Anda di halaman 1dari 22

AKSESIBILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN BAGI PENYANDANG

DISABILITAS TUNA RUNGU/TULI DI KOTA MAKASSAR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan budaya tolerasi serta rasa empati. Setiap warga negara
berhak mendapatkan segala hak oleh karena kedudukannya sebagai warga negara
Indonesia. Adapun hak ini wajib diberikan tanpa membedakan kondisi fisik individunya.
Hak asasi hakikatnya bersifat universal yang artinya hak-hak ini diberikan kepada setiap
orang tanpa ada keterbatasan pada jenis kelamin, warna kulit, usia, serta agama. Dari
jutaan masyarakat yang ada di Indonesia, tergolong banyak orang yang merupakan
penyandang Disabilitas atau sering kali disebut difabel. Setiap warga negara berhak
mendapatkan segala hak yang sama, oleh karena itu penyandang disabilitas atau difabel
juga memiliki hak yang sama dengan masyarakat umumnya termasuk dalam hal
pelayanan publik.

Disabilitas adalah keterbatasan atau ketidakmampuan individu untuk melakukan


kegiatan-kegiatan dengan cara dan ukuran yang lazim dianggap normal bagi manusia pada
umumnya, hal ini disebabkan karena adanya gangguan atau penurunan kemampuan dalam
melakukan hal normal manusia pada umumnya dari individu tersebut. Disabilitas
mencangkup orang-orang dengan kekurangan fisik maupun psikis dari lahir atau karena
faktor lain, penyebutan yang biasa digunakan untuk penyandang disabilitas yaitu difabel.

Pemenuhan hak penyandang disabilitas dilakukan berdasarkan beberapa prinsip


salah satunya mengenai prinsip asas kesetaraan yang dimaknai bahwa kondisi berbagai
sistem dalam masyarakat dan lingkungan seperti pelayanan, kegiatan, akses informasi,
dan berkomunikasi dengan pelayanan yang perlu dilakukan dapat mengakomodasi semua
orang termasuk disabilitas. Adanya prinsip tersebut maka masyarakat dan pemerintah
dapat lebih peduli terhadap seseorang yang menyandang disabilitas dengan
menyamaratakan hak-hak penyandang disabilitas tersebut dalam hal fasilitas umum,
kegiatan, dan pelayanan umum.
Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia cukup meningkat dan semakin
membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah karena yang perlu diketahui adalah
penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Adanya
inklusifitas merupakan faktor pendukung agar penyandang disabilitas mampu beradaptasi
pada lingkungan luar yang bebas serta dipandang sama dengan masyarakat biasa dan juga
masyarakat biasa bisa menyesuaikan keadaan dengan penyandang disabilitas atau difabel.

Kata disabilitas tak jarang digunakan untuk menggambarkan atau menggantikan


sebuah kondisi. Seseorang yang mengalami kehilangan fungsi (Tuli/ tidak dapat
mendengarkan), baik sebagian maupun keseluruhan. Namun bukan berarti penyandang
disabilitas tidak mendapat pelayanan atau fasilitas yang layak dari pemerintah. Hal itu
terdapat pada Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa
negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kesehatan dan pelayanan umum
yang layak. Dengan demikian pemerintah wajib untuk menyediakan aksesibilitas yang
layak bagi Penyandang Disabilitas.

Penyandang disablitas memiliki hak dan perlakuan yang sama sebagai warga
negara Indonesia. Menurut UU No.4 tahun 1997 tentang penyandang disabilitas,
menyebutkan bahwa penyandang cacat/disabilitas berhak mendapatkan kesamaan
perlakuan aksesibilitas dalam segala aspek penghidupan. Menurut UU No.19 tahun 2011,
pemerintah harus dapat menciptakan langkah yang tepat untuk melindungi akses
penyandang disabilitas dalam hal pelayanan publik atas dasar kesamaan hak sebagai
warga negara seperti sistem transportasi, informasi, serta kesehatan dan lingkungan hidup.
Menurut UU no 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik pasal 4 disebutkan bahwa azas
pelayanan publik diantaranya kesamaan hak, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dan
pelayanan menyediakan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang


Disabilitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “Penyandang Disabilitas
adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan
warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”. Dilihat dari pengertian yang
terteratersebut dapat dikatakan bahwa penyandang disabilitas mengalami keterbatasan
dalam melakukan kegiatan seperti layaknya masyarakat pada umumnya, seharusnya
seseorang yang disabilitas bisa memperoleh perhatian lebih dari masyarakat serta
pemerintah. Hal ini dikarenakan masyarakat memiliki peran penting dalam kehidupan
sehari-hari bagi para penyandang disabilitas untuk dapat saling bersosialisasi dan
menghargai satu sama lain. Selain masyarakat, pemerintah juga memiliki peran penting
dalam penyediaan fasilitas publik yang akses dan layak untuk para penyandang disabilitas.

Selama bertahun-tahun peanganan masalah penyandang disabilitas di Indonesia


termasuk Kota Makassar tidak pernah tuntas. Adapun pengalaman disabilitas Tuna
rungu/Tuli yang sering melakukan konsultasi/menggunakan jasa pelayanan secara mandiri
sehingga diperlukan pelayanan kefarmasian dengan akses komunikasi dan informasi yang
memadai. Ketersediaan aksesibilitas informasi yang terbatas untuk disabilitas Tuna
rungu/Tuli di dalam apotek atau rumah sakit mengakibatkan proses berkomunikasi dan
penerimaan informasi jadi terhambat. Adapun beberapa keluhan dari penyandang
disabilitas mengenai pelayanan publik hasil penelusuran penulis secara online seperti
dalam www.suarapembaruan.com (2012) yang menyatakan bahwa, “Hotel, Mall, Rumah
Sakit, trasportasi serta banyak fasilitas umum yang belum memberikan pelayanan khusus
bagi penyandang disabilitas”. Filemon adalah teman disabilitas tuli, dia menyatakan
bahwa “Di Rumah sakit ataupun apotek mereka memiliki banyak hambatan dalam bidang
informasi dan komunikasi”. Menurut Bambang Ramadan selaku penyandang disabilitas
Tuna Rungu/Tuli yang sedang berkuliah di Politeknik Pariwisata Makassar menyatakan
bahwa “Kami susah berkomunikasi karena di beberapa Apotek belum bisa berbahasa
isyarat”.

Namun masih banyak ditemukan bahwa fasilitas publik yang diberikan oleh
pemerintah tidak mendukung aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas,
termasuk dalam hal kefarmasian. Penyandang disabilitas kerab di acuhkan dalam proses
pengambilan ataupun pelayanan kefarmasian lainnya, penyandang disbilitas yang tidak di
dampingi biasanya tidak mendapatkan Pelayanan Informasi Obat yang tepat terutama
pada difabel Tuli/Tuna Rungu.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian


lebih mendalam tentang keberadaan Pelayanan Jasa Pelayanan kefarmasian di Apotek
ataupun Rumah sakit di Makassar dengan judul “AKSESIBILITAS PELAYANAN
KEFARMASIAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU/TULI DI
KOTA MAKASSAR”. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
aksesibilitas pelayanan publik terutama dalam kefarmasian bagi penyandang disabilitas
Tuli/Tuna Rungu di berbagai kota di Indonesia termasuk di Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fasilitas dan akses informasi dalam pelayanan kefarmasian di Apotek atau
Rumah sakit bagi Tuna Rungu/Tuli di Kota Makassar?
2. Apa saja determinan (Kendala dan Pendukung) dalam pelayanan kefarmasian di
Apotek atau Rumah sakit bagi Tuna Rungu/Tuli di Kota Makassar?

C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelayanan, disabilitas, dan
kefarmasian. Namun, dalam penelitian ini hanya menggunakan satu variabel karna penulis
tidak membuat perbandingan dari sampel yang digunakan. Ruang lingkup penelitian ini
digunakan fokus penelitian pada jasa pelayanan kefarmasian bagi penyandang disabilitas
Tuna Rungu/Tuli.

D. Kajian Pustaka
Hasil bacaan penulis dari jurnal aksesibilitas penyandang disabilitas, jurnal
pelayanan bagi penyandang disabilitas, Proposal tugas akhir pelayanan disabilitas Tuna
Rungu/Tuli di bandara Sultan Hasanuddin oleh Angkasa Pura 1 Makassar dan Jurnal
Pelayanan Publik Inovatif bagi Penyandang Disabilitas.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui fasilitas dan akses informasi dalam pelayanan kefarmasian di
Apotek atau Rumah sakit bagi Tuna Rungu/Tuli di Kota Makassar?
b. Untuk mengetahui apa saja determinan (Kendala dan Pendukung) dalam pelayanan
kefarmasian di Apotek atau Rumah sakit bagi Tuna Rungu/Tuli di Kota Makassar?

