Anda di halaman 1dari 252

MATERI DASAR 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN GANGGUAN


INDERA DAN FUNGSIONAL

I. DESKRIPSI SINGKAT

Modul ini menjelaskan kepada peserta Pelatihan tentang Kebijakan dan strategi
penanggulangan gangguan indera dan fungsionaldi Indonesia, sebagai acuan dalam
melaksanakan Pelayanan pencegahan dan pengendalian gangguan indera dan
fungsional di FKTP.

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama disebut juga dengan Pemberi Pelayanan Tingkat
Pertama (PPK1). Berdasarkan Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, yang dimaksud dengan FKTP antara lain
Puskesmas atau yang setara.

Kebijakan dan strategi penanggulangan gangguan indera dan fungsionalyang sinergis


dengan kebijakan Kementerian Kesehatan, meliputi upaya promotif dan preventif dengan
tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif, partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat, kemitraan dan jejaring kerja, penguatan peran pemerintah daerah,
pendekatan berjenjang (continuum of care), pendekatan siklus kehidupan, pendekatan
keluarga serta dukungan ketersediaan infrastruktur kesehatan yang memadai dengan
kendali mutu.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta Pelatihan mampu memahami Kebijakan
dan strategi penanggulangan gangguan indera dan fungsional di Indonesia.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti pembelajaran, peserta mampu:
1. Menjelaskan situasi dan kondisi gangguan indera dan fungsional secara global dan
nasional.
2. Menjelaskan program penanggulangan gangguan indera dan fungsional.
3. Menjelaskan strategi penanggulangan gangguan indera dan fungsional.
4. Menjelaskan jejaring kerja kegiatan penanggulangan gangguan indera dan
fungsional.

1
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
A. Dasar Kebijakan & Strategi Penanggulangan Gangguan Indera & Fungsional.
1. Kebijakan Penanggulangan Gangguan Indera.
2. Kebijakan Penanggulangan Gangguan fungsional.

B. Ruang Lingkup Kebijakan & Strategi Penanggulangan Gangguan Indera &


Fungsional.
Ruang lingkup kebijakan dan strategi penanggulangan gangguan indera dan
fungsional meliputi:
1. Situasi dan kondisi gangguan indera dan fungsional global dan nasional
2. Program gangguan indera dan fungsional meliputi:
- Prioritas program gangguan penglihatan dan kebutaan.
- Prioritas program gangguan pendengaran dan ketulian.
3. Strategi penanggulangan gangguan indera dan fungsional.
4. Jejaring kerja kegiatan penanggulangan gangguan indera dan fungsional.

C. Bahan Belajar.
1. Pedoman Umum penanggulangan gangguan indera
2. Pedoman Umum penanggulangan gangguan fungsional.
3. Pedoman teknis penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan.
4. Pedoman teknis penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian.

IV. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


A. Langkah-langkah
1. Narasumber memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan sesi ini (5menit).
2. Curah pendapat (10 menit)
3. Narasumber menyampaikan materi dengan menggunakan power point (45
menit).
4. Narasumber memandu peserta untuk aktif tanya jawab dan diskusi mengenai sesi
ini (30 menit).

B. Metode
1. Curah pendapat
2. Ceramah dan Tanya Jawab (CTJ)

2
C. Media dan Alat Bantu Pelatihan
1. Modul Pelatihan
2. Slide presentasi power point (hand out)
3. Laptop
4. Proyektor Liquid Crystal Display (LCD)
5. Spidol

VI. URAIAN MATERI


A. Kebijakan dan Srategi Pencegahan dan Pengendalian Gangguan Indera di
Indonesia.

Pemerintah telah berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan,


termasuk pembangunan kesehatan yang memungkinkan masyarakat hidup sehat,
produktif, mandiri, dan berkeadilan. Pembangunan Kesehatan di Indonesia
dilaksanakan dengan mengacu kepada amanah Nawacita kelima yaitu meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia.

Kemajuan dan berkembangnya daerah dalam proses pembangunan sehingga


memungkinkan terjadi penurunan kualitas lingkungan khususnya akibat tingginya
aktivitas pada masyarakat seperti industri, transportasi, energi, dan kegiatan lainnya
sehingga menimbulkan potensi risiko kesehatan masyarakat yang semakin meningkat
dan kompleks termasuk masalah indera, maka perwujudan sasaran universal target
Vision 2020: the Right to the Sight dan Sound Hearing 2030 memerlukan upaya yang
terintegrasi untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan penanggulangan gangguan
indera yang didukung oleh multisektoral dan multi program.

Upaya penanggulangan gangguan indera merupakan upaya kesehatan masyarakat


yang dirancang untuk menurunkan angka kesakitan dan kedisabilitasan akibat
gangguan indera dalam rangka meningkatkan kualitas hidup melalui upaya-upaya
yang sistematis dan sesuai dengan kondisi setempat berdasarkan data (evidence-
based) dengan cara promotif, preventif, deteksi dini, pengobatan dan rehabilitasi
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.

Saat ini dan di masa mendatang, kebijakan pembangunan kesehatan, termasuk upaya
penanggulangan gangguan indera diprioritaskan pada upaya promotif dan preventif
tanpa mengurangi kualitas upaya kuratif dan rehabilitatif. Pendekatan pembangunan

3
kesehatan untuk mencapai total coverage saat ini menggunakan pendekatan siklus
hidup dan pendekatan keluarga serta gerakan masyarakat hidup sehat.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang komprehensif agar masalah gangguan
indera dapat ditanggulangi secara efektif dan efisien sehingga tidak menjadi beban
negara dan sekaligus meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya guna memiliki daya saing yang tinggi dan mampu mandiri, berdaulat, dan
berbudaya sesuai dengan kepribadian bangsa.

Guna mendukung mekanisme dan metode penanggulangan gangguan indera,


pemerintah dan pemerintah daerah, perlu melakukan upaya-upaya yang dilandasi
dengan kebijakan dan strategi penanggulangan gangguan indera dengan fokus
melakukan pencegahan, pengendalian, dan penanganan agar mampu menurunkan
kesakitan dan kedisabilitasan akibat gangguan Indera.

1. Kebijakan

a. Penanggulangan gangguan indera didasari pada partisipasi dan pemberdayaan


masyarakat dengan mengoptimalkan kemampuan daerah.
b. Penanggulangan gangguan indera dilaksanakan melalui pengembangan
kemitraan dan jejaring kerja secara multi-disiplin, lintas program dan lintas sektor.
c. Penanggulangan gangguan indera dilaksanakan secara terpadu, baik
pencegahan primer, sekunder maupun tersier.
d. Penanggulangan gangguan indera dikelola secara profesional, berkualitas,
merata dan terjangkau oleh masyarakat melalui penguatan seluruh sumber daya.
e. Penguatan penyelenggaraan surveilans faktor risiko dan registri gangguan indera
sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksanaan program.
f. Pelaksanaan kegiatan penanggulangan gangguan indera harus dilakukan
secara efektif dan efisien dengan intervensi yang tepat

2. Strategi

a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga


dapat terhindar dari faktor risiko gangguan indera
b. Mendorong pelaksanaan pembangunan berwawasan kesehatan sehingga dapat
mengurangi kemungkinan terkena paparan faktor risiko gangguan indera
terhadap masyarakat
c. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat untuk penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang
gangguan indera dan pendampingan terhadap pasien dan keluarganya.
d. Mengembangkan kegiatan deteksi dini gangguan indera yang efektif dan efisien

4
terutama bagi masyarakat yang berisiko.
e. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan institusi,
serta standarisasi pelayanan.
f. Mendorong sistem pembiayaan kesehatan bagi pelayanan kesehatan paripurna
penyandang gangguan indera sehingga dapat terjangkau bagi penduduk kurang
mampu.
g. Meningkatkan penyelenggaraan surveilans faktor risiko dan surveilans penyakit
dengan mengintegrasikan dalam sistem surveilans terpadu di puskesmas
maupun rumah sakit, sehingga dapat digunakan sebagai dasar perencanaan,
monitoring dan evaluasi program penanggulangangangguan indera.

B. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Pengendalian Gangguan Fungsional di


Indonesia.

Data WHO (2011) menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di dunia pada
tahun 2010 adalah sebanyak 15,6 persen dari total populasi dunia atau lebih dari 1
milyar. Hal ini berarti bahwa 15 dari 100 orang di dunia merupakan penyandang
disabilitas. Sekitar 2–4 dari 100 orang tersebut termasuk dalam kategori penyandang
disabilitas berat. Data disabilitas berdasarkan provinsi menurut Riskesdas tahun
2013 menunjukkan, prevalensi penduduk dengan disabilitas tertinggi adalah Sulawesi
Selatan (23,8%) dan terendah adalah Papua Barat (4,6%). Penyebab disabilitas
tertinggi di Indonesia pada kelompok umur 24–59 bulan yaitu Disabilitas Netra,
Disabilitas Wicara, Sindroma Down, Disabilitas daksa, Bibir Sumbing, Disabilitas
Rungu, Disabilitas Grahita dan Cerebral Palsy.

Pemerintah juga telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang


Penyandang Disabilitas untuk lebih meningkatkan jangkauan pengaturan yang
meliputi Pemenuhan Kesamaan Kesempatan terhadap Penyandang Disabilitas
dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, Penghormatan,
Pelindungan, dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, termasuk penyediaan
Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak.

Penguatan terhadap keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakt menjadi kunci
utama agar tercipta keluarga sehat dengan individu yang berkualitas dan peduli
terhadap kesehatan termasuk gangguan fungsional hingga disabilitas. Pembangunan
Kesehatan di Indonesia dilaksanakan dengan mengacu kepada amanah Nawa Cita

5
kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Sebagai rambu untuk
menjamin bahwa proses pembangunan telah memperhitungkan ketersediaan sumber
daya, permasalahan yang dihadapi, perubahan lingkungan strategis, dinamika
budaya, politik, sosial, demografi dan ekonomi secara bijaksana.

Maju dan berkembangnya daerah dalam proses pembangunan, dimungkinkan terjadi


penurunan kualitas lingkungan khususnya akibat aktivitas masyarakat seperti
industri, transportasi, energi, dan kegiatan lainnya sehingga menimbulkan potensi
risiko kesehatan masyarakat yang semakin meningkat dan kompleks termasuk
gangguan fungsional.

Kegiatan penanggulangan gangguan fungsional adalah kegiatan kesehatan


masyarakat yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup melalui upaya-upaya
yang sistematis dan berkelanjutan, sesuai dengan kondisi setempat berdasarkan
data (evidence-based) dengan cara pencegahan, deteksi dini, pengobatan dan
rehabilitasi dengan menggunakan sumber daya yang tersedia.
1. Kebijakan
Untuk mencapai tujuan dan sasaran penanggulangan gangguan
fungsional,kegiatan-kegiatannya dilaksanakan berdasarkan pada kebijakan
operasional sebagai berikut :
a. Penanggulangan gangguan fungsional dilaksanakan secara terpadu, baik
pencegahan primer, sekunder maupun tersier, meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
b. Penanggulangan gangguan fungsional didasari pada partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing daerah (local area spesific), dengan mengoptimalkan
kemampuan daerah.
c. Penanggulangan gangguan fungsional dilaksanakan melalui pengembangan
kemitraan dan jejaring kerja secara multi-disiplin, lintas program dan lintas
sektor.
d. Penanggulangan gangguan fungsional dikelola secara profesional,
berkualitas, merata, berkelanjutan dan terjangkau oleh masyarakat melalui
penguatan seluruh sumber daya.
a. Penguatan penyelenggaraan surveilans faktor risiko dan registri kasus
sebagai bahan informasi bagi pengambilan kebijakan dan pelaksanaan
program.

6
b. Pelaksanaan kegiatan penanggulangan gangguan fungsional harus dilakukan
secara efektif dan efisien melalui intervensi yang tepat.
2. Strategi
Untuk mencapai dan mewujudkan Visi dan Misi Pemerintah maka strategi
operasional kegiatan penanggulangan gangguan fungsional yaitu:
a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat sehingga
dapat terhindar dari faktor risiko gangguan fungsional.
b. Mendorong pelaksanaan pembangunan berwawasan kesehatan dengan
berorientasi terhadap kebutuhan penyandang disabilitas.
c. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan potensi dan peran serta
masyarakat untuk penyebarluasan informasi kepada masyarakat tentang
gangguan fungsional dan kedisabilitasan.
d. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas melalui peningkatan sumber daya manusia dan penguatan
institusi, serta standarisasi pelayanan.
e. Mendorong sistem pembiayaan kesehatan bagi pelayanan kesehatan
paripurna sehingga dapat terjangkau bagi penyandang disabilitas.
f. Meningkatkan penyelenggaraan surveilans faktor risiko dengan
mengintegrasikan dalam sistem surveilans terpadu di puskesmas maupun
rumah sakit, dan surveilans penyakit melalui pengembangan registri terpadu
baik yang berbasis komunitas, rumah sakit, maupun khusus (spesialistik)
seperti: patologi, radiologi dan lain-lain, sehingga dapat digunakan sebagai
dasar perencanaan, pemantauan dan evaluasi program penanggulangan
gangguan fungsional.

C. Jejaring kerja kegiatan penanggulangan gangguan indera dan fungsional


di Indonesia.
Dalam mendukung program penanggulangan gangguan Indera diperlukan
kemitraan/integrasi dengan lintas program/lintas sektor dan kelompok potensial
lainnya. Tenaga kesehatan tidak dapat bekerja sendiri tetapi perlu bekerjasama
dengan berbagai pihak. Tiga prinsip dasar kemitraan yang harus diperhatikan adalah:
(1) kesetaraan, (2) keterbukaan, (3) saling menguntungkan. Jejaring kemitraan dalam
penanggulangan gangguan Indera dilakukan dalam setiap tahapan baik upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

7
JEJARING KERJA KEGIATAN PENANGGULANGAN
GANGGUAN INDERA
Ditjen P2P, Kemenkes • Kemkes/Kementrian lain
• NGO, Profesi, Akademisi
Direktorat P2 PTM ( Subdit , LSM, Komatnas, Komnas
Gangguan Indera & Fungsional) PGPKT
• Dinkes Prov
• NGO, Profesi, Akademisi
PROVINSI • RS Prov
•LSM, Komatda, Komda
PGPKT

KAB/KOTA • Dinkes Kab/kota


RS Kab, Komatda, KomdaPGPKT
•Promosi Kesehatan
PERAWATAN •Deteksi Dini
FKTP/FKRTL •Skrining kasus
•Diagnosa kasus
NON PERAWATAN •Penanganan Kasus
•Habilitasi&Rehabilitasi
•Pencatatan dan Pelaporan

MASYARAKAT KADER •Promosi Kesehatan


•Deteksi Dini

Jejaring Kerja Program Penanggulangan Gangguan Indera

Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan diarahkan untuk:


1. Pemberian advokasi
2. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia, kajian,penelitian, serta kerja
sama antar wilayah, luar negeri, dan pihak ketiga
3. Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi

Pihak-pihak yang dapat terlibat dalam penanggulangan gangguan Indera adalah


sebagai berikut :
1. Lintas Program di Tingkat Kemenkes
Koordinasi Lintas Program di lingkungan Kementerian Kesehatan antara lain :
Ditjen Kesehatan Masyarakat, Ditjen Pelayanan Kesehatan, Balitbang Kesehatan
dan Badan PPSDM, dan sebagainya.
2. Lintas Sektor di Tingkat Pusat
Di tingkat pusat juga dilakukan kerjasama dengan lintas sektor seperti
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian
Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

3. Lintas Sektor di Tingkat Provinsi


Lintas sektor di tingkat provinsi meliputi Dinas Sosial, Kanwil Kementerian
Agama, Dinas Pendidikan dan sebagainya.
4. Lintas Sektor di Tingkat Kabupaten/Kota

8
Lintas sektor di tingkat kabupaten/kota meliputi Dinas Sosial, Kanwil Kementerian
agama, Dinas Pendidikan dan sebagainya.

5. Organisasi Profesi
Organisasi profesi yang terkait dengan penanggulangan gangguan indera
diharapkan ikut berperan dalam seluruh proses penanggulangan gangguan
indera mulai dari pencegahan, pengendalian dan penanganan serta peningkatan
surveilans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana penderita, dan Komunikasi,
Informasi, dan Edukasi (KIE), terutama kajian-kajian/penelitian yang dapat
diaplikasikan untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.

6. Akademisi / Perguruan Tinggi


Akademisi/perguruan tinggi diharapkan dapat turut serta mendukung upaya
penanggulangan gangguan pada indera dengan melakukan penelitian, seminar-
seminar ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan petugas dan juga seminar yang
melibatkan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pengetahuannya dan
kesadaraan untuk berperan aktif dalam pelaksanaan penanggulangan gangguan
pada indera.

7. Komite Penanggulangan Indera


Dalam pelaksanaannya pemerintah dibantu oleh Komite Penanggulangan
Gangguan Indera yang terdiri dari berbagai lintas program dan lintas sektor, LSM
dan organisasi profesi terkait. Komite ini berperan dalam memberikan masukan
dan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menetapkan kebijakan
penanggulangan gangguan gangguan indera.Lintas Sektor yang tergabung dalam
Komite Penanggulangan Indera terdiri dari profesi, akademisi, pemerhati, tokoh
masyarakat, berbagai Kementerian terkait dan organisasi pemerintah dan swasta
lainnya. Untuk melaksanakan upaya penanggulangan gangguan indera agar
mencapai tujuan yang diharapkan, setiap stake holder yang terlibat harus bekerja
seoptimalmungkin. Setiap jejaring yang terlibat sedapat mungkin bekerja secara
sinergis sesuai dengan tupoksi masing-masing. Demikian juga dengan lintas
program dan lintas sektor terkait, organisasi profesi dan LSM peduli terhadap
permasalahan indera, diharapkan ikut memberikan kontribusi secara nyata.

Untuk beberapa daerah yang telah melaksanakan kegiatan penanggulangan


indera dengan membentuk komite daerah atau bentuk lainnya, maka diharapkan
kegiatan tersebut dapat dipadukan dengan rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan dengan memanfaatkan semua potensi yang ada.

9
MATERI INTI 1
KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI

I. Deskripsi Singkat

Gangguan indera (gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran) masih menjadi


masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat baik global maupun nasional.
Gangguan indera dapat terjadi pada seluruh kelompok umur, karena luasnya penyebab
dan faktor risiko terjadinya gangguan. Stigma bahwa gangguan indera bukan
merupakan masalah kesehatan, menyebabkan gangguan indera diabaikan dan baru
dianggap sebagai masalah serius bila menimbulkan kecacatan seperti kebutaan dan
ketulian. Pemerintah berupaya menangani permasalahan gangguan indera, sebab
kesakitan dan kecacatan yang disandang masyarakat akibat gangguan indera
berdampak pada penurunan produktivitas dan kualitas hidup manusia.

Perkembangan teknologi yang cepat di tambah lagi tuntutan pendidikan, membuat


orang memiliki kecenderungan lebih suka menonton televisi, asyik dengan gadget,
laptop/komputer menyebabkan berkurangnya aktivitas di luar ruangan.Dampak dari
semua keadaan tersebut, maka akan timbul gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran. Mengingat permasalahan kompleks yang dihadapi saat ini, pemberian
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat tentang gangguan penglihatan
dan gangguan pendengaran dirasakan sangat penting. Maka ruang lingkup materi KIE
penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengara bagi tenaga
kesehatan di FKTPyang akan dibahas adalah:konsep KIE, dan konseling dan edukasi
gangguan penglihatan dan pendengaran.

II. Tujuan Pembelajaran

A. Tujuan Pembelajaran Umum:


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan konsep KIE dan melakukan
konseling serta edukasi gangguan penglihatan dan pendengaran.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus:
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:

10
1. Melakukan KIE
2. Melakukan konseling serta edukasipadapenderita gangguan penglihatan dan
pendengaran
Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Pokok bahasan dari modul ini sebagai berikut:


A. Konsep KIE secara umum :
Pengertian , Tujuan , Prinsip , Fungsi , Jenis , Metode dan Teknik KIE

B. Penangulangan Gangguan Indera:


Konseling dan edukasi gangguan penglihatan dan kebutaan serta gangguan
pendengaran dan ketulian

III. Bahan Belajar


1. Kementerian Kesehatan RI, Modul Pelatihan Promosi Kesehatan Bagi Petugas
Puskesmas 2015
2. Pedoman Teknis Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan
2016

IV. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran


A. Langkah 1 Pengkondisian
Langkah kegiatan:
1. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah
menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri
dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja dan judul materi
yang akan disampaikan.
2. Fasilitator menyampaikan judul materi, deskripsi singkat, tujuan pembelajaran
umum dan tujuan pembelajaran khusus, serta pokok bahasan.
B. Langkah 2 Penyampaian dan Pembahasan Pokok Bahasan dan Sub Pokok
Bahasan:
 Pokok Bahasan 1: Konsep KIE
Sub Pokok Bahasan: Pengertian, Tujuan, Prinsip, fungsi, Jenis dan
metode KIE
Langkah kegiatan:
1. Fasilitator memulai sesi dengan melakukan pengukuran pemahaman
peserta tentang KIE
2. Fasilitator menyampaikan paparan materi pengertian KIE dengan
menggunakan bahan tayang.

11
3. Fasilitator memberikan kesempatan peserta untuk bertanya atau
menyampaikan klarifikasi, kemudian fasilitator menyampaikan jawaban
atau tanggapan yang sesuai.

 Pokok Bahasan 2:Penanggulangan Gangguan Indera


Sub Pokok Bahasan: Konseling dan Edukasi gangguan penglihatan dan
pendengaran
Langkah kegiatan:
1. Fasilitator memberikan kesempatan kepada beberapa orang peserta untuk
menyampaikan pengalamannya tentang pelaksanaan kegiatan konseling
dan edkasi penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran
2. Fasilitator mangajak peserta untuk malakukan praktek bermain peran
(roleplay) dalam kelompok
3. Fasilitator membagi 3 kelompok yang beranggotakan 2-4 orang, untuk
melakukan role play.
4. Masing-masing kelompok melakukan praktik bermain peran (role play).
fasilitator mengarahkan jalannya bermain peran
5. Fasilitator memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk untuk
bertanya atau menyampaikan klarifikasi.
6. Fasilitator memberikan tanggapan dan klarifikasi, serta memberikan
kesimpulan tentang materi pelaksanaan KIE dalam penanggulangan
gangguan penglihatan dan pendengaran
C. Langkah 3 : Penutup
1. Setelah semua pokok bahasan diberikan, fasilitator memberikan kesempatan
mengajukan pertanyaan tentang materi yang disajikan, hal-hal yang perlu
diketahui selama pelatihan ini
2. Fasilitator menjawab pertanyaan yang disampaikan peserta
3. Fasilitator memberikan tips-tips terkait KIE penanggulangan gangguan
penglihatan dan gangguan pendengaran.
4. Fasilitator membuat kesimpulan materi dan menutup sesi.

VI. Uraian Materi

A. Pokok Bahasan 1 : KIE


KIE dalam penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran bertujuan
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemauan, kemampuan, dukungan

12
sumber daya serta partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mendukung
peningkatan derajat kesehatan.
Pengertian, Tujuan dan Jenis-jenis KIE

Secara umum pengertian KIEmerupakan gabungan dari tiga konsep yakni:


a. Komunikasi
Proses penyampaian pikiran (ide/gagasan/informasi) atau perasaan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa verbal dan non
verbal, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu
untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga
ada efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000:13).
b. Informasi
Serangkaian fakta atau data yang telah diproses menjadi bentuk yang memiliki
arti, bermanfaat, dan perlu diketahui oleh penerima informasi.
c. Edukasi
Proses transfer pengetahuan secara formal maupun informal kepada
seseorang atau beberapa dengan tujuan perubahan perilaku kearah yang
positif

KIE penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran merupakan


suatu proses penyampaian pesan dan informasi kesehatan yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, serta mendorong terjadinya perubahan
sikap dan perilaku masyarakat menuju ke arah yang lebih positif terkait upaya
peningkatan derajat kesehatan inderaagar tetap sehat, aktif, mandiri dan berdaya
guna baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.
KIE memiliki fungsi sebagai berikut:
 Menyampaikan informasi (to inform)
 Mendidik (to educate)
 Menghibur (to entertain)
 Mempengaruhi (to influence/persuasive).
 Promosi (to promote)
 Bimbingan (to guidance)
 Konseling (to councel)
 Motivasi (to motivate)
 Memberikan instruksi ( to instructive)
 Negosiasi (to negosiate)

13
Secara umum tujuan KIEpenanggulangan gangguan penglihatan dan
pendengaranadalah:
a. Meningkatkan kualitas layanan kesehatan indera dengan mengedepankan
aspek promotif preventif tanpa mengesampingkan aspek kuratif dan
rehabilitatif.
b. Menyebarluaskan informasi yang akurat, berguna, dan mudah dipahami terkait
permasalahan kesehatan indera
c. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memeliharakesehatannya sendiri
secara mandiri dan berkelanjutan.
d. Meningkatkan pemahaman, keperdulian, dan peran serta masyarakat umum
dan keluarga terkait masalah penanggulangan gangguan penglihatan dan
pendengaran.
e. Meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang berbagai informasi terkait
gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
f. Mendorong kemampuan untuk mengimplementasikan pengetahuan sebagai
suatu keterampilan untuk berperilaku hidup sehat

Unsur-unsurpokok KIE dalam layanan penanggulangan gangguan penglihatan dan


pendengaran, mengacupada unsur-unsur sebagai berikut :
a. Sumber
Sumber KIE ini dapat seorang individu, kelompok, lembaga, institusi, ataustake
holder kesehatan lainnya, yang lazim disebut dengan istilah Komunikator
b. Pesan
adalah serangkaian informasi, gagasan, pendapat, fakta, ekpresi emosi, dan
lain sebagainya yang dirumuskan dalam suatu bentuk (kata-kata, gambar,
tulisan, musik, isyarat, bahasa tubuh) dan disampaikan kepada penerima
pesan.
c. Saluran
adalah bagaimanacara pesan disampaikan dan media komunikasi seperti apa
yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan.
d. Penerima.
Komunikan, orang yang menerima pesan atau informasi. Penerima pesan ini
dapat berupa individu, kelompok, atau institusi kelembagaan.
e. Umpan balik
Umpan balik (feed back) yaitu reaksi terhadap pesan dapat beragam seperti,
pertanyaan, ekpresi persetujuan atau penolakan, emosi, sikap, tindakan dan
sebagainya

14
Berdasar pada proses komunikasi, jenis-jenis KIE terdiri :
a. KIE langsung
Ialah komunikasi tanpa menggunakan suatu media/ alat perantara teknik yang
berupa barang cetak maupun berbentuk alat elektronika. Kegiatan komunikasi
langsung dapat dilakukan melalui penyampaian pesan dalam bentuk kata-kata,
gerakan-gerakan yang berarti khusus, dan penggunaan isyarat-isyarat.
Misalnya, kita berbicara langsung kepada seseorang di hadapan kita.
b. KIE tidak langsung
Merupakan kegiatan komunikasi dengan menggunakan media, alat dan
mekanisme untuk melipatgandakan jumlah penerima pesan (sasaran) atau
untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam melakukan kegiatan
komunikasi, seperti hambatan geografis yang dapat diatasi dengan
menggunakan siaran radio dan televisi, bahkan saat ini bisa menggunakan
media sosial/handphone.

Berdasar arah penyampaian pesan dan umpan balik, jenis-jenis KIE terdiri:
a. KIE satu arah
Pesan disampaikan oleh sumber kepada sasaran. Di sini sasaran tidak bisa
atau tidak ada kesempatan untuk memberi umpan balik atau bertanya.
b. KIE Timbal Balik (sering disebut komunikasi dua arah)
Pesan disampaikan oleh sumber kepada sasaran, kemudian sasaran setelah
menerima pesan tadi, memberikan umpan balik kepada sumber. Biasanya,
komunikasi kelompok dan komunikasi perorangan merupakan komunikasi
timbal balik

Berdasar pada penyampaian pesan, ada dua jenis komunikasi yaitu


a. Komunikasi verbal
Adalah penyampaian informasi yang diberikan dengan menggunakan kata-kata
dalam tuturan bahasa dengan bersuara sebagai saluran untuk menampilkannya
b. Komunikasi non-verbal
Adalah penyampaian informasi tanpa kata, diberikan dengan menggunakan
bahasa isyarat atau bahasa tubuh seperti mimik muka, gerakan tangan, kontak
mata dll.
c. Komunikasi emosional
Adalah penyampaian informasi disertai sikap emosional yang dapat dirasakan
oleh teman bicaranya.

15
Berdasar jumlah sasaran, komunikasi meliputi :
a. Komunikasi intrapersonal
Adalah dialog atau percakapan dengan dirinya sendiri, berlangsung didalam
hati. Biasanya digunakan untuk keperluan mawas diri (introspeksi). Misalnya:
hari ini saya akan menolak ajakan Ani pergi ke Bandung.
b. Komunikasi interpersonal
Adalah percakapan atau dialog antara dua pihak, merupakan interaksi orang ke
orang, terjadi dalam dua arah, bisa verbal dan non verbal atau perpaduan
keduanya.
c. Komunikasi kelompok
Adalah penyampaian pesan / informasi melalui kelompok, baik yang sengaja
diselenggarakan maupun yang tidak sengaja. Misalnya: pertemuan toma,
ngobrol diwarung.
d. Komunikasi massa
Adalah penyampaian pesan / informasi kepada sejumlah sasaran yang tidak
saling mengenal, biasanya dalam jumlah banyak.

JENIS KIE, antara lain :


a. KIE Individu
Dalam KIE Individu, metode yang lazim dilakukan adalah penyuluhan
perorangan dan konseling
b. KIE Kelompok, dapat berupa :
- Ceramah tanya jawab
- Diskusi/ Diskusi kelompok
- Peragaan atau demonstrasi
- Curah pendapat (brain storming)
- Bola Salju (snow balling)
- Kelompok-kelompok kecil (buzz group)
- Memainkan peran (role play)
- Permainan simulasi (simulation game)

c. KIE Massa, dapat berupa :


- Ceramah umum
- Pidato
- Siaran berprogram
- Pemutaran film dan slide
- Mobilisasi massa

16
- Penggunaan leaflet, booklet, lembar balik
- Tulisan-tulisan di majalah atau koran
- Melakukan interaksi melalui media sosial
- Media lain

Pada dasarnya pelaksanaan KIE penanggulangan gangguan penglihatan dan


pendengaran yang dapat dilaksanakan puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya
dilakukan di dalam dan di luar gedung.
Kegiatan KIE tersebut dapat dilakukan melalui:
a. Komunikasi individu
1) Di dalam gedung kegiatan yang dilakukan adalah: melakukan komunikasi
interpersonal dan konseling kepada pasien dan keluarga pasien.
2) Diluar gedung kegiatan yang dilakukan adalah : melakukan kunjungan
rumah dalam upaya pemberdayaan keluarga, pembinaan pada kader,
advokasi atau pendekatan pada kepala sekolah, guru, dll
b. Komunikasi kelompok
1) Di dalam gedung kegiatan yang dilakukan adalah: melakukan diskusi
kelompok dengan pasien, keluarga pasien dan pengunjung puskesmas.
2) Diluar gedung kegiatan yang dilakukan adalah : melakukan pemberdayaan
Kepala Sekolah/guru, penyuluhan kesehatan pada kelompok usia sekolah
dan remaja di sekolah, dll.
c. Komunikasi massa
1) Di dalam gedung kegiatan yang dilakukan adalah: melakukan pemasangan
media cetak (poster), pembuatan mading, billboard, spanduk yang berisi
pesan kesehatan, pemutaran radio/tv spot yang berisi pesan-pesan
kesehatan, dll
2) Diluar gedung kegiatan yang dilakukan adalah : siaran radio, pameran,
media tradisional, gerakan masyarakat dalam PHBS, gerakan CERDIK, dll.

Metode dan Teknik KIE


KIE hendaknya disesuaikan dengan tujuan KIE yang akan dicapai, karakteristik
sasaran (kemampuan sasaran, tingkat pengetahuan, keterampilan dan potensi,
keadaan sosial dan budaya, dll), kemampuan petugas promosi kesehatan, besar
kecilnya kelompok sasaran, strategi promosi kesehatan yang diterapkan, waktu
yang disediakan, fasilitas yang ada serta kondisi permasalahan yang ada.

17
Pelaksanaan KIE berdasarkan jumlah sasaran dapat dilakukan melalui pendekatan
3 jenis jumlah sasaran, yaitu:
a. Individu/Perorangan
KIE secara individu/perorangan adalah penyampaian pesan dari seseorang
kepada orang lainnya atau lebih, dapat dilakukan melalui komunikasi secara
langsung maupun tidak langsung. Komunikasi langsung, misalnya kunjungan
rumah, komunikasi ditempat pelayanan kesehatan. Sedangkan komunikasi
tidak langsung dengan menggunakan media, misalnya komunikasi melalui
telepon, surat, email, dll.

Metode dan teknik yang dapat diterapkan dalam kegiatan KIE secara individu/
perorangan adalah komunikasi interpersonal yaitu interaksi dari individu ke
individu atau dari individu dengan kelompok kecil, bersifat dua arah, kemudian
pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal dan non verbal. Kedua belah
pihak saling berbagi informasi dan perasaan. Adapun langkah-langkah
melakukan komunikasi interpersonal adalah “SAJI” (Salam, Ajak Bicara,
Jelaskan dan Ingatkan).

Konseling yaitu suatu proses pemberian bantuan dari petugas konseling


kepada klien-nya, melalui pertemuan tatap muka dengan menyampaikan
informasi yang tidak memihak serta memberikan dukungan emosi, agar klien
mampu mengenali keadaan dirinya dan masalah yang dihadapinya sehingga
dapat membuat keputusan yang tepat dan mantap bagi dirinya sendiri dengan
kesadarannya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari siapapun. Atas dasar
tersebut, kemudian klien bisa bertindak sesuai dengan keputusan yang telah
dipilihnya secara mantap karena memahami alasan dan tujuannya.
Melalui konseling akan dapat terjadi suatu proses :
1) Perubahan perilaku
2) Peningkatan kemampuan untuk mengenal masalahnya, mengidentifikasi
alternatif pemecahan masalahnya, menetapkan prioritas alternatif
pemecahan masalah, menganalisis/melakukan kajian sejauhmana
konsekuensi dan keuntungan terhadap pilihan pemecahan masalah yang
telah ditetapkan.
3) Meningkatkan kemampuan untuk memutuskan dan bertindak
4) Meningkatkan hubungan antar perorangan
5) Membantu klien untuk dapat mengurangi ketegangannya
6) Meningkatkan potensi seseorang untuk mengatasi masalah

18
7) Meningkatkan kemampuan untuk mampu berpikiran positif dan optimis

Adapun langkah-langkah praktis melakukan konseling adalah SATU TUJU.


SATU TUJU adalah SA: beri salam kepada klien (menciptakan hubungan),
sambut kedatangannya dan berikan perhatian; T : tanyakan kepada klien untuk
menjajagi pengetahuan, perasaan dan kebutuhan klien tentang. U : uraikan
informasi yang relevan / terkait dengan masalah klien. TU: bantu klien untuk
memahami masalah serta alternatif pemecahan masalahnya. J: Jelaskan lebih
rinci konsekuensi dan keuntungan dari setiap alternatif pemecahan masalah.
U : ulangi hal-hal penting yang dibahas, serta lakukan kesepakatan kunjungan
ulang klien atau rujuk ke tempat pelayanan lain bila diperlukan.
Teknik komunikasi interpersonal dan konseling meliputi :
 teknik menjadi pendengar aktif,
 teknik mengajukan pertanyaan,
 teknik melakukan observasi,
 teknik melakukan refleksi,
 teknik membantu klien mengambil keputusan,
 teknik menggunakan media KIE serta
 teknik mengatasi situasi sulit dalam melakukan komunikasi interpersonal
dan konseling (klien menangis terus, tidak mau berbicara, marah,
kecewa)

b. Kelompok
Metoda dan teknik yang digunakan dalam melakukan KIE didalam kelompok
adalah ceramah tanya jawab, diskusi kelompok, demontrasi, permainan/
bermain peran.

Sedangkan teknik yang dilakukan adalah teknik menggunakan media/alat


peraga, teknik membangun peran aktif semua peserta, teknik mengatasi
peserta yang dominan, teknik peserta yang acuh, dll. Agar peserta mau
mengikuti pertemuan diskusi kelompok, demonstrasi, ceramah tanya jawab
maupun permainan, ada beberapa teknik yang dapat dipergunakan yaitu
menggunakan fasilitator yang mempunyai kredibilitas baik, dipercaya sasaran,
atau menggunakan teknik perintah, kompetisi, penggunaan media KIE yang
menarik, pemberian hadiah, dll
1) Ceramah tanya jawab

19
Ceramah tanya jawab (CTJ) adalah penyampaian pesan oleh seorang
pembicara di depan se-kelompok sasaran yang disertai tanya jawab. CTJ
dapat dilakukan untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah.
CTJ akan berhasil apabila pembicara menguasai materi, menguasai
audiens serta menguasai penggunaan alat bantu atau media.

Disamping itu, pembicara berpenampilan baik dan meyakinkan, percaya


diri, tidak bersikap ragu-ragu, kemudian suaranya jelas dan keras, sesekali
disertai humor, pandangan tertuju keseluruh peserta, berdiri didepan
(ditengah), menggunakan alat bantu semaksimal mungkin.

Mampu menciptakan suasana serius tapi santai, menggunakan bahasa


sederhana, memberikan kesempatan sasaran untuk bertanya, kemudian
menjawab sesuai pertanyaan, memberikan pertanyaan evaluasi serta
menyampaikan rangkuman sebelum ceramah diakhiri.

2) Diskusi/ Diskusi kelompok


Diskusi berasal dari bahasa latin discutio atau discussum yakni “kurang
lebih sama dengan bertukar pikiran” atau membahas sesuatu masalah
dengan mengemukakan dasar alasannya untuk mencari jalan keluar
sebaik-baiknya. Diskusi merupakan ajang bertukar pikiran diantara
sejumlah orang, membahas masalah tertentu yang dilaksanakan dengan
teratur, dan bertujuan untuk memecahkan masalah secara bersama.
Metode ini dipakai dalam kegiatan KIE untuk meningkatkan partisipasi aktif,
tukar pengalaman dan pendapat peserta diskusi. Untuk kegiatan ini
anggota kelompok yang ideal adalah 7- 9 orang.

3) Peragaan atau demonstrasi


Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk
memberi contoh nyata bagaimana suatu kegiatan dilakukan dengan benar.
Ada beberapa macam demonstrasi, yaitu:
 Mengembangkan keterampilan sasaran dalam bidang tertentu
 Menunjukkan proses kerja penanganan suatu perilaku (misalnya:
proses/cara melakukan perawatan pasca operasi katarak).
 Menunjukkan suatu alat yang baru.
 Memantapkan penerimaan hal baru

20
4) Curah pendapat (brain storming)
Metode ini merupakan modifikasi metode diskusi kelompok. Prinsipnya
sama dengan metode diskusi kelompok. Bedanya, pada permulaan
pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap
peserta memberikan jawaban atau tanggapan (curah pendapat)
Tanggapan atau jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam
flipchart atau papan tulis. Sebelum semua peserta mencurahkan
pendapatnya, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun. Baru setelah semua
anggota mengeluarkan pendapatnya, tiap anggota dapat mengomentari,
dan akhirnya terjadi diskusi.

5) Bola Salju (snow balling)


Kelompok dibagi dalam pasangan-pasangan (1 pasang terdiri dari 2 orang)
dan kemudian diberikan suatu pertanyaan atau masalah. Setelah lebih
kurang 5 menit maka tiap 2 pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap
mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian
tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi
dengan pasangan lainnya dan demikian seterusnya sehingga akhirnya
akan terjadi diskusi seluruh anggota kelompok.

6) Kelompok-kelompok kecil (buzz group)


Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil (buzz group)
yang kemudian diberi suatu permasalahan yang sama atau tidak sama
dengan kelompok lain. Masing-masing kelompok mendiskusikan masalah
tersebut. Selanjutnya hasil dari tiap kelompok didiskusikan kembali dan
dicari kesimpulannya.Metode ini digunakan apabila :
 Kelompok terlalu besar, sehingga tidak dimungkinkan setiap orang
berpatisipasi.
 Pokok pembahasan terhadap pemecahan masalah dapat dibahas dari
beberapa sudut pandang.
 Ada anggota kelompok yang kurang aktif dalam kegiatan kelompok
 Waktu terbatas
 Ingin diciptakan suasana yang menyenangkan dalam kelompok.

7) Memainkan peran (role play)


Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang
peran tertentu untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter,
perawat, pasien dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain sebagai

21
pengamat atau anggota masyarakat. Mereka memperagakan konseling
dengan menggunakan kaidah “SATU TUJU” tentang pentingnya menjaga
kesehatan mata dan telinga.

Anggota kelompok yang tidak bermain peran, diberi tugas untuk melakukan
pengamatan. Setelah bermain peran selesai, pemain diminta
menyampaikan perasaannya saat melakukan kegiatan bermain peran.
Selanjutnya, pengamat diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil
pengamatannya. Pada akhir bermain peran disimpulkan bersama tentang
tenaga kesehatan dalam melakukan konseling tentang pentingnya menjaga
kesehatan mata dan telinga

8) Permainan simulasi (simulation game)


Metode ini merupakan gabungan antara bermain peran dengan diskusi
kelompok. Pesan-pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk
permainan seperti permainan monopoli, ular tangga, beberan. Cara
memainkannya persis seperti bermain monopoli dengan menggunakan
dadu, gaco (petunjuk arah), selain papan main. Beberapa orang menjadi
pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai narasumber.

c. Massa
Metode dan teknik KIE yang diterapkan dalam komunikasi massa, dapat
menggunakan ceramah, pidato, siaran radio, siaran di televisi, di surat khabar,
media cetak dan media sosial. Dengan demikian metode promosi kesehatan
yang diterapkan melalui kegiatan komunikasi massa dapat dilakukan melalui
komunikasi langsung maupun tidak langsung.
1) Ceramah umum
Pada acara-acara tertentu, misalnya pada peringatan Hari Penglihatan
Sedunia (WSD). Metode ini dillakukan jika ada kelompok orang yang perlu
mendapat penjelasan yang sama, sedangkan waktu terbatas. Ceramah
memerlukan ruangan yang bisa ditempati sekelompok orang, dengan
pembicara yang menguasai masalah yang akan diberikan. Ceramah
jangan terlalu lama, cukup 30 menit. 10 menit pertama untuk memberi
penjelasan yang singkat tetapi jelas, 20 menit berikutnya untuk tanya
jawab.

22
2) Pidato
Pidato tentang kesehatan melalui media elektronik baik TV maupun radio,
pada hakikatnya merupakan bentuk promosi kesehatan massa.
3) Siaran berprogram
Siaran berprogram adalah penyampaian informasi secara terprogram
melalui siaran radio dan televisi yang bertujuan mengubah sikap,
pengetahuan dan tindakan masyarakat. Metode ini dapat dipakai dengan
beberapa persyaratan, antara lain:
 Sasaran heterogen dilihat dari segi umur, sosial ekonomi dan sebagainya.
 Informasi bersifat umum atau terbuka.
 Pesawat radio dan televisi sudah banyak dimiliki oleh dan tersebar
merata di masyarakat.
4) Pemutaran film dan slide
Informasi disampaikan kepada sasaran melalui media film dan slide.
Persyaratan penggunaan cara ini antara lain adalah:
 Tersedia proyektor, listrik dan tenaga untuk mengoperasikan proyektor
tersebut.
 Tersedia ruangan yang dapat menghalangi cahaya dari luar.
5) Pemasangan/penggunaan pamflet, leaflet dan booklet
Penyampaian informasi kepada sasaran dilakukan dengan menggunakan
pamflet, leaflet, booklet dan sebagainya sebagai media. Persyaratan umum
dalam penggunaan metode ini antara lain adalah:
 Harus dirancang sedemikian rupa sehingga mudah ditangkap oleh
sasaran.
 Tidak menimbulkan persepsi yang salah pada sasaran (masyarakat).
 Harus menyolok agar menarik perhatian penerima informasi secara
spontan.
6) Tulisan-tulisan di majalah atau koran
Membuat tulisan di media cetak, seperti koran, majalah, atau bisa juga
membuat tulisan di majalah dinding sekolah.
7) Melakukan interaksi melalui media sosial : internet, facebook, email, twitter,
dll
8) Bentuk lain: billboard, spanduk, poster pencanangan, menyelipkan pesan
pada khotbah keagamaan, menyelipkan pesan pada kesenian tradisional,
memanfaatkan pengeras suara di tempat ibadah, membuat koran dinding

23
di sekolah, menempelkan pesan di tempat-tempat ramai, pemutaran film di
tempat terbuka juga termasuk promosi kesehatan massa.

d. Media KIE
Ketika penderita/klien meminta bantuan dari Anda untuk suatu masalah atau
kekhawatiran, saat itu mereka cenderung mau menerima informasi dan nasihat.
Gunakan kesempatan ini dengan memberikan mereka informasi yang ada
tertuang dalam leaflet “ Ayo lakukan penanggulangan gangguan penglihatan”,
buku saku “penanggulangan gangguan penglihatan dan
kebutaan oleh kader dan tenaga kesehatan”, serta dapat juga menggunakan
lembar balik “kenali PGPK dan PGPKT” sebagai bagian dari Panduan
penanganannya. Jika waktunya cukup, periksalah pemahaman dan berikan
informasi tambahan atau klarifikasi yang mungkin mereka perlukan.

Gunakan setiap kesempatan yang disampaikan untuk memberikan informasi


dan mengedukasi keluarga, dan memberikan tanggapan terhadap berbagai
pertanyaan dan kekhawatiran yang mungkin mereka alami. Pastikan bahwa
Anda selalu memfasilitasi keinginan pasien untuk melibatkan orang keluarga ke
dalam diskusi.

B. POKOK BAHASAN 2
Konseling penderita gangguan penglihatan dan pendengaran
1. Pengertian
Konseling adalah proses pemberian bantuan dari seorang konselor kepada seorang
atau sekelompok orang (klien) agar dapat memahami masalahnya dan mengambil
keputusan dalam menyelesaikan masalah tersebut.Konseling merupakan salah satu
teknik untuk membantu orang sehingga ia mampu menyelesaikan masalah dan
membuat keputusan dengan memahami fakta-fakta dan emosi yang terlibat.

Orang yang memberikan konseling disebut konselor dan yang diberi konseling
disebut klien. Dalam konseling terjadi proses hubungan saling membantu dan
bekerjasama antara konselor dan klien remaja dalam situasi tatap muka dan
kedudukan yang setara sebagai upaya menolong klien remaja untuk menyelesaikan
masalah tertentu dalam kehidupannya, agar lebih mengerti dirinya dan lebih dapat
menyesuaikan diri.

24
Konseling dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kelebihan konseling
kelompok adalah memberikan kesempatan klien untuk belajar dari pengalaman
orang lain. Konseling gangguan penglihatan dan pendengaran adalah konseling
yang diberikan oleh konselor kepada seorang pasien/klien yang membutuhkan
teman bicara untuk mengenali dan memecahkan masalahnya.

Pelayanan konseling dapat dilaksanakan dimana saja tetapi tetap membutuhkan


tempat yang nyaman, tenang/tidak rebut, aman dan menjamin kerahasiaan. Apabila
konseling dilaksanakan di suatu ruangan, ada hal-hal yang perlu diperhatikan untuk
membantu proses konseling yang kondusif, seperti penerangan yang lembut,
ventilasi yang cukup, dan desain ruangan yang disesuaikan dengan selera remaja,
misalnya warna ruangan yang cerah, pemilihan meja kursi yang tidak menimbulkan
suasana formal.
Proses konseling hendaknya dilaksanakan dengan santai atau tidak terburu-buru,
sehingga upaya pemecahan masalah dapat dilaksanakan sesuai kebutuhan.

2. Tujuan
Adapun tujuan konseling yaitu:
a. Membantu klien agar mampu memahami masalah yang sedang dihadapi
b. Memberi informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi dan
memberikan informasi tentang jangkauan kepada berbagai sumber
daya/fasilitas kesehatan
c. Mendorong klien menemukan berbagai alternatif penyelesaian masalah
d. Membantu klien untuk mengambil keputusan sendiri dan melaksanakan
keputusannya serta bertanggung jawab terhadap keputusannya.
e. Memberikan dukungan emosi, mengurangi kekhawatiran dan penderitaan.

Manfaat yang diperoleh dari konseling yaitu:


Timbulnya pemahaman dan pengertian diri sehingga menemukan jalan keluar bagi
dirinya dan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri

3. Teknik Konseling dan Dasar-dasar Konseling Kasus gangguan penglihatan


dan pendengaran
a. Membina hubungan yang saling mempercayai dengan klien. Konselor
menumbuhkan perasaan aman sehingga klien merasa menemukan orang
yang mengerti dirinya.

25
b. Gunakan komunikasi terapeutik yaitu komunikasi yang menyembuhkan
sehingga klien dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya dan
terjadilah katarsis emosional.
Komponen komunikasi terapeutik
1) Hadir dalam percakapan
Wajah lembut, ramah, tersenyum, sikap tubuh rileks, terbuka, penuh
perhatian dan condong ke arah klien. Intonasi suara lembut dan
temponya disesuaikan dengan kebutuhan klien
2) Mendengar aktif
Duduk berhadapan dan membungkuk ke arah klien,membuat kontak
mata, rileks dan sikap terbuka,memberi perhatian sepenuhnya,tidak
memotong pembicaraan,menganggukkan kepala dan mengatakan “Ya,
saya mengerti” sehingga klien tahu bahwa anda mendengarkan.

3) Empati
Upaya dan kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan
diri pada posisi orang lain tanpa memasukkan nilai pribadi kita kepada
orang tersebut

c. Akhiri konseling pada saat klien merasa aman

Dalam proses konseling, konselor dapat menggunakan langkah-langkah yang


disebut GATHER – SATU TUJU
 Greet – Salam
Bertujuan untuk membangun hubungan dan mencairkan suasana agar klien
merasa aman dan nyaman dalam mengemukakan masalah.
 Ask – Tanyakan
Bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang perasaan klien
sebaya, situasi klien sebaya dan alasannya datang untuk meminta bantuan.
Selain itu, juga bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi klien.
 Tell – Ungkapkan
Bertujuan untuk memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan klien
sebaya.
 Help – Bantu
Bertujuan untuk mendiskusikan alternative pemecahan masalah beserta
konsekuensinya sehingga klien bias membuat keputusan.
 Explain – Jelaskan

26
Bertujuan untuk menjelaskan kepada klien sebaya apa yang perlu dilakukan
setelah mengambil keputusan, termasuk konsekuensinya.
 Return – Undang
Bertujuan untuk mengevaluasi proses konseling apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan klien sebaya. Selain itu juga untuk mengakhiri proses konseling
(terminasi) dengan tetap membuka kesempatan bagi klien untuk tindak lanjut
atau kembali jika diperlukan.

Prinsip- prinsip konseling

a. Asas kerahasiaan
b. Asas keterbukaan
c. Asas kesukarelaan
d. Asas kerjasama

Syarat Konselor
a. Menerima klien apa adanya
b. Bersifat optimis
c. Mampu simpan rahasia
d. Sansitif menilai
e. Mampu beri informasi
f. Fleksibel
g. Dapat menghargai orang lain
h. Mampu jadi tempat bergantung
i. Terbuka dan Jujur
j. Bersikap tidak menilai
k. Percaya diri
l. Punya rasa humor
m. Pendengar yg baik
n. Terampil dalam membantu
o. Dapat berempati

27
MATERI INTI 2
PENANGGULANGAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN

I. DESKRIPSI SINGKAT

Salah satu materi yang harus diajarkan kepada tenaga kesehatan pada TOT
Penanggulangan Gangguan Indera ini adalah penanggulangan gangguan penglihatan
dan kebutaan. Seorang tenaga kesehatan di Puskesmas (FKTP) yang melaksanakan
pelayanan kesehatan Indera harus mempunyai kompetensi dalam melakukan
penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan

Modul ini akan menjelaskan tentang anatomi dan fisiologi mata, gejala dan tanda, deteksi
dini faktor risiko, anamnesa serta alur dan langkah tatalaksana gangguan penglihatan
dan kebutaan dengan baik dan benar.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan penanggulangan gangguan
penglihatan dan kebutaan

B. Tujuan Pembelajaran khusus


1. Melakukan deteksi dini faktor risiko gangguan penglihatan dan kebutaan
2. Melakukan anamnesa gangguan penglihatan dan kebutaan
3. Melakukan tata laksana dini kasus
4. Melakukan rujukan kasus

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Anatomi dan fisiologi mata


2. Gejala dan tanda gangguan penglihatan dan kebutaan ( kelainan refraksi, katarak,
glaucoma dan retinopati diabetikum )
3. Deteksi dini gangguan penglihatan dan kebutaan (kelainan refraksi, katarak glaucoma
dan retinopati diabetikum )
4. Tatalaksana gangguan penglihatan dan kebutaan
a. Anamnesa gangguan penglihatan dan kebutaan
b. Alur dan langkah – langkah tatalaksana dini kasus

28
c. Rujukan kasus
d. Kriteria rujukan kasus

IV. BAHAN BELAJAR DAN REFERENSI

1. Buku-buku tentang anatomi, dan gangguan indera.


2. Modul pelatihan
3. Pedoman Umum penanggulangan gangguan indera
4. Pedoman teknis penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan.

V. LANGKAH / PROSES PEMBELAJARAN

Langkah–langkah/ proses pembelajaran ini menguraikan tentang kegiatan


pelatihan/fasilitator dan kegiatan peserta dalam setiap tahapan proses pembelajaran.

Langkah 1 : Pengkondisian
 Fasilitatator memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengapa
materi ini diperlukan pada pelatihan serta keterkaitan dengan materi sebelumnya .
 Fasilitatator memberi kesempatan kepada peserta yang sudah punya pengetahuan
dalam pencegahan gangguan indera untuk menjelaskan apa yang sudah diketahui.
 Peserta lain diminta untuk memberi tanggapan.

Langkah 2 : Membahas Pokok Bahasan


 Fasilitator menayangkan power point dan menjelaskan pokok bahasan
 Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya atau memberi
tanggapan atas penjelasan fasilitator.
 Fasilitator meminta peserta untuk menanggapi pertanyaan peserta.
 Dari hasil pendapat peserta, fasilitator memberikan komentar dan memberikan
kesimpulan.

29
VI. MATERI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA


Struktur mata terletak dalam suatu rongga orbita yang berbentuk pyramid dengan
puncaknya menuju ke belakang.

Kelopak Mata Atas Saluran Keluar Air Mata

Kantus Lateral Karunkula

Kantus Medial
Konjungtiva
Limbus
Kornea
Iris
Kelopak Mata Bawah Pupil

Serat

OtotSiliar Zonula Lensa Otot Bola Mata

Makula

Kornea

Iris
Vitreus
(badan kaca) Saraf
Pupil
Optik
Lensa

Limbus
{

Bilik Mata Bilik Lapisan


MataBelakang
Depan
Retina
Gambar 1. Anatomi Mata

30
ALIS MATA (SUPER CILIA)
Sederetan bulu-bulu yang terletak paling atas dari organ mata. Berfungsi untuk menahan
kotoran/keringat yang berasal dari atas juga berfungsi untuk kecantikan (kosmetik).

KELOPAK MATA (PALPEBRA)

Terdiri dari kelopak mata atas (palpebra superior) dan kelopak mata bawah (palpebra
inferior). Bagian luar dari kelopak adalah kulit yang halus dan tipis yang mudah
digerakkan dari dasarnya.

Di dalam kelopak mata terdapat antara lain:

 Otot (m.orbicularis oculi) yang letaknya melingkar dan berfungsi untuk mengedipkan
mata.
 Otot levator palpebra (hanya ada pada kelopak atas) dan berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atas sehingga mata dapat membuka.
 Jaringan tulang rawan bersifat elastis (tarsus) yang terletak sepanjang kelopak mata
atas dan bawah. Tarsus sebelah atas lebih lebar dari tarsus sebelah bawah.
 Di dalam kelopak juga terdapat beberapa macam kelenjar yaitu kelenjar Meibom
yang terletak dalam tarsus menghasilkan semacam lemak, membentuklapisan air
mata yang paling luar.
 Kelenjar lain ialah klenjar Zeis dan Moll yang bermuara difolikel rambut bulu mata,
serta kelenjar Wollfring Krause.

Tepi kelopak atas disebut margo palpebra superior dan tepi kelopak bawah disebut margo
palpebra inferior. Kedua margo tersebut akan bertemu membuat sudut di sebelah lateral
disebut kantus lateral dan disebelah medial disebut kantus medial. Pada kulit dekat margo
palpebra ini tumbuh bulu mata (silia).

Fungsi kelopak mata adalah:


 Otot levator palpebra berfungsi dalam membuka kelopak yang digerakannya dilakukan
secara refleks.
 Otot orbikularis okuli bila berkontraksi menimbulkan efek kedip yang arah gerakkannya
merupakan gerakan memompa yang memungkinkan kelenjar air mata (kelenjar
lakrimal) mengeluarkan sekresinya berupa air mata yang akan diratakan ke seluruh
permukaan bola mata dan drainage kea rah punctum lakrimal superior dan inferior
(punctum berada di 1/3 medial margo palpebra).

31
 Membantu orang yang menderita kelainan refraksi tinggi dan astigmat melihat lebih
jelas dengan cara menyipit matanya.

KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membrane mukosa yang tipis dan transparan yang terdiri dari 3
(tiga) bagian yaitu: konjungtiva tarlis, konjungtiva forknis dan konjungtiva bulbi.

1. Konjungtiva Tarsalmelapisi dan melekat dengan erat pada permukaan dalam


kelopak mata

2. Konjungtivaforniks. Lipatan ini berguna untuk memudahkan mata bergerak.,


konjungtiva forniks akan membelok dan membentuk lipatan-lipatan.

3. Konjungtiva bulbiyaitu konjungtiba yang melekat longgar di permukaan depan


skelera dan berakhir di perbatasan skelera dan kornea (daerah limbus). Kelenjar
mengandung kelenjar goblet yang menghasilkan lapisan musin untuk membentuk
lapisan air mata. Didaerah kantus medial konjungtiva bulbi akan membuat lipatan
tebal setengah lingkaran (lipatan semilunar) lunak dan mudah digerakkan. Pada
akhirnya bentuk mukosa ini akan beralih menjadi bentuk kulit daerah ini disebut
karunkula.

BOLA MATA (BULBUS OKULI)


Bola mata hampir mengambil seluruh rongga mata dan bentuknya hampir bulat seperti
mangkuk yang mempunyai garis tengah depan belakang sebesar kira-kira 24 mm. Batas
luar bola mata ini 1/5 bagian (depan) adalah kornea dan selebihnya adalah skelera.
Bagian-bagian dari bola mata ini yang dapat diamati dari luar dengan senter adalah
kornea, skelera (hanya bagian depan), bilik mata depan, iris, pupil dan lensa.
Dengan alat tambahan oftalmoskop kita dapat melihat badan kaca, retina, pupil saraf N
optikus, sedangkan dengan alat gonioskop kita dapat melihata sudut bilik mata depan.

KORNEA
Merupakan bagian depan dari bola mata yang bentuknya menyerupai mangkok dan
transparan karena tak mengandung pembuluh darah. Kornea ini mendapat nutrisi
makanan dari daerah limbus yang mengandung pembuluh darah. Lapisan luar kornea
juga mendapat nutrisi oksigen dari atmosfir dan lapisan dalam mendapat nutrisi dari
caioran akuos humor di bilik mata depan.

32
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam yaitu epitel lapisan Bowman, stroma,
membrane descemet dan endotel. Tebal kornea adalah 1,0 mm pada bagian tepi dan 0,8
mm pada bagian tengah serta mempunyai garis tengah 12 mm.
Kornea mendapat persarafan sensoris dari NVi (tri-geminal). Pada epitel kornea banyak
dijumpai serabut saraf dengan ujung tanpa sarung saraf. Bila lapisan ini terpapar, akan
timbul sensasi nyeri yang berat ringannya tergantung dari jumlah dan lokasi serabut saraf
yang terkena.
Ada tiga hal yang menyebabkan kornea menjadi transparan yaitu avaskular, struktur yang
tersusun teratu, dan keadaan yang dehidrasi relative.
Kornea merupakan jendela tempat masuknya cahaya ke dalam mata dan berfungsi
sebagai media refraksi yang terdepan.
Berkas cahaya dari luar (yang arahnya masih rancu) yang masuk ke dalam mata akan
difokuskan oleh kornea. Sebagian besar fungsi refraksi (90 %) dipegang oleh kornea yang
mempunyai kekuatan refraksi sebesar kira-kira 43D. Kornea akan berakhir di limbus dan
akan melanjutkan diri sebagai sklera.

SKLERA
Sklera adalah lapisan terluar yang membungkus 4/5 bagian bola mata. Terdiri dari
jaringan ikat dan berfungsi sebagai pelindung mata. Sklera kea rah belakang akan
bersatu dengan pembungkus saraf N. Optik.

UVEA
Berada di bagian tengah bola mata dan terdiri dari bagian yaitu: iris, badan siliar dan
koroid. Hanya iris yang dapat diamati dari luar.

Iris merupakan jaringan uvea depan yang permukaannya rata dan mempunyai kripti-kripti.
Iris memberi warna (biru, coklat, abu-abu) mata seseorang karena terdapat sel-sel
pigmen. Iris orang albino tidak berwarna karena tidak mengandung pigmen.

Bagian tengah iris yang merupakan celah disebut pupil. Pada iris terdapat 2 macam otot
yaitu otot sfingter (sphincter pupilae) yang dipersarafi parasimpatis untuk mengecilkan
pupil (miosis) dan otot dilator (delator pupilae) yang dipersarafi simpatis untuk melebarkan
pupil (midriasis).

Pupil berfungsi untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata. Pupil akan
membesar bila seseorang sedang marah, ketakutan dan bila berada di tempat yang
gelap. Pupil akan mengecil bila berada di tempat terang untuk mengurangi cahaya yang
masuk agar tidak silau dan dapat melihat dengan jelas. Kearah belakang iris akan

33
menjadi badan siliar yang berbentuk segitiga. Badan siliar berfungsi memproduksi cairan
bola mata (akuos humor) dan menjadi tempat melekatnya tali penggantung lensa (zonula
zinii).

Di dalam badan siliar terdapat 3 macam otot yang mengatur relaksasi dan kontraksi tali
penggantung lensa, dapat menyesuaikan diri untuk melihat jauh dan dekat (fungsi
akomodasi lensa) kearah badan siliar akan menjadi koroid yang terletak diantara skelera
dan retina. Koroid banyak mengandung pembuluh darah yang berguna untuk memberi
nutrisi kepada sebagian lapisan retina.

LENSA
Terletak dibelakang iris dan pupil berbentuk cembung (bikonveks), tidak mengandung
darah (avaskuler), tidak berwarna dengan tebal 4 mm dan diameter 9 mm.
Lensa tetap berada pada tempatnya karena digantung oleh tali penggantung lensa
(Zonula zinii) yang merupakan serabut-serabut berasal dari badan siliar dan berinsersi
dilensa didaerah equator. Lensa mendapat nutrisi dari cairan bola mata sekitarnya
sebagian besar terdiri dari air dan sisanya terdiori dari protein.

Lensa terdiri dari kapsul anterior dan posterior yang membungkus lensa. Dibawah kapsul
terdapat kortek dan tengahnya terdapat nucleus. Serabut lensa diproduksi sepanjang
tahun, sehingga serabut yang lebih dulu terbentuk akan memadat didaerah sentral
membentuk nucleus. Makin tua seorang, lensa semakin tebal dan kekenyalan berkurang.
Lensa merupakan bagian mata yang mempunyai fungsi sebagai media refraksi. Untuk
dapat menjadi media refraksi yang baik lensa harus jernih. Pada usia muda lensa
mempunyai kekenyalan tertentu yaitu dapat mencembung (power refraksi meningkat)
atau memipih (power refraksi menurun) sehingga membuat bayangan benda yang dilihat
tepat jatuh di retina sehingga mata dapat melihat objek yang jauh maupun yang dekat
dengan jelas. Kemampuan ini yang kenal dengan daya akomodasi. Lensa
mempunyaikekuatan kira-kita 20 Dioptri.

Makin tua usia seseorang kekenyalan lensa menjadi berkurang, yang menyebabkan daya
akomodasi menurun sehingga mulai usia 40 tahun biasanya orang mulai sulit melihat
benda berada pada jarak baca. Keadaan ini yang disebut sebagai presbyopia. Bila lensa
menjadi keruh/putih disebut lensa katarak yang dapat terjadi akibat proses tua, akibat
trauma atau keadaan lain. Bila didapatkan katarak sejak lahir disebut katarak congenital.
Pada orang ini penglihatan akan mundur perlahan-lahan karena terhalang oleh
kekeruhan.

34
BADAN KACA
Terletak di belakang lensa jernih, avaskuler, berbentuk agar-agar. Makin tua seseorang
badan kaca makin encer. Badan kaca mengisi 2/3 bagian dari bola mata, merupakan
bagian terbesar dari berat bola mata, bila isi badan kaca keluar mata akan kolaps. Badan
kaca juga berfungsi sebagai media refraksi.

RETINA
Retina melapisi 2/3 bagian dalam posterior bola mata. Retina terdiri dari lapisan jaringan
saraf (sensoris retina) dan jaringan pigmen retina. Secara histologis retina terdiri dari 9
lapisan. Lapisan sensoris retina ini mudah terlepas dari lapisan pigmen retina dan
keadaan retina disebut ablation retina.

Tebal retina 0,1 mm di daerah tepid an 0,23 mm di bagian polus posterior. Bagian yang
paling tipis berada di fovea sentralis yaitu bagian sentral macula. Retina yang normal
adalah transparan. Pada pemeriksaan oftalmoskop akan tampak reflek fovea macula.
Refleks ini dapat terlihat pada retina yang pucat atau pada orang tua.
Sistem optik dari luar berakhir sampai di retina (lapisan sel kerucut dan batang).
Selanjutnya cahaya tersebut akan dioalh secara kimiawi dan dikirim ke otak untuk
dianalisa. Sel kerucut terutama berguna untuk penglihatan detail dan berwarna, dan
terutama terdapat di macula, bahkan di fovea hanya mengandung sel kerucut. Daerah
fovea inilah yang memberikan tajam penglihatan terbaik. Sel batang yang terutama
berada di luar macula berfungsi untuk penglihatan gelap atau untuk penglihatan benda
yang bergerak.

AKUOS HUMOR
Salah satu hal yang mempertahankan bentuk bola mata ialah adanya tekanan bola mata
yang lebih besar dari tekanan atmosfir yang diperankan oleh adanya cairan bola mata
(akuos humor) didalam mata. Nilai normalnya berkisar antara 10-21 mm hg dan nilai ini
dipertahankan karena danya keseimbangan antara produksi akuos. Cairan bola mata ini
diproduksi oleh badan siliar.
Akuos akan mengalir ke bilik mata belakang (ruang diantara iris lensa, tali penggantung
lensa dan badan siliar), melalui celah antara lensa dan iris menuju pupil dan ke bilik mata
depan (ruang di belakng kornea dan iris). Setelah melalui sudut bilik mata akan masuk ke
anyaman trabekula ke kanal Schlemke kanal koletor dan akhirnya masuk ke sistem vena.
Bila produksi akuos terhambat maka tekanan bola mata akan meningkat dan akan timbul
penyakit yang disebut glaukoma.

35
LAPISAN AIR MATA.
Air mata yang membasahi permukaan mata sebetulnya terdiri dari 3 lapisan yaitu (dari
luar ke dalam lapisan) lemak yang dihasilkan oleh kelenjar Meibom; air dihasilkan oleh
kelenjar lakrimal dan musin yang dihasilkan oleh kelenjar goblet.
Pada keadaan normal air membentuk lapisan tipis air mata setebal 7-10 um yang melapisi
permukaan konjungtiva dan kornea dan berfungsi:

Membuat lapisan kornea menjadi licin dan memungkinkan untuk berfungsi sebagai media
refraksi. Melindungi kerusakan epitel konjungtiva dan kornea dengan
membasahi/melembabkan permukaannya.
Mencegah pertumbuhan kuman pada konjungtiva dan kornea dengan adanya mekanisme
menyapu dan efek anti mikroba.
Drainage air mata dimungkinkan dengan adanya gerakan kedipan kelopak mata yang
mendorong air mata ke arah punctum untuk selanjutnya dialirkan ke kanal okuli
interior/superior ke arah sakus lakrimalis-duktus nasolakrimalis dan akhirnya bermuara ke
hidung. Kekurangan salah satu komponen yang membentuk lapisan air mata dapat
menyebabkan keadaan dry eyes (mata kering) kerusakan dari system drainage ini
menyebabkan epifora.

36
Gambar 2 Otot Penggerak Mata

Penggerakan bola mata diatur oleh otot luar bola mata.


Ada 6 otot luar bola mata dan dipersarafi oleh 3 syaraf otak.
 Rektus media - N III – gerak utama ke medial.
 Rektus lateral – N VI – gerak utama ke temporal.
 Rektus superior – N III – gerak utama ke atas.
 Rektus inferior – N III – gerak utama ke bawah.
 Obliqus superior – N IV
 Obliqus inferior – N III

Kedua otot obliqus terutama berfungsi memutar bola mata.


Keadaan otot penggerak bola mata tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi bekerja secara
terkoodinir misalnya sewaktu melirik ke kanan maka yang bekerja ialah rektus lateral
kanan dan rektus media kiri. Mata orang normal posisinya di tengah-tengah yang berarti
kerja otot-otot tersebut serasi. Bila kerja otot serasi akan terjadi penyimpangan yang
disebut juling (strabismus).

B. GANGGUAN PENGLIHATAN

Seseorang dapat melihat dengan jelas bila: refraksi/ pembiasannya baik, media penglihatan
jernih dan fungsi retina sampai dengan otaknya baik.
Dibawah ini akan dibahas beberapa gangguan penglihatan, yaitu :
1. Kelainan Refraksi
2. Katarak
3. Glaukoma
4. Retinopati Diabetikum

I. Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi merupakan kelainan mata yang banyak terjadi di masyarakat. Untuk
dapat melihat sesuatu benda dengan jelas, bayangan benda tersebut harus dapat
ditangkap oleh retina mata, dengan kata lain sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga yang masuk ke mata harus difokuskan tepat pada retina.

37
Pada emetropia (keadaan refraksi mata normal), semua
sinar sejajar yang masuk ke dalam bola mata tanpa
akomodasi (dalam keadaan istirahat) akan difokuskan tepat
pada retina.

Terdapat 4 macam kelainan refraksi:

1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Astigmatisme
4. Presbiopia

Penjelasan lebih lanjut untuk masing-masing kelainan refraksi adalah sebagai berikut :
1. Miopia:
Miopia adalah kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari jarak tak
terhingga masuk ke dalam bola mata tanpa akomodasi akan difokuskan di depan
retina, sehingga retina tidak mendapatkan bayangan yang jelas.

Pembagian myopia berdasarkan struktur penyebabnya:


1. Miopia aksial: dimana sumbu bola mata lebih panjang dari normal
2. Miopia refraktif: yang disebabkan kelainan pada komponen refraksi mata,
seperti kornea atau lensa yang terlalu cembung

Tanda dan Gejala


 Penglihatan jauh kabur, sedangkan penglihatan dekat tetap terang (rabun jauh)
 Pada anak-anak dapat dijumpai gejala memicingkan mata saat melihat jauh,
atau mendekati objek yang dilihatnya.

Faktor Risiko
 Genetik

38
 Faktor risiko perilaku, yaitu extensive near workatau penggunaan mata untuk
melihat jarak dekat secara terus-menerus, contohnya membaca, bekerja
dengan komputer/laptop.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan pemberian lensa Sferis – (negatif)

2. Hipermetropia:
Adalah keadaan kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang masuk ke mata
tanpa akomodasi (dalam keadaan istirahat) difokuskan dibelakang retina, sehingga
retina tidak mendapatkan bayangan yang jelas.

Keluhan penderita tanpa akomodasi penglihatan jauh buram, melihat dekat lebih
buram lagi. Pada saat melihat objek yang jauh pasien dapat melakukan akomodasi
untuk memperjelas penglihatan.

Pembagian hipermetropia berdasarkan struktur penyebabnya:

1. Hipermetropia aksial: disebabkan sumbu bola lebih pendek dari normal

2. Hipermetropia refraktif: dimana daya bias mata berkurang seperti lensa/kornea


yang lebih datar, juga dijumpai pada penderita paska operasi katarak tanpa
tanam lensa (afakia)
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menggunakan kaca mata / lensa sferis plus(+)
untuk melihat jauh

Tanda dan Gejala


Karena mata terus menerus berakomodasi baik untuk melihat jauh maupun dekat,
maka akan timbul gejala-gejala:
1. Mata lekas lelah
2. Sakit kepala
3. Mata berair

Faktor Risiko
 Genetik (riwayat keluarga dengan hipermetropia)

39
3. Astigmatisme:
Adalah keadaan kelainan refraksi dimana sinar yang datang dari jarak tak terhingga
yang masuk kedalam bola mata tidak difokuskan pada satu titik focus tetapi lebih
difokuskan menjadi dua garis focus yang berbeda/tidak berhimpitan. Hal ini
disebabkan oleh kelengkungan kornea atau lensa yang tidak sama atau kepadatan
lensa yang tidak sama pada berbagai meridian.

Tanda dan Gejala

Pasien biasanya datang dengan keluhan penglihatan kabur dan sedikit distorsi yang
kadang juga menimbulkan sakit kepala. Pasien memicingkan mata, atau head tilt
untuk dapat melihat lebih jelas.
a. Mata sering lelah
b. Sakit kepala
c. Nyeri di bagian sekitar mata, terutama di bagian alis
d. Sering memicingkan mata
e. Sering merubah posisi kepala (head tilt) untuk melihat lebih jelas

Faktor Risiko
1) Genetik
2) Usia
3) Jaringan parut di kornea akibat trauma atau penyakit kornea

4. Presbiopia:
Adalah suatu perubahan fisiologis yang terjadi pada rerata usia 40 tahun ke atas
dimana terjadi kekakuan lensa sehingga sinar yang datang dari objek dekat
difokuskan dibelakang retina.
Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian kacamata untuk jauh (bila perlu)
dengan tambahan lensa sferis (+) untuk membaca.

40
Tanda dan Gejala
 Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
 Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca.

Faktor Risiko
Usia lanjut umumnya lebih dari 40 tahun, tetapi dapat juga pada umur yang lebih
muda dari 40 tahun. Deteksi dini dilakukan dengan kuesioner wawancara.

II. Katarak

Katarak adalah proses degeneratif berupa kekeruhan di lensa


bola mata sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan
penglihatan sampai kebutaan. Kekeruhan ini disebabkan oleh
terjadinya reaksi biokimia yang menyebabkan koagulasi
protein lensa.

Katarak bisa terjadi secara kongenital atau didapat. Pada umumnya katarak terjadi karena
proses degenerasi yang berhubungan dengan penuaan, atau bisa juga didapat akibat dari
trauma dan induksi oleh obat-obatan (steroid, klorpromazin, alupurinol, amiodaron)
ataupun komplikasi dari kondisi sistemikseperti diabetes mellitus atau penyakit mata
seperti glukoma dengan uveitis. Keadaan diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya
proses katarak.
Berdasarkan patogenesis /etiologinya katarak dibagi :
1. Katarak Senilis: katarak akibat proses degenerasi ketuaan, 90% dari kasus katarak.
2. Katarak traumatika: katarak akibat rudapakasa pada lensa
3. Katarak komplikasi: katarak akibat penyakit mata dan penyakit sistemik seperti
diabetes, penggunaan tetes mata mengandung steroid, gangguan metabolisme, dan
lain-lain.
4. Katarak kongenital: katarak sejak lahir

41
Bedasarkan kekeruhan lensa, katarak dapat dibagi menjadi:

1. Katarak Imatur 2. Katarak Matur 3. Katarak Hipermatur


 Tanda dan Gejala
1. Penglihatan kabur, ciri khasnya adalah seperti melihat dari balik air terjun atau kabut
putih.
2. Penglihatan ganda
3. Silau
4. Penglihatan semakin kabur, walau sudah berganti-ganti ukuran kacamata

 Faktor risiko
1. Usia lanjut diatas 40 tahun
2. Riwayat keluarga
3. Dapat disebabkan oleh penyakit mata lain (misal : glaukoma, uveitis, trauma)
4. Kelainan sistemik (misal : Diabetes Mellitus)
5. Pemakaian tetes mata steroid secara rutin
6. Kebiasaan merokok
7. Paparan sinar Ultraviolet

Gambar 3 . Skema Mekanisme Patogenesis Katarak

42
III. Glaukoma

Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit


yang menyebabkan suatu resultan yakni terjadinya
degenerasi optik disk dan kelainan dalam lapang
pandang biasanya disebabkan karena tekanan bola

mata yang tinggi. Harus dibedakan dengan hipertensi okuler yaitu suatu keadaan
dimana tekanan intraokuler meninggi tanpa kerusakan pada optik disk (papil saraf optic)
dan kelainan lapang pandang.

Glaukoma dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor biologis, medis, psikologis,
antropologis, geografis dan lain-lain.

Klasifikasi Glaukoma

a. Glaukoma primer

1) Glaukoma primer sudut terbuka (simple glaucoma, wide angle glaucoma, chronic
simple glaucoma) adalah glaukoma yang paling sering ditemukan,di ras
kaukasia.
2) Glaukoma primer sudut tertutup (narrow angle glaucoma, closed angle
glaucoma, acute congestive glaucoma). Bisa terdapat dalam bentuk akut, sub-
akut atau kronik, bentuk ini banyak terdapat di Asia.

Tanda dan Gejala


Tergantung ditemukan dalam keadaan akut atau kronik, berikut adalah tanda dan
gejala:
 Glaukoma Akut
1. Mata merah
2. Tajam penglihatan turun mendadak
3. Rasa sakit atau nyeri pada mata yang dapat menjalar ke kepala
4. Mual dan muntah (pada tekanan bola mata yang sangat tinggi)
5. Lapang pandang menyempit
 Glaukoma Kronik
Pada glaukoma kronik, kadang-kadang tidak terlihat tanda dan gejala yang khas,
sehingga seringkali ditemukan setelah keadaan lanjut.

Faktor Risiko

43
1) Bilik Mata Depan Yang Dangkal
2) Usia Diatas 40 Tahun
3) Riwayat Keluarga
4) Penyakit Degeneratif seperti : kelainan Kardiovaskular, Hipertensi, Diabetes
Melitus,Hipotensi
5) Vasospasme
6) Migrain
b. Glaukoma Kongenital
1) Glaukoma kongenital primer atau infantil (buftalmos)
2) Glaukoma yang menyertai kelainan-kelainan kongenital, termasuk tipe
sebelumnya sebagai glaukoma juvenil.

c. Glaukoma Sekunder/kronis :

Glaukoma sekunder terjadi akibat penyakit lain, dapat karena kelainan di mata
namun dapat pula diluar mata (sistemik). Pada glaukoma sekunder, dapat
ditemukan riwayat pemakaian obat steroid secara rutin atau riwayat trauma pada
mata, katarak, miop tinggi diabetes, dll.

d. Glaukoma Absolut:

Hasil akhir dari suatu glaukoma yang tak terkontrol berupa mengerasnya bola
mata, berkurangnya penglihatan sampai dengan nol.Glaukoma absolut dapat
disertai nyeri (glaucoma absolut dolorosa) atau tidak nyeri (non dolorosa). Rata-
rata glaukoma absolut terjadi 1–2 tahun setelah serangan pertama, apabila:

a. Tak mau diberi pengobatan


b. Tak mau dioperasi
c. Salah diagnosis
d. Salah penanganan
e. Salah pengobatan dan
f. Tekanan dibiarkan tinggi

IV. Retinopati Diabetikum

Retinopati diabetikum adalah suatu mikroangiopati yang mengenai prekapiler retina,


kapiler dan venula, sehingga menyebabkan oklusi mikrovaskuler dan kebocoran vaskuler,
akibat kadar gula darah yang tinggi dan lama. Retinopati diabetik dapat menyebabkan
penurunan visus dan kebutaan, terutama akibat komplikasi seperti edema makula,
perdarahan vitreus, ablasio retina traksional dan glaukoma neovaskular.

44
Retinopati diabetikum adalah penyebab kebutaan ke 5 terbesar secara global (Data
WHO, 2007). Di Indonesia, diperkirakan prevalensi retinopati diabetik sebesar 0.13%
(SKRT 1996). Retinopati diabetikum dapat ditemukan pada remaja, dewasa hingga usia
lanjut.

Seorang penyandang diabetes umumnya berisiko menderita retinopati diabetik setelah 5


tahun menderita diabetes, dan prevalensinya meningkat dengan meningkatnya durasi
menyandang diabetes. Pada DM tipe I yang menderita DM 10-15 tahun didapatkan
retinopati diabetik sebanyak 90%. Pada DM tipe II, dengan durasi DM kurang dari 15
hingga 20 tahun, didapatkan prevalensi retinopati diabetikum sebesar 53%-84%.

Terapi retinopati diabetikum saat ini adalah fotokoagulasi laser, vitrektomi dan obat Anti-
VEGF intravitreal. Fotokoagulasi laser bertujuan mempertahankan penglihatan dan
mencegah progresivitas penyakit. Bedah vitrektomi dilakukan bila didapatkan perdarahan
vitreus yang non-clearing atau terjadi ablasio retina traksional. Kontrol gula darah dan
pengendalian faktor sistemik lain (hipertensi, hiperlipidemia) penting untuk memperlambat
timbulnya atau progresif-nya retinopati diabetikum.

Tanda dan Gejala


a. Tidak ada keluhan penglihatan
b. Penglihatan buram terjadi terutama bila terjadi edema macula
c. Floaters atau penglihatan mendadak terhalang akibat komplikasi perdarahan vitreus
dan / atau ablasio retina traksional

Faktor risiko
a. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik
b. Hipertensi yang tidak terkontrol dengan baikHiperlipidemia

C. DETEKSI DINI

1. Deteksi dini pada kelompok usia bayi dan balita

Deteksi dini ini bertujuan untuk menjaring terjadinya kasus gangguan penglihatan dan
kebutaan pada bayi dan balita. Deteksi dini pada anak usia balita atau pra sekolah
dilakukan dengan menggunakan instrumen Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang (SDIDTK) Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Primer yang dikembangkan
Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Deteksi dini juga dilakukan untuk melihat secara dini adanya penyimpangan tumbuh
kembang balita termasuk menindaklanjuti setiap keluhan orang tua terhadap masalah

45
tumbuh kembang anaknya. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan
pada anak usia balita dilakukan di semua tingkat pelayanan.

Deteksi dini sudah dapat dilakukan pada bayi dan batita berusia kurang dari 3 – 36 bulan
menggunakan instrumen untuk menilai kemampuan visual anak.

No Kelompok Umur Kemampuan Visual


1 < 3 bulan  Apakah bayi dapat tersenyum?
 Apakah bayi kenal dengan orang tua, seperti tersenyum
lebih cepat pada orang tua dibandingkan orang lain?
2 3 – 6 bulan  Pemeriksa menatap mata bayi sekitar 45 cm, lalu gunakan
mainan untuk menarik pandangan bayi ke kiri, kanan, atas
dan bawah, Apakah bayi dapat mengikutinya?
 Apakah bayi berkedip bila pemeriksa melakukan gerakan
menusuk mata, lalu berhenti sekitar 3 cm tanpa menyentuh
mata?
3 6 – 12 bulan  Apakah bayi mengikuti perintah dengan dibantu gerakan
badan, seperti stop, berikan mainanmu?
 Apakah bayi secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba
4 12 – 18 bulan  Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
 Apakah anak menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua
jari?

5 18 – 24 bulan  Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan


gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
 Apakah anak menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua
jari?

6 24 – 30 bulan  Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan


gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
 Apakah anak menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua
jari?
7 30 – 36 bulan  Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan
gerakan tubuh seperti pok ame-ame atau cilukba?
 Apakah anak menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin
sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua
jari?

Deteksi dini gangguan penglihatan dan kebutaan pada anak usia prasekolah umur 36
bulan sampai 72 bulan dilakukan melalui Tes Daya Lihat (TDL).
46
1) Tujuan tes daya lihat

Adalah mendeteksi secara dini kelainan daya lihat agar segera dapat dilakukan
tindakan lanjutan sehingga kesempatan untuk memperoleh ketajaman daya lihat
menjadi lebih besar.

2) Jadwal tes daya lihat

Dilakukan setiap 6 bulan. Tes ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, guru TK, tenaga
PAUD dan petugas terlatih lainnya. tenaga kesehatan mempunyai kewajiban
memvalidasi hasil pemeriksaan tenaga lainnya.

3) Alat/sarana

a. Ruangan yang bersih, tenang dengan penyinaran yang baik

b. Dua buah kursi, 1 untuk anak, 1 untuk pemeriksa

c. Poster “E” untuk digantung dan kartu “E” untuk dipegang anak

d. Alat penunjuk

4) Cara melakukan tes daya lihat

a. Gunakan ruangan yang bersih dan tenang, dengan penyinaran yang baik

b. Gantungkan poster “E” setinggi mata anak pada posisi duduk

c. Letakkan sebuah kursi sejauh 3 meter dari poster menghadap ke poster “E”

d. Letakkan sebuah kursi lainnya disamping poster “E” untuk pemeriksa

e. Pemeriksa memberikan kartu “E” pada anak. Latih anak dalam mengarahkan kartu
“E” menghadap atas, bawah, kiri, dan kanan, sesuai yang ditunjuk pada poster “E”
oleh pemeriksa. Beri pujian setiap kali anak mau melakukannya. Lakukan hal ini
sampai anak dapat mengarahkan kartu “E” dengan benar.

f. Selanjutnya, anak diminta menutup sebelah matanya dengan buku/kertas.

47
g. Dengan alat penunjuk, tunjuk “E” pada poster, satu persatu, mulai baris pertama
sampai baris keempat atau baris “E” terkecil yang masih dapat dilihat.

h. Puji anak setiap kali dapat mencocokkan posisi kartu “E” yang dipegangnya dengan
huruf “E” di poster.

i. Ulangi pemeriksaan tersebut pada mata satunya dengan cara yang sama.

j. Tulis baris “E” terkecil yang masih dapat dilihat, pada kertas yang telah disediakan :

Mata Kanan : ................. Mata Kiri : ..........................

Interpretasi :

Anak prasekolah umumnya tidak mengalami kesulitan melihat sampai baris ketiga pada
poster “E”. Bila kedua mata anak tidak dapat melihat baris ketiga poster “E”, artinya tidak
dapat mencocokkan arah kartu “E” yang dipegangnya dengan arah “E” pada baris ketiga
yang dirujuk oleh pemeriksa, kemungkinan anak mengalami gangguan daya lihat.

Intervensi :

Bila kemungkinan anak mengalami gangguan daya lihat, minta anak datang lagi untuk
pemeriksaan ulang. Bila pada pemeriksa berikutnya, anak tidak dapat melihat sampai
baris yang sama, atau tidak dapat melihat baris yang sama dengan kedua matanya,
rujuk ke Rumah Sakit dengan menuliskan mata yang mengalami gangguan (kanan, kiri,
atau keduanya).

2. Deteksi Dini pada Kelompok Usia Sekolah dan Remaja

Deteksi dini gangguan penglihatan dan kebutaan pada anak usia sekolah dan remaja
dilakukan melalui kegiatan penjaringan kesehatan. Sasaran kegiatan penjaringan
kesehatan adalah seluruh peserta didik baru pada tahun ajaran baru kelas I, VII dan X di
sekolah/madrasah, baik negeri atau swasta termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Deteksi
dini secara berkala dilakukan pada anak usia 6–12 tahun yang bertujuan mencegah
terjadinya kelainan refraksi sejak dini.

Deteksi dini pada anak usia sekolah dan remaja utamanya dilakukan untuk mendeteksi
kelainan refraksi pada anak. Pada masa tersebut, penglihatan yang optimal merupakan
kunci penting untuk menyerap informasi pada proses belajar. Seringkali anak tidak
menyadari gangguan penglihatan yang dialami, sehingga dengan melakukan deteksi dini di
sekolah akan mendekatkan anak pada layanan kesehatan. Pelaksanaan di luar sekolah
adalah di Puskesmas, yang mungkin dilakukan bila disepakati dengan sekolah untuk
peserta didik yang tidak hadir pada waktu pelaksanaan penjaringan

48
kesehatan/pemeriksaan kesehatan di sekolah. Semakin awal diketahui, akan semakin
cepat dilakukan penanganan dini, yaitu dengan penggunaan kacamata koreksi pada anak.

Deteksi dini pada anak usia sekolah dan remaja dilakasanakan dengan mengintegrasikan
dengan kegiatan penjaringan kesehatan pada peserta dididk. Pelaksanaan yang terbaik
adalah pada tahun ajaran baru yaitu antara bulan Juli sampai Desember, tetapi dalam
menghadapi keterbatasan tenaga kesehatan di puskesmas maka diberikan kesempatan
sepanjang satu tahun ajaran untuk menjangkau seluruh SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA.

a) Tenaga pelaksana penjaringan kesehatan

Adalah petugas kesehatan dibantu oleh guru dan kader kesehatan sekolah (dokter
kecil/kader kesehatan remaja).

b) Peralatan adalah UKS Kit, antara lain:


1) Snellen, alat untuk pemeriksaan visus
2) Tes buta warna (ISHIHARA)
3) Pinhole

c) Tindak lanjut

Tindak lanjut dari kegiatan ini adalah: upaya Cerdik di Sekolah, siswa/siswi diberikan
KIE dan konseling tentang pentingnya berperilaku sehat mengikuti standar cara
membaca dan menonton dengan benar melihat aspek–aspek ergonomi,
pencahayaan dan jarak.

3. Deteksi Dini pada Kelompok Usia Produktif


Kelompok usia produktif merupakan kelompok usia terbanyak di masyarakat, yang
merupakan sasaran strategis untuk dilakukan deteksi dini. Kelompok usia produktif
merupakan kelompok yang rentan dan berisiko terhadap kondisi–kondisi terjadinya
gangguan penglihatan dan kebutaan. Deteksi dini pada kelompok usia produktif di
masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan Posbindu.

Mayoritas masyarakat usia produktif merupakan kelompok pekerja, sehingga strategi yang
dilakukan adalah deteksi dini melalui posbindu di tempat kerja dan Pos Usaha Kesehatan
Kerja atau UKK (untuk pekerja sektor informal). Deteksi dini dapat dilakukan secara berkala
satu bulan sekali. Petugas pemeriksa adalah kader terlatih yang didampingi tenaga
kesehatan.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan tajam penglihatan menggunakan alat


berupa Kit Ophtalmologi Komunitas yang termasuk dalam Posbindu Kit.

49
Langkah–langkah pemeriksaan tajam penglihatan yang dapat dilakukan oleh kader
Posbindu adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan tajam penglihatan sederhana dilakukan menggunakan kartu E yang telah
disederhanakan atau Tumbling E, tali pengukur 6 meter dengan penanda/multiple cincin di
kedua ujungnya dan penanda pada 1 meter & 3 meter, occluder atau penutup mata dengan
pinhole flexible.

Tujuan pemeriksaan yaitu untuk mengukur ketajaman penglihatan seseorang. Ketajaman


penglihatan diukur dengan 'E' Snellen optotypes ukuran 12 (VA 6/12), 18 (VA 6/18) dan 60
(VA 6/60) di 6 meter.Ukuran 60 juga dapat digunakan pada jarak 3 atau 1 meter untuk
mengukur VA dari 3/60 dan 1/60 masing-masing.VA pengukuran terbaik dilakukan di siang
hari, di halaman atau ruang terbuka.Jarak diukur dengan tali/pita khusus dengan panjang 6
meter dan penanda pada jarak 3 meter dan 1 meter dari responden, serta sebuah cincin /
simpul pada kedua ujungnya.
Cara Pengukurannya :
1) Perkenalkan diri dan berikan penjelasan singkat cara pemeriksaan serta cara
penggunaan occluder atau penutup mata dan pinhole pada peserta posbindu, yang
selanjutnya disebut sebagai responden. Responden diminta untuk
menyebutkan/menunjuk arah kaki huruf E yang terlihat (arah ke atas, ke bawah,
kanan, atau kiri). Dapat dijawab dengan isyarat arah tangan sesuai arah kaki huruf E.

2) Pemeriksa menempatkan satu cincin di jari sebagai penanda,responden melakukan


hal yang sama dengan cincin di ujung pita lainnya.

3) Pemeriksaan dimulai dari mata kanan tanpa menggunakan pinhole, dengan mata kiri
tertutup. Upayakan mata responden tidak tertekan.
Catatan:

50
Ketika tes dilakukan upayakan mata responden tidak memicing saat huruf tidak terlihat.
Sarankan untuk mengedipkan mata sebentar dengan tujuan membasahi mata, karena
kemungkinan mata kering sehingga pandangan kabur.
4) Pemeriksaan dimulai dari jarak 6 meter. Responden diminta untuk menunjukkan arah
kaki E, dimulai dari huruf E yang paling besar terlebih dahulu. Tekniknya adalah
pemeriksa memutar-mutar optotype atau kartu E untuk mengubah arah kaki huruf E.
Rotasi ini harus dalam berbagai arah untuk menghindari responden menghafal
jawaban.

5) Tes dilakukan sebanyak 4 kali, apabila jawaban benar semua maka dilanjutkan pada
tes yang lebih sulit yaitu huruf yang lebih kecil. Apabila terdapat kesalahan saat
menjawab, ulangi terlebih dahulu sampai dengan 5 kali.

Kriteria tajam penglihatan dinilai dari 4 jawaban berturut-turut yang benar, atau
benar 4 dari 5 pemeriksaan.

6) Apabila responden tidak dapat menjawab benar minimal 4 kali dari 5 tes yang
diberikan, catat di kartu pemeriksaan untuk hasil pemeriksaan terakhir, misalkan pada
jarak 6 meter ditulis 6/60 (untuk huruf yang paling besar), 6/18 (untuk huruf ukuran
sedang), atau 6/12 (untuk huruf ukuran paling kecil).

7) Mata dengan tajam penglihatan 6/12 atau lebih baik, maka responden tidak perlu
diperiksa menggunakan pinhole. Setiap mata dengan tajam penglihatan kurang dari
6/12 harus diperiksa untuk ketajaman dengan menggunakan pinholesampai diperoleh
visus terbaik. Jika orang tersebut memakai kacamata, tempatkan pinhole di depan
kacamata. Lakukan tes dengan pinhole sesuai tahapan sebelumnya.

8) Lakukan pemeriksaan yang sama untuk mata kiri.

9) Apabila ditemukan hasil pemeriksaan 3/60, disarankan agar peserta posbindu dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan. Angka 3/60 menunjukkan bahwa peserta posbindu
mengalami gangguan penglihatan.

Peserta posbindu dengan hasil pemeriksaan menunjukkan indikasi gangguan


penglihatan dirujuk ke FKTP untuk memperoleh pemeriksaan lebih lanjut. Penegakan
diagnosa dan perawatan dilakukan oleh tenaga kesehatan di FKTP.

51
Gambar 6. Algoritma Pemeriksaan Tajam Penglihatan (Visual Acuity/VA)

4. Deteksi Dini pada Kelompok Usia Lanjut

Gangguan penglihatan dan kebutaan disebabkan oleh faktor degeneratif atau penuaan,
sehingga kelompok usia lanjut merupakan kelompok usia yang paling berisiko terhadap
terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan. Para ahli menyebutkan faktor risiko
katarak dan glaukoma adalah usia lebih dari 50 tahun, sehingga perlu dilakukan intervensi
khusus untuk mencegah terjadinya gangguan penglihatan dan kebutaan.

Upaya deteksi dini dilakukan melalui kegiatan Posbindu yang dilaksanakan oleh kader
terlatih dan didampingi petugas kesehatan. Tindak lanjut dari hasil deteksi dini adalah
segera melakukan rujukan peserta posbindu yang mengalami gangguan penglihatan
dengan hasil kurang dari 3/60.

Teknik Pemeriksaan Tajam Penglihatan Sederhana dengan Metode Hitung Jari

Cara pemeriksaan :

52
1. Pemeriksa berdiri 6 meter dari responden di ruang terbuka. Sumber penerangan
sebisa mungkin sinar matahari.
2. Pemeriksaan dimulai dengan mata kanan, mata kiri ditutup menggunakan penutup
mata atau dengan telapak tangan tanpa penekanan. Demikian juga sebaliknya pada
pemeriksaan mata kiri.
3. Pemeriksa mengacungkan jari, setinggi posisi mata responden untuk menghitung
jumlah jari pemeriksa.
4. Jika responden salah menghitung jari pemeriksa minimal ≥ 2 kali dari 5 kali
pemeriksaan, berarti responden mengalami gangguan penglihatan. Maka segera
rujuk ke FKTP terdekat.

Peserta posbindu dengan katarak, dirujuk ke FKTP untuk dilakukan pemeriksaan


lebih lanjut dan diberikan konseling, serta anjuran untuk kontrol rutin jika katarak
belum matang. Apabila katarak telah matang atau mature, maka pasien segera
dirujuk ke Rumah Sakit untuk dilakukan operasi.

Peserta posbindu dengan glaukoma, dirujuk ke FKTP untuk dilakukan


pemeriksaan lebih lanjut, dan apabila ditemukan kasus kedaruratan, pasien segera
dirujuk ke Rumah Sakit untuk dilakukan operasi.

D. PEMERIKSAAN DAN PENANGANAN GANGGUAN PENGLIHATAN DAN


KEBUTAAN

Alur pikir untuk pemeriksaan gangguan penglihatan diawali dengan anamnesa,


selanjutnya pemeriksaan tajam penglihatan dengan snellen chat Apabila penurunan
tajam penglihatan belum dapat dikoreksi dengan lensa, maka dilakukan pemeriksaan
segmen anterior mata dan funduskopi. (uraian lengkap pada lampiran 1, algoritma
pemeriksaan tajam penglihatan).
a. Anamnesa
Langkah awal sebelum melakukan pemeriksaan pada mata, untuk menegakkan
diagnosis penyakit mata adalah melakukan anamnesis dengan teliti dan ramah. Catat
identitas pasien, pertama kita tanyakan adalah keluhan utama yang menyebabkan
pasien mencari pertolongan pada dokter atau petugas kesehatan lainnya. Keluhan
utama yang sering kita jumpai dapat kita golongkan ke dalam:

 Mata tenang, penurunan tajam penglihatan (visus) secara perlahan


 Mata tenang, penurunan tajam penglihatan (visus) secara mendadak
 Mata merah, tidak disertai penurunan tajam penglihatan (visus)

53
 Mata merah, disertai penurunan tajam penglihatan (visus)
 Trauma/cedera mata
 dan lain-lain

Keluhan-keluhan ini mungkin akan kita jumpai bersama keluhan lain seperti lakrimasi,
fotofobia dll atau mungkin bersama-sama/sekaligus kita jumpai keluhan-keluhan
tambahan yang lain, misalnya :

 Floaters atau melihat benda melayang


 Fotopsia atau melihat kilat
 Sakit kepala
 Rasa sakit pada mata (ocular pain)
 Melihat dobel
 Kelainan posisi dan pergerakan bola mata
 Kelainan jaringan sekitar mata (kelopak, orbita)

Kemudian kita coba telusuri perjalanan penyakitnya:


o Kapan mulai timbul (sudah berapa lama)
o Bagaiman sifatnya: mendadak, berangsur-angsur atau hilang timbul.
o Apakah sudah diobati, obat apa yang diberi
o Tanyakan riwayat penyakit terdahulu
o Tanyakan riwayat operasi terdahulu
o Riwayat penyakit keluarga
o Riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, dll)
o Apakah ada hubungannya dengan pekerjaan pasien
o Atau adakah alergi

Bila anamnesis yang kita lakukan cukup baik dan teliti, kita sudah dapat menduga
penyakit pasien, sehingga pemeriksaan yang kita lakukan dapat lebih terarah

b. Pemeriksaan Mata Luar

Tujuan melakukan inspeksi:


1. kelopak mata
2. kelopak mata dengan eversi kelopak atas
3. bulu mata
4. konjungtiva, termasuk forniks
5. sklera
6. orifisium duktus lakrimalis

54
Alat dan Bahan
1. Penlight/ head lamp
2. Kaca pembesar/ Head binocular loop (3-5 Dioptri)
3. Cotton bud

Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Minta pasien untuk duduk di kursi periksa.
a. Inspeksi kelopak mata
Pemeriksa menilai kelopak mata pasien, apakah ada kelainan pada kelopak
mata.
b. Inspeksi kelopak mata dengan eversi kelopak mata.
- Pemeriksa meminta pasien untuk melirik ke bawah.
- Pemeriksa mengeversi kelopak mata atas dengan bentuan cotton bud. Cotton
bud diletakkan dikelopak mata atas bagian luar (diatas tarsus superior) dan
pemeriksa mengeversi kelopak mata atas dengan jari.
- Nilai apakah terdapat kelainan pada kelopak mata atas bagian dalam.
c. Inspeksi bulu mata
Pemeriksa menilai ada tidaknya bulu mata dan arah tumbuhnya bulu mata.
d. Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
Pemeriksa menilai konjungtiva tarsalis dan bulbi. Nilai adakah kelaianan pada
konjungtiva.
e. Inspeksi sklera
Pemeriksa menilai sklera pasien. Nilai adakah kelainan pada sklera.
f. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis (pungtum lakrimalis)
Pemeriksa menilai orifisium duktus lakrimalis. Nilai adakah sumbatan.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Inspeksi kelopak mata
Berikut beberapa kelainan pada kelopak mata:
a. Edema palpebra, difus. Dapat ditemukan pada sindroma nefrotik, penyakit
jantung, anemia, dakrioadenitis dan hipertiroid.
b. Benjolan berbatas tegas: hordeolum, kalazion, tumor.
c. Sikatriks dan jaringan parut pada kelopak.

55
d. Xantelasma: penimbunan deposit berwarna kekuningan pada kelopak,
terutama nasal atas dan bawah.
e. Ekimosis: kulit kelopak mata yang berubah warna akibat ekstravasasi darah
setelah trauma.
f. Posisi kelopak mata melipat kearah keluar: ektropion (konjungtiva tarsal
berhubungan langsung dengan dunia luar).
g. Posisi kelopak mata melipat kearah ke dalam: entropion (bulu mata
menyentuh konjungtiva dan kornea).
h. Blefarospasme: kedipan kelopak mata yang keras dan hilang saat tidur.
Dapat terjadi pada erosi kornea, uveitis anterior dan glaukoma akut.
i. Kelopak mata tidak dapat diangkat sehingga celah kelopak mata menjadi
lebih kecil (ptosis).
j. Pseudoptosis: kelopak mata sukar terangkat akibat beban kelopak. Dapat
terjadi pada enoftalmus, ptisis bulbi, kalazion, tumor kelopak dan edema
palpebra.
k. Kelopak mata tidak dapat tertutup sempurna (lagoftalmus) akibat
terbentuknya jaringan parut atau sikatrik yang menarik kelopak, entropion,
paralisis orbicularis atau terdapatnya tumor retrobulbar.
l. Blefarofimosis: celah kelopak yang sempit dan kecil.
2. Inspeksi bulu mata
a. Trikhiasis: bulu mata tumbuh ke arah dalam sehingga dapat merusak kornea
akibat gesekan kornea dengan bulu mata. Dapat disebabkan oleh blefaritis
dan entropion.
b. Madarosis: rontoknya bulu mata.
3. Inspeksi konjungtiva, termasuk forniks
a. Sekret
b. Folikel: penimbunan cairan dan sel limfoid dibawah konjungtiva tarsal
superior.
c. Papil: timbunan sel radang subkonjungtiva yang berwarna merah dengan
pembuluh darah ditengahnya.
d. Giant papil: berbentuk poligonal dan tersusun berdekatan, permukaan datar,
terdapat pada konjungtivitis vernal, keratitis limbus superior dan iatrogenik
konjungtivitis.
e. Pseudomembran: membran yang bila diangkat tidak berdarah. Dapat
ditemukan pada pemfigoid okular dan sindroma Steven Johnson.
f. Sikatrik atau jaringan ikat.

56
g. Simblefaron: melekatnya konjungtiva tarsal, bulbi dan kornea. Dapat
ditemukan pada trauma kimia, sindroma Steven Johnson dan trauma
mekanik.
h. Injeksi konjungtiva: melebarnya arteri konjungtiva posterior.
i. Injeksi siliar: melebarnya pembuluh perikorneal atau arteri siliar anterior.
j. Injeksi episklera: melebarnya pembuluh darah episklera atau siliar anterior.
k. Perdarahan subkonjungtiva.
l. Flikten: peradangan disertai neovaskularisasi disekitarnya.
m. Pinguekula: bercak degenerasi konjungtiva di daerah celah kelopak yang
berbentuk segitiga di bagian nasal dan temporal kornea.
n. Pterigium: proses proliferasi dan vaskularisasi pada konjungtiva yang
berbentuk segitiga.
o. Pseudopterigium: masuknya pembuluh darah konjungtiva ke dalam kornea.
4. Inspeksi orifisium duktus lakrimalis, sumbatan duktus laksimalis

c. Pemeriksaan Tajam Penglihatan


Ruangan:
 Ruangan dengan panjang minimal 6 meter.
 Penerangan yang baik

Alat:
 Optotip snellen
 Trial frame dan trial lens (gagang kaca mata uji coba)
 Penlight
 Penggaris untuk mengukur jarak pupil
 Kartu baca

Cara:
 Pasien duduk dengan nyaman pada jarak 6 meter dari optotip snellen.
 Lakukan pemeriksaan jarak pupil dengan menggunakan penggaris dan penlight

57
Tajam penglihatan
<6/6

Pemeriksaan refraksi

Tajam Penglihatan Tajam Penglihatan


terbaik masing-masing terbaik masing-masing
mata mencapai 6/6 mata tidak mencapai 6/6

Perbedaan Rujuk ke Faskes TK II


Perbedaan
refraksi antara refraksi antara
kedua mata <3D kedua mata >3D

Resep kaca mata Rujuk ke Faskes TK II

Gambar 7. Alur PemeriksaanVisus dan Refraksi


1. Pemeriksaan visus (tajam penglihatan)
a. Optotip Snellen : 6/60  6/6
b. Menghitung jari : 1/60  6/60
c. Gerakan tangan 1/300. Pemeriksaan proyeksi cahaya dari segala arah (atas,
bawah, nasal, temporal)
d. Membedakan terang gelap 1/~
e. Pemeriksaan proyeksi cahaya bertujuan menilai fungsi retina.
Contoh: bila arah atas tidak dapat membedakan terang gelap, misal 1/300 atau 1/~
proyeksi atas (-)
f. Tidak dapat membedakan terang gelap : Nol.
g. Menentukan kemampuan membaca dengan kartu baca.

58
2. Pemeriksan refraksi sederhana
a. Tentukan jarak antara pupil mata kanan dan kiri (PD):
 Pegang penggaris di depan kedua mata, pada jarak 33 cm.
 Sinar senter diarahkan ke tengah-tengah antara kedua mata pasien, perhatikan
reflex cahaya pada kedua kornea mata.
 Ukur jarak antara kedua reflex tersebut dalam mm, maka didapat PD untuk jarak
dekat. Tambah 2 mm untuk PD jauh.
b. Ukur kekuatan lensa sferis
Dilakukan bila visus tidak normal (<6/6)
1) Pasang kacamata percobaan pada posisi yang tepat (=PD jauh)
2) Pasang penutup (occluder) di depan salah satu mata yang belum akan
diperiksa.
3) Kembali melihat Optotip Snellen.
4) Letakkan lensa S+ atau lensa S- tergantung bertambah terang atau tidak pada
mata yang diperiksa. Tambah kekuatan lensanya sampai didapat visus terbaik
(Trial and Error)
 Bila miopia : dipilih untuk kacamata lensa S-terkecil yang memberi tajam
penglihatan terbaik
 Bila Hypermetropia: lensa S+ terbesar
5) Bila visus kurang dari 6/10 lakukan tes pinhole, letakkan pinhole di depan mata
yang diperiksa.
a. Bila lebih terang : mungkin lensa Sferis (S) belum cukup atau ada astigmat.
Dapat diberi kacamata bila penderita puas atau periksa lebih lanjut.
b. Bila tetap / lebih buruk : ada kelainan organik pada sistem optik mata,
cari kelainan tersebut atau rujuk.
c. Pada penderita yang mengeluh baca dekat (Presbyopia)
Umumnya diatas umur 39 tahun. Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut.
1. Sesuaikan PD untuk dekat
2. Beri lensa S+ umumnya disesuaikan umur S+1 (40 tahun), S+1,5 (45
thn), S+3 (60thn).
3. Membaca kartu baca dekat pada jarak baca yang baik (+30cm,
Jaegger3).
d. Menulis resep kacamata, misalnya A umur 45 tahun Miopia
R/ OD : S – 2.25 D
OS : S – 3.25 D PD 64 / 62 mm
Addisi ODS S + 1 50 D

59
(paraf)

d. PEMERIKSAAN DAN PENANGANAN GANGGUAN PENGLIHATAN

Apabila tajam penglihatan yang menurun belum dapat dikoreksi maksimal dengan lensa
koreksi, maka kita harus mencari tau penyebabnya dengan melakukan pemeriksaan segmen
anterior dan segmen posterior bola mata.Pemeriksaan segmen anterior dapat dilakukan
dengan lup dan senter. Yang dimaksud dengan segmen anterior adalah bagian yang
terdapat di depan membran hyaloid. sedangkan segmen posterior adalah yang terdapat di
belakangnya yang dapat diperiksa dengan oftalmoskop.

1. Pemeriksaan dan Penanganan katarak


Tajam penglihatan pada katarak bervariasi tergantung derajat kekeruhannya. Katarak
yang sudah matur atau sudah matang penglihatan hanya mampu menghitung jari,
gerakan lambaian tangan saja atau bahkan hanya dapat membedakan terang dan
gelap. Pada saat ini penderita sudah tidak dapat membaca huruf.
Pada pemeriksaan ditemukan:

 Tajam penglihatan < 6/18. Dengan tes pinhole, tajam penglihatan tidak dapat
menjadi lebih baik
 Adanya kekeruhan lensa, terlihat warna kelabu atau putih di daerah pupil
(leukokoria). Pada balita leukokoria harus dipikirkan kemungkinan tumor ganas
retinoblastoma.
 Pada pemeriksaan bayangan (shadow test) bisa terdapat shadowpositif, negatif
ataupun pseudo positif tergantung dari derajat kekeruhan lensa.
 Pada pemeriksaan red reflex dengan oftalmoskop terlihat bercak-bercak hitam di
daerah pupil. Reflek fundus (warna merah) masih tampak pada katarak imatur.
Pada katarak matur reflek fundus tidak terlihat lagi.
 Pada pemeriksaanfunduskopi dengan oftalmoskop, bervariasi. Pada katarak
imatur, maka retina masih dapat terlihat samar-samar, sedangkan pada katarak
yang telah matur bayangan retina sudah tidak terlihat.

Peralatan
1) Senter
2) Snellen Chart
3) Tonometri Schiotz
4) Oftalmoskop

60
Cara pemeriksaan
1. Pemeriksaan segmen anterior dengan lup-senter
Langkah-langkah:
Sinari pupil dari depan. Perhatikan warna pupil.
a. Pupil berwarna hitam
1) lensa jernih
2) aphakia
b. Pupil putih/abu-abu : keruh/katarak

2. Pemeriksaan Uji shadow


Langkah-langkah:
Ubah sinar dari samping (kurang lebih 45%), dan sinari iris. Perhatikan
bayangan iris pada kekeruhan lensa.

Teknik Pemeriksaan Tes Bayangan (Shadow Test)


Tujuan tes bayangan adalah untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa. Dasar
pemeriksaan adalah makin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka
makin besar bayangan iris pada lensa yang keruh tersebut, sedang makin tebal
kekeruhan lensa makin kecil bayangan iris pada lensa.
Alat :
Penlight dan loup
Cara :
Penlight disinarkan pada pupil dengan membuat sudut 45° dengan dataran iris,
dengan loup dilihat bayangan iris pada lensa yang keruh.
Penilaiannya :
1. Apabila seluruh pupil tetap putih, dan tidak ada bayangan iris di lensa yang
keruh, maka tes shadow/bayangan (-) . Hal ini terdapat pada katarak
stadium matur.
2. Apabila sebagian pupil menjadi hitam, yang merupakan bayangan iris di
kekeruhan lensa, maka disebut tes bayangan (+) yang terdapat pada katarak
immatur
3. Apabila terdapat bayangan iris pada kekeruhan lensa, namun terdapat jarak
antara iris dan permukaan kapsul anterior lensa dan lensa telah keruh
seluruhnya, maka disebut tes shadow pseudopositif Hal ini terdapat pada
katarak stadium hipermatur.

3. Pemeriksaan Red Refleks dengan oftalmoskop

61
Langkah-langkah:
Dilakukan pemeriksaan dengan oftalmoskop dengan jarak rata-rata 30 cm dari
mata pasien. Pemeriksaan dilakukan pada ruang gelap atau dengan
penerangan yang samar samar.

Penilaiannya :
Akan nampak refleks berwarna kemerahan yang merupakan refleksi dari retina.

Penanganan Katarak
Indikasi bedah pada penderita katarak adalah :
 Indikasi penglihatan, yang sangat bervariasi pada setiap pasien. Tindakan bedah
dapat dilakukan bila penderita merasa mengalami gangguan pada aktivitas sehari-
hari, atau penderita dengan pekerjaan tertentu yang membutuhkan penglihatan
yang baik.
 Indikasi lain adalah indikasi medis, seperti glaukoma fakolitik atau penderita yang
memerlukan monitoring kelainan fundus, seperti diabetik retinopati, dan
membutuhkan tindakan laser fotokoagulasi.

Tindakan bedah dilaksanakan oleh Dokter Spesialis Mata. Teknik operasi yang saat ini
sering dilakukan adalah ekstrasi katarak ekstrakapsular (ECCE/extra capsular cataract
extraction) dan fakoemulsifikasi disertai dengan pemasangan lensa tanam (IOL/intra
ocular lens).

Evaluasi
a. Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik serta
menggunakan pinhole.
b. Pemeriksaan dengan senter dan loupe untuk segmen anterior dimana tidak
ditemukan kekeruhan kornea dan tampak refleks pupil yang masih baik.
c. Tekanan intraokular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz
d. Jika TIO dalam batas normal (kurang dari 21 mmHg) dilakukan dilatasi pupil dengan
tetes mata tropicamide 0.5%, setelah pupil cukup lebar dilakukan pemeriksaan
dengan sentolop dan loupe untuk melihat adanya kekeruhan lensa.
e. Pemeriksaan funduskopi dengan oftalmoskop langsung untuk melihat segmen
posterior jika katarak masih tidak terlalu keruh.
f.

Kriteria rujukan
a) Katarak matur

62
b) Jika pasien telah mengalami gangguan penglihatan yang signifikan
c) Jika timbul komplikasi

Hal-hal yang perlu diperhatikan pasca operasi oleh dokter umum adalah
kemungkinan komplikasi seperti :

 Glaukoma,
 Uveitis,
 Dislokasi lensa intraokular,
 Edema makula,
 Ablasio retina, dan
 Endoftalmitis.
Apabila dijumpai kompikasi tersebut harus segera dirujuk

2 Pemeriksaan & Penanganan Glaukoma


a. Glaukoma Akut
Peralatan
1) Snellen chart
2) Tonometri Schiotz
3) Oftalmoskopi

Hasil pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang sederhana (objective)


1) Visus turun
2) Tekanan intra okular meningkat
3) Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan injeksi silier, injeksi
konjungtiva
4) Edema kornea
5) Bilik mata depan dangkal
6) Pupil mid-dilatasi, refleks

Penanganan
Penanganan kasus glaukoma akut pada layanan tingkat pertama bertujuan
menurunkan tekanan intra okuler sesegera mungkin dan kemudian merujuk ke dokter
spesialis mata di rumah sakit.
1) Non-Medikamentosa
Pembatasan asupan cairan untuk menjaga agar tekanan intra okular tidak
semakin meningkat
2) Medikamentosa
a. Asetazolamid HCl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.

63
b. KCl 0.5 gr 3 x/hari.
c. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
d. Tetes mata kombinasi kortikosteroid + antibiotik 4-6 x 1 tetes sehari
e. Terapi simptomatik

Evaluasi
a. Pemeriksaan visus menunjukkan penurunan tajam penglihatan
b. Pemeriksaan dengan senter dan loupe
c. Mata merah, bengkak, mata berair.
d. Kornea suram karena edema.
e. Bilik mata depan dangkal dan pupil lebar dapat pula terlihat penyakit mata lain
seperti uveitis, hifema, akibat trauma, luksasi lensa, katarak hipermatur, tumor
dan lain sebagainya. Glaukoma akut sering disalah diagnosis dengan radang.
f. Bola mata teraba dengan palpasi (tonometri digital) lebih keras dibandingkan
mata normal/sebelahnya dan tekanan intraokuler (TIO) sangat meningkat
dengan tonometer Schiotz.

b. Glaukoma Kronis
Peralatan
1) Snellen chart
2) Loupe dan senter
3) Tonometer Schiotz
4) Oftalmoskop

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


1) Peningkatan tekanan intraokular
2) Perubahan patologis pada diskus optikus
3) Defek lapang pandang yang khas.

Pemeriksaan Oftalmologis
1) Visus normal atau menurun
2) Lapang pandang menyempit pada tes konfrontasi
3) Tekanan intra okular meningkat
4) Pada funduskopi, rasio cup / disc meningkat (rasio cup / disc normal: 0.3)

Evaluasi

64
1) Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen dengan koreksi terbaik dan
pinhole. Umumnya tajam penglihatan masih baik. Pada stadium lanjut didapatkan
koreksi tajam penglihatan tidak penuh dengan pupil melebar dan berwarna hitam.
2) Pemeriksaan dengan senter dan loupe: gambaran bola mata tidak berbeda dengan
gambaran mata normal. Pupil dapat terlihat midriasis dan refleks cahaya yang
lambat.
3) Pemeriksaan funduskopi, melihat rasio CD (perbandingan antara lebar cekungan
papil terhadap lebar papil N.II) sebesar 0.3 atau lebih.
4) Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometer Schiotz .
5) Pemeriksaan lapang pandang dengan tes konfrontasi : menyempit atau tidak

Penanganan
Penanganan kasus glaukoma kronik pada layanan tingkat pertama bertujuan
mengendalikan tekanan intra okuler dan merujuk ke dokter spesialis mata di rumah
sakit.
- Tekanan intra okular diturunkan dengan obat-obatan secara bertahap berupa:
 Timolol 0,25% – 0,5% 2 x 1 tetes /hari (bila tidak ada kontra indikasi).
 Pilokarpin 2% 4 x 1 tetes/ hari.
 Asetazolamid 3 – 4 x 125 – 250 mg/ hari.
 KCl 2 – 3 x 0,25 - 0,5 gr/ hari.
- Obat-obatan prinsipnya diberikan secara sendiri-sendiri, tetapi dapat
dikombinasikan tergantung dari sasaran TIO. Umumnya TIO diharapkan
lebih rendah dari 21 mm Hg.
- Oleh karena obat-obatan diberikan untuk jangka lama dan terus menerus.
sangat penting diperhatikan kepatuhan penderita dalam melaksanakan
pengobatannya. Penderita dirujuk ke dokter spesialis mata, pelayanan
tingkat sekunder atau tersier bila TIO tetap diatas 21 mmHg, penderita tidak
patuh, tidak tahan terhadap obat-obatan, dalam stadium lanjut glaukoma
dan/atau untuk menilai progresifitas penyakitnya.

Kriteria Rujukan
Pada glaukoma kronik, rujukan dilakukan segera setelah penegakan diagnosis.

65
3. Pemeriksaan dan Penanganan Retinopati Diabetikum

Peralatan
1). Snellen chart
2).Tonometer Schiozt
3). Oftalmoskop
4). Tropikamid 1% tetes mata untuk melebarkan pupil

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
1) Riwayat diabetes mellitus (tipe I / tipe II).
2) Mata tenang dengan atau tanpa penurunan visus.
3) Pada pemeriksaanfunduskopi pupil lebar pada retina dapat ditemukan perdarahan
retina, eksudat keras, pelebaran vena, dan mikroaneurisma (pada NPDR), yang
pada kondisi lebih lanjut disertai neovaskularisasi di diskus optik atau di tempat lain
di retina (pada PDR).
4) Pada keadaan berat dapat ditemukan neovaskularisasi iris (rubeosis iridis).
5) Refleks cahaya pada pupil normal, pada kerusakan retina yang luas dapat
ditemukan RAPD (Relative Aferent Pupilary Defect), serta penurunan refleks pupil
pada cahaya langsung dan tak langsung normal.

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, terutama funduskopi.
Diagnosis banding
1). Oklusi vena retina
2). Retinopati hipertensi

Komplikasi
1) Perdarahan vitreus
2) Edema makula diabetik
3) Ablasio retina traksional
4) Glaukoma neovaskular

66
Penanganan
1) Setiap pasien yang terdiagnosis diabetes melitus perlu segera dilakukan
pemeriksaan mata, sekalipun belum ada keluhan mata.
2) Apabila tidak didapatkan tanda-tanda retinopati, pasien harus diperiksa ulang dalam
waktu 1 tahun (follow-up).
3) Apabila didapatkan tanda-tanda retinopati, pasien perlu dirujuk ke dokter spesialis
mata.

Evaluasi
Pemeriksaan dilakukan pada semua penderita diabetes pada saat pertama kali datang,
mencakup :
1) Anamnesis semua penderita diabetes mengenai keluhan penglihatan.
2) Pemeriksaan visus dengan Snelen chart.
3) Pemeriksaan tekanan bola mata dengan tonometer Schiozt.
4) Pemeriksaan refleks cahaya pada pupil baik langsung maupun tak langsung.
5) Pemeriksaan funduskopi dengan menggunakan oftalmoskop direk, apakah ada
perdarahan, eksudat atau kekeruhan vitreus.

Kriteria Rujukan
Setiap pasien diabetes yang ditemukan tanda-tanda retinopati diabetikum sebaiknya
dirujuk ke dokter mata.

67
Lampiran 1. Algoritma Pemeriksaan Tajam Penglihatan

68
Lampiran 2 Algoritma Pemeriksaan Tajam Penglihatan Menurun Perlahan

69
Lampiran 2 Algoritma Pemeriksaan Tajam Penglihatan Menurun Perlahan

70
MATERI INTI 3

PENANGGULANGAN GANGGUAN PENDENGARAN DAN KETULIAN

I. DESKRIPSI SINGKAT

Salah satu materi yang harus diajarkan kepada tenaga kesehatan pada TOT
Penanggulangan Gangguan Indera ini adalah penanggulangan gangguan pendengaran
dan ketulian. Seorang tenaga kesehatan di Puskesmas (FKTP) yang melaksanakan
pelayanan kesehatan Indera harus mempunyai kompetensi dalam melakukan
penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian

Modul ini akan menjelaskan tentang anatomi dan fisiologi telinga, gejala dan tanda,
deteksi dini faktor risiko, anamnesa serta alur dan langkah tatalaksana gangguan
pendengaran dan ketulian dengan baik dan benar.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu menjelaskan penanggulangan gangguan


pendengaran dan ketulian.

B. Tujuan Pembelajaran khusus


1. Melakukan deteksi dini faktor risiko gangguan pendengaran dan ketulian.

2. Melakukan anamnesa gangguan pendengaran dan ketulian.

3. Melakukan tata laksana dini kasus

4. Melakukan rujukan kasus

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Anatomi telinga dan fisiologi pendengaran


2. Gejala dan tanda gangguan pendengaran dan ketulian (Tuli Kongenital, Otitis Media
Supuratif Kronik, Sumbatan Serumen , Gangguan Pendengaran Akibat Bising dan
,Presbikusis)
3. Deteksi dini gangguan Pendengaran dan Ketulian ketulian
4. Tatalaksana gangguan pendengaran dan ketulian
a. Anamnesa gangguan pendengaran dan ketulian
b. Alur danlangkah–langkah tatalaksana dini kasus

71
c. Rujukan kasus
d. Kriteria rujukan kasus

IV. BAHAN BELAJAR DAN REFERENSI

1. Buku-buku tentang anatomi, dan gangguan indera.


2. Modul pelatihan
3. Pedoman Umum Penanggulangan gangguan indera
4. Pedoman teknis penanggulangan gangguan Pendengaran dan Ketulian.

V. LANGKAH / PROSES PEMBELAJARAN

Langkah–langkah/ proses pembelajaran ini menguraikan tentang kegiatan


pelatihan/fasilitator dan kegiatan peserta dalam setiap tahapan proses pembelajaran.

Langkah 1 : Pengkondisian

 Fasilitatator memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengapa


materi ini diperlukan pada pelatihan serta keterkaitan dengan materi sebelumnya .
 Fasilitatator memberi kesempatan kepada peserta yang sudah punya pengetahuan
dalam pencegahan gangguan indera untuk menjelaskan apa yang sudah diketahui .
 Peserta lain diminta untuk memberi tanggapan.

Langkah 2 : Membahas Pokok Bahasan

 Fasilitator menayangkan power point dan menjelaskan pokok bahasan


 Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya atau memberi
tanggapan atas penjelasan fasilitator.
 Fasilitator meminta peserta untuk menanggapi pertanyaan peserta.
 Dari hasil pendapat peserta, fasilitator memberikan komentar dan memberikan
kesimpulan.

72
VI. MATERI

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

1. Anatomi Telinga
Telinga adalah organ indera yang bertanggung jawab untuk pendengaran. Setiap
bagian telinga memiliki peranan penting dalam menyediakan informasi bunyi ke
otak. Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Gangguan pendengaran disebabkan oleh gangguan salah satu atau beberapa
bagian dari telinga luar, tengah atau dalam.

Gambar 1. Anatomi Telinga

2. Fisiologi Telinga
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes) dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
meyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka

73
dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter
ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis.

2. GANGGUAN PENDENGARAN

I. Tuli Kongenital

Tuli kongenital adalah tuli yang terjadi sebelum persalinan atau pada saat persalinan
disebabkan oleh kelainan secara genetik dan nongenetik. Secara garis besar gambaran
kelainan tuli kongenital antara lain :

a. Kelainan daun telinga (Mikrotia atau anotia) yang bervariasi derajatnya

Gambar 2 Kelainan Daun Telinga

b. Kelainan liang telinga (atresia liang telinga)


c. Kelainan telinga tengah yaitu tidak terbentuknya tulang
pendengaranrangkaiantulangyang terputus atau terfiksasi
d. Kelainan telinga dalam (gangguan koklea)

Penyebab
1. Kekurangan zat gizi
2. infeksi bakteri atau virus. Antara lain Toxoplasma, Rubella, Cytomegali virus, Herpes
Simplex dan Sifilis ( TORCHS )
3. Obat ototoksik dan teratogenik berpotensimenyebabkan gangguan pendengaran.

Faktor Risiko
Bayi baru lahir (0–28 hari) dengan risiko tinggi terjadinya gangguan pendengaran dan
ketulian seperti yang dikemukakan oleh American Joint Committee on Infant
HearingYear 2007 memiliki faktor risiko sebagai berikut :

74
1. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sejak masa anak-anak
2. Riwayat infeksi TORCHS (Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis)
pada kehamilan
3. Kelainan bentuk pada kepala dan wajah,termasuk kelainan pada daun telinga dan
liang telinga
4. Berat badan lahir rendah (<1500 gram)
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar darah
6. Penggunaan obat ototoksik pada ibu hamil
7. Meningitis bakterialis
8. Asfiksia dengan nilai Apgar score 0 – 4 pada menit pertama atau 0 – 6 pada 5 menit
9. Penggunaan ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih
10. Terdapat kelainan lain yang merupakan sindrom tertentu yang diketahui melibatkan
gangguan pendengaran sensorineural atau konduktif.
11. Bayi dengan FR diatas idealnya dilakukan skrining objektif (OAE) sebelum usia 6
bulan.

II. Sumbatan Serumen (Kotoran Telinga)

Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea dan kelenjar serumenosa bercampur
epitel skuamosa yang terdapat di kulit sepertiga luar liang telinga.
Faktor Risiko
1. Umur
2. Pekerjaan/aktivitas
3. Riwayat membersihkan telinga
4. Lingkungan
5. Genetik
6. Liang telinga sempit, dasar liang telinga lebih datar

III. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Pengertian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah infeksi telinga tengah, disertai
lubang (perforasi) gendang telinga dan keluarnya cairan ke liang telinga terus menerus
atau hilang timbul.
Infeksi telinga tengah dibagi menjadi fase akut (Otitis Media Akut = OMA) dan fase kronik
(Otitis Media Supuratif Kronis = OMSK). Jika OMA tidak diobati dengan tepat, maka akan
timbul cairan di telinga tengah yang akan mendorong gendang telinga sehingga pecah,

75
bila sekret yang keluar menetap atau berlangsung lebih dari 8 minggu disebut sebagai
OMSK.
Secara klinis OMSK dibagi 2, yaitu:
a. OMSK tipe aman
Yaitu OMSK dengan lubang gendang telinga terletak di posisi tengah (sentral).
b. OMSK tipe bahaya
Yaitu OMSK dengan ditandai lubang gendang telinga yang terletak di atik (tepi bagian
atas) atau marginal (pinggir), dan disertai adanya kolesteatoma, granulasi hingga
menyebabkan komplikasi (dari yang ringan sampai radang otak).

Penyebab OMSK
OMA (Otitis Media Akut) yang didahului oleh infeksi saluran nafas atas berulang seperti
pilek/ rinitis, faringitis yang mengakibatkan gangguan fungsi tuba Eustachius.

Faktor Risiko
a. Usia (bayi dan anak)
b. Gizi kurang
c. Lingkungan yang tidak higienis
d. Gangguan kekebalan tubuh
e. Alergi

IV. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)

Gangguan pendengaran akibat bising adalah kurang pendengaran atau tuli akibat
terpajan bising yang cukup keras dalam jangka lama, biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja dan tempat rekreasi.

Penyebab
Bising dengan intensitas 85 desibel (dB) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan pada
reseptor pendengaran di organ Corti yang terletak di telinga dalam. Kerusakan awalnya
terjadi di frekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai 6000 Hz dan terberat kerusakan di frekuensi
4000 Hz (terbentuk takik pada gambaran audiogram).

Faktor Risiko
Pajanan bising yang cukup keras (>85 dB), dalam jangka waktu cukup lama, dan
berulang-ulang, biasanya disebabkan oleh bising lingkungan kerja (bandara, pelabuhan
laut, pabrik, bengkel, ruang praktek SMK teknik mesin, jalan raya dan lain-lain),

76
lingkungan bermain, gaya hidup menggunakan gadget yang berlebihan, pajanan terhadap
volume musik keras (live show, suara musik di mobil angkutan umum, dan lain-lain).
V. Presbikusis
Presbikusis merupakan tuli sensorineural frekuensi tinggi terutama diatas 2000 Hz.
Umumnya terjadi pada usia lanjut, simetris pada kedua telinga.

Penyebab dan faktor risiko


Penyebab :
Proses degenerasi

Faktor Risiko
a. Artheroslerosis,
b. Penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi)
c. Riwayat terpajan bising,
d. Obat ototoksik
e. Gaya hidup (alkohol, perokok)

3. DETEKSI DINI

Pelaksanaan deteksi dini dilakukan secara terintegrasi bersama program lainnya sebagai
strategi untuk menjangkau populasi berisiko berdasarkan kelompok umur pada siklus
kehidupan.

1. Deteksi dini gangguan pendengaran pada kelompok usia bayi dan balita
menggunakan Tes Daya Dengar (Modifikasi)
Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada
bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner berisikan pertanyaan-pertanyaan ada
tidaknya respons bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8
kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia,daftar pertanyaan terbagi menjadi 3
kelompok penilaian kemampuan;
1. Ekspresif,
2. Reseptif
3. Visual
Masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”

77
Tabel . Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat dilihat pada

Umur kurang atau sampai 3 bulan : Ya Tidak

1. Kemampuan Ekpresif:
Apakah bayi dapat mengatakan aaaaa, ooooo?
Apakah bayi menatap wajah dan tampak mendengarkan anda, lalu
berbiara saat anda diam? Apakah anda dapat seolah olah berbicara
dengan bayi anda?

2. Kemampuan Reseptif:
Apakah bayi kaget bila mendengar suara (mengejapkan mata, napas
lebih cepat)?
Apakah bayi kelihatan menoleh bila anda berbicara di sebelahnya?
3. Kemampuan Visual:
Apakah bayi anda dapat tersenyum?
Apakah bayi anda kenal dengan anda, seperti tersenyum lebih cepat
pda anda dibandingakan orang lain?
Total jawaban Tidak
Umur lebih dari 3 bulan sampai 6 bulan Ya Tidak
1. Kemampuan Ekspresif
Apakah bayi anda dapat tertawa keras?
Apakah bayi dapat bermain menggelembungkan mulut seperti meniup balon?

2. kemampuan Reseptif:
Apakah bayi memberi respons tertentu, seperti menjdi lebih riang bila anda
datang?
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang diapangku orang tuanya, bunyikan
bel disamping tanpa terlihat bayi, apakah bayi itu menoleh ke samping?

3. Kemampuan Visual
Pemeriksa menatap maya bagi sekitar 45 cm, lalu gunakan mainan untuk
menarik pandangan bayi ke kiri, kanan, atas dan bawah, Apakah bayi dapat
mengikutinya?
Apakah bayi berkedip bila pemeriksa melakukan gerakan menusuk mata, lalu
berhenti sekitar 3 cm tanpa menyentuh mata?

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 6 bulan sampai 12 bulan: Ya Tidak
1. Kemampuan Ekspresif
Apkah bayi dapat membuat suara berulang seperti mamamama, babababa
Apakah bayi dapat memanggil mama atau papa, walaupun tidak untuk
memanggil orang tuanya?

78
2. Kemampuan Reseptif:
Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang tuanya, bunyikan bel
di samping bawah tanpa terlihat bayi, apakah bayi langsung menoleh ke
samping bawah?
Apakah bayi mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan badan, seperti stop,
berikan mainanmu?

3. Kemampuan Visual;
Apakah bayi mengikutui perintah dengan dibantu gerakan badan, seperti stop,
berikan mainanmu?
Apakah bayi secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh,
seperti pok ame-ame atau cilukba

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 12 bulan sampai 18 bulan: Ya Tidak
1. mampuan Ekspresif;
Apakah anak dapat memanggil mama atau papa, hanya untuk memanggul
orang tuanya?
Apakah anak meulai menggunakan kata-kata lain, selain kata mama,papa
anggota keluarga lain dan hewan peliharaan?

2. Kemampuan Reseptif:
Pemeriksa duduk mengahdap bayi yang dipangku orang tuanya, bunyikan bel
di samping bawah tanpa terlihatbayi, apakah bayi langsung menoleh ke
samping bawah?
Apakah anak mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan badan, seperti stop,
berikan mainanmu?

3. Kemampuan Visual:
Pakah anak secara spontan memaulai permainan dengan gerakan tubuh,
seperti pok kame-ame atau cilkuba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan
dengan cara memegang dengan semua jari?

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 18 bulan sampai 24 bulan: Ya Tidak
1. Kemampuan Ekspresif:
Apakah anak dapat mengucapkan dua atau lebih kata yang menunjukkan
keinginan, seperti susu, minum, lagi?
Apakah anak secara spontan mengatgakan 2 kombinasi kata, seperti mau
bobo, lihat papa?

2. Kemampuan Reseptif;
Apakah anak dapat menunjukkan paling sedikit satu anggota badan, missal
mana hidungmu? Mana matamu? Tanpa diberi contoh?
Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam satu kalimat,
seperti ambil sepatumu dan taruh disini, tanpa diberi contoh?

79
3. Kemampuan Visual;
Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh,
seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan
dengan carra memegang dengan semua jari?

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 24 bulan sampai 30 bulan Ya Tidak
1. Kemampuan Ekspresif:
Apakah anak muli menggunakan kata-kata lain, selain kata mama,papa,
anggota keluargalain dan hewan peliharaan?
Apakah anak mulai menguapkan kata yang berarti “milik” missal susu kamu,
bonekaku?

2. Kemampuan Reseptif;
Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam satu kalimat,
sepperti ambil sepatu dan taruh disini, tanpa diberi contoh?
Apakah anak dpat menunjuk minimal 2 nama benda di depannya (cangkir,
bola, sendok)?

3. Kemampuan Visual;
Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh,
seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anada menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan
dengan cara memegang dengan semua jari?

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 30 bulan sampai 36 bulan

1. Kemampuan Ekspresif Ya Tidak


Apakah anak sudah dapat mengucapkan kata depan. Seperti di atas, di
dalam, dibawah?
Apakah anak dapat mengucapkan 2 atau 3 kalimat dalam permbicaraan?

2. Kemampuan Reseptif: Ya Tidak


Apakah anak dapat menunjuk minimal 2 nama benda di depannya (cangkir,
bola, sendok)?
Apakah anak dpat menunjukkan minimal 2 nama benda di depannya sesuai
fungsinya (misal untuk minum: cangkir, untuk dilempar; bola, untuk makan;
sendok, untuk menggambar; pensil warna)?

3. Kemampuan Visual: Ya Tidak


Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh
seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan
dengan cara memegang dengan semua jari?

Total jawaban Tidak


Umur lebih dari 36 bulan

80
1. Kemampuan Ekspresif Ya Tidak
Apakah anak dapat menyebutkan nama benda dan kegunaannya? Cangkir
untuk minum, bola untuk dilempar, pernsil warna untuk menggambar,
sendok untuk makan?
Apakah lebih dari tiga perempat orang mengeri apa yang dibicarakan anak
anda?

2. Kemampuan Reseptif: Ya Tidak


Apakah anak dapat menunjukkan minimal 2 nama benda di depannya, sesuai
fungsinya (missal untuk minum: cangkir, untuk dilempar; bola, untuk makan:
sendok; untuk menggambar; pensil warna)?
Apakah anak dapat mengerjakan perintah yang disertai kata depan? (misal:
sekarang kubus itu di bawah meja, toong taruh di atas meja)?

3. Kemampuan Visual: Ya Tidak


Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh?
Seperti pok ame-ame atau cilukba?
Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan
dengan cara memegang dengan semua jari?

Total jawaban Tidak

Hasil Interpretasi Tindakan


Tanyakan Pemeriksaan
kepada Tidak ada Sesuai Puji keberhasilan
orangtua/pe Hitung
jawaban umur orangtua/pengasuh. Lanjutkan
ngasuh atau jawaban “Tidak” stimulasi sesuai umur. Jadwalkan
periksa anak “Tidak” kunjungan berikutnya
sesuai Jawaban Penyimpang Rujuk ke RS Rujukan Tumbuh
lembar “Tidak” 1 atau an Kembang level 1
lebih
Modifikasi
Tes Daya
dengar

81
Gamba r 3. Alur Skrining Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir / 2hr

PASS OAE REFER

Faktor Faktor
Risiko (+) Risiko (+) 3 bulan
Otoskopi Timpanometri
OAE
Auto ABR
1-3 Bulan
Auto ABR atau click
35 dB

P R

P R
ABR Click&Tone B 500 Hz atau
ASSR
Timpanometri High Frequency

Tidak perlu
ABR Click+Cochlear
tindak lanjut Microphonic Neuropati Tuli
ABR Tone B 500 Auditorik Sensorineural
Hz/ASSR
Timpanometri (refleks
akustik) high frequency
Habilitasi
Pemantauan usia 6 bulan
· Speech development
· Audiologi
Tiap 3-6 bulan (sampai anak
bisa bicara) usia 3 th

2. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Anak Usia Sekolah dan Remaja

Tujuan kegiatan deteksi dini adalah untuk mendeteksi adanya gangguan fungsi
pendengaran dan gejala ketulian pada anak usia sekolah dan remaja, serta
menindaklanjuti hasil pemeriksaan (bila ditemukan ada kelainan). Deteksi dini pada
anak usia sekolah dan remaja dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang sudah
terlatih melakukan screening gangguan pendengaran dan ketulian (dokter umum,
perawat). Kegiatan deteksi dini dibagi menjadi 2 yaitu dilakukan pada anak usia
sekolah dan remaja :

- di luar sekolah

- di dalam sekolah.
Kegiatan deteksi dini pada anak usia sekolah dan remaja di luar sekolah (contohnya
di Panti, Rutan, LKSA/Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, LPKA/Lembaga
Pembinaan Khusus Anak dan lainnya) dilakukan melalui kegiatan PKPR (Pelayanan

82
Kesehatan Peduli Remaja) di luar Puskesmas. Kegiatan deteksi dini pada anak usia
sekolah dan remaja di dalam sekolah dilakukan pada peserta didik SD/MI, SMP/MTs,
SMA/SMK/MA dan sederajat termasuk Sekolah Luar Biasa (SLB) melalui kegiatan
UKS, kegiatan penjaringan kesehatan dan kegiatan pemeriksaan berkala. Pada anak
usia sekolah yang mengalami disabilitas indera pendengaran (contohnya peserta
didik SLB-B), pemeriksaan kesehatan indera pendengaran tetap dapat dilakukan,
dengan tujuan yaitu : untuk menemukan kelainan baru atau kelanjutan komplikasi
gangguan telinga sebelumnya dan dapat sebagai pembuktian penegakan diagnosis
yang sudah ada.
Hasil pemeriksaan :
 Bila tidak ada lateralisasi (bunyi lebih jelas disalah satusisi telinga), berarti
kedua telinga normal
 Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang sakit, berarti telinga tersebut menderita
tuli konduktif
 Bila lateralisasi ke telinga yang sehat, berarti telinga yang sakit menderita tuli
saraf
Bila waktu terbatas, pemeriksaan dengan garputala cukup dilakukan hanyapada
anak yang diduga mengalami gangguan pendengaran (informasi tersebut dapat
ditanyakan kepada Guru/Wali Kelas/Guru UKS). Rujukan ke Puskesmas /Fasilitas
kesehatan lainnya apabila didapatkan gangguan pendengaran untuk pemeriksaan
dan penatalaksaan lebih lanjut.

3. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Usia Produktif


Gangguan pendengaran merupakan masalah utama pada kelompok usia produktif.
Kelompok usia produktif merupakan sasaran strategis untuk dilakukan deteksi dini.
Kelopmok usia produktif merupakan kelompok yang rentan dan berisisko terhadap
kondisi-kondisi terjadinya gangguan pendengaran. Deteksi dini pada kelompok usia
produktif di masyarakat dapat dilakukan kegiatan Posbindu.
Mayoritas masyarakat usia produktif merupakan kelompok pekerja yang bekerja di
tempat yang terpapar bising seperti pekerja di kawasan industri. Sehingga perlu
dilakukannya deteksi dini. Deteksi dini yang dapat dilakukan melalui kegiatan
Posbindu dengan melakukan tes suara.
Langkah – langkah pemeriksaan :
1. Pastikan kondisi lingkungan sekitar tidak terlalu bising. Ruangan sunyi, jarak
pemeriksaan 6 meter.
2. Beri instruksi pada responden untuk mengulangi kata yang akan disebutkan

83
3. Pemeriksa menyebutkan 5 kata yang dikenal (contoh : mata, kaki, muka, susu,
kuku) pada jarak 6 meter dari responden dengan volume normal (tidak berteriak
dan tidak terlalu kecil). Posisi saling berhadapan, gunakan kertas atau benda lain
untuk menutup mulut pemeriksa agar responden tidak dapat membaca gerak bibir
pemeriksa.
4. Bila tidak semua kata terdengar, pemeriksa maju ke jarak 2 meter dan 1 meter.
Kriteria pemeriksaan apabila 4 dari 5 kata terdengar oleh responden, berarti
pendengaran masih normal.

Penilaian
Dapat mengulang kata yang disebutkan oleh pemeriksa pada jarak:
4-6 m : normal
2-<4 m : tuli ringan
1-<2 m : tuli sedang
<10 cm : tuli berat
Dari hasil pemeriksan menunjukkan indikasi gangguan pendengaran dirujuk ke
FKTP untuk pemeriksaan lebih lanjut.

4. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran pada Usia Lanjut

Gangguan pendengaran akibat proses degenerasi pada orang tua, sehingga


merupakan masalah penting yang terjadi pada kelompok usia lanjut yang merupakan
penurunan fungsi pendengaran. Deteksi dini dilakukan melalui kegiatan Posbindu
yang dilaksanakan oleh kader terlatih dan didampingi petugas kesehatan.
Pemeriksaaan yang dilakukan dalam posbindu yaitu tes suara. Jika hasil dari deteksi
dini ditemukan klien yang mengalami gangguan pendengaran segera dirujuk ke
FKTP untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

4. PEMERIKSAAN DAN PANANGANAN GANGGUAN PENDENGARAN

I. PEMERIKSAN FISIK TELINGA


Tujuan
1. Melakukan inspeksi dan palpasi aurikula, posisi telinga dan retroaurikula (mastoid).
2. Melakukan pemeriksaan liang telinga/meatus auditorius eksternus (MAE) dengan
otoskop.
3. Melakukan pemeriksaan membran timpani dengan otoskop.

84
Alat pemeriksaan
1. Otoskop
2. Lampu kepala
3. Garpu tala 512 Hz

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Lakukan inspeksi dan palpasi aurikula:
a. Pasien dipersilahkan duduk di kursi periksa.
b. Pemeriksa duduk di samping pasien dengan posisi mata pemeriksa setinggi
telinga pasien yang akan diperiksa.
c. Pemeriksa menggunakan lampu kepala. Pemeriksaan telinga dilakukan satu
per satu, dimulai dari telinga kanan.
d. Arahkan lampu kepala ke arah telinga yang akan diperiksa.
e. Lakukan pemeriksaan dimulai dari preaurikula, aurikula dan retroaurikula.
f. Pada preaurikula lakukan inspeksi adanya kelainan kongenital, tanda-tanda
inflamasi atau kelainan patologis lain.
g. Lalu lakukan palpasi untuk menilai adakah nyeri tekan tragus atau benjolan di
depan tragus yang berhubungan dengan kelainan kongenital.
h. Aurikula yang normal diliputi oleh kulit yang halus, tanpa adanya kemerahan
atau bengkak.
i. Bila didapatkan kelainan seperti diatas, pemeriksa mempalpasi daerah
kemerahan tersebut dengan punggung jari tangan untuk menilai apakah area
tersebut lebih hangat dibandingkan dengan kulit sekitarnya.
j. Bila terdapat bengkak, maka pemeriksa menggunakan jempol dan telunjuknya
untuk menilai konsistensi dan batas benjolan. Saat melakukan pemeriksaan
ini, amati wajah pasien untuk menilai adanya nyeri.
k. Bila didapatkan anting atau pearcing di aurikula atau MAE, palpasi juga area
tersebut.
l. Pemeriksa kemudian menginspeksi MAE. Normalnya bersih atau mungkin
didapatkan sedikit serumen berwarna kuning kecoklatan di tepi MAE. Nilai
pula adakah cairan atau pus yang keluar dari MAE.
m. Pemeriksa kemudian menekan tragus dan tanyakan kepada pasien apakah
terdapat nyeri.
n. Pegang puncak aurikula pasien dengan jempol dan jari telunjuk dan tarik ke
arah postero superior agar pars kartilago MAE dan pars oseus MAE berada
dalam satu garis lurus.
o. Nilai MAE. Normalnya terdapat sedikit rambut dan kadang serumen kuning
kecoklatan. Perhatikan bila ditemukan pembengkakan, kemerahan, atau
terdapat lapisan selain serumen pada MAE.
p. Tidak seperti pada pasien dewasa, pada anak, daun telinga ditarik ke arah
anteroinferior untuk melihat MAE karena adanya perbedaan anatomi.

85
TELI
Gambar 4. cara menarik aurikula

4. NG(retroaurikula):
Inspeksi dan palpasi prosesus mastoideus
a. Pertama-tama pemeriksa menentukan letak prosesus mastoideus dengan
meretraksikan aurikula ke anterior A KI
(retroaurikula).
b. Saat inspeksi, nilai warna kulit yang diatas retroaurikula. Perhatikan adanya
tanda-tanda inflamasi pada area tersebut.
c. Palpasi retroaurikula. Nilai adanya tanda-tanda inflamasi. Bila ada, periksa
apakah benjolan tersebut mobile atau melekat pada dasarnya serta adanya
fluktuasi atau tidak.
5. Pemeriksaan MAE dan membran timpani dengan otoskop:
a. Posisi pasien dan pemeriksa seperti pada prosedur sebelumnya.
b. Ambil otoskop dan pasang spekulum telinga dengan ukuran yang sesuai
dengan telinga pasien. Pastikan lampu otoskop menyala.
c. Saat memeriksa telinga kanan, pemeriksa memegang aurikula pasien dengan
tangan kiri dan menariknya ke arah posterosuperior, sedangkan tangan kanan
pemeriksa memegang otoskop. Pegang otoskop seperti memegang pinsil.
d. Agar posisi tangan pemeriksa yang memegang otoskop stabil, tempelkan
kelingking di pipi pasien.
e. Saat ujung spekulum berada di depan MAE, pemeriksa melihat melalui lensa.
Jarak mata pemeriksa dan lensa harus dekat. Dengan hati-hati masukkan
spekulum ke dalam MAE sehingga pasien merasa nyaman.
f. Nilai permukaan kulit pada MAE, nilai adakah tanda-tanda inflamasi. Mungkin
liang telinga dapat tertutup oleh serumen yang menumpuk atau telah
mengeras. Apabila terlihat adanya pus, identifikasi apakah pus tersebut
berasal dari dinding MAE atau dari telinga tengah.
g. Pada MAE bagian medial pemeriksa dapat melihat membran timpani. Daerah
membran timpani yang dapat terlihat melalui otoskop sekitar seperempat
bagian dari seluruh permukaan membran timpani, oleh karena itu pemeriksa
harus menggerakkan otoskop secara hati-hati ke arah jam 3, jam 6, jam 9 dan
jam 12 untuk dapat mengeksplorasi seluruh permukaan membran timpani.
h. Saat memeriksa membran timpani, pertama-tama pemeriksa menginspeksi
refleks cahaya (pantulan cahaya). Karena membran timpani merupakan suatu
struktur berbentuk kerucut, maka saat disorot cahaya dari sudut yang miring,
pantulannya berupa bentuk segitiga. Apabila membran timpani retraksi ke
arah medial, maka pantulan cahaya semakin menyempit. Apabila permukaan
membran timpani semakin datar (bulging), pantulan cahayanya semakin lebar
atau menghilang.
i. Lebar dari pantulan cahaya dapat memberikan informasi mengenai posisi
membran timpani. Hal ini penting untuk mengetahui proses yang sedang

86
terjadi di dalam telinga tengah. Apabila tekanan di dalam telinga tengah
menurun karena disfungsi tuba eustachius, maka membran timpani akan
tertarik ke dalam sehingga lebih mengerucut. Apabila terdapat banyak cairan
atau pus di dalam telinga tengah, maka membran timpani akan terdorong
keluar sehingga lebih datar.
j. Warna membran timpani normalnya abu-abu seperti mutiara. Bila terjadi
iritasi, karena inflamasi, membran timpani dapat berwarna kemerahan.
Sedangkan pada inflamasi berat, membran timpani dapat berwarna merah
terang.
k. Apabila terdapat akumulasi cairan di dalam kavum timpani, maka membran
timpani dapat berwarna kuning kecoklatan, tampak air fluid level atau
gelembung udara sesuai dengan jenis cairan di belakangnya (glue ear atau
otitis media efusi).
l. Membran timpani juga dapat ruptur akibat peningkatan tekanan yang hebat
dari telinga tengah (barotrauma) atau akibat trauma dari luar (saat
membersihkan telinga) atau akibat otitis media akut atau kronik. Hal ini
disebut perforasi. Saat terjadi penyembuhan dapat terbentuk jaringan ikat.
Baik perforasi maupun jaringan ikat ini dapat mempengaruhi getaran gendang
telinga sehingga menyebabkan gangguan pendengaran.

II. PENILAIAN TAJAM PENDENGARAN

Tujuan: Melakukan pemeriksaan:


1. Tes suara
2. Rinne
3. Weber
4. Swabach

Alat dan Bahan: Garpu tala 512 Hz

Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.
Tes Suara:
a. Pemeriksaan dilakukan pada salah satu telinga secara bergantian dimulai dari
telinga kanan. Pasien diminta menutup telinga kirinya dengan tangan.
b. Gesekkan jari-jari pemeriksa di depan telinga pasien yang tidak ditutup dengan
cepat dan lembut. Tanyakan apakah pasien mendengar suara tangan pemeriksa.
Bandingkan kanan dan kiri.
c. Kemudian pemeriksa mengambil posisi di sisi pasien dengan jarak 1 meter dari
telinga pasien.
d. Pemeriksa mengucapkan kata-kata di depan telinga pasien yang tidak ditutup,
ketinggian mulut pemeriksa sejajar dengan telinga pasien. Pastikan pasien tidak
melihat gerakan bibir pemeriksa. Pilih kata yang terdiri dari dua suku kata yang
dikenal pasien, seperti "bola" atau "meja" dan dapat diulang sampai 3 atau 4 kali.

87
e. Jika perlu, tingkatkan intensitas suara pemeriksa dari suara bisik, suara biasa, suara
keras (penilaian semi kuantitatif).
f. Minta pasien mengulang kata yang disebutkan pemeriksa. Nilai apakah jawaban
pasien benar.
g. Lakukan prosedur yang sama untuk telinga yang lain.

Pemeriksaan Rinne:

a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).


b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya di prosesus mastoideus
pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia sudah tidak
lagi mendengar suara garpu tala.
d. Kemudian segera pindahkan garpu tala sehingga ujung garpu tala berada di depan
kanalis auditorius (tidak bersentuhan).
e.Tanyakan apakah pasien mendengar suara garpu tala.
f. Lakukan

Analisis Hasil Pemeriksaan Pemeriksaan Rinne:


a. Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan konduksi tulang (bone
conduction) dengan konduksi udara (air conduction) pada satu telinga.
b. Bila pasien masih dapat mendengar suara garpu tala saat pemeriksa
memegangnya di depan telinga dibandingkan dengan suara garpu tala diletakkan
di prosesus mastoid pasien, maka tes Rinne dikatakan positif (+). Hal ini
menandakan bahwa pendengaran pasien normal atau mengindikasikan adanya
tuli sensori neural (SNHL).
c. Bila pasien mengatakan tidak dapat mendengar suara garpu tala saat diletakkan di
depan telinga, maka tes Rinne dikatakan negatif (-). Hal ini menandakan pasien
mengalami tuli konduktif.

Pemeriksaan Webber:

a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).


b.Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan di tengah kening atau puncak kepala
pasien dengan perlahan.
c.Minta pasien menyebutkan dimana ia lebih baik mendengar suara (kanan atau kiri).

Analisis Hasil Pemeriksaan Pemeriksaan Webber:

1. Tujuan pemeriksaan Weber adalah membandingkan hantaran tulang (bone


conduction) pada telinga kiri dan kanan.
2. Apabila pendengaran pasien baik, maka pada pemeriksaan ini tidak ditemukan
lateralisasi dimana pasien tidak dapat menentukan di mana ia lebih baik
mendengar suara (kanan atau kiri).
3. Pada pasien dengan tuli sensorineural, maka pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat).

88
4. Pada pasien dengan tuli konduktif, maka pasien mendengar lebih keras pada
telinga yang mengalami kelainan (lateralisasi ke telinga yang sakit).

Pemeriksaan Swabach:

a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).


b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya pada prosesus mastoideus
pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia sudah tidak
lagi mendengar suara garpu tala.
d. Pindahkan dasar garpu tala ke prosesus mastoideus pemeriksa. Bila pemeriksa
masih dapat mendengar suara, maka test Swabach abnormal

Analisis Hasil Pemeriksaan Pemeriksaan Swabach:

1. Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran udara telinga pasien


dengan telinga normal (telinga pemeriksa normal).
2. Bila pemeriksa masih dapat mendengar suara garpu tala, maka disebut Swabach
memendek.
3. Bila pemeriksa tidak dapat mendengar suara garpu tala, pemeriksaan diulang
dengan cara sebaliknya, penala diletakkan di prosesus mastoideus pemeriksa
lebih dulu.
- Bila pasien masih mendengar bunyi disebut Swabach memanjang
- Bila pasien dan pemeriksa sama-sama mendengar disebut Swabach sama
dengan pemeriksa.
prosedur yang sama pada telinga lainnya.

III. PENANGANAN GANGGUAN PENDENGARAN

I. Tulikongenital

Diagnosis
a) Anamnesis :
- Pada bayi/anak sulit diketahui mengingat ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan
orang tua adalah bayi/anaktidak memberi respons terhadap bunyi
- Terlambat bicara (delayed speech)
b) Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum
- Pemeriksaan THT
c) Pemeriksaan Penunjang

89
Pemeriksaan OAE :
Merupakan pemeriksaan eletrofisiologik untuk menilai fungsi sel rambut luar yang
berada di koklea. Pemeriksaan initidak invasif,mudah,praktis,tidak membutuhkan
waktu lama, efisien dan hasilnya secara otomatis menggunakan kriteria pass / refer.
Tidak harus dilakukan di ruang kedap suara tetapiharus cukup tenang,demikian juga
dengan bayi yang diperiksa tidak harus menggunakan sedatifasal cukup tenang. Hal
ini untuk mengurangi efek noise yang dapat mempengaruhi hasilpemeriksaan,
demikian juga dengan persyaratan lain yaitu liang telinga yang bersih dan
keadaankavum timpani harus baik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah ukuran
probeyang digunakan harussesuai dengan liang telinga dan mengarah ke gendang
telinga.

Pemeriksaan AABR :
Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang
evokedpotential karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria pass
(lulus) atau refer (tidaklulus ). Pemeriksaan ini sama dengan BERA konvensional yaitu
menggunakan elektrodapermukaan dengan pemberian stimulus click, mudah
dilakukan, praktis, tidak invasif dan hanyadapat menggunakan intensitas 30 – 40 dB.
Apabila terdapat kelainan maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang disesuaikan
dengan alurHTA (Health Technology Assesment) skrining pendengaran bayi

Penanganan
Habilitasi
Usia kritis seorang anak untuk proses belajar mendengar dan berbicara adalah sekitar
2-3 tahun. Seorang anak yang diketahui menderita ketulian maka upaya habilitasi
pendengaran (memberikan kemampuan mendengar pada seseorang yang
sebelumnya belum pernah memiliki) dilakukan secara dini.
Pada anak dengan tuli sensorineuraldan konduktif, habilitasi dilakukan dengan
pemberian alat bantu dengar (hearing aid) yang sesuai.
Penilaian tingkat kecerdasan oleh psikolog anak yang akan menentukan Sekolah Luar
Biasa (SLB) mana yang dipilih. SLB – B merupakan tempat pendidikan khusus untuk
anak tunarungu sedangkan SLB – C apabila disertai dengan retardasi mental.
Pendidikan khusus ini sebaiknya dimulai sejak anak berusia 2 tahun pada SLB yang
memiliki Taman Latihan dan Observasi (TLO). Proses habilitasi ini membutuhkan
kerjasama antara orang tua / keluarga penderita, guru, Psikolog anak, Ahli terapi
wicara, Audiologist serta dokter spesialis THT.

90
Apabila dengan alat bantu dengar sedikit atau tidak ada manfaatnya karena tuli
sensorineuralsangar berat atau tuli total, maka implan koklea merupakan pilihan.
Implan koklea merupakan suatu perangkat elektronik yang memungkinkan seorang
anak mendengar sehingga dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi seorang
penderita tuli saraf berat. Untuk menjadikan seseorang menjadi kandidat implan koklea
maka harus memenuhi beberapa persyaratan dan menjalani pemeriksaan audiologik
yang lengkap dan pemeriksaan radiologik (CT Scan dan MRI) untuk menilai anatomi
koklea.

Gambar 5. Implan Koklea

Kriteria Rujukan
Bila dicurigai ada kelainan pendengaran maka segera dirujuk FKRTL yang memiliki
fasilitas OAE dan BERA.

II. Sumbatan Serumen (Kotoran Telinga)

Diagnosis
Pemeriksaaan menggunakan lampu senter atau lampu kepala atau otoskop, akan terlihat
serumen di liang telinga. Untuk dewasa daun telinga harus ditarik ke atas belakang
supaya liang telinganya menjadi lebih lurus. Untuk anak, daun telinga ditarik kebelakang.

Penanganan
Teknik atau cara mengeluarkan serumen tergantung pada konsistensinya;
- Serumen cair/ lunak, bila jumlahnya sedikit dapat dibersihkan dengan pelilit kapas
(aplikator kapas) atau cotton bud. (gambar 1)
- Serumen cair/ lunak dengan jumlah banyak, dapat dihisap dengan pompa suction
(gambar 2) atau dikeluarkan dengan cara irigasi liang telinga.
- Serumen yang liat/ keras namun tidak melekat pada kulit liang telinga dikeluarkan
dengan pengait serumen( cerumen hook) (gambar 3 dan 4) . Bila tidak berhasil dapat
dicoba melakukan irigasi liang telinga.

91
- Serumen yang keras (serumen prop) dan melekat ke liang telinga harus diberi tetes
telinga dulu yaitu dengan karbogliserin 10% atau fenol gliserin dengan dosis 3 x 3
tetes selama 5 hari; selanjutnya dilakukan penghisapan dengan pompa suction atau
irigasi liang telinga

Gambar a Gambar b

Gambar c Gambar d
Gambar 6.Cara mengeluarkan serumen

Kriteria Rujukan
Kasus serumen dengan komplikasi (misalnya otitis eksterna dan lain-lain).

III. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Diagnosis
a. Anamnesis :
Gejala yang paling sering dijumpai adalah keluar cairan yang berbau dari liang telinga
b. Pemeriksaan otoskopiakan menunjukkan adanya cairan di liang telinga, gendang
telinga yang perforasi, letak perforasi, dan ada tidaknya jaringan granulasi atau polip.
c. Pemeriksaan audiologi
Pemeriksaan audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara sehingga dapat mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan jenis ketulian.Umumnya pada OMSK terjadi tuli konduktif.

92
d. Pemeriksaan radiologi
Pada foto rontgen mastoid adanya infeksi kronis di telinga tengah ditandai dengan
berkurangnya pneumatisasi/aerasi sel-sel mastoid.Perselubungan yang berbatas tegas
menunjukkan adanya kolesteatoma di daerah mastoid.

Penanganan
- Prinsip terapi OMSK tipe aman adalah konservatif yaitu diberikan medikamentosa per
oral dan topikal. Bila sekret keluar terus diberikan obat tetes telinga antibiotik setelah
di cuci telinga dengan larutan H2O2 3% (tidak lebih dari 1-2 minggu karena obat
bersifat ototoksik).
- Bila sekret telah kering namun perforasi tetap ada, maka harus dirujuk untuk
miringoplasti atau timpanoplasti. Sumber infeksi harus diobati lebih dulu, kalau perlu
dengan pembedahan. Pasien OMSK dianjurkan tidak berenang dan menghindari
masuknya air ke dalam telinga saat mandi.
- Pinsip terapi OMSK tipe bahaya adalah pembedahanyaitu mastoidektomi dengan
atau tanpa timpanoplasti.

Kriteria Rujukan:
Kasus OMSK dapat ditangani di FKTP dengan catatan kasus OMSK tersebut merupakan
OMSK tipe aman. Jika tidak sembuh, ada tanda-tanda OMSK tipe bahaya atau fasilitas di
FKTP tidak tersedia maka dirujuk ke FKRTL.

IV. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (GPAB)

Diagnosis
a) Anamnesis :
Dari anamnesis didapati riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan
bising dalam jangka waktu yang cukup lama. Gejalanya adalah telinga berdenging,
disertai kesulitan menangkap pembicaraan dengan kekerasan biasa.
b) Pemeriksaan otoskopik
Tidak ditemukan kelainan
c) Pemeriksaan tes penala
Didapatkan hasil tes Rinne positip, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik dan schwabach memendek.
d) Pemeriksaan audiometri nada murni
Adanya tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000Hz-6000Hz dan terdapat takik
pada frekuensi 4000 Hz.

93
Penanganan
a) Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung
telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear plugs), tutup telinga (ear muffs) dan pelindung
kepala (helmet).
b) Dapat diberikan obat-obat neurotonik seperti neurobion pada gejala awal penurunan
pendengaran.
c) Mengikuti program konservasi pendengaran
Kriteria Rujukan :
Rujuk ke tempat yang ada fasilitas pemeriksaan pendengaran dengan audiometric.

V. Presbikusis
Diagnosis
a) Anamnesis :
1. Pendengaran berangsur-angsur kurang terjadi pada kedua telinga
2. Suara biasa tidak dapat terdengar tapi bila suara diperkeras (berteriak) telinga
terasa sakit
3. Sulit memahami percakapan terutama di lingkungan bising
4. Dapat mendengar tapi tidak paham (diskriminasi ucapan terganggu)
5. Sulit mendengar bunyi nada tinggi “s”, “th” , “ f ”
6. Lebih mudah mendengar suara pria dibandingkan wanita
7. Berdenging (tinitus)
b) Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan otoskopi : tampak membran timpani suram
- Tes penala sesuai dengan sensorineural
c) Pemeriksaan Penunjang
Audiometri Nada Murni
Penanganan
- Pengobatan terhadap penyakit sistemik yang akan memperberat gejala-gejala
presbikusis maupun usaha mengurangi progresifitas penurunan pendengaran.
- Sebagai upaya mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan
alat bantu dengar (hearing aid). Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan lebih
memuaskan bila pemanfaatannya dikombinasikan dengan latihan membaca bibir
(lips reading) dan latihan mendengar (auditory training).
Kriteria Rujukan
Pasien prebikusis dibawa ke tempat yang mempunyai fasilitas pemeriksaan
pendengaran dan alat bantu dengar ke FKRTL.

94
MATERI INTI 4
PENCATATAN DAN PELAPORAN

I.DESKRIPSI SINGKAT

Pencatatan dan Pelaporan suatu program yang merupakan bagian Sistim Informasi
Kesehatan (SIK), yang merupakan bagian fungsionil dari Sistim Kesehatan yang
komprehensif, yang memberikan pelayanan kesehatan secara terpadu, meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif, pelayanan rehabilitatif. SIK memberikan dukungan
informasi kepada proses pengambilan keputusan di semua tingkat administrasi pelayanan
kesehatan

Dalam melaksanakan dan mengembangkan program kesehatan, termasuk program


kesehatan Indera perlu adanya suatu pengaturan yang baik. Proses pengaturan program
kesehatan ini disebut manajemen program kesehatan.

Pencatatan dan pelaporan suatu program merupakan salah satu alat bantu dalam
pelaksanaan monitoring dan evaluasi

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran umum

Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melaksanakan pencatatan dan


pelaporan program kesehatan Indera di Puskesmas

B. Tujuan pembelajaran khusus :

Setelah menyelesaikan materi ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan Pengertian, tujuan, manfaat pencatatan dan pelaporan


2. Melaksanakan Pencatatan dan Pelaporan Kesehatan Indera Penglihatan
3. Melaksanakan Pencatatan dan Pelaporan Kesehatan Indera Pendengaran

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Pencatatan gangguan indera


2. Pelaporan gangguan indera

95
IV. BAHAN BELAJAR DAN REFERENSI

1. Pedoman Pelayanan Kesehatan Indera Penglihatan Puskesmas

2. Pedoman Pelayanan Kesehatan Indera Pendengaran Puskesmas

V. LANGKAH / PROSES PEMBELAJARAN

Langkah–langkah/ proses pembelajaran ini menguraikan tentang kegiatan pelatihan/


fasilitator dan kegiatan peserta dalam setiap tahapan proses pembelajaran.

Langkah 1: Pengkondisian

 Fasilitatator memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengapa


materi ini diperlukan pada pelatihan serta keterkaitan dengan materi sebelumnya
 Fasilitatator memberi kesempatan kepada peserta yang sudah punya pengalaman
melaksanakan program kesehatan indera untuk menyampaikan pengalamannya
 Peserta lain diminta untuk memberi tanggapan.

Langkah 2: Membahas Pokok Bahasan

 Fasilitator memperkenalkan diri, menyampaikan tujuan pembelajaran, mengapa


materi ini diperlukan pada pelatihan serta keterkaitan dengan materi sebelumnya
 Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta yang sudah punya pengalaman
melaksanakan program kesehatan indera untuk menyampaikan pengalamannya
 Peserta lain diminta untuk memberi tanggapan.

Langkah 3: Latihan Pengisian Formulir Pencatatan dan Pelaporan Pencegahan dan


pengendalian gangguan Indera

Fasilitator membagikan formulir pencatatan dan pelaporan Pencegahan dan


pengendalian gangguan Indera

 Fasilitator menjelaskan cara pengisisn formulir


 Peserta diminta mengisikan data yang dibawa dari Puskesmas tentang gangguan
penglihatan dan pendengaran ke dalam formulir pencatatan dan pelaporan
 Fasilitator meminta peserta untuk menanyakan bagain-bagian dalam formulir yang
tidak dimengerti
 Fasilitataor menjelaskan bagian yang tidak dimengerti oleh peserta

96
VI. URAIAN MATERI

A. PENDAHULUAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting
dalam manajemen kesehatan. Pencatatan dan pelaporan yang rapi akan
menghasilkan data yang dapat digunakan sebagai bahan advokasi, komunikasi dan
sosialisasi suatu program. Upaya-upaya advokasi akan lebih efektif dan berhasil bila
disertai dukungan fakta dalam bentuk data atau informasi yang akurat

Pencatatan dan pelaporan terdiri dari 3 komponen, yaitu komponen informasi melalui
kegiatan pencatatan, komponen pelaporan dan komponen analisis dan evaluasi.

Pencatatan adalah kegiatan memasukkan dan mengumpulkan semua data yang


diperoleh dari semua pelayanan petugas kesehatan.Pelaporan adalah kegiatan
untuk melaporkan hasil pencatatan dari unit yang lebih rendah kepada unit yang lebih
tinggi.

Analisis dan Evaluasi adalah suatu kegiatan untuk menganalisis setiap kegiatan yang
menjawab pertanyaan 5 W - 1 H

B. Pecatatan Dan Pelaporan Penanggulangan Gangguan Penglihatan

1. Pencatatan Program Kesehatan Indera Penglihatan


Pencatatan program Kesehatan Indera Penglihatan meliputi pencatatan semua
kegiatan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan diwilayah kerja Puskesmas , baik
yang dilaksanakaan dalam gedung maupun di luar gedung Puskesmas seperti, di
Puskesmas Pembantu, Bidan di Desa, Polindes, Poskesdes, Posyandu,
Kelompok Usila, Puskesmas Keliling, UKS, dan lain-lain .

Pencatatan dilakukan dalam buku register kegiatan harian dari setiap unit yang
melakukan kegiatan. Hal-hal yang dicatat dalam register adalah: Nama pasien,
Umur, Alamat, Keluhan, Diagnosis, Terapi atau tindakan yang dilakukan dan
keterangan lainnya yang berhubungan dengan pasien. Rekapan hasil pencatatan
ini kemudian dipindahkan ke dalam formulir pelaporan kesehatan Indera
Penglihatan Puskesmas

97
2. Pelaporan penanggulangan gangguanPenglihatan

Pelaporan penanggulangan gangguan Penglihatan dilaksanakan oleh semua


jejaring kerja Puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan
Bidan Desa. unit Puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada Dinas Kesehatan Provinsi. Variabel
yang dilaporkan hendaknya mengacu kepada informasi yang dibutuhkan di Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi sampai ke Pusat ( Dit
P2PTM,Subdit Gangguan Indera dan Fungsional )

Sesuai dengan kebijakan Penanggulangan Gangguan Penglihatan, ada 4


penyakit yang harus ditanggulangi sebagai penyebab utama Kebutaan, yaitu;

 Kelainan Refraksi
 Katarak
 Glaukoma
 Retinopati Diabetikum

Dalam pelaporan penanggulangan gangguan Penglihatan mulai dari Puskesmas


sampai ke Pusat, melaporkan pelayanan terahadap 4 penyakit tersebut di atas,
ditambah dengan penyakit lain yang menjadi masalah kesehatan mata
masyarakat.

Laporan dikirim dalam bentuk formulir pencatatan dan pelaporan pelayanan


penanggulangan gangguan penglihatan. Laporan dari Puskesmas dikirim 1 (satu)
bulan sekali ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota merekap dan mengirimkan ke Dinas Kesehatan Provinsi,
selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi mengirimkan laporan ke Kementerian
Kesehatah RI melalui Subdirektorat Gangguan Indera dan Fungional, Direktorat
pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

C. Pecatatan Dan Pelaporan Penanggulangan Gangguan Pendengaran

1. Pencatatan Penanggulangan gangguan Pendengaran

Pencatatan penanggulangan gangguan Indera Pendengaran meliputi pencatatan


semua kegiatan dan hasil kegiatan yang dilaksanakan baik dalam gedung
maupun di luar gedung Puskesmas, seperti di Puskesmas pembantu, Posyandu,

98
Posbindu/Posyandu usia lanjut, bidan desa, Polindes, Poskesdes, Puskesmas
Keliling, UKS dan lain-lain.

2. Pelaporan gangguan Pendengaran

Pelaporan gangguan pendengaran dilaksanakan oleh Puskesmas kepada Dinas


Kesehatan Kabupaten/Kota dan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada
Dinas Kesehatan Provinsi. Variabel yang dilaporkan hendaknya mengacu
kepada informasi yang dibutuhkan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas
Kesehatan Provinsi sampai ke Pusat.

Sesuai dengan kebijakan Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan


Ketulian, ada 5 penyakit yang harus ditanggulangi sebagai penyebab utama
ketulian, yaitu;

 Tuli kongenital
 OMSK
 Sumbatan Serumen
 Tuli akibat paparan bising/Gangguan Akibat Bising
 Presbikusis

Dalam pelaporan penanggulangan gangguan Pendengaran mulai dari


Puskesmas sampai ke Pusat, cukup hanya melaporkan pelayanan terhadap 5
penyakit tersebut di atas. Ditambah dengan penyakit lain yang menjadi masalah
kesehatan telinga masyarakat

Laporan dikirim dalam bentuk formulir pencatatan dan pelaporan


penanggulangan gangguan pendengaran. Laporan dari Puskesmas dikirim 1
(satu) bulan sekali ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota merekap dan mengirimkan ke Dinas Kesehatan Provinsi,
selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi mengirimkan laporan ke Kementerian
Kesehatah RI melalui Subdirektorat Gangguan Indera dan Fungsional, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

99
Alur pelaporan Program Kesehatan Indera

Pusat

Dinkes Propinsi

Dinkes Kab/Kota

Puskesmas

Bides Posbindu Pustu

Pencatatan Gangguan Penglihatan dan Pendengaran di Puskesmas dapat


dilaksanakan bersama-sama pelaksanaan kegiatan dapat secara
terintegrasi dengan program lain. Pencatatan dilakukan dalam buku
register kegiatan harian dari setiap unit yang melakukan kegiatan. Hal-hal
yang dicatat dalam register adalah : Nama pasien, Umur, Alamat, Keluhan,
Diagnosis, Terapi atau tindakan yang dilakukan dan keterangan lainnya
yang berhubungan dengan pasien. Rekapan hasil pencatatan ini kemudian
dipindahkan ke dalam formulir pelaporan kesehatan Indera Pendengaran
Puskesmas

100
MATERI INTI 5
TEKNIK MELATIH

I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang pembelajaran orang dewasa, penciptaan iklim
pembelajaran, satuan acuan pembelajaran, metode pembelajaran, media dan alat
bantu pembelajaran, teknik presentasi interaktif, evaluasi hasil pembelajaran, dan
micro facilitating.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti pelatihan, peserta mampu mempraktikkan teknik melatih.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti pelatihan, peserta mampu:
1. Mempersiapkan pembelajaran orang dewasa (POD);
2. Menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif;
3. Menyusun satuan acuan pembelajaran (SAP);
4. Menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran;
5. Menggunakan media dan alat bantu pembelajaran sesuai dengan metode
yang dipilih;
6. Menerapkan teknik presentasi interaktif dalam proses pembelajaran;
7. Melakukan evaluasi terhadap hasil kegiatan pembelajaran;
8. Mensimulasikan proses fasilitasi/melatih (micro facilitating)

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


Pokok bahasan dalam materi ini meliputi:
Pokok Bahasan 1. Pembelajaran Orang Dewasa (POD)
Pokok Bahasan 2. Penciptaan Iklim Pembelajaran
Pokok Bahasan 3. Satuan Acuan Pembelajaran (SAP)
Pokok Bahasan 4. Metode Pembelajaran
Pokok Bahasan 5. Media dan Alat Bantu Pembelajaran
Pokok Bahasan 6. Teknik Presentasi Interaktif
Pokok Bahasan 7. Evaluasi Hasil Pembelajaran
Pokok Bahasan 8. Praktik Teknik Melatih/Micro Facilitating

101
IV. BAHAN BELAJAR
1. Andreas Harefa: 2003. Pengantar Presentasi Efektif, Gramedia, Jakarta.
2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang, 1989.
3. Hamzah B. Uno, dkk (2004), Model Pembelajaran, Nurul Jannah, Gorontalo
4. Lunadi AG: 1982. Pendidikan Orang Dewasa, PT Gramedia, Jakarta.
5. Mansour Fakih dkk (2001), Pendidikan Popular Membangun kesadaran Kritis, Read
Book, Yogyakarta
6. Pusdiklat Kesehatan Depkes RI, Pedoman Pengukuran Hasil Pelatihan, Jakarta,
1994.
7. Pusdiklat SDM Kesehatan, 2011, Kurikulum dan Modul Pelatihan Tenaga Pelatih
Program Kesehatan (TPPK).
8. S. Reksodikusumo: 2001, Penciptaan Iklim Pembelajaran, Pusdiklat Kesehatan.
9. Wahyu Suprapti, Dra, M.M., Sudariman, Drs., Ragam Metoda Belajar, Bahan Ajar
Diklat Kepelatihan Berjenjang Tingkat Pertama, Lembaga Administrasi Negara,
Jakarta, 2002

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Langkah-langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
Langkah 1: Pengkondisian Peserta
Fasilitator menyapa peserta dan memperkenalkan diri
 Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran dengan menggunakan bahan
tayangan
 Fasilitator melakukan apersepsi tentang materi yang akan dibahas dengan metode
curah pendapat atau meminta beberapa peserta/ relawan untuk menjawab
pengertian dari teknik melatih.
Langkah 2: Membahas Pokok bahasan 1 Pembelajaran Orang Dewasa (POD)
 Fasilitator menjelaskan tentang perubahan paradigma pendidikan orang dewasa
menggunakan bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab dan mengajak
peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang pedagogi dan andragogi yaitu cara pendekatan
pembelajaran terhadap anak-anak dan orang dewasa, melalui ceramah, tanya jawab
dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.

102
 Fasilitator menjelaskan tentang prinsip-prinsip POD, menggunakan bahan tayangan,
melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta
berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang ruang lingkup, pendekatan, dan tujuan POD,
menggunakan bahan tayangan, melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta
untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang strategi POD menggunakan bahan tayang, melalui
ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi
dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/ umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 3: Membahas Pokok bahasan 2 Penciptaan Iklim Pembelajaran


 Fasilitator menjelaskan tentang cara pengelolaan kelas secara efektif, dengan
metode ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta
berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang perkembangan kelompok, melalui ceramah, tanya
jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang kondisi dan situasi belajar yang berpusat pada
pembelajar, menggunakan bahan tayangan, melalui ceramah, tanya jawab dan
mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang cara membuat jurnal, menggunakan bahan tayangan,
melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta
berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/ umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 4: Membahas pokok bahasan 3 Satuan Acuan Pembelajaran (SAP)


 Fasilitator menjelaskan tentang pengertian, manfaat, dan tujuan SAP, menggunakan
bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk
berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang langkah-langkah penyusunan SAP, melalui ceramah,
tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam
proses pembelajaran.

103
 Fasilitator menjelaskan tentang cara penyusunan SAP kemudian meminta/
membimbing peserta menggunakan bahan tayangan melalui ceramah, Tanya jawab
untuk mempraktekkan cara pembuatan SAP dan mengajak peserta untuk
berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi ini
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 5: Membahas pokok bahasan 4 Metode Pembelajaran


 Fasilitator menyapa peserta dan memperkenalkan diri
 Menyampaikan tujuan pembelajaran dengan menggunkan bahan tayangan
 Melakukan apersepsi tentang materi yang akan dibahas dengan metode curah
pendapat atau meminta beberapa peserta/relawan untuk menjawabnya.
 Fasilitator menjelaskan tentang arti dan manfaat dari metode pembelajaran
menggunkan bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab dan mengajak
peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang delapan ragam metode pembelajaran yang dapat
menstimulir domain kognitif, afektif dan psikomotor secara tepat melalui ceramah,
tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam
proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang keunggulan dan kelemahan masing-masing metode
pembelajaran menggunakan bahan tayangan, melalui ceramah, tanya jawab dan
mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang metode pembelajaran yang efektif serta cara memilih
metode pembelajaran yang efektif menggunakan bahan tayangan, melalui ceramah,
tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam
mempraktekkan pemilihan metode pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 6: Membahas pokok bahasan 5 Media dan Alat Bantu Pembelajaran


 Fasilitator menjelaskan tentang media dan alat bantu pembelajaran menggunkan
bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk
berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.

104
 Fasilitator menjelaskan tentang kriteria pemilihan media dan alat banttu pembelajaran
yang efektif melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi
serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang jenis-jenis media dan alat bantu pembelajaran yang
efektif beserta karakteristiknya menggunakan bahan tayangan, melalui ceramah,
tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam
mempraktekkan pemilihan media dan alat bantu pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 7: Membahas pokok bahasan 6 Teknik Presentasi Interaktif


 Fasilitator menjelaskan tentang pengertian dan tujuan presentasi interaktif,
menggunakan bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab.
 Fasilitator mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang menghantar sesi pembelajaran, melalui ceramah,
tanya jawab, dan memberikan penugasan berupa simulasi teknik menghantar sesi
pembelajaran.
 Fasilitator mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang teknik merangkum sesi pembelajaran, menggunakan
bahan tayang melalui ceramah, tanya jawab, dan memberikan penugasan berupa
simulasi teknik merangkum sesi pembelajaran.
 Fasilitator mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang teknik Tanya jawab yang efekltif, menggunakan
bahan tayangan melalui ceramah, Tanya jawab, dan memberikan penugasan berupa
simulasi teknik tanya jawab efektif.
 Fasilitator mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang teknik mengelola hubungan interaktif, menggunakan
bahan tayangan melalui ceramah, tanya jawab, dan memberikan penugasan berupa
simulasi teknik mengelola hubungan interaktif.
 Fasilitator mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.

105
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi ini
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/umpan balik, serta
memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 8: Membahas pokok bahasan 7 Evaluasi Hasil Pembelajaran


 Fasilitator menjelaskan tentang Pengertian, tujuan, prinsip evaluasi hasil
pembelajaran menggunakan bahan tayangan, dengan metode ceramah, tanya jawab
dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses
pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang Jenis-jenis evaluasi hasil pembelajaran, melalui
ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi
dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang prosedur penyusunan instrumen penilaian
pembelajaran dan pengukuran evaluasi hasil pembelajaran, menggunakan bahan
tayangan, melalui ceramah, tanya jawab dan mengajak peserta untuk berpartisipasi
serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator menjelaskan tentang nilai hasil pembelajaran, menggunakan bahan
tayangan, melalui ceramah, tanya jawab, serta diskusi kelompok dan mengajak
peserta untuk berpartisipasi serta berinteraksi dalam proses pembelajaran.
 Fasilitator merangkum atau melakukan pembulatan tentang pembahasan materi
dengan mengajak seluruh peserta untuk melakukan refleksi/ umpan balik. Dilanjutkan
dengan memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

Langkah 9: Membahas pokok bahasan 8 Praktik Teknik Melatih/Micro


FacilitatingFasilitator memberikan arahan/penjelasan tentang aturan permainan
praktik teknik melatih, dan mengajak peserta untuk berpartisipasi secara aktif dalam
mempraktikkan teknik melatih.
 Fasilitator melakukan penilaian atas praktik teknik melatih yang dilakukan peserta,
dengan menggunakan instrumen penilaian dan SAP yang telah disusun peserta, dan
memberikan masukan atas hasil praktik guna perbaikan teknik melatih yang
dilakukan peserta.
 Fasilitator melakukan rangkuman atas hasil penilaian praktik teknik melatih, dan
memberikan apresiasi atas keterlibatan aktif seluruh peserta.

VI. URAIAN MATERI


POKOK BAHASAN 1 PEMBELAJARAN ORANG DEWASA (POD)
1. Perubahan Paradigma Pendidikan

106
Belajar pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar unuk
menghasilkan suatu perubahan, menyangkut pengetahuan, keterampilan dan sikap
maupun nilai-nilai. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dan melakukan
(learning to do) diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang produktif
dan kreatif, sementara belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be myself)
diharapkan dapat menciptakan manusia-manusia yang percaya diri, dan belajar
untuk hidup bersama (learning to life together) diharapkan dapat menciptakan
manusia-manusia yang mempunyai daya saing, daya penyesuaian, dan daya
kerjasama.
Paradigma pendidikan saat ini lebih menekankan pada bagaimana mendorong
peran aktifnya peserta didik dalam proses belajar, dan disini juga adanya
kebebasan dari peserta didik dalam mengemukakan pendapat/ ide.
Perubahan paradigma ini pula yang melandasi perubahan strategi dalam proses
pelatihan, dimana selama ini dalam proses pelatihan lebih banyak proses
pengajaran yaitu si pelatih memberikan pengetahuan/ keterampilannya secara
searah kepada peserta, seperti yang dikatakan oleh Freire sebagai metode “gaya
bank”, dengan ciri sebagai berikut:
 Guru mengajar, murid belajar
 Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
 Guru berpikir, murid dipikirkan
 Guru bicara, murid mendengarkan
 Guru mengatur, murid diatur
 Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti
 Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai tindakan
gurunya
 Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid
 Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Sekarang diharapkan ada proses aktif peserta dalam menggali pengetahuan dan
keterampilannya sendiri dari bahan ajar ataupun referensi lain yang disediakan,
sementara pelatih lebih berperan sebagai narasumber atau fasilitator. Inilah yang
dimaksud dengan pendekatan POD.

107
2. Pedagogi dan Andragogi
Malcolm Knowles (1970) menguraikan perbedaan antara anak-anak dan orang
dewasa sebagai kerangka model pendekatan pendidikan. Perbedaan antara kedua
pendekatan ini bukan hanya sebatas obyek pesertanya, tetapi juga dalam hal seni
bagaimana mendidik.
Pendidikan bagi anak yang dikenal dengan Pedagogi berasal dari bahasa Yunani,
paid (anak-anak) an agogos (memimpin), dengan demikian Pedagogi berarti
memimpin anak-anak atau suatu ilmu dan seni mengajar anak-anak. Dalam
pedagogi, murid atau peserta didik sepenuhnya menjadi obyek, dalam hal ini: guru
menggurui, murid digurui, guru memilih apa yang dipelajari, murid tunduk pada
pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi, dsb.
Andragogi atau pendidikan orang dewasa/POD berasal dari bahasa Yunani, andra
(orang dewasa) dan agogos (memimpin). Pre-definisi andragogi adalah suatu ilmu
atau seni untuk membantu orang dewasa belajar. Perserta didik diperlakukan
sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk
merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang bermanfaat, memikirkan cara
terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil
manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai fasilitator dan bukan menggurui.
Secara lengkap mengenai bagaimana perbedaan antara Pedagogi dan Andragogi
dapat kita lihat pada tabel berikut:
Tabel 57. Perbedaan Pedagogi dan Andragogi
No. Fakta Pembeda Pedagogi Andragogi
1. Tingkat kemandirian Dependen pada orang Independen
lain
2. Peran pengalaman hidup Tidak banyak perperan Sangat penting sebagai
dalam proses belajar acuan dan sumber belajar
3. Kesiapan belajar Tergantung pada guru Tergantung pada
dan kurikulum kebutuhan riil
4. Orientasi belajar Pada materi belajar Pada skill yang harus
(masa depan) dikuasai (masa kini)
5. Pemanfaatan hasil belajar Kelak mungkin berguna/ Harus segera dapat
tidak dimanfaatkan dalam
bekerja
6. Motivasi belajar Ditimbulkan faktor luar Timbul dari diri sendiri
7. Iklim belajar Kaku dan formal Santai tetapi saling
menghormati
8. Proses perencanaan Dilakukan oleh guru Dilakukan unit diklat
program belajar bersama user
9. Perumusan tujuan belajar Selalu dilakukan oleh Dilakukan fasilitator
guru bersama peserta

108
10. Analisis kebutuhan belajar Dilakukan oleh guru Dilakukan oleh peserta
11. Sifat materi belajar Teoritis disusun secara Teoritis praktis disusun
linier secara fleksibel
12. Evaluasi belajar Dilakukan oleh guru Dilakukan oleh fasilitator
dan peserta

3. Prinsip-Prinsip POD
Definisi orang dewasa dalam andragogi adalah menyangkut definisi dewasa secara
sosial dan psikologi. Secara sosial seseorang menjadi dewasa jika orang tersebut
telah mulai melaksanakan peran-peran orang dewasa seperti: peran kerja, peran
pasangan (suami-istri), peran orang tua, peran sebagai warga negara dan lain-lain.
Sementara secara psikologi, seseorang menjadi dewasa jika orang tersebut telah
memiliki konsep diri yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya, yaitu konsep:
mengatur untuk dirinya sendiri, seperti mengambil keputusan sendiri.
Menurut Lindeman, konsep POD merupakan pembelajaran yang berpola non-
otoriter, lebih bersifat informal yang pada umumnya lebih bertujuan untuk
menemukan pengertian, pengalaman dan atau pencarian pemikiran guna
merumuskan perilaku yang standar. Dengan demikian teknik POD adalah
bagaimana membuat pembelajaran menjadi selaras dengan kehidupan nyata.
Beberapa kunci sukses untuk mengajar orang dewasa menurut Lindeman, yaitu:
 Aktivitas POD hendaknya relevan dengan kebutuhan dan kepentingan peserta
belajar, sehingga dapat memberikan kepuasan.
 Orientasi orang dewasa dalam belajar adalah terpusat pada kehidupannya,
sehingga pengaturan pembelajaran hendaknya relevan dengan situasi
kehidupannya.
 Pengalaman merupakan sumber belajar terpenting bagi proses pembelajaran
orang dewasa, dengan demikian metode pembelajarannya adalah “analisis
pengalaman”.
 Orang dewasa memiliki kebutuhan mendalam untuk menjadi individu yang
mampu mengatur dirinya sendiri, derngan demikian peranan pengjar lebih
sebagai fasilitator.
 Adanya perbedaan kepribadian diantara masing-masing individu peserta belajar,
antara lain dikarenkan perbedaan usia, latar belakang pekerjaan, latar belakang
pendidikan, status sosial dan lain-lain, maka hendaknya POD dapat menerima
keputusan-keputusan yang mengandung perbedaan tersebut.

