Anda di halaman 1dari 4

Thomas Matulessy atau yang memiliki sebutan dengan Kapitan Pattimura ini merupakan

seorang pahlawan nasional negara Indonesia yang berasal dari Maluku. Kapitan adalah
sebuah gelar kepangkatan yang digunakan oleh Belanda untuk menyebut pemimpin dalam
satuan militer di tingkatan perwira. Kapitan Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 di
Haria, Saparua, Maluku, Hindia Belanda. Ayahnya bernama Antoni Matulessy yang
merupakan anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Diketahui bahwa Kapitan Pattimura
merupakan pahlawan yang tergolong memiliki keturunan bangsawan dan berasal dari Nusa
Ina atau Seram. Kapitan Pattimura lahir dari keturunan bangsawan Raja Sahulau yang
merupakan kerajaan yang berada di Teluk Seram Selatan. Kapitan Pattimura memiliki
seorang adik laki-laki yang bernama Yohanis. Kapitan Pattimura merupakan pahlawan
Indonesia yang berjuang untuk daerah Maluku dalam melawan VOC Belanda. Sebelumnya
Kapitan Pattimura pernah berkarir dalam militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Jasa
serta perjuangan yang dilakukan oleh Kapitan Pattimura sangat berdampak bagi kemerdekaan
Indonesia yang bisa kita rasakan sampai saat ini. Walaupun sudah ratusan tahun berlalu,
namun nama Pattimura tetap dikenal oleh Bangsa Indonesia hingga masa kini. Kapitan
Pattimura mendapatkan gelar kehormatan sebagai pahlawan pada tanggal 6 November 1973.
Gelar kehormatan pahlawan merupakan gelar penghargaan tingkat tertinggi yang ada di
Indonesia, hal ini karena seorang pahlawan memberikan perbuatan yang nyata untuk
melindungi Indonesia secara penuh atau berjasa pada warga Indonesia. Gelar ini diberikan
agar perjuangannya serta jasanya dapat dikenang seumur hidup dan dijadikan suri tauladan
bagi seluruh masyarakat Indonesia.

PERJUANGAN KAPITAN PATTIMURA

1. Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di


laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
2. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng
Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath,
Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
3. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan
bumi hangus oleh Belanda.
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Ibunya merupakan
seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan.
Ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar
Hamengkubuwana III. Ketika dilahirkan, Diponegoro diberi nama Bendara Raden Mas
Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Nama Islamnya adalah
Abdul Hamid. Setelah ayahnya naik takhta, Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan
nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara. Menjelang dewasa, Diponegoro menolak
keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Dia beralasan bahwa posisi ibunya bukanlah seorang
istri permaisuri. Hal itulah yang membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki
jabatan tersebut. Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli
di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga tertarik kepada masalah-masalah keagamaan daripada
masalah pemerintahan keraton. Itulah yang membuatnya dapat membaur dengan rakyat. Dia
lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya,
yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada
tinggal di keraton. Diponegoro mulai menaruh perhatian kepada masalah keraton ketika
dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan
Hamengkubuwana V yang saat itu baru berusia tiga tahun. Dikarenakan masih kecil,
pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja IV dan Residen Belanda.
Dia tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga melakukan protes.

PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO

Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan pemerintah
kolonial Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa
Tegalrejo. Tindakan tersebut diperparah dengan beberapa kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak
tinggi. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan
sikap perlawanan. Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman
Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia
Belanda mengenai penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro. Dia disebutkan merasa sakit
hati terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja.
Perlawanan yang dilakukan sebenarnya disebabkan karena dirinya ingin melepaskan
penderitaan rakyat miskin
Martha Christina Tiahahu (4 Januari 1800 – 2 Januari 1818) adalah seorang gadis dari
desa Abubu,Nusalaut, Maluku Tengah. Pada usia 17 tahun, ia ikut mengangkat senjata
melawan tentara Belanda. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari
negeri Abubu yang membantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura pada 1817. M.C.
Tiahahu merupakan seorang pejuang kemerdekaan. Ketika ikut dalam pertempuran melawan
tentara Belanda saat Perang Pattimura (1817), ia masih remaja. Keberaniannya terkenal di
kalangan pejuang, masyarakat luas, dan bahkan musuh-musuhnya. Sejak awal perjuangan, ia
selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambut panjangnya yang terurai
ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), ia setia mendampingi ayahnya
dalam setiap pertempuran, baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua. Siang dan
malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia juga
membangkitkan semangat kaum wanita di sekitarnya agar ikut membantu kaum pria di setiap
medan pertempuran.

PERJUANGAN M.C.TIAHAHU

Martha Christina Tiahahu adalah gadis pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata di
usia 17 tahun. Gadis kelahiran 1800 tersebut terjun di medan pertempuran melawan tentara
kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817. Dia merupakan anak dari Paulus
Tiahahu, kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam Perang
Pattimura tahun 1817 melawan Belanda. Keberanian dan konsekuennya gadis kelahiran Desa
Abubu di Pulau Nusalaut sangat terkenal di kalangan pejuang, masyarakat luas, bahkan para
musuh. Meski seorang perempuan dan masih remaja, semangatnya menggelora untuk
mengalahkan musuh. Baca juga: Nyimas Gamparan, Pimpin Pendekar Perempuan Banten
Melawan Belanda hingga Kalang Kabut Mengutip Ensiklopedi Pahlawan Nasional, sejak
awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur. Dengan rambutnya
yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah) ia tetap
mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau
Saparua. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan.
Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita

Anda mungkin juga menyukai