Anda di halaman 1dari 19

TUGAS ILMU POLITIK

NAMA : Neng Fauziah


NIM : 1225010138
KELAS : SPI 3-D

1. Sejarah perkembangan Kolonial Belanda dan eksistensi Lembaga Eksekutif,


Legislatif, dan Yudikatif.:

a. Eksekutif
Awal Kolonialisme Belanda (abad ke-17 hingga abad ke-18): Pada saat
kedatangan Belanda di Indonesia, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC),
atau Perusahaan Hindia Timur Bersatu, mendirikan pemerintahan kolonial. VOC
memegang kendali eksekutif dan diwakili oleh Gubernur-Jenderal yang berperan
sebagai kepala eksekutif. Mereka fokus pada perdagangan rempah-rempah dan
memiliki kekuasaan yang luas.
Era VOC dan Pemerintahan Kolonial: Selama masa VOC, VOC memegang
kekuasaan eksekutif tertinggi, dan Gubernur-Jenderal adalah figur sentral dalam
administrasi kolonial. Selain itu, VOC membentuk Dewan Hindia sebagai badan
penasihat, tetapi kekuasaan eksekutif tetap berpusat pada Gubernur-Jenderal.
Awal Abad ke-19: Jatuhnya VOC pada awal abad ke-19 menyebabkan pemerintah
Belanda langsung mengambil alih pemerintahan kolonial. Pada periode ini,
Belanda mengangkat Gubernur-Jenderal yang tunduk pada pemerintah pusat di
Belanda. Ini adalah tahap awal dari pengaruh pemerintah Belanda yang semakin
kuat di Hindia Belanda.
Sistem Ethical Policy (Politik Etis): Pada akhir abad ke-19, Belanda menerapkan
kebijakan etis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi di
Hindia Belanda. Selama periode ini, terdapat upaya untuk memperluas
administrasi eksekutif dan pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan lokal
yang melibatkan penduduk pribumi.
Era Dewan Hindia: Pada awal abad ke-20, Dewan Hindia menjadi badan
pemerintah dengan lebih banyak wakil penduduk pribumi. Ini merupakan langkah
menuju partisipasi politik lebih besar bagi penduduk pribumi dalam pemerintahan
kolonial.
Perubahan Pasca-Perang Dunia II: Setelah Perang Dunia II, perubahan signifikan
terjadi. Pemerintahan kolonial Belanda semakin tergoyahkan oleh perjuangan
kemerdekaan Indonesia, dan Indonesia akhirnya meraih kemerdekaannya pada
tahun 1945.
Sejarah lembaga eksekutif di masa kolonial Belanda di Indonesia mencerminkan
evolusi pemerintahan kolonial dari kontrol VOC hingga pengaruh yang semakin
besar dari pemerintah Belanda, sambil menyaksikan perubahan dalam partisipasi
politik penduduk pribumi

b. Legislatif
Awal Abad ke-17: Ketika Belanda pertama kali tiba di Indonesia, mereka
mendirikan pemerintahan kolonial di beberapa wilayah, tetapi representasi
legislatif bagi penduduk pribumi sangat terbatas atau bahkan tidak ada.
Sistem Feodal: Di banyak wilayah, sistem feodal yang ada sebelum kedatangan
Belanda tetap berlangsung, di mana penguasa lokal (raja atau sultan) memiliki
otoritas atas wilayah mereka, tetapi dalam banyak kasus, mereka menjadi boneka
di tangan Belanda.
Sistem Pemerintahan Kolonial: Pemerintahan kolonial Belanda mengambil
keputusan legislatif yang memengaruhi kehidupan penduduk pribumi, tetapi
kebijakan tersebut biasanya dibuat tanpa konsultasi atau partisipasi dari
masyarakat pribumi.
Pengaruh Eropa dan Hukum Kolonial: Hukum Eropa dan hukum kolonial
diberlakukan dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari. Ini mencakup masalah
hukum perdata, perpajakan, dan hak properti.
Pemerintahan Daerah: Di beberapa wilayah, Belanda mendirikan Dewan-Dewan
Bupati (Bupati adalah kepala pemerintahan setempat) yang berfungsi sebagai
badan eksekutif dan legislatif dalam masalah yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah. Namun, pengaruh legislasi ini sangat terbatas.
Keterbatasan Partisipasi Penduduk Pribumi: Penduduk pribumi Indonesia
memiliki sangat sedikit atau bahkan tidak ada peran dalam pembuatan kebijakan
dan legislasi selama masa kolonial. Mereka sering kali diabaikan dalam proses
pengambilan keputusan.
Perlawanan dan Pergerakan Kemerdekaan: Selama masa kolonial, ada berbagai
perlawanan dan pergerakan kemerdekaan yang berjuang untuk hak-hak dan
representasi yang lebih besar bagi penduduk pribumi, seperti Sarekat Islam dan
Boedi Oetomo. Mereka membuka jalan menuju perubahan politik di masa
mendatang.
Pada intinya, lembaga legislatif di Indonesia selama masa kolonial adalah alat
pemerintah kolonial Belanda untuk mengendalikan dan memanfaatkan sumber
daya kolonial. Penduduk pribumi hanya memiliki sedikit peran atau pengaruh
dalam proses legislasi, dan eksistensi lembaga legislatif yang mewakili mereka
sangat terbatas

