Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara Republik Indonesia sangat
sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta
(pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni
berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah).Daerah yang kaya akan sumber daya
alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih
diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di
Jakarta menjadi timpang.
B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan
politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa
disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undangundang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti
Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia. Pada masa
awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik, juga bermuncukan
aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau
kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara
kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi
daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari
masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi
massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan.Berangsur-angsur,
pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia
melalui undang-undang.
Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu
Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya
merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan
Kepulauan Maluku. Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di
Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan
Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh
Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat
Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan
Raya.

B. Pokok Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.Bagaimanakah perangkat hukum di Indonesia mengatur mengenai permasalahan otonomi
daerah dan pemekaran wilayah?
2.Dampak apakah yang timbul dari pemberlakuan sistem otonomi daerah?
3. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya pemekaran wilayah di negara Republik
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemekaran Daerah


Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru ditingkat
provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran
daerah di Indonesia adalah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selengkapnya,
dalam 5 tahun saja, rakyat Indonesia harus memilih satu presiden dan satuwakil presiden, 33
pasang gubernur dan wakil gubernur, 398 bupati dan wakil bupati, 93 walikota dan wakil
walikota serta sedikitnya 27 ribu kepala desa. Selama lima tahun itu pula,rakyat juga mengikuti
pemilihan anggota legislatif. Dalam pemilu 2009 – 2014, rakyat kita telah memilih 132 anggota
DPD, 560 anggota DPR, 2.005 anggota DPRD provinsi dan15.750 anggota DPRD
kabupaten/kota.
Jumlah suara rakyat yang sah mengikuti pemilu legislatif 2009 adalah,
104.099.785.Jumlah suara tidak sah 17.488.581, total jumlah pemilih 121.588.366, jumlah yang
tidak memilih 49.677.075, dan jumlah pemilih terdaftar adalah 171.265.441. Data jumlah
pemilih ini menunjukkan partisipasi rakyat lebih dari 60 persen, dan kita sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia telah membuktikan diri kita sebagai negara demokrasi.
Otonomi daerah telah menjadi instrumen utama dalam transformasi sistem pemerintahan
sentralistik ke desentralistik selama 10 tahun terakhir. Apakah otonomi
daerah berhasil nanti. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan, 80 persen pem
ekaran daerah gagal. Apakah pernyataan itu dibarengi dengan evaluasi total atas pemekaran daer
ah? Ternyata tidak. Presiden hanya membatasi jumlah daerah yang akan dimekarkan saja.
Pengawasan dan evaluasi atas daerah pemekaran baru terus dilakukan, sebaliknya belum ada
satupun daerah yang dikembalikan ke kabupaten induk. Itu berarti otonomisasi terus bergulir.
Diperkirakan, pada tahun 2025, Indonesia akan memiliki 44 hingga 50 provinsi baru, tentu
otomatis ada peningkatan jumlah kabupaten, kota, kecamatandan jumlah desa.

2.2 Dasar Hukum Pemekaran Daerah


UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah
secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negaramengakui
danmenghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewayang diatur dengan undang-undang.”14 Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama
tercantumkalimat sebagai berikut. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuanmasyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dansesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia,yang diatur dalam undang-undang.” Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004
mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang PembentukanDaerah
dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah jugatermasuk dalam
ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004
menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendir
i.Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama
menyebutkan sebagai berikut. “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana
dimaksu pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenanga
nmenyelenggarakan urusa pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah.
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada
ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan : “Pemekaran dari satu
daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan
setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”

2.3 Manfaat Pemekaran Daerah


Fenomena pemekaran daerah telah menimbulkan sikap pro dan kontra di
berbagaikalangan. Berbagai pihak memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul
dari banyaknya wilayah yang dimekarkan. Jika diamati secara sepintas, kondisi ini disatu sisimen
unjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan
pendekatan pelayanan publik kepada masyarakat, yang pada akhirnya, mensejahterakan pendudu
k diwilayah yang baru dimekarkan. Namun di lain sisi, perkembangan ini juga
menimbulkankekawatiran karena beban APBN untuk membiayai daerah otonom baru akan
semakin berat.Lebih dari itu, pemekaran belum tentu dapat mengefisiensikan kinerja
pemerintahan dan mendekatkan pelayanan publik, yang pada akhirnya, belum mampu
mensejahterakan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai