a. Eksekutif
Awal Kolonialisme Belanda (abad ke-17 hingga abad ke-18): Pada saat
kedatangan Belanda di Indonesia, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
atau Perusahaan Hindia Timur Bersatu, mendirikan pemerintahan kolonial. VOC
memegang kendali eksekutif dan diwakili oleh Gubernur-Jenderal yang berperan
sebagai kepala eksekutif. Mereka fokus pada perdagangan rempah-rempah dan
memiliki kekuasaan yang luas.
Era VOC dan Pemerintahan Kolonial: Selama masa VOC, VOC memegang
kekuasaan eksekutif tertinggi, dan Gubernur-Jenderal adalah figur sentral dalam
administrasi kolonial. Selain itu, VOC membentuk Dewan Hindia sebagai badan
penasihat, tetapi kekuasaan eksekutif tetap berpusat pada Gubernur-Jenderal.
Awal Abad ke-19: Jatuhnya VOC pada awal abad ke-19 menyebabkan pemerintah
Belanda langsung mengambil alih pemerintahan kolonial. Pada periode ini,
Belanda mengangkat Gubernur-Jenderal yang tunduk pada pemerintah pusat di
Belanda. Ini adalah tahap awal dari pengaruh pemerintah Belanda yang semakin
kuat di Hindia Belanda.
Sistem Ethical Policy (Politik Etis): Pada akhir abad ke-19, Belanda menerapkan
kebijakan etis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi di
Hindia Belanda. Selama periode ini, terdapat upaya untuk memperluas
administrasi eksekutif dan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan lokal
yang melibatkan penduduk pribumi.
Era Dewan Hindia: Pada awal abad ke-20, Dewan Hindia menjadi badan
pemerintah dengan lebih banyak wakil penduduk pribumi. Ini merupakan langkah
menuju partisipasi politik lebih besar bagi penduduk pribumi dalam pemerintahan
kolonial.
Perubahan Pasca-Perang Dunia II: Setelah Perang Dunia II, perubahan signifikan
terjadi. Pemerintahan kolonial Belanda semakin tergoyahkan oleh perjuangan
kemerdekaan Indonesia, dan Indonesia akhirnya meraih kemerdekaannya pada
tahun 1945.
Sejarah lembaga eksekutif di masa kolonial Belanda di Indonesia mencerminkan
evolusi pemerintahan kolonial dari kontrol VOC hingga pengaruh yang semakin
besar dari pemerintah Belanda, sambil menyaksikan perubahan dalam partisipasi
politik penduduk pribumi
b. Legislatif
Awal Abad ke-17: Ketika Belanda pertama kali tiba di Indonesia, mereka
mendirikan pemerintahan kolonial di beberapa wilayah, tetapi representasi
legislatif bagi penduduk pribumi sangat terbatas atau bahkan tidak ada.
Sistem Feodal: Di banyak wilayah, sistem feodal yang ada sebelum kedatangan
Belanda tetap berlangsung, di mana penguasa lokal (raja atau sultan) memiliki
otoritas atas wilayah mereka, tetapi dalam banyak kasus, mereka menjadi boneka
di tangan Belanda.
Sistem Pemerintahan Kolonial: Pemerintahan kolonial Belanda mengambil
keputusan legislatif yang memengaruhi kehidupan penduduk pribumi, tetapi
kebijakan tersebut biasanya dibuat tanpa konsultasi atau partisipasi dari
masyarakat pribumi.
Pengaruh Eropa dan Hukum Kolonial: Hukum Eropa dan hukum kolonial
diberlakukan dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Ini mencakup masalah
hukum perdata, perpajakan, dan hak properti.
Pemerintahan Daerah: Di beberapa wilayah, Belanda mendirikan Dewan-Dewan
Bupati (Bupati adalah kepala pemerintahan setempat) yang berfungsi sebagai
badan eksekutif dan legislatif dalam masalah yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah. Namun, pengaruh legislasi ini sangat terbatas.
Keterbatasan Partisipasi Penduduk Pribumi: Penduduk pribumi Indonesia
memiliki sangat sedikit atau bahkan tidak ada peran dalam pembuatan kebijakan
dan legislasi selama masa kolonial. Mereka sering kali diabaikan dalam proses
pengambilan keputusan.
Perlawanan dan Pergerakan Kemerdekaan: Selama masa kolonial, ada berbagai
perlawanan dan pergerakan kemerdekaan yang berjuang untuk hak-hak dan
representasi yang lebih besar bagi penduduk pribumi, seperti Sarekat Islam dan
Boedi Oetomo. Mereka membuka jalan menuju perubahan politik di masa
mendatang.
Pada intinya, lembaga legislatif di Indonesia selama masa kolonial adalah alat
pemerintah kolonial Belanda untuk mengendalikan dan memanfaatkan sumber
daya kolonial. Penduduk pribumi hanya memiliki sedikit peran atau pengaruh
dalam proses legislasi, dan eksistensi lembaga legislatif yang mewakili mereka
sangat terbatas
c. Yudikatif
Awal Abad ke-17: Pada awal abad ke-17, Belanda pertama kali tiba di Indonesia
dan mendirikan benteng-benteng. Mereka memperkenalkan sistem hukum
kolonial Belanda di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Pemerintahan VOC: Pada awalnya, yudikatif di Indonesia diatur oleh Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda yang memerintah
sebagian besar wilayah Indonesia. VOC memiliki pengadilan sendiri yang
menangani kasus-kasus di wilayahnya.
Hukum Hindu dan Adat: Di wilayah-wilayah yang tidak dipegang oleh VOC,
sistem hukum Hindu dan adat setempat masih tetap berjalan. Namun, VOC
berupaya menggantikan hukum adat dengan hukum Belanda.
Eksistensi Pengadilan: VOC dan pemerintah kolonial Belanda mendirikan
pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum, terutama yang
melibatkan warga Belanda. Pengadilan-pengadilan ini umumnya tidak mengikuti
hukum adat setempat.
Perkembangan Hukum Kolonial: Selama masa kolonial, Belanda mengenalkan
undang-undang dan regulasi-regulasi kolonial yang mengatur berbagai aspek
kehidupan di Indonesia. Ini termasuk hukum tanah, pajak, dan peradilan.
Pembentukan Pengadilan Hindia Belanda: Pada tahun 1848, di bawah
pemerintahan Raja Willem III, dibentuk Pengadilan Hindia Belanda (Raad van
Justitie van Nederlands-Indië) yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan
kasus-kasus penting di tingkat tinggi. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi atas
kasus-kasus yang melibatkan orang Belanda.
Eksistensi Terbatas bagi Penduduk Pribumi: Sistem peradilan kolonial lebih
berpihak kepada warga Belanda, dan penduduk pribumi sering kali diperlakukan
tidak adil dalam proses peradilan.
Pada intinya, sistem yudikatif selama masa kolonial Belanda di Indonesia
berfungsi untuk mengawasi dan mempertahankan kepentingan kolonial Belanda.
Pengaruh hukum adat dan hukum Hindu lokal tetap ada di banyak wilayah, tetapi
pengaruh hukum kolonial Belanda semakin meluas seiring berjalannya waktu.