Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MATA KULIAH REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK

NAMA : RENER BRANCHO KARWUR, S.STP


KELAS : C

JUDUL BUKU :
“ADMINISTRASI PUBLIK: DESENTRALISASI, KELEMBAGAAN, DAN APARATUR SIPIL NEGARA”
Penulis :
Agus Dwiyanto

BAB I : PENGUATAN OTONOMI DAERAH: PROBLEM DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama lebih dari satu dekade ini telah
menghasilkan banyak paradoks. Banyak kemajuan yang diperoleh, tetapi masih ada masalah yang sangat
mendesak untuk dicarikan solusinya. Kerancuan pembagian urusan pemerintahan adalah salah satu
masalah yang mendesak dan strategis, tetapi belum mendapat banyak perhatian dari para pengambil
kebijakan. Kegagalan menyelesaikan masalah ini memiliki implikasi negatif yang luas pada pelaksanaan
otonomi daerah. Untuk mengkaji masalah tersebut, serangkaian kegiatan riset dan konsultasi publik
dilakukan dengan dua tujuan yang strategis, yaitu: (1) dalam jangka pendek mencari masukan untuk
merevisi kerangka kebijakan nasional desentralisasi dan otonomi daerah yang ada dalam UU No. 32
Tahun 2004; dan (2) dalam jangka panjang untuk merumuskan Grand Design for Regional Autonomy
(Desain Besar Otonomi Daerah– DBOD). Kedua pendekatan tersebut, baik perubahan jangka pendek
maupun jangka panjang, perlu dilakukan secara terintegrasi sehingga keduanya dapat berjalan seiring
dan mampu memberi arahan yang jelas bagi perbaikan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia.

DBOD dibuat untuk merumuskan arah kebijakan otonomi daerah dalam 20–25 tahun
mendatang dan program-program apa saja yang seharusnya dilakukan untuk membangun NKRI yang
desentralistis dan sekaligus meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
DBOD akan membuat peta jalan yang menunjukkan proses pembaharuan dalam berbagai aspek
pelaksanaan otonomi daerah. Peta jalan itu akan memberikan arahan kepada semua unsur
pemerintahan di berbagai tingkatan dan susunan tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam
penguatan otonomi daerah. Peta jalan itu diharapkan dapat memperjelas proses transisi menuju
terwujudnya pemerintahan daerah yang efisien, efektif, dan akuntabel. Dengan demikian, pelaksanaan
otonomi daerah diharapkan mampu memberi kontribusi terhadap percepatan terwujudnya
kesejahteraan rakyat. Studi ini mengambil fokus pada pembagian urusan pemerintahan karena masalah
ini memiliki implikasi yang sangat luas terhadap berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah.

1
Sebagaimana telah banyak didokumentasikan, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia selama ini
masih menyisakan banyak persoalan terkait dengan pembagian urusan pemerintahan antarpemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pembagian urusan pemerintahan masih kabur, rancu, dan dalam
banyak hal tumpang-tindih. Hal tersebut sering menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan.
Untuk memahami kompleksitas masalah dalam pembagian urusan, studi ini mengambil pembagian
urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan beberapa urusan yang terkait lainnya sebagai
sampel. Studi dilakukan di tiga provinsi yang dipilih secara purposif mewakili daerah yang memiliki
tingkat kemajuan sosial ekonomi yang berbeda, yaitu: Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara
Timur.

Bab ini akan menjelaskan berbagai temuan yang diperoleh dari kajian yang dilakukan di tiga
provinsi tersebut. Pembahasan dalam bab ini mencakup masalah dan kendala dalam pembagian urusan,
implikasi dari kerancuan dalam pembagian urusan terhadap berbagai aspek penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dan rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan untuk mereformasi pembagian
urusan antarsusunan pemerintahan.

ISU PERTAMA: DISTORSI DALAM PELAKSANAAN ASAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Problem:

 Benturan Regulasi: Regulasi yang Bersumber dari UU Pemerintahan Daerah dan UU Sektoral
 Pemerintah Pusat Mendekonsentrasikan Urusan yang Telah Dilaksanakan oleh Daerah
 Pemerintah Provinsi Mencampuri Urusan Kabupaten/Kota
 Kerancuan dalam Penerapan Asas Dekonsentrasi dan Tugas Pebantuan

Berbagai bentuk distorsi dalam pembagian urusan menunjukkan bahwa perumusan distribusi
urusan sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007 perlu diperbaiki. Penggunaan kalimat yang sama
untuk sebagian urusan bersama, yang hanya dibedakan atas dasar skala yang tidak disertai fokus dan
ukuran yang jelas, sering menimbulkan perbedaan persepsi dan penafsiran dari para pemangku
kepentingan di kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota. Revisi PP No. 38/2007 perlu segera
dilakukan agar benturan kepentingan antarsusunan pemerintahan yang sering kali menghasilkan
benturan regulasi, kegiatan yang tumpang tindih, dan pengambilalihan urusan oleh susunan
pemerintahan yang lebih tinggi dapat dihindari.

2
Pemerintah juga perlu konsisten dalam menerapkan asas penyelenggaraan pemerintahan
dengan menggunakan asas dekonsentrasi dan tugas pebantuan secara benar sesuai dengan praktik
internasional. Pembedaan dekonsentrasi dan tugas pebantuan berdasarkan sifat kegiatannya yaitu:
nonfisik (dekonsentrasi) dan fisik (tugas pebantuan) tidak sesuai dengan makna sebenarnya dari kedua
asas tersebut, sebagaimana diterapkan dalam praktik internasional. Kesalahan dalam memahami konsep
tugas pebantuan memberi kontribusi terhadap kerancuan dalam penerapan asas dekonsentrasi dan
tugas pebantuan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan mengembalikan penggunaan konsep
tugas pebantuan dan dekonsentrasi kepada makna sebenarnya, maka pemerintah memiliki peluang
untuk melakukan dekonsentrasi untuk kegiatan yang bersifat fisik dan melaksanakan tugas pebantuan
untuk kegiatan yang bersifat nonfisik. Dengan cara ini, distorsi dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dapat dikurangi. Untuk itu, koreksi terhadap kesalahan dalam penggunaan konsep dekonsentrasi dan
tugas pebantuan dalam PP No. 8/2008 perlu dilakukan.

Rekomendasi:

1) Pemerintah perlu merumuskan kerangka kebijakan nasional otonomi daerah yang solid,
comprehensive, dan terintegrasi dengan baik. Untuk itu ada beberapa tindakan yang
seharusnya dilakukan:
a) Melakukan regulatori analisis untuk mengidentifikasi benturan, tumpang-tindih,
inkonsistensi peraturan perundangan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
b) Membuat pengaturan tentang kegiatan pemerintah pusat (kementerian dan lembaga
nonkementerian) di daerah yang sesuai dengan semangat otonomi daerah dan mampu
mengintegrasikan kegiatan pemerintah pusat dengan kegiatan pemerintah daerah.
c) Menugaskan kepada Kantor Presiden/Wakil Presiden untuk melaksanakan harmonisasi
peraturan perundangan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
2) Dalam merevisi PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah perlu
memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Menghindari penggunaan skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak
disertai dengan ukuran yang jelas dalam mendistribusikan urusan bersama kepada
daerah.
b) Mendistribusikan urusan pemerintahan secara utuh (whole function) kepada susunan
pemerintahan tertentu. Dengan cara inimakatatalaksana (business processes) dalam

3
penyelenggaraan urusan pemerintahan dapat dibuat menjadi lebih sederhana, efisien,
dan efektif. Setiap susunan pemerintahan memiliki kompetensi yang jelas untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan tertentu.
c) Pemisahan satu kegiatan (Unbundle) dalam penyelenggaraan urusan bersama dapat
dilakukan jika kegiatan tersebut dinilai lebih efisien dan efektif jika dilaksanakan oleh
susunan pemerintahan lainnya. Misalnya, rekrutmen dan penempatan tenaga guru
dapat dipisahkan dari pengelolaan urusan pendidikan dasar dan menengah yang telah
diserahkan kepada daerah jika kegiatan tersebut dinilai lebih efisien dan efektif jika
kegiatan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat.
3) Merevisi PP No. 8/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pebantuan dengan
mengembalikan penggunaan kedua konsep tersebut kepada makna yang sebenarnya sesuai
dengan praktik internasional.

ISU KEDUA: PERUBAHAN DISTRIBUSI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KRITERIA PEMBAGIAN URUSAN

Problem:

 Kriteria Pembagian Urusan


 Mekanisme Penarikan dan Penambahan Urusan

Berbagai kasus di atas menunjukkan adanya dinamika dalam pembagian urusan di berbagai
sektor yang jika dibiarkan dapat menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan. Ada upaya dari
susunan pemerintah tertentu untuk mengambil alih urusan pemerintah lainnya atau mengalihkan satu
urusan yang selama ini menjadi kewenangannya kepada pemerintah yang lain. Dengan melihat realitas
tersebut, kebutuhan akan adanya mekanisme perubahan distribusi pembagian urusan pemerintahan
sangat diperlukan. Penyesuaian terhadap dinamika dalam hubungan antarsusunan pemerintahan
diperlukan agar daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintah yang sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhannya.