109
Knowles mendapatkan beberapa asumsi model POD yang berbeda dengan
pedagogi, yaitu dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk mengetahui
Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu,
sehingga tugas utama fasilitator adalah membantu peserta belajar menjadi
sadar akan perlunya mengetahui bahwa pembelajaran yang akan dijalaninya
berguna untuk meningkatkn kinerjanya.
b. Konsep diri peserta belajar (pembelajar)
Secara umum orang dewasa memiliki konsep diri bahwa dirinya mempunyai
tanggung jawab atas keputusan yang dibuat sendiri atas kehidupannya, dengan
ciri:
 Mereka mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk
diperhatikan orang lain.
 Mereka akan diperlakukan oleh orang lain sebagai individu yang mampu
bersikap mengatur diri sendiri.
 Mereka akan menolak dan menentang situasi dimana mereka dan orang lain
yang memaksakan kehendaknya.
Konsep diri orang dewasa tersebut kadang-kadang tidak selamanya konsisten
seperti tersebut di atas, dengan demikian menjadi tugas fasilitatorlah untuk
mengembalikan dan mengembangkan kembali konsep diri pembelajar sebagai
orang dewasa yang sesungguhnya.
c. Peranan pengalaman peserta belajar
Orang dewasa memasuki kegiatan pembelajaran membawa pengalaman-
pengalaman yang berbeda setiap individunya, hal ini memberikan implikasi
bahwa mereka adalah heterogen. Untuk itu penekanan dalam proses POD
adalah strategi pembelajaran individu yang lebih mengutamakan teknik
menggali pengalaman peserta, antara lain dengan cara diskusi kasus dan
simulasi.
d. Kesiapan belajar
Penentuan waktu belajar (kapan dan berapa lama) hendaknya disesuaikan
dengan tahap perkembangan orang dewasa, dan yang lebih penting adalah
perlu ada rangsangan terjadinya kesiapan belajar melalui pengenalan-
pengenalan terhadap model POD.
e. Orientasi belajar
Orientasi belajar untuk orang dewasa adalah terpusat pada masalah kehidupan/
tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan menjadi termotivasi menggunakan
energinya untuk mempelajari sesuatu asalkan mereka merasa bahwa yang

110
dipelajarinya dapat menolong dirinya dalam melaksanakan tugas dan dalam
menghadapi masalah yang mereka temui/ hadapi. Dengan demikian mereka
akan mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai baru, pada
konteks situasi kehidupan yang sebenarnya.
f. Motivasi
Motivasi orang dewasa untuk belajar, disamping tanggap terhadap beberapa
dorongan eksternal, namun dorongan yang lebih kuat adalah dari internalnya
(keinginan untuk meningkatkan kepuasan kerja, kebanggan diri, mutu hidup,
dll). Semua orang dewasa normal akan termotivasi untuk tetap tumbuh dan
berkembang.

4. Pendekatan, Ruang Lingkup dan Tujuan POD


a. Pendekatan POD
Pendekatan POD lebih berpola non-otoriter atau berpola persuasif, bersifat
informal, yang memberikan rasa aman, fleksibel dan tidak mengancam dalam
proses pembelajarannya. POD lebih menekankan untuk menemukan
pengertian dan pencarian pemikiran guna merumuskan perilaku yang standar,
sehingga teknik pembelajarannya adalah bagaimana membuat pembelajaran
selaras dengan permasalahan kehidupan nyata.
b. Ruang Lingkup POD
Ruang lingkup POD mencakup pencarian terbaru tentang makna kehidupan,
karena itu POD dimulai dari memberikan perhatian pada masalah-masalah
yang terjadi/ ditemukan dalam kehidupannya.
c. Tujuan POD
Tujuan POD adalah untuk membantu peserta belajar sebagai orang dewasa
yang menjalankan peran sosialnya di masyarakat secara bertanggung jawab
yang selalu mengembangkan diri melalui belajar sepanjang hayat, sehingga
diperoleh rasa percaya diri, mempunyai kemampuan mandiri guna berperan
aktif dalam proses pembangunan.
Dengan demikian tujuan POD adalah:
 Membangkitkan semangat percaya diri dan optimisme.
 Memberikan kemampuan dan keterampilan untuk berbuat sesuatu.
 Memberikan kemampuan untuk dapat menerima atau menolak sesuatu atas
dasar standar peraturan atau nilai-nilai atau etika masyarakat yang dianutnya.

5. Strategi POD

111
Menurut Atwi Suparman secara garis besar strategi pembelajaran mengandung
komponen-komponen:
a. Urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan pengajar dalam
menyampaikan materi pembelajaran.
Secara garis besar uraian kegiatan POD setiap materi pembelajaran
mencakup tiga komponen, yaitu:
 Pendahulan, berisi informasi-informasi yang bertujuan untuk menyiapkan
mental atau memotivasi peserta sebelum membahas substansi.
 Penyajian informasi, yaitu pemberian informasi atau pengalaman baru yang
merupakan inti dari pembelajaran, secara garis besar terdiri dari tiga
langkah yaitu: Uraian (pemberian konsep baru, masalah, dll); Contoh
(informasi pengalaman pengajar atau peserta atau lainnya); dan Latihan/
unjuk kerja untuk menimbulkan partisipasi peserta.
 Penutup, yaitu pengakhiran dalam pembelajaran dengan cara memberikan
umpan balik dan pengambilan kesimpulan atau tindak lanjut.
b. Metode pembelajaran, yaitu cara pengajar mengorganisasikan materi
pembelajaran.
Secara garis besar metode-metode pembelajaran yang digunakan pada POD
adalah sebagai berikut: Ceramah tanya jawab, Demonstrasi/praktikum, Diskusi
kasus, Simulasi, Permainan, Seminar, dll.
c. Media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Dalam memilih media sebaiknya media pembelajaran yang mempunyai fungsi
sebagai berikut:
 Dapat memperbesar benda yang sangat kecil dan atau tidak nampak oleh
mata (misalnya kuman, dll).
 Dapat menyajikan benda atau peristiwa yang terletak jauh di luar jangkauan
ke hadapan peserta.
 Menyajikan peristiwa yang kompleks, rumit berlangsung cepat, menjadi
lebih sederhana dan sistematis.
 Menyajikan peristiwa atau benda yang berbahaya melalui film atau foto
sehingga dapat dipelajari oleh peserta.
 Meningkatkan daya tarik materi pelajaran dan perhatian peserta belajar.
 Meningkatkan sistematika pengajaran (menggunakan transparan, grafik,
kaset video, infocus, dll).

112
d. Waktu pembelajaran, yaitu waktu yang digunakan pengajar dan peserta
belajar dalam menyelesaikan proses pembelajaran.
Waktu pembelajaran orang dewasa yang tidak lama merupakan salah satu ciri
POD. Dengan demikian alokasi waktu untuk masing-masing mata pelajaran
didasarkan pada tujuan pembelajaran tiap-tiap materi. Manfaatnya adalah bagi
para pengajar akan memudahkan untuk menyusun urutan kegiatan ataupun
dalam memilih media pembelajaran.

POKOK BAHASAN 2 PENCIPTAAN IKLIM PEMBELAJARAN


1. Pengelolaan Kelas Secara Efektif
a. Pengertian Pengelolaan Kelas
Pengelolaan kelas adalah suatu seni proses mengorganisasikan segala sumber
daya kelas yang diarahkan agar dapat tercipta suatu kondisi yang menunjang
terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan
pembelajaran. (Sudarwan Danim, 2002).
Konsep pengelolaan kelas modern mengisyaratkan bahwa semua sumber daya
yang terdapat di kelas selalu dalam keadaan yang dapat menimbulkan
perhatian, motivasi dan suasana yang menyenangkan para pembelajar. Hal ini
seiring dengan konsep Quantum Learning (Bobbi De Porter & Mike Hernachi,
1992) yang menyatakan bahwa semua sumber daya di kelas dapat “berbicara”
sehingga menimbulkan rasa, memotivasi karena dapat menstimulir pembelajar.
Untuk itu seluruh sumber daya kelas yang terlibat dalam proses pembelajaran
diupayakan agar senantiasa menimbulkan perasaan nyaman dan
menyenangkan pembelajar. Keberadaan pembelajar yang hadir dan diterima
seutuhnya dalam proses pembelajaran akan melibatkan seluruh unsur individu
yang terdiri dari intelektualitas, kondisi fisik, maupun mentalnya yang sangat
mudah terpengaruhi oleh hal-hal yang berada di sekitarnya.
Manfaat Pengelolaan Kelas
Keterampilan mengelola kelas merupakan suatu seni yang harus dikuasai
fasilitator karena hal ini merupakan bagian dari tugasnya dalam menciptakan
iklim pembelajaran yang kondusif. Untuk itu, diperlukan kreativitas dalam
menciptakan proses pembelajaran yang nyaman, aman juga menyenangkan.
Kegagalan mengelola kelas dengan baik biasanya akan memunculkan indikator
yang segera tampak yakni ritme proses pembelajaran melemah karena
keterlibatan pembelajar berada pada titik terendah. Masalah ini dapat terjadi
karena berbagai sebab, antara lain oleh manusia (pembelajar, fasilitator atau

113
panitia), sarana (misalnya ada media pembelajaran dan fasilitas fisik lainnya),
dan organisasi (misalnya: perubahan jadwal, pergantian fasilitator, dsb).

Uraian berikut ini dikhususkan pada masalah pengelolaan kelas yang


ditimbulkan oleh manusia, khususnya para peserta pembelajaran, karena dalam
proses pelatihan yang bernuansa “learner centered” faktor pembelajar menjadi
unsur utama dalam mencapai keberhasilan suatu pelatihan.

Masalah pengelolaan kelas yang disebabkan oleh pembelajar dapat


dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu masalah individual dan masalah
kelompok. R.Dreikurs dan P. Cassel mengemukakan kegagalan mengelola
kelas akan memunculkan masalah kelas secara individual yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Memancing perhatian, misalnya dengan melucu, bercanda atau membuat
keributan di saat proses pembelajaran sedang berlangsung.
2) Konfrontasi atau mencari kuasa, dengan manifestasinya melawan,
membantah, menentang dan bertindak emosional pada hal-hal sepele.
3) Menyakiti/ mengejek orang lain yang lebih rendah, lemah, atau kurang
pengetahuan/ pengalamannya ketika ia berbuat kekeliruan.
4) Memboikot, beraksi seperti menyerah atau tak berdaya, pasif, apatis, acuh
tak acuh, atau bahkan menolak sama sekali untuk melakukan apapun.

Sedangkan masalah kelompok dalam pengelolaan kelas menurut L.V.Johnson


dan M.A.Bany mengklasifikasikannya sebagai berikut:
1) Kelas kurang kompak, timbul klik-klik dalam kelas yang bernuansa negatif.
2) Kelas sukar diatur, melakukan berbagai cara yang menunjukkan
pemberontakan.
3) Kelas bereaksi negatif ketika salah seorang anggotanya/ kelompok lain
berlaku disiplin dan serius dalam mengikuti proses pembelajaran.
4) Kelas mendukung anggota kelas yang melanggar norma kelompok.
5) Kelas mudah sekali dialihkan perhatiannya.
6) Semangat kerja rendah, lamban dan bermalas-malasan.
7) Kelas sulit menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan, misalnya
jadwal, pergantian fasilitator, dsb.

Untuk mencegah terjadinya masalah-masalah di atas, maka perlu dilakukan


pengelolaan kelas seperti berikut ini:
1) Menciptakan iklim kelas yang baik yakni tindakan positif untuk preventif.

114
2) Pelatih/ fasilitator dalam menyampaikan informasi dengan baik dan tegas,
serta melibatkan pembelajar dalam setiap kegiatan pembelajaran di kelas
sedini mungkin. Untuk itu dibutuhkan keterampilan fasilitator seperti di
bawah ini:
- Memberikan tanggapan yang memadai
- Membagi perhatian terhadap seluruh pembelajar secara adil
- Menarik perhatian kelompok/ kelas agar terpusat pada pokok bahasan
- Memberi petunjuk yang jelas dan tegas
- Menghindari kesalahan sekecil apapun dalam mengatur kelancaran dan
kecepatan proses pembelajaran
- Menanggapi secara serius terhadap keluhan pembelajar dan gangguan
lain yang berpengaruh pada proses belajar/ kegiatan kelas dengan
melakukan tindakan korektif
- Mengembalikan kondisi belajar yang baik dengan tindakan remedial,
kuratif bahkan represif bila terjadi gangguan yang berlangsung lama atau
ditemukan hal-hal yang secara normatif dianggap menyimpang.
3) Memacu motivasi pembelajar
Motif timbul karena adanya kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan dasar,
kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan sosial. Ada beberapa cara
memberikan motivasi kepada seseorang antara lain melalui pemberian
imbalah, paksaan/ perintah, perhitungan untung-rugi, atau penghargaan.
Dalam proses pembelajaran, motivasi pembelajar dapat ditumbuhkan melalui
pemenuhan kebutuhan untuk dihormati dan dihargai, kebutuhan untuk diakui
kelompok, sehingga merasa nyaman ketika ikut berpartisipasi.

Demikian juga jika kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka akan
meningkatkan motivasi keterlibatan pembelajar dalam setiap proses
pembelajaran. Rasa aman dapat diperoleh dengan cara memberikan
perlindungan dari ancaman fisik, sosial maupun ancaman terhadap harga diri.
Lakukan motivasi dengan cara yang wajar dan alamiah, tanpa menggunakan
sumber daya yang berlebihan (no extra drive) kecuali jika keadaan memaksa.

4) Memberi umpan balik positif kepada pembelajar


Fasilitator harus mempunyai kumpulan kata-kata positif pilihan. Pembelajar
yang mendapat umpan balik positif akan menebarkan semangat positif
kepada sesama pembelajar lain.

115
Demikian juga sebaliknya jika ada pembelajar yang tersinggung karena
umpan balik negatif biasanya akan menyebar dan menjadi masalah kelas
yang sulit dinetralisir. Pemberian umpan balik positif hendaknya dilakukan
secara wajar dan proporsional karena umpan balik positif yang berlebihan
(diobral) justru menjadi negatif karena pembelajar akan menganggap hal yang
lumrah bahkan terkadang menjadi kotra produktif.

b. Pengelolaan Kelas dari Aspek Pembelajar, Sarana dan Lingkungan


Pengelolaan kelas dapat dilihat dari berbagai aspek yang dilakukan oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam suatu pelatihan. Pada modul ini pokok
bahasannya difokuskan pada pengelolaan kelas yang dilakukan oleh seorang
pelatih/ fasilitator dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif dengan cara
pemberdayaan sumber daya kelas dilihat dari aspek pembelajar, sarana
pembelajaran, dan lingkungan pembelajaran.

1) Pengelolaan kelas dari aspek pembelajar


Aspek terpenting yang perlu dikelola oleh pelatih/ fasilitator dalam suatu
diklat adalah pembelajar, karena mereka terdiri dari individu-individu
dewasa yang telah memiliki kematangan kepribadian dan sekumpulan
kompetensi yang sudah biasa dikerjakan di tempat tugasnya.
Namun ketika mereka menjadi pembelajar dari suatu diklat, sedikit-banyak
mereka memerlukan adaptasi, terkadang gagal dilakukannya, sehingga
muncul berbagai manifestasi perilaku yang kurang menguntungkan, baik
bagi diri sendiri maupun kelas secara keseluruhan. Keadaan seperti ini jika
tidak dikelola dengan baik akan mengganggu proses pembelajaran secara
keseluruhan.

Pembelajar merupakan bahan masukan (raw input) yang akan “diolah” agar
menguasai kompetensi seperti yang diharapkan dalam tujuan pelatihan.
Disamping sebagai bahan masukan yang akan diproses, pembelajar juga
sebagai manusia dewasa mempunyai karakteristik tertentu yang harus
dipertimbangkan oleh pihak yang akan “mengolahnya”.

Berikut ini karakteristik pembelajar sebagai manusia dewasa:


a) Orang dewasa mempunyai banyak pengalaman dan kaya akan informsi.
Pengalaman pembelajar tidak dapat diabaikan atau bahkan dilecehkan.
Sebagai pembelajar, mereka merupakan sumber belajar bagi yang lain

116
termasuk fasilitator. Mereka setara dengan fasilitator dengan asumsi
bahwa mereka datang bukan “tanpa isi”.
b) Orang dewasa memiliki nilai, keyakinan dan pendapat yang terkadang
sulit untuk diubah hanya dalam waktu singkat, tetapi memerlukan waktu
dan mungkin perubahannya dirasakan setelah kembali ke tempat
semula.
c) Orang dewasa mempunyai gaya dan kecepatan belajar tersendiri dan
dapat berubah jika mereka merasakan ada keuntungannya. Untuk itu
pergunakan beberapa strategi dan metode pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristiknya secara rata-rata.
d) Orang dewasa mengaitkan pengetahuan dan informasi yang baru
dengan pengalaman dan informsi terdahulu yang telah berhasil
dikuasainya.
e) Orang dewasa mempunyai ketahanan fisik yang kian menurun, maka
diperlukan interval waktu istirahat meskipun hanya untuk peregangan
selama dua menit melalui gerakan-gerakan sebagai “energizer”.
f) Orang dewasa mempunyai kebanggaan, untuk itu beri dukungan secara
orang per orang karena hilangnya rasa percaya diri dan munculnya ego
yang berlebihan, menjadi risiko pencetus munculnya suasana yang tidak
kondusif di dalam lingkungan kelas yang tidak aman dan kurang
mendukung.
g) Pembelajar tidak akan berani bertanya atau berpartisipasi dalam
pembelajaran jika mereka selalu khawatir diremehkan atau tidak
dihargai. Biarkan mereka menyatakan kebingungan, ketidaktahuan,
ketakutan, dan pendapat berbeda. Akui dan hargai mereka apa adanya
(keberterimaan tanpa syarat).
h) Orang dewasa mempunyai kebutuhan sangat besar untuk mengarahkan
dirinya sendiri, oleh sebab itu libatkan pembelajar dalam proses
pencarian makna (serlf discovery) yang saling menguntungkan kelas.
Hindarkan kegiatan yang hanya merupakan penyampaian pengetahuan
(orasi) atau mengharapkan hasil pemaparan pelatih/ fasilitator mendapat
persetujuan secara bulat.
i) Orang dewasa cenderung belajar dengan berorientasi kepada masalah
yang terkadang hanya bersifat “kasuistik”, maka yang terbaik tekankan
pada mereka bahwa belajar dapat diaplikasikan dalam berbagai format
praktis, baik secara divergen ataupun convergen.

117
j) Orang dewasa pada umumnya ingin segera menerapkan informasi atau
keterampilan baru pada masalah atau situasi terkini, untuk itu perkaya
metode pembelajaran dengan berbagai metoda yang dapat melibat-
aktifkan pembelajar.

Pembelajaran dengan bahan baku orang dewasa secara fisiologik dan


psikologik juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan sebagai berikut:

a) Penurunan keadaan fisiologik


Sejalan dengan bertambahnya usia, maka beberapa kondisi fisiologik
pembelajar mengalami penurunan daya tahan dan sensitivitas indera,
yang dapat diuraikan sebagai berikut: (AG Lunardi, 1990)
b) Daya tahan tubuh
Pembelajar yang terus menerus duduk sepanjang hari pelatihan, secara
alamiah kian hari kian mengalami penurunan daya tahan tubuh secara
bermakna. Untuk itu perlu pengaturan istirahat, kandungan gizi
makanan, dan kegiatan olah raga agar dapat memulihkan stamina.
c) Sensitivitas Indera
Komponen indera yang banyak mengalami penurunan sensitivitas
diantaranya:
 Tingkat penglihatan: Semakin bertambah usia titik terdekat yang dapat
dilihat dengan jelas semakin bergerak menjauh, sedang titik terjauh
yang dapat dilihat dengan jelas semakin pendek.
 Penerangan: Bertambahnya usia, makin bertambah cahaya/
penerangan yang dibutuhkan dalam ruang belajar.
 Warna: Semakin bertambah usia, persepsi terhadap kontras warna
cenderung ke arah merah daripada spektrum. Cahaya yang masuk
cenderung tersaring, akibatnya kurang dapat membedakan warna-
warna lembut. Untuk itu agar dapat membedakan warna perlu
penggunaan warna-warna tajam dan kontras.
d) Penurunan keadaan psikologik
Keadaan psikologik yang mempengaruhi kemampuan belajar orang
dewasa meliputi komponen bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan
kemampuan kognitif.

118
Semakin tinggi tingkat kecerdasan, kognitif dan bakat cenderung semakin
cepat menangkap/ mencerna materi pembelajaran. Semakin tinggi minat
dan motivasi semakin efektif dalam mengikuti proses pembelajaran.

Faktor lain yang perlu diketahui oleh pelatih/ fasilittor sebagai bagian dari
penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif diantaranya:
 Pengalaman individu
Latar belakang pengalaman kerja maupun kompetensi pembelajar perlu
untuk diketahui agar pelatih/ fsilitator dapat memanfaatkannya sebagai
bahan pembanding atau contoh nyata di lapangan.

 Penguasan bahasa
Pelatih/ fasilitator perlu mengetahui tingkat penguasaan bahasa para
pembelajar. Hal ini untuk menyesuaikan gaya komunikasi dan istilah-
istilah yang digunakannya dalam proses pembelajaran.
 Sosial budaya
Latar belakang sosial budaya pembelajar perlu diketahui karena untuk
menghindari ucapan-ucapan yang dapat mengarah ke hal-hal yang
berbau “sara” yang dapat menyinggung perasaan pembelajar.

2) Pengelolaan kelas dari aspek sarana pembelajaran


Sarana pembelajaran (software dan hardware) merupakan komponen yang
dapat digunakan sebagai alat/ instrumen utama untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Pengelolaan sarana pembelajaran yang dilakukan dengan
baik akan berdampak pada terciptanya iklim pembelajaran yang kondusif,
sebaliknya jika gagal mengelola sarana pembelajaran maka yang terjadi
adalah semacam “kekacauan” kelas karena pembelajar kecewa, waktu
hilang percuma, atensi pembelajar menurun, dan tentunya pencapaian
tujuan pembelajaran tidak optimal.
Sarana pembelajaran yang “dimainkan” secara baik akan menimbulkan
atensi pembelajar dan menimbulkan afeksi/ perasaan senang. Oleh karena
itu disamping kualitas sarana pembelajaran yang memang harus tampil
prima, juga kepiawaian pelatih/ fasilitator dalam menggunakan/
mengoperasikannya.
3) Pengelolaan kelas dari aspek lingkungan pembelajaran
Lingkungan pembelajaran walaupun merupakan unsur penunjang tetapi
peranannya dalam mempengaruhi iklim pembelajaran cukup dominan.

119
Lingkungan pembelajaran meliputi berbagai aspek seperti tata letak tempat
duduk, penataan cahaya, penataan suara, dan pengaturan suhu udara yang
masing-masing dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Tata letak tempat duduk
Pengaturan tempat duduk dalam kelas mempengaruhi efektivitas proses
pembelajaran. Pengaturan lay out tempat duduk sangat dipengaruhi
oleh metode pembelajaran yang akan digunakan.
Metode pembelajaran yang mengharuskan adanya interaksi antar
pembelajar, lay out tempat duduk perlu diatur agar seluruh pembelajar
saling bertatap muka. Sedangkan metoda pembelajaran yang
mengharuskan adanya gerakan mobilitas pengajar, lay out tempat
duduk perlu diatur agar pembelajar dapat bergerak bebas.
b) Penataan cahaya
Penataan cahaya yang kurang tepat akan dapat melelahkan mata
pembelajar dan menyulitkan pembelajar untuk berkonsentrasi mengikuti
proses pembelajaran.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menata pencahayaan adalah
intensitas dan penyebaran cahaya, untuk itu ruang belajar yang ideal
adalah ruangan yang dilengkapi dengan fasilitas yang dapat diatur
intensitas penyebaran cahaya.
c) Penataan suara
Penataan suara yang tepat adalah tidak terlalu keras, tidak bergaung
tetapi menyebar ke seluruh ruangan secara merata. Untuk ini diperlukan
sound system dengan loudspeaker dengan ukuran kecil tetapi dalam
jumlah banyak menghdap ke segala arah. Volume dan nada/ tone suara
diatur supaya tidak terlalu bass atau treble karena dapat menimbulkan
distorsi konsonan pada penangkapan indera pendengaran.
d) Pengaturan suhu udara
Suhu udara yang ideal dalam ruangan sekitar 24-27 derajat celcius. Jika
suhu udara di kelas kurang dari suhu ideal penggunaan AC perlu
dipertimbangkan agar tercapai suatu ruangan yang ideal.

2. Perkembangan Kelompok
Pengelompokan orang dapat terjadi karena disengaja ataupun karena tanpa
sengaja. Pengelompokan yang disengaja biasanya menggunakan kriteria
tertentu yang sudah dirancang sebelumnya, tetapi pengelompokan yang

120
tidak disengaja biasanya berkaitan dengan adanya kesamaan tujuan
tertentu yang dirasakan oleh anggotanya.
Dalam kegiatan diklat sering terjadi keduanya. Kelompok formal biasanya
dilakukan pengelompokannya oleh pelatih/ fasilitator dengan menggunakan
kriteria/ variabel tertentu sesuai dengan kebutuhan pembelajaran.
Sedangkan kelompok non formal biasanya terjadi karena adanya kesamaan
tertentu, misalnya merasa satu suku, merasa pernah bersama-sama dalam
satu diklat terdahulu, merasa ada kesamaan hobi dan kesamaan lainnya.
Semua jenis kelompok hampir dipastikan mengalami tahapan
perkembangan yang sama menuju kelompok yang dinamis, hal ini
dikarenakan adanya sifat manusia yang selalu ingin berkembang melalui
berbagai kesempatan. Dalam kaitan ini tugas pelatih/ fasilitator adalah
memfasilitasi terbentuknya kelompok menjadi tim efektif yang berguna untuk
turut berperan menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif.
a. Kelompok (Tim) Efektif
Pengelompokan individu (formal maupun non formal) akan menjadi
efektif jika didalam tim terjadi hal-hal sebagai berikut:
1) Adanya kesamaan maksud/ tujuan dan harapan
2) Adanya kesadaran bahwa mereka adalah satu tim yang senasib-
seperjuangan dan mau saling bekerjasama
3) Adanya kesadaran bahwa setiap anggota mempunyai derajat yang
sama, saling terbuka dan saling mempercayainya
4) Adanya kesaman nilai/ norma hasil kesepakatan bersama
Banyak metoda yang dapat digunakan oleh pelatih/ fasilitator untuk
memfasilitasi agar kelompok menjadi tim yang efektif, diantaranya
melalui kegiatan Out Bound atau Building Learning Commitment.
Kelompok efektif yang telah terbentuk biasanya tidak statis, secara
periodik muncul gejolak-gejolak yang berasal dari adanya beberapa
anggota yang tidak puas dengan keadaan/ situasi yang ada.
Hal seperti ini wajar adanya, karena kelompok yang dinamis selalu
menuntut adanya perubahan-perubahan menuju yang lebih baik. Hal
inilah yang dinamakan sebagai perkembangan kelompok yang oleh para
ahli diidentifikasi dalam satu siklus tahapan perkembangan yang terdiri
dari empat tahapan.

b. Tahapan Perkembangan Kelompok

121
Kelompok yang dinamis selalu terjadi siklus perkembangan dengan
empat tahapan sebagai berikut:
1) Tahap Forming
Tahap ini setiap anggota kelompok berhubungan secara formal,
masing-masing masih saling observasi, dan melempar ide/ pendapat
ke forum kelompok. Ide/ pendapat terus bermunculan. Pada tahap
ini peranan pelatih/ fasilitator memberikan rangsangan agar seluruh
anggota kelompok berperan serta dan memunculkan ide/ pendapat
yang bervariasi.
2) Tahap Storming
Pada tahap ini mulai terjadi debat yang makin lama suasananya
makin “memanas” karena ide/ pendapat yang dilemparkan mendapat
tanggapan yang saling mempertahankan ide/ pendapatnya masing-
masing.
Peran pelatih/ fasilitator pada tahapan ini memberikan rangsangan
pada individu yang kurang terlibat agar ikut aktif terlibat menanggapi
atau mempertahankannya. Pada tahap ini pula pelatih/ fasilitator
hendaknya secara samar (tidak terbuka) mempertahankan keutuhan
kelompok.
Sesaat berikutnya biasanya mulai terjadi “koagulasi” dari beberapa
ide/ pendapat yang menyatu sehingga terbentuk beberapa sub
kelompok dengan ide/ pendapat sudah mulai mengerucut.
Peran pelatih/ fasilitator pada tahapan ini secara samar
mempertajam “kerucut” ide/ pendapat agar diterima oleh semua
anggota tanpa melakukan voting.
3) Tahap Norming
Tahap selanjutnya suasana tegang sudah mulai reda karena
kelompok sudah setuju dengan klarifikasi yang dibuat dan adanya
kesamaan persepsi. Masing-masing anggota kelompok mulai
menyadari dan muncul rasa mau menerima ide/ pendapat orang lain
demi kepentingan kelompok. Tahapan inilah sebenarnya telah
terbentuk “norma” baru yang disepakati kelompok.
Peranan pelatih/ fasilitator pada tahap ini membulatkan ide/
pendapat yang telah disepakati kelompok menjadi ide/ pendapat
kelompok.
4) Tahap Performing

122
Pada tahap ini kelompok menjadi kompak, diliputi suasana kerja
yang harmonis sesuai dengan norma baru yang telah disepakati
bersama untuk menyelesaikan tugas sebaik-baiknya.
Peranan pelatih/ fasilitator pada tahapan ini memacu kelompok
agar masing-masing individu berperan serta dalam setiap proses
kerja kelompok dengan tetap pada jalur norma yang telah
disepakati bersama.

c. Building Learning Commitment


Building learning commitment merupakan “kontrak belajar” yang
dilakukan di awal pembelajaran. Kegiatan ini berguna untuk mencari
kesepakatan norma diantara seluruh pihak yang terlibat. Kesepakatan
norma pembelajaran diperlukan untuk menunjang tercapainya iklim
pembelajaran yang kondusif karena masing-masing pihak akan terikat
oleh kesepakatan norma bersama.
Tahapan kegiatan building learning commitment dapat digambarkan
sebagai berikut:
1) Pemaparan identifikasi diri
Banyak metoda yang dapat digunakan dalam kegiatan ini, satu
diantaranya dengan berdiri melingkar termasuk pelatih/ fasilitator
untuk memperkenalkan diri beserta identitas lainnya seperti nama,
asal instansi, jabatan, rumah tinggal, status keluarga dan lain
sebagainya, sesuai kesepakatan kelas.
Setelah selesai, pelatih/ fasilitator secara random dapat meminta
beberapa anggota kelas untuk menyebutkan nama-nama anggota
kelas yang baru saja diperkenalkan. Hal ini berguna untuk
mempercepat penghafalan identitas, paling tidak hafal nama.
2) Inventarisasi harapan pembelajar selama mengikuti pembelajaran,
baik dari segi substansi materi, proses pembelajaran, setelah
selesai pelatihan dan hal-hal lain yang dianggap perlu.
3) Berdiskusi untuk menyepakati nilai-nilai apa saja yang perlu
diterapkan selama pelatihan berlangsung agar menghasilkan
dinamika pembelajaran yang optimal.
4) Menyepakati kontrol kolektif sebagai tindakan sanksi (kolektif) yang
dijatuhkan kepada pihak-pihak yang tidak mematuhi kesepakatan
nilai/ norma kelas.

123
3. Kondisi dan Situasi Belajar yang Berpusat pada Pembelajar
Salah satu komponen penting dalam upaya penciptaan iklim pembelajaran yang
kondusif adalah rancangan pembelajaran (learner centered). Disain pembelajaran
seperti ini menempatkan pembelajar pada posisi utama yang harus dilayani atau
difasilitasi dan diarahkan untuk memenuhi harapan/ keinginan dan kebutuhan
belajar para pembelajar, bukan untuk mengajarkan apa yang diketahui pelatih/
fasilitator ataupun keahlian apa yang diberikan penyaji untuk memecahkan suatu
masalah.
Untuk dapat memenuhi disain pembelajaran seperti di atas, seorang pelatih/
fasilitator harus mampu menciptakan kondisi-kondisi tertentu dan situasi belajar
yang berpusat pada pembelajar.

a. Kondisi belajar berpusat pada pembelajar


Menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi
karena adanya conditions (syarat-syarat) yang kemudian menimbulkan respon
atau reaksi tertentu dari pembelajar (Ngalim Purwanto, 2002).Teori ini
mengatakan tingkah laku manusia merupakan hasil dari conditioning tertentu
yang direspon oleh individu sebagai manifestasi pembelajaran. Respon yang
diberikan terhadap suatu stimulus baru dipengaruhi oleh pengalaman dan
pengetahuan lama yang telah dimilikinya.Dengan demikian ragam dan kualitas
respon yang muncul sebenarnya sangat tergantung pada sekumpulan
pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya karena
pengetahuan dan pengalaman yang lama berfungsi sebagai acuan dalam
merespon setiap stimulus yang datang.

Berdasarkan pada teori di atas, maka untuk menciptakan terjadinya proses


belajar yang efektif di kelas harus didukung oleh sejumlah kondisi tertentu yang
memungkinkan pembelajar selalu dapat merespon secara positif terhadap
setiap stimulus yang diterimanya.Seluruh sumber daya pembelajaran harus
dikondisikan agar dapat berfungsi sebagai perangsang timbulnya motivasi
pembelajar untuk senantiasa dapat meresponnya dalam bentuk perubahan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan menuju kompetensi seperti yang
diharapkan pada tujuan pembelajaran.

Salah satu bentuk conditioning yang perlu dilakukan oleh seorang pelatih/
fasilitator adalah penyiapan bahan pembelajaran (learning material) yang

124
disesuaikan dengan karakteristik pembelajar.Bahan ajar yang sesuai dengan
kebutuhan dan karakteristik pembelajar akan dapat memotivasi untuk
memberikan respon dalam bentuk keterlibatan aktif pada proses pembelajaran.
Menurut teori “Asosiasi” perilaku pembelajar akan berubah mengikutinya jika
bahan pembelajaran berhubungan erat dengan tugas dan kondisi mereka.

Oleh karena itu bahan pembelajaran dan contoh yang ditampilkan sebanyak
mungkin identik atau menyerupai tugas kesehariannya. Jika kondisi seperti
tersebut di atas dapat diwujudkan, niscaya iklim pembelajaran yang kondusif
dengan mudah dapat tercapai.

b. Situasi belajar yang berpusat pada pembelajar


Untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif seorang pelatih/ fasilitator
harus mampu mengendalikan diri agar tidak terjebak pada situasi belajar
searah, dalam arti pembelajar menjadi obyek pelatih/ fasilitator yang sedang
berorasi. Keadaan ini dapat dihindari jika dalam persiapan strategi dan
pemilihan metoda pembelajarannya dipilih ragam metoda yang memungkinkan
pembelajar terakselerasi berproses (accelerated learning) sedangkan peran
pelatih/ fasilitator mengambil posisi pasif.
Belajar terakselerasi dapat memberikan kebebasan belajar yang dapat
membantu menuju pencarian makna untuk menemukan kebutuhannya. Collin
Rose dan Malcolm J.Nicholl (1997) merumuskan enam tahapan pembelajaran
terakselerasi dalam kata “MASTER” sebagai berikut:
a. Motivation, memberikan dorongan sikap belajar yang positif dengan
membuat suasana pembelajaran yang menyenangkan tenpa tekanan
meskipun terdapat gaya belajar yang berbeda-beda.
b. Acquiring, memperoleh informasi yang terkait fakta yang relevan dengan
kepentingan pembelajar serta jika diperlukan dapat memanipulasinya
dengan cara mengkombinasikannya dengan fakta lainnya.
c. Searching, selalu mencari kebermaknaan agar dapat memahami setiap
topik bahasan dan menjadikannya berarti dalam hidupnya (personal
meaning).
d. Trigger, menyulut memori sehingga materi, pengetahuan dan pengalaman
yang tersimpan dalam “long term memory” dapat digali kembali dan
berasosiasi dengan yang baru diterima.
e. Exhibiting, memaparkan apa yang telah diketahui kepada forum kelas
untuk berbagi pengalaman dengan sesama sejawat.

125
f. Reflecting, merefleksikan kembali tentang apa-apa yang telah didapat pada
proses pembelajaran terdahulu dan bagaimana mempelajarinya.

Dengan menggunakan “MASTER”, pelatih/ fasilitator dapat mengarahkan


pembelajar agar menggabungkan seluruh potensi yang dimilikinya untuk mencapai
hasil yang optimal dalam suasana yang bebas tanpa merasa diperintah, apalagi
dipaksa.

4. Jurnal Pembelajaran
Pembuatan jurnal pembelajaran merupakan salah satu unsur penunjang dalam
penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif, karena melalui jurnal pembelajar,
pembelajar secara individual dapat mengekspresikan/ merefleksikan perasaan dan
tanggapannya terhadap materi, proses dan pengalaman belajar yang telah didapat
hari demi hari.
Demikian juga bagi pelatih/ fasilitator, jurnal pembelajaran berguna sebagai cermin
umpan balik tentang respon pembelajar baik secara individual maupun rata-rata
kelas terhadap materi, proses dan pengalaman belajar yang telah dialami
pembelajar dari hari ke hari.
a. Pengertian
Jurnal pembelajaran merupakan sebuah refleksi berupa ungkapan yang tulus
dari setiap pembelajar terhadap materi, proses pembelajaran, dan pengalaman
belajar yang muncul setelah sehari berproses. Isi jurnal dapat berupa hal-hal
sebagai berikut:
1) Apa saja yang telah dipelajari sepanjang hari
2) Bagaimana proses pembelajaran yang telah terjadi
3) Bagaimana perasaan yang muncul setelah mendapat pengalaman
pembelajaran dalam kurun waktu sehari
4) Apa manfaat yang telah dirasakan oleh pembelajar terhadap pembahasan
materi, proses pembelajaran dan pengalaman belajar yang telah dialami.

b. Cara Membuat Jurnal Pembelajaran


Pada setiap hari menjelang sesi akhir, fasilitator memberikan tugas malam
kepada setiap pembelajar untuk melakukan refleksi diri dengan cara merenung
dan menuliskannya pada selembar kertas tentang segala sesuatu yang telah
dialaminya sekaitan dengan pembelajaran sepanjang hari ini. Jurnal ini akan
disampaikan dan dibahas pada keesokan harinya sebelum pembelajaran
dimulai, tetapi tidak untuk diperdebatkan karena sifatnya sangat individual.

126
Perlu ditekankan bahwa jurnal bukan “resume” dari sebuah materi yang telah
dipelajari, tetapi merupakan ungkapan diri/ refleksi setiap individu secara tulus
terhadap pengalaman/ dampak pembelajaran materi (substansi) maupun
proses yang terjadi.
c. Manfaat Jurnal Pembelajaran
Jurnal bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
pembelajaran, paling tidak bagi pembelajar dan fasilitator.

1) Manfaat bagi pembelajar


- Pembelajar tanpa sadar telah melakukan review tentang substansi
materi yang ia tangkap pada proses pembelajaran di setiap hari.
- Berani mengungkapkan apa yang dilihat, dirasakan, dan didapatkan
secara tulus demi kemajuan bersama.
- Ikut bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran sesi-sesi
berikutnya.
- Dapat mengukur seberapa jauh dirinya telah mendapatkan manfaat dan
keterlibatan diri pada setiap pembahasan materi pembelajaran.
- Dengan membandingkan jurnal yang dibuatnya setiap hari dapat
diketahui tingkat perkembangan pembelajaran yang dialaminya.
2) Manfaat bagi fasilitator
- Mengukur seberapa jauh materi bahasan yang telah dapat diserap
dengan benar oleh pembelajar secara rata-rata kelas
- Mengetahui efektivitas metoda, media dan alat bantu, serta sumber
daya pembelajaran lainnya yang telah dipergunakan.
- Mengetahui tingkat atensi pembelajar terhadap setiap materi yang
dipelajari.
- Mengetahui kualitas interaksi sesama pembelajar, dan antara
pembelajar dengan fasilitator.

POKOK BAHASAN 3 SATUAN ACUAN PEMBELAJARAN (SAP)


1. Pengertian, Manfaat dan Tujuan SAP
a. Pengertian SAP
SAP atau Satuan Acara Pembelajaran, ada pula yang menyebutnya dengan
Satpel atau Satuan Pelajaran atau Kurikulum Mikro. SAP merupakan pedoman/
panduan yang memberi arah kepada fasilitator dalam menyajikan materi
pembelajaran kepada para peserta, dalam kurun waktu tertentu dengan metoda

127
dan alat bantu yang sesuai guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan.
Ada beberapa pengertian tentang SAP tersebut, antara lain:
1) SAP merupakan suatu uraian rinci tentang langkah-langkah proses transfer
suatu mata ajaran atau materi latihan untuk bidang kemampuan tertentu,
yang akan dipaparkan atau dilatihkan kepada peserta, dalam kegiatan
pembelajaran.
2) SAP merupakan rencana pelaksanaan proses pembelajaran mata diklat
yang dibuat oleh pelatih. Dengan tersedianya SAP, pelatih akan
memperoleh arah dalam memaparkan materi diklatnya.
3) SAP adalah proses merancang kegiatan pembelajaran dengan langkah-
langkah yang tertata, tepat dan logis guna mencapai tujuan pembelajaran.

b. Manfaat SAP
Manfaat penyusunan SAP dalam kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan
oleh setiap fasilitator antara lain:
1) Menjadi instrument pengendalian dan pembinaan terhadap fasilitator dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran.
2) Fasilitator dan peserta dapat mengetahui proses pembelajaran yang akan
berlangsung dan metoda-metoda untuk mencapai tujuan materi tersebut.

c. Tujuan SAP
Sebagai pedoman dan arah bagi fasilitator dalam melaksanakan proses
kegiatan pembelajaran.

2. Langkah-Langkah Penyusunan SAP


a. Sistematika SAP
Komponen-komponen suatu SAP adalah sebagai berikut:
1) Mata Diklat (Materi) : diisi Pokok/ Sub Pokok Bahasan
2) Tujuan Materi : diambil dari TPU dan TPK
3) Sasaran latihnya : sebutkan kriteria/ siapa peserta
4) Waktu : dalam menit atau JPL
5) Tempat : Kelas/ Lab/ Tempat Lain (misal: bangsal RS)
6) Metoda : cara pembelajaran yang akan digunakan
7) Alat bantu : alat/ instrumen yang akan digunakan
8) Slide/ transparan : bahan yang dipaparkan/ ditayangkan

128
9) Lembar tugas : petunjuk penugasan
10) Kegiatan pembelajaran : pembukaan, inti, penutup
11) Rujukan : buku yang digunakan sebagai referensi/
kepustakaan
12) Evaluasi : nilai evaluasi

b. Teknik Penyusunan SAP


Berikut ini diuraikan tentang cara penulisan setiap komponen dalam SAP,
terutama pada komponen-komponen:
1) Tujuan pembelajaran: umum maupun khusus
2) Metode pembelajaran
3) Alat bantu pembelajaran
4) Kegiatan pembelajaran
5) Instrumen evaluasi formatif (setelah materi selesai)

Komponen-komponen yang lain seperti Pokok/ Sub Pokok bahasan, waktu dan
tempat bukan tidak penting akan tetapi cara penulisannya lebih bervariasi
tergantung tujuan dan kebutuhan peserta.
1) Tujuan Pembelajaran
a) Tujuan Pembelajaran Umum
Menggambarkan kompetensi atau kemampuan/ kecakapan umum/
keterampilan tertentu yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta
setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran satu mata diklat/ materi.
Rumusan TPU yang baik harus memenuhi kriteria antara lain, sebagai
berikut:
 Merupakan kompetensi umum dari suatu kemampuan tertentu (TPU
merupakan gabungan dari beberapa kompetensi khusus).
 Terdiri dari kata kerja operasional (=hasilnya dapat diukur dan diamati)
yang diikuti kata benda (obyek= keterangan dari perilaku yang akan
dicapai), sehingga rumusan TPU menjadi rasional.

b) Tujuan Pembelajaran Khusus


Merupakan penjabaran lebih lanjut dari TPU yang harus dicapai atau
dikuasai oleh peserta setelah menyelesaikan suatu kegiatan
pembelajaran.

129
 Rumusan TPK memerlukan kriteria, bahwa kompetensi yang harus
dicapai harus berorientasi pada peserta dan dapat diukur. Mengingat
yang menjadi subyek aktif proses diklat adalah peserta.
 Rumusan TPK harus mengandung komponen A, B, C, dan D, yang
berarti: ^Audience (peserta) harus dapat mengerjakan atau
berpenampilan seperti yang dinyatakan dalam TPK, ^Behaviour
(perilaku) peserta setelah kegiatan pembelajaran, ^Condition
(persyaratan) yang harus dipenuhi pada saat peserta menampilkan
perilaku setelah selesai kegiatan pembelajaran. ^Degree (tingkat
keberhasilan) peserta setalah selesai kegiatan pembelajaran.
Contoh TPK:
Peserta (Audience) dapat melaksanakan asuhan keperawatan
eklampsia (Behaviour) pada pasien eklampsia (Condition) sesuai
dengan standar pelayanan (Degree).

2) Metode pembelajaran
Metode pembelajaran yang digunakan dalam suatu pelatihan sangat
tergantung dari tujuan kompetensi yang ingin dicapai. Walaupun hampir sama
tujuannya, tetapi dengan audience yang berbeda mungkin metode yang dipilih
tidak persis sama.
Dalam setiap kegiatan pelatihan mungkin akan bervariasi metodanya, selain
materi dan peserta juga sangat tergantung pada waktu, alat yang tersedia,
lokasi pembelajaran, fasilitator, dan sebagainya.

3) Alat bantu pembelajaran


Memilih alat bantu pembelajaran sangat tergantung pada tujuan diklat yang
akan dicapai. Pada dasarnya ada 2 macam alat bantu pembelajaran yaitu
bersifat Umum dan Khusus.
 Alat bantu pembelajaran Umum: seperti papan tulis/ whiteboard beserta
kelengkapannya. Alat bantu pembelajaran seperti ini tidak perlu ditulis
dalam SAP.
 Alat bantu pembelajaran Khusus: seperti alat peraga tertentu, atau disebut
teaching/ training aids, merupakan alat yang mendukung peningkatan
pemahaman kemampuan dan memperlancar kegiatan pembelajaran,
sebaiknya ditulis secara spesifik, misalnya: model jantung, phantom,
instrument kesehatan seperti alat pengukur tensi, alat KB, dll.

130
 Pemilihan alat bantu pembelajaran, didasarkan atau sesuai tujuan dan
metoda pembelajaran yang akan dilaksanakan. Alat bantu pembelajaran
yang akan digunakan dalam proses pembelajaran HARUS ditulis secara
jelas dan rinci, agar tidak menimbulkan kesulitan pada saat kegiatan
tengah berlangsung.

4) Kegiatan pembelajaran
Penyusunan kegiatan pembelajaran harus berfokus kepada peserta yang
diposisikan sebagai subyek, diikuti dengan bentuk kegiatan yang harus
dilakukannya (behaviuor).
Setiap langkah kegiatan pembelajaran harus ditulis secara berurutan
(sequencing) mulai dari awal s/d akhir, juga disesuaikan dengan Pokok dan
Sub Pokok Bahasan yang tertera dalam GBPP.

3. Penyusunan SAP
Praktek Menyusun SAP
Masing-masing peserta menyusun SAP. Bahan penyusunan SAP diambil dari
Materi Inti yang akan dipresentasikan pada saat Micro Facilitating.

POKOK BAHASAN 4 METODE PEMBELAJARAN


1. Arti dan Manfaat Metode Pembelajaran
a. Arti Metode Pembelajaran
Sebelum membaca lebih lanjut, silahkan renungkan kata-kata bijak berikut ini:

Pengajar biasa memberitahu;


Pengajar yang baik menjelaskan;
Pengajar yang lebih baik mendemonstrasikan;
Pengajar terbaik memberi inspirasi
(William A. Ward)

Apa yang tersirat dalam benak Anda membaca kata bijak di atas? Setujukah
Anda bila kata-kata bijak di atas memberikan pemahaman kepada kita
bagaimana metode yang baik dalam proses pembelajaran? Lalu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan metode?

131
Metode adalah cara/ teknik untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan
Drs. Sulchan Yasyin dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia yang
dimaksud dengan metode adalah: “Cara yang tersusun dan teratur untuk
mencapai tujuan khususnya dalam hal ilmu pengetahuan”. Sedangkan yang
dimaksud dengan belajar antara lain dikutipkan sebagai berikut:
1) Belajar adalah suatu perubahan-perubahan perbuatan sebagai akibat dari
mengalami (Walker, EL)
2) Belajar adalah mengubah perbuatan yaitu keterampilan dan pengetahuan
dimana hasil belajar ini dapat benar atau salah (Sorensen, H)
3) Belajar adalah kemampuan untuk menggantikan perilaku-perilaku yang
buruk menjadi baik melalui proses belajar (Leagans, JP)
4) Belajar adalah sebuah proses perbaikan-perbaikan pengetahuan dan
keterampilan dengan cara mengalami sendiri (Burtona dan H. William)
5) Belajar adalah proses aktif yang menghasilkan perubahan perilaku baik
pengetahuan, keterampilan dan perasan (Cyril O. Houle).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan belajar akan efektif apabila
melalui suatu proses. Sebab pada dasarnya inti dari proses belajar adalah
perubahan pada diri individu dalam aspek-aspek pengetahuan, sikap, perilaku
serta keterampilan dan kebisaan sebagai produk dan interaksinya dengan
lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan perkataan lain proses belajar akan
terjadi karena ada interaksi antara individu dengan lingkungan belajar baik
disengaja maupun tidak.

Hal ini sesuai dengan pendapat Kolb (1986) yang mengatakan bahwa belajar
adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman.
Oleh karena itu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan
efektif apabila dalam proses pembelajaran melibatkan peran aktif peserta diklat
dalam proses pembelajaran. Sedangkan pelatih hanya berperan sebagai
fasilitator, nara sumber atau manajer kelas yang bertindak secara demokratis.
Berkaitan dengan hal tersebut maka peranan pelatih/ fasilitator dalam pemilihan
metode pembelajaran sangat diperlukan agar terjadi proses pembelajaran yang
kondusif dan melibatkan peran serta peserta diklat secara efektif.

Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan metode pembelajaran


adalah cara atau alat untuk menciptakan hubungan antara peserta dan
pengajar dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran (Modul
TOT LAN RI). Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dalam bab

132
selanjutnya akan dibahas jenis/ ragam metode pembelajaran secara rinci dan
sistematis.

b. Manfaat Metode Pembelajaran


Berikut ini disajikan beberapa manfaat penggunaan metode pembelajaran
secara tepat sebagai berikut:
1) Membantu pelatih dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran
Berbicara tentang tujuan pembelajaran, maka dapat dilihat apakah tujuan
pembelajaran berasal dari ranah pengetahuan, keterampilan maupun ranah
sikap dan perilaku untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut maka
kegiatan pembelajaran akan efektif apabila disampaikan secara sistematis,
mudah dipahami oleh peserta diklat serta sesuai dengan kebutuhan peserta
diklat. Sebagai contoh apabila tujuan pembelajaran berkaitan dengan
perubahan sikap dan perilaku akan lebih efektif apabila pelatih
menggunakan ragam metode main peran.
Belajar adalah suatu usaha terus menerus yang kadang-kadang menemui
kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan proses pembelajarannya. Untuk itu
diperlukan suatu teknik/ metode pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan peserta diklat. Dengan metode yang tepat
memungkinkan pelatih melaksanakan proses pembelajaran secara efektif
dan efisien.
2) Menghilangkan dinding pemisah antara pelatih dan peserta diklat
Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning mengatakan bahwa
Accelerated Learning memungkinkan siswa (baca: peserta diklat) untuk
belajar dengan kecepatan yang mengesankan, upaya normal dan dilandasi
dengan kegembiran. Dalam buku tersebut juga diuraikan satu prinsip dasar
accelerated learning adalah adanya “kerjasama diantara pembelajar (pelatih
dan peserta diklat sangat meningkatkan hasil belajar”
3) Menggali dan memanfaatkan potensi peserta diklat
Peserta diklat orang dewasa memiliki latar belakang pendidikan,
pengalaman, keterampilan dan sikap perilaku yang beraneka. Mereka
adalah warga belajar sekaligus sumber belajar. Orang dewasa akan belajar
dengan efektif apabila merasa dihargai dan dimanfaatkan potensinya secara
maksimal. Ini berarti bahwa dengan menggunakan ragam metode belajar
yang efektif akan memungkinkan peserta diklat memaksimalkan potensi-
potensi yang dimilikinya.

133
Misalnya dengan ragam metode curah pendapat, peserta dapat
menggunakan ide dan pengalamannya tanpa merasa ditertawakan oleh
peserta diklat yang lain. Dengan diskusi kelompok, pesert diklat akan
menggunakan pengalaman-pengalaman dirinya secara efektif. Pengalaman
tersebut merupakan sumber belajar.
4) Terjadi kemitraan antara pelatih dan peserta
Azas utama pendekatan Quantum Teraching adalah:
“Bawalah dunia mereka ke dunia kita dan antarkan dunia kita ke dunia
mereka” (Bobbi De Porter, Mark Reardon, Dhan Sarah Singer Nourie,
Quantum Teaching, Kaifa, 2001).
Azas ini menekankan pentingnya menjalin kemitraan diantara pelatih
dengan peserta diklat. Salah satu media dalam rangka menjalin kemitraan
tersebut adalah dengan menggunakan metode tertentu yang efektif dan
efisien.

Sebagai contoh dalam ragam metode simulasi ada sebagian peserta diklat
yang diberi peran sebagai simulator, sebagai pengamat dan sebagai
narasumber. Peran-peran tersebut akan lebih menjalin kemitraan antara
pelatih dengan peserta diklat karena tidak ada jurang pemisah antara
peserta diklat dengan pelatih.
5) Mempermudah dalam menyerap informasi
Proses belajar sebagai aktivitas berpikir berjalan lancar apabila diperoleh
pemahaman dari materi yang dipelajari, sebaliknya aktivitas otak untuk
berpikir akan pusing atau letih manakala tidak memperoleh sesuatu yang
dipelajari.
Untuk itu diperlukan suatu usaha agar peserta dapat dengan mudah
menyerap informasi yang telah disajikan oleh pelatih maupun oleh sesama
peserta diklat sebagai sumber belajar. Hal ini akan tercapai dengan
pemilihan metode pembelajaran yang sesuai dengan informasi yang akan
disampaikan. Apakah informasi tersebut masih baru, berupa peraturan,
informasi yang sederhana atau yang ruwet.
6) Menimbulkan perasaan “fun” bagi peserta diklat yang akan berdampak
terhadap motivasi mengikuti diklat meningkat.
Setiap hari otak manusia dibanjiri dengan bermacam informasi yang
mengharuskan otak untuk meresponnya. Otak akan merespon dengan baik
apabila struktur bagian bawah terpelihara dengan baik (Gordon Dryden dan

134
DR Jeannete Vos, The Learning Revolution, Kaifa, 2001). Untuk itu maka
perlu diciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Hal ini akan mempermudah peserta dalam menyerap informasi karena
lapisan otak bagian bawah dapat berfungsi dengan baik. Hal ini akan
tercapai apabila didukung oleh penggunaan ragam metode.

Latihan
Latihan dipandu oleh pelatih/fasilitator dengan mengacu pada hal-
hal sebagai berikut:

 Pelatih/ fasilitator memperagakan cara membuat


cangkir kertas dengan kecepatan biasa.
 Peserta memperhatikan.
 Peserta diminta untuk mengerjakan seperti yang
dicontohkan pelatih/ fasilitator.
 Cek hasil yang dikerjakan peserta diklat, berapa
jumlah yang jadi, dan mana yang tidak.
 Pelatih/ fasilitator secara pelan memperagakan dengan diikuti peserta
diklat secara pelan-pelan, peserta diklat boleh bertanya.
 Tanyakan pada peserta diklat berapa yang jadi dan berapa yang tidak.
 Pelatih/ fasilitator secara perlahan membacakan langkah demi langkah
cara membuat cangkir dari kertas, peserta mengerjakan dan menyontoh,
apabila tidak memahami boleh menyontoh.
 Pelatih/ fasilitator membagi perta diklat kedalam lima kelompok dengan
anggota maksimal delapan orang dan memberikan penugasan kepada
kelompok untuk mendiskusikan hal-hal sebagai berikut:
- Mengapa dalam peragaan pertama banyak yang gagal?
- Mengapa dalam peragaan terakhir seluruh pesert bisa jadi? Jelaskan
jawaban Saudara?
 Akhiri sesi dengan memberikan kesimpulan terhadap hasil diskusi
kelompok di atas.

Rangkuman
Metode adalah cara/ teknik untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Drs. Sulchan Yasyin, dalam bukunya Kamus Umum
Bahasa Indonesia, metode adalah: “Cara yang tersusun dan teratur untuk
mencapai tujuan, khususnya dalam hal ilmu pengetahuan”. Sedangkan
belajar adalah suatu perubahan-perubahan perbuatan sebagai akibat dari
mengalami (Walkes EL).

135
Proses belajar adalah usaha aktif seseorang yang dilakukan secara sadar
atau tidak untuk mengubah perbuatannya, perilakunya atau kemampuannya
baik pengetahuan, keterampilan maupun perasaan dimana hasilnya bisa
benar ataupun salah (Soedianto Padmowihardjo, Psikologi Belajar
Mengajar).
Dengan demikian yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah
cara/ teknik yang dipergunakan oleh pelatih/ fasilitator dalam proses
pembelajaran agar tercapai tujuan instruksional yang diharapkan
(A.Muthanis, Metodologi pengajaran, Nasco, IKIP Jakarta, 1999).

Kesimpulan
Manfaat metode pembelajaran dalam proses pembelajaran adalah:
 Membantu pelatih dalam proses pembelajaran dalam tujuan mencapai tujuan
pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus;
 Menghilangkan dinding pemisah antara pelatih dan peserta;
 Menggali dan memanfaatkan potensi peserta diklat;
 Terjadi kemitraan antara pelatih dan peserta;
 Mempermudah peserta dalam menyerap informasi;
 Menimbulkan perasaan “fun” bagi peserta diklat yang akan berdampak
kepada motivasi mengikuti diklat meningkat.

2. Delapan Ragam Metode Pembelajaran yang Dapat Menstimulir Domain


Kognitif, Afektif dan Psikomotor Secara Tepat
a. Pendahuluan
Confusius, 1400 tahun yang silam mengungkapkan teori sebagai berikut:

“Apa yang saya dengar saya lupa


Apa yang saya lihat saya ingat
Apa yang saya kerjakan saya paham”

Selanjutnya Mel Siberman dalam bukunya “Active Learning, 1001 Strategies to


Teach Any Subject", 1996 mengembangkan konsep ini sebagai berikut:

“Apa yang saya dengar saya lupa


Apa yang saya lihat saya ingat sedikit
Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti”
Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan saya kerjakan,
saya dapatkan pengetahuan dan keterampilan.
Apa yang saya ajarkan saya kuasai”
136
Mengacu pada dua konsep di atas, maka dalam proses pembelajaran diperlukan
metode pembelajaran yang dapat mengantarkan peserta diklat belajar secara
aktif. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan otak manusia mirip komputer yang
perlu di-“on”-kan, perlu software untuk interpretasi data dan perlu di-“save”-kan
dan tes informasi. Oleh karena itu perlu “Learning Style dan Social Side Learning”.
Konsep belajar aktif mengacu pada hal-hal sebagai berikut:
1) Belajar aktif bukan hanya senang-senang
2) Fokus bukan pada aktivitas semata
3) Meskipun perlu waktu banyak, materi tetap tercover
4) Usaha menghidupkan materi yang kering dan tak menarik
5) Pengelompokan, jangan buang waktu dan tidak produktif
6) Pengelompokan, jangan abaikan belajar individual
7) Hindari miss-informasi belajar sesama teman
8) Kenalkan belajar aktif secara bertahap
9) Perlu persiapan dan kreativitas, hasilnya OK.
b. Ragam Metode Pembelajaran
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka berikut ini disajikan beberapa jenis
metode pembelajaran yang dapat menghantarkan peserta diklat belajar secara
aktif sebagai berikut:
1) Metode kuliah (lecture)
2) Metode demonstrasi
3) Kelompok studi kecil (buzz group)
4) Metode diskusi
5) Metode brain storming (curah pendapat)
6) Metode studi kasus
7) Metode role play (bermain peran)
8) Metode simulasi

3. Keunggulan dan Kelemahan Masing-masing Metode Pembelajaran


a. Metode Kuliah (Lecture)
Metode kuliah sering juga disebut dengan metode ceramah, hal ini disebabkan
pelatih/ fasilitator yang aktif melakukan ceramah sedangkan peserta diklat
hanya sebagai pendengar saja. Metode ini memang kurang mengacu pada
konsep belajar aktif, namun demikian dalam modul ini perlu dibahas karena

137
dalam setiap penggunaan metode yang lain perlu dikombinasikan dengan
metode ceramah, meskipun hanya ceramah singkat.
Metode kuliah atau akrab disebut dengan metode ceramah adalah metode
pelatihan yang memberikan informasi pada sejumlah pendengar pada suatu
kesempatan. Metode ini lebih menitikberatkan pada kemampuan individual
untuk mengolah informasi yang diberikan.
1) Kegunaan
 Untuk menyajikan pengetahuan, pengalaman dan pandangan.
 Untuk pendengar terbatas atau sebaliknya.
 Supaya pendengar berpartisipasi, kuliah perlu diikuti dengan tanya
jawab.
2) Keuntungan
 Mencakup banyak pendengar.
 Bila disiapkan dapat mendorong diskusi dalam kelompok.
 Tidak banyak memerlukan peralatan.
 Membicarakan yang baik dapat membangkitkan perhatian orang
banyak.
 Penyaji bisa tepat waktu.
3) Kelemahan
 Tidak mendorong seseorang untuk mengingat semua materi.
 Penilaian terbatas pada kemampuan pendengar.
 Partisipasi pendengar terbatas.
 Tidak ada keseimbangan berpikir antara pembicara dan pendengar
(baca: peserta diklat), misalnya perbedaan waktu mengakibatkan
pendengar melamun.
4) Dalam menggunakan metode kuliah diupayakan:
 Pendekatan yang positif (manfaatkan informasi yang diberikan).
 Memusatkan perhatian pada topik yang dibicarakan.
 Membiasakan diri mendengarkan secara efektif.
 Jangan memberi tanggapan pada kata-kata pembicara yang emosional.
 Jangan mengevaluasi sebelum mengerti pada hal-hal yang disajikan.
5) Tahapan pelaksanaan dan peranan pelatih/ fasilitator
 Tahap persiapan:
Pelatih mempersiapkan Rencana Pembelajaran (RP) atau Satuan Acara
Pembelajaran (SAP), transparency (selayang pandang) sesuai dengan

138
materi yang diberikan atau dengan menggunakan alat bantu yang lain
seperti flip chart, tabel, gambar, peta dan lain sebagainya.
 Tahap pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut:
- Cek semua media yang diperlukan.
- Jelaskan materi yang akan dibahas dan kaitannya dengan tugas dan
fungsi bagi peserta serta manfaatnya bagi peserta diklat.
- Jelaskan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus.
- Jelaskan pokok bahasan dan sub pokok bahasan.
- Adakan pre test untuk mengetahui kemampuan awal peserta (kegiatan
ini dapat dilaksanakan dengan tanya jawab.
- Mulailah dengan ceramah per-pokok bahasan dan sub pokok
bahasan.
- Adakan tanya jawab untuk mengetahui tingkat pemahaman peserta
diklat.
- Akhiri sesi dengan mengkaitkan pada materi berikutnya dan apa
relevansinya dengan pokok sajian yang baru saja di bahas.

Mengacu pada tahapan-tahapan pelaksanaan ceramah di atas, maka


peranan pelatih/ fasilitator sebagai perancang dan pelaksana proses
pembelajaran serta memotivasi peserta diklat agar mau berpartisipasi aktif
dalam proses pembelajaran. Di dalam pelaksanaannya tentu saja sangat
memperhatikan prinsip-prinsip presentasi lisan yang efektif.

b. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara mengajar dimana seorang pelatih aatau tim
pelatih menujukkan, memperlihatkan suatu proses (Roestiah N.K, Dra.,
Strategi Belajar Mengajar). Misalnya dalam proses pembelajaran “Ragam
Metode Pembelajaran”, pelatih memperagakan teknik mengajar yang efektif.
Dalam hal ini seluruh peserta diklat dapat melihat, mendengar, dan
mengamati, mungkin nanti juga mempraktekkan.
Metode demonstrasi menekankan pada penjelasan dan hasil kerja yang
ditunjukkan oleh pelatih sebagai contoh konkrit sehingga masalah mudah
dipahami atau dihayati.
1) Kegunaan
 Pelatihan peningkatan keterampilan, dipakai sebagai sarana yang efektif
pada olah karya mengenai hak azasi manusia. Metode ini untuk mata
ajaran yang sifatnya akademis banyak menunjang.

139
 Penggunaan metode ini bertujuan agar peserta mampu memahami
tentang keterampilan tertentu dalam hal mengatur atau menyusun
sesuatu.
2) Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungan metode ini adalah:
 Lebih menimbulkan minat.
 Menjelaskan prinsip-prinsip dan prosedur yang masih kabur dan belum
dipahami.
 Cara yang terbaik untuk mengajarkan keterampilan tertentu.
Adapun kelemahan metode ini adalah:
 Membutuhkan waktu persiapan.
 Peralatan mungkin mahal.
 Sering dilakukan oleh kelompok kecil atau terbatas.
3) Tahapan pelaksanaan
 Tahap perencanaan:
- Menentukan sasaran (objective).
- Membuat Satuan Acara Pembelajaran (SAP).
- Memilih bentuk demonstrasi.
- Memilih dan mengumpulkan peralatan yang tepat.
- Mencoba peralatan yang akan dipakai.
- Apakah tersedia waktu yang cukup untuk menerapkan pendekatan
ini?
 Pelaksanaan:
- Usahakan semua peserta dapat melihat.
- Setiap tahap perlu dijelaskan.
- Memberi kesempatan bertanya, diskusi dan praktik.
- Adakan evaluasi apakah demonstrasi yang dilakukan berhasil atau
tidak, bila memungkinkan demonstrasi dapat diulang lagi.
4) Peranan pelatih/ fasilitator.
 Perencanaan proses pembelajaran yang dituangkan dalam SAP dalam
hal ini harus dapat merencanakan apakah waktu yang dialokasikan
sesuai dengan kebutuhan? Apakah penggunaan metode ini sudah tepat
dengan kondisi peserta diklat?
 Merencanakan sarana dan prasarana yang diperlukan serta sistem
evaluasi yang akan dilaksanakan. Dalam proses pembelajaran, pelatih
sebagai pemandu, pembimbing dan memotivasi peserta diklat agar mau

140
berperan serta dalam proses pembelajaran. Disamping itu apabila tidak
ada narasumber, pelatih berperan sebagai narasumber.

c. Kelompok studi kecil (buzz group)


Kelompok Buzz Group atau lebih sering disebut „kelompok lebah bergumam‟
adalah pemecahan kelompok yang lebih besar. Kelompok ini biasanya terdiri
dari dua atau tiga orang. Anggota kelompok bisa merupakan pecahan dari
kelompok yang lebih besar atau terdiri dari beberapa orang teman sebangku.
Dalam beberapa variasi peserta diklat boleh memilih anggota kelompoknya
sendiri.
1) Keunggulan Buzz Group
 Mendorong peserta yang malu-malu.
 Menciptakan suasana yang menyenangkan.
 Memungkinkan pembagian tugas kepemimpinan.
 Menghemat waktu.
 Memupuk kepemimpinan.
 Memungkinkan pengumpulan pendapat.
 Dapat dipakai bersama metode lainnya.
 Memberi variasi.
2) Kekurangan Buzz Group
 Mungkin terjadi pada kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak
tahu apa-apa.
 Mungkin berputar-putar.
 Mungkin ada pemimpin yang lemah.
 Laporan mungkin tidak tersusun dengan baik.
 Perlu belajar sebelumnya bila ingin mencapai hasil yang baik.
 Mungkin terjadi klik-klik untuk sementara.
3) Kelompok dan studi kecil (Buzz Group) dapat digunakan:
 Jika kelompok terlalu besar sehingga tidak memungkinkan setiap orang
berpartisipasi.
 Ketika mengolah beberapa segi sebuah kelompok.
 Jika ada anggota kelompok yang lamban dalam mengambil bagian.
 Jika waktu terbatas.
 Untuk menciptakan suasana yang menyenangkan dalam kelompok.
4) Tahapan Pelaksanaan:
 Pelatih menjelaskan permasalahan atau topik yang harus dibahas.

141
Latar belakang serta cara pembahasannya. Kepada peserta diberi
kesempatan untuk bertanya kalau ada yang belum jelas, sebelum
kegiatan berikutnya dimulai.
 Setiap peserta diminta untuk memilih pasangannya (duet) dengan siapa
ingin membahas masalah tersebut, atau bisa juga tiga orang (trio).
Mereka bebas memilih pasangannya, seringkali untuk praktisnya,
pasangannya adalah teman di sebelah menyebelah.
 Dengan suara yang biasa kalau mereka berbicara, tanpa harus berbisik-
bisik. Secara serentak semua kelompok duet atau trio, berdiskusi
membahas masalah. Ada baiknya satu dua orang dari peserta diminta
menjadi pengamat dan mendengarkan suara yang ditimbulkan oleh
kelompok diskusi secara keseluruhan. Pada saat ini ada baiknya bila
pelatih merekam dengan tape recorder dan memperdengarkan kembali
suara mereka pada saat pembahasan.
 Pembahasan hasil kelompok kecil. Hasil pembahasan dalam kelompok
duet atau trio dikemukakan secara lisan atau tulisan di flip chart/papan
tulis dan kemudian dibahas satu per satu.
 Pada akhirnya kegiatan peserta yang ditugasi melakukan pengamatan
diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil pengamatannya terutama
mengenai proses kegiatan buzz group. Pelatih memberikan komentarnya
sambil memperdengarkan kembali hasil rekamannya.

d. Metode Diskusi
Diskusi berasal dari bahasa Latin discutio atau discussum yakni “kurang lebih
sama dengan bertukar pikiran” atau membahas sesuatu masalah dengan
mengemukakan dasar alasannya untuk mencari jalan keluar sebaik-baiknya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa diskusi merupakan ajang bertukar
pikiran diantara sejumlah orang, membahas masalah tertentu yang
dilaksanakan dengan teratur, dan bertujuan untuk memecahkan masalah
secara bersama (A. Mangunhardjana, Pembinaan Arti dan Metodenya).
Metode ini dipakai dalam latihan yang melibatkan partisipasi aktif, tukar
pengalaman dan pendapat peserta diklat. Untuk kegiatan ini anggota kelompok
yang ideal adalah 7 sampai 9 orang.
1) Metode ini digunakan untuk:
 Menggali pengalaman, ide-ide selama dalam pelatihan.
 Anggota kelompok saling tukar pikiran.
 Belajar dengan caranya sendiri berpartisipasi dalam grup.

142
 Pengembangan diri melalui kerjasama yang terkoordinasi.
2) Adapun keuntungan metode ini adalah:
 Anggota kelompok berpartisipasi aktif.
 Mengembangkan tanggung jawab perorangan atau individu.
 Mengukur konsep, ide, dapat diakui kebenarannya dan dapat diterapkan.
 Mengembangkan percaya diri dalam menyajikan pendapat, ide dan
konsep.
 Ide berkembang, terbuka dan terarah.
 Memperoleh banyak informasi.
 Aplikasi hasil diskusi mantap karena ide yang dikemukakan adalah yang
alami.
3) Adapun kelemahannya adalah:
 Memakan waktu terlalu banyak.
 Dapat menimbulkan frustrasi karena anggota kelompok ingin segera
melihat hasil nyata.
 Perlu persiapan matang sebelum diskusi.
 Perlu waktu untuk anggota kelompok pemalu, dan anggota kelompok
yang otokratif untuk belajar bersikap demokratis.

Berikut ini disajikan peran yang dimainkan oleh anggota kelompok diskusi,
baik sebagai pemimpin maupun anggota diskusi sebagai berikut:

1) Pemimpin diskusi:
 Persiapan memimpin diskusi:
 Menentukan sasaran diskusi (objective).
 Menjelaskan topik dengan singkat dan jelas.
 Mempertimbangkan kebutuhan kelompok.
 Mempersiapkan garis besar daripada diskusi.
 Menyiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan proses diskusi.
 Cara memimpin diskusi:
 Memulai diskusi (tepat waktu).
 Memberikan pengarahan.
 Memimpin diskusi.
 Membuat ringkasan.
 Persyaratan yang harus dimiliki oleh pemimpin diskusi antaa lain:
 Memahami topik yang dibahas.
 Mengatur waktu secara fleksibel.

143
 Mengembangkan pertanyaan penting sehingga mendorong anggota
kelompok untuk bertukar pikiran.
 Menjelaskan sasaran diskusi.
 Menyiapkan ringkasan, pokok pikiran dalam garis besar yang dibagikan
sebelum atau saat diskusi.
 Menunjukkan narasumber.
2) Anggota Kelompok:
 Memberikan sumbangan pemikiran secara efektif.
 Bersifat konstruktif dalam diskusi.
 Hadir pada waktunya dan memanfaatkan waktu.
 Memperhatikan ide-ide, sumbangan pemikiran anggota lainnya.
 Meminta penjelasan, mencegah kesalahpahaman.

Langkah-langkah sebagai pedoman pelaksanaan diskusi antara lain:


1) Pengaturan fasilitas fisik:
 Tempat duduk nyaman leluasa
 Penerangan memadai
 Udara cukup
 Suhu sejuk
 Pengaturan sound system baik
2) Briefing kepada pembicara:
 Latar belakang/ komposisi pendengar
 Tingkat pengetahuan pendengar
 Peralatan yang bisa digunakan
 Pengaturan tanya jawab atau diskusi
 Penafsiran daya serap pendengar.
3) Briefing kepada pendengar:
 Kata pengantar/ topik yang dibicarakan
 Kemungkinan tanya jawab atau diskusi
 Kemungkinan membagi materi
 Kemungkinan tes bagi pendengar

e. Metode Brain Storming (Curah Pendapat)


Metode ini biasanya sering disebut dengan sumbang saran yang digunakan
dalam pemecahan masalah dimana anggota mengusulkan dengan cepat
kemungkinan-kemungkinan pemecahan yang terpikirkan, tidak ada kritik-kritik,
oleh karena itu evaluasi atas pendapat-pendapat tadi dilakukan kemudian.

144
Metode ini mengundang semua peserta berperan aktif untuk berpartisipasi
secara optimal. Kapan metode ini digunakan?
1) Metode ini digunakan untuk:
 Membangkitkan pikiran kreatif
 Merangsang partisipasi aktif
 Pada waktu mencari kemungkinan pemecahan masalah
 Membangkitkan pendapat baru
 Menciptakan suasana yang menyenangkan kelompok.
2) Adapun keuntungan metode ini adalah:
 Timbul pendapat baru yang merangsang semua anggota untuk
mengambil bagian
 Menghasilkan reaksi berantai dan pendapat
 Tidak menyita waktu
 Dapat dipakai dalam kelompok besar maupun kecil
 Tidak perlu pimpinan yang terlalu hebat
 Hanya sedikit pengalaman yang diperlukan.
3) Sedangkan kelemahan metode ini adalah:
 Mudah terlepas dari kontrol
 Dilanjutkan dengan evaluasi jika diharapkan efektif
 Mungkin sulit membuat anggota tahu bahwa segala pendapat dapat
diterima
 Anggota cenderung untuk mengadakan evaluasi segera setelah satu
pendapat diajukan.
4) Langkah-langkah pelaksanaan metode ini:
 Pemberian informasi dan motivasi
 Identifikasi
 Klasifikasi
 Verifikasi
 Konklusi/kesepakatan.

f. Metode Studi Kasus


Metode ini dipakai bukan untuk menjawab masalah secara cepat dan tepat,
akan tetapi lebih bertujuan untuk menggambarkan penerapan konsep dan
teknik analisis dalam proses pemecahan masalah dan proses pengambilan
keputusan.