c. Yudikatif
Awal Abad ke-17: Pada awal abad ke-17, Belanda pertama kali tiba di Indonesia
dan mendirikan benteng-benteng. Mereka memperkenalkan sistem hukum
kolonial Belanda di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Pemerintahan VOC: Pada awalnya, yudikatif di Indonesia diatur oleh Verenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC), perusahaan dagang Belanda yang memerintah
sebagian besar wilayah Indonesia. VOC memiliki pengadilan sendiri yang
menangani kasus-kasus di wilayahnya.
Hukum Hindu dan Adat: Di wilayah-wilayah yang tidak dipegang oleh VOC,
sistem hukum Hindu dan adat setempat masih tetap berjalan. Namun, VOC
berupaya menggantikan hukum adat dengan hukum Belanda.
Eksistensi Pengadilan: VOC dan pemerintah kolonial Belanda mendirikan
pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum, terutama yang
melibatkan warga Belanda. Pengadilan-pengadilan ini umumnya tidak mengikuti
hukum adat setempat.
Perkembangan Hukum Kolonial: Selama masa kolonial, Belanda mengenalkan
undang-undang dan regulasi-regulasi kolonial yang mengatur berbagai aspek
kehidupan di Indonesia. Ini termasuk hukum tanah, pajak, dan peradilan.
Pembentukan Pengadilan Hindia Belanda: Pada tahun 1848, di bawah
pemerintahan Raja Willem III, dibentuk Pengadilan Hindia Belanda (Raad van
Justitie van Nederlands-Indië) yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan
kasus-kasus penting di tingkat tinggi. Pengadilan ini memiliki yurisdiksi atas
kasus-kasus yang melibatkan orang Belanda.
Eksistensi Terbatas bagi Penduduk Pribumi: Sistem peradilan kolonial lebih
berpihak kepada warga Belanda, dan penduduk pribumi sering kali diperlakukan
tidak adil dalam proses peradilan.
Pada intinya, sistem yudikatif selama masa kolonial Belanda di Indonesia
berfungsi untuk mengawasi dan mempertahankan kepentingan kolonial Belanda.
Pengaruh hukum adat dan hukum Hindu lokal tetap ada di banyak wilayah, tetapi
pengaruh hukum kolonial Belanda semakin meluas seiring berjalannya waktu.

2. Sejarah perkembangan Republik Indonesia Serikat RIS tahun 1949-1950 dan


eksistensi Lembaga Eksekutif, Legislatif, Yudikatif
a. Eksekutif
Pada November 1945 sampai Juni 1959, badan eksekutif, yang terdiri atas
presiden, sebagai bagian dari badan eksekutif yang tak dapat diganggu gugat,
dan menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan yang
bekerja atas dasar asas tanggung jawab menteri. Kabinet merupakan kabinet
parlementer yang mencerminkan konstalasi politik dalam badan perwakilan
rakyat. Hal ini sesuai dengan sistem parlementer yang dianut pada waktu itu.
Sekalipun demikian, ada beberapa kabinet yang dipimpin oleh Wakil Presiden
Moh. Hatta, yang karena itu dinamakan kabinet presidensil.
Jumlah menteri pada masa sebelum 27 Desember 1949 berkisar antara 16
(Kabinet Syahrir ke-1) dan 37 (Kabinet Amir Syarifudin ke-2). Jumlah menteri
pada masa sesudahnya berkisar antara 18 (Kabinet Wilopo) dan 25 (Kabinet Ali
Sastroamidjojo ke-3). Para menteri dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu
menteri inti, menteri negara, dan kadang-kadang ada menteri muda, terutama pada
masa sebelum Desember 1949.
b. Legislatif
DPR mempunyai hak budget, inisiatif, dan amandemen, di samping wewenang
untuk menyusun rancangan undang-undang bersama-sama pemerintah. Hak-hak
lainnya yang dimiliki adalah hak bertanya, hak interpelasi, dan hak angket, tetapi
tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan kabinet.
Dalam masa setahun itu telah diselesaikan 7 buah Undang-Undang termasuk
Undang-Undang No. 7 tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara RIS
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, 16 mosi dan 1
interpelasi, baik oleh senat maupun DPR
c. Yudikatif
pada tahun 1949 hingga 1950, sistem yudikatif di Indonesia mengalami
perkembangan yang mencerminkan struktur federal dan perubahan politik.
Berikut adalah sejarah singkat perkembangan dan eksistensi sistem yudikatif di
masa RIS:
Sistem Yudikatif RIS: Dalam struktur federal RIS, setiap negara bagian memiliki
sistem yudikatifnya sendiri, dan terdapat juga pengadilan federal. Pengadilan
Federal RIS mengawasi isu-isu yang berkaitan dengan pemerintah federal dan
perselisihan antara negara-negara bagian.
Konstitusi RIS: Konstitusi Federal RIS menetapkan dasar hukum untuk sistem
yudikatif di tingkat federal dan negara-negara bagian. Konstitusi ini juga
mengatur pengadilan tertinggi di tingkat federal, yaitu Mahkamah Agung Federal.
Mahkamah Agung Federal: Mahkamah Agung Federal adalah lembaga yudikatif
tertinggi di tingkat federal RIS. Mahkamah ini memiliki yurisdiksi untuk
memutuskan kasus-kasus yang melibatkan pemerintah federal dan konstitusi
federal.
Pengadilan Negara Bagian: Masing-masing negara bagian dalam RIS memiliki
sistem peradilan negara bagian mereka sendiri. Pengadilan-pengadilan ini
memutuskan kasus-kasus yang terkait dengan hukum negara bagian, termasuk
hukum adat setempat.
Pengaruh Konflik dan Akhir RIS: Konflik dan ketidakstabilan politik selama masa
RIS juga memengaruhi sistem yudikatif. Setelah perpecahan dan penyatuan
kembali negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1950,
sistem yudikatif RIS tidak lagi ada, dan sistem peradilan di tingkat federal yang
terkait dengan RIS dihapuskan.
Sejarah yudikatif selama masa RIS mencerminkan dinamika politik yang
kompleks selama masa itu. Struktur federal yang ada dalam RIS memungkinkan
eksistensi pengadilan-pengadilan federal dan negara bagian dengan yurisdiksi
yang terbatas. Namun, perpecahan dan penyatuan kembali negara-negara bagian
mengakibatkan perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia setelah tahun
1950.
3. Sejarah perkembangan Demokrasi Liberal tahun 1950-1959 dan eksistensi Lembaga
Eksekutif, Legislatif , Yudikatif
a. Eksekutif
sistem politik Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi liberal dengan
pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, pemilihan umum, dan pemisahan
kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berikut perkembangan dan
eksistensi eksekutif di Indonesia pada masa demokrasi liberal:
Konstitusi 1950: Konstitusi Indonesia tahun 1950, yang disusun selama masa
Republik Indonesia Serikat (RIS), membentuk sistem pemerintahan demokratis
dengan presiden sebagai kepala negara. Soekarno terpilih sebagai Presiden
pertama, dan Hatta sebagai Wakil Presiden.
Sistem Presidensial: Selama periode ini, eksekutif dipegang oleh presiden yang
dipilih melalui pemilihan umum. Presiden memiliki kewenangan eksekutif yang
signifikan, termasuk dalam pengangkatan menteri dan kebijakan pemerintah.
Periode Demokrasi Liberal: Demokrasi liberal pada awalnya mengalami masa
gemilang, tetapi juga dipengaruhi oleh instabilitas politik dan ekonomi. Terdapat
berbagai partai politik yang aktif, seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan
lainnya.
Pergantian Pemimpin: Selama masa demokrasi liberal, terjadi pergantian
pemimpin eksekutif. Soekarno digantikan oleh Dr. Ir. Sukarno pada tahun 1957.
Selanjutnya, pada tahun 1962, Dr. Ir. Sukarno mengumumkan "Demokrasi
Terpimpin," yang mengkonsolidasi kekuasaan eksekutif dalam bentuk yang lebih
otoriter.
Akhir Demokrasi Liberal: Demokrasi liberal di Indonesia berakhir pada tahun
1966 ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan melalui kudeta militer. Ini
mengakhiri era demokrasi liberal dan memulai Orde Baru yang lebih otoriter.
Periode demokrasi liberal di Indonesia menunjukkan perkembangan eksekutif
yang berpusat pada presiden dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Namun,
karena berbagai faktor, termasuk instabilitas politik dan ekonomi, masa ini relatif
singkat dan diikuti oleh periode pemerintahan otoriter
b. Legislatif
Dalam rentang waktu tahun 1950-1956 dibentuklah DPRS. Badan ini
mempunyai hak legislatif, seperti hak budget, hak amandemen, hak inisiatif, dan
hak kontrol, seperti hak bertanya, interpelasi, angket, dan mosi.
DPRS telah membicarakan 237 Rancangan Undang-Undang dan menyetujui
167 di antaranya menjadi Undang-Undang, yang terpenting adalah Undang-
Undang No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat. Juga telah menyetujui 21 mosi dari 82 yang diusulkan,
16 interpelasi dari 24 yang diajukan, 1 angket dan melaksanakan 2 kali hak
budget.
Wewenang badan legislatif dan kontrol tidak berbeda dengan DPR Sementara.
Dewan Perwakilan Rakyat Pemilihan Umum berlandaskan UUD 1945 (DPR
Peralihan): 1959-1960. Dengan berlakunya kembali UUD 1945, dengan
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 ditetapkan bahwa DPR hasil pemilihan
umum 1955 menjalankan tugas DPR menurut UUD 1945. DPR ini
sering disebut sebagai DPR Peralihan.
UUD 1945 menentukan adanya sistem presidensiil bahwa DPR tidak boleh
menjatuhkan presiden. Secara formal, kedudukan DPR terhadap badan eksekutif
adalah sama derajat (nevengeschikt), tetapi dalam beberapa hal, kedudukan DPR
terhadap presiden cukup kuat karena anggota DPR secara otomatis menjadi
anggota MPR. Wewenang badan legislatif menurut UUD 1945 mencakup
ketetapan bahwa tiap undang-undang memerlukan persetujuan DPR (pasal 20).
Lagipula, DPR mempunyai hak inisiatif (pasal 21), hak untuk memprakarsai
rancangan undang-undang. Juga ditentukan bahwa, “dalam hal ikhwal
kepentingan yang memaksa” Presiden boleh
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang yang harus
mendapat persetujuan DPR (pasal 22). Dalam penjelasan dikemukakan bahwa
“Dalam keadaan yang genting, yang memakas pemerintah untuk bertindak lekas
dan tepat... pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR”. Hak lain yang
ditentukan oleh UUD 1945 adalah hak budget (pasal 23), yaitu hak untuk turut
memutuskan rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara.
DPR Peralihan ini dibubarkan dengan penetapan Presiden No. 3 tahun 1960
karena timbulnya perselisihan antara pemerintah dengan DPR Peralihan ini
mengenai penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara di mana dari 44
milyar rupiah yang diajukan pemerintah hanya disetujui sekitar 36 sampai 38
milyar rupiah. Di samping hak-hak tersebut di atas, dalam rangka melaksanakan
tugasnya di bidang pengawasan, DPR Peralihan ini mempunyai
hak-hak: mengajukan pertanyaan, meminta keterangan, mengadakan
penyelidikan, mengajukan amandemen dan mengajukan usul pernyataan pendapat
atau usul-usul lain serta dapat mengajukan anjuran calon untuk mengisi suatu
jabatan, jika hal demikian ditentukan undang-undang (Peraturan Tata Tertib DPR,
Keputusan No.8/ DPR-45/59 pasal 70).
c. Yudikatif
sistem yudikatif di Indonesia mengalami perkembangan yang mencerminkan
usaha untuk membangun lembaga peradilan yang independen. Berikut sejarah
perkembangan dan eksistensi sistem yudikatif di Indonesia selama masa Republik
Liberal:
Pendirian Mahkamah Agung: Pada tanggal 19 Agustus 1945, Presiden Soekarno
mendirikan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia.
Mahkamah Agung berperan dalam memutuskan perkara-perkara hukum yang
melibatkan pemerintah, organisasi kemasyarakatan, dan individu.
Peraturan Perundang-Undangan: Pada masa Republik Liberal, pemerintah
memulai upaya untuk menciptakan peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan konsep negara hukum. Beberapa undang-undang dasar disusun selama
periode ini, termasuk Undang-Undang Dasar 1945.
Pengadilan di Tingkat Lokal: Selama masa Republik Liberal, pengadilan di
tingkat lokal dan provinsi dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum yang
berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, dan perdata di tingkat daerah.
Pengaruh Konflik Politik: Meskipun upaya telah dilakukan untuk membangun
lembaga yudikatif yang independen, konflik politik dan ketidakstabilan sering kali
memengaruhi sistem peradilan selama masa Republik Liberal. Konflik antara
pemerintah dan beberapa kelompok politik serta ketidakstabilan politik di
beberapa daerah mempengaruhi eksistensi dan otonomi pengadilan.
Akhir Republik Liberal: Masa Republik Liberal berakhir dengan berlakunya
Dekrit Presiden pada tahun 1959 yang menggantikan konstitusi demokratis
dengan sistem terpusat yang dikenal sebagai "Dwifungsi ABRI" (Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia).
Meskipun ada upaya untuk membangun sistem yudikatif independen dan
berdasarkan hukum selama masa Republik Liberal, kondisi politik yang tidak
stabil dan perubahan dalam sistem pemerintahan akhirnya mengubah arah
perkembangan hukum dan peradilan di Indonesia pada tahun-tahun berikutnya

4. Sejarah Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965 dan eksistensi Lembaga Eksekutif,


Legislatif, Yudikatif
a. Eksekutif
Sejak Juli 1959, Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dan menurut
ketentuan Undang-Undang Dasar itu, badan eksekutif terdiri atas seorang
presiden, seorang wakil presiden beserta menteri-menteri. Menteri-menteri
membantu presiden dan diangkat serta diberhentikan olehnya. Presiden dan wakil
presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan “mandataris” dari MPR. Dia
bertanggung jawab kepada MPR dan kedudukannya untergeordnet
kepada MPR.
Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya
dibatasi oleh peraturan dalam Undang-Undang Dasar. Selama masa itu, presiden
tidak boleh dijatuhkan oleh DPR, sebaliknya presiden tidak mempunyai
wewenang untuk membubarkan DPR.
Presiden memerlukan persetujuan dari DPR untuk membentuk undang-undang
dan untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain. Begitu pula, jika presiden, dalam keadaan yang memaksa,
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR. Selain itu, presiden berwenang
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagai
mestinya dan memegang kekuasaan tertinggi atas
angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara. Sistem checks and balances
seperti yang dikenal dalam sistem Amerika Serikat, bahwa badan eksekutif dan
legislatif, sekalipun bebas satu sama lain, mengadakan check satu sama lain, tidak
dikenal dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945.
Pada masa demokrasi terpimpin tak ada wakil presiden. Sesuai dengan
keinginannya untuk memperkuat kedudukannya, Ir. Soekarno oleh MPRS
ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu pula, pejabat teras dari badan
legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong-Royong) dan dari badan
yudikatif (yaitu Ketua Mahkamah Agung) diberi status menteri. Dengan
demikian, jumlah menteri mencapai jumlah lebih dari seratus. Selain itu,
berdasarkan Penetapan Presiden no. 14 tahun 1960, Presiden diberi wewenang
untuk mengambil keputusan dalam keadaan anggota badan legislatif tidak dapat
mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu RUU. Lagi pula, dalam
banyak hal Presiden mengesampingkan DPR dengan jalan mengatur soal-soal
peradilan, yaitu melalui undang-undang no. 19 tahun 1964. Undang-undang ini
tegas menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945.
b. Legislatif
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ini didirikan dengan penetapan
Presiden No. 4 tahun 1960 sebagai pengganti DPR Peralihan yang dibubarkan
dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1960. DPR-GR berbeda sekali dengan
badan-badan legislatif sebelumnya. Tidak hanya karena dia bekerja dalam suatu
sistem pemerintahan yang lain, tetapi juga karena dia bekerja dalam suasana yang
DPR ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah,
suasana yang tercermin dalam istilah Gotong-Royong. Perubahan fungsi ini
tercermin dalam tata tertib DPR-GR yang dituangkan dalam Peraturan Presiden
No. 14 tahun 1960. Dalam Peraturan Tata Tertib tidak disebut hak kontrol, seperti
hak bertanya, hak interpelasi, dan sebagainya.
Kelemahan DPR-GR di bidang legislatif adalah bahwa DPR-GR kurang sekali
memakai hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang. Selain
itu, DPR-GR telah membiarkan badan eksekutif mengadakan penetapan-
penetapan Presiden atas dasar Dekrit 5 Juli 1959, seolah-olah Dekrit merupakan
sumber hukum baru. Padahal, Dekrit sekadar untuk menuntun langkah kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945, tetapi sesudah itu, semua perundang-undangan
seharusnya berdasarkan langsung pada Undang-Undang Dasar 1945. Lagi pula,
banyak keputusan penting (seperti pengguntingan uang, politik konfrontasi,
pengambilan alih perkebunan dan perusahaan asing, dan sebagainya) diputuskan
di luar DPR-GR.
Selain itu, DPR-GR telah menerima baik undang-undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman No. 19 tahun 1964, yang memberi wewenang kepada Presiden untuk
campur tangan dalam soal pengadilan demi kepentingan revolusi, ketentuan yang
dengan tegas menyalahi ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa kekuasaan
kehakiman terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (penjelasan pasal 24 dan
25).
Dalam hal keanggotaan DPR mengalami perubahan besar. Jika dalam DPR
sebelumnya perwakilan didasarkan atas asas perwakilan politik atau perwakilan
melalui partai-partai politik, dalam DPR-GR, keanggotaan meliputi juga beberapa
golongan karya, antara lain anggota dari angkatan bersenjata, tani, buruh, alim
ulama, pemuda, koperasi, wanita, dan sebagainya. Jumlah total anggota adalah
130 anggota partai, 152 golongan karya dan 1 wakil Irian, sehingga menjadi 283
anggota. Semua anggota ini tidak dipilih, tetapi ditunjuk oleh Presiden dari daftar-
daftar yang diajukan oleh partai
dan golongan masing-masing. Dari partai-partai politik, banyak anggota DPR-GR
hasil pemilihan umum yang kembali menduduki kursi dalam DPR-GR, kecuali
wakil-wakil dari partai Masyumi dan PSI yang pada tahun 1960 telah dibubarkan
oleh Presiden Soekarno. Pimpinan DPR-GR diberi status Menteri, sesuatu yang
bertentangan dengan asas trias politico.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, sistem pemungutan suara diganti dengan
sistem musyawarah untuk mencapai mufakat. Ketentuan ini antara lain disebutkan
dalam Amanat Presiden 1959 yang menyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar
1945 adalah asli cerminan kepribadian bangsa Indonesia yang sejak zaman purba
mulai mendasarkan sistem pemerintahannya pada musyawarah dan mufakat
dengan pimpinan suatu kekuasaan sentral di tangan seorang sesepuh-seorang
ketua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin,
mengayomi. Dalam tata tertib DPR-GR (Peraturan Presiden No. 14 tahun 1960,
pasal 103) yang berlaku sampai September 1964, ditentukan bahwa “Keputusan
sedapat mungkin diambil dengan kata mufakat”. Akan tetapi, ditetapkan pula
bahwa, jika tidak tercapai kata mufakat, presiden mengambil keputusan dengan
memerhatikan pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam musyawarah
c. Yudikatif
sistem yudikatif mengalami perubahan yang mencerminkan pengaruh kuat
pemerintah dan otoritarianisme. Berikut sejarah perkembangan dan eksistensi
sistem yudikatif di Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin:
Pemimpin Kuat Soekarno: Demokrasi Terpimpin adalah masa pemerintahan
Presiden Soekarno yang kuat. Soekarno mengendalikan banyak aspek kehidupan
politik dan pemerintahan, termasuk sistem yudikatif.
Konstitusi Tahun 1945 Ditangguhkan: Konstitusi 1945 yang demokratis
ditangguhkan, dan Soekarno mengklaim otoritas absolut untuk mengambil
keputusan politik.
Penyusunan UU Tahun 1956: Pada tahun 1956, Soekarno menerbitkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1956, yang memberi kekuasaan eksekutif, termasuk
Soekarno sendiri, untuk mengambil keputusan hukum.
Pengaruh Politik Terhadap Yudikatif: Kekuasaan eksekutif yang kuat dalam
periode ini berdampak pada independensi sistem yudikatif. Keputusan-keputusan
hukum sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan politik daripada hukum itu
sendiri.
Pengadilan Revolusioner: Pemerintah mendirikan Pengadilan Revolusioner untuk
mengadili orang-orang yang dianggap mengancam keamanan negara. Pengadilan
ini sering kali tidak mengikuti prosedur hukum yang biasa dan menghadirkan
risiko pelanggaran hak asasi manusia.
Krisis Politik dan Perubahan: Pada tahun 1965, Indonesia mengalami krisis politik
yang mengakibatkan pergantian rezim dan berakhirnya masa Demokrasi
Terpimpin. Pengadilan dan sistem yudikatif mengalami perubahan selama masa
transisi ini.
Periode Demokrasi Terpimpin adalah masa ketika independensi sistem yudikatif
terganggu oleh kekuasaan eksekutif yang sangat kuat. Sistem yudikatif lebih
banyak melayani kepentingan politik ketimbang berfungsi sebagai lembaga
independen yang melindungi hak-hak individu dan menerapkan hukum.
5. Sejarah Orde Baru tahun 1965-1998 dan eksistensi Lembaga Eksekutif, Legislatif,
Yudikatif
a. Eksekutif
Konsolidasi Kekuasaan Soeharto:
Setelah kudeta G30S/PKI yang gagal pada tahun 1965, Soeharto mengambil alih
kekuasaan dan menjadi Presiden. Ia menjalankan pemerintahan otoriter yang
sangat sentralistik.
Pembentukan Kabinet:
Soeharto membentuk kabinet yang terdiri dari pejabat militer dan sipil yang setia
padanya. Kabinet ini bertindak sebagai alat eksekutif yang mendukung kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Otoritas Presiden:
Soeharto memiliki otoritas eksekutif yang besar. Ia mengendalikan hampir semua
aspek pemerintahan, termasuk militer, ekonomi, dan politik.
Pengendalian terhadap Partai Politik:
Partai Politik di bawah Orde Baru diawasi dan dikendalikan secara ketat oleh
pemerintah. Hanya partai-partai yang mendukung Soeharto yang diperbolehkan
beroperasi.
Represi terhadap Oposisi:
Selama Orde Baru, oposisi politik ditekan dengan keras. Hak-hak sipil dan
kebebasan berbicara dibatasi, dan media diperintah untuk mengikuti narasi
pemerintah.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi:
Soeharto menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi yang kuat, yang dikenal
sebagai "Pembangunan Berkeadilan." Hal ini berhasil meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga menghasilkan ketidaksetaraan dan korupsi yang signifikan.
Masa Orde Baru berakhir pada tahun 1998 akibat tekanan dari gerakan reformasi
yang didorong oleh protes rakyat. Pengunduran diri Soeharto mengakibatkan
transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka dan pluralistik di Indonesia
b. Legislatif
sejarah perkembangan dan eksistensi legislatif di Indonesia selama masa Orde
Baru:
Supersemar dan Kudeta 1966: Masa Orde Baru dimulai setelah peristiwa
"Supersemar" pada Maret 1966, ketika Soeharto diangkat menjadi kepala
Angkatan Darat. Setelah itu, Soeharto mengambil alih kekuasaan secara resmi
dengan memaksa Soekarno mundur. Hal ini mengakibatkan perubahan signifikan
dalam pemerintahan.
Sistem MPR-Gotong Royong: Masa Orde Baru menciptakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang memiliki struktur baru, yang dikenal
sebagai "Gotong Royong." MPR menjadi lembaga legislatif tertinggi yang
memiliki kewenangan besar.
Pengendalian Golkar: Partai Golongan Karya (Golkar) mendominasi perwakilan
dalam MPR. Golkar adalah partai yang mendukung pemerintah Soeharto dan
memiliki kendali yang kuat dalam proses legislatif.
Manipulasi Pemilu: Pemilihan umum selama Orde Baru sering kali diatur dan
dimanipulasi untuk memastikan kemenangan Golkar dan kandidat yang disetujui
oleh rezim Soeharto.
Otoritarianisme dan Pusat Pemerintahan: Selama Orde Baru, kekuasaan eksekutif
sangat dominan, dan pemerintah pusat berperan besar dalam mengendalikan
semua aspek kehidupan politik dan legislatif di Indonesia.
Masa Tenggang Rasa dan Monolisme: MPR secara rutin memberikan legitimasi
kepada Soeharto sebagai presiden, dan hampir tidak ada oposisi yang signifikan.
Ini menciptakan monolisme politik di Indonesia, di mana kekuasaan Soeharto
tidak pernah diganggu oleh lembaga legislatif.
Tahun 1998 dan Keruntuhan Rezim: Krisis finansial Asia pada tahun 1997-1998
dan tekanan dari gerakan reformasi akhirnya mengakibatkan keruntuhan rezim
Soeharto pada Mei 1998.
Masa Orde Baru adalah periode ketika lembaga legislatif cenderung menjadi alat
penguasa untuk mempertahankan kekuasaan, dan pengaruh politik yang besar
berada di tangan pemerintah dan partai yang mendukungnya. Legislatif dalam
periode ini memiliki sedikit independensi atau kontrol atas eksekutif dan berperan
dalam mendukung agenda pemerintah Soeharto
c. Yudikatif
sistem yudikatif mengalami perubahan yang mencerminkan kendali politik yang
kuat oleh pemerintah dan rezim Soeharto. Berikut adalah sejarah perkembangan
dan eksistensi sistem yudikatif di Indonesia selama masa Orde Baru:
Pengendalian Politik Pemerintah: Pemerintah Orde Baru, yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto, mengendalikan sistem yudikatif secara ketat. Pemerintah
memiliki pengaruh yang kuat terhadap penunjukan dan promosi hakim-hakim,
serta terhadap keputusan-keputusan yudisial.
Ketidakbebasan Hakim: Sistem peradilan dalam Orde Baru tidak bebas dari
intervensi politik. Hakim-hakim cenderung tunduk pada tekanan dari pemerintah,
terutama dalam kasus-kasus politik dan hak asasi manusia.
Hakim yang Berpihak kepada Pemerintah: Beberapa pengadilan dalam periode
Orde Baru dianggap sebagai alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan
dan menindas oposisi politik.
Larangan Terhadap Organisasi dan Aktivitas Politik: Pemerintah Orde Baru
melarang partai politik yang tidak sesuai dengan pemerintah dan menghambat
aktivitas politik yang kritis terhadap pemerintah. Hal ini juga memengaruhi
independensi sistem yudikatif.
Kasus-Kasus Politik: Beberapa kasus politik penting selama Orde Baru
melibatkan hakim-hakim yang dianggap tunduk pada pemerintah, termasuk kasus
pemimpin oposisi seperti Pramoedya Ananta Toer.
Peradilan Hak Asasi Manusia: Sistem peradilan Orde Baru sering kali tidak
mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, terutama dalam kasus-
kasus yang melibatkan kekerasan militer dan penindasan politik.
Masa Reformasi 1998: Masa Reformasi yang dimulai pada tahun 1998, setelah
jatuhnya Soeharto, membawa perubahan signifikan dalam sistem yudikatif
Indonesia. Reformasi hukum dan konstitusi dilakukan untuk meningkatkan
independensi peradilan dan memperbaiki penegakan hukum di Indonesia.
Selama Orde Baru, sistem yudikatif di Indonesia sering kali digunakan untuk
mendukung pemerintah dan melindungi kekuasaan politik yang ada. Hakim-
hakim dan lembaga-lembaga peradilan sering kali tidak bebas dari tekanan politik,
yang mengakibatkan penurunan kualitas peradilan dan perlakuan yang tidak adil
terhadap warga negara. Reformasi hukum dan yudikatif yang dimulai selama
masa Reformasi bertujuan untuk memperbaiki masalah ini dan meningkatkan
independensi sistem yudikatif.

6. Sejarah perkembangan Reformasi tahun 1998-sekarang dan eksistensi Lembaga


Eksekutif, Legislatif, Yudikatif
a. Eksekutif
Jatuhnya Soeharto membawa akhir Orde Baru dan dimulainya periode reformasi.
Gerakan reformasi menuntut perubahan fundamental dalam politik, termasuk
reformasi konstitusi dan demokratisasi.
Perubahan Konstitusi:
Reformasi konstitusi menghasilkan perubahan dalam UUD 1945, termasuk
pembatasan masa jabatan presiden, pengakuan hak asasi manusia, pemilihan
langsung presiden, dan desentralisasi kekuasaan.
Pemilihan Presiden Langsung:
Reformasi membawa pemilihan presiden langsung di Indonesia. Presiden dipilih
langsung oleh rakyat dan tidak lagi melalui MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat).
Demokratisasi:
Reformasi membuka ruang bagi partai politik yang lebih banyak dan keragaman
pendapat politik. Partai-partai berbasis agama dan regional muncul sebagai
kekuatan politik yang signifikan.
Peran Eksekutif yang Terbatas:
Meskipun presiden tetap merupakan pemimpin eksekutif tertinggi, peran eksekutif
sekarang lebih terbatas oleh mekanisme checks and balances yang diperkenalkan
dalam sistem politik.
Perkembangan Eksekutif Selanjutnya:
Sejak awal reformasi, Indonesia telah melihat beberapa presiden yang memimpin
negara, seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang
Yudhoyono, Joko Widodo, dan lainnya.
Peran KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi):
KPK dibentuk untuk mengatasi korupsi di pemerintahan dan menjadi salah satu
lembaga independen yang penting dalam menjaga akuntabilitas eksekutif.
Masa reformasi terus berlanjut, dan Indonesia terus melanjutkan transformasi
politiknya. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan dalam eksekutif
dan sistem politik Indonesia menuju demokrasi yang lebih terbuka dan partisipatif
b. Legislatif
sistem legislatif mengalami perubahan yang mencerminkan otoritarianisme
pemerintah dan dominasi partai politik yang mendukung Soeharto. Berikut adalah
sejarah perkembangan dan eksistensi legislatif di Indonesia selama masa Orde
Baru:
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR): Sistem legislatif Indonesia selama Orde
Baru didominasi oleh MPR, yang terdiri dari dua dewan, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR adalah lembaga
tertinggi yang memiliki kekuasaan konstitusi.
Dominasi Partai Golkar: Partai Golongan Karya (Golkar) adalah partai politik
yang mendukung pemerintah Soeharto dan memiliki kendali yang kuat dalam
proses legislatif. Golkar sering digunakan sebagai alat untuk mengendalikan
perwakilan politik.
Pemilu Tidak Demokratis: Pemilihan umum selama Orde Baru sering kali diatur
dan dimanipulasi untuk memastikan kemenangan Golkar dan kandidat yang
disetujui oleh rezim Soeharto. Hal ini berdampak pada rendahnya partisipasi
politik dan persaingan yang adil.
Ketidakbebasan Partai Politik: Pemerintah Orde Baru menghambat aktivitas partai
politik oposisi, dan beberapa partai politik tidak diizinkan beroperasi. Hal ini
menyebabkan monopoli politik oleh Golkar dan rezim Soeharto.
Kendali Pemerintah Terhadap DPR: DPR selama Orde Baru cenderung menjadi
alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan daripada lembaga yang
independen. DPR memberikan dukungan tanpa syarat kepada pemerintah.
Manipulasi Kekuasaan Konstitusi: Pemerintah Orde Baru mengendalikan proses
konstitusi dan mengeluarkan amendemen konstitusi yang menguntungkan
pemerintah dan presiden Soeharto.
Peran MPR dalam Pemilihan Presiden: MPR memiliki peran penting dalam
pemilihan presiden, dan dalam prakteknya, presiden dan wakil presiden dipilih
melalui mekanisme yang memastikan terpilihnya Soeharto selama berdekade-
dekade.
Penyensoran Legislatif: Beberapa undang-undang yang menghambat kebebasan
berpendapat dan berkumpul, seperti UU Keamanan Negara, diterapkan selama
Orde Baru.
Sistem legislatif selama Orde Baru sangat terpusat dan didominasi oleh kekuasaan
eksekutif. Legislatif, termasuk DPR dan MPR, cenderung mendukung pemerintah
dan memberikan legitimasi pada pemerintahan Soeharto. Hal ini menciptakan
monolisme politik dan rendahnya oposisi politik selama masa Orde Baru
c. Yudikatif
sejarah perkembangan dan eksistensi sistem yudikatif di Indonesia selama masa
Reformasi:
Reformasi Konstitusi: Salah satu langkah awal Reformasi adalah amendemen
konstitusi tahun 1999. Amendemen ini mengembalikan sistem ketatanegaraan ke
konstitusi 1945 dengan menegaskan prinsip negara hukum dan demokrasi.
Pemberian Kekuasaan kepada Mahkamah Konstitusi: Reformasi konstitusi juga
melibatkan pembentukan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003. Mahkamah
Konstitusi bertugas memeriksa konstitusionalitas undang-undang dan menjadi
lembaga penting dalam memastikan pemerintah berada dalam batasan hukum.
Independensi Sistem Yudikatif: Reformasi berupaya untuk meningkatkan
independensi sistem yudikatif dengan menetapkan prinsip-prinsip kemandirian
hakim dan perlindungan terhadap tekanan politik.
Pengadilan Hak Asasi Manusia: Untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi selama Orde Baru, pengadilan khusus dibentuk untuk mengadili
pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Ini merupakan langkah penting dalam
menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Reformasi Hukum: Reformasi juga melibatkan perubahan dalam undang-undang
dan peraturan hukum untuk memperkuat hukum dan peradilan di Indonesia.
Pemilihan Hakim dan Pengadilan yang Transparan: Proses seleksi dan penunjukan
hakim dan pejabat yudikatif menjadi lebih terbuka dan transparan untuk
menghindari nepotisme dan korupsi dalam sistem yudikatif.
Perlindungan Hak Asasi Manusia: Reformasi juga mencakup upaya untuk
memperkuat perlindungan hak asasi manusia dan menghentikan pelanggaran hak
asasi manusia yang ada.
Peradilan Korupsi: Untuk memerangi korupsi, pengadilan korupsi didirikan untuk
mengadili kasus-kasus korupsi.
Masa Reformasi di Indonesia telah melihat usaha besar untuk memperbaiki sistem
yudikatif, memperkuat independensi, dan memastikan bahwa hukum ditegakkan
secara adil. Meskipun masih ada tantangan dan perbaikan yang diperlukan,
perubahan-perubahan ini telah membawa kemajuan signifikan dalam sistem
peradilan Indonesia. Reformasi ini telah mengukuhkan prinsip negara hukum dan
demokrasi dalam tatanan politik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Suwarno, (2012). Sejarah politik Indonesia modern. Penerbit ombak.


Budiardjo, Miriam. (1972). Dasar – Dasar Ilmu Politik. penerbit PT Gramedia
Jakarta.
Rudini, H. (1994). Demokrasi Indonesia. Yogyakarta, penerbit BIGRAF
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai