Anda di halaman 1dari 14

Mengembangan CBR (Community Based Rehabilitation) Untuk ODDP

(Konteks di Indonesia)

Oleh: Emilianus Elip dan Aspi Kristiati


(https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Yayasan Nawakamal Mitra Semesta adalah LSM yang mengembangkan program RBM
(Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk orang dengan gangguan jiwa dan
keluarganya (Community Based Rehabilitation for People with Mental Disorder), sejak tahun
2020 dan secara formal berdiri tahun 2022. Lembaga ini bekerja di 5 kabupaten/kota di
provinsi D.I. Yogyakarta dan 1 program di NTT tepatnya di Kabupaten Sikka. Paper ini
merupakan refleksi dari pengalaman kami selama 4 tahun terakhir dalam
mengimplementasikan program tersebut. Selamat membaca.

Gambaran Masalah Kesehatan Jiwa


Menurut definisi yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa, bahwa orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) adalah individu yang mempunyai masalah
fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau masalah kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sementara itu, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
adalah individu yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna,
serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai
manusia.
Perasaan depresi yang berlebihan, ketakutan, merasa terancam, kecemasan akut, trauma yang
mendalam berlarut-larut, halusinasi, tekanan kondisi kemiskinan, dll merupakan masalah yang
dapat memicu gangguan kejiwaan (mental). Gangguan kejiwaan tersebut jika tidak tertangani sejak
dini dan memperoleh pertolongan atau perlakuan yang tepat, dapat menimbulkan masalah
gangguan jiwa berat yang dipicu oleh karena terjadinya kerusakan atau gangguan pada syaraf otak.
ODGJ/ODDP adalah orang yang kehilangan atau tidak mampu melakukan fungsinya sebagai
manusia dalam kehidupan sosial sehari-hari. Ada beberapa jenis ODGJ, salah satunya yang paling
akut/parah adalah skisofrenia, dengan tanda-tanda seperti menarik (mengurung) diri, mudah
marah, mengamuk, dll.

Rudatin (26)-bukan nama sebenarnya, adalah seorang gadis dengan skisofrenia,


ketika pada pertama kali ditemukan tahun 2019.

Page | 1
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)-Litbang Kemenkes tahun 2007 melaporkan bahwa angka
nasional tingkat orang dengan gangguang jiwa berat di Indonesia adalah 0,5% . Data ini melonjak
tajam menurut data Riskesdas terbaru tahun 2018, dimana sebanyak 282.654 rumah tangga atau
0,67% masyarakat di Indonesia mengalami Skizofrenia/Psikosis (jenis gangguan jiwa berat).
Pembangunan yang terus meningkat memang berdampak pada kesejahteraan masyarakat
semakin baik. Namun ketidakmerataan dan dampak lain dari pembangunan yang tidak merata
mengakibatkan banyak orang terpinggirkan secara ekonomi, beban hidup yang semakin berat,
belum mendapatkan pendidikan dan fasilitas umum yang memadai terutama di pedesaan dan
daerah-daerah terpencil, pola asuh anak yang kurang tepat, dll. Semuanya itu bisa memicu
masalah kesehatan jiwa masyarakat atau semakin banyak orang dengan gangguan kejiwaan.
Dalam era Pandemi Covid-19 saat ini, sangat mungkin masalah gangguan jiwa semakin tinggi.
Budaya yang ada di dalam masyarakat kita yang multi-etnis ini juga memiliki stereotipe
(pandangan) yang kurang menguntungkan bagi orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya.
Mereka sering dianggap memiliki “dosa turunan”, kena atau kerasukan setan, dll. Stigma negatif
masyarakat juga muncul dengan menyebut mereka “Wong Edan” (orang gila), “sinting”, “miring”,
dll. Oleh karena sering mengamuk yang membahayakan diri sendiri, keluarga, atau masyarakat
sekitarnya maka “pemasungan” terjadi.
Keluarga yang memiliki ODGJ sangat banyak terkuras waktunya untuk mengurusi dan merawatnya,
menghabiskan banyak biaya berburu pengobatan alternatif dan dukun kemana-mana. Belum lagi
stigma negatif yang muncul di masyarakat. Mereka adalah kelompok paling rentan, yang perlu
mendapatkan pertolongan sejak dini secara tepat dan benar. Yayasan Nawakamal-Yogyakarta,
sejak tahun 2020 telah memulai mengembangkan program RBM untuk kesehatan mental.
Perhatian Pemerintah
Kesehatan jiwa masyarakat telah mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah dengan adanya
beberapa program nasional seperti Indonesia Bebas Pasung, Desa Siaga Sehat Jiwa, program dana
sehat nasional BPJS, dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. Dalam
Undang-Undang tersebut ditegaskan bahwa pemerintah akan menjamin Upaya Kesehatan Jiwa
(Pasal 3), diantaranya: (a) Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi
ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan) dan ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) berdasarkan
hak asasi manusia; (b) Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan; (c) Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya
Kesehatan Jiwa; dan (d) Memberikah kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat
memperoleh haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Namun infrastruktur kelembagaan, fasilitas dan SDM dalam penanganan orang dengan gangguan
jiwa di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Jumlah panti-panti rehabilitasi dan rumah sakit
rehabilitasi sangat sedikit. Daerah Istimewa Yogyakarta beruntung setidaknya memiliki 2 rumah
sakit rehabilitasi untuk ODMK dan ODGJ, yakni RSJ Ghrasia dan Puri Nirmala. Juga di Puskesmas-
Puskesmas di seluruh DIY telah setidaknya tersedia satu orang pemegang program jiwa. Di DIY
tersedia perawat jiwa, psikolog, dan dokter spesialis jiwa yang relatif memadai. Bagaimana dengan
wilayah-wilayah terpencil di luar Jawa dan Indonesia Timur? Semua masih jauh dari yang
diharapkan.
Perlunya RBM di Indonesia
RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat), atau sering disebut CBR (Community Base
Rehabilitation), secara ringkasnya, adalah pendekatan sekaligus juga program penanganan
terhadap ODMK dan ODGJ (sekarang disebut ODDP=Orang Dengan Disabilitas Psikososial), dengan
melibatkan sejak dini sumberdaya yang ada di dalam masyarakat. Melalui berbagai strategi

