Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

SEJARAH PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA

Oleh :

Nama : RUSLAN EFENDI

Nim : 530050172

UNIVERSITAS TERBUKA

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ILMU ADMINISTRASI

UPBJJ-UT PALANGKA RAYA

2021

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah senantiasa kami panjatkan puja dan puji syukur

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga

saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah

pemerintahan daerah dengan judul : “Sejarah Pemerintahan Daerah Di

Indonesia”.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari

bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik

sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan

keterterbatasan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu

saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan, bahkan kritik yang

membangun dari berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga makalah ini

dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Nanga Bulik, November 2021

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

1.1........................................................................................................................................ Latar Belak

.......................................................................................................................................1-9

1.2........................................................................................................................................ Rumusan M

.......................................................................................................................................10

1.3........................................................................................................................................ Tujuan Pen

.......................................................................................................................................10

1.4........................................................................................................................................ Manfaat Pe

.......................................................................................................................................11

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

2.1........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................12-16

2.2........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................17-22

2.3........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................22-26

2.4........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................27-28

2.5........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................28-29

2.6........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................29-30

iii
2.7........................................................................................................................................ Pemerintah

.......................................................................................................................................29-31

BAB III PENUTUP...........................................................................................................

3.1........................................................................................................................................ Kesimpulan

.......................................................................................................................................32-33

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia

pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi

perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami

perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan

daerah seperti sekarang ini. Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa

berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum.

Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang

berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang.

Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak

iv
dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah bahwa susunan daerah

otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan

eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode

pemerintahan daerah. Pada periode I tahun 1945-1948 bahwa belum terdapat

sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus.

Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu

digunakan pula aturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur

mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional

Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian

daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan

pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di

Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat

dengan adanya KNI Pusat. Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi

menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-

karesidenan, masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan

karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan

pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan

bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada, dengan

demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum

mendapat otonomi.

Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula

Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte)

yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih

lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-

v
wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti

berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui

perwakilan yang disebut dengan Komisaris. Tingkatan selengkapnya yang ada

pada masa itu adalah Provinsi warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh

jepang, Karesidenan disebut Syu oleh Jepang, Kabupaten/Kota disebut

Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia Belanda disebut

Regentschap/Gemeente/Stadgemeente, Kawedanan disebut Gun oleh Jepang, Desa

disebut Ku oleh Jepang.

Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya undang-undang

nomor 1 tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki

otonomi yaitu, Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten. Pemebrian otonomi itu

dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan

Rakyat Daerah. Penyelenggara pemerintahan daerah adalagh Komite Nasional

Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Otonomi. Untuk

pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite

Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.

Pada periode II tahun 1948-1957 ini berlaku Undang-Undang Pokok

Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah

Undang-undang pertama kalinya yang mengatur susunan dan

kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki

dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom

khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi

nomenklatur Daerah Istimewa adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan

kedudukan zelfbesturende landschappen atau kooti/daerah swaparja yang telah

vi
ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya.

Masing-masing darerah berotonomi tersebut memliki tiga tingkatan dan

nomenklatur yang berbeda-beda yaitu, daerah otonom biasa tingkat I disebut

Provinsi, tingkat II disebut Kabupaten/Kota Besar, tingkat III disebut Desa,

Negeri, Marga, atau nama lain Kota kecil dan daerah otonom khusus tingkat I di

sebut Daerah Istimewa setingkat provinsi, tingkat II di sebut Daerah Istimewa

Setingkat Kabupaten, tingkat III di sebut Daerah Istimewa Setingkat Desa. Pada

periode III tahun 1957-1965 ini berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang

tentang pokok-pokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-

Undang RI Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-undang NIT Nomor 44 Tahun

1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah

otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang

disebut dengan daerah istimewa. Selain dua macam daerah berotonomi tersebut

terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem

pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda dan Republik II (Pemerintahan

Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat

dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra. Undang-

undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur

Pemerintahan Daerah dimana pemerintahan lokal terdiri dari, legislatif yaitu

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Eksekutif yaitu Dewan

Perwakilan Daerah (DPD). DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah

tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan Undang-undang. Pemilihan dan

penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa

vii
jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar

waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah

anggota DPRD ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan, dengan dasar

perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua  DPRD di pilih

oleh dan dari anggota DPRD. Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan

menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri. Kepala

Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar

waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut.

Pada periode IV tahun 1965-1974 ini berlaku Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor

6 tahun 1959, Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1960, Penetapan Presiden

Nomor 5 tahun 1960, Penetapan Presiden Nomor 7 tahun 1965. Menurut Undang-

undang ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi.

Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah yaitu, tingkat I

Provinsi/Kotaraya, tingkat II Kabupaten/Kotamadya, tingkat III

Kecamatan/Kotapraja. Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara

sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk

mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III,  maka

dikeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai

Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh

Wilayah Indonesia.

