Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

MATA KULIAH HUKUM HAM DAN HUMANITER INTERNASIONAL


KONTEMPORER

Disusun Oleh :
Septi Rahmawati (21/483912/PHK/11406)

Dosen Pengampu:
Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M. (HR)., Ph. D.

MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
1. Issue yang muncul dan diperdebatkan terkait Disabilitas, yaitu:
a. Kesetaraan dan non-diskriminasi (pasal 5)
1) Pasal 2 UU No. 8/2016 menekankan prinsip non-diskriminasi dan
kesetaraan. Penyandang disabilitas berhak atas kebebasan dari diskriminasi
(Pasal 5 UU No. 8/2016), termasuk hak untuk bekerja di sektor publik dan
swasta (Pasal 11 dan 45) dan hak atas layanan publik (Pasal 19). Hak-hak
tersebut selanjutnya ditegaskan dalam Bab 22 Undang-undang ini. Pasal 144
dan 145 Undang-Undang ini menyebutkan sanksi yang dikenakan kepada
siapa saja yang menghalangi penikmatan hak-hak disabilitas.

2) Namun Undang-Undang ini tidak merinci prinsip non-diskriminasi dan


sanksi yang dikenakan kepada pelanggarnya. Belum ada mekanisme untuk
meminta pertanggungjawaban pelanggar. Oleh karena itu, UU tersebut tidak
memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan penyandang disabilitas.
Perlakuan yang tidak setara dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas
masih tersebar luas.
3) Misalnya, Pemerintah sedang membangun Sekolah Inklusif di seluruh
negeri; namun, program ini tidak secara signifikan memperluas akses
penyandang disabilitas ke pendidikan. Ada kasus di mana anak-anak
penyandang disabilitas intelektual ditolak masuk ke sekolah inklusi karena
sekolah tersebut mewajibkan tes IQ sebagai bagian dari prosedur
penerimaannya; sedangkan anak tunagrahita umumnya memiliki IQ yang lebih
rendah. Hasil tes IQ ini digunakan untuk menolak lamaran anak tunagrahita.

b. Perempuan Penyandang Disabilitas (Pasal 6)


1) Hak-hak anak penyandang disabilitas dijamin dalam UU No. 8 tahun
2016, Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 4 Tahun 2017
tentang Perlindungan Khusus Anak Disabilitas. Terlepas dari undang-undang
dan peraturan tersebut, perlindungan hak-hak anak penyandang disabilitas
tetap menjadi isu besar di Indonesia.

2) Berdasarkan kasus-kasus yang diusung WKCP, masalah utama yang


dihadapi anak-anak dengan cerebral palsy (CP) adalah keterlambatan
diagnosis, yang berkisar hingga bertahun-tahun, sehingga gangguan tersebut
semakin berkembang. Diagnosis dan pengobatan yang salah juga sering terjadi
karena fasilitas medis dan sumber daya manusia yang tidak memadai.

3) Anak tunarungu seharusnya dilatih untuk menggunakan bahasa isyarat


oleh orang tua atau keluarganya, namun dalam praktiknya tidak demikian
karena terbatasnya kesadaran, pengetahuan dan sumber daya orang tua.
Mereka dipaksa untuk belajar bahasa verbal, sementara terapi wicara hampir
tidak tersedia. Sebuah survei yang dilakukan oleh GERKATIN dan Dr. Mario
pada tahun 2019 menunjukkan bahwa hampir 90% penyandang disabilitas
pendengaran mengalami depresi .

4) Saat mengakses layanan kesehatan masyarakat, seringkali anak


tunarungu tidak ditangani oleh dokter spesialis, dan mereka mendapatkan
diagnosis yang tidak komprehensif. Mereka juga diberi resep obat jangka
panjang, namun orang tua dan anak-anak tidak memahami manfaat obat
tersebut.
5) Anak penyandang disabilitas seringkali menjadi korban eksploitasi
oleh keluarga atau komunitasnya sendiri, seperti membuat mereka menjadi
pengemis. Biasanya pemerintah daerah turun tangan dengan mendisiplinkan
anak jalanan, namun belum ada tindakan yang komprehensif untuk menjawab
kebutuhan anak jalanan penyandang disabilitas yang menjadi korban
eksploitasi

c. Anak-anak Penyandang Disabilitas (Pasal 7)

1) Kampanye yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia masih bersifat


parsial dan simbolis; kampanye ini belum menjawab pertanyaan tentang
bagaimana pejabat negara, lembaga pemerintah, sektor swasta, dan
masyarakat pada umumnya harus menghormati dan melindungi hak-hak
penyandang disabilitas. Dalam beberapa kasus, pejabat pemerintah memiliki
pengetahuan yang terbatas tentang pentingnya menyediakan penerjemahan
bahasa isyarat, alat bantu, dan fasilitas yang dapat diakses dan layak bagi
penyandang disabilitas. Padahal program disabilitas telah dimasukkan ke
dalam anggaran pemerintah pusat dan daerah (APBN/APBD). Ketika anggota
DPO diundang ke lokakarya, pemerintah tidak memberikan interpretasi bahasa
isyarat, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki anggaran untuk
tujuan tersebut.

2) Kesadaran akan pentingnya memastikan partisipasi OPD dalam


perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan program pemerintah masih
sangat rendah. Dalam banyak kasus, DPO terlibat dalam proses perencanaan,
namun wawasan dan saran mereka tidak dipertimbangkan. Selain itu, tidak ada
mekanisme akuntabilitas dan transparansi untuk memastikan bahwa saran dan
wawasan DPO ditanggapi dengan serius dalam proses pembuatan kebijakan.
3) Pemerintah Indonesia memiliki apa yang disebut Pedoman Nasional
Kusta, namun tidak dilaksanakan dengan baik oleh kementerian terkait.
Program pengentasan penyakit kusta yang seharusnya mencegah penderita
kusta menjadi cacat, tidak berjalan efektif. Hal ini terlepas dari Peraturan
Menteri Kesehatan No. 11 tahun 2019 tentang Penatalaksanaan Kusta, yang
menjelaskan secara rinci tentang deteksi dini dan observasi pasca RFT (lepas
dari pengobatan).

d. Aksebilitas (Pasal 9)

1) UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan khususnya Pasal


18 UU tersebut, mewajibkan aksesibilitas dan desain universal. Pemerintah
juga telah mengadopsi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat No. 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Bangunan Gedung. Peraturan
ini menetapkan bahwa sekolah, kantor, perumahan, dan bangunan umum harus
dapat diakses oleh penyandang disabilitas.

2) Pemerintah juga telah menyusun berbagai kegiatan untuk


meningkatkan aksesibilitas pelayanan publik, sebagaimana dijelaskan dalam
Laporan Pemerintah Indonesia, namun kegiatan tersebut tidak memerlukan
partisipasi wajib dari semua sektor pemerintah dan swasta terkait.

3) Hal ini menghambat implementasi penuh dari peraturan yang ada.


Banyak bangunan milik pemerintah dan swasta yang tidak memenuhi standar
yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri tersebut. Misalnya, banyak kantor
yang tidak ramah terhadap pengguna kursi roda karena mejanya yang tinggi.
Mereka tidak menyediakan teks berjalan dan teknologi ucapan sehingga
menyulitkan penyandang disabilitas pendengaran dan penglihatan untuk
menerima informasi.

4) Selain itu, sistem transportasi umum di Indonesia tidak dapat diakses


oleh penyandang disabilitas. Misalnya, penyandang disabilitas wajib
menandatangani surat pernyataan sakit untuk mengakses layanan
penerbangan. Pada umumnya, fasilitas transportasi darat seperti halte bus,
stasiun kereta api, bandara, stasiun bus, dan pelabuhan tidak dapat diakses
oleh penyandang disabilitas visual dan pengguna kursi roda. Sebagian besar
fasilitas tersebut tidak dilengkapi dengan running text dan braille.
e. Situasi Risiko dan Kedaruratan Kemanusiaan (Pasal 11)

1) Berkaitan dengan manajemen bencana, kebijakan ramah disabilitas


diadopsi hanya ketika OPD melakukan intervensi. Meskipun Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengadopsi Peraturan No.
14 tahun 2014, hingga tahun 2019 baru dua dari tiga puluh empat provinsi
yang telah membentuk Unit Pelayanan Disabilitas; ini termasuk Jawa Tengah
dan Papua Barat. Demikian pula, hanya 7 dari 500 kabupaten/kota , semuanya
di Jawa Tengah yang telah membentuk unit yang sama.
2) BNPB telah melibatkan DPO dalam penanggulangan bencana, namun
partisipasi ini masih harus ditingkatkan di daerah rawan bencana. DPO tidak
termasuk dalam revisi UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana;
akibatnya UU tersebut tidak memuat prinsip-prinsip hak disabilitas, dan tidak
ada upaya untuk merevisi UU tersebut.
3) Beberapa catatan tentang penanggulangan bencana adalah sebagai
berikut:
a) Umumnya, kamp-kamp bantuan bencana tidak dilengkapi
dengan toilet yang dapat diakses, lokasi yang dapat diakses, dan
informasi yang dapat diakses.
b) Negara tidak menjamin tersedianya sistem peringatan dini yang
dapat diakses oleh penyandang segala bentuk disabilitas. Termasuk
juga data penyandang disabilitas yang tinggal di lokasi rawan bencana.

2. Implementasi dan pemantauan nasional dari berbagai Issue terkait Disabilitas,


sebagai berikut:
Indonesia menggarisbawahi pentingnya pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan dan program yang relevan dengan penyandang disabilitas agar sejalan dengan
CRPD dan UU No.8 tahun 2016 serta kerangka hukum dan mekanisme pelaksanaan lainnya.
Pasal 42 ayat (4) UU No.8 tahun 2016 mengamanatkan pemerintah daerah untuk membentuk
Unit Pelayanan Disabilitas, yang bertugas antara lain memantau dan mengevaluasi kebijakan
dan program terkait penyediaan akomodasi yang layak.

Memperhatikan sifat lintas sektoral dari isu-isu tersebut, Pemerintah telah menunjuk
Kementerian Sosial sebagai focal point Kementerian pada isu-isu disabilitas di tingkat
nasional. Namun, kementerian teknis juga bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan
dan program khusus yang relevan dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing terkait
penyandang disabilitas.

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015–2019 juga


menyediakan mekanisme pemantauan dan pelaksanaannya sendiri yang dilakukan setiap tiga
bulan, dan memberikan penilaian kepada Kementerian/Lembaga terkait yang bertanggung
jawab di bidang perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak
atas penyandang disabilitas. Laporan tersebut akan disampaikan kepada Presiden sebagai
bagian dari pencapaian, akuntabilitas, dan penilaian masing-masing Kementerian/Lembaga
atas tantangan yang akan datang.

UU No. 8 tahun 2016 juga mencanangkan pembentukan Komnas Penyandang


Disabilitas sebagai salah satu NHRI Indonesia, yang akan diatur melalui peraturan lanjutan.

Sementara pembentukan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas sedang dalam


pembahasan, NHRI lain yang ada yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), dan instansi terkait seperti
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Ombudsman RI telah membuat
jaringan prosedur mekanisme pengaduan nasional yang juga tersedia untuk penanganan
pengaduan terkait masalah disabilitas.

Kementerian terkait juga menerima pengaduan individu, seperti Kementerian: Hukum


dan HAM melalui Direktorat Pelayanan Komunikasi Publik (Yankomas), serta
mengembangkan Layanan Komunikasi Publik atas pelanggaran Sistem Informasi HAM/
SIMAS HAM yang dapat diakses melalui website (simasham. kemenkumham.go.id).
Pada perumusan laporan, pemerintah terus melakukan konsultasi dengan DPO untuk
mengumpulkan data, informasi dan tantangan tetap bagi pemerintah terkait dengan
perlindungan dan pemajuan hak-hak penyandang disabilitas. Konsultasi nasional juga telah
dilakukan untuk mensosialisasikan laporan tersebut kepada publik melalui anggota DPR,
LSM, khususnya DPO, dan akademisi.

Anda mungkin juga menyukai