Page | 2
kegiatan yang dikembangkan, RBM ini dimaksudkan untuk memperluas jangkauan penanganan dan
pelayanan rehabilitasi, khususnya di negara-negara atau wilayah yang infrastruktur, fasilitas, SDM
di bidang rehabilitasi kesehatan jiwanya masih sangat terbatas. Bagi kondisi di Indonesia, RBM ini
sangat relevan dan dibutuhkan.

Kasus pemasungan masih banyak terjadi. Tahun 2022, di Indonesia, sebanyak 4.304 kasus
(republika.co.id). Di DIY terdapat 404 kasus per Oktober 2022 (https://www.solider.id/)

Apakah RBM terlepas dari lembaga atau institusi resmi (terutama milik pemerintah) seperti panti
rehabilitasi dan atau rumah sakit rehabilitasi jiwa yang sudah ada? Jawabannya adalah tidak.
Lembaga atau institusi rehabilitasi pemerintah yang ada adalah tetap menjadi rujukan utama
pelayanan rehabilitasi kesehatan jiwa. Lembaga atau institusi rehabilitasi tersebut diharapkan
justru bisa menjadi mitra kerja utama dan sekaligus menjadi salah satu pembina dalam
pengembangan RBM. RBM dikembangkan untuk menjembatani kemampuan jangkauan lembaga
atau institusi rehabilitasi pemerintah yang terbatas agar masyarakat dapat terlayani dalam
penanganan kepada ODMK dan ODGJ, apalagi di wilayah-wilayah terpencil, sulit secara geografis
serta dengan minimnya pelayanan dan fasilitas kesehatan dan rehabilitasi.

Apa Itu CBR/RBM


Merujuk pada definisi yang dikembangkan oleh WHO (2010, 2013), RBM (Community Base
Rehabilitation) adalah strategi pendekatan sekaligus juga program penanganan, pelayanan dan
pemberdayaan terhadap ODDP, dengan melibatkan sejak dini sumberdaya yang ada di dalam
masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud dalam definisi tersebut adalah ODDP sendiri, keluarganya, masyarakat
desa, kader kesehatan desa, tokoh masyarakat, lembaga-lembaga yang ada di desa (lembaga adat,
sosial, keagaamaan, dll), perangkat pemerintah desa dan kecamatan, yang kemudian terus belanjut
secara berjenjang dengan lembaga atau pihak lain (pemerintah dan atau non-pemerintah) di atas
kecamatan. Mereka dapat dilibatkan sesuai peran dan tingkat masing-masing. Sementara
“sumberdaya”, yang dimaksud adalah orang yang bisa dilibatkan, dana masyarakat, sumber dana
pemerintah desa atau kecamatan, kekuatan sosial dan gotong-royong, kekuatan jejaring, anggaran
pemerintah kabupaten, juga dukungan kegiatan dan dana dari lembaga-lembaga non-pemerintah.
RBM bukan semata hanya program dan kegiatan mengenai kesehatan dan rehabilitasi saja. Arah
program RBM bersifat cukup luas baik di bidang kesehatan dan rehabilitasi, hak-hak kesetaraan
kesempatan bagi ODMK dan ODGJ, peningkatan pendapatan ekonomi, maupun inklusi sosial. RBM
sebagai proses kegiatan maupun tujuan, hendaknya merupakan hasil kerjasama multipihak dan
antar sektor (multisectoral collaboration) di berbagai level, baik di tingkat lokal (desa dan

Page | 3
kecamatan), kabupaten/kota, provinsi, bahkan Pusat. RBM tidak bisa mencapai hasil seperti
diharapkan jika hanya dikerjakan oleh satu pihak saja.

Bagan Gambaran Konsep RBM


• ODMK & ODGJ terlayani secara rehabilitatif
dgn lebih baik
• Kesetaraan hak-hak kesehatan, pendidikan,
kegiatan ekonomi dan jaminan sosial
TUJUAN: • Dukungan sosial masyarakat dan keluarga
yang baik
• Masyarakat yg inklusif, berkuragnya stigma
negatif; dll.

