Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN
” OTONOMI DAERAH ”

Disusun Oleh:
Ravica Yaslina (2014050056)
Muhammad Farel (2014050054)
Khairiyyatul Hanifah (2014050050)

Dosen Pengampu:
Hj.Wahyuli Lius Zen SE.,M.Pd

JURUSAN TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
2020/2021

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Administari
Pendidikan
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelenggaraan pendidikan, dimana di dalamnya termasuk pendidik.
Makalah ini disusun agar dapat membantu pembaca dalam memahami yang kami sajikan
berdasarkan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusunan dengan berbagai
rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun datang dari luar. Namun dengan
penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis, kritik
dan saran dari pembaca akan sangat perlu untuk memperbaiki dalam penulisan makalah dan
akan diterima dengan senang hati. Serta semoga makalah ini tercatat menjadi motivator bagi
penulis untuk penulisan makalah yang lebih baik dan bermanfaat. Aamiin.

Sijunjung, 9 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………….
1. Latar belakang……………………………………………………..
2. Rumusan Masalah…………………………………………………..
3. Tujuan Penulisan…………………………………………………..
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………..
1. Pengertian Otonomi Daerah
2. Latar Belakang Otonomi Daerah
3. Dampak Otonomi Daerah
BAB III
PENUTUP……………………………………………………….
Kesimpulan……………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah menjadi sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya
perdebatan seputar otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan
pemerintahan mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan
konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat
wacana dan konsep otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring
berdirinya Republik ini. Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali muncul
dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat otonomi
daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di
daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari
idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum
seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan
rumah tangga (Marbun, 2005:45).

Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era
Reformasi ini diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali
diturunkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan  UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat memberikan keleluasaan
kepada masyarakatnya untuk mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki
masing-masing daerah yang diwadahi oleh pemerintah daerah. Bagian Penjelasan
Umum Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti


daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan di
luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hal tersebut telah jelas bahwa pemberian otonomi kepada daerah pada intinya adalah
untuk memberikan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah demi terciptanya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pegembangan kehidupan demokrasi,
keadilan dan pemerataan serta keserasian hubungan antara pusat dan daerah sesuai
dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah. Sungguhpun demikian, selama
kurun waktu hampir satu dasa warsa pelaksanaan otonomi daerah pasca Reformasi
1998, masih saja ditemui kesenjangan posisi, kewenangan dan tanggung jawab serta
implementasi dari regulasi‐regulasi yang telah ditetapkan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian otonomi daerah ?
2. Bagaimana latar belakang nya ?
3. Apa sajakah dampak dari otonomi daerah ?

1.3 Tujuan:
1. Mengetahui pengertian otonomi daerah.
2. Mengetahui latar belakang otonomi daerah.
3. Mengetahui dampak dari otonomi daerah.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH


Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri

dannamos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat

diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.

Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna

yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti

kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan

mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi

sesuai yang dibutuhkan daerah maka dapat dikatakan bahwa daerah sudah berdaya

(mampu) untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dan paksaan dari

pihak luar dan tentunya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :


1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk

mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.

2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan

atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung

kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu

terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.  Syarif Saleh,

3. bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak

mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah

adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko mengartikan

otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat.

2. LATAR BELAKANG OTONOMI DAERAH


Kebijakan otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap

berbagai kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Baru menjalankan mesin

sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian

disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama

tegaknya sentralisasi kekuasaan Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang

sebelumnya tumbuh sebelum Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah

kontrol kekuasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan)

menjadi alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang

tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong
lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama, faktor internal yang

didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme di masa lalu. Kedua,

adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap

kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi sebagai

akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

Selama lima tahun pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi

kebutuhan politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya

kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan

politiknya, namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik

yang diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya

kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi dan

investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya kemauan

baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi jalan alternatif bagi

tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.

Pada saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen

Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi

terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada

dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses

penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang melakukan

hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting

dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat dan pelembagaan

demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu

penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau demisioner. Tanggal 29 September

2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 1999-2004,

Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi) terhadap UU No. 22


tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil

pemilu 2004 dilantik. Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya

untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.

Tibalah saatnya Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik

rakyat, termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut

desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah harus segera

digantikan dengan penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal yang demokratis. 

Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang sistematis untuk melakukan

evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan desentralisasi yang berlangsung selama ini.

Dibutuhkan indikator desentralisasi yang membuka ruang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal (political equality),

mengedepankan pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan

meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan

masyarakat setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk

kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek desentralisasi

yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.

3. DAMPAK OTONOMI DAERAH


Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut
memberikan kewenangan penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas, nyata
dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara
Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing
daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber
pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan
Pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat
lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan Pemerintahan
maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Berikut dampak otonomi daerah di berbagai bidang :
1.       Bidang Politik
Kebijaksanaan otonomi daerah yang baru membawa dampak yang luas
diantaranya terhadap pembinaan birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu
yang menyangkut masalah kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan
perundangan yang sudah ada, yaitu Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini
dinyatakan dengan tegas dalam pasal 75 UU no.22 tahun 1999 yang menyatakan “
Norma, standar dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban, serta kedudukan hukum pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan
dengan perundang-undangan.
2. Bidang Ekonomi
Dengan adanya otonomi daerah, suatu daerah dituntut untuk lebih peka dan
bertanggung jawab terhadap permasalahan ekonomi lokal sekaligus
mengoptimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya. Maka dari itu perlu adanya
tata kelola ekonomi daerah supaya terbentuk otonomi daerah yang baik. Di negara
kita maupun di berbagai macam daerah sering meneriakkan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, partisipasi yang tidak lain hanya menuju ke
arah good governance. Seperti halnya otonomi daerah harus memiliki tata kelola
ekonomi yang baik, dengan mempertimbangkan fungsi desentralisasi yang
semakin kompleks khususnya di bidang ekonomi.
3. Bidang Pendidikan
Kebijakan otonomi daerah dalam pendidikan memberikan dampak baik positif
maupun negatif. Daerah yang dapat memanfaatkan kondisi yang ada tentu saja
akan memberikan dampak positif dari otonomi daerah tersebut. Fenomena muncul
raja-raja kecil didaerah diakibatkan ketika kontrol Pemerintah pusat tidak lagi
berperan dalam pengambilan keputusan dan pengawasan hal ini menjadi dampak
negatif jika Pemerintah belum siap dalam desentralisasi.
Daerah yang kaya akan jauh lebih banyak menyedot tenaga guru yang berkualitas.
Akhirnya daerah-daerah tertentu di Indonesia akan kelebihan guru dan daerah
yang lainnya kekurangan tenaga guru. Desentralisasi pendidikan menentukan pula
hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran
dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah.
Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan kemungkinan terjadinya hasil belajar
siswa.

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Menurut undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Otonomi


daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi daerah di indonesia lahir ditengah gejolak sosial yang sangat masif di tahun
1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda indonesia
di tahun 1997 yang kemudian melahirkan gejolak politik dan puncaknya ditandai
dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih
32 tahun di indonesia. Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998,
mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan
daerah-daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan
kekayaan alam yang dimilikinya. Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai
konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan
indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti.

Dampak otonomi daerah dalam aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam
Desentralisasi politik adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalam pendidikan
otonomi daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk
mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan
kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya. Dalam bidang
ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.

3.2 Saran

Melalui makalah ini kami menyarankan agar Sebaiknya para aparatur pemerintah
daerah dibekali dengan pendidikan yang cukup yang dapat dimiliki oleh aparatur
daerah dalam menjalankankan tugas dan wewenangnya masing-masing. Dan dapat
menjalankan tugas dan wewenangnya dengan bijaksana dan adil.

DAFTAR PUSTAKA

Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi Penyerahan Urusan


Pemerintahan” Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.

Widjaja, HAW. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajagrafindo Banten.
Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi

Anda mungkin juga menyukai