Anda di halaman 1dari 30

OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Pemerintahan Daerah (E)

Dosen Pengajar:
Erlita Cahyasari, S.AP., M.AP
Disusun Oleh:
Olivia Permata Sukma Himawan (195030100111018)
Nurlita Armelia (195030100111052)
Rahadatul Aisy Khalda (195030101111086)
Rozi Anavi Munawaroh (195030100111015)
Choirotun Nisa` Ramadini (195030100111017)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Otonomi Khusus di Indonesia”. Adapun tujuan dari penulisan dari paper ini adalah
untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sistem Pemerintahan Daerah. Selain itu, paper
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan serta informasi tentang komunikasi efektif
dalam kelompok tugas dan tim bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Erlita Cahyasari, S.AP., M.AP.
selaku dosen mata kuliah Sistem Pemerintahan Daerah yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Malang, 29 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG...................................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH..............................................................................................2
1.3. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................2
1.4. MANFAAT PENULISAN............................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................4
2.1. DEFINISI OTONOMI KHUSUS.................................................................................4
2.2. DASAR HUKUM OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA.....................................7
2.3. KRITERIA DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA..............................8
2.4. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA...........9
2.5. DAERAH-DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA..............................11
BAB 3 STUDI KASUS.......................................................................................................21
3.1.SISTEM PERTANAHAN KERATON YOGYAKARTA SEBAGAI DAERAH
OTONOMI KHUSUS.................................................................................................................11
BAB 4 PENUTUP...............................................................................................................25
4.2. KESIMPULAN.................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................26

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki daerah provinsi dan daerah


provinsi dibagi menjadi daerah kabupaten atau kota. Daerah provinsi dan kabu-
paten atau kota mempunyai pemerintahan daerah. Pemerintahan Daerah seba-
gaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah daerah dan dewan per-
wakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik In-
donesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik In-
donesia Tahun 1945.
Dasar tujuan pemerintahan daerah merupakan meningkatkan pelayanan
publik agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintahan Daerah
memiliki asas desentralisasi yang berarti ada pembagian kewenangan antara pemer-
intahan pusat dengan pemerintahan daerah. Urusan atau pembagaian kewenangan
yang diserahkan dari Pemerintah pusat ke Pemerintah daerah menjadi dasar dari
pelaksanaan otonomi daerah. Berdasarkan UndangUndang Nomor 23 Tahun
2014, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya
penyelenggaraan otonomi daerah, masyarakat setempat memiliki ruang untuk
berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik. Setiap individu atau
kelompok masyarakat memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk
menyampaikan aspirasinya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya memiliki daerah otonom,
Pemerintah juga menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyeleng-
garakan fungsi pemerintahan yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional,
kawasan khusus tersebut memiliki yang dinamakan otonomi khusus (Annafie, et.
al. 2016). Beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki otonomi khusus, yaitu
Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Prov-
insi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan undang-Undang Nomor 21 Tahun

1
2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, Otonomi khusus adalah kewen-
angan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur
dan mengurus kepentinngan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri ber-
dasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Tujuan dari otonomi
khusus adalah untuk meningkatkan taraf hidup, kemakmuran, dan kesejahteraan
masyarakat, mewujudkan keadilan penerimaan hasil sumber daya alam, penegakan
hak asasi manusia serta penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (Kemen-
terian Keuangan Republik Indonesia, 2018).

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat di rumuskan masalah sebagai
berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan daerah otonomi khusus di Indonesia?


2. Apasajakah dasar hukum dan kriteria penyelenggaraan otonomi khusus di
Indonesia?
3. Bagaimanakah sistem pemerintahanan di daerah otonomi khusus di Indonesia?
4. Apasajakah daerah yang termasuk otonomi khusus di Indonesia?

1.3. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan ini sebagai
berikut:

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan daerah otonomi khusus di


Indonesia.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dan kriteria penyelenggaraan otonomi
khusus di Indonesia.
3. Untuk mengetahui sistem pemerintahanan di daerah otonomi khusus di
Indonesia.
4. Untuk mengetahui daerah yang termasuk otonomi khusus di Indonesia.