UU No. 32/2004 dan PP No. 38/2007 belum mengatur tentang mekanisme perubahan
pembagian urusan. Pembagian urusan antarsusunan pemerintahan dilakukan secara “sekali untuk
selamanya dan satu untuk semuanya”. Sekali pembagian urusan dilakukan, hal itu dianggap berlaku
untuk selamanya dan untuk semua daerah tanpa memperhatikan variabilitas. Cara pembagian urusan
seperti ini tentu tidak menguntungkan karena pengaturan yang ada tidak mampu merespons dinamika

4
yang terjadi dalam hubungan antarsusunan pemerintahan. Tidak adanya mekanisme untuk merespons
usulan dari berbagai susunan pemerintahan sering menimbulkan tensi dalam hubungan antarsusunan
pemerintahan dan ketidakpastian dalam penyelesaian berbagai masalah dalam pengelolaan satu urusan
tertentu. Dengan variabilitas daerah yang sangat tinggi dan dinamika sosial, ekonomi, dan geografis
yang semakin kompleks, maka pengaturan tentang mekanisme penarikan dan penambahan urusan
perlu diatur dalam revisi UU 32/2004 agar pemerintah dapat mengelola dinamika dalam
penyelenggaraan urusan secara cerdas, efisien, dan adil.

Rekomendasi:

1) Pemerintah perlu meninjau kembali kriteria pembagian urusan. Kriteria yang dipergunakan
sekarang kurang memadai karena tidak memperhatikan karakteristik daerah, kapasitas
daerah, dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2) Pendistribusian urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan secara asimetris sesuai
dengan karakteristik dan kapasitas daerah dan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
daerah.
3) Pemerintah perlu mengatur tentang perubahan urusan dan merumuskan mekanismenya.
Pemerintah pusat dan daerah, karena pertimbangan tertentu yang dibenarkan oleh
peraturan perundangan, dapat mengusulkan penarikan satu urusan tertentu yang
diselenggarakan oleh susunan pemerintahan lainnya. Sebaliknya, daerah dapat
mengusulkan untuk mengembalikan urusan tertentu kepada pemerintah.
4) DPOD perlu diberdayakan sebagai institusi yang mengelola proses pengusulan perubahan
urusan dan merekomendasikan perubahan urusan kepada presiden sebagai kepala
pemerintahan. Untuk itu, restrukturisasi DPOD diperlukan, antara lain dengan menjadikan
DPOD sebagai governance body terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah,
menempatkan kedudukan DPOD di bawah Kantor Presiden/Wakil Presiden, dan melengkapi
DPOD dengan think tank yang solid dan memiliki kemampuan untuk melakukan analisis
kebijakan terhadap usulan perubahan urusan dan hal-hal lainnya terkait dengan kebijakan
otonomi daerah.

ISU KETIGA: DISTORSI DALAM PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)

Problem:

5
 Kewenangan Mengambil Diskresi yang Semakin Kecil
 Ketidaksesuaian antara Prioritas Nasional dengan Prioritas Daerah
 Proses Alokasi DAK yang Rentan Terjadi Korupsi dan Tidak Efisien

Kesimpulan dan Rekomendasi:

Pemerintah perlu merevitalisasi penggunaan DAK sebagai instrumen untuk mewujudkan target
dan prioritas nasional dalam urusan yang telah didesentralisasikan kepada daerah. DAK seharusnya
menjadi instrumen untuk mengintegrasikan program-program nasional dengan program-program
pemerintahan daerah. Untuk itu pemerintah perlu melakukan serangkaian tindakan sebagai berikut:

1) Pemerintah perlu mengalihkan dana-dana APBN lainnya yang selama ini tidak jelas
nomenklatur dan peruntukannya menjadi DAK.
2) Pemerintah merumuskan prioritas nasional secara jelas dan terbuka sehingga para
pemangku kepentingan di daerah dapat memahami dengan jelas program-program
pemerintah yang akan didanai dengan DAK.
3) Pemerintah memetakan kondisi daerah sesuai dengan prioritas nasional dan
mengalokasikan DAK kepada daerah berdasarkan atas kesesuaian antara kondisi daerah
dengan prioritas nasional.
4) Pemerintah memberdayakan gubernur sebagai wakil pemerintah untuk mengharmonisasi
prioritas nasional dengan kondisi daerah.
5) Pemerintah menugaskan gubernur untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan DAK di daerah.

ISU KEEMPAT: KELEMBAGAAN DAERAH DAN PEMBAGIAN URUSAN

Problem:

 Pedoman yang Terlalu Rigid dengan Implementasi yang Buruk


 Pemerintah Memaksa Daerah Membentuk OPD Sesuai dengan Nomenklatur Kementerian
 Pengangkatan Pegawai Daerah

Pengalihan urusan kepada daerah seharusnya diikuti dengan kewenangan kepada daerah untuk
mengembangkan kelembagaan daerah sesuai dengan kebutuhan daerah. Ketika pemerintah
mengeluarkan PP No. 38/2007 maka pemerintah mestinya memberi otoritas kepada daerah untuk

6
membentuk OPD sesuai dengan kebutuhannya. Pemerintah dapat membuat NSPK dalam pembentukan
kelembagaan daerah agar daerah mampu membentuk struktur kelembagaan daerah yang efisien dan
efektif. Namun, sayangnya banyak intervensi dilakukan pada daerah dalam pengembangan
kelembagaan sehingga membuat struktur kelembagaan daerah sekarang ini cenderung gemuk, tidak
efisien, dan tidak efektif.

Dari analisis kedua aspek kelembagaan ini tampak bahwa problem daerah dalam
mengembangkan kapasitas kelembagaan amat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan
pemerintah pusat yang kurang cerdas dalam mengembangkan mekanisme koordinasi dan sinkronisasi
kegiatan pemerintah dengan provinsi dan kabupaten/kota telah mendorong daerah untuk
mengembangkan struktur kelembagaan yang simetris dengan struktur pemerintah pusat sehingga
menjadi kurang relevan dengan pelaksanaan urusan pemerintahan daerah. Keinginan kementerian
sektoral mendorong daerah untuk mengembangkan OPD yang memiliki nomenklatur yang sama juga
menggambarkan adanya “nostalgia” dari kementerian sektoral untuk kembali ke era sentralisasi dulu, di
mana setiap kementerian memiliki kantor cabang di provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan tersebut
telah mengakibatkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas kelembagaan daerah. Kondisi ini diperburuk
dengan kebijakan pemerintah yang mengangkat tenaga honorer yang ada di berbagai OPD dan
menjadikan profil aparatur sipil di daerah menjadi semakin buruk.

Rekomendasi:

Untuk mendorong adanya pemerintah daerah yang efisien, efektif, dan akuntabel kepada
warganya maka pemerintah perlu meninjau kembali PP No. 41/2007 dan menggantinya dengan PP yang
mampu mendorong adanya rightsizing struktur kelembagaan daerah. Dalam merevisi PP tersebut, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah antara lain:

1) PP yang baru harus memberi insentif/disinsentif kepada daerah untuk tidakhanya


mengurangi jumlah OPD tetapi juga merampingkan jabatan struktural, yang sekarang ini
cenderung berlebihan dan tidak efisien.
2) PP yang baru tidak perlu mengatur secara rinci perumpunan kelembagaan secara seragam
karena bertentangan dengan semangat otonomi dan realitas daerah yang beragam. Daerah
harus diberi diskresi untuk mengembangkan struktur kelembagaan yang efisien dan sesuai
dengan kebutuhan dan tantangan yang dimilikinya.

7
3) Daerah juga perlu diberi diskresi untuk mengelola sebagian urusan kepegawaian daerah,
termasuk menentukan jumlah dan komposisi aparatur dan mengembangkannya agar sesuai
dengan kompetensi daerah.
4) Di luar itu semua, pemerintah perlu mencari cara yang lebih cerdas untuk melakukan
komunikasi dan koordinasi kegiatan pemerintah dengan daerah tanpa harus menyamakan
struktur kabinet dengan kelembagaan daerah.

ISU KELIMA: KERAGAMAN DAERAH DAN PEMBAGIAN URUSAN

Problem:

 Penyeragaman Urusan Pemerintahan Daerah


 Desentralisasi Asimetri

Pemerintah perlu merevitalisasi penerapan konsep desentralisasi asimetri sebagai upaya untuk
merespons keragaman daerah, yang terjadi karena keragaman kondisi geografis, sosial ekonomi, serta
usia dan karakteristik daerah lainnya. Jika dikelola dengan baik penerapan desentralisasi asimetris dapat
memperkuat integras nasional, mempertahankan kekayaan bangsa, dan membuat pemerintahan daerah
menjadi lebih efisien, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan daerah.

Rekomendasi:

Untuk merevitalisasi penerapan desentralisasi asimetris dalam pelaksanaan otonomi daerah,


pemerintah perlu melakukan berbagai tindakan sebagai berikut:

1) Dalam merevisi PP No. 38/2007 pemerintah perlu secara tegas dan jelas menentukan
urusan yang menjadi urusan dasar dan harus diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan
SPM yang ditentukan oleh pemerintah. Urusan yang diatur dengan SPM menjadi urusan
yang seragam secara nasional.
2) Diluarurusan yang diatur dengan SPM, pemerintah memberidiskresi kepada daerah untuk
mengelola urusan pemerintahan daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Urusan di luar yang diatur oleh SPM dapat bersifat asimetris sesuai dengan keragaman dan
kebutuhan daerah.
3) Daerah dapat mengelola urusan yang bersifat asimetris sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah.

8
ISU KEENAM: REVITALISASI PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMUM (SPM)

Problem:

 Kendala Pelaksanaan SPM


 Perbaikan Pengaturan SPM
 Perbaikan Implementasi SPM

SPM dapat menjadi instrumen bagi pemerintah untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Namun, pelaksanaan SPM masih banyak mengalami kendala
terkait dengan terlalu banyaknya standar, tidak jelasnya sumber pembiayaan, kapasitas daerah yang
berbeda-beda, dan rendahnya efisiensi daerah dalam pengelolaan kegiatan pemerintahan. Untuk
merevitalisasi pelaksanaan SPM ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah:

1) Pemerintah perlu membatasi penerbitan SPM hanya pada pelayanan kebutuhan dasar.
2) Pelaksanaan SPM dapat dilakukan secara bertahap dan bersifat dinamik sesuai dengan
kondisi dan kapasitas daerah.
3) Alokasi DAK kementerian dan lembaga nonkementerian dikaitkan dengan penerapan SPM.
Oleh karena itu, kementerian dan lembaga perlu menentukan prioritas nasional dalam
pencapaian SPM dalam bidang masing-masing dan memetakan daerah sasaran sesuai
dengan prioritas nasional secara transparan.
4) Peningkatan kapasitas daerah dalam pelaksanaan SPM harus menjadi bagian yang penting
dari strategi pembangunan kapasitas daerah.

ISU KETUJUH: KEDUDUKAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH

Problem:

 Kendala Pelaksanaan Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah

Pengaturan tentang peran gubernur sebagai wakil pemerintah cenderung tumpang-tindih


dengan peran pemerintah provinsi. PP 19/2010 mengalihkan fungsi pemerintah provinsi dalam
melakukan fasilitasi dan koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang diatur

9
dalam PP 38/2007 kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Jika memang hal tersebut yang
diinginkan, maka revisi PP 38/2007 menjadi keniscayaan.

Penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah memerlukan revitalisasi baik secara
konseptual maupun secara kelembagaan. Kecenderungan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
dipahami secara sempit sebagai kepanjangtanganan Menteri Dalam Negeri di daerah harus ditinggalkan.
Gubernur sebagai wakil pemerintah harus dipahami dalam perspektif yang luas, yaitu bahwa gubernur
mewakili semua kepentingan kementerian dan lembaga nonkementerian di daerah. Untuk itu, perlu ada
penguatan dasar hukum yang mengatur kegiatan kementerian di daerah. Untuk dapat menjalankan
perannya sebagai wakil pemerintah secara efektif, gubernur memerlukan dukungan lembaga, personel,
dan anggaran yang jelas dan memadai.

Rekomendasi:

Untuk merevitalisasi peran gubernur sebagai wakil pemerintah, ada serangkaian tindakan yang
perlu dilakukan:

1) Memperkuat basis legal bagi peran gubernur sebagai wakil pemerintah, terutama terkait
dengan pengaturan kegiatan kementerian di daerah. Selama ini terjadi kekosongan hukum
karena UU 32/2004, PP 19/2010, dan PP 23/2011 belum mengatur pelaksanaan kegiatan
kementerian dan lembaga nonkementerian di daerah. Kekosongan pengaturan ini sering
menjadi biang keladi dari kerancuan dalam hubungan antara kementerian dan lembaga
nonkementerian dengan gubernur sebagai wakil pemerintah dan daerah.
2) Pemerintah perlu memperjelas tentang fungsi-fungsi pemerintah dalam fasilitasi,
koordinasi, dan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota yang akan
didekonsentrasikan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, ditugasbantukan kepada
pemerintah provinsi, atau didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi.
3) Jika pemerintah melakukan dekonsentrasi kepada gubernur untuk menjadi intermediaries
antara kepentingan kementerian sektoral dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
termasuk dalam optimalisasi alokasi anggaran DAK dan sumber-sumber APBN lainnya maka
hendaknya hal tersebut dilakukan secara konsisten. Konsekuensinya, alokasi anggaran untuk
mendukung pelaksanaan tugas dekonsentrasi kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
seharusnya tidak hanya bersumber dari dana dekonsentrasi yang ada pada kementerian
dalam negeri tetapi juga dari kementerian sektoral lainnya.

10
4) Pelaksanaan tugas koordinasi serta pembinaan dan pengawasan gubernur sebagai wakil
pusat gubernur perlu didukung oleh tenaga fungsional yang sepenuhnya diangkat untuk
melaksanakan tugas tersebut. Tenaga fungsional bisa diambil dari pemerintah daerah atau
kementerian sektoral yang memiliki kompetensi menjalankan fungsi Binwas.
5) Anggaran untuk melaksanakan tugas gubernur sebagai wakil pemerintah dan tenaga
fungsional pendukungnya berasal dari APBN.

BAB II : STANDAR PELAYANAN MINIMUM (SPM)

KONSEP STANDAR PELAYANAN MINIMUM

Konsep standar pelayanan minimum mulai diperkenalkan sejak diundangkannya UU No.


32/2004. Pasal 11 Ayat3 UU tersebut menyatakan bahwa urusan wajib harus dilaksanakan oleh daerah
berdasarkan standar pelayanan minimum (SPM) dan dilaksanakan secara bertahap. Untuk mempercepat
pelaksanaan SPM oleh daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar maka pemerintah menerbitkan
peraturan pemerintah (PP) No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal. PP tersebut memuat tentang prinsip-prinsip SPM, Penyusunan SPM, Penerapan
SPM, serta Pembinaan dan Pengawasan (Binwas).

PP 65/2007 membatasi konsep SPM sebagai “ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan
dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh oleh setiap warga secara minimal”.
Ada beberapa poin yang penting dari definisi ini. Pertama, bahwa SPM memuat ketentuan tentang jenis
dan mutu pelayanan yang wajib diselenggarakan oleh daerah. Artinya, SPM harus mengatur tentang
standar minimal dari jenis pelayanan dan mutu pelayanan yang berhak diperoleh oleh warga. Di mana
pun warga bertempat tinggal dan apa pun status ekonominya, mereka berhak memperoleh jenis
pelayanan dan mutu pelayanan tertentu.

Kedua, SPM mengatur tentang pelayanan dasar yang berhak diperoleh oleh warga. Semua
pelayanan dasar penyelenggaraannya harus diatur dengan SPM. PP tersebut menyatakan bahwa
pelayanan dasar adalah pelayanan yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan.

Ketiga, SPM ditetapkan oleh pemerintah sebagai dasar dan pedoman bagi daerah dalam
menyelenggarakan pelayanan dasar. Pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar adalah kewajiban

11
pemerintah dan menjadibagian dariurusan pemerintahan. Karena urusan pemenuhan kebutuhan
pelayanan dasar didesentralisasikan kepada daerah maka pemerintah perlu membuat pedoman dan
standar bagi daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut. Konsekuensinya, pemerintah
harus memastikan bahwa daerah benar-benar melaksanakan pelayanan dasar tersebut sesuai dengan
SPM. Untuk itu, pemerintah melaksanakan peningkatan kapasitas daerah, melakukan fasilitasi, Binwas,
dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan SPM oleh daerah.

PRINSIP-PRINSIP SPM

Ada beberapa prinsip SPM yang diatur dalam PP No. 65/2005. Prinsip-prinsip tersebut antara
lain adalah:

a) SPM adalah instrumen bagi pemerintah dan daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan
dasar bagi masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Sebagai
negara kesatuan, negara memiliki kompetensi untuk mengatur standar pelayanan yang berlaku
secara nasional. SPM dirancang sebagai instrumen NKRI untuk menjamin hak-hak dasar warga
dan masyarakat untuk memperoleh jenis dan mutu pelayanan dasar tertentu. SPM dapat
dijadikan sebagai instrumen untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam pelayanan
publik. Semua warga di mana pun mereka bertempat tinggal memiliki hak-hak untuk
memperoleh akses terhadap jenis pelayanan dasar dengan mutu yang ditentukan oleh
pemerintah.
b) SPM dirumuskan dalam rangka melaksanakan urusan wajib. Pemerintah mewajibkan daerah
untuk menyelenggarakan pelayanan wajib yang diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No.
38/2007. Sebagian dari urusan wajib terkandung pelayanan dasar tertentu yang pelaksanaannya
oleh daerah harus berdasarkan SPM yang ditentukan oleh pemerintah. Daerah tidak boleh
melaksanakan pelayanan dasar sesuai dengan keinginannya sendiri, terkait dengan jenis dan
mutunya. Minimal jenis dan mutu pelayanan dasar ditentukan oleh pemerintah melalui SPM.
Tentu ini tidak berarti bahwa daerah tidak boleh menyelenggarakan pelayanan yang berbeda
dengan yang diatur dalam SPM. Daerah boleh, bahkan dianjurkan, menyelenggarakan pelayanan
dasar yang jenis dan mutunya di atas standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.
c) SPM berlaku untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah mendesentralisasi
urusannya kepada provinsi dan kabupaten/kota. Di antara urusan yang didesentralisasikan

12
kepada provinsi dan kabupaten/kota sebagian bersifat wajib dan di dalamnya terkandung
pelayanan dasar tertentu. Provinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pelayanan
dasar harus berdasar pada SPM yang ditentukan oleh pemerintah.
d) SPM dirumuskan sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan prioritas nasional dan daerah.
Kebutuhan dan aspirasi pelayanan dasar masyarakat bersifat dinamis. SPM tidak bersifat
konstan tetapi dapat berubah setiap saat sesuai dengan dinamika yang terjadi pada tingkat
nasional ataupun daerah. Dalam merumuskan SPM pemerintah memperhatikan prioritas
nasional. Prioritas nasional perlu ditentukan mengingat kapasitas pemerintah dan daerah
terbatas sementara jumlah pelayanan dasar dan mutunya cenderung meningkat sesuai dengan
meningkatnya aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
e) Daerah dapat melaksanakan SPM sesuai dengan prioritas daerah. Oleh karena variabilitas
daerah dalam banyakaspek kehidupan sangat tinggi, maka daerah perlu diberi ruang dalam
menentukan prioritas pelaksanaan SPM. Kemampuan keuangan, kapasitas kelembagaan dan
personel berbeda-beda karenanya daerah dapat menentukan prioritas pelaksanaan SPM sesuai
dengan kemampuannya.
f) SPM dirumuskan dengan memperhatikan kemampuan keuangan dan kapasitas kelembagaan
pemerintah dan daerah serta dapat dilaksanakan secara bertahap. SPM hanya akan dapat
berjalan dengan baik ketika standar yang ditentukan bersifat realistis dan sesuai dengan
kemampuan pemerintah dan daerah. Jika standar pelayanan terlalu tinggi dan melebihi
kemampuan pemerintah memberi dukungan kepada daerah dan melebihi kapasitas daerah
melaksanakannya maka SPM tidak akan efektif. Perumusan SPM harus mempertimbangkan
keseimbangan antara aspirasi pelayanan dan kapasitas daerah melaksanakannya.
g) Daerah dapat melaksanakan SPM secara bertahap sesuai dengan kemampuannya. Daerah yang
karena pertimbangan kemampuan keuangan, kelembagaan, dan personel belum mampu
menyelenggarakan pelayanan dasar tertentu sesuai dengan yang diatur dalam SPM dapat
menyusun prioritas pencapaiannya secara bertahap. Pemerintah melakukan pengembangan
kapasitas daerah, Binwas, serta monitoring dan evaluasi kepada daerah untuk memastikan
bahwa semua daerah dapat menyelenggarakan pelayanan dasar sesuai SPM yang telah
ditentukan. Pengembangan kapasitas, Binwas, serta monitoring dan evaluasi kepada daerah
provinsi dilakukan oleh pemerintah, sedangkan untuk kabupaten/ kota dilakukan oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah.

13
h) SPM bersifat sederhana, konkret, dan mudah diukur. Standar yang sederhana, konkret, dan
mudah diukur penting agar warga dan masyarakat luas dapat memahaminya dengan mudah.
Jika SPM mudah dipahami oleh warga dan penyelenggara pelayanan maka mereka akan dapat
menggunakannya dengan baik. Warga dapat menggunakan SPM untuk mengetahui hak-hak
dasar yang dijamin pemenuhannya oleh pemerintah dan melindungi hak-haknya ketika
dilanggar oleh daerah dan/atau rezim pelayanan. Penyelenggara pelayanan dapat menggunakan
standar sebagai dasar dan pedoman dalam menyelenggarakan pelayanan.

STRATEGI REFORMASI UNTUK EFEKTIVITAS PELAKSANAAN SPM

Untuk melembagakan SPM dalam penyelenggaraan pemerintahan dan mempercepat


pelaksanaannya, maka pemerintah perlu melakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut:

1) PP No. 05/2005 belum mampu mendefinisikan konsep pelayanan dasar dengan jelas. PP
tersebut hanya menjelaskan bahwa pelayanan dasar adalah pelayan yang mendasar dan
mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan
pemerintahan. Kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan mencakup aspek kehidupan
yang sangat luas. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan kebutuhan yang
mendasar dan mutlak? Apakah semua kebutuhan yang tidak dipenuhi membuat masyarakat
tidak dapat hidup wajar dapat dikategorikan kebutuhan dasar? Siapa yang memiliki otoritas
untuk menentukan nilai kewajaran itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting
diperhatikan agar kita dapat memperjelas konsep tentang pelayanan dasar. Untuk
merumuskan kriteria pelayanan dasar pemerintah dapat merujuk pada konstitusi dan
peraturan perundangan yang ada yang mengatur tentang hak-hak dasar warga. Mengingat
kapasitas pemerintah yang terbatas, sebaiknya pemerintah fokus pada sejumlah pelayanan
dasar yang memang sangat strategis untuk diberi prioritas dalam pemenuhannya. Jumlah
pelayanan dasar yang diatur dalam SPM dapat ditambah secara bertahap sesuai dengan
kapasitas pemerintah pusat dan daerah.
2) Dalam merumuskan SPM sebaiknya pemerintah fokus pada perumusan standar tentang
jenis dan mutu pelayanan yang menjadi hak setiap warga negara yang minimal harus
dipenuhi oleh negara. Mengacu pada praktik internasional, standar pelayanan biasanya
mengatur tentang standar yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan, bukan
sebagai target cakupan pelayanan yang harus dicapai oleh pemerintah daerah. Jika standar

14
pelayanan didefinisikan sebagai jenis dan mutual PP No. 65/2005, berbagai Permendagri
dan peraturan menteri sektoral terkait SPM yang diterbitkan sebagai pedoman bagi
pelaksanaan SPM harus direvisiagar konsisten dengan konsep yang baru.
3) Dalam merumuskan standar pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang menjadi
urusan wajib daerah K/L sebaiknya fokus pada standar hasil/outcome. Mengingat kapasitas
pemerintah terbatas dan variabilitas daerah dalam berbagai aspek sangat tinggi, maka
standar sebaiknya fokus pada standar hasil. Riset menunjukkan bahwa standar input dan
proses sering tidak berkontribusi pada outcome. Mewajibkan pemerintah daerah untuk
mencapai standar input, proses bukan hanya tidak efisien tetapi juga sering tidak menjamin
terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas.
4) Adanyakerancuan perumusan SPM yang diterbitkan oleh kementerian sektoral
menunjukkan bahwa peran Kemdagri sebagai focal point dalam perumusan dan
pelaksanaan SPM tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, pemberdayaan staf Kementerian
Dalam Negeri, terutama yang terlibat dalam proses konsultasi dan fasilitasi perumusan SPM
harus dilakukan. Mereka harus memiliki pemahaman yang sama tentang substansi SPM,
terutama tentang tujuan pembuatan standar, perumusan standar yang benar, cara
perumusan indikator, dan cara pengintegrasian program pelaksanaan SPM dengan rencana
pembangunan daerah.
5) Perlu ada pembagian peran yang jelas antara Kemdagri sebagai focal point dan penanggung
jawab urusan pemerintahan umum dan K/L sebagai penanggung jawab urusan
teknis/sektoral dalam pembinaan dan peningkatan kapasitas daerah untuk penerapan SPM.
Ketidakjelasan pembagian peran yang jelas antara Kemdagri dengan K/L terkait sering
menghasilkan tumpang-tindih dan kekosongan dalam Binwas, Monev, dan pembangunan
kapasitas daerah.
6) Pemerintah perlu melakukan mainstreaming penerapan SPM secara konsisten. Untuk itu,
berbagai insentif dan disinsentif kepada pemerintah daerah untuk mengintegrasikan SPM
dalam RPJMD, menjadikan pencapaian indikator kinerja sebagai IKU (indikator kinerja
utama) dalam alokasi anggaran, dan menjadikannya sebagai bagian dari evaluasi kinerja
daerah perlu dilakukan. Lebih dari itu, tekanan kepada pemerintah daerah untuk secara
konsisten menerapkan SPM perlu dibuat. Salah satu caranya dengan melakukan pendidikan
publik terutama para pemangku kepentingan tentang pentingnya peran penerapan SPM
sebagai kebijakan untuk menjamin hak-hak konstitusional warga dalam pelayanan

15
pemenuhan kebutuhan dasar. Membangun kesadaran warga tentang hak-hak dasar mereka
dan bagaimana mereka dapat mengawasi kinerja pemerintahnya dalam memenuhi hak-hak
dasarnya sangat penting dilakukan oleh Kemdagri sebagai focal point bagi penerapan SPM.

BAB III : KABINET DAN REFORMASI BIROKRASI: TUGAS PRESIDEN BARU

MENATA KEMBALI KABINET DAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH

Penataan kabinet dan lembaga pemerintah adalah keniscayaan untuk membentuk pemerintah
yang efisien, efektif, dan akuntabel. Pertanyaannya adalah seberapa banyak perubahannya? Apa yang
dapat dilakukan dalam periode lima tahun mendatang, dengan mempertimbangkan kendala politik dan
birokrasi yang dihadapinya?

Jokowi dalam berbagai kesempatan menyatakan akan membentuk kabinet yang efisien dan
efektif, melibatkan para profesional baik dari partai pendukung maupun dari luar partai, dengan
kepemimpinan yang kuat. Ia juga ingin agar menterinya fokus pada pekerjaannya mengurus rakyat.
Namun, pada sisi yang lain Jokowi–JK menghadapi realitas politik. Mereka perlu mengakomodasi
kepentingan partai pendukungnya. Sebagian dari mereka juga tetap ingin mempertahankan peran ganda
sebagai pimpinan partai dan sekaligus juga sebagai menteri di kabinet. Di sini kualitas kepemimpinan
Jokowi–JK akan ditentukan. Pilihan yang diambilnya menggambarkan kemampuannya dalam mengelola
konflik dan resistensi yang muncul dari mitra politik, dukungan DPR, tekanan relawan dan publik, dan
resistensi birokrasi.

Namun, di luar itu semua, kita tentu berharap bahwa pemerintah mendatang mampu
meletakkan dasar-dasar yang solid bagi pengembangan pemerintah yang efisien, efektif, dan akuntabel.
Kita ingin kehadiran pemerintah dirasakan manfaatnya oleh semua warganya. Kita ingin memiliki
pemerintah yang mampu mengurus rakyatnya, bukan yang mengurus dirinya sendiri. Hal itu tercermin
sebagian dari seberapa banyak energi, sumber daya, dan anggaran yang secara langsung digunakan
untuk melayani warganya.

MENENTUKAN PRIORITAS PERUBAHAN KELEMBAGAAN

16
Mengembangkan arsitektur kelembagaan pemerintah dan menatanya sesuai arsitektur yang
disepakati adalah pekerjaan jangka panjang, tidak mungkin dibebankan penyelesaiannya kepada
pemerintah mendatang semata. Tantangan yang dihadapi oleh Presiden Jokowi– JK adalah bagaimana
memastikan bahwa dalam periode lima tahun mendatang kabinet dan birokrasinya bisa fokus bekerja
secara efektif mewujudkan janjinya kepada rakyat. Untuk itu, pemerintah mendatang perlu fokus pada
perubahan strategis yang diperlukan untuk mewujudkan program-programnya.

Pertama, dalam penataan kelembagaan pemerintah memberi prioritas pada penataan K/L yang
terkait dengan Nawa Cita, misalnya K/L yang terkait dengan kedaulatan pangan, kelautan dan maritim,
pendidikan karakter dan budaya, serta kesehatan dan sosial.

Kedua, penguatan kapasitas kantor presiden untuk memberi dukungan kepada presiden
menjalankan fungsi manajemen pemerintahan secara efektif. Hal ini dapat dilakukan melalui integrasi
antara fungsi perencanaan dan penganggaran, peningkatan kapasitas monev kinerja K/L dengan
pengintegrasian sebagian fungsi BPKP dengan UKP4, dan pengelolaan urusan desentralisasi.

Ketiga, menata kembali fungsi Kementerian Dalam Negeri dengan mengalihkan fungsi Binwas
kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

MENGEMBALIKAN REFORMASI BIROKRASI KEJALURYANG BENAR

Pemerintah mendatang perlu melanjutkan dan meningkatkan efektivitas pelaksanaan RB. Ada
beberapa kelemahan mendasar dalam pelaksanaan kebijakan RB. Pertama, kebijakan RB menerapkan
prinsipone fits all dengan mengharuskan kementerian, lembaga, dan daerah (K/L/D) melakukan
perbaikan pada 8 (delapan) area perubahan sementara masalah dan tantangan yang dihadapinya
berbeda-beda.

Kedua, kebijakan RB menuntut K/L/D membuat dokumen yang begitu banyak dan tidak jelas
peruntukannya sehingga energi mereka lebih banyak habis untuk menyiapkan dokumen daripada
mengurus perubahan di instansinya masing-masing.

Ketiga, kebijakan untuk memberi renumerasi sebagai insentif untuk memasuki program RB
cenderung mendistorsi orientasi dan nilai dari RB. Para pegawai ASN di K/L/D memahami program RB
lebih sebagai perbaikan renumerasi daripada perubahan sikap dan perilaku mereka.

Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk mengembalikan RB kejalur yang benar.
Pertama, RB harus kontekstual dan melibatkan para pemangku kepentingan. RB menjadi kontekstual

17
manakala perubahan internal birokrasi ditentukan oleh kebutuhan dan aspirasi pemangku
kepentingannya.

Kedua, pemerintah mendatang perlu mengaitkan pelaksanaan RB dengan pencegahan korupsi.


Sebagian besar kasus korupsi terjadi di dalam, melalui, atau sedikitnya melibatkan birokrat. RB dapat
memberi kontribusi pencegahan korupsi kalau RB dikaitkan dengan pengembangan sistem integritas di
masing-masing K/L. Sementara itu, pemerintah cenderung terperangkap pada seremoni pencanangan
zona integritas dan wilayah bebas korupsi, tetapi tidak memiliki efek terhadap penguatan sistem
integritas.

Ketiga, pemerintah mendatang sebaiknya mentransformasi pemberian renumerasi menjadi


perbaikan sistem penggajian yang berkeadilan.

Keempat, pemerintah mendatang perlu mengubah karakter pegawai ASN agar lebih sesuai
dengan pelayan warga dan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk membawa Indonesia memasuki
globalisasi. Dalam konteks ini, revolusi mental yang digagas Jokowi–JK menemui relevansinya.

BAB IV : ARSITEKTUR KABINET: MENATA KEMBALI KELEMBAGAAN PEMERINTAHAN

MENGAPA PENATAAN KEMBALI?

Arsitektur kabinet menjadi wacana publik akhir-akhir ini. Banyak pihak memiliki pemahaman
yang salah tentang arsitektur kabinet, yang sering kali disederhanakan menjadi masalah perampingan
struktur kabinet. Masalah yang dihadapi pemerintah mendatang sebenarnya jauh lebih kompleks
daripada sekadar merampingkan postur kabinet. Jika ingin berhasil mengeksekusi program-programnya,
pemerintah perlu mereformasi struktur governance yang berlaku sekarang ini. Pembagian kewenangan
yang tidak jelas antarkementerian (K), lembaga nonkementerian (LPNK), dan lembaga nonstruktural
(LNS) telah membuat pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan pemerintah menjadi sulit
dilakukan.

Pembagian kewenangan yang tidak jelas dan terfragmentasi membuat urusan pemerintah yang
sebenarnya sederhana menjadi kompleks. Salah satu contoh sederhana adalah tentang pengelolaan
kegiatan nelayan yang melibatkan begitu banyak instansi pemerintah. Wali Kota Pekalongan
menceritakan tentang keluhan dari para nelayan di Pekalongan, yang merasa keberadaan negara dan
pemerintahnya justru mempersulit mereka untuk melakukan kegiatannya. Untuk mengurus izin melaut

18
saja mereka harus berhubungan dengan 17 instansi pemerintah yang berbeda-beda. Hal yang sama
terjadi dalam pengelolaan perizinan, penggunaan lahan, dan hampir setiap urusan pemerintahan.

REFORMULASI FUNGSI PEMERINTAH DAN STRUKTUR KELEMBAGAAN

Reformulasi fungsi pemerintah perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah tepat, sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan publik, dan mampu menjawab
tantangan yang dihadapi baik domestik maupun global.

Ada beberapa pertimbangan mengapa reformulasi urusan pemerintahan perlu dilakukan.


Pertama, pemerintah telah melakukan desentralisasi sebagian besar urusannya kepada daerah. Akan
tetapi, realitasnya lembaga pemerintah pusat, termasuk pegawai, gedung, dan anggaran yang
dikelolanya justru makin bertambah banyak.