2. Manfaat penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan terutama
yang berkaitan dengan peran Pelayanan Disabilitas Tuna rungu/Tuli di Apotek
ataupun Rumah Sakit di Kota Makassar

b. Manfaat praktis
Untuk masukan kepada tenaga kefarmasian Apotek maupun Rumah sakit
selaku pengelola kefarmasian guna dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada
pengguna jasa khususnya penyandang disabilitas Tuna rungu/Tuli

c. Bagi akademik
Meningkatkan pemahaman tentang faktor–faktor yang mempengaruhi dan
sudah sejauh mana kualitas pelayanan untuk penyandang disabilitas di Apotek
maupun Rumah Sakit dan sebagai masukan atau refrensi bagi peneliti–peneliti
selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pelayanan
Menurut Ferry Fardaus (2010) Konsep Pelayanan bagi Disabilitas Manajemen
pelayanan publik hingga saat ini masih berkisar pada persoalan penyediaan prasarana dan
sarana yang masih jauh dari memadai. Dengan terjadinya dinamika perubahan sosial
ekonomi masyarakat yang disertai perkembangan komunikasi dan informasi yang makin
cepat, persoalan kualitas pelayanan publik menjadi makin banyak dipertanyakan.
Demikian juga pelayanan publik untuk masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda
seperti penyandang cacat, ibu hamil, anak-anak, dan orangtua lanjut usia, yang semula
belum menjadi prioritas, akhir-akhir ini sering menghiasi berbagai media pemberitaan
baik secara nasional maupun lokal.
Aksesibilitas fasilitas umum memang merupakan kebutuhan utama dari para
disabilitas untuk dapat beraktualisasi diri dan sekaligus berpartisipasi penuh dalam
aktifitas bermasyarakat. Ketiadaan fasilitas umum yang aksesibel bagi para difabel ini
telah menyebabkan eksklusifitas bagi para disabilitas di lingkungan masyarakatnya.
Mayoritas para disabilitas hidup dalam taraf ekonomi serta tingkat pendidikan
yang rendah karena tidak adanya ruang publik yang memungkinkan mereka untuk dapat
menjalankan aktifitas ekonomi dan pendidikan secara wajar sebagaimana anggota
masyarakat lain. Di bidang sosial dan budaya para disabilitas tidak memiliki ruang yang
cukup untuk mengekspresikan potensi diri yang dimilikinya. Pada akhirnya peran politik
disabilitas-pun menjadi sangat terbatas karena keterbatasan fasilitas umum yang aksesibel
bagi disabilitas.

B. Pelayanan bagi Disabilitas


Dalam konteks pelayanan pubik, ada tiga komponen yang berdampak pada
kebermanfaatan. Komponen pertama adalah Assets yang terdiri dari Rights, Resources,
Competencies serta Organizational Capital. Komponen kedua yaitu skills yang terdiri
dari Articulation, Crosss Approptiaton serta Reconfiguration. Komponen ketiga adalah
capabilities terdiri dari Networks, Relations dan Regimes (Paquet, 2001). Ketiga
komponen ini menjadi preferensi dan instrumen pelayanan publik bagi penyandang
disabilitas.
Selain itu, penyelenggaraan perlindungan penyandang disabilitas berpedoman
pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perlindungan
Penyandang Disabilitas. Perda inipun dijadikan payung hukum bagi penyandang
disabilitas dalam pemenuhan haknya untuk memperoleh perlindungan dari pemerintah
(khusunya pemerintah daerah) serta memperoleh aksesibilitas (Pasciana, 2020).
Aksesibilitas yang dimaksud yaitu kemudahan yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan dan diberikan khusus untuk para penyandang disabilitas sebagai upaya
pencapaian kesamaan dengan masyarakat pada umunya pada berbagai aspek kehidupan.

C. Faktor Determinan (Kendala dan Pendukung)


Tarsidi, D. (2011) mengatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh disabilitas
Tuna rungu/Tuli yaitu umumnya mereka tidak mungkin dapat memahami pengumuman
melalui pengeras suara pada tempat-tempat umum seperti di bandara atau terminal
angkutan umum. Mereka juga mengalami kesulitan membaca bibir di tempat umum
tersebut apabila memiliki pencahayaan yang buruk dan minimnya simbol-simbol
arahan/petunjuk ataupun mereka bahkan tidak dapat mendengar tanda-tanda sirine bahaya
jika terjadi sebuah insiden karena mereka tidak dapat mendengar bunyi. Hal ini
dikategorikan sebagai hambatan akses yang berasal dari luar individu penyandang
disabilitas (hambatan eksternal).

