Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR IBU NIFAS


2.1.1 Definisi
Masa nifas ( Puerpenium ) adalah masa yang dimulai setelah plasenta
keluar dan berakhir ketika alat – alat kandungan kembali seperti keadaan
semula ( sebelum hamil ). Masa ini berlangsung selama kira – kira 6 minggu (
Sulistyawati, 2019).
Menurut Rustam Mochtar dalam bukunya yang berjudul Sinopsis Obsetri
Jilid I, mengatakan bahwa masa nifas ( puerpenium ) adalah masa pulih
kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat – alat kandungan kembali
seperti pra-hamil. Lamanya masa nifas ini yaitu 6-8 minggu.

2.1.2 Tahapan Masa Nifas

Masa nifas dibagi menjadi 3 tahap yaitu puerpenium dini, puerpenium


intermedial, dan remote puerpenium.
a. Puerpenium Dini
Puerpinium dini merupakan masa kepulihan, yang dalam hal ini ibu telah
diperbolehkan berdiri dan berjalan – jalan.
b. Puerpenium Intermedial
Puerpenium intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat
genetalia, yang lamanya sekitar 6-8 minggu.
c. Remote Puerpenium
Remote puerpenium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan
sehat sempurna, terutama bila selama hamil atau waktu persalinan
mempunya komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung
selama berminggu-minggu, bulanan, bahkan tahunan.
( Sulistyawati, 2019).
2.1.3 Tujuan Asuhan Masa Nifas
Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan untuk :
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi
Dengan diberikanya asuhan, ibu akan mendapatkan fasilitas dan
dukungan dalam upaya untuk menyesuaikan peran barunya sebagai ibu
dan pendamping keluarga dalam membuat bentuk dan pola baru dengan
kelahiran berikutnya.
b. Pencegahan, diagnose dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu
Dengan diberikannya asuhan pada ibu nifas, kemungkinan munculnya
permasalahan dan komplikasi akan lebih cepat terdeteksi sehingga
penanganannya pun akan dapat lebih maksimal.
c. Merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli bilamana perlu
Meskipun ibu dan keluarga mengetahui ada permasalahan kesehatan
pada ibu nifas yang memerlukan rujukan, namun tidak semua keputusan
yang diambil tepat, misalnya mereka lebih memilih untuk tidak dating ke
fasilitas pelayanan kesehatan karena pertimbangan tertentu.
d. Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta memungkinkan ibu
Untuk mampu melaksanakan perannya dalam situasi keluarga dan budaya
yang khusus.
e. Imunisasi ibu terhadap tetanus
Dengan asuhan yang maksimal, kejadian tetanus dapat dihindari,
meskipun untuk saat ini angka kejadian tetanus sudah banyak mengalami
penurunan.
f. Mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makanan
Anak, serta peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu
dan anak. ( Sulistyawati, 2019).
2.1.4 Involusi Alat-Alat Kandungan Pada Ibu Nifas
a. Uterus
Secara berangsur-angsur menjadi kecil ( involusi ) sehingga akhirnya
kembali seperti sebelum hamil.

Involusi TFU Berat Uterus


Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gram
Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 gram
1 minggu Pertengahan pusat simfisis 500 gram
2 minggu Tidak teraba diatas simfibis 350 gram
6 minggu Bertambah kecil 50 gram
8 minggu Sebesar normal 30 gram