Para Pengambil Lembaga/Dinas Masyarakat


Kebijakan: Pemerintah & non- sasaran:
• Pemerintah desa pemerintah: • ODMK & ODGJ
• Pemerintah • Dinas terkait • Keluarga
kabupaten/kota kabupaten/kota dan • Kader kesehatan
• Pemerintah provinsi • Tokoh
provinsi • LSM masyarakat
• Pemerintah Pusat • Panti dan rumah • Puskesmas
sakit rehabilitasi
• Instusi pendidikan
• Institusi/lembaga
agama
• Sektor sasta yang
memiliki perhatian

M a s y a k a t --- M a s y a r a k a t --- M a s y a r a k a t

Landasan utama program RBM dalam bagan konsep tersebut adalah “masyarakat”. Di dalam
masyarakat terdapat semua aspek atau unsur, baik sumberdaya maupun tenaga, untuk memulai
RBM. Itu sebabnya RBM adalah program yang boleh disebut “dari, oleh dan untuk masyarakat”.
Pada praktik menggerakkan RBM, masyarakat ini bisa dipilah kedalam 3 pilar, yaitu: masyarakat
sasaran, dinas/lembaga pemerintah dan non-pemerintah, dan para pengambil kebijakan.
Sesungguhnya ketiga pilar ini bisa disebut sasaran program dan kegiatan maupun sekaligus pelaku
kegiatan RBM, untuk mencapai tujuan RBM.

RBM dicetuskan oleh WHO pada tahun 1978 yang didukungan berbagai lembaga internasional
lainnya seperti ILO, UNDP, UN-ESCAP, dll. Sampai sekarang RBM sudah diterapkan di lebih dari 90
negara.
Matriks Komponen Dalam RBM
PENGUATAN-
KESEHATAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
ADVOKASI
Pengembangan Advokasi kebijakan
Promosi Usia dini Dukungan personal
ketrampilan perundangan
Pergaulan,
Penddidikan
Prevensi Usaha mandiri perkawinan, dan Dukungan organisasi
Dasar
berkeluarga

Page | 4
PENGUATAN-
KESEHATAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
ADVOKASI
Kerja
Pelayanan Pendidikan
upahan/berpenghasilan Budaya dan seni Aspirasi politik
medis/kurasi Menegah-Atas
layak
Pendidikan Non- Dukungan Rekreasi dan olah Dukungan kebijakan
Rehabilitasi
formal dana/permodalan raga anggaran
Hak-hak
Dukungan alat Pendidikan Jangka Dukungan jaminan
Dukungan peradilan administratif
bantu panjang sosial
kewarganegaraan

Matrik di atas berisi gambaran besar program ideal RBM secara keseluruhan, yang terdiri atas 5
komponen/sektor yaitu Kesehatan, Pendidikan, Kesejahteraan, Dukungan Sosial, dan
Penguatan/Advokasi. Kolom-kolom yang menurun dibawah masing-masing komponen merupakan
aspek-aspek kegiatan yang bisa dikembangkan. Rangkaian aspek kegiatan ini mengandung
beberapa unsur pokok seperti pengembangan kapasitas, pelibatan masyarakat dan pihak-pihak
pada berbagai level, serta pendampingan.
Program Komponen Kesehatan
Komponen kesehatan menjadi salah satu komponen mendasar karena gejala awal yang tampak dan
penanganan dini pada ODDP adalah hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan dunia medis dan
sistem pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan ini menyangkut aspek yang luas mulai dari kader
kesehatan desa, kader Posyandu, Pustu dan Puskesmas, jajaran tenaga medis, Apotik penyedia
obat-obatan, rumah sakit umum dan rumah sakit reabilitasi ODDP, Dinas Kesehatan dan para
pengambil kebijakan. Tujuan umum program RBM pada komponen kesehatan ini adalah para ODDP
mendapat pelayanan rehabilitasi medis dan dukungan sosial (social support) yang lebih baik.
Lingkup kegiatan yang bisa dilakukan dalam komponen kesehatan ini antara lain:
a) Salah satu ujung tombak utama pelaksana RBM bidang kesehatan di masyarakat adalah kader
kesehatan desa (kader Posyandu) yang sudah ada hampir diseluruh desa di Indonesia. Oleh
karena itu kegiatan RBM bidang kesehatan tingkat desa sangat efektif jika memanfaatkan dan
memberdayakan kapasitas para kader tersebut.
b) Sebagian besar masyarakat, aparatur pemerintahan desa dan kecamatan, ODDP dan
keluarganya, para pelaku pelayanan bidang kesehatan seperti kader desa, dan para tenaga
kesehatan Puskesmas, belum cukup wawasan dan ketrampilannya mengenai isu kesehatan jiwa
dan ODDP. Pengembangan kapasitas untuk mereka sangat perlu diberikan, dengan materi
antara lain sbb.:
Bagi para kader kesehatan desa, materi-materi yang perlu diberikan antara lain:
❖ Pengenalan apa gangguan jiwa, jenis, gejala, dan penyebabnya
❖ Pendataan/Identifikasi ODDP
❖ Dasar-dasar merawat ODDP di rumah
❖ Pengenalan obat untuk ODDP
❖ Mengenal stresor keluarga dalam dampingan ODDP
❖ Dasar-dasar komunikasi terapetik
❖ Mengenal gejala halusinasi
❖ Mengenal perilaku kekerasan (agresi, kekambuhan, dan bunuh diri)
❖ Mengenal perilaku “menarik diri” dan isolasi social

Page | 5
Pelatihan kemampuan dasar untuk pendampingan dan penanganan ODDP bagi kader desa. Gambar di atas
adalah pelatihan untuk kader di Desa Kaligintung, Temon, Kulon Progo, Juni tahun 2022

