Anda di halaman 1dari 14

Makalah otonomi daerah

Disusun oleh :
Arya andika - 1504618049
Achmad irmanna ramli - 1504618063
Rifqi athallah – 1504618038

Pendidikan Vokasional Kesejahteraan Keluarga


Universitas Negeri Jakarta
Fakultas Teknik
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan
kehendak-Nya jualah makalah sederhana ini dapat kami rampungkan tepat pada waktunya.
Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
kewaganegaraan. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai Otonomi
Daerah.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya
Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenan dengan penulisan makalah ini. Kami
menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha
semaksimal mungkin.Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan juga kritik membangun agar lebih maju di masa yang
akan datang.
Harap kami, makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dalam
mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang
membacanya.
jakarta, 2 Desember 2019

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di era globalisasi dewasa
ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika kondisi good
governance dapat dicapai, maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and
responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian.
Terhadap tuntutan terselenggaranya good governance ini lembaga-lembaga donor internasional,
seperti Bank Dunia, IMF dan ADB bahkan telah secara tegas meminta ditegakkannya paradigma
good governance di negara-negara yang memperoleh bantuan dari mereka, termasuk Indonesia.
Dengan demikian, bagi Indonesia, terwujudnya good governance telah menjadi suatu keharusan
yang harus diupayakan.
Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh masyarakat maupun
lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah satu unsur penting yang harus terpenuhi
adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik
aktifitas sosial, politik maupun ekonomi. Dari sisi ekonomi, salah satu indikator adanya
transparansi dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas maka seharusnya
semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN.
Namun, pada kenyataannya, berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa
lembaga berbeda justru menunjukkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan. Dan,
umumnya, penelitian-penelitian tersebut sampai pada satu kesimpulan yang sama, yaitu bahwa
“Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia”.
Laporan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, misalnya, mengungkapkan bahwa dari 1.198
kasus korupsi yang telah diperiksa sejak bulan Januari 2002 hinga bulan April 2004, kerugian yang
diderita negara telah mencapai 22 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut hanya 586 kasus yang
akhirnya dapat dibawa ke pengadilan dan uang hasil kejahatannya bisa dikembalikan kepada
negara.
Data dari Mahkamah Agung di atas didukung pula oleh hasil riset Bozz-Allen & Hamilton,
sebagaimana dikutip oleh Irwan (2000), yang menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999
menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks
efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks
good governance Indonesia hanya sebesar 2,88. Angka tersebut jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), dan Filipina (3,47).
Temuan tentang rendahnya good governance di Indonesia ini pun didukung oleh studi Huther dan
Shah yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori negara poor governance.. Studi
Huther dan Shah tersebut melihat kualitas good governance dengan cara menghitung besarnya
government quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel, diantaranya indeks
efisiensi peradilan, indeks korupsi dan indeks good governance.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Otonomi Daerah?
2. Apa dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah?
3. Apa saja faktor penyebab korupsi daerah?
4. Apa strategi penanggulangan korupsi?
5. Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?

Tujuan
1. Untuk mengetahui Otonomi Daerah
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab korupsi daerah.
4. Untuk mengetahui strategi penanggulangan korupsi.
5. Untuk mengetahui dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah


Otonomi berasal dari 2 kata yaitu ,auto berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan
pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri.Dengan
mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka istilah“mengurus rumah tangga sendiri”
mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan
rumah tangga pemerintahan daerah sendiri. Ada juga berbagai pengertian yang berdasarkan pada
aturan yang di tetapkan oleh Pemerintahan Daerah.Pengertian yang memliki kaitan dan hubungan
dengan otonomi daerah yang terdapat di dalam Undang-Undang, yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan di dalam suatu daerah.
2. Penyelenggaran urusan pemerintah daerah tersebut harus menurut asas otonomi seluas-luasya
dalam prinsip dan sistem NKRI sebagaimana yang dimaksudkan di dalam UUD 1945
3. Pemerintah Daerah itu meliputi Bupati atau Walikota,perangkat daerah seperti Lurah,Camat
serta Gubernur sebagai pemimpin pemerintahan daerah tertinggi.
4. DPRD adalah lembaga pemerintahan daerah di mana di dalam DPRD duduk para wakil rakyat
yang menjadi penyalur aspirasi rakyat.Selain itu DPRD adalah suatu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
5. Otonomi daerah adalah wewenang, hak dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus
dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan mengurus berbagai kepentingan masyarakat yang
berada dan menetap di dalam daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
6. Daerah otonomi adalah suatu kesatuan masyarakat yang berada di dalam batas-batas wilayah
dan wewenang dari pemerintahan daerah di mana prngaturan nya berdasarkan prakarsa sendiri
namum sesuai dengan sistem NKRI
7. Di dalam otonomi daerah di jelaskan bahwa pemerintah pusat adalah Presiden Republik
Indonesia sebagaiman tertulis di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Hukum Dasar Otonomi Daerah
Di Indonesia, dasar hukum untuk pelaksanaan otonomi daerah meliputi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Menurut konstitusi 1945, ada dua nilai dasar untuk realisasi desentralisasi dan otonomi daerah:
Nilai Unitaris. Nilai ini tercermin dalam pandangan bahwa Indonesia tidak memiliki pemerintah
negara kesatuan lainnya. Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat, bangsa dan negara Indonesia tidak
dibagi di antara lembaga-lembaga pemerintah.
Nilai dasar desentralisasi teritorial. Dalam administrasi negara, pemerintah berkewajiban untuk
menerapkan kebijakan desentralisasi dan dekonsentrasi. Ini dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945.
Melihat dua nilai dasar yang disebutkan di atas, orang dapat memahami bahwa pembentukan
daerah otonom dan transfer beberapa kekuasaan atau kekuasaan pemerintah pusat ke pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengelola kekuatan dan kekuatan ini untuk pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia sangat penting.
Keputusan MPR RI No. XV / MPR / 1998
Dalam Ordonansi Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan ini mengatur pelaksanaan otonomi
daerah dengan memberikan tanggung jawab yang relatif luas, asli, dan bertanggung jawab kepada
daerah. Ini akan dicapai melalui regulasi, alokasi dan penggunaan sumber daya nasional yang adil
dan melalui keseimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi daerah didasarkan pada prinsip-
prinsip demokrasi dan memperhitungkan keragaman daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Undang-undang ini memuat masalah tata kelola terpenting di daerah. Pasal 1 (c) Bab I menyatakan
bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengelola rumah tangganya sendiri sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Sementara
Pasal 4 (1) Bab III menetapkan bahwa realisasi otonomi daerah yang asli dan bertanggung jawab
dalam pembentukan suatu daerah harus mempertimbangkan berbagai kondisi, seperti daerah yang
layak, yang mempromosikan stabilitas politik dan persatuan nasional.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-undang ini memuat pemerintah daerah yang memuat ketentuan umum tentang pemerintah
daerah, departemen daerah, pembentukan dan komposisi daerah, dll. Visi undang-undang ini
adalah:
Pemerintah pusat akan terbebas dari masalah dalam negeri dengan mengalihkan fungsi-fungsi
ini kepada pemerintah daerah (daerah) sehingga pemerintah daerah nantinya dapat secara progresif
terlibat dalam urusan dalam negeri
Pemerintah pusat dapat lebih fokus pada masalah makro nasional
Otoritas lokal atau regional dapat lebih efisien dan kreatif
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Dasar pemikiran yang terkandung dalam undang-undang ini mirip dengan UU No 22 tahun 1999,
yaitu otonomi luas dalam konteks demokratisasi, di mana dasar hukumnya adalah Pasal 18 UUD
1945, yang diamandemen. UU No. 32 tahun 2004 juga menekankan sistem pemilihan daerah, di
mana rakyat memiliki kebebasan untuk memilih ketua dan wakil daerah mereka sendiri.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
Undang-undang ini memuat keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Ini adalah sistem distribusi keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan
efisien dalam membiayai pelaksanaan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi
dan kebutuhan daerah serta tingkat sumber daya untuk pelaksanaan dekonsentrasi dan administrasi
bersama. Namun, undang-undang ini telah diamandemen beberapa kali, dengan amandemen
pertama adalah Perpu No. 3 tahun 2005 dan selanjutnya UU No. 12 tahun 2008 sebagai
amandemen kedua terhadap UU No. 33 tahun 2004.
Keputusan Pemerintah No. 38 tahun 2007
Ordonansi Pemerintah ini berisi pembagian kekuasaan dalam Pemerintah Republik Indonesia baik
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan provinsi. Ini adalah terjemahan dari
implementasi UU No 32 tahun 2004, Pasal 14 (3), di mana ia menjadi dasar otonomi daerah dalam
pelaksanaan kewenangan daerah.
2.3 Permasalahan Korupsi di Daerah
a. Faktor Penyebab Korupsi
Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan,
dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan
(eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang
dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan
golongannya. Sekitar 85% dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah ternyata dilakukan oleh
para pemegang kekuasaan, terutama di lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga legislatif.
Modus yang dilakukan pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas fiktif, penggelembungan
dana APBD maupun cara-cara lainnya yang tujuannya untuk menguntungkan diri sendiri,
kelompok maupun golongan, dengan menggunakan dan menyalahgunakan uang negara.
Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika
dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional,
yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik
maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang
kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan
keuangan negara.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara
oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang
turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang semestinya
dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan
karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan
penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif.
b. Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime )—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan
Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau
“berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan
daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah
untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah
terhadap upaya pemberantasan korupsi dan bahwa selama ini pemberantasan korupsi belum
menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah, yang mencerminkan masih lemahnya political will
pemerintah bagi upaya pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi
program pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan luar negeri ini merupakan cerminan
rendahnya tingkat kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan
pemerintah di dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak
hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif
dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini berpotensi mengancam
profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum
lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain dari keempat “berita buruk” seperti telah diuraikan di atas, keadaan di Indonesia menjadi
bertambah rumit karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum
dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Beberapa pihak
berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah
dapat disentuh oleh hukum pidana, sehingga pejabat negara yang korup adalah dapat digugat
secara hukum, baik hukum pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain
berpendirian bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah
tidak tersentuh oleh hukum, sehingga pejabat-pejabat negara yang korup tersebut adalah tidak
dapat digugat secara hukum, baik pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain
lagi berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum
yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh para pejabat negara.
Sayangnya, perdebatan tentang permasalahan tersebut cenderung berlarut-larut tanpa dapat
memberikan solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya
pemberantasan korupsi di daerah. Hambatan yang pertama berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut upaya pemberantasan korupsi
mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan perundang-undangan,
baik dari aspek isi maupun aspek teknik pelaksanaannya, sehingga memungkinkan terjadinya
ketimpangan dalam pemberantasan korupsi. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i)
tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip
pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme
perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di
bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian. Hambatan yang
kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–
pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin
pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan
dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang
keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat
berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi
sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya
enggan untuk menerapkan budaya malu.
2.4 Strategi Penanggulangan Korupsi
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya
berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan
yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di
daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen
yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang
serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak
memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan
dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral
dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya
ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa
primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif
maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi
tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan
dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada
diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar
harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus
memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang
tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst
menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity”
yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut: (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga
parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies) , (5)
media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto Senoadji berpendapat bahwa untuk
meminimalisasi korupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang
sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan
hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji memiliki tiga lapis makna,
yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan
antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan
(3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan
budaya hukum / legal culture.
Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas),
pemberantasan korupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga
pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi
dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta
advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi
layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi,
koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan
suatu upaya pemberantasan korupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu
pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya
hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau
organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal
ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian
yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum yang
dimaksudkan oleh Indriyanto Senoadji adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai
perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku
masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum
ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat
dinamis dari tindak pidana korupsi tersebut. Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain
berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal
Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingat korupsi
telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana
pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian.
Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana
masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan
masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu
regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat
penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang
sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasan
korupsi. Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasan korupsi
dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan
nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan
suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnya korupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak
dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat
menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye anti korupsi diharapkan
menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan.
Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi juga
dapat menjadi bagian dari usaha ini.
2.5 Dampak Otonomi Daerah
Dampak positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah makapemerintah daerah
akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas lokalyang ada di masyarakat.
Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusatmendapatkan respon tinggi dari
pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana
yang diperoleh lebih banyak daripada yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta
membangun program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagioknum-oknum di pemerintah
daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi
dan nepotisme. Selain itu terkadang adakebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan
konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah
tetangganya, atau bahkandaerah dengan. 8 Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang
Anti Pornografi ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintahpusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena
memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Beberapa modus pejabat nakal dalam melakukan korupsi dengan APBD :

1) Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan ( mark up ) nilai barang dan jasa dari
harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap
daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan
pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila
Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program
serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi
sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut
kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan
yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Daftar Pusaka
https://dcc.ac.id/blog/dasar-hukum-otonomi-daerah/
https://www.academia.edu/12010540/Makalah_tentang_Otonomi_Daerah
https://www.academia.edu/12010540/Makalah_tentang_Otonomi_Daerah?auto=download

Anda mungkin juga menyukai