Anda di halaman 1dari 9

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA PRA KEMERDEKAAN

1. Teori Kedatangan Islam di Indonesia

Kedatangan Islam di Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di
Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim.
Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama
(da’i) dan pengembara sufi. Orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama itu tidak
bertendensi apapun selain bertanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama
mereka berlalu begitu saja. Tidak ada catatan sejarah atau prasasti pribadi yang sengaja dibuat
mereka untuk mengabadikan peran mereka, ditambah lagi wilayah Indonesia yang sangat luas
dengan perbedaan kondisi dan situasi. Oleh karena itu, terdapat beragam pendapat mengenai
kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara.

Pendapat Pertama, menurut Zainal Arifin Abbas, agama Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke-7 M (684 M). Pada tahun itu seorang pemimpin Arab datang ke Tiongkok, dan ia telah
mempunyai pengikut dari Sumatera Utara. Jadi, agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia di
Sumatera Utara. Pendapat Kedua, menurut Hamka, agama Islam masuk ke Indonesia pada tahun
674 M. Berdasarkan catatan Tiongkok, ketika itu ada seorang utusan Raja Arab bernama Ta Cheh
(kemungkinan Muawiyah bin Abi Sufyan) datang ke Kerajaan Ho Ling (Kaling/Kalingga) untuk
membuktikan keadilan, kemakmuran, dan keamanan pemerintah Ratu Shima di Jawa. Pendapat
Ketiga, menurut Juneid Parinduri yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
tahun 670 M. Sebab, di Barus Tapanuli ditemukan sebuah makam berangka Haa-Miim yang berati
tahun 670 M. Pendapat Keempat pada saat seminar di Medan tentang masuknya Islam ke Indonesia
tanggal 17-20 Maret 1963, yang berkesimpulan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-1 H
atau abad ke-7 M, langsung dari Arab. Sedangkan daerah pertama yang didatangi ialah pesisir
Sumatera.

Selain itu, terdapat tiga teori yang memaparkan tentang asal usul Islam yang masuk ke
Indonesia. Teori-teori tersebut yaitu;

a. Teori Gujarat

Teori Gujarat merupakan teori tertua yang menjelaskan tentang masuknya Islam di
nusantara. Dinamakan teori Gujarat karena bertolak dari pandangannya yang menerangkan bahwa
Islam masuk ke nusantara dari Gujarat, pada abad ke-13 M, dan pelakunya adalah pedagang India
muslim.

Bukti-bukti dari teori ini adalah sebagai berikut:

1) Bukti batu nisan sultan pertama Kerajaan Samudra Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat
pada tahun 1297. Relief nisan tersebut bersifat hinduistis, yang mempunyai kesamaan dengan nisan
yang terdapat di Gujarat.

2) Adanya kenyataan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara Indonesia-
Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa.
b. Teori Makkah

Teori Makkah dicetuskan oleh Hamka. Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa
Islam baru masuk pada abad ke-13. Sebab dalam kenyataannya, pada abad itu di nusantara telah
berdiri suatu kekuatan politik Islam. Maka pastinya Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7
atau abad ke-1 H. Pada tahun 674 M, telah ada perkampungan perdagangan Arab Islam di Pantai
Barat Sumatera, yang bersumber dari berita Tiongkok. Hal ini diterangkan dalam hasil “Seminar
Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan pada tahun 1963. Adapun isi seminar tersebut ialah sebagai
berikut:

1) Menurut sumber-sumber yang kita ketahui, untuk pertama kalinya, Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-1 H (abad ke-7 M), langsung dari Arab.
2) Daerah yang pertama didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera. Dan setelah
terbentuknya masyarakat Islam maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.
3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.
4) Para mubaligh Islam pada masa awal penyebaran Islam bertindak sebagai penyiar Islam
sekaligus saudagar.
5) Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai.
6) Kedatangan Islam ke Indonesia mendatangkan kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

c. Teori Persia

Pencetus teori P.A Hoesein Djajaningrat. Teori ini menerangkan bahwa agama Islam yang
masuk ke nusantara berasal dari Persia, yang singgah ke Gujarat, sedangkan waktunya sekitar abad
ke-13. Teori ini menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat
Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia. Diantaranya adalah sebagai
berikut:

1) Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas syahidnya Husein

2) Adanya kesamaan ajaran antara Syekh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran, Al-Hallaj. Meskipun Al-
Hallaj telah meninggal dunia pada tahun 310 H atau 922 M, tetapi ajarannya berkembang terus
dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syekh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat
mempelajarinya.

Namun, secara garis besar pendapat tentang teori masuknya Islam Indonesia dibagi menjadi
sebagai berikut:

a. Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck


Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat (bukan
dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik
as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.

b. Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang
mengadakan “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” di Medan tahun 1963. Hamka dan teman-
temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah (abad
ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat
internasionalsudah mulai jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M), melalui
selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan
Bani Umayyah di Asia Barat.[5]

c. Sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat


tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad
pertama Hijriyah atau abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah
di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan
politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik
kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia
Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[6]

Berdasarkan beberapa analisis diatas, terdapat titik temu mengenai teori-teori masuknya
Islam ke Indonesia yang dapat disimpulkan bahwa Islam masuk dan berkembang melalui jalan damai
(infiltrasi kultural) dan Islam tidak mengenal adanya misi, sebagaimana yang dijalankan oleh
kalangan Kristen dan Katolik.

2. Sejarah Awal Masuknya Islam Indonesia

Istilah “sejarah” menurut Sayid Quthub, bukan diartikan sebagai pristiwa-peristiwa


masalampau, melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan
nyata dan tidak nyata, yang menjalin seluruh bagian serta memberinya dinamisme dalam waktu dan
tempat. Dalam perspektif demikian, sejarah tidak bisa terlepas dari faktor pemahaman sang penafsir
sejarah, konteks ruang dan waktu, dan peristiwa-peristiwa terkait ketika sejarah tersebut
dipublikasikan. Oleh karena itu, sering terdapat perbedaan-perbedaan substansial pada penulisan
sejarah, baik nama tokoh, penyebutan tempat, penulisan tahun, bahkan narasi kejadian yang
menjadi fakta cerita pada setiap adegannya.

Bersamaan dengan para pedagang, datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui
jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang dari negeri-negrri di ketiga
bagian Benua Asia.Hal tersebut memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik, sehingga
terbentuklah perkampungan masyarakat muslim. Pertumbuhan perkampungan ini makin meluas
sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi membentuk struktur
pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu, kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan
Malik as-Sholeh.

Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui
saluran-saluran sebagai berikut.

a. Perdagangan yang mempergunakan sarana pelayaran.

b. Dakwah yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubalig
itu bisa jadi juga para sufi pengembara.

c. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim mubalig dengan anak bangsawan
Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat
muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya
dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar menikah
dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan,
syahbandar, qadi, dan lain-lain.

d. Pendidikan. Setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi
di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat
pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra
Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubalig
lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan,
yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik.
Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta: Sunan
Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu Kahfi; Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung
Jati yang kelak menjadi Sultan Banten Pertama.

e. Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula
para ulama, da’i dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi
penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin
Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa
mempunyai penasihat yang bergelar wali, yang terkenal adalah Walisongo.

Para sufi menyebarkan Islam melalui dua cara:

a. Dengan membentuk kader mubalig, agar mampu mengajarkan serta menyebarkan agama
Islam di daerah asalnya.

b. Melalui karya-karya tulis yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat.

f. Kesenian.

Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Walisongo, terutama sunan Kalijaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk islamisasi, seni
arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni busana.

