Disusun oleh :
Arya andika - 1504618049
Achmad irmanna ramli - 1504618063
Rifqi athallah – 1504618038
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di era globalisasi dewasa
ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tuntutan tersebut menjadi penting karena jika kondisi good
governance dapat dicapai, maka terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and
responsive state), semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi sebuah impian.
Terhadap tuntutan terselenggaranya good governance ini lembaga-lembaga donor internasional,
seperti Bank Dunia, IMF dan ADB bahkan telah secara tegas meminta ditegakkannya paradigma
good governance di negara-negara yang memperoleh bantuan dari mereka, termasuk Indonesia.
Dengan demikian, bagi Indonesia, terwujudnya good governance telah menjadi suatu keharusan
yang harus diupayakan.
Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut oleh masyarakat maupun
lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah satu unsur penting yang harus terpenuhi
adalah adanya transparansi atau keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik
aktifitas sosial, politik maupun ekonomi. Dari sisi ekonomi, salah satu indikator adanya
transparansi dan akuntabilitas tersebut adalah rendahnya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas maka seharusnya
semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN.
Namun, pada kenyataannya, berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa
lembaga berbeda justru menunjukkan kecenderungan yang semakin memprihatinkan. Dan,
umumnya, penelitian-penelitian tersebut sampai pada satu kesimpulan yang sama, yaitu bahwa
“Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di dunia”.
Laporan yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung, misalnya, mengungkapkan bahwa dari 1.198
kasus korupsi yang telah diperiksa sejak bulan Januari 2002 hinga bulan April 2004, kerugian yang
diderita negara telah mencapai 22 triliun rupiah. Dari jumlah tersebut hanya 586 kasus yang
akhirnya dapat dibawa ke pengadilan dan uang hasil kejahatannya bisa dikembalikan kepada
negara.
Data dari Mahkamah Agung di atas didukung pula oleh hasil riset Bozz-Allen & Hamilton,
sebagaimana dikutip oleh Irwan (2000), yang menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999
menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks
efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks
good governance Indonesia hanya sebesar 2,88. Angka tersebut jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), dan Filipina (3,47).
Temuan tentang rendahnya good governance di Indonesia ini pun didukung oleh studi Huther dan
Shah yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori negara poor governance.. Studi
Huther dan Shah tersebut melihat kualitas good governance dengan cara menghitung besarnya
government quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel, diantaranya indeks
efisiensi peradilan, indeks korupsi dan indeks good governance.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Otonomi Daerah?
2. Apa dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah?
3. Apa saja faktor penyebab korupsi daerah?
4. Apa strategi penanggulangan korupsi?
5. Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?
Tujuan
1. Untuk mengetahui Otonomi Daerah
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab korupsi daerah.
4. Untuk mengetahui strategi penanggulangan korupsi.
5. Untuk mengetahui dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
1) Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan ( mark up ) nilai barang dan jasa dari
harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2) Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor
untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3) Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan
sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4) Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo)
Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5) Bantuan fiktif Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari
pemerintah ke pihak luar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat dipahami dengan adanya otonomi daerah, maka setiap
daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan
pusat. Hal ini sangat akan berdampak positif dan bisa memajukan daerah tersebut apabila
Orang/badan yang menyusun memiliki kemampuan yang baik dalam merencanan suatu program
serta memiliki analisis mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi dikemudia hari. Tetapi
sebaliknya akan berdamapak kurang baik apabila orang /badan yang menyusun program tersebut
kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan
yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi.
Daftar Pusaka
https://dcc.ac.id/blog/dasar-hukum-otonomi-daerah/
https://www.academia.edu/12010540/Makalah_tentang_Otonomi_Daerah
https://www.academia.edu/12010540/Makalah_tentang_Otonomi_Daerah?auto=download