Bagi para petugas Puskesmas, materi-materi yang perlu diberikan antara lain:
❖ Pemetaan masalah pendampingan terhadap ODDP
❖ Pengenalan apa gangguan jiwa, jenis, gejala, dan penyebabnya
❖ Pendataan/identifikasi ODDP
❖ Tatalaksana pemberian obat untuk ODDP
❖ Mengenal stresor keluarga dalam dampingan ODDP
❖ Konsep stigma dan pemulihan bagi ODDP
❖ Konsep komunikasi terapetik
❖ Mengenal gejala halusinasi dan tata laksana manajemen halusinasi
❖ Mengenal perilaku kekerasan (agresi, kekambuhan, dan bunuh diri)
❖ Mengenal perilaku “menarik diri” dan isolasi sosial
c) Ketersediaan obat untuk perawatan ODDP, baik di Puskesmas maupun di apotik dan rumah
sakit di tingkat kabupaten, sangat perlu diperhatikan. Pemulihan dan perawatan untuk ODDP
tergantung kepada ketersediaan dan rutinitas ODDP meminum obat sesuai anjuran dari
petugas kesehatan. Sebagian besar ODDP dan keluarganya kurang memahami bahwa obat-
obatan tersebut harus diminum secara rutin baik pada saat kambuh maupun tidak kambuh.
Permasalahan yang sering muncul mengenai ketersediaan dan rutinitas minum obat ini antara
lain:
❖ Supplay dan distribusi obat untuk ODDP sering tidak tersedia bahkan langka dicari untuk
wilayah-wilayah di luar Jawa, atau wilayah terpencil dan perbatasan. Oleh karena itu
kegiatan RBM bidang kesehatan secara berkelanjutan hendaknya memastikan (1) adanya
bantuan untuk pengadaan obat dari pihak-pihak lain yang peduli, dan (2) mendorong
pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan berupaya mewujudkan ketersediaan obat
secara memadai. Pendekatan sinergisitas, kolaborasi, dan advokasi tentang hal tersebut
perlu dilakukan kepada Pemda dan para pengambil kebijakan.

Page | 6
❖ Ketika disuatu wilayah supply obat tersedia, tetapi keluarga ODDP tidak mampu membeli
atau mendapatkannya karena tidak ada uang atau tidak memiliki BPJS. Dalam hal ini
kegiatan RBM perlu melakukan: (1) Mencari dukungan dana pembelian obat dari orang-
orang atau pihak lain yang peduli terhadap ODDP; (2) Melakukan sinergisitas dan
advokasi agar Pemerintah Desa bersedia memasukkan kebutuhan-kebutuhan ODDP dalam
Anggaran Desa atau Anggaran Dana Desa; (3) Melakukan sinergisitas dan advokasi kepada
pengambil kebijakan terkait agar para ODDP mendapatkan BPJS; Dll.
d) Perlu dibentuk Unit Program Kesehatan Jiwa (Keswa) di Puskesmas dan rumah sakit khususnya
rumah sakit reabilitasi untuk ODDP. Tidak semua Puskesmas dan rumah sakit khususnya
rumah sakit rehabilitasi ODDP di Indonesia memiliki unit kerja tersebut. Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) cukup beruntung karena di sebagian besar Puskesmas di wilayah provinsi
tersebut sudah terbentuk Unit Kerja Program Keswa. DIY juga memiliki rumah sakit rehabilitasi
ODDP pada tingkat provinsi. Unit Program Keswa ini sangat penting untuk mengawal serta
menjadi leading-sektor program dan kegiatan RBM bidang kesehatan ketika kegiatan-
kegiatannya mulai membesar dan komplek.
e) Promosi bebas pasung. Pada tahun 2011 Indonesia telah merativikasi Konvensi Hak-Hak
Penyandang Disabilitas (CRPD) yang menjamin hak setara bagi semua ODGJ/ODDP untuk
menikmati hak atas kebebasan dan keamanan, bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.
Pada pasal 14 konvensi tersebut, tegas dikatakan “keadaan disabilitas tidak boleh menjadi
alasan pembenaran dilucutinya kebebasan”, apalagi dikurung dan dipasung. Konvensi tersebut
diikuti dengan upaya nasional “gerakan bebas pasung” yang dikuatkan dengan terbitnya
berbagai peraturan perundangan1. Berdasarkan hal tersebut maka promosi bebas pasung harus
didorong oleh para pihak pelaku RBM agar Pemda mengeluarkan peraturan daerah tentang
bebas pasung2.

Program Komponen Pendidikan


Tujuan dari komponen pendidikan dalam RBM adalah bahwa ODDP memiliki akses pendidikan
yang setara dan inklusif tanpa diskriminasi, sehingga mampu mengembangkan potensinya, percaya
diri, dan menjadi produktif. Selain itu, dunia pendidikan dan sekolah, seharusnya mampu
menciptakan suasana yang “sehat jiwa” bagi anak didik dan mahasiswa. Kasus-kasus bullying,
kekerasan seksual, depressi nampaknya mulai banyak terjadi pada siswa dan mahasiswa.
Pengertian pendidikan arus dipahami lebih luas tidak hanya sekolah formal. Pendidikan yang
dimaksud disini bisa mencakup pendidikan formal (di institusi/lembaga resmi sekolah dan
universitas), pendidikan non-formal merujuk pada aktivitas/kegiatan pendidikan di luar institusi
formal sekolah, dan pendidikan informal yaitu segala kegiatan belajar (learning process) dari waktu
ke waktu bersama keluarga, teman, masyarakat, kelompok kegiatan, dll.
Beberapa kegiatan dasar yang bisa dilakukan dalam komponen pendidikan ini antara lain:

1
Antara lain Undang–Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Konvensi Hak–Hak Penyandang Disabilitas, Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Menteri Keseatan No. 54 Tahun 2017 Tentang Penanggulangan
Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa.
2
Sebagai contoh, DIY telah mengeluarkan Peraturan Gubernur DIY No. 81 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Penanggulangan Pemasungan; Provinsi Banten telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Banten No. 83 Tahun
2017 Tentang Gerakan Banten Bebas Pasung; Kota Cilegon mengeluarkan Peraturan Wali Kota Cilegon No. 46
Tahun 2019 Tentang Gerakan Cilegon Bebas Pasung.

Page | 7
a. Memastikan ODDP usia sekolah (SD, SLTP, dan SLTA) yg sudah pulih pasca rehabilitasi, dapat
melanjutkan sekolah. Gejala disabilitas psikologis tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja
tetapi bisa pula terjadi pada anak-anak dalam usia sekolah. Oleh karena itu para orang tua murid
dan guru-guru di sekolah (terutama guru BP(perlu mendapatkan pengembangan wawasan
mengenai gejala-jelada disabilitas psikologis. Anak-anak usia sekolah yang sedang bersekolah,
jika mengalami gangguan disabilitas psikologis, pasti akan menarik diri dari sekolahnya.
Sementara itu orang tua si siswa juga mungkin melarang si anak pergi ke sekolah.
b. Peningkatan kapasitas mengenai disabilitas psikososial bagi para guru. Guru memiliki peran
penting dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif disekolah, dengan menerima dan
mengintegrasikan siswa-siswa yang mengalami disabilitas psikologis untuk tetap bersekolah.
Dengan demikian guru perlu memiliki wawasan dan ketrampilan untuk mengetahui apa itu
disabilitas psikologis, apa saja gejala-gejalanya, dan bagaimana melakukan komunikasi kepada
siswa-siswa dengan disabilitas psikologis. Saat ini gejala tekanan psikologis pada siswa dan
mahasiswa cukup banyak terjadi oleh karena berbagai hal seperti bully dari sesama siswa, atau
dari guru/pengajar, atau tekanan-tekanan pergaulan lainnya.
c. ODDP yang mandiri dan berdaya dikirim ke rehabilitasi vokasional. Sebagai bagian untuk
mewujudkan pendidikan sepanjang waktu (long life education) melalui pendidikan non-formal
luar sekolah, maka ODDP yang mandiri (tidak sedang kambuh dan pulih) perlu diupayakan
untuk dikirim ke panti rehabilitasi vokasional untuk menambahkan ketrampilan mereka, yang
diharapkan dapat berguna untuk membuka peluang usaha atau menjadi pekerja upahan dengan
ketrampilan tertentu.
d. Tentu melibatkan anak-anak atau siswa dengan disabilitas psikologis adalah pekerjaan
gampang. Ada advokasi dan pendekatan ke berbagai pihak mulai dari sekolah, universitas, Dinas
Pendidikan dan DPRD untuk menyuarakan isu-isu tersebut.

Komponen Kesejahteraan
Komponen kesejahteraan lebih tepat diterjemahkan sebaga “livelihood”, yang di dalam RBM,
ditujukan untuk memastikan para ODDP memiliki akses mendapatkan pelatihan ketrampilan dan
kesempatan bekerja atau kesempatan membuka usaha ekonomi mandiri. Ada banyak ODG/ODDP
yang akhirnya bisa pulih (tentu dengan dukungan pengobatan berkala yang rutin dan disiplin
minum obat) dan mampu didik. Dengan demikian mereka bisa diberi kesempatan memiliki usaha
ekonomi secara mandiri atau bekerja secara upahan. Dalam upaya ini maka dua aspek yang sangat
perlu dilakukan adalah, pertama memberi kesempatan kepada ODGJ/ODDP untuk membuka usaha
ekonomi atau bekerja upahan, dan kedua, memberikan penyadaran kepada semua pihak (individua,
pemerintah maupun swasta) yang memungkinkan peran tersebut diperoleh oleh ODGJ/ODDP
untuk terbuka memberi kesempatan atau menerima mereka.
Beberapa kegiatan dasar yang bisa dilakukan dalam komponen ini antara lain:
a. Peningkatan ketrampilan ODDP untuk pengembangan usaha ekonomi. Kegiatan ekonomi yang
rutin, pada sisi lain bisa dianggap sebagai terapi rehabilitasi membuang waktu mereka berpikir
yang tidak menentu dan membuat tekanan psikologis. Bagi keluarga ODGJ/ODDP di luar Jawa
yang akses terhadap pelayanan medis dan rehabilitasi cukup jauh sangat membutuhkan
dukungan usaha ekonomi, karena kontrol rutin atas mereka harus dilakukan secara disiplin.
Anggaran Pemerintah Desa mungkin bisa membantu untuk modal awal usaha mereka.
b. Pendampingan pengembangan usaha ekonomi ODPP. Ketrampilan untuk ODDP dan atau
keluarganya sudah diberikan, dan bantuan modal usaha sudah diturunkan, maka saatnya

Page | 8
mereka untuk melaksanakan usaha ekonominya. Pada tahap ini maka perlu dilakukan
pendampingan berkala agar usaha ekonomi berjalan seperti diharapkan. Pendampingan
kegiatan dilakukan oleh pihak yang menginisiasi atau mencetuskan kegiatan tersebut, mungkin
bisa Pemerintah Desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa), mungkin PKK Desa, mungkin
juga didampingi oleh lembaga sosial lainnya yang ada di level desa atau kecamatan, LSM, atau
lainnya.
c. Memberikan kesempatan kepada ODDP menjadi pekerja upahan. Pekerjaan upahan yang
dimaksud disini adalah orang yang bekerja pada instansi, lembaga, atau sektor usaha tertentu,
dan oleh karena beban kerjanya orang tersebut mendapatkan upah/gaji. Jenis-jenis pekerjaan
ini misalnya menjaga kios/toko, tenaga administrasi di kantor koperasi atau kantor lainnya,
office boy, tenaga bersih-bersih, operator mesin fotocopy, dll. Tentu saja ODDP yang dapat
dipekerjaan dalam konteks pekerja upahan ini adalah ODDP yang mandiri dan pulih (meskipun
tetap minum obar rutin dan kontrol berkala kepada tenaga medis).
d. Menumbuhkan perhatian sektor swasta dalam mendukung usaha ekonomi ODDP dan keluarga.
Para pelaksana RBM dalam komponen kesejahteraan, baik dari pihak pemerintah, LSM, orang-
orang yang peduli terhadap ODDP, dan lembaga-lembaga sosial lainnya, perlu melakukan
sinergi, kolaborasi, dan advokasi terhadap sektor swasta agar mereka terbuka dan peduli untuk
membantu ODDP dan keluarganya.
e. Mendorong ODDP dan keluarganya memperoleh program jaminan sosial. Cukup banyak
program-program bantuan sosial untuk kaum miskin dan orang dengan disabilitas, baik yang
dilakukan oleh sektor/pihak swasta maupun pemerintah. Cotoh program seperti yang
dicetuskan oleh pemerintah antara lain seperti PKH (Program Keluarga Harapan), program
JAMKESUS (Jaminan Kesehatan Khusus), JAMKESMAS, JAMKESDA, dll.

Komponen Dukungan Sosial


Dukungan sosial mungkin bisa diterjemahkan sebagai social support. Memiliki peran di dalam
keluarga dan kehidupan sosial penting dalam pengembangan konsep diri, kepercayaan diri,
menjadi merasa berguna atau berarti. Hal-hal tersebut sangat berarti bagi kita semua, apalagi bagi
ODDP yang menghadapi stigma negatif yang menyebabkan mereka memiliki banyak hambatan
dalam pergaulan sosial. Tujuan dari program RBM dalam komponen dukungan sosial adalah
memberi dukungan dan kesempatan agar ODDP mengalami, memiliki, dan merasakan peran
kehidupan sosialnya yang bermakna, baik di dalam keluarga maupun masyarakat.
Beberapa kegiatan pokok yang bisa dilakukan dalam komponen ini antara lain:
a. Membentuk TPKJM (Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat) kecamatan. TPKJM kecamatan
adalah tim koordinasi dan pelaksana kegiatan yang terkait dengan pelayanan untuk ODDP pada
level kecamatan. Tim ini terdiri atas Muspika, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang
biasanya di bentuk melalui Surat Keputusan Camat. Tugas kegiatan TPKJM kecamatan antara
lain: (1) Pendataan dan mengidentifikasi pata permasalaan disabilitas psikologis di tingkat
kecamatan; (2) Menyusun program kegiatan dan sekaligus melaksanakan kegiatan yang
berkaitan dengan pelayanan rehabilitasi bagi ODDP; dan (3) Melakukan rapat rutin koordinasi.
Beberapa TPKJM kecamatan telah berhasil mengkoordinasi kegiatan bebas pasung, penanganan
kasus ODDP yang mengamuk, memfasilitasi proses rujukan ODDP ke rumah sakit, dll. Pada
daerah dan kondisi tertentu bisa saja dibentuk tim semacam ini di tingkat desa.

Page | 9
Pada tingkat kabupaten/kota juga harus dibentuk TPKJM kabupaten/kota3. TPKJM
kabupaten/kota mempunyai tugas membantu Bupati / Walikota dalam merumuskan kebijakan
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan jiwa masyarakat melalui
pendekatan multi disiplin dan peran serta masyarakat, serta membina TPKJM kecamatan.

TPKJM (Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat) tingkat kapanewon, Kapanewon Temon, Kulon Progo, sedang
dilakukan workshop tentang peran TPKJM (Agustus 2022), sekaligus diberi pelatihan penanganan kasus ODDP amuk.

Materi pelatihan yang dapat diberikan kepada TPKJM, baik tim di provinsi, kabupaten,
kecamatan/desa, maupun kepada perangkat desa, kecamatan, atau staff dinas terkait, antara
lain sebagai berikut (penekanan materi bisa berbeda-beda tergantung levelnya):
❖ Pengenalan apa gangguan jiwa, jenis, gejala, dan penyebabnya
❖ Pendataan/identifikasi ODDP
❖ Konsep stigma dan pemulihan bagi ODDP
❖ Mengenal perilaku kekerasan (agresi, kekambuhan, dan bunuh diri)
❖ Dasar-dasar mengembangkan RBM
❖ Menyusun kebutuhan program dan anggaran yang akomodatif pada kebutuhan ODGJ/ODDP
dan keluarganya.
b. Membentuk peer support group/forum ODDP. Ini adalah sebuah kelompok yang beranggotakan
para ODDP sebagai wadah saling support (mendukung) melalui tukar pengalaman, membagi
perasaan, membangun harapan-harapan positif, saling menguatkan satu sama lain,
membangun empati, membangun coping (penerimaan diri) atas kondisi yang dihadapi masing-
masing. Kelompok isi bisa dikembangkan guna merancang kegiatan yang bermanfaat.
c. Membentuk dan mengembangkan peer support group/forum orang tua ODDP/ caregiver. Tidak
hanya ODDP yang mengalami tekanan dan beban psikologis. Orang tua ODDP dan atau
caregiver (pengasuh) juga menghadapi stresor (tekanan) psikologis yang mendalam dalam
proses merawat ODDP. Stigma negatif tidak hanya dialami ODDP, orang tua juga mengalami