Sedangkan menurut Uka Tjandrasasmita, saluran islamisasi yang berkembang ada enam
yaitu, saluran perdagangan, saluran, perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran
kesenian, dan saluran politik.[8] Pada abad ke-9, berdirilah kerajaan Islam yang tertua yaitu kerajaan
Perlak. Kemudian disusul dengan kerajaan-kerajaan yang lain yang memperngaruhi berkembangnya
Islam di nusantara. Adapun kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia adalah sebagai
berikut:

1. Kerajaan Perlak

Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak merupakan sebuah kerajaan dengan
masa pemerintahan yang cukup panjang yaitu dari tahun 840 sampai 1292. Berakhirnya ini lantaran
bergabung dengan kerajaan Samudra Pasai. Sejak pertama berdiri sampai bergabung dengan
kerajaan Samudra Pasai, ada 19 raja yang memerintah di kerajaan Perlak. Raja pertama ialah sultan
Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 Hatau 840-964 M). Sultan bernama asli Saiyid Abdul
Aziz ini, pada 1 Muharram 225 H, dinobatkan menjadi sultan kerajaan Perlak. Setelah pengangkatan
itu, bandar Perlak diubah menjadi bandar khalifah.
Kerajaan Perlak mengalami masa jaya saat pemerintahan sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H atau 1225-1263 M). Pada masa
pemerintahannya kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat, terutama dalam bidang pendidikan
Islam dan perluasan daklam islamiyah. Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II
Johan Berdaulat menikahkan dua putrinya, yakni putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan sultan
Malik al-Saleh dari Samudra Pasai serta putri Ratna Kumala dengan raja Tumasik (Singapura).
Kemudian, Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat digantikan oleh
sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H atau 1263-1292 M).
Inilah sultan terakhir dari kerajaan Perlak.

Setelah Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat wafat, kerajaan
Perlak disatukan dengan kerajaan Samudra Pasai, dengan rajanya bernama Muhammad Malikul
Dhahir (putra Sultan Malik al-Saleh dengan putri Ganggang Sari). Perlak merupakan kerajaan yang
sudah maju. Ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat
dari emas (dirham), perak (kupang), dan tembaga atau kuningan.

2. Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan samudra pasai di dirikan oleh Sultan Malik al-Shaleh, dan ia sekaligus sebagai raja
pertama pada abad ke-13. Kerajaan ini terletak di sebelah utara kerajaan perlak, di daerah lhok
semawe sekarang (pantai timur aceh). Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di
samudera pasai. Adapun para raja yang pernah memerintah di kerajaan samudra pasai adalah
sebagai berikut:

a. Malik al-Shaleh

Malik al-Shaleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan islam sekaligus berusaha


mengembangkan kerajaannya melalui perdagangan dan memperkuat angkatan perang. Pada masa
pemerintahannya, samudra pasai pun berkembang menjadi negara maritim yang kuat di selat
malaka.

b. Muhammad (Sultan Malik al-Tahir I)

Sultan malik al-shaleh I memerintah di kerajaan samudera pasai pada tahun 1297-1326 M.
Pada masa pemerintahannya, kerajaan perlak di satukan dengan kerajaan samudra pasai.

c. Malik al-Tahir II

Malik al-Tahir II memerintah di kerajaan Samudra Pasai pada tahun 1326-1348 M. Ia sangat
teguh memegang ajaran Islam sekaligus aktif menyiarkan Islam ke negri-negri sekitarnya. Alhasil,
Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran Islam. Pada masa pemerintahan Malik al-
Tahir II, Samudra Pasai memiliki armada laut, sehingga para pedagangb merasa aman singgah dan
berdagang di sekitar Samudra Pasai. Sayangnya, setelah muncul kerajaan Malaka, Samudra Pasai
mulai memudar. Pada tahun 1522, Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra
Pasai sebagai kerajaan maritim digantikan oleh kerajaan Aceh yang muncul selanjutnya.
3. Kerajaan Demak