Selain daripada itu, Tarsidi, D (2011) juga menambahkan bahwa para disabilitas
Tuna rungu/Tuli juga seringkali memiliki hambatan lainnya (hambatan internal) yang
dapat berupa :
a. Kurang rasa percaya diri;
b. Tidak memiliki keterampilan komunikasi yang cukup baik;
c. Kurangnya penguasaan teknik-teknik alternatif untuk mengatasi keterbatasan akibat
ketunaan; seperti memanfaatkan Alat Bantu Dengar (ABD);
d. Tidak mampu menampilkan diri secara pantas (poor grooming and dressing);
e. Penguasaan pengetahuan umum yang tidak memadai seperti simbol-simbol petunjuk
pada tempat pelayanan umum.
Hambatan-hambatan di atas, ditambah dengan kurangnya pemahaman masyarakat
pada umumnya dapat mempengaruhi aksesibilitas akan kebutuhan khusus para
penyandang disabilitas.
Sehingga sangat dibutuhkan faktor-faktor pendukung yang dapat bermanfaat bagi
aksesibiltas para disabilitas Tuna rungu/Tuli. Diantaranya dapat berupa :
a. Desain arsitektural bagunan yang ramah bagi penyandang diasbilitas;
b. Penyediaan papan-papan informasi yang terdiri dari simbol-simbol petunjuk yang
disertai dengan deskripsinya;
c. Pelayanan dari petugas yang ditugaskan secara khusus yang mahir akan komunikasi
dengan Bahasa isyarat.
d. Sebuah alat yang dapat berfungsi untuk penyandang disabilitas dengan contoh Remot
Antrian.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pentingnya aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas adalah untuk menjamin kemandirian dan partisipasi mereka dalam
segala bidang kehidupan di masyarakat.

D. Fasilitas Sarana dan Prasarana bagi Disabilitas


Menurut Kotler (2013) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang bersifat
peralatan fisik dan disediakan oleh pihak penjual jasa untuk mendukung kenyaman
konsumen disebut fasilitas. Adapun menurut Yoeti (2015) menyatakan bahwa fasilitas
merupakan segala sesuatu baik benda maupun jasa yang menyertai pelayanan yang
diberikan oleh perusahaan baik perusahaan jasa, dagang maupun perusahaan industri.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa fasilitas adalah
sumber daya fisik yang ada dalam suatu jasa yang ditawarkan kepada konsumen.
Dari pengertian tersebut, maka setiap penyandang disabilitas sebagai konsumen
pengguna jasa berhak mendapatkan fasilitas khusus yang dibutuhkan. Baik dalam
pemenuhan aksesibilitas pada sarana dan prasarana umum maupun lingkungan yang
meliputi bangunan umum, ruang tunggu, restoran, tempat pelayanan.
Dapat disimpulkan bahwa pelayanan khusus bagi disabilitas dapat dilakukan
melalui kemudahan:
a. melakukan pembayaran pada loket/kasir
b. melakukan antrian
c. mengisi formulir
d. menyeberang jalan
e. naik dan/atau turun dari sarana angkutan umum
f. akses informasi di dalam ruang tunggu dan ruang restoran
Berbagai hal di atas merupakan standar ideal formal dan normatif yang harus
dipenuhi di tempat pelayanan umum, sebab penyandang disabilitas sesungguhnya juga
merupakan warga masyarakat yang hak dan kewajibannya setara dengan masyarakat lain
yang dapat dikatakan “normal” secara fisik.

E. Disabilitas
Menurut Marjuki (2012) Penyandang disabilitas atau difabel adalah istilah yang
ditujukan kepada seseorang yang memiliki gangguan atau masalah pada fungsi tubuh atau
strukturnya.
Menurut Undang – Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,
pada Pasal 1 Bab 1 menyatakan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang
mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/ atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan
kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.