1.4. MANFAAT PENULISAN

1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan
teori tentang otonomi khusus di Indonesia. Penulisan ini dapat dijadikan refer-

2
ensi bagi penulisan-penulisan yang akan dilakukan dalam konteks otonomi
khusus.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat, untuk mengembangkan wawasan masyarakat mengenai
otonomi khusus di Indonesia. Serta sebagai sumber informasi untuk
masyarakat bagaimana implementasi otonomi khusus di Indonesia.
b. Bagi Penulis, penulisan ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan
penulis tentang otonomi khusus di Indonesia.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI OTONOMI KHUSUS

Menurut pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 Pemerintahan Daerah Provinsi,
Daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat, seperti politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Secara umum, otonomi
daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi kekuasaan, dimaknai sebagai
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat baik
pada negara kesatuan maupun pada negara serikat. Menurut Tauda (2018)
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralisation) adalah pemberlakuan
kewenangan khusus yang hanya diberikan pada daerah - daerah tertentu dalam suatu
negara, yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam konteks Indonesia
dalam rangka menjaga eksistensi daerah dalam NKRI. Desentralisasi asimetris
mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak harus
seragam untuk semua wilayah negara, dengan mempertimbangkan kekhususan
masing-masing daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi asimetris merupakan
sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan keistimewaan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
(JPP-UGM 2010) menunjukkan setidaknya terdapat lima alasan mengapa
desentralisasi asimetris harus dilakukan di Indonesia.
1. Alasan konflik dan tuntutan separatisme.
Tidak dapat dipungkiri, dua daerah (tiga Provinsi) yaitu Provinsi Aceh, Provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk
otonomi khusus karena konflik antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah
nasional yang antara lain karena perebutan sumber daya.
2. Alasan ibukota negara.

4
Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk Provinsi DKI. Mengingat DKI yang
wilayahnya terjangkau dengan infrastuktur terbaik di negeri ini, perlakuan khusus
diwujudkan dalam ketiadaan pemilukada untuk Bupati / Walikota dan tidak ada
DPRD Kabupaten / Kota yang ditunjuk oleh Gubernur. Konsekuensinya,
pemilukada Gubernur menggunakan sistem mayoritas bersyarat dimana pemenang
yang ditetapkan memperoleh suara lebih dari 50%.
3. Alasan sejarah dan budaya.
Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan perlakuan istimewa mengingat
sejarahnya di masa revolusi dan perebutan kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat
dari penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang dilakukan oleh DPRD.
Gubernur DIY adalah Sultan yang bertahta dan Wakil Gubernur DIY adalah
Pakualam yang bertahta. Penentuan Sultan dan Pakualam diserahkan kepada
institusi keraton / pakualam masing - masing. Kedua pemimpin ini tidak boleh
bergabung dengan partai politik. Pada level kabupaten/kota tetap sama dengan
daerah lainnya.
4. Alasan perbatasan.
Perbatasan perlu mendapatkan perlakuan khusus mengingat perannya sebagai
batas teritorial dengan negara tetangga. Daerah perbatasan memegang fungsi
penting karena kompleksitas masalah yang dihadapi. Daerah perbatasan harus
diperlakukan sebagai halaman depan dan bukan halaman belakang Republik
Indonesia. Perlakukan daerah perbatasan, misalnya di Kalimatan Utara, dan
Kalimantan Utara hendaknya berbeda, misalnya dengan mewajibkan gubernurnya
berasal dari kalangan militer karena potensi pelintas batas yang tinggi disamping
penguatan infratruktur dan pelayanan pendidikan dan kesehatan.
5. Pusat pengembangan ekonomi.
Daerah yang secara geografis memiliki peluang untuk menjadi daerah khusus
ekonomi seharusnya dikembangkan agar memiliki daya saing ekonomi tinggi.
Daerah seperti Batam dapat dikembangkan dan dibentuk untuk menyaingi
Singapura. Alokasi kekhususan misalnya menyangkut bea masuk dan
pengembangan infrastruktur pengembangan ekonomi seperti pelabuhan dan tata
sistem pelabuhan. Pelabuhan terbesar di Indonesia saat ini, Tanjung Priok di
Jakarta lebih untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena posisi geografisnya.
Jika Batam dikembangkan dengan pelabuhan modern dengan sistem yang baik,

5
tidak mustahil mampu mengambil potensi pelabuhan Singapura yang memiliki
keterbatasan ruang.
Menurut Malahayati (2015) Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang
diberikan kepada daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi
masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan ini diberikan agar daerah tersebut dapat
menata bagian dari daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai
dengan aspirasi daerahnya. Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah
biasa, karena otonomi ini diberikan kepada daerah tertentu yang berarti daerah
tersebut mempunyai kelompok gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan
daerahnya dari wilayah NKRI. Jadi secara tidak langsung, pemerintah memberikan
otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan damai agar kelompok gerakan tersebut
tidak terus bergejolak. Hal ini seperti ungkapan Hurst Hannum (1996) yang
mengistilahkannya dengan territorial autonomy yang paling tidak terdapat dua
manfaat, yaitu sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau
konflik fisik lainnya dan sebagai respon demokratis atau damai terhadap keluhan
masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar atau kurang
diperhatikan.
Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan negara
melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah
satu bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat
sentralistis dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada
keberagaman. Hal ini selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama
reformasi. Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya
desentralisasi dan penghormatan terhadap keberagaman daerah. Dari sisi sosial
ekonomi, sentralisasi yang telah dipraktikkan selama masa orde baru telah melahirkan
kesenjangan pusat dan daerah, serta kesenjangan antar daerah, yang berujung kepada
ancaman terhadap integrasi nasional. Desentralisasi dalam bingkai otonomi daerah
diharapkan dapat mewujudkan hubungan pusat daerah dan antar daerah yang lebih
adil dan demokratis. Otonomi khusus berdasarkan UUD 1945 Pasca Perubahan
memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan daerah khusus berdasarkan
UUD 1945 sebelum perubahan. Otonomi berarti daerah memiliki hak, wewenang, dan
kewajiban untuk mengurus rumah tangga sendiri atau urusan daerah sendiri diluar