Pada akhir abad XV, Raden Patah, murid Sunan Bonang, memaklumatkan berdirinya
keraja’an Demak,lepasdari keraja’an Majapahit. Sejak itulah, kerajaan Demak menadi kerajaan Islam
pertama di Jawa. Raden Patah diakuisebagai Raja pertama Demak dan mendapat gelar Sultan.
Demak ada di pesisir utara dengan lingkungan alamnya yang subur, yang semula adalah sebuah
kampung yang dalam adat lokal disebut gelagahwengi. Konon,tempat ini dijadikanpemukiman
muslim dibawah pimpnan Raden Patah, yang kehadirannyaditempat itu atas petunjuk seorang wali
bernama Sunan Rahmat atau Ampel. Raden Patah adalah seorang Putra Brawijaya dari ibunya,Putri
tiongkok (Cempa). Ketika Raden Patah masih dalam kandungan, ibunya dititipkan oleh Brawijaya
kepada gubernurdi Palembang. Disanalah, Raden Patah lahir. Tempat itu berkembang sebagai pusat
kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa sejak ahir abad ke-15 M.Setelah Raden Patah wafat pada
tahun 1518,ia digantikan oleh muhammad Yunus, yang juga dikenal denga nama Pati Unus atau
Pangeran Sabranglor. Ia mendapat gelar Sultan Demak II. Pati Unus digantikan oleh Pangeran
Trenggana.

Pada masa pemerintahan Pangeran Trenggana datanglah Syekh Nurullah atau Fatahillah
dari Pasai. Kemudian Nurullah diangkat sebagai Panglima Perang dandinikahkan dengan adik
perempuan pangeran Trenggono. Karena ancaman portugis dalam bidang ekonomi dan agama,
Demak meluaskan wilayah kekuasaannya ke Barat maupun Timur dibawah pimpinan Fatahillah.
Fatahillah pun mampu menghancurkan benteng pertahanan portugis. Fatahillah mengganti nama
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 juni 1927. Sedangkan sultan Trenggono wafat dalam
pertempuran di Pasuruan. Demak pun mengalami masa kejayaan pada masa kekuasaan sultan
Trenggono.

4. Kerajaan Cirebon

Kerajaan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sunan Gunung Jati. Semula, Cirebon adalah sebuah daerah dibawah kekuasaan Pajajaran. Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan pengaruh Islam di Jawa Barat, seperti Majalengka,
Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan Gunung Jati digantikan oleh
Panembahan Ratu, lalu digantikan Panembahan Giri Layang. Panembahan Giri Layang bisa dikatakan
sebagai penguasa kerajaan Cirebon terakhir. Sebab setelah itu, kerajaan Cirebon terbagi menjadi
dua, yakni Kasepuhan dan Kanoman.

5. Kerajaan Mataram

Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa Pajang, berupa pasukan kerajaan
dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya sudah terpenuhi, sebab dalam tradisi Jawa,
penyerahan seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M.
Sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya Seda Ing Krapyak, digantikan oleh putranya, Sultan
Agung (1613-1646 M). Pada masa pemerintahan sultan Agung inilah kontak bersenjata antara
kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M, ia digantikan oleh putranya
yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan pangeran Alit yang mendapat
dukungan dari para ulama’. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M.
Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-
pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Mataram.
6. Kerajaan Banten

Kerajaan Banten yang disultanioleh Maulana Hasanuddin yang memerintah pada tahun
1552-1570. Ia adalah Putra Fatahillah. Setelah Hasanuddin,pemerintahan Banten pemerintahan
Banten diteruskan oleh Panembahan Yusuf. Ia berusah memperluas wilayah Banten sekaligus
menyebarkan aqgama Islam. Panembahan Yusuf memerintah Banten selama 10 tahun. Ia wafat
karena jatuh sakit. Lantas,pemerintahan Banten dilanjutkan oleh Maulana Muhammad dengan gelar
Kanjeng Ratu Banten.Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran menyerang Palembang.

Maulana Muhammad digantikan oleh Abu Mufakir, yang digantikan oleh Abu Ma’ali. Sultan
Ageng Tirtayasa naik Tahta menggantikan Abu Ma’ali. Kerajaan Banten mencapai puncaknya pada
masa sultan Ageng Tirtayasa, yakni sekitar tahun 1651-1682. Kerajaan Banten akhirnya runtuh akibat
adanya perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya, Sultan Haji, yang berkompromi
dengan VOC. Sultan Ageng Tirtayasa pun bisa dikalahkan dan tertangkap.

7. Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh didirikan pada tahun 1204 dibawah pemerintahan Sultan Jihan Syah. Saat itu,
Aceh belum berdaulat, karena merupakan kerajaan kecil yang berada dibawah pengaruh Pedir.
Akhirnya, Aceh mampu melepaskan diri dari kekuasaan Pedir dan menjadi kerajaan yang berdaulat
penuh. Ketika itu Aceh diperintah oleh Sultan Muhayat Syah (1514-1528). Pusat kerajaan pun
dipindah ke Kutaraja.