Penyandang disabilitas dapat di klasifikasikan ke dalam 7 golongan menurut


Marjuki (2012) yaitu :
a. Disabilitas Netra :
Disabilitas netra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
b. Disabilitas Rungu dan Tuli :
- Disabilitas rungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran
baik permanen maupun tidak permanen.
- Tuli adalah Seorang mengalami hambatan pendengaran yang dapat
berkomunikasi dengan Bahasa isyarat dan mempunyai identitas unik dirinya.
c. Disabilitas Wicara :
Disabilitas wicara adalah individu yang memiliki hambatan dalam berbicara
atau bisu.
d. Disabilitas Daksa :
Disabilitas daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan,
sakit atau akibat kecelakaan, amputasi, polio, dan lumpuh.
e. Disabilitas Laras :
Disabilitas laras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial.

f. Disabilitas Grahita :
Disabilitas grahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan
berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi
prilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
g. Disabilitas Ganda :
Tuna ganda adalah individu yang memiliki kombinasi kelainan (baik dua jenis
kelainan atau lebih).

F. Pengertian Hak Disabilitas


Di dalam menunjang terjaminnya pemenuhan aksesibilitas dikenal istilah
aksesibel yaitu, kondisi suatu tapak, bangunan, fasilitas atau bagian darinya yang
memenuhi persyaratan teknis aksesibilitas berdasarkan pedoman. Maka dalam upaya
mendukung aksesibel tersebut, dikenal beberapa asas dan prinsip. Asas-asas aksesibilitas
tersebut ialah:

1) Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan;
2) Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat yang bersifat umum
dalam suatu bangunan;
3) Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam satu lingkungan
terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang;
4) Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai atau masuk dalam
mempergunkan semua tempat atau bangunan yangbersifat umum dalam suatu
lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Setelah mengetahui tentang asas-asas aksesibilitas penting pula mengetahui apa


saja prinsip dari aksesibilitas, yaitu :
1) Prinsip dasar aksesibilitas: Tidak ada lingkungan, binaan yang dirancang dengan
mengabaikan sekelompok masyarakat di dasarkan semata-mata ketidakmampuan
karena cacat atau lemahmental. Tidak ada sekelompok masyarakat yang dihilangkan
atau di kurangi hak keikutsertaan dan kesempatan menikmati suatu lingkungan
sehubungan dengan perbedaan kemampuannya.
2) Prinsip-prinsip perencanaan aksesibilitas. (Barrier free principles) Prinsip pokok
awal (sederhana, jelas). Semuaorang harus dapat mencapai ke semua tempat atau
bangunan pada suatu kawasan / lingkungan binaan (built environtment). Semua
orang harus dapat masuk ke dalam semua tempat atau bangunan pada suatu
kawasan/lingkungan binaan.Semua orang harus dapat memperguanakan semua
fasilitas yang ada di dalam suatu lingkungan binaan. Dapat di simpulkan “Semua
orang harus mencapai, masuk dan mempergunakan semua fasilitas yang ada suatu
kawasan binaan tanpa merasa menjadi objek belas kasihan. (object of harity).”
3) Prinsip perencanaan aksesibilitas (pengembangan prinsip awal), yaitu sebagai
berikut:
a) Adil dalam penggunaan, yaitu suatu desain harus dapat di gunakan dan di
pasarkan untuk semua;
b) Flexible dalam penggunaan yaitu suatu desain yang mengakar pada lebarnya
jarak antara pilihan dari pengguna;
c) Sederhana yaitu suatu desain yang mudah dimengerti, tidak memerlukan
pengalaman khusus pemahaman bahasa, atau level konsentrasi yang tertentu;
d) Mudah di pahami yaitu suatu desain yang mampu mengkomunikasikan
informasi dengan efektif kepada pengguna, tanpa memerlukan tingkat
kemampuan sensorik/indra tertentu;
e) Mentolerir adanya kesalahan yaitu suatu desain yang mampu meminimalkan
resiko dan kemungkinan yang merugikan. contoh: kecelakaan maupun hal-hal
yang tidak di inginkan;
f) Tidak memerlukan upaya fisik yang berat yaitu suatu desain yang dapat
digunakan secara efisien dan nyaman dengan kelelahan minimum. (dari segii
energy);
g) Ketepatan ukuran ruang untuk mencapai dan menggunakan yaitu ketepatan
ukuran ruang untuk mencapai dan menggunakan tanpa memerlukan tingkat
ukuran tuubuh, postur dan kemampuan mobilitas tertentu.
Tujuan dari mengenal dan pemenuhan akan asas dan prinsip akan aksesibilitas
ialah menuju suatu lingkungan dengan fasilitas yang aksesibel bagi semua orang / pihak.