6
urusan tertentu yang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi khusus
berarti hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda
dengan daerah pada umumnya. Otonomi diberikan kepada daerah sebagai kesatuan
hukum, bukan kepada pemerintah daerah. Otonomi khusus berbeda dengan daerah
khusus karena di dalam otonomi khusus perbedaan dengan daerah lain bukan hanya
dari sisi struktur pemerintah daerah, melainkan juga meliputi perbedaan ruang lingkup
hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki daerah, serta pola dan proporsi
hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah khusus.

2.2. DASAR HUKUM OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Dasar hukum yang mengatur mengenai Daerah Otonomi Khusus di Indonesia terdapat
beberapa macam diantaranya yaitu:
a. Dasar hukum pertama yaitu Pasal 18A ayat (1) dan pasal 18B ayat (1 dan 2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18A UUD
1945 menyatakan bahwa :
1) “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang - undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah”.
Terdapat kata “dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”
dalam Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 ini mengindikasikan bahwa
konstitusi menghendaki adanya pengaturan yang berbeda bagi tiap-tiap
daerah yang mempunyai corak khusus dan beragam.
Pasal 18B UUD NKRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :
1) “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-
undang”.
2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
b. Dasar hukum kedua yaitu terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

7
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Dari
undang – undang ini dapat disimpulkan Provinsi Papua menyandang otonomi
khusus dengan kriteria sebagai berikut:
a) Dalam hal historis yaitu otonomi khusus di Papua diberikan didasarkan pada
sejarah dari masyarakat Papua pada saat perjuang bangsa Indonesia meraih
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b) Dalam hal politik yaitu upaya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap
mempertahankan wilayah Kesatuan Republik Indonesia, hal ini dikarenakan
koflik berkepanjangan yang terjadi di Papua dan juga dikarenakan adanya
gerakan separatis yang tumbuh dan berkembang di Papua.
c) Dalam hal ekonomi yaitu ketertinggalan daerah Papua dari daerah lainnya dari
segi ekonomi, kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan masyarakatnya,
sehingga menyebabkan Hak Asasi Manusia (HAM) kurang dihargai.
c. Dasar hukum ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dari kedua undang –
undang ini dapat ditarik kesimpulan kriteria dalam pemberian otonomi khusus bagi
Nanggroe Aceh Darussalam diantaranya :
a) Dalam hal historis yaitu otonomi khusus di Aceh diberikan didasarkan pada
sejarah dari masyarakat Aceh pada saat perjuang bangsa Indonesia meraih
kemerdekaan 17 Agustus 1945, mereka berjuang mengorbankan materi dan
tenaga untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
b) Dalam hal politik yaitu upaya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap
mempertahankan wilayah Kesatuan Republik Indonesia, hal ini dikarenakan
koflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh dan juga dikarenakan adanya
gerakan separatis yang tumbuh dan berkembang di Aceh yang dikenal dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
c) Dalam hal sosial-cultural yaitu sosial cultur masyarakat Aceh yang sangat
kental, kebudayaan serta agama yang membuat Aceh memperjuangkan status
otonomi khusus bagi daerahnya

8
2.3. KRITERIA DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Secara umum terdapat beberapa kriteria pemberian otonomi khusus yang


dikelompokan dalam beberapa bagian diantaranya:
1. Dalam hal historis, yakni mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena
asal usul kesejarahan suatu daerah.
2. Dalam hal politik diantaranya:
a. Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena untuk mengurangi
konflik berkepanjangan yang terjadi didalam daerah, baik Suku, Ras,
Agama dan lainnya.
b. Mendapatkan pengakuan khusus dari negara agar daerah tidak
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau dengan
kata lain menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Dalam hal sosial-kultural diantaranya:
a. Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena untuk menghargai
budaya kental dari suatu daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) yang sangat kental kebudayaan islam dipergunakan dalam ke-
hidupan sehari-hari.
b. Mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena adanya kekhususan
di bidang tertentu pada daerah tersebut seperti pariwisata dan letak geo-
grafis suatu daerah
4. Dalam hal ekonomi, yaitu mendapatkan pengakuan khusus dari negara untuk
membantu ketertinggalan suatu daerah dengan daerah lainnya, seperti Papua
adalah daerah yang kaya, namun tertinggal dalam banyak bidang seperti eko-
nomi, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan lainnya.
5. Satu tambahan dari Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang mendapatkan
kekhususan dikarenakan dalam hal fungsional yakni: melihat daerah DKI
Jakarta mendapatkan pengakuan khusus dikarenakan DKI Jakarta ini dalam ke-
dudukannya sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan seba-
gai daerah otonom yang memiliki fungsi dan peran yang penting dalam men-
dukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