Pada periode V tahun 1974-1999 ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun

viii
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini

menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat

diterapkan. Menurut Undang-undang ini secara umum Indonesia dibagi menjadi

satu macam daerah otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah

Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan

batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah

ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan

nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat

II adalah ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan wilayah administratif dan

daerah otonom disatukan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal

18 Konstitusi Republik IV dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi ide-

ide yang ada dalam penjelasan Konstitusi. Undang-undang ini cukup lama

bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami

penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis [13] pada 1976 dan

dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Timor

Timur dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan

Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990 Kota

Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah

Tingkat I melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan

Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Selain

itu tidak banyak yang menonjol dari pemerintahan daerah.

ix
Pada periode VI tahun 1999-2004 berlaku Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini

menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979. Menurut Undang-undang ini Indonesia dibagi

menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada

tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah

administratif. Tiga jenis daerah adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan

Daerah Kota. Ketiga jenis daerah ini tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak

ada hirarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah

administratif. Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal

menggunakan nomenklatur Pemerintahan Daerah.

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah

Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa

periode VII Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Menurut Undang-undang ini Indonesia dibagi menajdi satu jenis daerah otonom

dengan perincian Negara Kesatuan Republik Inodenesia di bagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah

kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan atau keistemewaan yang ada

pada empat daerah yaitu, Aceh, Jakarta, Papua dan Yogyakarta.

x
 Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.

Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas Pemerintah Daerah

Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh

(Pemda Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Acaeh

terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR

Aceh dan Pemerintah daerah Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua

Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua).

Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai

representasi kultural orang asli Papua. Pemerintah daerah Kabupaten/Kota terdiri

atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupate/Kota.

Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan Perwakilan

Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di

lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama

Kabupaten/Kota yang menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh.

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai

unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan

tentang DPRD sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-

undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat

memiliki anggota sebanyak 125% dari jumlah yang ditentukan dalam Undang-

xi
undang yang mengatur mengenai DPRD. Kepala daerah untuk provinsi disebut

Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati dan untuk Kota disebut Walikota.

Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur. Untuk kabupaten

disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil Walikota. Gubernur yang

karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah

provinsi yang bersangkutan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil. Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat

daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat

daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat

DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan. Desa atau

nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah

yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,

berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati

dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini

adalah Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang

di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluk

uSecara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya

menjadi kelurahan. Dalam pemerintahan kabupaten/kota dibentuk pemerintahan

desa yang terdiri dari pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan

Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala

Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa yang syarat dan tata cara

pemilihannya diatur dengan Peraturan daerah. Masa jabatan kepala desa adalah 6

xii
(enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan

berikutnya. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa

bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota

dan badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan

yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota

badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1

(satu) kali masa jabatan berikutnya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi

Republik VI pasal 18, 18A, dan 18B. Dalam perjalanannya Undang-undang ini

telah diubah sebanyak dua kali dengan Perppu Nomor 3 Tahun 2005 (ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah Aceh dan Jakarta kembali

diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan Jakarta diatur

kembali dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan

Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Provinsi Papua tetap diatur dengan Undang-undang Nomor

21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Provinsi Papua

Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi

khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2008

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2008

xiii
1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah makalah ini sebagai

berikut :

a. Bagaimana mengetahui sejarah perkembangan sistem pemerintahan daerah

di Indonesia?

b. Bagaimana memahami sistem dan proses sejarah pemerintahan daerah di

Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui perkembangan sejarah pemerintahan daerah di

indonesia

b. Untuk mengetahui sistem dan proses sejarah pemerintahan daerah di

indonesia

1.4. Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah perkembangan pemerintahan

daerah di indonesia. Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat

terhadap sumber informasi dan pengetahuan bagi para mahasiswa

dalam memahami sejarah pemerintahan daerah di indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pemerintahan daerah dan

mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus

xiv
untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menyusun makalah

tentang sejarah pemerintahan daerah di indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pemerintahan Daerah di bawah Decentralisatie Wet 1903

Persoalan perubahan bentuk pemerintahan di Hindia Belanda juga

disuarakan di parlemen Belanda. Pada tahun 1880, L.W.C Keuchenius kembali

memunculkan perdebatan mengenai perlunya dilakukan perubahan pada daerah-

daerah jajahan, perubahan ini berhubungan pada struktur ketatanegaraan di Hindia

Belanda agar tidak lagi bergantung pada Gubernur Jendral. Usulan mengenai

desentralisasi bagi daerah-daerah di tanah jajahan ini juga disuarakan oleh para

anggota parlemen lain seperti W.K Baron van Dadem pada tahun 1881, J.Th

xv
Cramer dan S. Van Houten pada tahun 1887. Kemudian pada periode selanjutnya

upaya menyuarakan desentralisasi di daerah jajahan meningkat pada babak baru

karena tokoh-tokoh yang mendukung desentralisasi menduduki posisi strategis

pada pemerintahan Belanda. Tetapi usaha-usaha untuk mewujudkan desentralisasi

belum bisa teralisasi meskipun keuchenius, van Dadem, J.Th. Cramer menduduki

posisi sebagai menteri koloni. Di Hindia Belanda perubahan struktur

pemerintahan juga disuarakan oleh van Der Wijck yang saat itu menjabat sebagai

Gubernur Jendral. Rancangan undang-undang yang telah dirancang oleh J.Th.

Cramer kembali digunakan oleh menteri koloni selanjutnya pada tahun 1901.

Perubahan sistem pemerintahan di Hindia Belanda menjadi daerah

otonomi juga berasal dari Hindia Belanda itu sendiri dikarenakan semakin

kompleksnya urusan yang bersifat lokal dan sederhana yang tidak dapat ditangani

lagi oleh pemerintah pusat di Batavia. Maka, sangat diperlukan perubahan pada

struktur pemerintahan saat itu. meningkatnya kegiatan yang bersifat lokal pada

akhir abad ke 19 dikarenkan adanya perubahan sistem perekonomian di Hindia

Belanda yang sebelumnya diatur oleh pemerintah kemudian pada masa sistem

liberal diberikan kesempatan pihak swasta untuk menanamkan modal di Hindia

Belanda mengakibatkan banyak perusahaan swasta yang dibuka. Akibatnya juga

dibuka kantor-kantor dagang dan bankbank yang didirikan di beberapa kota besar

di Hindia Belanda pada akhir abad ke 19. Semakin kompleksnya urusan yang

bersifat lokal mendesak diadakannya desentralisasi bagi daerahdaerah di Hindia

Belanda agar lebih mempermudah urusan dalam berbagai bidang. Kemudian

menanggapi segala hal yang mendesak diadakannya desentralisasi dari Belanda

dan dari Hindia Belanda di buatlah sebuah rancangan undang-undang

xvi
desentralisasi. Sebelumnya rancangan undang-undang desentralisasi yang

diajukan oleh menteri koloni selalu saja menimbulkan perdebatan di negeri

Belanda. Kemudian pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina merencanakan pelaksanaan

politik Etis di negeri jajahan. Konsep dari politik Etis ini yaitu etika Kristen dan

kewajiban Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda. Kemudian Hindia Belanda

bukan lagi sebagai daerah wingewest (daerah yang menguntungkan), tetapi

menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat dipenuhi keperluannya

dan ditingkatkan taraf hidupnya. Beberapa bagian dari pemerintahan diperbaiki

untuk menunjang pelaksanaan politik Etis. Salah satu bagian perbaikan organisasi

pemerintahan tersebut adalah diberlakukannya undang-undang desentralisasi

untuk memberikan dasar hukum desentralisasi bagi penguasa di tingkat lokal.

Selanjutnya dua perubahan administratif diperkenalkan. Pertama, pada tahun 1901

pemerintah Hindia-Belanda mengizinkan politik etis sebagai undang-undang baru

di koloni yang memungkinkan perencanaan, administrasi dan keruangan kota-kota

koloni secara lokal. Kedua, dibukanya kemungkinan daerah-daerah di Hindia

Belanda diberi otoritas sebagai Gemeente. Pada tahun 1903 atas usul A.W.F

Idenburg seorang menteri koloni pada Parlemen Belanda berhasil mengajukan

undang-undang desentralisasi bagi daerah Hindia Belanda. Undang-undang yang

diajukan oleh Indenburg ini tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang

diajukan sebelumnya, tetapi tidak mengalami perdebatan di Belanda dan

usulannya di terima. Untuk diadakannya perubahan terhadap pasal 68

Regeringsreglement 1854 ( Undang-Undang Dasar bagi daerah jajahan Belanda)

dengan penambahan pasal 68a, 68b, dan 68c, yang memberikan kesempatan untuk

membentuk daerah-daerah otonom. Ketiga pasal tersebut meliputi (terjemahan) :

xvii
Pasal 1 Didalam reglement tentang pokok-pokok kebijaksanaan Pemerintah

Hindia Belanda yang ditetapkan dengan Undang-undang tanggal 2 September

1854 (staatsblad No. 129), setelah pasal 68 disisipkan tiga pasal Pasal 68a Jika

keadaan memungkinkan,untuk wilayah atau bagian-bagian dari wilayah akan

diberikan uang dari daerah yang bersangkutan untuk membiayai kebutuhan-

kebutuhan khusus daerah itu. Penunjukan wilayah atau bagian dari wilayah,

dimana ketentuan diatas akan diterapkan, sejumlah uang dipisahkan dan

kebutuhan yang bersangkutan tidak akan dibiayai lagi dari keuangan umum

Hindia Belanda, diselenggarakan dengan ordonansi Pasal 68b Penggusuran dan

pertanggung jawaban dari keuangan sendiri dari wilayah atau bagian wilayah

diatur dengan peraturan umum dan pengawasan atas tanggung jawab dari

bendaharawan tidak diatur dengan cara lain. Pengurusan pengeluaran tersebut

sedapat mungkin diserahkan kepada dewan yang akan dibentuk dengan ordonasi

untuk tiap wilayah, dimana ditetapkan ketentuan dari ayat satu pasal 68a. Atas

beban satu wilayah atau bagian dari wilayah tidak dapat diadakan pinjaman uang

atau dijaminkan kecuali dengan syarat penguatan dari keputusan tersebut dengan

ordonansi Pasal 68c Dewan-dewan yang dimaksud dalam ayat dua dari pasal 68b,

berwenang untuk memperjuangkan kepentingan daerah, untuk mana dibentuk,

kepada Gubernur Jendral. Pasal-pasal tersebut diatas ditambahkan untuk

memberikan kejelasan bahwa dengan dibentuknya daerah-daerah yang mengelola

keuangan secara mandiri terpisah dari pemerintah pusat di Batavia. Untuk

mengelola keuangan di tingkat lokal maka diperlukan untuk membentuk dewan

lokal sehingga mampu mengelola keuangan secara mandiri pula. Usulan tersebut

disusul dengan terbitnya Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in

xviii
Nederlandsch-Indie pada tanggal 23 Juli 1903, atau lebih dikenal dengan nama

Decentralisatie Wet 1903. Undang-undang ini kemudian dipublikasikan melalui

Nederlandsche Staatblad tahun 1903 No. 219 dan melalui Indische Staatsblad

No.329). Undang-undang tersebut merupakan undang-undang otonomi

pemerintah pertama yang dikeluarkan di Hindia Belanda. Dalam rangka

pelaksanaan Decentralisatie Wet 1903 pemerintah Belanda mengeluarkan

Decentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie, dalam Decentralisatie

Besluit mengemukakan tentang pokokpokok pembentukan, susunan, kedudukan,

dan wewenang dewan (Raad) dalam pengelolaan keuangan yang dipisahkan dari

pemerintah pusat. Sedangkan Local Raden Ordonnantie merupakan aturan

pelaksanaan yang menentukan struktur, status, kewenangan dewan (Raad), yaitu

Gewestelijke Raad, Plaatselijk Raad, dan Gemeenteraad. Dengan dasar undang-

undang dan aturan tersebut maka daerah-daerah di Hindia Belanda yang telah

memenuhi syarat diubah statusnya menjadi kota otonom yang memiliki

pemerintahan sendiri yang terpisah dengan pemerintahan pusat tetapi tetap

bertanggung jawab kepada pemerintah pusat (Gubernur Jendral). Pada hakekatnya

Gemeente dan Kabupaten adalah kesatuan masyarakat hukum yang tingkatannya

sama, pendapatan daerah serta hak dan kewajiban yang sama. Hanya saja

Gemeente harus dipimpin oleh seorang walikota (burgermeester) oleh orang

Belanda bukan pribumi. Anggota dewan kota (Gemeente raad) terdiri dari orang

Belanda asli, Pribumi dan orang asing lainnya yang jumlahnya telah diatur oleh

pemerintah Belanda. Undangundang Desentralisasi menciptakan dewan-dewan

lokal, baik Dewan Keresidenan maupun Dewan Kota sebagai lembaga hukum

xix
yang mempunyai wewenang membuat peraturan. Desentralisasi ini mencakup tiga

hal yaitu :

1. Pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat di Belanda ke Hindia-

Belanda, kemudian dari pemerintahan ini ke departemen, pejabat lokal,

dan dari pejabat Belanda ke pejabat pribumi.

2. Menciptakan lembaga-lembaga otonom yang mengatur urusan sendiri.

3. Memisahkan keuangan negara dan keuangan pribadi.

Dengan dibentuknya Gemeente yang memiliki otoritas untuk mengelola

kota, lembaga kemudian memperoleh hak yang melekat pada wewenang yang

dimiliki. salah satu hak yang diberikan kepada Gemeente adalah hak untuk

mengumpulkan pajak dari warga kota yang bersangkutan. Gemeente juga diberi

hak untuk mengumpulkan dana dari usaha-usaha yang dialihkan oleh pemerintah

pusat, penjualan dan penyewaan rumah, tanah dan lain-lain.

2.2. Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang Nomor 22 Tahun

1948 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga

tingkatan yaitu, Provinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri,

marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri. Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum

Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa

dengan Undang-Undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan

sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten atau Desa,

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Nama, batas-batas,

tingkatan, hak dan kewajiban daerah-daerah tersebut dalam ayat (1) dan (2)

xx
ditetapkan dalam Undang-Undang pembentukan. Pemerintah daerah terdiri dari

pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Ketua

dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala Daerah menjabat Ketua dan anggota

Dewan Pemerintah Daerah. Bagi tiap-tiap daerah jumlah anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam Undang-Undang

pembentukan.Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih selama lima

tahun.Menyimpang dari pada ketentuan tersebut dalam ayat (2) anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pertama meletakkan jabatannya bersama-

sama pada waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang pembentukan. Dengan

Undang-Undang ditetapkan peraturan tentang pemilihan dan pengganti anggota-

anggota tersebut dalam ayat (1). Yang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yaitu, Warga Negara Indonesia, Telah berumur dua puluh satu

tahun, Bertempat tinggal di dalam daerah yang bersangkutan sedikitnya enam

bulan yang terakhir, Cakap menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia dengan

huruf latin, keputusan pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi kehilangan hak

menguasai atau mengurus harta bendanya, tidak dengan keputusan pengadilan

yang tidak dapat dirubah lagi dipecat dari hak memilih atau dipilih tidak

terganggu ingatannya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh merangkap menjadi:

a. Presiden, Wakil Presiden;

b. Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri, Menteri Muda;

c. Komisaris Negara;

d. Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

xxi
e. Kepala Daerah dari Daerah yang bersangkutan dan dari daerah yang lebih

atas;

f. Anggota Dewan Perwakilan Pemerintahan Daerah [sic!] yang setingkat

lebih atas;

g. Pegawai yang bertanggung jawab tentang keuangan kepada daerah yang

bersangkutan;

h. Kepala Jawatan dan Sekretaris daerah yang bersangkutan.

Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh melakukan pekerjaan yang

memberikan keuntungan baginya dalam hal-hal yang berhubungan langsung

dengan yang bersangkutan. Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat

(1) setelah diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atau

tertulis dapat diperhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan dan sebelumnya dapat diberhentikan sementara oleh Dewan

Pemerintah Daerah. Terhadap putusan Pemberhentian tersebut dalam ayat (2)

anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan

itu, dapat diminta putusan Dewan Pemerintahan Daerah yang setingkat lebih atas

atau dari Presiden bagi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi. Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang Sidang, uang jalan dan

menginap menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Peraturan tersebut, harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden bagi

Provinsi dan bagi lain-lain daerah oleh Dewan Pemerintah Daerah dari pada

daerah yang setingkat lebih atas. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang

atau berapat atas panggilan Ketuanya atau atas permintaan seperlima dari jumlah

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau atas permintaan Dewan

xxii
Pemerintah Daerah; rapat diadakan di dalam satu bulan sesudah permintaan

diterima oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan. Semua

yang hadir dalam rapat tertutup berkewajiban merahasiakan segala hal yang

dibicarakan dalam rapat itu. Merahasiakan itu berlangsung terus, baik bagi

anggota-anggota dan pegawai-pegawai yang mengetahui hal yang dibicarakan itu

dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu, sampai Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah membebaska mereka dari kewajiban tersebut.

Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-sedikitnya dua

atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten (kota besar)

diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-

banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten (kota besar). Kepala Daerah Desa (kota kecil) diangkat oleh

Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya

empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Desa

(kota kecil). Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh yang berwajib atas usul

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah istimewa

diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu

dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya,

dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat

adat istiadat didaerah itu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang wakil

Kepala Daerah oleh Presiden dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat

(5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintahan Daerah.

xxiii
Untuk mewakili Kepala Daerah (Wakil Kepala Daerah Istimewa) jika ia

berhalangan oleh Dewan Pemerintahan Daerah ditunjuk seorang diantara

anggotanya. Dewan Pemerintah Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari;

mereka itu bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan diwajibkan memberi keterangan-

keterangan yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan

Pemerintah Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.

Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menahan dijalankannya putusan-

putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila

dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau

bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan Pemerintah dan

peraturan-peraturan dari daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil

oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah

provinsi. Penahanan tersebut dalam ayat (1) harus dalam tujuh hari diberitahukan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah yang

bersangkutan, demikian juga kepada Presiden bagi Provinsi dan bagi daerah-

daerah lainnya kepada Dewan Pemerintah Daerah yang setingkat lebih atas.

Bila dalam tiga bulan Presiden atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dalam

ayat (2) tidak mengambil putusan, maka putusan yang ditahan menjalankannya

itu, segera sesudah tempo itu lampau, dijalankan. Kesederhanaan dan dualisme

tersebut telah mendorong pemerintah pusat untuk membuat undang-undang baru,

yang pada akhirnya terealisasi pada tanggal 10 Juli 1948 yakni dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan

xxiv
Daerah. Undang-undang ini menganut asas otonomi formal sekaligus asas

otonomi material. Asas otonomi material ini tersurat pada Pasal 23 ayat (2) yang

menyebutkan bahwa hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah ditetapkan

lewat undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. Asas formal (dalam

rumusan negasi) tercantum pada Pasal 28 yang merumuskan tentang batasan dan

larangan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk membuat

peraturan daerah yang materinya telah diatur dengan peraturan yang lebih tinggi.

Dalam penjelasan angka III dinyatakan bahwa pemerintah pusat menyerahkan

urusan kepada daerah dengan sebanyakbanyaknya, yang bisa diartikan sama

dengan kata seluas-luasnya. Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1948 sulit diimplementasikan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini

dikarenakan keadaan negara sedang revolusi yang melibatkan clash dengan

Belanda serta kesulitan-kesulitan dalam negeri lainnya.

Pada 17 Januari 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-undang yang pertama kali

memperkenalkan konsep otonomi rill. Seperti yang termaktub dalam penjelasan

umum Ad.1, diantaranya disebutkan bahwa undang-undang ini tidak secara tegas

menetapkan hal-hal apa yang menjadi urusan rumah tangga daerah dan apa yang

tergolong pemerintah pusat. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1957, maka timbul dualisme pimpinan di daerah, yakni di samping terdapat

kepala daerah tingkat 1 juga terdapat gubernur, di daerah tingkat II di samping

terdapat kepala daerah tingkat II ditemukan pula bupati sebagai wakil pemerintah

pusat di daerah tersebut.

xxv
2.3. Pemerintahan Daerah di bawah Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun

1959

Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah dibantu oleh sebuah

Badan Pemerintah Harian. Dengan Kepala Daerah dimaksud juga Kepala Daerah

Istimewa, kecuali apabila ditentukan lain. Kepala Daerah diangkat dan

diberhentikan oleh a. Presiden bagi Daerah tingkat I dan b. Menteri Dalam Negeri

dan Otonomi Daerah bagi Daerah tingkat II. Seorang Kepala Daerah diangkat dari

antara calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang

bersangkutan. Presiden dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah masing-

masing boleh menetapkan pengangkatan Kepala Daerah tingkat I dan Kepala

Daerah tingkat II di luar pencalonan termaksud pada ayat (2) pasal ini. (4)

Pengangkatan Kepala Daerah tersebut pada ayat (1) pasal ini dilakukan dengan

mengingat syarat-syarat pendidikan, kecakapan dan pengalaman dalam

pemerintahan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Kepala Daerah adalah

pegawai Negara, yang nama jabatan dan gelarnya, kedudukannya dan

penghasilannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden. Kepala Daerah

diangkat untuk suatu masa jabatan yang sama dengan masa duduk Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, tetapi dapat diangkat kembali

setelah masa jabatannya berakhir. Kepala Daerah tidak dapat diberhentikan karena

sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah mengatur penentuan pejabat yang mewakili Kepala Daerah

apabila Kepala Daerah berhalangan. Kepala Daerah Istimewa diangkat dari

keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah itu

xxvi
dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan

pemerintahan didaerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan,

kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam

daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa

dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan syaratsyarat tersebut dalam

ayat (1) pasal ini. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa menerima gaji, uang

jalan dan uang penginapan serta segala penghasilan lainnya yang sah yang

bersangkutan dengan jabatannya yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah, Kepala dan Wakil Kepala

Daerah Istimewa mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dalam suatu sidang

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dihadapan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Daerah atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Susunan kata-kata sumpah atau janji

yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri

dan Otonomi Daerah. Badan Pemerintah Harian terdiri dari sekurang-kurangnya 3

dan sebanyak-banyaknya 5 orang anggota, kecuali dalam hal yang tersebut dalam

pasal 19. Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian diangkat dan diberhentikan

menurut peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian termaksud pada ayat (1)

pasal ini sedapat-dapatnya diangkat dari calon-calon yang diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dari anggota atau di luar anggota

Dewan tersebut. Sebelum memangku jabatannya, anggota-anggota Badan

Pemerintah Harian mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dihadapan

Kepala Daerah. Susunan kata-kata sumpah janji ditetapkan oleh Menteri Dalam

xxvii
Negeri dan Otonomi Daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian

menerima uang kehormatan, uang jalan, uang penginapan dan penghasilan lainnya

yang sah yang bersangkutan dengan jabatannya menurut peraturan yang

ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Untuk sementara

waktu pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan berdasarkan

peraturan-perundangan yang berlaku.

Kepala Daerah merupakan alat pemerintah pusat dan alat pemerintah

daerah. Sebagai alat pemerintah Pusat Kepala Daerah mengurus ketertiban dan

keamanan umum di daerah, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan

Pemerintah Pusat di daerah dan antara jawatan-jawatan tersebut dengan

pemerintah daerah, melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah,

menjalankan lain-lain kewenangan umum yang terletak dalam bidang urusan

pemerintah pusat. Menurut peraturan-perundangan yang berlaku, yang hingga saat

ini dilakukan oleh Gubernur untuk Daerah tingkat I dan oleh Bupati/Walikota

untuk Daerah tingkat II. Sebagai alat pemerintah daerah Kepala Daerah bertindak

mah tangga daerah (otonomi) maupun di bidang tugas pembantuan ah tangga

daerah (otonomi) maupun dibidang tugas pembantuan dalam pemerintahan.

Kepala Daerah tingkat I mempunyai kekuasaan untuk mempertangguhkan

keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I dan keputusan Pemerintah

Daerah tingkat II, apabila dipandangnya bertentangan dengan kepentingan umum

atau peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Kepala Daerah tingkat

II mempunyai kekuasaan untuk mempertangguhkan keputusan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah tingkat II, apabila dipandangnya bertentangan dengan kepentingan

umum atau peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan tidak

xxviii
mengurangi kekuasaannya untuk mempertangguhkan dan/atau membatalkan

keputusan Pemerintah Daerah tingkat I dan Pemerintah Daerah tingkat II, yang

olehnya sendiri dipandang bertentangan dengan kepentingan umum atau dengan

peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya, Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah mengambil keputusan terhadap keputusan-keputusan yang

ditangguhkan menurut ayat (1) dan (2) pasal ini. Anggota-anggota Badan

Pemerintah Harian adalah pembantu-pembantu Kepala Daerah dalam urusan-

urusan dibidang rumah- tangga daerah otonomi dan tugas pembantuan dalam

pemerintahan. Anggota-anggota Badan Pemerintah Harian memberikan

pertimbangan kepada Kepala Daerah, baik diminta maupun tidak, menjalankan

pekerjaan yang ditugaskan kepadanya oleh Kepala Daerah. Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah menjalankan kekuasaan, tugas dan kewajiban pemerintahan daerah

menurut peraturan-perundangan yang berlaku, selama tidak bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden ini. Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang ada menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut Penetapan