G. Pengertian Hak Aksesibilitas


Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya kurang lebih
kemudahan. Jadi aksesibilitas dapat kita pahami sebagai kemudahan yang diberikan pada
penyandang cacat untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dari tidak
berfungsinya bagian-bagian tubuh si penyandang cacat. Sejauh ini masyarakat hanya
mengetahui bahwa kata aksesibilitas hanya berkaitan dengan penyandang ketunaan
fisik saja. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli yang hanya memperhatikan
aksesibilitas bagi penyandang ketunaan fisik saja sedangkan bagipenyandang kecacatan
intelejensi dan emosi masih kurang diperhatikan.
Pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas Pasal 1 angka 8 menyatakan bahwa:
“Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan”.

Lebih lanjut lagi di dalam pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa :


“penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan
yang lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat”

H. Fasilitas Aksesibilitas bagi Tuna rungu/Tuli di Tempat Umum


Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang disabilitas
guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.
Adapula pengertian aksesibilitas yang tercantum pada Undang-undang No 4 Tahun 2012
pada Pasal 1 ayat (13) yaitu “Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi
Penyandang Disabilitas dan orang sakit guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.”Aksesibilitas merupakan hal yang penting
guna mewujudkan kesamaan bagi para penyandang disabilitas, dengan adanya
aksesibilitas dapat mempengaruhi keberadaan seseorang dan dapat menunjang aktivitas
para penyandang disabilitas.
Disabilitas Tuna rungu dan Tuli menurut Marjuki (2012) adalah berikut :
- Disabilitas Tuna rungu adalah indivu yang memiliki hambatan dalam mendengarkan
baik permanen maupun tidak permamen
- Disabilitas Tuli adalah seorang mengalami hambatan pendengaran yang dapat
berkomunikasi dengan Bahasa Isyarat dan mempunyai identitas unik dirinya.
Lebih lanjut, pada Pasal 1 ayat (8) dijelaskan bahwa: “Aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas guna mewujudkan kesamaan
kesempatan” Berdasarkan ketentuan di atas, aksesibilitas bagi disabilitas diberikan
dengan tujuan yang menunjang aktivitas bagi disabilitas tersebut untuk dapat menjalani
hidup dengan standar dan kualitas yang sama dengan masyarakat lainnya. Fasilitas
aksesibilitas untuk Disabilitas Tuna rungu/Tuli di tempat umum meliputi :
a. Akses Informasi
Kata “akses” dalam kamus Bahasa Indonesia adalah jalan masuk (KBBI,
1989;16). Menjelaskan akses informasi adalah kemudahan berkomunikasi Bahasa
Isyarat yang diberikan mengatakan menggunakan Bahasa isyarat kepada seseorang
atau pustakawan untuk memperoleh informasi public khusus penumpang Tuna
rungu/Tuli yang dibutuhkan akses informasi. Sedangkan istilah informasi berasal dari
Bahasa Inggris (information), menurut jayadi (2009:11), Hingga hal yang kata
informasi belum memenuhi sesuatu denfinisi yang baku karena setiap denfinisi hany
mengacu pada konteks dimanapun kata informasi digunakan Bahasa Isyarat,
terkadang mendapatkan mendenfinisikan informasasi sangat berbeda namun kadang
sangat mirip tergantung kemampuan pendekatan yang digunakan oleh ahli tersebut.
b. Berkomunikasi dengan Bahasa Isyarat.
Mursita, R. A. (2015) mendefinisikan bahwa Bahasa Isyarat adalah cara
berkomunikasi yang digunakan tunarungu dalam menyampaikan pesan dan
memahami pesan
c. Pendampingan khusus Disabilitas.
Yang dimaksud dengan pendampingan khusus disabilitas menurut Perempuan, K.
P. (2013) menangani orang-orang dengan berkebutuhan khusus, dengan pengetahuan
yang memadai mengenai disabilitas tersebut. Seperti keterampilan mengasuh dan
melayaninya.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis, Lokasi, dan Waktu Penelitian


Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah berdasarkan kualitatif dan
menggunakan sampel beberapa penyandang disablitas Tuna Rungu/Tuli dan Apoteker di
beberapa Apotek maupun Rumah sakit di Kota Makassar. Lokasi pelaksanaan survey
penelitian adalah Apotek maupun Rumah Sakit di Kota Makassar. Waktu penelitian dari
mulai dari tanggal 12 Mei 2022 sampai dengan 16 Mei 2022.

B. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, karena
hanya akan meneliti satu variabel saja. Sugiyono (2011:35) menyatakan ”Rumusan
masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang berkenaan dengan pertanyaan
terhadap keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel atau lebih (variabel
yang berdiri sendiri).” Jadi dalam penelitian ini penulis tidak membuat perbandingan
variabel itu pada sampel yang lain dan mencari hubungan variabel itu dengan variabel
lain dan hanya berfokus pada satu variabel saja.

C. Populasi dan Sampel


Populasi dan sampel yang penulis gunakan adalah beberapa Teman Tuna
Rungu/Tuli yang memiliki keluhan mengenai pelayanan kefarmasian di Apotek maupun
di Rumah Sakit serta dari pihak Apoteker di Apotek ataupun Rumah Sakit Kota Makassar.

D. Instrumen Penelitian
Alat dan bahan atau Instrumen penelitian yang digunakan penulis adalah Formulir
Wawancara serta alat remote antrian. Kehadiran peneliti dalam proses penelitian dalam
metode penelitian deskriptif berperan sebagai instrument penelitian sekaligus
pengumpulan data.
Berdasarkan metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif yang
dimana peneliti mengumpulkan data sehingga dapat menarik sebuah kesimpulan terhadap
penelitian.
E. Prosedur Kerja
Menurut Lofland (Moleong, 2013) “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif
ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.
Sumber data akan diambil dari dokumen, hasil wawancara, catatan lapangan dan hasil dari
observasi.
Observasi akan dilakukan di beberapa Apotek dan Rumah sakit di Kota Makassar
dengan mempertimbangkan kendala yang di alami oleh penyandang disabilitas Tuna
Rungu/Tuli. Dan penulis akan melakukan sosialisasi mengenai alat remote antrian yang
dapat digunakan untuk penyandang disabilitas Tuna Rungu/Tuli sebagai pembantu saat
pengambilan obat di Apotek Maupun Rumah Sakit di Kota Makassar.
Remote Antrian yang akan digunakan berguna untuk Penyandang disabilitas Tuna
Rungu/Tuli saat mengantri untuk pengambilan obat di Apotek. Remote antrian ini akan
menyala dan bergetar saat obat yang di pesan sudah tersedia dan siap ambil. Menurut
penulis dan beberapa penyandang disabilitas Tuna Rungu/Tuli bahwa alat ini akan sangat
berguna bagi mereka yang ingin membeli obat di Apotek.

F. Teknik Pengelolaan dan Analisa Data


Sampling peneliti yang digunakan oleh peneliti adalah sampling purposeful.
Creswell (2015) menjelaskan konsep tentang sampling purposefull digunakan dalam
penelitian kualitiatif. Hal ini berarti bahwa sang peneliti memilih individu-individu dan
tempat problem riset dan fenomena dalam studi tersebut.
Menurut Kusmayadi dan Sugiarto (2000:80) “Data primer adalah data yang
diperoleh dengan jalan dikumpulkan sendiri oleh peneliti dan langsung dari objek yang
diteliti.” Dalam pelaksanaannya penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan atau data dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara subyek penelitian (peneliti) dan responden
Sugiarto (2000) Dalam hal ini penulis melakukan tatap muka secara langsung
dengan Apoteker dan beberapa penyandang disabilitas Tuna Rungu/Tuli untuk
mengetahui secara lebih dalam objek permasalahan yang sedang diteliti.
Wawancara yang akan dilakukan adalah jenis wawancara terstruktur, yakni
secara umum dalam wawancara terstruktur pewawancara menentukan terlebih
dahulu data yang diperlukan. Pewawancara juga menyusus pertanyaan-pertanyaan
dengan cara-cara tertentu agar memunculkan jawaban-jawaban yang
berkorespondensi dengan kategori-kategori yang sudah ditentukan pada aspek teori.
Wawancara terstruktur lebih sering digunakan dalam penelitian survey, walapun
dalam beberapa situasi juga dilakukan dalam penelitian kualitatif. Wawancara bentuk
ini sangat terkesan seperti interogasi karena sangat kaku dan pertanyaan harus
diajukan dengan format dan urutan yang betul-betul sama kepada subjek.
Dengan demikian, dalam banyak hal wawancara terstuktur, fungsi penelitian
sebagaian besar hanya mengajukan pertanyaan dan subjek penelitian hanya bertugas
menjawab pertanyaan saja. Terlihat adanya garis yang tegas antara peneliti dengan
subjek penelitian. Menurut Herdiansyah (2015) selama proses wawancara harus
(guide interview) yang telah dipersiapkan.
Panduan Wawancara (guide interview) :
a) Apoteker
1) Bagaimanakah proses perencanaan sebuah Apotek untuk penyandang
disabilitas penggunaan jasa pelayanan kefarmasian?
2) Bagaimana kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pihak manajemen
terhadap penyandang disabilitas penguna jasa pelayanan kefarmasian?
3) Apakah ada hasil evaluasi terhadap pelayanan yang dilakukan?