Dalam kurun waktu 4 abad, Kerajaan Aceh dipimpin oleh raja-raja sebagai berikut:

a. Sultan Muhayat Syah atau Sultan Ibrahim

b. Sultan Salahudin

c. Sultan Alaudin Riyad Syah

d. Sultan Hasyim

e. Sultan Zainal Abidin

f. Sultan Alaudin Mansur Syah

g. Sultan Ali Ri’ayat Syah II

h. Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Aceh mencapai zaman keemasan dibawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (pada tahun (1607-1936 M).

8. Kerajaan Gowa dan Tallo

Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan ini terdiri atas dua kerajaan, yakni Gowa dan
Tallo. Kedua kerajaan ini pun bersatu. Raja Gowa, Daeng Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan
Alauddin. Sedangkan, Raja Tallo, Karaeng Mantoaya, menjadi perdana menteri bergelar Sultan
Abdullah. Karena pusat pemerintahan ada di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering kali disebut
Kerajaan Makassar. Karena posisinya yang strategis diantara wilayah barat dan timur nusantara,
maka Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur yang kaya
rempah-rempah.

9. Kerajaan Ternate dan Tidore

Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13, dengan rajanya
bernama Zainal Abidin (pada tahun 1486-1500 M). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan Giri di
Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya, dengan Sultan Mansur sebagai raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang, karena kaya rempah-
rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat hasil rempah-rempahnya, khususnya cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Sayangnya, kedamaian ini tidak berlangsung
selamanya. Setelah portugis dan spanyol datang ke Maluku, kedua kerajaan berhasil diadu domba.
Akibatnya, kedua kerajaan ini saling bersaing.

Portugis yang masuk ke Maluku pada tahun 1512 menjadikan Ternate sebagai sekutunya,
dengan membangun benteng Sao Paulo. Sedangkan Spanyol yang masuk ke Maluku pada tahun
1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya. Namun, setelah sadar bahwa mereka diadu domba,
hubungan kedua kerajaan pun membaik kembali. Sultan Khairun digantikan oleh Sultan Babullah
(1570-1583). Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan itu
tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Selain itu, Sultan Khairun juga berhasil memperluas daerah
kekuasaan Ternate hingga Filipina.[9]

3. Agama dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme

Semakin waktu berlalu, Islam semakin berkembang menjadi agama yang besar. Namun,
pada perkembangannya,Islam di Indonesia sedikit mengalami hambatan, hal ini dikarenakan
adanya kedatangan bangsa-bangsa Barat ke Bumi Nusantara untuk mencari kekayaan, kejayaann
dan menyebarkan agama atau yang biasa disebut ”Gold, Glory, and Gospel” ,yang pada akhirnya
menimbulkan kesengsaraan yang dikarenakan kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa barat
tersebut. Sehingga hal tersebut menimbulkan banyak masalah politik ,terutama politik Islam dalam
perkembangan Islam di Indonesia sendiri.

Islam juga mampu memecahkan masalah-masalah politik. Masalah politik adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses politik,
hubungan internasional, dan tata pemerintahan.[10] Pada masa awal islamisasi Nusantara, Sultan
dibantu oleh ulama yang menjadi penasihatnya menggunakan agama sebagai sarana untuk
memperkuat diri dan menghadapi pihak-pihak atau kerajaan yang bukan Islam, terutama yang
mengancam kehidupan politik, ekonomi (perdagangan), dan keagamaan.

Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1596, seorang Belanda bernama Cornelis de Hotman
datang ke Indonesia tepatnya ke daerah Banten dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah,
karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah terutama di wilayah Maluku.
Cornelis kembali ke Belanda dengan membawa banyak rempah-rempah sehingga para bangsawan
Belanda banyak yang datang ke Indonesia. Agar tidak terjadi persaingan tidak sehat antara sesama
pedagang Belanda dan memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan bangsa-bangsa
Eropa lainnya, maka dibentuklah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dipimpin seorang
Gubernur Jendral, Pieter Both pada tahun 1602.
Pada tahun 1755 VOC berhasil menjadi pemegang hegemoni politik pulau Jawa dengan
perjanjian Giyanti, karena itu raja Jawa kehilangan politiknya. Bahkan kewibawaan raja sangat
tergantung kepada VOC. Campur tangan kolonial terhadap kaehidupan keraton makin meluas,
sehingga ulama-ulama keraton sebagai penasihat raja-raja tersingkir. Rakyat kehilangan
kepemimpinan, sementara penguasaan kolonial sangat menghimpit kehidupan mereka. Eksploitasi
hasil bumi rakyat untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda merajalela, penggusuran dan
perampasan tanah milik rakyat untuk pemerintah semakin digalakkan. Raja-raja tradisional jarang
membantu rakyat, bahkan setelah mendapat gaji mereka memihak kepada tuannya (Belanda).
Rakyat ketakutan dan kesulitan menghadapi penindasan. Ini terjadi sampai abad ke-14. Dalam
kondisi seperti ini rakyat mencari pemimpin nonformal (para ulama, kiai atau bangsawan) yang
masih memerhatikan mereka. Pusat kekuatan politik berpindah dari istana ke luar, yaitu ke wilayah-
wilayah yang jauh dari istana, salah satunya ke pesantren-pesantren yang kemudian menjadi basis
perlawanan.[11]

Makin berkuasanya pemerintah kolonial menyebabkan penderitaan yang semakin berat di


kalangan rakyat karena VOC mengeksploitasi hasil bumi rakyat secara besar-besaran untuk diri
mereka sendiri. Dalam kondisi seperti itu rakyat bergabung kepada pemimpin non formal para kiai,
ulama dan bangsawan yang menggalang rakyat untuk melawan dan berjuang atas nama agama.
Perjuangan-perjuangan dengan cara tradisional tidak membuahkan hasil dalam mengusir
pendudukan Jepang sehingga para pejuang Islam membentuk suatu organisasi diantaranya adalah
gerakan Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan yang ingin kembali kepada
sumber asli Alquran dan Hadis, serta gerakan Nahdhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H. Hasyim
Asyari yang menitikberatkan kepada kemurnian madzhab. Namun pada dasarnya mereka sama-
sama ingin menjadikan Islam sebagai “landasan ideologis” dan selanjutnya menjadikan Islam sebagai
perjuangan politik untuk melawan kekuasaan kolonial; menjadikan Islam sebagai sarana untuk
mengangkat harkat diri berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Keterlibatan ulama dalam politik
hampir sama tuanya dengan sejarah peradaban Islam. Hal ini disebabkan Islam sebagai sebuah
agama tidak hanya mengajarkan tata cara ibadah untuk kecenderungan akhirat belaka, tetapi juga
mengajarkan tata cara bermuamalah, berinteraksi sosial dalam urusan dunia. Islam banyak
mengajarkan nilai dan norma-norma dalam bermasyarakat dan bernegara, baik dalam lingkup lokal
maupun internasional.

4. Kesimpulan

Sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia bermula di kota-kota pelabuhan, sebagaimana


kita ketahui bahwa pada saat itu Indonesia menjadi jalur pelayaran dan perdagangan.
Perkembangan agama Islam di Indonesia sampai masa berdirinya kerajaan Islam dapat dibagi
menjadi tiga fase. Pertama, singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan
Nusantara. Kedua, adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia.
Ketiga, berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Pada masa kolonialisme, Islam memiliki peranan yang
sangat penting baik dalam bidang politik, ekonomi dan keagamaan karena Islam tidak hanya
mengajarkan tata cara ibadah untuk kecenderungan akhirat belaka, tetapi juga mengajarkan tata
cara bermuamalah, berinteraksi sosial dalam urusan dunia. Islam banyak mengajarkan nilai dan
norma-norma dalam bermasyarakat dan bernegara, baik dalam lingkup lokal maupun internasional.

Anda mungkin juga menyukai