b. Bekas implantasi uri


Placental bed mengecil karena kontraksi dan menonjol ke kavum uteri
dengan diameter 7,5 cm. Sesudah 2 minggu menjadi 3,5 cm, pada minggu
keenam 2,4 cm, dan akhirnya pulih.
c. Luka –luka
Pada jalan lahir bila tidak disertai infeksi akan sembuh dalam 6-7 hari.
d. Rasa sakit
Disebut after pains (meriang atau mules-mules) disebabkan kontraksi
rahim, biasanya berlangsung 2-4 hari pasca persalinan.
e. Lochea
Adalah cairan secret yang berasal dari kavum uteri dan vagina dalam
masa nifas.
1) Lochea rubra (cruenta ) : berisi darah segar dan sisa-sisa selaput
ketuban, sel – sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dan mekonium
selama 2 hari pasca persalinan.
2) Lochea Sanguinolenta : berwarna merah kuning berisi darah dan
lendir, hari ke 3-7 pasca persalinan.
3) Lochea Serosa : berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari
ke7-14 pasca persalinan.
4) Lochea Alba : cairan putih, setelah 2 minggu.
5) Lochea Purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau
busuk.
6) Lochiostasis : lochea tidak lancer keluar.
f. Serviks
Setelah persalinan, bentuk serviks agak menganga seperti corong
berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang terdapat
perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga
rahim, setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya
dapat dilalui 1 jari.
g. Ligamen – ligament
Ligament, fasia, dan diafragma felvis yang meregang pada waktu
persalinan, setelah bayi lahir, secara berangsur-angsur menjadi ciut dan
pulih kembali sehingga tidak jarang uterus jatuh ke belakang dan menjadi
retrofleksi, karena ligamentum rotundum menjadi kendur.
( Mochtar, 2020).
2.1.5 Penanganan Masa Nifas
Tindakan yang baik untuk asuhan masa nifas normal pada ibu :
a. Kebersihan Diri
1) Anjurkan menjaga kebersihan seluruh tubuh.
2) Mengajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah kelamin dengan
sabun dan air. Pastikan ia mengerti untuk membersihkan daerah
disekitar vulva terlebih dahulu dari depan kebelakang baru dilanjutkan
ke daerah sekitar anus.
3) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya 2 kali sehari.
Kain dapa digunakan ulang jika telah dicuci dengan baik, dikeringkan
di bawah matahari.
b. Istirahat
1) Anjurkan ibu untuk istirahat cukup untuk mencegah kelelahan yang
berlebihan.
2) Sarankan ibu untuk kembali ke kegiatan – kegiatan rumah tangga
biasa secara perlahan – lahan, serta untuk tidur siang atau beristirahat
selagi bayi tidur.
c. Gizi
Ibu menyusui harus :
1) Mengkonsumsi tambahan 500 kalori setiap hari.
2) Makan dengan diet berimbang untuk mendapatkan protein, mineral,
dan vitamin yang cukup.
3) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari ( anjurkan ibu untuk minum
setiap kali menyusui).
4) Tablet zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi setidaknya
selama 40 hari pasca persalinan.
5) Minum kapsul vit. A (200.000 unit) agar bisa memberikan vitamin A
kepada bayinya melalui ASInya.
d. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering.
2) Mengenakan BH yang menyokong payudara.
3) Apabila putting susu lecet, oleskan kolostrum atau ASI pada sekitar
puting susu setiap kali selesai menyususi.
e. Hubungan perkawinan dan rumah tangga
Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah
merah berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya kedalam
vagina tanpa rasa nyeri. Begitu darah merah berhenti dan tidak merasakan
ketidaknyamanan, aman untuk mulai melakukan hubungan suami istri
kapan saja ibu siap.
g. Keluarga berencana
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun
sebelum ibu hamil kembali. Namun, petugas kesehatan dapat membantu
merencanakan tentang keluarganya dengan mengajarkan kepada mereka
cara mecegah kehamilan yang tidak diinginkan.
h. Psikologis
1) Talking in : fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri,
pengalaman waktu melahirkan diceritakannya, kelelahan membuat ibu
cukup istirahat untuk mencegah gejala kurang tidur.
2) Talking hold : ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawab merawat bayi, perasaan sangat sensitif sehingga
mudah tersinggung jadi komunikasi kurang hati – hati, ibu butuh
dukungan untuk merawat diri dan bayinya.
3) Letting go : ibu sudah menerima tanggung jawab akan peran barunya,
ibu sudah menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya,
keinginan untuk merawat bayinya sudah meningkat pada fase ini.
WOC SC
SC

Luka Post Sectio caesarea Kontraksi uterus Hormon Saat persalinan spingter Ketidaksiapan ibu
prolaktin uretra ditekan oleh memiliki seorang
merangsang kepala janin dan terjadi bayi
Kuat Lemah
produksi air spasme otot
Nyeri Kerusakan
integritas susu
akut Tidak mau mengasuh
jaringan Edema kandung dan merawat bayi
Tidak terjadi Perdarahan Hormon kemih
perdarahan oksitosin
Kesulitan untuk
yang menyebabkan
bergerak dan Resiko abnormal Resiko kurang mio epitel Sulit kencing Defisit pengetahuan
pemenuhan ADL infeksi volume cairan kelenjar susu berhubungan dengan tidak
berkontraksi mengenal atau familiar dengan
Gangguan sumber informasi tentang cara
Air susu keluar Sumbatan Kolostrum eliminasi urin perawatan bayi.
Defisit Intoleransi
aktifitas yang mengering
perawatan
Bayi menyusu
diri
Bendungan Laktasi Ditekan dengan obat
Lama proses
Menyusui efektif cripsa, sehingga ASI
penyembuhan luka
ASI tidak Mastitis tidak di produksi
keluar
Jam tidur berubah
Neri akut Terjadi karena
Ketidakefektifan penyakit HIV yang
Gangguan pola tidur menyusui diderita ibu
2.2 KONSEP DASAR SECTIO CAESARIA
2.2.1 Definisi
Sectio caesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka perut dan dinding rahim. Sectio caesaria adalah pembedahan untuk
melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Seksio
sesaria adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat badan di
atas 500 gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh
(Prawiro, Sarwono, 2020).
Sectio caesaria adalah suatu hesteromia untuk melahirkan janin dari
dalam rahim ( Mochtar,2020).
2.2.2 Klasifikasi