9
2.4. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Adapun sistem pemerintahan darerah otonomi khusus di Indonesia, yaitu:


1. Dalam hal pemilihan dan pengangkatan kepala daerah diantaranya:
a. Daerah Otonomi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pemilihan
kepala daerahnya Gubernur dan Wakil Gubernur pada kedua daerah ini di-
pilih secara langsung oleh rakyat. Begitu juga dalam hal pemilihan Wa-
likota/Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.
b. Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam hal pengangkatan Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta dipilih secara langsung melalui Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada), sedangkan
Walikota/Bupati di dalam wilayah DKI Jakarta diangkat oleh Gubernur
dengan pertimbangan DPRD.
c. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam hal pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur diangkat oleh Presiden dengan mempertimbangkan Gubernur be-
rasal dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dari keturunan
Paku Alam, sedangkan dalam hal pemilihan Walikota/Bupati Daerah Is-
timewa Yogyakarta dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum Ke-
pala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada).
2. Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan diantaranya:
a. Daerah Khusus Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam menyelenggarakan
pemerintahan berdasarkan undang-undang tersendiri, Papua berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Papua sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darus-
salam serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh.
b. Daerah Khusus Ibukota jakarta dalam penyelenggaraan pemerintahannya
dapat dilihat di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dikatakan bahwa Provinsi
DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

10
mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecu-
ali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini.
c. Begitu juga halnya dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang penyeleng-
garaan pemerintahannya berdasarkan kepada undang-undang tentang pe-
merintahan daerah yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewenangan is-
timewa meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewen-
ang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY,
kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
3. Dalam hal lagu dan bendera diantaranya:
a. Daerah Otonomi Khusus Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
memiliki lagu daerah sebagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya dan
bendera daerah sebagaimana Sang Merah Putih;
b. Daerah Khusus Ibukota Jakarta hanya memiliki satu lagu dan bendera,
yakni Indonesia Raya dan Sang Merah Putih;
c. Begitu juga dengan Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya memiliki In-
donesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan dan Sang Merah Putih sebagai
Bendera Negara.
4. Dalam hal keberlakuan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat oleh Pemer-
intah Pusat diantaranya:
a. Pada daerah otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), segala
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat ber-
dasarkan pada Pasal 8 Ayat (2) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2006
menyatakan bahwa DPR RI harus berkonsultasi dan mendapat pertimban-
gan dari DPRA jika hendak membuat undang-undang yang akan berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh.
b. Sedangkan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta segala peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat berlaku mengikat secara lang-
sung bagi Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa perlu disetujui oleh Sultan
Yogyakarta dan Adipati Kadipaten Paku Alaman. Hal ini sama dengan ke-
berlakuannya segala peraturan perundang-undangan pada daerah-daerah
lainnya.

11
2.5. DAERAH-DAERAH OTONOMI KHUSUS DI INDONESIA

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang


bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang
dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus adalah daerah yang
diberikan otonomi khusus. Daerah yang diberikan otonomi khusus anatara lain:

1. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta


Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta; Adanya pengakuan dan
penghormatan negara terhadap suatu daerah dengan diberikannya otonomi khusus dan
istimewa di beberapa daerah di Indonesia merupakan kesepakatan politik pembentuk
konstitusi. Penetapan DIY sebagai daerah otsus karena memiliki nilai sejarah dan
menjadi pusat kebudayaan Jawa. Kewenangan Istimewa tersebut diantaranya : a) tata
cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur, b) kelembagaan Pemerintah Daerah D.I. Yogyakarta, c) kebudayaan, d)
pertanahan, dan e) tata ruang.

Dasar pemikiran yang melatarbelakangi pemberian status keistimewaan bagi


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu, status istimewa yang melekat pada DIY
merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia;
masyarakat Yogyakarta yang homogen pada awal kemerdekaan meleburkan diri ke
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, baik etnik, agama maupun adat istiadat;
setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Adipati Paku
Alam VIII memutuskan untuk menjadi bagian dari Indonesia; peran Yogyakarta terus
berlanjut di era revolusi kemerdekaan yang diwujudkan melalui upaya Kesultanan dan
Kadipaten serta rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Kasultanan dan Kadipaten tetap
diposisikan sebagai simbol pengayom kehidupan masyarakat dan tetap sebagai ciri
keistimewaan DIY; dan pengaturan Keistimewaan D.I.Y bertujuan untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan
kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka tunggal-ika-an, dan melembagakan
peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan

12
mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa
(Baharudi, 2016) dalam Dwiyansany (2019).

2. Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta


Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) sebagai
satuan pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki
fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan
NKRI berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas,
hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Untuk itulah Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur
kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Beberapa hal yang
menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:

1) Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2) Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada
tingkat provinsi.
3) Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab
tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan
perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
4) Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten
administrasi.
5) Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus
dua puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk
DKI Jakarta sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
6) Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu
kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur mempunyai hak protokoler,
termasuk mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.

13
7) Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu
kota Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR
dalam APBN berdasarkan usulan Pemprov DKI Jakarta.
3. Provinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD)
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir
diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh
Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu
bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta
politik di Aceh secara berkelanjutan.

1. Dasar Pemberian Otonomi Khusus


Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dasar pemberian Otonomi Khusus
adalah:

a. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut


Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuansatuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang;
b. bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh adalah
adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada pandangan
hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat
sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan egara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa untuk memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi
khusus;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum menampung sepenuhnya hak asal-
usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;

14
e. bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah. Menurut Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan otonomi khusus adalah:

a) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menurut


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan
menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa;
b) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh
merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait
dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang
memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
c) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup
yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat,
sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d) bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh
belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta
pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga
Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-
prinsip kepemerintahan yang baik;
e) bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun
kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dari dasar menimbang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 di Nanggroe Aceh Darussalam ini dapat ditarik
kesimpulan kriteria dalam pemberian otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh
Darussalam diantaranya:

1. Dalam hal historis yaitu otonomi khusus di Aceh diberikan didasarkan pada sejarah
dari masyarakat Aceh pada saat perjuang bangsa Indonesia meraih kemerdekaan 17

15
Agustus 1945, mereka berjuang mengorbankan materi dan tenaga untuk
kemerdekaan bangsa Indonesia.
2. Dalam hal politik yaitu upaya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap
mempertahankan wilayah Kesatuan Republik Indonesia, hal ini dikarenakan koflik
berkepanjangan yang terjadi di Aceh dan juga dikarenakan adanya gerakan
separatis yang tumbuh dan berkembang di Aceh yang dikenal dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM).
3. Dalam hal sosial-cultural yaitu sosial cultur masyarakat Aceh yang sangat kental,
kebudayaan serta agama yang membuat Aceh memperjuangkan status otonomi
khusus bagi daerahnya.

2. Kekhususan
Dasar dari penyelenggaraan Otonomi Khusus di daerah Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Lalu di perbaruhi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ada beberapa kekhususan lainnya yang membuat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan daerah lainnya sebagaimana yang
terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
diataranya:

a. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi ke dalam kabupaten/kota, kecamatan,


mukim, kelurahan dan gampong. Masyarakat hukum di bawah kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan kelurahan dan gampong
adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim.
b. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan DPRA. Pemerintahan Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan
lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Dalam naskah kerjasama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat
berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya dan olah raga
internasional.

16
c. Rencanan pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan langsung dengan Pemerintah an Aceh dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan DPRA.
d. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh
yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Gubernur.
e. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara
lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati,
serta calon Wakil Walikota di Aceh.
f. Di Aceh terdapat pengadilan Syariat Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syariyah, yang terdiri dari Mahkamah Syariah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syariyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syariyat Islam dengan hukum acara yang ditetapkan
berdasarkan Qanun.
g. Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah
Qanun. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh
Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA dan Qanun
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/ Walkota setelah mendapatkan
persetujuan bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh, Pemerintahan Kabupaten/Kota dan penyelenggaraan tugas
pembantuan. Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6
(enam) bulan kurungan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah). Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat
menentukan jenis dan bentuk ancaman pidana tersendiri.
h. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,
badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK. DI Aceh terdapat
insitusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah
Aceh, Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK, Lembaga Wali Nanggroe dan

17
Lembaga Adat, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dan Unit Polisi Wilayah Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi
Pamong Praja, sebagai penegak Syariyat Islam.
4. Provinsi Papua dan Papua Barat
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk
mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM,
percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan
provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001 menempatkan orang asli Papua
dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama. Orang asli Papua adalah
orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di
Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh
masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang
menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.