Kedua, kemampuan dunia usaha dan masyarakat sipil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
semakin besar.

Ketiga, keberpihakan dan kepedulian pemerintah terhadap satu masalah publik tidak harus
diwujudkan dengan membentuk K/L tertentu.

Keempat, pembengkakan birokrasi terus berlangsung secara intens melalui berbagai cara,
antara lain pembentukan unit baru di K/L termasuk kantor perwakilan di daerah, peningkatan status
eselon pejabatnya, dan perluasan lingkup kegiatannya. Pembengkakan birokrasi membuat pemerintah
menjadi semakin terfragmentasi dan membuat proses pemerintahan menjadi kompleks, mahal, dan
menimbulkan benturan antar-K/L.

PENYEDERHANAAN STRUKTUR KEKUASAAN DAN KELEMBAGAAN

Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk menyederhanakan struktur kekuasaan dan
kelembagaan. Pertama, mengubah mindset para penyelenggara negara dan pemerintahan yang

19
menganggap bahwa penyelesaian masalah publik tertentu selalu dilakukan dengan membentuk lembaga
baru.

Kedua, menghilangkan insentif membangun kerajaan birokrasi. Selama ini K/L/D memiliki
insentif untuk melakukan proliferasi birokrasinya. Salah satu bentuk insentif adalah jaminan bahwa
anggaran untuk belanja pegawai akan dipenuhi oleh pemerintah.

Ketiga, menempatkan kewenangan untuk mengelola satu urusan pemerintahan dari hulu ke hilir
kepada satu K/L tertentu. Bahkan, jika perlu beberapa urusan yang interkoneksinya sangat tinggi
pengelolaannya dapat diserahkan kepada satu K/L tertentu.

Keempat, penataan kelembagaan harus mempertimbangkan kemajuan yang telah dicapai dalam
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah sudah menyerahkan sebagian besar urusan
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hal ini mestinya diikuti dengan perampingan
kelembagaan pemerintah pusat.

ARSITEKTUR KABINET

Sebelum Jokowi–JK mengumumkan kabinetnya, banyak pihak berharap bahwa pemerintah


mendatang akan dapat membentuk kabinet yang solid, efisien, dan efektif. Apalagi dalam janji
kampanyenya, Jokowi akan membentuk kabinet yang ramping dengan koalisasi tanpa syarat.
Pembentukan kabinet memang bukan intellectual exercise semata, tetapi lebih menggambarkan
pertarungan dan kompromi politik. Terbukti dari kabinet yang dibentuknya, tidak tampak jelas
pembaharuan struktur governance yang dilakukan. Problem mendasar pemerintah sebelumnya yang
berasal dari fragmentasi kekuasaan pemerintahan belum banyak direspons oleh pemerintah Jokowi–JK.
Jumlah kementerian tidak berkurang, bahkan cenderung semakin gemuk. Tampak bahwa kabinet
Jokowi–JK lebih menggambarkan hasil kompromi politik daripada pertimbangan untuk memperbaiki
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan.

Paradigma berpikir dalam mengelola urusan pemerintahan harus diubah. Anggaran yang
terbatas sebaiknya digunakan untuk membiayai program dan kegiatan, bukan untuk membiayai
birokrasi yang gemuk. Di banyak negara yang memiliki pemerintah yang efisien, besaran biaya
operasional birokrasi berkisar tidak lebih dari 30–40 persen. Di Indonesia, terutama di daerah belanja
birokrasi sudah mencapai sekitar 70–80 persen.

20
KEMENTERIAN KOORDINATOR

Salah satu kontroversi dalam penataan kelembagaan adalah keberadaan Kementerian


Koordinator. Jika presiden dan wakil presiden ingin terlibat langsung dalam koordinasi dan pemantauan
kinerja setiap kementerian, maka keberadaan Menteri Koordinator tidak diperlukan. Namun, jika
presiden dan wakil presiden tidak ingin terlibat dalam kegiatan rutin untuk mengoordinasi dan
memastikan terjadinya sinergi antarkementerian dan lembaga maka pemerintah mendatang perlu
membentuk Kementerian Koordinator untuk mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan K/L.

Jika pemerintah Jokowi ingin memberdayakan kementerian koordinator maka otoritas dan
perannya perlu diperjelas. Selama ini Menteri Koordinator tidak memiliki otoritas yang jelas sehingga
cenderung menambah rumit dan panjang proses bisnis dari kegiatan pemerintahan. Kementerian
koordinator perlu diberi kewenangan yang jelas untuk mengambil keputusan yang mengikat
kementerian yang ada di bawah koordinasinya. Untuk itu, dukungan politik yang jelas dan konkret dari
presiden terhadap keberadaan kementerian amat diperlukan.

BAB V : MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH: ISU DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Reformasi manajemen kepegawaian daerah menjadi agenda yang mendesak dalam pelaksanaan
otonomi daerah. Setelah lebih dari satu dekade pelaksanaan otonomi daerah muncul banyak fakta yang
menunjukkan adanya berbagai masalah dalam manajemen kepegawaian daerah. Masalah tersebut di
antaranya adalah ketidaksesuaian antara kompetensi aparatur dengan jabatan yang diemban
(mismatch), politisasi aparatur sipil, komodifikasi posisi dan jabatan birokrasi, fragmentasi spasial
berbasis etnis dan kedaerahan, dan penguatan nilai-nilai primodialisme.

Salah satu penyebab utama dari munculnya berbagai masalah tersebut adalah karena
pengaturan tentang manajemen aparatur daerah dalam UU No. 32/2004 dan UU No. 43/1999 beserta
peraturan pelaksanaannya tidak lagi mampu merespons dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Kedua UU tersebut belum mengatur dengan jelas tentang kedudukan aparatur di
daerah sebagai bagian dari aparatur sipil nasional. Akibatnya, muncul kesulitan mobilitas aparatur
antardaerah dan antarsusunan pemerintahan. Fragmentasi aparatur berbasis wilayah spasial dan
kelembagaan semakin menguat dan menimbulkan egoisme dan budaya birokrasi yang sempit.

21
ISU KEBIJAKAN DALAM MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH

Isu Pertama: Rekrutasi PNS di Daerah

Rekrutasi PNS berbasis formasi memiliki banyak kelemahan. Pertama, formasi tidak selalu
terkait dengan kekosongan jabatan dalam organisasi pemerintah. Implikasinya rekrutasi berdasar
formasi cenderung menghasilkan banyak PNS tanpa jabatan yang jelas. Kedua, rekrutmen berdasar
formasi membuat rekrutmen calon PNS berdasarkan prinsip meritokrasi sulit dikembangkan.
Pemerintah memperoleh kesulitan untuk mengetahui jenis kecakapan yang diperlukan untuk mengisi
jabatan yang ada dalam OPD. Ketiga, rekrutasi berbasis formasi menciptakan banyak peluang untuk
melakukan rent-seeking behavior dalam proses rekrutment PNS.

“Pemerintah perlu mengembangkan sistem rekrutmen PNS yang kompetitif, adil, dan berbasis
pada jabatan”. Untuk itu, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah:

a) Menentukan kebutuhan aparatur sipil di daerah berdasarkan jabatan yang lowong di OPD.
b) Mengembangkan sistem tes calon PNS yang mampu mengukur pengetahuan, kecakapan,
dan sikap yang dibutuhkan untuk menduduki jabatan.

Isu Kedua: Transfer Pegawai

Pengalihan kewenangan untuk melakukan transfer kepada daerah dan penempatan belanja
pegawai menjadi bagian dari alokasi dasar membuat transfer pegawai antar daerah dan antar susunan
pemerintahan mengalami kemandekan. Akibatnya, transfer sebagai instrumen untuk pengembangan
kapasitas aparatur dan penguatan integritas nasional amat sulit dilakukan. Pada sisi lain, sulitnya akses
untuk memperoleh izin “lolos butuh” menciptakan peluang bagi pejabat publik yang memiliki otoritas
untuk mengeluarkan izin tersebut untuk melakukan rent-seeking behavior. Akibatnya, daerah yang
tertinggal secara sosial dan ekonomi serta kurang menarik untuk pengembangan karier cenderung

22
semakin mengalami brain-drain karena banyak tenaga pendidikan dan kesehatan yang pindah keluar
sementara tenaga yang sama yang masuk (termasuk rekrutasi yang baru) ke daerah tersebut amat kecil.

Rekomendasi :

1) Membuat pengaturan yang jelas tentang transfer pegawai aparatur sipil negara yang
ditempatkan di daerah. Pengaturan tersebut harus menempatkan transfer sebagai bagian
dari pengembangan kompetensi, penguatan wawasan nasional (NKRI), pemerataan
pegawai, dan pemerataan pembangunan nasional.
2) Pelaksanaan transfer aparatur sipil pejabat pimpinan tinggi dilakukan secara nasional oleh
pemerintah melalui proses seleksi secara transparan, terbuka, dan bebas dari praktik KKN.
Komisi Aparatur Sipil Nasional perlu diberdayakan untuk dapat memastikan bahwa transfer
pegawai berjalan secara wajar dan bermanfaat bagi pengembangan karier dan kompetensi
pegawai.
3) Pelaksanaan transfer harus berbasis kompetensi dan bersifat kompetitif. Pegawai ASN yang
mengalami mutasi dan menduduki jabatan di daerah dan/atau susunan pemerintahan
lainnya harus memenuhi kompetensi yang diperlukan untuk menduduki jabatan di tempat
yang baru. Transfer pegawai dilakukan dalam rangka pengembangan karier, kompetensi,
dan percepatan pembangunan daerah.

Isu Ketiga: Promosi

Potensi birokrasi menjadi mesin pengumpul suara dalam pilkada, telah mendorong para calon
KDH dan KDH petahana melakukan politisasi birokrasi. Politisasi dilakukan dengan melakukan promosi
dan penempatan aparatur dalam jabatan OPD berdasarkan afiliasi politik, keterlibatan dalam kampanye,
hubungan kekerabatan, dan faktor subjektif lainnya. Politisasi menciptakan mismatch antara kecakapan
pejabat dengan kualifikasi jabatannya, instabilitas birokrasi pemerintahan daerah, dan praktik KKN
dalam pengelolaan aparatur daerah. Tidak adanya sistem merit yang mengharuskan penempatan
pejabat secara kompetitif, transparan, dan berbasis pada kompetensi membuat politisasi birokrasi
meluas di hampir semua daerah.

Rekomendasi :

23
1) Kementerian PAN dan RB bersama dengan Kemdagri membuat pengaturan bersama
tentang promosi dan penempatan aparatur dalam jabatan berbasis kompetensi dan
dilakukan secara transparan dan kompetitif. Untuk itu, Kementerian PAN dan RB bersama
dengan BKN perlu segera menentukan persyaratan kompetensi untuk setiap jabatan sipil.
Pengaturan juga harus mencakup tentang pelaksanaan uji kompetensi calon untuk
menduduki jabatan aparatur sipil di daerah.
2) Pelaksanaan promosi dan penempatan aparatur sipil di daerah dalam jabatan tertentu harus
dilakukan melalui uji kompetensi. Calon yang ditempatkan dan/atau dipromosikan adalah
calon yang dinyatakan lulus dalam uji kompetensi.
3) Kompetisi untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi dilakukan secara nasional, sedangkan
kompetisi untuk menduduki jabatan administrator dapat dilakukan di tingkat provinsi dan
menjadi kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah.

Isu Keempat: Manajemen Kinerja

Pengembangan manajemen kinerja pemerintah daerah memerlukan kebijakan yang holistis


yang menempatkan manajemen kinerja bukan hanya masalah instrumentasi tetapi mencakup
pengembangan budaya kerja dan sistem insentif berbasis kinerja. Pengembangan manajemen kinerja
hanya dapat dilakukan kalau pemerintah menempatkan penilaian kinerja dalam perspektif yang luas,
tidak hanya terbatas pada pembaharuan instrumentasi untuk penilaian kinerja sebagaimana
diwacanakan selama ini. Pengembangan manajemen kinerja juga membutuhkan adanya pembagian
urusan pemerintahan yang jelas antara susunan pemerintahan. Ketidakjelasan dalam pembagian urusan
mempersulit pengembangan kontrak kinerja yang dapat menjadi salah satu instrumen pengembangan
manajemen kinerja.

Rekomendasi :

Untuk mengembangkan manajemen kinerja di kalangan pemerintahan daerah maka beberapa


tindakan berikut perlu dilakukan:

1) Pemerintah perlu secara terus-menerus memperbaiki instrumen yang dipakai untuk


pengukuran kinerja. Tinjauan kritis terhadap penggunaan SKP perlu dilakukan untuk
membuat penerapannya lebih sederhana, mudah, dan mampu mengakomodasi
kompleksitas yang terjadi pada berbagai jenis jabatan. Simplifikasi penerapan SKP untuk

24
jabatan fungsional dan struktural yang berlebihan harus dihindari. SKP jabatan fungsional
seharusnya tetap mengacu pada penggunaan angka kredit yang sudah diatur pada setiap
jabatan fungsional.
2) Pemerintah perlu memperjelas pembagian urusan antarsusunan pemerintahan, terutama
antara pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota. PP No. 38/2007 yang mengatur tentang
pembagian urusan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dinilai belum
mampu memberi pedoman bagi daerah untuk menentukan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/ kota. Duplikasi program dan kegiatan
antarsusunan pemerintahan sering mempersulit pengukuran kinerja daerah.
3) Pemerintah perlu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada pencapaian
indikator kinerja. Daerah perlu didorong dan difasilitasi untuk dapat mengembangkan
budaya kerja yang produktif dan berorientasi pada indikator yang telah ditentukan dalam
dokumen RPJMD.
4) Pemerintah perlu mengembangkan sistem pengukuran kinerja yang berbasis pada output,
bersifat objektif dan terbuka, melibatkan peer review.
5) Pemerintah membuat pedoman bagi daerah untuk mengembangkan insentif berbasis pada
kinerja.

Isu Kelima: Pelatihan

Kecenderungan daerah menganggap pelatihan sebagai biaya dan bukan sebagai investasi
cenderung membuat alokasi anggaran untuk pelatihan sangat terbatas. Daerah umumnya hanya
menganggarkan biaya pelatihan untuk Diklat Kepemimpinan. Diklat untuk peningkatan kapasitas teknis
amat jarang memperoleh perhatian dari daerah. Hal ini tentu amat merugikan dilihat dari kepentingan
untuk meningkatkan kapasitas daerah. Otonomi daerah hanya akan berhasil kalau daerah memiliki
kapasitas yang memadai untuk menyelenggarakan urusan daerah. Untuk itu, daerah membutuhkan
aparatur yang cakap dan profesional. Diklat aparatur harus menjadi kebutuhan strategis daerah dan
menjadi bagian penting dari pengembangan kapasitas daerah.

Rekomendasi :

25
1) Pemerintah perlu merancang kebijakan yang menjamin akses aparatur di daerah terhadap
berbagai kegiatan untuk meningkatkan kecakapan dan kompetensi dalam bidang yang
sesuai dengan urusan pemerintahan daerah.
2) Pemerintah perlu mengubah nomenklatur ongkos pengembangan kompetensi dari belanja
pegawai menjadi belanjamodal. Peningkatan kompetensi pegawai ASN seharusnya
diperlakukan sebagai investasi, bukan sebagai belanja pegawai.
3) Pembaharuan diklat yang dilakukan oleh LAN baik yang terkait dengan diklat pim, diklat pra-
jabatan, dan lembaga diklat teknis fungsional perlu dijaga keberlanjutannya. Pembaharuan
diklat mencakup orientasi, substansi, metodologi, dan mekanisme perekrutan perlu
dikembangkan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan diklat mampu membentuk
kompetensi pegawai ASN yang diperlukan untuk percepatan pembangunan nasional dan
daerah.
4) Pelatihan teknis fungsional diarahkan untuk sertifikasi kompetensi. Pemerintah bekerja
sama dengan organisasi profesi menyelenggarakan pelatihan untuk memberikan sertifikasi
kompetensi dalam berbagai bidang yang dibutuhkan bagi keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
5) Daerah perlu membuat rencana pengembangan kompetensi pegawai selama lima tahun
mendatang dan menjadikan rencana tersebut sebagai dasar dalam pengiriman peserta
diklat dan pendidikan pegawai. Keterlibatan pegawai dalam pendidikan dan pelatihan harus
didasarkan pada kebutuhan pengembangan kompetensi.
6) Pemerintah perlu membuat pengaturan tentang hak aparatur di daerah untuk
mengikutipelatihan sebagai bagian dari pengembangan kapasitas aparatur sipil negara.

Isu Keenam: Pengembangan Profesi Aparatur

Pengembangan aparatur sipil sebagai sebuah profesi belum memperoleh perhatian yang
memadai baik dari pemerintah maupun dari aparatur itu sendiri. Akibatnya, aparatur sipil sebagai
sebuah profesi mengalami politisasi yang sangat intens selama satu dekade terakhir ini. Jika hal ini
dibiarkan akan membuat profesi aparatur, yang semestinya netral terhadap kepentingan politik praktis
dan hanya mengabdi pada kepentingan publik, menjadi terfragmentasi menurut kepentingan politik
yang sempit. Orientasi pelayanan aparatur sipil cenderung tergusur oleh orientasi pada kekuasaan.
Untuk itu, pengembangan profesi aparatur sipil adalah keniscayaan, kalau kita ingin mengembangkan

26
aparatur sipil yang profesional, peduli kepada kepentingan publik, dan mampu melayani warganya
secara adil.

Rekomendasi :

1) Mempercepat terbentuknya peraturan pelaksanaan UU No. 5 Tahun 2014 terkait dengan


pengembangan profesi ASN dan organisasi profesi.
2) Melembagakan nilai-nilai dasar dan kode etik profesi melalui kegiatan pelatihan dan
pengembangan kapasitas aparatur lainnya.
3) Agar nilai-nilai dasar dan kode etik profesi dapat dilembagakan dalam kehidupan dan
pelaksanaan tugas aparatur sehari-hari maka satuan pengawasan internal di setiap daerah
ditugaskan untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan nilai-nilai dasar dan kode
etik profesi.
4) Membuat peraturan yang jelas tentang hubungan antara aparatur sipil dengan para pejabat
politik dan political appointees.

BAB VI : REFORMASI MANAJEMEN KEPEGAWAIAN UNTUK MEMBANGUN APARATUR NEGARA YANG


PROFESIONAL

Upaya untuk membangun aparatur negara yang profesional masih menghadapi banyak
tantangan. Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya mempercepat pembangunan
daerah, tetapi juga menimbulkan berbagai problem dalam pengelolaan aparatur daerah. Rendahnya
mobilitas aparatur antardaerah dan susunan pemerintahan mengakibatkan terbatasnya akses aparatur
untuk memiliki pengalaman kerja, kematangan personalitas, wawasan multikultural, dan wawasan
kebangsaan yang amat dibutuhkan dalam pengembangan kualitas kepemimpinan aparatur negara dan
kompetensinya. Fragmentasi aparatur secara spasial yang sering kali tumpang-tindih dengan etnisitas
dan aspek-aspek primordial lainnya cenderung tidak sehat untuk penguatan peran aparatur negara
sebagai pilar NKRI.

Kecenderungan menguatnya politisasi birokrasi dan komodifikasi jabatan publik di daerah telah
menimbulkan problem baru dalam manajemen kepegawaian di daerah. Ketidakpastian karier dan
perasaan insekuritas sering terjadi mengikuti dinamika politik lokal, utamanya terkait dengan pilkada.
Potensi birokrasi dan aparaturnya sebagai mesin pengumpul suara dalam pilkada sering mendorong
petahana dan calon KDH untuk memanfaatkan birokrasi dan aparaturnya menjadi bagian dari tim

27
sukses. Fragmentasi aparatur berdasarkan afiliasi politik dalam pilkada sangat tidak sehat bagi
pengembangan profesionalisme aparatur. Kondisi seperti ini sangat mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik di daerah.

Untuk dapat menjawab berbagai problem tersebut, maka pemerintah perlu memperbaharui
praktik pengelolaan aparatur negara, utamanya dalam rekrutmen dan penempatan dalam jabatan
publik sistem yang berlaku sekarang yang cenderung tertutup dan lebih mengandalkan pada senioritas,
tidak lagi mampu menjawab berbagai tantangan tersebut di atas. Pemerintah perlu menerapkan sistem
rekrutrasi dan penempatan aparatur dalam jabatan publik secara lebih terbuka, berbasis merit,
berkeadilan gender, dan berwawasan multikultural. Sistem ini dirasa bukan hanya akan dapat
mendorong penguatan profesionalisme aparatur negara tetapi juga memperkuat peran aparatur negara
sebagai pilar NKRI.

Pemerintah juga perlu mendorong pengembangan birokrasi dan aparatur negara yang
berorientasi pada kinerja. Manajemen kinerja yang efektif perlu diterapkan untuk mempercepat
terbentuknya aparatur negara yang profesional. Hal ini perlu dilakukan secara holistis dengan
merespons berbagai problem yang selama ini dihadapi oleh pemerintah, birokrasi, dan aparaturnya
dalam mewujudkan kinerja. Ketidakjelasan pembagian urusan antara pemerintah, provinsi, dan
kabupaten/kota yang sering kali mendorong adanya duplikasi dan tumpang-tindih program dan kegiatan
antarsusunan pemerintahan harus segera diakhiri. Pembagian urusan pemerintahan harus dirumuskan
secara jelas, tegas, dan tuntas. Revisi PP No. 38/2007 harus segera dilakukan agar masing masing
susunan pemerintahan dapat mengembangkan indikator kinerja secara solid.

Indikator kinerja penting agar kontrak kinerja baik untuk lembaga/instansi maupun pada tingkat
individual dapat dilakukan. Adanya kontrak kinerja pada tingkat lembaga/instansi dan kontrak kinerja
pada tingkat individual penting agar pemerintah dapat memberi penghargaan kepada instansi dan
aparaturnya sesuai dengan capaian kinerjanya. Capaian kinerja tersebut seharusnya juga menjadi dasar
dalam penetapan tunjangan kinerja dalam program reformasi birokrasi. Dengan cara ini maka
pemerintah dapat mendorong aparatur negara untuk selalu meningkatkan kompetensi dan
profesionalismenya.

Untuk mengembangkan manajemen kinerja yang efektif, pemerintah juga perlu mendorong
setiap birokrasi mengembangkan budaya kerja yang produktif. Pengembangan budaya kerja yang
produktif ini dapat membuat perubahan-perubahan yang dilakukan dalam manajemen kinerja menjadi

28
lebih efektif dan sustainable. Salah satu caranya dengan mendorong birokrasi pemerintah melakukan
audit budaya kerja. Melalui audit budaya kerja, setiap birokrasi pemerintah dapat memetakan nilai-nilai,
simbol, dan perilaku kerja yang tidak lagi relevan, yang penting dipertahankan dan diperkuat, dan
program program yang perlu dilakukan dalam mempercepat transformasi budaya kerja. Pengembangan
budaya kerja yang produktif dapat menjadi salah satu cara yang efektif untuk memperkuat
pembentukan aparatur negara yang profesional.

BAB VII : MEMBANGUN PEMERINTAH BERKELAS DUNIA UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN


RAKYAT

Untuk mewujudkan pemerintah berkelas dunia yang mampu membawa Indonesia menjadi
kekuatan ekonomi dunia dan mentransformasi sektor publik menjadi lebih kompetitif, maka pemerintah
Indonesia mendatang perlu segera mengambil langkah strategis untuk menata kembali struktur
kelembagaan pemerintahan agar menjadi lebih solid, efisien, dan efektif. Untuk itu, diperlukan
kepemimpinan yang kuat dan visioner yang berani mengambil tindakan yang tidak populer untuk
membentuk kelembagaan yang tepat fungsi dan tepat ukuran. Pengalaman selama ini, penataan
kelembagaan kementerian dan LPNK dapat dilakukan tanpa harus menimbulkan gejolak dan resistensi
internal yang berarti. Oleh karena itu, penataan kelembagaan pemerintahan sebenarnya dapat
dilakukan.

Pemerintah mendatang juga perlu mengembalikan kebijakan reformasi birokrasi ke jalur yang
tepat dengan mengaitkan reformasi birokrasi secara langsung dengan misi birokrasi untuk
menyelenggarakan pelayanan publik dan/atau menyelesaikan masalah publik, seperti pemberdayaan
penduduk miskin, pemberantasan perilaku korupsi, dan masalah-masalah lainnya yang menjadi
perhatian publik. Reformasi birokrasi dirancang bukan untuk birokrasi itu sendiri, tetapi untuk
memastikan birokrasi mampu memberikan kontribusi terhadap penyelesaian masalah publik. Oleh
karena itu, reformasi birokrasi harus kontekstual, fokus pada pemenuhan kebutuhan publik, dan
menyentuh problematika kultural yang selama ini menghambat kinerja birokrasi.

29
Untuk mempercepat transformasi menuju pemerintah berkelas dunia, pemerintah perlu
mempercepat terbentuknya kepemimpinan transformatif dalam lingkungan ASN. Kepemimpinan
transformatif itu dapat diwujudkan melalui pembentukan sekolah kader yang memiliki wawasan
kebangsaan yang kuat, jiwa kepeloporan yang tinggi, mampu menunjukkan keteladanan, dan memiliki
kemampuan bertindak berdasarkan perspektif “whole-of-government” dan bebas dari belenggu silo
mentality yang selama ini mencirikan mindset umumnya pegawai ASN. Pembentukan kepemimpinan
transformatif juga dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan berbasis
eksperensial di lingkungan ASN. Pemerintah juga perlu memberi dukungan yang konkret bagi upaya
peningkatan kapasitas pegawai ASN untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara Asia lainnya.
Training rate yang rendah yang dimiliki pegawai ASN tidak memungkinkan mereka untuk memberi
kontribusi dalam pembentukan pemerintah berkelas dunia. Apa pun yang dilakukan untuk membenahi
kelembagaan dan birokrasinya, tanpa diikuti dengan peningkatan kompetensi dan profesionalisme
pegawai ASN, cita-cita untuk membentuk pemerintah berkelas dunia amat sulit diwujudkan.

30

Anda mungkin juga menyukai