Presiden ini dengan ketentuan, bahwa anggotaanggota mengangkat sumpah atau

mengucapkan janji dihadapan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah atau

pejabat yang ditunjuk olehnya. Terhadap sumpah atau janji termaksud dalam ayat

(1) pasal ini berlaku ketentuan tersebut dalam pasal 8 ayat (2). Dewan Pemerintah

Daerah yang ada dibubarkan dan bekas anggota Dewan tersebut dapat diangkat

menjadi anggota Badan Pemerintah Harian, kecuali mereka yang menyatakan

tidak bersedia untuk diangkat menjadi anggota Badan Pemerintah Harian. Dalam

waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai berlakunya Penetapan

Presiden ini, maka harus sudah dilaksanakan berturut-turut dalam mengambil

xxix
sumpah atau pengucapan janji anggota-anggota Dewan Perwakilan Rayat Daerah

dimaksud dalam pasal 18, pengangkatan Kepala Daerah menurut ketentuan dalam

pasal 4, pembubaran Dewan Pemerintah Daerah yang ada, pembentukan Badan

Pemerintah Harian serta penyumpahan atau pengucapan janji anggotaanggota

Badan Pemerintah Harian yang bersangkutan seperti dimaksud dalam pasal 19.

Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah

yang ada pada saat mulai berlakunya Penetapan Presiden ini berjalan terus sampai

terbentuk dan tersusun Pemerintah Daerah menurut Penetapan Presiden ini.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang urusan rumah- tangga daerah

otonomi dan tugas pembantuan dalam pemerintahan tetap dilakukan berdasarkan

ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1957, kecuali apabila

bertentangan dengan sesuatu ketentuan dalam Penetapan Presiden ini. Kesulitan-

kesulitan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan Penetapan Presiden ini

diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

2.4. Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang Nomor 18 Tahun

1965

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Masa berlakunya

UUDS Tahun 1950 hanya sekitar 9 tahun, setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli

1959, otomatis NKRI kembali kepada hukum dasar UUD 1945. Landasan hukum

pelaksanaan pemerintahan di daerah tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor

1 tahun 1957 dengan penyempurnaan aturan dalam Penpres Nomor 6 tahun 1959

tentang Pemerintahan Daerah. Penyempurnaan yang dilakukan dalam Penpres

tersebut sekitar kekuasaan atau kewenangan kepala daerah. Pemberlakuan

undang-undang tersebut kembali dipertegas dengan keluarnya Instruksi Mendagri

xxx
Nomor 33 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Pembaharuan itu sesuai dengan

amanat yang termaktub dalam Tap MPRS Nomor II/MPRS/1960, bahwa

pelaksanaan pemerintahan di daerah haruslah berbentuk satu, yaitu berdasar

undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, yang sesuai dengan

asas kegotongroyongan (demokrasi terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2.5. Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang Nomor 5 Tahun

1974

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Usaha untuk

menyesuaikan perkembangan yang ada, maka pemerintah menerbitkan Undang-

undang Nomor 5 tahun 1974 yang secara resmi bernama Undang-Undang tentang

Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Penamaan ini berbeda dengan semua

undang-undang yang pernah dibuat sejak tahun 1948. Undang-undang ini tanpa

mempergunakan imbuhan kata “DI”. Ditinjau dari sudut ruang lingkup yang

diatur, pemakaian imbuhan “DI” mengandung makna dan konsekuensi yang

menjadi salah satu pembeda utama (prinsipil) antara Undang-undang Nomor 5

tahun 1974 dengan berbagai undang-undang sebelumnya. Undang-undang Nomor

5 tahun 1974 sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat dan bersifat

umum dibuat untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, diukur dengan GBHN

yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Anomali ini tidak hanya berlaku pada

Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, tetapi dapat juga terjadi pada undang-

undang atau peraturan perundang-undangan lain. Pengaturan mengenai

xxxi
pemerintahan daerah adalah wewenang konstitusional pembentuk undang-undang

(presiden dan DPR), bukan wewenang MPR.

2.6. Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang Nomor 22 Tahun

1999

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Realisasi dari

amanat reformasi menuntut perhatian pemerintah untuk melakukan penyesuaian

berbagai undang-undang organik sebagai penjabaran dari UUD. Untuk itu,

pemerintah berusaha merevisi Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 yang menjadi

salah satu tuntutan reformasi di NKRI. Di bawah pimpinan Presiden Habibie,

pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai landasan

hukum pelaksanaan pemerintahan daerah. Di tengah-tengah pemberlakuan

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, giliran konsep amandemen terhadap UUD

1945 berjalan seiring dengan semakin menguatnya krisis kepercayaan sebagian

elemen masyarakat terhadap profil pimpinan nasional. Pemerintah di bawah

pimpinan Presiden Habibie dan parlemen melahirkan suatu kesepakatan untuk

memulai proses amandemen UUD 1945, yang dilakukan dalam empat tahapan

(mulai Tahun 1999 s/d 2002). Setelah amandemen UUD 1945 rampung

dilaksanakan dan ditetapkan secara menyeluruh, maka penamaan UUD 1945

berubah menjadi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Langkah awal

yang ditawarkan adalah menerbitkan paket undang-undang politik (UU No.

4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; UU No. 2/1999

tentang Pemilihan Umum; UU No. 3/1999 tentang Partai Politik). Setelah itu,

diterbitkan paket undang-undang otonomi daerah (UU No. 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat

xxxii
dan Daerah). Dalam suasana reformasi, lahirlah UU No. 22/1999, yang

diharapkan dapat mengakomodir perubahan paradigma pemerintahan dan yang

sentralistis menjadi desentralistis, mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi,

peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan

potensi dan keanekaragaman, serta dapat mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.

Lahirnya undang-undang ini merupakan respons atas tuntutan masyarakat di era

reformasi yang menghendaki pelaksanaan otonomi luas dengan prinsip-prinsip

demokrasi, pemerataan dan keadilan, peningkatan peran serta masyarakat,

diakuinya potensi dan keanekaragaman daerah, serta terciptanya kemandirian

daerah.

2.7. Pemerintahan Daerah di bawah Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan realisasi dari

amanat perubahan UUD 1945 secara langsung membawa konsekuensi terhadap

landasan hukum pemerintahan daerah. Kaidah Pasal 18 UUD 1945 sebelum

diamandemen diperluas (ditambah) dengan 2 pasal, yang tentunya kaidah yang

terkandung di dalamnya turut berubah. Untuk itu, pemerintah di bawah Presiden

Megawati, setelah melakukan evaluasi yang mendasar, maka diterbitkanlah

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai landasan hukum pemerintahan

daerah (yang menggantikan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang dianggap

tidak sesuai lagi setelah amandemen UUD 1945 rampung dilaksanakan).

Penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah diterbitkannya undang-undang

tersebut sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 (hasil amandemen), yang

menekankan supaya pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri

xxxiii
pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta

peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah dalam sistem NKRI.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah setelah diterbitkannya undang-undang

tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 (hasil amandemen), yang menekankan

supaya pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan

kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI. Undang-undang Nomor 32 tahun

2004 lahir sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, yang

dianggap tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan

tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti. Pembagian

wilayah Indonesia adalah atas daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Daerah yang

ada dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintah provinsi dan DPRD serta

pemerintahan kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota

dan DPRD. Pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.

xxxiv
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

1. Sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di indonesia yang dalam

kurun waktu yang panjang lebih dari setengah abad lembaga pemerintah

xxxv
lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu

pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya

ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini.

Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-

Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap

periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-

beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang.

Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut

memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan

daerah bahwa susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan

pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa

kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.

2. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sehat dapat diwujudkan

dengan ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki oleh manusia

pelaksananya. Dan berarti pemerintahan daerah hanya dapat berjalan

dengan sebaik-baiknya apabila manusia pelaksananya baik, dalam arti

mentalitas maupun kapasitasnya. Pentingnya manusia pelaksana karena

manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak atau

berfungsi sebagai subyek penggerak roda pemerintahan. Oleh karena itu,

kualifikasi mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan

sendirinya melahirkan implikasi yang kurang menguntungkan bagi

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dalam pemerintah daerah

terdapat Pemerintah Daerah yang penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

xxxvi
kemudian Alat-alat perlengkapan daerah, yaitu aparatur atau pegawai

daerah dan terakhir rakyat daerah, yaitu sebagai komponen yang

merupakan sumber energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang

bersistem terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

Basundoro, Purnawan. Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Djenen, Dkk. 1972. Sumatera Selatan Dipandang Dari Sudut Geografi Sejarah

Dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional

Direktorat Jendral Kebudayaan.

xxxvii
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas Praktik kolonial di Hindia

Belanda, 1900-1942. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.

Handinoto, 2010. Arsitektur Dan Kota-Kota Di Jawa Pada Masa Kolonial.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Notosusanto, Nugroho dan Basri, Yusmar. 1980. Sejarah Nasional Indonesia.

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahman, Fadly. 2016. Rijsttafel Budaya Kuliner Di Indonesia Masa Kolonial

1870-1942. Jakarta: PT Gramedia Pusstaka Utama.

Surianingrat, Bayu. 1981. Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia

Belanda dan Jepang. Jakarta. Dewaruri Press.

Koesnodiprodjo (1951) Himpunan UU, Peraturan-peraturan, Penetapan

Pemerintah RI 1948. Djakarta: Penerbitan Baru

Syamsuddi Haris (Editor), Desentralisasi & Otonomi Daerah (Desentralisasi,

Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah), LIPI Pres, Cetakan kedua,

Jakarta, 2005.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, 2010.

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, PT.Sinar Grafika,

Jakarta, 2008.

Supriyanto Abdi, dkk., Potret Pemenuhan Hak Atas Pendidikan dan Perumahan

Di Era Otonomi Daerah: Analisis Situasi Di Tiga Daerah, Pusat Studi Hak Asasi

Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, Tanpa Tahun.

xxxviii
Wignjosoebroto, Soetandyo. 2004. Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan

Kolonial Hindia Belanda Kebijakan dan Upaya Sepanjang Babak Akhir

Kekuasan Kolonial di Indonesia (1900- 1940). Malang: Bayumedia Publishing

xxxix

Anda mungkin juga menyukai