1. Dasar Pemberian Otonomi Khusus


Dalam pemberian Otonomi Khusus di Papua, ada terdapat dasar pemberian
Otonomi Khusus. Hal ini dapat dilihat dari dasar menimbang Undang- Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diantaranya:

a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah


membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat
manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilainilai agama,
demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum
adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuansatuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dalam undang-undang;
d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan
sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;

18
e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras
Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang
memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri; 74
f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi
Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya
masyarakat Papua;
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum
digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli,
sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan
daerah lain, serta merupakan pengabaian hakhak dasar penduduk asli Papua;
h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi
lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta
memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya
kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilainilai dasar
yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi,
pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga
negara;
j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya
menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya
menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya
Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama
Irian Jaya Menjadi Papua;
Dari ketentuan menimbang ini disimpulkan, Provinsi Papua menyandang otonomi
khusus dengan kriteria sebagai berikut:

19
1) Dalam hal historis yaitu otonomi khusus di Papua diberikan didasarkan pada
sejarah dari masyarakat Papua pada saat perjuang bangsa Indonesia meraih
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
2) Dalam hal politik yaitu upaya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk tetap
mempertahankan wilayah Kesatuan Republik Indonesia, hal ini dikarenakan
koflik berkepanjangan yang terjadi di Papua dan juga dikarenakan adanya
gerakan separatis yang tumbuh dan berkembang di Papua.
3) Dalam hal ekonomi yaitu ketertinggalan daerah Papua dari daerah lainnya dari
segi ekonomi, kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan 76 masyarakatnya,
sehingga menyebabkan Hak Asasi Manusia (HAM) kurang dihargai.
2. Kekhususan
Pemberian Otonomi Khusus pada Provinsi Papua setidaknya didasarkan
kepada dua hal, yaitu karena adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM). Selain itu salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi
Papua dan Papua Barat adalah pada bentuk dan susunan pemerintahannya.

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi


Khusus Bagi Provinsi Papua berbunyi sebagai berikut: “Pemerintahan Daerah
Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif dan Pemerintahan Provinsi
sebagai badan eksekutif”. Ada beberapa hal yang harus di perhatikan dari penggunaan
istilah legislatif dan eksekutif dalam rumusan Pasal 5 Ayat (1) diantaranya: dilihat
dari makna istilah “legislatif atau eksekutif” itu merujuk pada pembagian kekuasaan
negara atau bagian dari alat kekuasaan negara.

Selain itu, dalam Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dikatakan bahwa “Provinsi Papua juga
dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan
oleh DPRP bersama sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis
Rakyat Papua (MRP). Jika hal ini dilihat menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Perdasi ini merupakan produk hukum yang
tingkatannya sama dengan Peraturan Daerah (Perda) tepatnya didalam Pasal 136.
Dengan demikian, ada dua tingkatan produk hukum yang berlaku di Papua dan Papua
Barat, yaitu Perdasus dan Perdasi. Perdasus berada di tingkat yang lebih tinggi dan
Perdasi di tingkat yang lebih rendah.

20
21
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1. Sistem Pertanahan Keraton Yogyakarta Sebagai Daerah Otonomi Khusus (


Shenita Dwiyansany dan Lita Tyesta Addy Listiya Wardhani,2019)

Di dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok Pokok Agraria (UUPA) Pasal 1 ayat (2); Seluruh bumi, air dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. UUPA dibuat dengan maksud
untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, sehingga semua
tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong seperti
cita-cita pada Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang tersebut belum diterapkan
secara penuh oleh beberapa daerah di Indonesia karena adanya daerah otonom khusus
seperti Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini dikarenakan di daerah tersebut
berlaku hukum nasional yakni UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan
hukum kerajaan atau Undang Undang Keistimewaan yang keduanya hingga kini masih
eksis diberlakukan. Adanya dualisme hukum agraria tersebut menjadikan tanah-tanah
yang berada di DIY sendiri menjadi tersekat-sekat antara tanah nasional, tanah
penduduk, tanah Sultan (Sultan Ground), maupun tanah Pakualaman (Pakualaman
Ground). (Jati, 2014).

Salah satu kewenangan dari keistimewaan D.I. Yogyakarta ialah masalah


pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah D.I. Yogyakarta berwenang
mengatur bidang pertanahan, juga membuat peraturan pertanahan, khususnya dalam
bidang perolehan hak atas tanah. Salah satu yang diatur adalah mengenai pembatasan
perolehan hak milik atas tanah bagi Warga Negara Indonesia Non Pribumi. Di D.I..Y
Warga Negara Indonesia Non Pribumi tidak dapat meperoleh hak atas tanah dengan
Hak Milik. Disini seakan-akan Pemerintah Derah memberikan pembedaan atau
diskriminasi bagi WNI Non Pribumi. Sebagian besar tanah di daerah tersebut

22
merupakan tanah milik Sultan dan Pakualam, tanah rakyat atau warga hanya dapat
menempati atau mengelola tanah yang diberikan raja kepada rakyatnya. Tanah
kerajaan yang diserahkan pada rakyat untuk dikelola itu disebut tanah Magersari.

Pasal 7 ayat (2) UU Keistimewaan DIY keistimewaan tersebut Kasultanan dan


Kadipaten Pakualaman menjadi badan hukum yang merupakan subyek pemilik hak
atas tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten Pakualaman yang berwenang untuk
mengelola dan memanfatkannya baik yang berupa tanah keprabon dan bukan tanah
keprabon yang terdapat di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada Pasal
33 ayat (4) UU Keistimewaan DIY mengatur dan menjelaskan bahwa pengelolaan dan
pemanfaatan atas tanah-tanah tersebut oleh perseorangan, badan hukum, badan usaha,
maupun badan sosial harus mendapat ijin dari Kasultanan untuk tanah Kasultanan
ataupun Kadipaten Pakualaman untuk tanah Pakualaman, hak milik tanah adat ini
masih menjadi hak milik atau merupakan domain bebas dari Kasultanan Yogyakarta-
Kadipaten Paku Alaman dan hingga kini belum terjangkau ketentuan ketentuan UUPA
karena dalam pengaturan penguasaan tanah hanya diatur beberapa konversi perorangan
bekas hak adat menjadi hak milik saja, sedangkan untuk Tanah Lembaga Keraton
Kasultanan Sultan Ground (SG) dan tanah Lembaga Kadipaten Pakualaman Paku
Alam Ground (PAG) belum diterapkan konversinya dalam sistem hukum tanah
nasional (Munsyarief, 2013).

Sistem pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dijalankan dengan membentuk


suatu sistem satuan-satuan administratif yang sangat otonom sifatnya dan swasembada
dalam keuangannya. Dengan demikian urusan pertanahan dilaksanakan oleh
Pemerintah provinsi DIY. Hal ini sejalan dengan pendapat Bagir Manan mengenai
perlunya desentralisasi. Pertama sebagai cerminan dari ciri kerakyatan yang
mengedepankan sikap arif bijaksana dalam memecahkan segala sesuatu secara
musyawarah. Kedua,untuk lebih memberikan penghargaan atas pemerintahan asli yang
telah ada sejak dahulu baik dalam bentuk pemerintah otonom. Oleh karena itu,
hubungan kausalitas antara sistem pertanahan nasional dengan sistem pertanahan pada
Daerah Istimewa Yogyakarta ini adalah merupakan sebuah sistem yang tidak dapat
dipersamakan, mengingat kekhususan yang dimiliki D.I..Y ini merupakan arti penting
sejarah asal usul, jadi hukum nasional pun menghendaki dan menghargai kebijakan
tersebut untuk daerah Yogyakarta ini dengan memberikan otonomi khusus.

23
Oktober 2017, Handoko (35) salah satu warga D.I Yogyakarta keturunan
Tionghoa menggugat Gubernur D.I Yogyakarta Sultan Hamenku Buwono X dan
Pejabat Kepala kantor Badan Pertanahan Masional (BPN) D.I Yogyakarta. Gugatan
diajukan karena kedua pihak dinilai menjalankan instruksi wagub D.I.Y Nomor
K.898/I/A/1975 yang memerintahkan agar tidak memberikan milik tanah kepada
warga negara non-pribumi meliputi "Europeanen" (Eropa/kulit putih); "Vreemde
Oosterlingen" (Timur Asing) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-
Eropa lain di DIY dan hanya boleh diberikan hak guna. Penggugat menilai, bahwa
intruksi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Intruksi Presiden Nomor 1998 yang
melarang penggunaan istilah pribumi-dan non pribumi dalam perumusan dan
penyelenggaraan kebijakan (Handoko, 2018).

Atas Gugatan tersebut, Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan


yang mempersoalkan kebijakan diskriminasi pertanahan oleh Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Majelis Hakim menilai kebijakan melarang warga etnis
Tionghoa memilik tanah di D.I Yogyakarta bukanlah tindakan melawan hukum.
Pemerintah D.I Yogyakarta memiliki kewenangan istimewa untuk mengatur kebijakan
dan peraturan terkait pertanahan dan tata ruang. Keistimewaan ini secara tegas
memberikan kewenangan kepada Pemerintah D.I Yogyakarta dibidang pertanahan
dalam rangka menjaga sejarah dan kebudayaan, khususnya keberadaan Kesultanan
Ngayogyakarta. Putusan didasarkan pada keterangan saksi ahli dalam persidangan,
yaitu instruksi yang selama ini menjadi pedoman kebijakan pertanahan di D.I
Yogyakarta bukan produk perundang-undangan, sehingga tidak bisa diuji dengan
produk perundang- undangan lain yang lebih tinggi. Instruksi ini hanya produk
kebijakan umum yang hanya dapat diuji dengan asas umum pemerintahan yang baik
(Kusuma, 2018).

Pengaturan tanah D.I Yogyakarta merupakan proses sejarah panjang yang


awalnya dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat supaya tidak ada
ketimpangan, maka tidak salah seorang Kepala Daerah melestarikan ketentuan hukum
adatnya, serta adanya UUD 1945 Pasal 18 b ayat 1 dan 2 tentang daerah khusus dan
istimewa serta masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya dan hingga lahirlah
UU tentang Keistimewaan D.I Yogyakarta sebagai suatu pengakuan. Pada dasarnya

24
memang ada bentuk diskriminasi namun tidak ada bentuk pelanggaran HAM dari
kebijakan tersebut, dalam konvensi HAM internasional yang diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia diatur deskriminasi positif, dimana deskriminasi positif boleh
dilakukan jika itu tujuannya baik. Pemberlakuan deskriminasi positif untuk
mengilangkan deskriminasi yang sudah ada, yaitu penderitaan masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh masih tingginya ketimpangan antara si kaya dan si miskin di D.I
Yogyakarta, sehingga pemerintah D.I Yogyakarta membuat suatu kebijakan mengenai
hak kepemilikan tanah, dimana tanah lebih diperuntukkan untuk kesejahteraan
masyarakat D.I Yogyakarta. Disamping itu, yang perlu digaris bawahi, kebijakan
tersebut tidak hanya dimaksudkan untuk masyarakat keturunan Tionghoa semata,
karena dalam kebijakanhanya disebutkan kata non pribumi.

25
BAB 4

PENUTUP

4.2. KESIMPULAN

1. Otonomi khusus pada dasarnya merupakan kewenangan khusus yang diberikan


oleh pemerintah kepada daerah untuk mengatur dan sendiri tetapi sesuai dengan
hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut. Kewenangan khusus diberikan den-
gan tujuan agar daerah mampu menata daerah dan mengembangkan daerahnya
pada bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya
2. Dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Indonesia terdapat beberapa dasar
hukum yang meladasinya seperti terdapat pada Pasal 18A ayat (1) dan pasal 18B
ayat (1 dan 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
ketiga yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan berbagai Undang-Undang yang
berlaku pada setiap daerah otonomi khusus itu sendiri
3. Kriteria diberlakukannya daerah menjadi otonomi khusus dapat dilihat dari segi
historis yaitu yakni mendapatkan pengakuan khusus dari negara karena asal usul
kesejarahan suatu daerah, dari hal politik, sosial-kultural , hal ekonomi seperti
mendapatkan pengakuan khusus dari negara untuk membantu ketertinggalan suatu
daerah dengan daerah lainnya dan berdasar pada tugas fungsionalnya.
4. Beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki otonomi khusus, yaitu Provinsi
Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem penyelenggaraan otonomi khusus di daerah-
daerah di Indonesia pada dasarnya bergantung pada Undang-Undang yang berlaku
di daerahnya dan pemberlakuan kekhususan di setiap daerah berbeda, sesuai bidang
dan hal-hal lainnya yang ada di daerah.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alvionita, Hesti. 2014. Pengaturan Otonomi Khusus bagi Daerah Otonom di Indonesia.
Diakses melalui http://repository.unib.ac.id/8867/1/IV%2CV%2CLAMP%2CII-14-
hes.FH.pdf, pada 30 Maret 2021.

Annafie, Khotman dan Achmad N. 2016. Kelembagaan Otonomi Khusus (OTSUS) dalam
Mempertahankan Nilai-Nilai Kebudayaan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Kebijakan Publik. 3 (2): 304-338.

Dwiyansany, Shenita dan Wardhani, Lita Tyesta Addy Listiya. Sistem Pertanahan Keraton
Yogyakarta Sebagai Daerah Otonomi Khusus. 2019. Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, Vol. 1(2). Diakses melalui
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jphi/article/view/5510, diakses pada 30 Maret
2021.

Hannum, Hurst. 1996. Autonomy, Sovereignty, and Self – Determination. Philadelphia :


University of Pennsylvania Press

JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.


Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2018. Catatan untuk Otonomi Khusus dari
DPD. Kemenkeu.go.id. Diakses melalui https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/ber-
ita/ini-catatan-untuk-otonomi-khusus-dari dpd/#:~:text=Tujuan%20otonomi
%20khusus%20antara%20lain,tata%20kelola%20pemerintahan%20yang%20baik,
pada 30 Maret 2021.

Malahayati. 2015. Otonomi Khusus Aceh Dan Papua Antara Teori Dan Praktik Dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Program Doktoral Ilmu Hukum
Universitas Syiah Kuala.

Tauda, Gunawan A. 2018. Desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem Ketatanegaraan


Republik Indonesia. Dalam Adminitrative Law & Governance Journal Vol. 1 Edisi 4
Nov 2018, Hal 413 – 435.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.


Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

27

Anda mungkin juga menyukai