a. Sectio caesarea transperitonealis profunda dengan insisi di segmen bawah


uterus. Tipe ini yang paling banyak dilakukan. Segmen bawah uterus
tidak begitu banyak mengandung pembuluh darah dibanding segmen atas
sehingga resiko perdarahan lebih kecil. Karena segmen bawah terletak
diluar kavum peritonei, kemungkinan infeksi pasca bedah juga tidak
begitu besar. Di samping itu resiko rupture uteri pada kehamilan dan
persalinan berikutnya akan lebih kecil jika jaringan parut hanya terbatas
pada segmen bawah uterus. Kesembuhan luka biasanya baik karena
segmen bawah merupakan bagian uterus yang tidak begitu aktif.

- Indikasi SC yang berasal dari ibu:

1) Sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk


2) Terdapat kesempitan panggul
3) Solusio Plasenta tingkat I-II
4) Komplikasi kehamilan yaitu preeklamsia, eklamsia
5) Setelah operasi plastic vaginam:
a) Bekas luka / sikatriks yang luas
b) Fistula vesika-vaginal, rekto-vaginal
6) Gangguan perjalanan persalinan, karena :
a) Kista ovarium
b) Mioma uteri
c) Karsinoma serviks
d) Kekakuan serviks
e) Rupture uteri iminem
7) Kehamilan yang disertai penyakit seperti :
a) Penyakit jantung
b) DM
c) HIV

- Indikasi yang berasal dari janin :

1) Fetal distress/ gawat janin


2) Malpresentasi dan malposisi kedudukan janin
3) Prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil
4) Kegagalan persalinan vakumatau forseps ekstraksi

- Pertolongan persalinan SC tidak akan dipertimbangkan pada :

1) Janin yang telah meninggal


2) Kelainan congenital
3) Terdapat kesempitan panggul absolute (CD ≤ 5 cm)
b. Sectio sesarea klasik (korporal) menurut Sanger
Insisi dibuat pada korpus uteri. Dilakukan kala segmen bawah tidak
terjangkau karena melekat eratnya dinding uterus pada perut karena
section sesarea yang sudah-sudah, insisi disegmen bawah uterus
mengandung bahaya perdarahan banyak berhubung dengan letaknya
plasenta pada plasenta previa, atau apabila dikandung maksud untuk
melakukan histerektomi setelah janin dilahirkan.
Indikasi :
1) SC yang dengan sterilisasi
2) Terdapat pembuluh darah besar sehingga diperkirakan akan terjadi
robekan segmen bawah rahim dan perdarahan
3) Janin kepala besar dalam letak lintang
4) Kepala bayi telah masuk pintu atas panggul
Keuntungan :
1) Mudah dilakukan karena lapangan operasi relative luas
Kerugian :
1) Kesembuhan luka operasi relative sulit
2) Kemungkinan terjadinya rupture uteri pada kehamilan berikutnya
lebih besar
3) Kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih
besar
c. Sectio sesarea ekstraperitoneal
Dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal, sekarang
tidak banyak dilakukan karena sulit dalam tehniknya dan seringkali terjadi
sobekan peritoneam.
d. Sectio sesarea histerektomi menurut Porro
Operasi SC Histerektomi dilakukan secara Histerektomi supra vaginal
untuk menyelamatkan jiwa ibu dan janin dengan indikasi :
1) SC disertai infeksi berat
2) SC dengan Antonio uteri dan perdarahan
3) SC disertai uterus coovelaire (solusio plasenta)

2.2.3 Komplikasi
a. Pada Ibu

Telah dikemukakan bahwa dengan kemajuan tehnik pembedahan,


dengan adanya antibiotika dan dengan persediaan darah yang cukup,
seksio sesaria sekarang jauh lebih aman daripada dahulu. Angka kematian
di rumah sakit dengan fasilitas yang baik dan tenaga-tenaga kompeten
kurang dari 2 per 1000.

Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas


pembedahan ialah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi untuk
melakukan pembedahan dan lamanya persalinan berlangsung. Tentang
faktor pertama, niscaya seorang wanita dengan plasenta previa dan
perdarahan banyak memikul resiko yang lebih besar daripada seorang
wanita lain yang mengalami seksio sesaria elektif karena disproporsi
sefalopelvik. Demikian pula makin lama persalina berlangsung makin
meningkat bahaya infeksi post operatif apalagi setelah ketuban pecah.
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul adalah :

1) Infeksi Puerperal

Komplikasi ini bisa bersifat ringan seperti kenaikan suhu selam


beberapa hari dalam masa nifas atau bersifat berat seperti peritonitis,
sepsis dan sebagainya. Infeksi post operatif terjadi bila sebelum
pembedahan sudah ada gejala-gejala infeksi intra partum, atau ada
faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu
(partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal
sebelumnya). Bahaya infeksi sangat diperkecil dengan pemberian
antibiotika, akan tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama
seksio sesaria klasik dalam hal ini lebuh berbahaya daripada seksio
sesaria transperitonealis profunda.

2) Perdarahan

Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang-


cabang arteria uterine ikut terbuka atau karena atonia uteri.

3) Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kencing, embolisme


paru-paru, dan sebagainya sangat jarang terjadi. Suatu komplikasi
yang baru kemudian tampak , ialah kurang kuatnya perut pada dinding
uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
Kemungkinan peristiwa ini leih banyak ditemukan sesudah seksio
sesaria klasik.

b. Pada Anak

Seperti halnya dengan ibunya, nasib anak yang dilahirkan dengan seksio
sesaria banyak tergantung dari keadaan yang menjadi alasan untuk
melakukan seksio sesaria. Menurut statistic di Negara-negara pengawasan
antenatal dan intra natal yang baik, kematian prenatal pasca seksio sesaria
berkisar antara 4 dan 7 %.

2.2.4 Ibu nifas dengan HIV AIDS


HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat
menyebabkan AIDS. HIV termasuk keluarga virus retro yaitu virus yang
memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan
cara infeksi dengan cara yang berbeda (retro), yaitu dari RNA menjadi DNA,
yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah, membentuk pro virus
dan kemudian melakukan replikasi.
Kehamilan dengan HIV sangat mengancam penularan secara langsung
dari ibu ke janin, sehingga kehamilan dengan HIV sangat beresiko bagi bayi.
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibodi terhadap virus
tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-
HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk
mencari ada tidaknya antibodi IgG, merupakan hal yang sia-sia, karena uji ini
tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibodi ibu. Sebagian besar dari
bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibodi ibu
dan juga tidak membentuk sendiri antibodi terhadap virus, yang menunjukkan
status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR
untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang
dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa
neonatus (Yopan, 2020).
Menurut Yopan (2020), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan
risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum
yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076
dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa
pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV
mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%.
Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun
67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis
prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari
kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas
(Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan
85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu
positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk
mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antara lain:

1. Seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban


(mengurangi angka penularan sebesar 50%);
2. Pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4. Tidak memberi asi
2.2.4 Penatalaksanaan
a. Perawatan selama kelahiran sesarea (pre Op)
1) Persiapan fisik praoperatif dilakukan dengan mencukur rambut pubis,
memasang kateter untuk mengosongkan kandung kemih, dan memberi
obat preoperative sesuai resep. Antasida seringkali diberikan untuk
mencegah aspirasi akibat secresi asam lambung kedalam paru-paru
klien.
2) Cairan intravena mulai diberikan untuk mempertahankan hidrasi dan
menyediakan suatu saluran terbuka (openline) untuk pemberian
darah / obat yang diperlukan.
3) Sample darah dan urin diambil dan dikirim ke laboratorium untuk
dianalisis.
4) Selama preoperative orang terdekat didorong untuk terus bersama
wanita tersebut selama mungkin untuk memberikan dukungan
emosional secara berkelanjutan.
5) Bidan memberikan informasi esensial tentang prosedur, mengkaji
persepsi wanita dan pasangan atau suaminya tentang kelahiran
sesarea. Ketika wanita mengungkapkan , Bidan dapat
mengidentifikasi gangguan potensial konsep diri selama periode pasca
partum.
6) Jika ada waktu sebelum melahirkan, Bidan dapat mengajari wanita
tersebut tentang harapan pasca operasi, cara meredakan nyeri,
mengubah posisi, batuk dan napas dalam.
7) Tenaga Medis dikamar bedah bisa membantu mengatur posisi wanita
tersebut diatas meja operasi,. Adalah penting untuk mengatur posisi
wanita tersebut sehingga uterus berada pada posisi lateral untuk
menghindari penekanan pada vena cava inferior yang dapat
menurunkan perfusi plasenta.
8) Perawatan bayi didelegasi kepada dokter anak dan Bidan yang
melakukan resusitasi neonatus karena bayi ini dianggap beresiko
sampai ada bukti kondisi fisiologis bayi stabil setelah lahir.
b. Perawatan pasca partum (post Op)
1) Pengkajian keperawatan segera setelah melahirkan meliputi
pemulihan dari efek anastesi, status pasca operasi dan pasca
melahirkan dan derajat nyeri.
2) Kepatenan jalan napas dipertahankan dan posisi wanita tersebut diatur
untuk mencegah kemungkinan aspirasi.
3) Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit selama 1-2 jam sampai
wanita itu stabil. Kondisi balutan insisi, fundus dan jumlah lokea,
dikaji demikian pula masukan dan haluaran.
4) Bidan membantu wanita tersebut untuk mengubah posisi dan
melakukan napas dalam serta melatih gerakan kaki. Obat-obatan
untuk mengatasi nyeri dapat diberikan
5) Masalah fisiologis selama beberapa hari pertama dapat didominasi
oleh nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas di usus halus dan kebutuhan
untuk menghilangkan nyeri.
6) Tindakan lain untuk mengupayakan kenyamanan, seperti mengubah
posisi, mengganjal insisi dengan bantal, memberi kompres panas pada
abdomen dan tehnik relaksasi.
7) Ambulasi dan upaya menghindari makanan yang menghasilkan gas
dan minuman berkarbonat bisa mengurangi nyeri yang disebabkan
gas.
8) Perawatan sehari-hari meliputi perawatan perineum, perawatan
payudara dan perawatan higienis rutin termasuk mandi siram setelah
balutan luka diangkat.
9) Setiap kali berdinas Bidan mengkaji tanda-tanda vital, insisi, fundus
uterus, dan lokia. Bunyi napas, bising usus, tanda homans, eliminasi
urine serta defekasi juga dikaji.
10) Rencana pulang terdiri dari informasi tentang diet, latihan fisik,
pembatasan aktifitas, perawatan payudara, aktifitas seksual dan
kontrasepsi, medikasi, dan tanda-tanda komplikasi serta perawatan
bayi.

c. Pemberian ASI pada bayi


Ibu dengan penyakit ini dianjurkan untuk tetap memberikan ASI
eksklusif di 6 bulan pertama kelahiran anak. Meski diperbolehkan, ibu tetap
harus melakukan pengobatan rutin guna mengurangi risiko penularan pada Si
Kecil. Saat anak menginjak usia 6 bulan, ibu dengan HIV dan AIDS harus
memberikan makanan lunak, dan berbagai cairan sebagai pengganti ASI.
Berbeda dengan ibu yang sehat, mereka dapat memberikan ASI hingga anak
berusia 2 tahun, serta makanan pendamping ASI saat anak menginjak usia 6
bulan. Selain perlu melakukan pengobatan secara rutin, anak juga perlu
melakukan pemeriksaan rutin guna memantau tumbuh kembang dan
kesehatannya.
Saat menyusui, lakukan perawatan secara bersamaan. Setelah usianya
6 bulan, sebaiknya hentikan pemberian ASI. Jangan berikan anak makanan
pendamping ASI, karena akan meningkatkan risiko penularan penyakit pada
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Bobak Lowdermilk, Jensen. 2020. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4,
ECG : Jakarta.
Carpenito, L.J. 2019. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC: Jakarta
Farrer Hellen, 2019, Perawatan Maternal, Alih Bahasa Andry Hartono, ECG :
Jakarta.
Johnson, Marion. 2021. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louis : Mosby.

Mansjoer, Arif, dkk. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Media Aesculaplus:
Jakarta.
Mc.Closkey. 2019. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louis : Mosby.

Mochtar, Rustam. 2020. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.


Jakarta : EGC.
NANDA International. 2019. Nursing Diagnosis 2015-2017. Jakarta : EGC.

Sulistyawati, Ari. 2019. Buku Ajar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas. Yogyakarta :
CV Andi Offset.
Winkjosastro Hanifa, 2021, Ilmu Kebidanan Edisi 3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirahardjo: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai