OTONOMI DAERAH
Disusun oleh:
Rr. Puspa Buana Sari Sri Maharani 1710211151
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2017/2018
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami pun mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Subakdi selaku dosen pengajar pada mata kuliah program ini.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah program Pancasila dan
Kewarganegaraan. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai Otonomi Daerah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi kami ataupun bagi yang membacanya.
Kami sadar makalah ini masih jauh dari sebuah kata “kesempurnaan”, oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki makalah ini agar lebih baik ke
depannya. Kami juga berharap makalah ini memiliki ajaran dan manfaat yang dapat diambil
oleh kita semua. Apabila ada kesalahan kata yang tidak disengaja, kami mohon maaf sebesar-
besarnya. Terimakasih.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
2
Sumber keuangan daerah yang asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm
perusahaan daerah dan dinas daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu
memberikan kontribusinya bagi keuangan daerah.
Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup dari segi
jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi penggunaannya. Syarat-syarat
peralatan semacam inilah yang akan sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan
organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat
dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang sungguh-sunggguh
terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor tersebut
di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih menunjukkan
sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita berkeinginan untuk
merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan perhatian yang sungguh-
sungguh perlu diberikan kepada empat faktor di atas.
1
BAB II
ISI
Otonomi berasal dari autonomy yang berasal dari kata Yunani autonomos. Auto
berarti sendiri, sedangkan nomos berarti aturan atau undang-undang. Jadi, otonomi adalah
hak untuk mengurus atau mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab.
UU No 32 th 2004 Pasal 1 :
Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta
centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Pembagian
kekayaan dirasakan tidak adil dan tidak merata. Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-
luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa.
2
2.3 Tujuan Dilaksanakan Otonomi Daerah
Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing. Memberdayakan dan
meningkatkan kemampuan suatu daerah demi kemaslahatan masyarakat daerah itu sendiri.
UU No. 1 tahun 1945 tentang Pemerintahan Daerah. Disini ditetapkan daerah otonomi
adalah Karesidenan,Kabupaten, dan Kota. Namun tidak ada PP sehingga tidak
dilaksanakan.
UU No. 22 tahun 1948 tentang Susunan pemerintahan daerah yang Demokratis. Dlm
UU diatur dua jenis daerah otonom yaitu otonom biasa dan daerah otonom istimewa,
juga diatur tiga tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi,kabupaten/kota besar, dan
desa/kota kecil.
UU Nomor 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku menyeluruh dan
bersifat seragam.
UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah yang menganut otonomi yang
seluas-luasnya.
UU No. 5 Tahun 1974 mengatur tentang ketentuan pokok-pokok di dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas utama pemerintah pusat di daerah
(“otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”). Konsep otonomi ini (tidak otonomi
seluas-luasnya) dipilih di dalam rangka mencegah terjadinya perpecahan NKRI. 25
tahun kemudian barulah diganti dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah. Momentum terhadap otonomi daerah semakin mendapatkan tempatnya
setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 yang secara tegas
dan eksplisit dinyatakan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan
desentralisasi kekuasaan politik.
1
2.5 Kasus KLB Campak dan Gizi Buruk Suku Asmad
Kejadian luar biasa (KLB) campak dan masalah gizi buruk yang dialami sebagian
warga Suku Asmat, Papua, memakan korban jiwa. Selama September 2017 hingga 28 Januari
2018, sebanyak 71 anak meninggal dunia, 646 anak terjangkit campak, dan 218 anak
menderita gizi buruk. Pemerintah bertindak segera dengan membentuk satuan tugas (satgas)
kesehatan.
Dari berbagai faktor penyebab KLB campak di Asmat, setidaknya dapat diidentifikasi
tiga masalah: (1) cakupan imunisasi dasar yang kurang dengan rata-rata hanya sekitar 20
persen, (2) tenaga kesehatan yang tidak terdistribusi dengan baik, dan (3) gizi buruk. Dari 23
distrik di Kabupaten Asmat, ada 13 puskesmas utama dan tiga puskesmas pembantu yang
dilayani tujuh dokter. Jarak antar-puskesmas bisa memakan waktu tempuh berjam-jam dan
bahkan berpuluh-puluh jam dengan biaya yang tidak murah. Sedangkan gizi buruk di wilayah
yang terkena dampak, sebanyak 30,3 persen mengalami masalah berat badan kurang
(underweight) dan 25,9 persen pertumbuhan terhambat (stunting).
Jika dilihat lebih jauh, akar dari masalah ini adalah (1) akses dan ketersediaan pangan,
(2) sanitasi dan fasilitas air bersih yang tidak memadai, (3) akses transportasi yang amat
mahal atau bahkan tidak tersedia sama sekali, (4) akses dan infrastruktur informasi yang
sangat minim, serta (5) pola hidup dan pola asuh yang kurang sehat.
KLB memang perlu penanganan secara cepat dan efisien. Pemerintah telah
menetapkan delapan wilayah penanganan, seperti distrik Sawa Ema, Pulau Tiga, dan Pantai
Kasuari. Untuk memperkuat tenaga medis, satgas telah menghimpun tambahan tenaga medis
sebanyak 70 orang dari TNI, 15 orang dari Polri, 45 orang dari pemerintah pusat, dan 40
orang dari pemerintah daerah.
2
Masalah kesehatan di Asmat ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Hal yang sama
amat mungkin terjadi di kabupaten-kabupaten lain di Papua. Stunting, misalnya, mengancam
wilayah lain, seperti Tolikara, Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, dan Dogiyai.
Wilayah-wilayah lain dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakatnya yang masih
rendah berpotensi terancam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti
Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, Waropen, Supiori, Yalimo, Mamberamo Raya,
Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya.
Data status kesehatan yang menjadi pijakan perkiraan ini sudah tersedia sejak
sebelum 2015. Mengapa kasus di Asmat tidak dapat diantisipasi? Yang lebih mendasar:
anggaran yang digelontorkan untuk Papua dan Papua Barat sekitar Rp 60-80 triliun per tahun.
Mengapa pembangunan manusianya, yang hanya berjumlah 4 juta jiwa, tidak mencapai
kualitas yang diharapkan?
Kondisi geografis yang sulit dijangkau, akses informasi yang amat terbatas,
rendahnya infrastruktur dasar, serta minimnya tenaga lapangan yang mampu menjangkau
hunian warga adalah satu sebab yang sudah lama diketahui dan memang tidak mudah
ditangani. Pada periode ini, pemerintah telah berusaha keras mengatasinya dengan jalan
membuka keterisolasian melalui pembangunan infrastruktur hingga menyalurkan berbagai
jaminan sosial. Tapi tidak semua berjalan semulus yang diharapkan.
Karena itu, selain pendekatan jangka pendek dalam penanganan krisis saat ini, dalam
intervensi jangka menengah dan panjang tumpuannya adalah peningkatan kualitas,
ketersediaan tenaga medis, dan penciptaan ketahanan pangan yang berbasis pada pola hidup
masyarakat. Yang lebih penting lagi adalah pendampingan pemerintah daerah dalam
pelayanan publik, termasuk pelayanan kesehatan. Kementerian/lembaga harus mendampingi
mereka dalam jangka tertentu, misalnya 3-5 tahun, hingga mereka mampu mengelola
pelayanan publik dengan standar yang baik.
1
Persoalan kesehatan di Papua telah menyentak kita. Tapi hal ini juga menjadi
kesempatan bagi semua pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah, untuk berbenah.
Presiden Jokowi secara terbuka telah menyatakan masalah ini tidak perlu ditutup-tutupi. Hal
tersebut akan membuka ruang partisipasi dan koreksi dalam pelaksanaannya.
Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1055762/tantangan-masalah-kesehatan-papua
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, pada
suku asmat papua masalah kesehatan yang terjadi sangat tidak baik, karena tidak adanya
otonomi daerah atau tidak berjalannya otonomi daerah di asmat papua, karena itu banyak
masalah yang terjadi seperti halnya masalah kesehatan, yaitu :
1. Kejadian luar biasa (KLB) campak dan masalah gizi buruk yang dialami
sebagian warga Suku Asmat, Papua, memakan korban jiwa
2. Cakupan imunisasi dasar yang kurang dengan rata-rata hanya sekitar 20 persen
3. Tenaga kesehatan yang tidak terdistribusi dengan baik
4. Gizi buruk
Setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya
kepada pemerintahan pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan
daerah tersebut apabila Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam
merencanan suatu program serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan
terjadi dikemudia hari.
Solusi
1. Memperbaiki otonomi daerah di asmat Papua
2. Perbaiki pola hidup masyarakat asmat Papua
3. Memberikan edukasi masalah kesehatan ke masyarakat asmat Papua
4. Memperbaiki kerja para pemerintah daerah agar dapat mendengarkan dan membantu
masyarakatnya
5. Meningkatkan fasilitas kesehatan
6. Meningkatkan tenaga kerja kesehatan
2
7. Membangun alat transportasi agar mudah di jangkau
8. Meningkatkan fasilitas air bersih
9. Melakukan imunisasi bagi setiap masyarakat
10. Melakukan pengecekan kesehatan berkala ke setiap daerah tersebut