3
Sesuai instruksi pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 220/MENKES/SK/III/2002 Tentang Pedoman Umum Tim
Pembina, Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-KJM).

Page | 10
stigma negatif karena memiliki anak dengan disabilitas psikologis. Belum lagi jika si anak
(ODDP) kambuh dan mengamuk merusak atau melukai tetangga sekitar.
d. Melibatkan ODDP yg sudah mandiri dan berdaya dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat,
kegiatan sosial seperti gotong-royong, terlibat dalam acara-acara seni dan upacara tradisional
di desa, olah raga, dll. Keterlibatan ODDP dalam berbagai kegiatan tersebut akan sedikit demi
sedikit mengikis stigma negatif terhadap ODDP. Pada sisi yang lain ODDP akan merasa tidak
dikucilkan, menumbuhkan harga diri dan kepercayaan diri, karena mampu bergaul
sebagaimana anggota masyarakat yang lain.
e. Bekerjasama dengan media untuk membangun image positif untuk mengurangi stigma.
Membangun image positif harus dilakukan terus menerus secara berkelanjutan, dan jika
mungkin tidak hanya pada sasaran lokal desa tetapi masyarakat luas. Membangun image positif
yang semacam ini diperlukan selain untuk mengurangi stigma, juga bermanfaat dalam rangka
membangun kepercayaan publik terhadap peran dan kapasitas ODDP.
f. Mengembangkan organisasi ODDP. Kegiatan ini merupakan kegiatan jangka panjang karena
sangat disadari bahwa tidak mudah membangun dan mengembangkan organisasi ODDP.
Namun organisasi ODDP ini perlu dibentuk karena merupakan bagian dari hak-hak
berorganisasi, berekspresi, dan mengemukakan aspirasi.

Komponen Penguatan-Advokasi
Penguatan (empowerment) dan advokasi perlu dilakukan dalam upaya menggerakkan semua
komponen RBM yang ada demi tercapainya hak-hak ODDP. Rumusan lebih ringkasnya bahwa
penguatan dan advokasi adalah upaya agar aspirasi dapat didengar, memiliki kekuatan-diri,
memiliki kontrol atas isu-isu dan kebutuhan tertentu, punya kemampuan memperjuangkan hak-
hak agar sejajar dengan warga masyarakat yang lain.
Beberapa kegiatan pokok yang dapat dilakukan antara lain:
a. Advokasi RPJMDes dan RKPDes yang mengakomodir isu disabilitas psikologis. Sudah sangat
lama ODDP dan permasalahan disabilitas psikologis menjadi isu yang ditinggalkan, dianggap
tidak prioritas, dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan baik di Pusat,
daerah, maupun pada level lokal desa. Pada level desa kini semakin terbuka dimana masyarakat
harus dilibatkan dalam pengembilan kesepakatan, keputusan, kebijakan kegiatan pembangunan,
beserta anggaran pembangunanya, yang disahkan melalui Musyawarah Desa.
b. Mendorong Anggaran Dana Desa yang mengakomodir kebutuhan ODDP. Kebijakan penggunaan
Dana Desa dirembug melalui forum Musyawarah Desa yang menghadirkan semua unsur
keterwakilan masyarakat. Oleh karena itu kelompok ODDP dan keluarganya, dengan dibantu
oleh masyarakat, harus aktif memperjuangkan kepentingannya melalui forum tersebut.
c. Advokasi kebijakan pembangunan daerah dan APBD pada issu disabilitas psikologis dan ODDP.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan beberapa daerah lain, telah mengeluarkan SK atau Perda
tentang Bebas Pasung. Juga dibeberapa kabupaten telah dikeluarkan SK tentang pembentukan
TPKJM yang didanai oleh APBD.

Page | 11
Sebelum TPKJM Kapanewon dibentuk, pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta sudah membentuk TPKJM Pembina. Gambar di
atas, adalah kegiatan lokakarya dalam rangka menyusun perencanaan kegiatan untuk tahun 2023 pada Juli 2022.

Memulai Kegiatan RBM di Tingkat Lokal


Pada prinsipnya RBM dapat dimulai dari komponen/sektor dan kegiatan mana saja dan dari level
area/wilayah kegiatan manapun, karena hal ini sangat tergantung pada kondisi geografis, kondisi
masyarakat, kesadaran pada isu disabilitas psikososial (permasalahan kesehatan mental),
ketersediaan fasilitas dan SDM yang ada di sebuh wilayah. Begitu pula bagi sebuah lembaga atau
institusi, bisa saja tidak seluruh komponen dan aspek sebagaimana tergambar di dalam matriks
Program RBM, dijalankan. Oleh karena itu sebuah lembaga seyogyanya merangkul
lembaga/institusi lain untuk bersinergi guna mengisi komponen dan aspek yang lain yang bukan
menjadi concern utama sesuai Visi dan Misi lembaga bersangkutan.
Seiring berjalannya waktu kegiatan-kegiatan RBM dapat dikembangkan lebih beragam, kompleks,
meluas, multi-sektor, berkolaborasi antar pihak, agar mengarah pada pencapaian tujuan RBM.
Sebagai program dan kegiatan yang berbasis pada sumberdaya masyarakat, memang idealnya
kegiatan RBM dimulai pada level area/wilayah desa/kecamatan, baru kemudian berkembang ke
sasaran di area wilayah kabupaten atau provinsi.
Biasanya program atau kegiatan RBM dimulai oleh pihak luar dari masyarakat, dalam hal ini LSM
baik LSM lokal, nasional, maupun LSM internasional. Namun bisakah institusi pemerintah pada
level desa, kecamatan, atau level kabupaten memulai atau menjadi inisiator RBM? Jawabannya
adalah bisa. Lalu bagaimana dan dari mana memulainya, kegiatan apa saja yang bisa dilakukan?
Itulah sebabnya maka matrik Program dan Kegiatan RBM Untuk Rehabilitasi Disabilitas Psikososial
di Masyarakat ini disajikan sebagai pedoman berbagai pihak memulai dan mengembangkan
kegiatan RBM.
RBM bisa dimulai dari kegiatan kecil dan pada wilayah yang kecil misalnya saja di kewilayahan
desa. Oleh karena itu pihak-pihak seperti Pemerintah Desa (melalui kelembagaan dibawahnya
seperti kader PKK, kader Posyandu, Kelompok Usaha Ekonomi, dll), Pemerintah Kecamatan dan
BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa), lembaga keagamaan lokal seperti Pesantren dan Gereja, bisa
menjadi inisiator dan memulai kegiatan RBM.

Page | 12
Mengelola RBM Tingkat Lokal
Setiap program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga dalam hal ini
kegiatan RBM untuk disabilitas psikososial, dianjurkan untuk menggunakan siklus pengelolaan
kegiatan yang sudah umum diterapkan dalam pelaksanaan program pemberdayaan, yaitu: Analisis
kondisi → Perencanaan kegiatan → Pelaksanaan → Monitoring dan Evaluasi.

Alur Siklus Pengelolaan Kegiatan


Assessment, Identifikasi
Permasalahan,
Analisa kondisi

Monitoring &
Evaluasi Perencanaan

Pelaksanaan

Menemukan praktik-praktik baik


Perlu dilakukan refleksi, menemukenali, atau merumuskan “praktik-praktik baik” (kadang disebut
juga kisah-kisah sukses) atas kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan. Dalam teori pemberdayaan
masyarakat biasanya disebut knowledge management (mengelola pengetahuan pembelajaran) atau
evidence base (temuan-temuan positif bermanfaat). Kegiatan ini bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu
mendiskusi tema tersebut di dalam Tim pelaksana kegiatan atau meminta bantuan pihak lain
misalnya mahasiswa, akademisi, atau aktivis pemberdayaan masyarakat. Rumusan praktik-praktik
baik ini seyogyanya dituliskan dalam bentuk kisah-kisah pendek disertai dokumentasi, serta
diarsipkan dengan baik. Praktik-praktik baik ini sangat bermanfaat untuk (1) membantu
merumuskan kegiatan-kegiatan lanjutan secara lebih baik, (2) sebagai bahan promosi dan advokasi
kepada pihak-pihak lain, baik melalui publikasi media sosial maupun pertemuan-pertemuan. [###]

Refferensi Bacaan
Link: https://nawakamalfoundation.blogspot.com
CBR Guidelines: “Towards Community-Based Inclusive Development”. World Health Organization,
2010.
“Community-Based Rehabilitation and Habilitation for Inclusive Society” (Background paper
prepared by the Secretariat ) Conference of States Parties to the Convention
on the Rights of Persons with Disabilities, Sixth session. New York, 17-19 July 2013.
Community Mental Health Good Practice Guide: “Peer Support”. CBM: Global Disabilitu Inclusion. Dr.-
Werner-Freyberg-Str, Laudenbach, Germany
Keputusan Menteri Kesehatan No. 220/MENKES/SK/III/2002 Tentang Pedoman Umum Tim Pembina,
Tim Pengarah, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TP-KJM).
Konsep RBM Untuk Pemberdayaan PWDs. PPRBM-Solo, 1990.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Page | 13
World Health Organization Meeting Report on The Development of Guidelines for Community Based
Rehabilitation (CBR) Programmes (1st and 2nd November 2004, Geneva, Switzerland).

Penulis:
Emilianus Elip: Berlatar belakang pendidikan Antropologi. Direktur Yayasan Nawakamal Mitra
Semesta. Berpengalaman panjang dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat dan pembangunan,
baik di LSM maupun membantu beberapa kementerian sebagai tenaga ahli lepas.
Aspi Kristiati: Berlatar belakang pendidikan D-3 Keperawatan, S-1 Kesehatan Masyarakat, dan S-2
Psikologi Sosial. Berpengalaman lebih dari 20 tahun bekerja di Unit Kesehatan Jiwa Masyarakat di
RSJ Ghrasia Prov. D.I. Yogyakarta.

Page | 14

Anda mungkin juga menyukai