di RSU Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia (POGI).
Berikut adalah perbedaan gejala klinis dari Baby blue syndrome, Postpartum
Deppression dan Postpartum Psychotic Baby Blue Syndrome melahirkan
Gangguan suasana hati & pikiran (Mood) Munculnya rasa sedih Murung,
gelisah, tidak nyaman Kebingungan yang subjektif Menjadi mudah/sering
menangis Kadang sulit tidur Terjadi 3-5 hari setelah melahirkan
Berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu Tanpa pemicu
khusus Tidak dipengaruhi kondisi sosial budaya dan tingkat ekonomi Postpartum
Deppression melahirkan Gangguan suasana hati & pikiran, dengan perasaan
tertekan yang merata Mudah/sering menangis Hampir selalu sulit tidur
Terjadi antara 3-6 bulan setelah melahirkan, biasanya 12 minggu Berlangsung
selama beberapa bulan, bila tidak mendapatkan perawatan bisa mencapai beberapa
tahun Pemicu utama terjadi bila tidak mendapatkan dukungan dari suami
dan/atau anggota keluarga Postpartum Psychotic Terjadi pada 0,1-0,2% ibu
melahirkan Depresi dengan gangguan mood Khayalan yang kacau (bayi cacat/
meninggal, mengingkari kelahiran, menganggap dirinya belum menikah, perawan,
terus menerus meragukan keyakinan diri, mudah terpengaruh, memberontak)
Mengeluh letih, tidak bisa tidur, gelisah, menangis, emosi tidak terkendali, curiga,
bingung, bukan dirinya sendiri, kata-kata menyakitkan, obsesi pada kesehatan bayi.
Mengeluh tidak bisa

Terjadi pada 30-75% ibu Terjadi pada 10-15% ibu

Bisa terjadi pada orang yang tidak pernah dan berasal dari anggota keluarganya
yang tidak pernah mengalami penyimpangan mood Tidak berpikir ingin bunuh
diri Jarang ada yang berpikir ingin menyakiti sang bayi Hampir tidak pernah
merasa bersalah dan tidak berdaya. Bisa kembali normal dengan sendirinya bila
dukungan dan bantuan anggota keluarga lain bisa membuat sang ibu baru tersebut
tenang
Sangat dipengaruhi kondisi sosial budaya dan tingkat ekonomi Sangat erat
hubungannya dengan pengalaman penyimpangan mood yang pernah/sedang
dialami. Bisa terjadi pada ibu yang anggota keluarga lainnya pernah mengalami
penyimpangan mood. Kadang berpikir ingin bunuh diri. Sering berpikir ingin
menyakiti sang bayi Sering merasa berlebihan merasa bersalah dan tidak berdaya
Perlu mendapatkan bantuan dan treatment
berdiri, tidak bisa berjalan/bergerak Terjadi beberapa hari, rata-rata 2-3 minggu
setelah kelahiran, hampir selalu dalam kurun 8 minggu 50% berasal dari keluarga
yang pernah mengalami penyimpangan mood Ingin bunuh diri atau membunuh
sang bayi. Bisa merasa ada suarasuara yang menyuruhnya bunuh diri atau
membunuh sang bayi Dari populasi penderita, 5% bunuh diri, 4 % membunuh
bayinya, 67% mengalami kejadian kedua kali penyimpangan emosional (affective
disorder) sepanjang tahun Proses kelahiran menjadi salah satu ketegangan yang
berkembang menjadi penyimpangan
mood yang hebat Harus mendapatkan bantuan, pengawasan dan treatment Tabel
2.1 Perbedaan Gejala Kinis dari Baby Blue Syndrome, Postpartum Deppression dan
Postpartum Psychotic 1
Berikut adalah perbedaan antara baby blues syndrome dengan post partum
depression. Karakteristik Insiden Onset Durasi Hari sampai minggu Stressor yang
berhubungan Pengaruh Budaya Riwayat Mood Disorder Riwayat Keluarga Mood
Disorder Rasa Sedih Mood Lability ya Sosial dan Baby Blues Syndrome 30-75%
pada ibu yang melahirkan 3-5 hari setelah melahirkan Post Patum Depression 10-
15% pada ibu yang melahirkan 3-6 bulan setelah melahirkan Minggu sampai
bulanan jika tidak mendapat perawatan Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan
Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan ya Ada terutama kurang nya dukungan
Ada hubungan yang kuat Ada hubungan yang kuat Ada beberapa hubungan ya
Sering pada awalnya kemudian depresi secara bertahap
Anhedonia Gangguan Tidur Keinginan Diri Keinginan untuk Menyakiti Bayi
Adanya Perasaan bersalah dan ketidakmampuan untuk Bunuh
Tidak Kadang-kadang Tidak ada Jarang Tidak ada dan jika ada biasanya ringan
Sering Sering Kadang-kadang Sering Sering dan biasanya berat

Tabel 2.2 Perbedaan antara Baby Blues Syndrome dengan Post Partum Depression
8

Anda mungkin juga menyukai