b) Disabilitas
1) Bagaimana presepsi kualitas pelayanan yang diterima di Apotek?
2) Bagaimana akses informasi untuk penyandang disabilitas Tuna Rungu/Tuli
di Apotek?
3) Apa saja fasilitas yang disediakan oleh pihak Apotek?
4) Apakah alat remote antrian dapat membantu penyandang disabilitas Tuna
Rungu/Tuli untuk jasa pelayanan kefarmasian di Apotek?
2. Dokumentasi
Dokumentasi menurut Sugiyono (2015:329) adalah suatu cara yang digunakan
untuk memperoleh data dan informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan
angka dan gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung
penelitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data kemudian ditelah.
Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi silabus, informasi dan
pelayanan Apotek.
Pendekatan selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dokumentasi. Dimana pendekatan ini berfungsi berfungsi sebagai pengumpul data
yang telah tersedia baik dari dokumen publik maupun dari dokumen privat. Kembali
lagi Creswell, menjelaskan kelebihan-kelebihan pendekatan dokumentasi adalah
sebagai berikut :
a) Meungkinkan peneliti memperoleh Bahasa dan kata-kata terkstual dari
partisipan.
b) Dapat diakses kapan saja – sumber informasi yang tidak terlalu menonjol.
c) Menyajikan data yang berbobot. Data ini biasanya sudah ditulis secara
mendalam oleh partisipan.
d) Sebagai bukti tertulis, data ini benar-benar dapat menghemat waktu peneliti
dalam mentranskrip (Creswell, 2014)
e) Foto. Penelitian menggunakan foto untuk menunjukkan bagaimana fasilitas dan
aksesibilitas dan juga proses waancara yang akan dilakukan oleh peneliti.
f) Screenshot social media. Penelitian mengumpulkan komentar dan kritik dari
pengguna fasilitas dan aksesibilitas yang diberikan pihak bandara yang berada
dari disabilitas ataupun non disabilitas.
DAFTAR PUSTAKA

Creswell, John W.(2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset – Memilih di antara Lima
Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ferry Firdaus.(2010). Aksesesibilitas Dalam Pelayanan Publik Untuk Masyarakat Dengan


Kebutuhan Khusus. Samarinda: Jurnal Borneo Administrasi.

Jayadi, Ahmad. (2009). Kebutuhan Informasi Pengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA)
Masjid Raya Indah. Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya
Universitas Indoensia.

Kotler. (2013). Prinsip-Prinsip Pemasaran, Erlangga, Jakarta

Mursita, R. A. (2015). Respon tunarungu terhadap penggunaan sistem bahasa isyarat


indonesa (sibi) dan bahasa isyarat indonesia (bisindo) dalam komunikasi. INKLUSI
Journal of Disability Studies.

Paquet, G. (2001). The New Governance, Subsidiarity, and the Strategic State,
Governance in the 21st Century. In OECD.
Pasciana, Rostiena.(2020). Pelayanan Publik Inovatif bagi Penyandang Disabilitas. Garut :
Universitas Garut.

Perempuan, K. P. (2013). Panduan penanganan anak berkebutuhan khusus bagi pendamping


(orang tua, keluarga, dan masyarakat). Kementrian Perlindungan Anak dan
Perempuan: Jakarta.

Tarsidi, D. (2011). Kendala umum yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengakses
layanan publik. Jassi Anakku, 10(2), 201-205.
Yoeti, Oka A. (2015), Tours And Travel Marketing. Jakarta : Pradnya Paramita.

Anda mungkin juga menyukai