145
Sementara ahli lain mengatakan bahwa studi kasus digunakan dalam latihan
yang bertujuan pengembangan pengetahuan dan sikap, sebagai landasan
diskusi, analisis dan pengembangan persoalan. Disamping itu studi kasus
dalam proses pembelajaran adalah untuk menyajikan penjelasan berbagai
prinsip dan aplikasi prinsip tersebut ke dalam situasi tertentu, sehingga pada
gilirannya peserta diklat akan mampu memecahkan masalah dalam situasi
yang sama secara lebih baik.

1) Keuntungan metode ini adalah:


 Memberikan wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip tertentu dan
bagaimana pelaksanaannya
 Kemungkinan pertukaran pendapat dan mengadakan evaluasi bersama
 Membuka kemungkinan untuk mengadakan perubahan kesiapan mental
 Memungkinkan beberapa alternatif pemecahan masalah.
2) Kelemahan metode ini adalah:
 Sulit mengukur hal-hal yang sifatnya sikap dan perilaku
 Keterbatasan waktu merupakan hambatan untuk berdiskusi secara tuntas
 Dapat menimbulkan frustrasi apabila tidak ada pemecahan masalah.
3) Langkah-langkah pelaksanaan:
Apabila pelatih telah menentukan studi kasus sebagai metode dalam proses
pembelajaran, maka beberapa langkah yang disarankan antara lain:
 Pelatih membagi kelompok dengan mengacu pada salah satu teknik
pembagian kelompok, misalnya dengan berhitung 1, 2, 3 dst. Bagi peserta
yang memiliki nilai hitungan yang sama menjadi satu kelompok.
Cara lain adalah secara acak dan lain sebagainya, disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran.
 Pelatih menyajikan suatu problem (kasus yang spesifik), biasanya secara
tertulis. Adapun kriteria penilaian studi kasus yang baik menurut Prof.Dr.M.
Entang, MA adalah sebagai berikut:
 Studi kasus harus realistik, tidak hipotetik (angan-angan)
 Hendaknya menggambarkan konflik
 Kepribadian orang yang terlibat dalam studi kasus hendaknya
dideskripsikan secara jelas
 Data dan fakta yang disajikan hendaknya tidak terlalu rinci
 Pertanyaan yang diajukan hendaknya yang baik dan relevan
 Penulisan, analisis dan pemecahan kasus hendaknya didasarkan pada
suatu teori, konsep atau prinsip yang jelas dan terbentuk

146
 Nama-nama orang yang terlibat disamarkan atau dirahasiakan.
 Pelatih memberi tugas kepada peserta sebagai berikut
 Menyarankan pemecahan terbaik berdasarkan fakta yang diberikan
 Mengajukan usul pemecahan disertai alasannya dan didiskusikan dengan
peserta lain tentang mengapa dan bagaimana sampai pada keputusan
tersebut.
 Berbagi pengalaman diantara peserta untuk sampai pada kesepakatan
tentang pemecahan terbaik
 Setelah diskusi kasus selesai, maka fasilitator mengarahkan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
 Apa yang sedang terjadi
 Apa benar ada masalah
 Apa yang menjadi masalah
 Apa penyebab masalah
 Membahas sebab-sebab terjadinya masalah
 Bahan utama yang menjadi pembicaraan
 Mengapa bahan-bahan penting
 Tujuan yang ingin dicapai
 Apa yang harus dikerjakan
 Jalur tindakan apa
 Realisasi pemecahan
 Akibat yang mungkin terjadi dari pemecahan tersebut.

g. Metode Role Play (Bermain Peran)


Secara etimologi yang dimaksud bermain peran adalah memainkan sesuatu
peran tertentu sehingga pemain harus mampu berbuat (berbicara dan
bertindak) seperti peran yang sedang dimainkannya.
Sebagai contoh:
Apabila peran yang dimainkan adalah pemimpin yang otoriter, maka ia harus
mampu berperilaku sebagai seorang pemimpin yang memiliki ciri-ciri seorang
otoriter, misalnya suka menekan, pemarah, mengintimidasi, hanya
memprioritaskan pekerjaan, tidak memperhatikan hubungan kemanusiaan dan
lain sebagainya.
Oleh karena itu sering dikatakan bahwa bermain peran sangat mirip dengan
simulasi, hal ini disebabkan dalam simulasi juga ada kegiatan bermain peran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Robert Gilstrap yang mengatakan bahwa main

147
peran adalah simulasi atau tiruan dari perilaku orang yang diperankan
(Hidayat, Z.A dan Muhidin T.S, 1980).
Di dalam dunia pendidikan dan pelatihan, bermain peran (role play) digunakan
sebagai salah satu metode pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan
dan pelatihan. Role play merupakan metode pelatihan untuk menetapkan
seseorang pada situasi tertentu, seolah-olah menggambarkan situasi
sebenarnya melalui penokohan meleburkan dirinya, mengekspresikan sikap-
sikap, tindakan-tindakan yang mereka percaya pada situasi itu. Dengan
metode ini peserta yang ditunjuk akan dengan sukarela memainkan peran
tersebut, pemain akan memperoleh prestasi pemandangan baru, dan
mengalami prasangka-prasangka.
1) Keuntungan metode bermain peran:
 Mendorong keterlibatan yang mendalam
 Membangkitkan pengertian, prasangka dan persepsi
 Memusatkan perhatian pada aspek tertentu yang dikehendaki.
2) Kelemahan metode bermain peran:
 Keengganan melakukan peran atau tidak menghayati
 Kurang realistis
 Dianggap dialog biasa
 Kurang memperhatikan peran sendiri dan lebih condong memperhatikan
peran orang lain.
3) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bermain peran adalah sebagai
berikut:
 Identifikasi masalah yang diperankan harus jelas
 Peserta harus mampu memahami perannya dan memahami skenario
yang telah diberikan
 Harus disadari adanya kebebasan mengemukakan perasaan secara
wajar
 Dijelaskan kelebihan metode role play dibandingkan metode lain guna
menelaah masalah yang dihadapi.
4) Berbicara tentang metode ini, maka dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu:
 Telah tersusun (structured role playing)
 Secara spontan (spontaneous role playing)
5) Disamping itu dibedakan antara single role play dengan multi role play.
Metode ini memungkinkan untuk:

148
 Belajar dengan berbuat
 Belajar dengan peniruan
 Belajar melalui pengamatan dan umpan balik
 Belajar melalui penganalisaan
6) Teknik menerapkan metode bermain peran:
Berikut ini disajikan beberapa langkah-langkah dalam pelaksanaan
penerapan metode bermain peran, sebagai berikut:
 Persiapan:
Dalam tahap ini hal-hal yang harus dipersiapkan oleh pelatih adalah memilih
situasi/ topik, mempersiapkan peralatan yang diperlukan sesuai dengan
situasi yang akan diperankan, menyiapkan lembar observasi, menentukan
pemeran-pemeran, serta memberikan arahan skenario bagi para pemain.
 Pelaksanaan:
 Dalam tahap pelaksanaan bermain peran, pelatih berfungsi sebagai
pengamat dan memberikan catatan-catatan sebagai bahan proses
pembelajaran.
 Setelah kegiatan main peran selesai, maka pelatih memproses kegiatan
dengan menggunakan pendekatan “AKOSA”. Antara lain dengan
mengajukan pertanyaan:
- Apa yang sudah dialami?
- Bagaimana perasaannya?
- Apa yang sedang terjadi?
- Bagaimana perasaan pemain?
- Mengapa demikian?
- Apa yang telah diamati oleh para pengamat?
- Manfaat apa yang diperoleh dari kegiatan bermain peran tersebut?
7) Penutup
Dalam kegiatan ini dapat diisi dengan evaluasi yang berkaitan dengan proses
bermain peran yang mengacu pada hasil observasi pengamat. Disamping itu
juga merefleksikan pengalaman/ penghayatan terhadap peran yang sedang
dimainkan.
8) Review
Dalam kegiatan ini diisi dengan penjelasan contoh-contoh berkaitan dengan
aplikasinya dalam kehidupan nyata berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari.
Disamping itu pelatih menggali manfaat dari main peran tersebut dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari. Di dalam kegiatan ini juga perlu dikaitkan
dengan teori-teori yang telah dipersiapkan oleh pelatih.
149
h. Metode Simulasi
Kata “simulasi” berasal dari bahasa Inggris “simulation” yang berarti “pekerjaan
tiruan atau meniru”.
Sebagai contoh simulasi tentang mengemudikan taksi, simulasi tentang
penggunaan IUD dan lain sebagainya.
Dalam kegiatan proses pembelajaran, kata “simulasi” merupakan suatu metode
pembelajaran.
Kegiatan simulasi diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada peserta untuk menirukan suatu kegiatan atau pekerjaan yang
dituntut dalam kehidupan sehari-hari atau yang berkaitan dengan tugas-tugas
yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya simulasi penanggulangan bahaya
banjir, simulasi sebagai dokter, simulasi sebagai seorang pemimpin, dan lain
sebagainya.
Metode simulasi merupakan modifikasi dari metode main peran. Pada metode ini
peserta diminta untuk memainkan peran tertentu dan diminta untuk
memerankannya. Namun untuk itu mereka diberi petunjuk secara garis besar saja.
Sedangkan dalam peragaan para peserta diberi kebebasan luas untuk
mengembangkan kreativitas dan imajinasi mereka, agar latihan lebih realistis.
Metode ini menampilkan simbol-simbol atau peralatan-peralatan yang
menggantikan proses, kejadian atau benda yang sebenarnya. Metode ini juga
digunakan apabila kondisi aslinya tidak dapat dihadirkan. Metode ini sangat cocok
untuk hal-hal yang sifatnya keterampilan. Bedanya dengan main peran adalah
terletak pada pemakaian metode ini.
Oleh karenanya metode ini cocok untuk semua tahapan pembelajaran, pelatihan
magang klasikal, memberikan kejadian-kejadian yang analogis, memungkinkan
praktek dengan risiko kecil. Topik-topik yang disajikan dalam metode ini
diantaranya adalah topik yang berkaitan dengan keterampilan intelektual,
psikomotorik dan sosial yang relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.
1) Kegunaan:
Metode ini digunakan apabila:
 Situasi yang sebenarnya tidak dapat dihadirkan karena seuatu alasan
tertentu seperti alasan administrasi serta alasan lain
 Tujuan pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek keterampilan
 Memberikan pengalaman kepada peserta diklat agar mengalami dalam
proses pembelajaran, sehingga akan lebih mengefektifkan dalam proses
pembelajaran

150
 Apabila ingin membangkitkan motivasi peserta diklat.
2) Keuntungan:
Menurut Dra. Roesiyah N.K dalam bukunya Strategi Mengajar (dengan editing
redaksi) adalah sebagai berikut:
 Menyenangkan peserta diklat
 Menggalakkan pelatih untuk mengembangkan kreativitas peserta
 Eksperimen dilakukan tanpa memerlukan lingkungan yang sebenarnya
 Menimbulkan interaksi antar-peserta yang memungkinkan timbulnya keutuhan
dan gotong royong serta kekeluargaan
 Menimbulkan respon positif dari peserta yang lamban atau kurang cakap
 Menumbuhkan cara berpikir kritis, memungkinkan pelatih bekerja dengan
tingkat adaptivitas yang berbeda-beda
 Memperbanyak kesiapan serta penugasan keterampilan dalam proses
kognitif atau pengenalan peserta
 Peserta memperoleh pengetahuan yang bersifat pribadi, individual sehingga
dapat kokoh atau mendalam tertinggal dalam jiwa peserta
 Dapat membangkitkan kegairahan belajar peserta, teknik ini mampu
memberikan kesempatan kepada peserta untuk berkembang maju sesuai
dengan kemampuan masing-masing
 Mampu mengarahkan cara peserta belajar, sehingga lebih memiliki motivasi
sendiri
 Membantu peserta untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada
diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
3) Kelemahan:
Beberapa kelemahan yang ditampilkan dalam bahasan ini adalah:
 Peserta harus siap mental. Dalam arti peserta harus berani berkeinginan
untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
 Pelatih dan peserta yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran
tradisional mungkin akan kecewa apabila diganti dengan teknik penemuan
 Teknik ini lebih mementingkan proses pengertian dan kurang memperhatikan
perkembangan atau pembentukan sikap dan keterampilan peserta
 Tidak memberikan kesempatan untuk berpikir kreatif.
 Setiap kelompok menunjuk seorang pencatat yang akan membuat laporan
tentang kemajuan dan hasil kerja kelompok
 Pelatih berkeliling selama kerja kelompok berlangsung, bila perlu memberi
saran dan pertanyaan

151
 Pelatih membantu menyimpulkan kemajuan dan menerima hasil.
4) Tahapan pelaksanaan:
Adapun langkah penyajiannya tergambar dalam diagram berikut ini.

Pelatih menyajikan situasi/memodelkan jika perlu

Pelatih membagikan peran menyampaikan aturan

Peserta menyiapkan diri

Peserta bersimulasi
Pelatih mengamati

(DR. I.G.A.K. Wardani, M.Sc.ed.)

 Setelah simulasi selesai perlu diadakan review umum yang dipandu oleh
fasilitator. Review dapat dimulai dengan meminta peserta menyatakan
kesannya tentang penguasaan yang baru saja dilatihkan, kemudian
dilanjutkan dengan diskusi yang dapat dimulai dengan laporan para
pengamat.
 Pada akhir diskusi, fasilitator memberikan umpan balik dan tindak lanjut
sesuai dengan kesimpulan hasil simulasi.

Latihan dipandu pelatih/ fasilitator dengan mengacu pada hal-hal


sebagai berikut:
1. Pelatih/ fasilitator membagi peserta kedalam delapan kelompok dan
memberikan penugasan sebagai berikut:
“Dalam kelompok Saudara persiapkan untuk mempraktikkan salah satu
metode pembelajaran yang telah dibahas. Pada waktu kelompok
memerankan sebagai Pelatih yang sedang memandu dengan metode
tertentu, peserta lain bertindak sebagai peserta diklat”
2. Tema mengambil dari materi inti.
3. Adapun pembagian metode yang akan dipraktikkan adalah sebagai
berikut:
 Kelompok satu membahas metode ceramah.

152
 Kelompok dua membahas metode demonstrasi.
 Kelompok tiga mempersiapkan metode lebih berguna.
 Kelompok empat membahas metode curah pendapat.
 Kelompok lima membahas metode seminar.
 Kelompok enam membahas metode simulasi.
 Kelompok tujuh metode bermain peran.
 Kelompok delapan metode diskusi.
4. Pelatih mengamati kelompok peserta diklat pada waktu berdiskusi dan
mempersiapkan masing-masing metode yang akan dipersiapkan.
5. Apabila ada kelompok yang kurang dapat mengaplikasikan metode
yang dimaksud, pelatih memberikan bimbingan.
6. Setelah peserta diklat mempraktikkan metode yang telah ditetapkan
maka pelatih memberikan masukan bagi masing-masing kelompok.
7. Akhiri sesi ini dengan menekankan perlunya pemanfaatan metode
secara baik dan benar.

4. Metode Pembelajaran Efektif


a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Metode Pembelajaran
Dave Meier (2001) dalam bukunya”The Accelerated Learning” menjelaskan
beberapa prinsip pokok accelerated learning adalah sebagai berikut:
1) Keterlibatan total pembelajar dalam meningkatkan pembelajaran.
2) Belajar bukanlah mengumpulkan informasi secara pasif, melainkan
menciptakan pengetahuan secara aktif.
3) Kerjasama diantara pembelajar sangat membantu meningkatkan hasil belajar.
4) Belajar berpusat aktivitas sering berhasil daripada belajar berpusat
presentasi.
5) Belajar berpusat aktivitas dapat dirancang dalam waktu yang jauh lebih
singkat daripada waktu yang diperlukan untuk merancang pengajaran dengan
presentasi (Dave Meier, 2001).
Accelerated Learning atau percepatan dalam belajar adalah filosofi
pembelajaran atau kehidupan yang mengupayakan mekanisasi dan
memanusiakan kembali proses belajar, serta menjadikannya pengalaman
seluruh tubuh, seluruh pikiran dan seluruh pribadi.
Oleh karena itu accelerated learning berusaha membentuk kembali sebagian
besar keyakinan dan praktik, yang membatasi yang diwarisi dari masa lalu (Dave
Meier, 2001, hal.38).

153
Mengacu pada pendapat di atas, maka agar terjadi percepatan dalam belajar,
maka pemilihan metode pembelajaran merupakan faktor yang dominan dalam
rangka mensukseskan hasil pembelajaran yang efektif. Lalu faktor-faktor apakah
yang harus diperhatikan dalam pemilihan metode pembelajaran?
b. Faktor-Faktor yang Harus Diperhatikan dalam Memilih Metode
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam memilih metode pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1) Pengajar/pelatih
Pengetahuan, pengalaman manajerial pelatih serta kepribadian pelatih
merupakan faktor-faktor yang penting karenanya perlu pertama-tama
dikemukakan. Secara tegas perlu diutarakan bahwa pelatih harus memiliki
pengetahuan dan keterampilan dalam bidang yang akan diajarkan serta
pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan metode yang akan
dipergunakan dalam proses pembelajaran.
Disamping itu pelatih harus memiliki kepribadian yang dapat diterima oleh
peserta pelatihan sehingga jalur-jalur komunikasi yang efektif dapat diciptakan
dengan cepat dan mudah. Kalau kondisi itu terpenuhi, maka suatu metode
yang dipilih dengan tepat dan digunakan dengan baik akan mempermudah
dan mendorong peserta belajar.
Pelatih harus mempunyai tanggung jawab pribadi untuk memilih metode
terbaik untuk tugas pengajarannya. Oleh karena itu ia harus mampu untuk
secara rasional menilai kemampuannya dan berusaha menggunakan metode-
metode yang akhirnya dapat meningkatkan dan bukannya mengurangi hasil
yang diharapkan.
Misalnya, role playing merupakan suatu latihan yang memerlukan
pengetahuan tentang psikologi, pengalaman yang memadai dengan berbagai
jenis permasalahan manusia dalam manajemen serta kemampuan untuk
memberikan reaksi secara cepat dalam diskusi.
Oleh karena itu seorang pelatih yang tidak memiliki kualitas ini, tetapi
mempunyai pemikiran dan pengalaman analisis dalam pemecahan-
pemecahan masalah organisasi, akan cenderung untuk menggunakan
metode studi kasus.
Dalam latihan untuk para pelatih diperlukan adanya dorongan terhadap para
pelatih agar lebih banyak menggunakan berbagai metode.

2) Peserta pelatihan
Dalam pengertian ini metode pengajaran harus terkait dengan:

154
 Tingkat intelektual dan latar belakang pendidikan peserta.
 Umur dan pengalaman kerja.
 Lingkungan sosial dan budayanya.
Sebagai contoh dalam program-program latihan yang diperuntukkan bagi
peserta supervisor, manajer tingkat menengah atau pengusaha kecil yang
hanya mempunyai pendidikan dasar dan telah cukup lama meninggalkan
bangku sekolah, maka metode ceramah harus diganti dengan pembicaraan
pembahasan secara ringkas dengan disertai penggunaan alat bantu visual
sebanyak mungkin. Studi kasus yang disederhanakan hendaknya digunakan
dan bukannya yang panjang-panjang dan kompleks, buku-buku latihan yang
khusus susunannya hendaknya digunakan sebagai pegangan dan bukannya
buku pegangan umumnya.
Dalam kaitan dengan pengalaman praktis peserta, perlu dibedakan diantara
peserta yang masih muda, yang mempunyai sedikit atau tanpa pengalaman
manajemen, yang pernah mempelajari manajemen di universitas atau sekolah
lainnya, dengan peserta yang telah berpengalaman praktis, baik karena telah
pernah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen maupun tugas-tugas khusus
di berbagai bidang fungsional.
Bagi kelompok pertama, banyak bahan latihan yang masih baru dan
karenanya akan sulit untuk mengkaitkan proses pengajaran dan pengalaman
sebelumnya. Namun demikian, peserta ini pada umumnya bersikap terbuka,
lebih mudah menerima gagasan-gagasan baru daripada kelompok peserta
kedua.
Dalam melatih peserta yang telah berpengalaman, hanya pengetahuan
tambahan saja yang perlu disampaikan. Hal ini tidak hanya dapat
dilaksanakan tetapi juga sangat penting untuk menghubungkan pengajaran
dengan pengalaman peserta. Dalam kelompok seperti ini mungkin saja terjadi
bahwa peserta yang telah berpengalaman menunjukkan sikap lebih tahu.
Kalau hal ini terjadi, masalah utama yang dihadapi pelatih adalah bagaimana
merubah sikap ini dan menyadarkan mereka bahwa mereka belajar agar
mampu melaksanakan tugas dengan lebih baik. Dalam kasus seperti ini
pelatih tidak cukup kalau hanya menjelaskan tentang metode-metode dan
teknik-teknik manajemen yang baru.
Pemberian tugas-tugas praktis, pembahasan studi kasus atau latihan simulasi
lebih besar kemungkinannya untuk menyadarkan peserta bahwa mereka
memiliki kelemahan dalam pengetahuan dan keterampilan bahwa latihan
mungkin merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi kelemahan ini.

155
Para manajer berpengalaman mempunyai kemampuan untuk saling belajar
secara langsung, sejauh dapat diciptakan suasana yang tepat dan metode-
metode yang digunakan menunjang proses belajar semacam ini. Kelompok
diskusi, rapat kerja, sindikat, tugas konsultasi dan proyek praktis yang
dilaksanakan oleh sekelompok manajer merupakan upaya yang tepat guna
pencapaian tujuan ini. Kerumitan suatu masalah dapat diperberat oleh faktor-
faktor sosial dan budaya di dalam lingkungan.
Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa kebanyakan dari metode pengajaran
yang partisipatif ini dikembangkan di Amerika Serikat, suatu negara yang
mempunyai karakteristik sosial budaya yang khas. Adanya motivasi
pencapaian yang tinggi, kurangnya penghargaan terhadap otoritas formal,
pemberian prioritas terhadap tindakan sebelum pemikiran matang, serta
masih banyak faktor budaya lainnya di Amerika serikat mungkin tidak terdapat
di negara dimana metode pengajaran ini akan diterapkan.

3) Tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran dalam program-program diklat ditentukan oleh adanya
perubahan dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang selanjutnya
menyebabkan perbaikan dalam pelaksanaan tugas-tugas manajerial.
Berbagai situasi latihan harus mempertimbangkan berbagai jenis dan
tingkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Suatu analisa pendahuluan terhadap kebutuhan dapat membantu penentuan
tujuan-tujuan yang seharusnya dimiliki oleh suatu program tertentu.
Selanjutnya metode-metode dapat dipilih dalam kaitan dengan kemampuan
untuk menyampaikan pengetahuan, mempengaruhi sikap dan pengembangan
keterampilan yang praktis.
Analisis lain yang dapat digunakan untuk menentukan jenis-jenis metode
mana yang paling besar pengaruhnya untuk mempengaruhi sikap-sikap
manajer atau untuk menyampaikan suatu pengetahuan tertentu. Tingkatan
tujuan pembelajaran juga menjadi prioritas utama dalam menentukan metode
pembelajaran. Misalnya tujuan pembelajaran khusus “mampu
mendemonstrasikan sesuatu obyek”, maka metode yang digunakan harus
praktik atau demonstrasi.

4) Bidang pelatihan
Berbagai bidang pelajaran (keuangan, kepegawaian, penelitian, kegiatan
manajemen umum, dan sebagainya) memiliki ciri-ciri tersendiri. Misalnya

156
teknik-teknik penelitian operasional didasarkan pada penggunaan matematika
dan statistik secara ekstensif. Bidang ini biasanya mengajarkan melalui suatu
kombinasi ceramah (menggunakan alat bantu audio visual) serta latihan
dimana teknik ini dipraktikkan. Latihan ini dapat ditunjang oleh tugas-tugas
bacaan.
Dalam kasus tertentu ceramah dapat diganti atau dilengkapi dengan buku-
buku yang telah diprogramkan. Namun yang penting dari segi tinjauan
manajemen bukannya untuk memahami teknik saja tetapi memahami apabila,
dan bagaimana teknik ini dapat digunakan, kemampuan ini dapat
dikembangkan melalui proyek-proyek praktis, latihan simulasi, bussiness
games, studi kasus, dan sebagainya.
Dalam program-program yang ditekankan pada aspek-aspek tingkah laku dari
manajemen, komunikasi, kepemimpinan dan motivasi, metode-metode
pengajaran dapat dipilih dan dikombinasikan dengan cara-cara yang dapat
memberikan kesempatan bagi peserta diklat untuk menganalisa tingkah laku
manusia, dan pada saat yang sama dapat mempengaruhi secara langsung
sikap dan tingkah laku peserta itu sendiri.
Program-program ini menggunakan studi kasus yang bersangkutan dengan
aspek manusia dan perusahaan, bisnis game yang memberikan tekanan
pada komunikasi dan relasi antar-peserta, role playing, latihan sensitifitas dan
berbagai bentuk lain, diskusi kelompok, penugasan dan latihan.
Dalam hubungan ini hal yang perlu diperhatikan adalah dimungkinkan untuk
memilih beberapa metode, kalau kita ingin menghadapi suatu bidang atau
masalah tertentu. Karena itu analisa suatu balance sheet dapat diajarkan
melalui metode kasus, kombinasi metode studi kasus dengan role playing.

Ceramah sebagai latihan di dalam kelas atau melalui membaca suatu buku
pegangan atau buku yang diprogramkan mengenai bidang ini, hal ini
dimungkinkan karena metode-metode utama bersifat cukup lugas untuk
digunakan mengajar sejumlah bidang yang berbeda-beda. Ceramah, diskusi
dan studi kasus digunakan hampir di semua bidang pelatihan.
Penggunaan metode-metode partisipatif secara tepat akan banyak
membantu. Misalnya, suatu seminar para manajer senior dapat dimulai
dengan studi kasus yang rumit, yang menunjukkan suatu permasalahan
bisnis dari berbagai segi dan menumbuhkan minat peserta dalam suatu
bidang.

157
Metode dan teknik tertentu yang dipadukan secara tepat dapat membantu
mereka untuk mengambil tindakan yang tepat dalam suatu situasi yang rumit.
Dalam tahap kedua seminar ini dapat diadakan penelaahan yang mendalam
terhadap bidang, metode dan teknik tertentu. Tahap ini dapat digunakan
untuk memadukan pengetahuan dan keterampilan keahlian dalam
manajemen umum melalui kasus yang rumit lagi, bisnis game atau latihan
sejenis atau kalau mungkin melalui tugas dalam suatu proyek praktis yang
memerlukan pendekatan inter disipliner.
Faktor materi diklat juga sangat menentukan. Apakah sifatnya pengetahuan,
keterampilan atau sikap dan perilaku. Disamping itu perlu dibedakan pula
pengetahuan yang seharusnya diketahui, sebaiknya diketahui secara baik
untuk diketahui.

5) Waktu dan peralatan


Penentuan mengenai metode pengajaran mana yang akan dipergunakan juga
tidak lepas dipengaruhi oleh faktor waktu, keuangan dan faktor-faktor lainnya.
 Waktu yang harus dipergunakan untuk persiapan (yang juga mempengaruhi
biaya peralatan pengajaran) berbeda-beda untuk berbagai metode latihan.
Sebagai pedoman, studi kasus dan bisnis game yang rumit membutuhkan
pengujian dengan para pelatih atau kelompok pekerjaan (eksperimental) serta
mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan.
 Jangka waktu latihan menentukan jenis metode yang akan digunakan. Lebih
lama waktu diselenggarakan, lebih banyak kemungkinan bahwa pelatih akan
menggunakan bisnis game, kasus yang rumit, proyek-proyek praktis. Hal ini
tidak berarti bahwa metode partisipatif dihilangkan dari latihan-latihan jangka
pendek. Dalam latihan semacam ini metode-metode yang akan digunakan
adalah yang tidak banyak memakan waktu tetapi yang mampu menyampaikan
materi latihan secara tepat.
 Penentuan waktu dari suatu hari merupakan suatu yang penting yang
mungkin kurang disadari oleh para perencana diklat. Misalnya pada sore hari
(14.00–16.00) sebaiknya diselenggarakan pertemuan-pertemuan yang
menyenangkan dan menarik yang memerlukan keterlibatan aktif para peserta.
 Fasilitas pengajaran mungkin merupakan faktor pembatas di berbagai
lembaga, atau latihan-latihan yang diselenggarakan di luar lembaga yang
digunakan untuk diskusi kelompok atau ruangan yang digunakan, atau ruang
sindikat atau tersedianya alat bantu audio visual, harus dipertimbangkan

158
sebelumnya sehingga dapat diadakan perubahan-perubahan pada metode
yang akan digunakan.

Secara skematis faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pembelajaran


tersebut tergambar sebagai berikut:

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metode

TUJUAN
FAKTOR MANUSIA
Pengetahuan
Pelatih
Keterampilan
Peserta Diklat
Sikap dan Perilaku
Lingkungan

BIDANG FAKTOR WAKTU &


PEMBELAJARAN PERALATAN
Pelajaran khusus Waktu
Interdisipliner Anggaran
Fasilitas Diklat

Tingkat Motivasi Keterlibatan Aktif Peserta Diklat, Pendekatan Perorangan Pengaturan


Urutan dan Struktur Umpan Balik Pengalihan/Transfer

Sumber: LAN RI, Learning Function and Training Techniques, IBDR/ UN Project.

c. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Faktor lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan metode pembelajaran
adalah prinsip-prinsip pembelajaran.
Beberapa prinsip tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Tingkat Motivasi

159
Motivasi peserta diklat akan meningkat apabila materi yang disajikan menarik,
lebih menekankan pada penerapan dan menunjukkan nilai guna yang
bermanfaat dalam kehidupannya. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan
menggunakan metode pembelajaran yang tepat, menarik perhatian peserta
diklat. Guna membangkitkan motivasi peserta diklat perlu pula
memperhatikan prinsip-prinsip Quantum Learning (Bobbi De Potter, Mark
Reardon dan Sarah Singer-Nourie, Quantum Teaching, 2000) sebagai
berikut:
 Segalanya berbicara
 Segalanya bertujuan
 Pengalaman sebelum memberi nama
 Akui setiap usaha
 Jika layak dipelajari maka layak pula untuk dirayakan

2) Keterlibatan Aktif Peserta Diklat


Prinsip keterlibatan aktif mungkin merupakan landasan utama metode
pengajaran partisipatif. Biasanya, lebih dalam keterlibatan, lebih tinggi
motivasi, lebih besar daya retensi peserta dan lebih siap pula mereka untuk
menerapkannya. Namun demikian metode yang dipilih belum tentu menjamin
keterlibatan aktif peserta diklat.
Hal lain yang dapat mempengaruhi antara lain: pada pengaturan persiapan
studi kasus, gaya kepemimpinan dan faktor-faktor lainnya.
Para peserta mungkin saja bersifat pasif kalau ia menganggap materi latihan
rendah mutunya atau penampilan pelatih berada di bawah tingkat
kemampuannya.

3) Pendekatan Perorangan
Pembelajaran akan efektif apabila memperhatikan karakteristik peserta diklat,
oleh karena itu pendekatan perorangan perlu juga diperhatikan. Setiap
peserta diklat memiliki gaya belajar sendiri-sendiri. Gaya belajar adalah
kombinasi bagaimana cara menyerap informasi, mengatur informasi dan
mengolah informasi (Bobbi De Potter, Mark Reardon dan Sarah Singer-
Nourie, Quantum Teaching, 2000).
Dengan memahami gaya belajar peserta diklat akan lebih meningkatkan
motivasi peserta diklat. Bagaimana penyerap informasi tersebut ada yang
menggunakan auditorial, visual dan kinestetik. Oleh karena itu rencana latihan
secara keseluruhan dan metode pengajaran yang digunakan harus

160
memberikan kesempatan, tidak hanya bekerja dalam kelompok tim, tetapi
juga kesempatan untuk secara perorangan membaca, berpikir, berlatih dan
menerapkan pengetahuan.
Keseluruhannya ini dapat dilaksanakan melalui:
 Pemberian tugas wajib secara perorangan (membaca, latihan, proyek,
dsb.)
 Penggunaan alat bantu pengajaran guna meningkatkan kemampuan
belajar perorangan, misalnya tape magnetic, video tape, mesin
pengajaran (teaching machines), terminal komputer yang dapat digunakan
oleh perorangan
 Pembagian daripada tugas-tugas dan proyek-proyek kelompok mejadi
tugas perorangan
 Tugas tambahan secara sukarela oleh peserta yang kemampuannya lebih
besar.

4) Pengaturan Urutan dan Struktur


Pengaturan urutan pembelajaran perlu diperhatikan dalam pemilihan metode
pembelajaran. Misalnya sebelum dilakukan studi kasus perlu terlebih dahulu
dilakukan ceramah singkat.

5) Umpan balik
Umpan balik sangat diperlukan dan harus dapat diperoleh dalam proses
belajar, oleh karena itu dalam memberikan umpan balik harus mengacu pada
syarat-syarat memberikan umpan balik yang efisien. Umpan balik tersebut
meliputi:
 Umpan balik mengenai kemampuan dan tingkah laku seseorang
(sebagaimana yang diamati oleh peserta yang lain, oleh pelatih/fasilitator
dan oleh peserta sendiri)
 Umpan balik mengenai apa yang sebenarnya sudah dipelajari, dan
mengenai kemampuan peserta untuk menerapkannya secara efektif.

6) Pengalihan (transfer)
Prinsip ini menuntut bahwa diklat membantu seseorang untuk mengalihkan
(mentransfer) apa yang telah dipelajarinya kedalam situasi yang sebenarnya.
Beberapa metode pengajaran, seperti ceramah, studi kesusateraan atau
diskusi tidak banyak memperhatikan permasalahan pengalihan ini. Di pihak

161
lain dalam banyak metode partisipatif unsur pengalihan ini kuat sekali karena
alasan ini, metode-metode simulasi dan proyek-proyek penerapan yang
praktis dianggap oleh banyak pelatih/ fasilitator sebagai metode yang paling
efektif.

Tugas mempraktekkan Metode Pembelajaran:


- Peserta dibagi dalam Kelompok
- Masing-masing kelompok menetapkan topik dan membuat skenario dari kasus
yang diambil dari Materi Inti
- Melakukan praktek dengan memilih salah satu Metode Pembelajaran yang sesuai

POKOK BAHASAN 5 MEDIA DAN ALAT BANTU PEMBELAJARAN


1. Media dan Alat Bantu Pembelajaran
Banyak pengertian yang diberikan untuk media dan alat bantu ini, bahkan terkadang
pengertian keduanyapun dicampur-adukkan, padahal secara prinsip keduanya
mempunyai perbedaan.
Alat bantu pembelajaran (Instructional aids) berperan sebagai perlengkapan yang
digunakan oleh pengajar dalam memperjelas materi yang disampaikan, oleh karena
itu disebut juga alat bantu mengajar (teaching aids). Sedangkan media
pembelajaran (instructional media) berperan sebagai sarana/ wahana yang
bermuatan pesan/ ide/ materi yang memungkinkan terjadinya interaksi antara karya
pengembang pesan/ ide/ materi dengan pembelajar. Oleh karena itu untuk
memahami perbedaan keduanya, ada baiknya bila terlebih dahulu diuraikan
pengertian keduanya.
a. Pengertian dan Peranan Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
“medium” yang secara harafiah berarti “perantara” atau “penghantar”, sehingga
kata media juga sering diartikan sebagai “wahana”. Atas dasar pengertian ini,
maka media pembelajaran dapat diartikan sebagai wahana/ perantara/
penghantar proses pembelajaran. Pada proses pembelajaran yang bernuansa
“learning” terjadi interaksi pembelajaran antara pelatih/ fasilitator dan pembelajar,
sehingga media pembelajaran mempunyai peranan yang berbeda disaat yang
bersamaan. Media yang dirancang/ dipilih oleh pelatih/ fasilitator berguna untuk
mengemas dan menyalurkan pesan/ ide agar dapat dengan mudah diterima oleh
pembelajar secara efektif dan efisien.

162
Sedangkan pada saat yang bersamaan bagi pembelajar, media berperan sebagai
wahana untuk memahami/ mengeksplorasi pengetahuan, sikap atau keterampilan
agar dapat menangkap isi/ ide/ pesan yang sedang dibahas.

Dengan kata lain begitu pembelajar menyaksikan/ mendapati media yang


disajikan, maka dalam diri pembelajar akan terjadi internalisasi proses
pembelajaran.Berbagai macam media pembelajaran dapat digunakan, pemilihan
dan penggunaannya sangat tergantung pada karakteristik isi pesan/ ide dan
domain yang akan disentuh seperti yang tercantum pada tujuan pembelajaran.

Media dengan isi pesan/ ide yang didisain untuk menggambarkan tahapan
pemecahan masalah agar dapat menyentuh domain kognitif berbeda dengan
media yang berisi pesan/ ide untuk menggambarkan tahapan/ urutan
keterampilan/ gerakan tertentu yang menyentuh domain psikomotor.

Oleh karena itu peranan media sangat besar dalam mencapai tujuan
pembelajaran, karena media yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah
pemilihan dan penggunaannya dapat memberikan efek pembelajaran yang
optimal dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
b. Pengertian dan Peranan Alat Bantu Pembelajaran
Alat bantu pembelajaran adalah seperangkat benda/ peralatan yang digunakan
sebagai “pembantu” seorang pelatih/ fasilitator dengan tujuan agar dapat
mempermudah dan mempercepat proses penyampaian pesan/ materi
pembelajarannya kepada pembelajar.
Pada alat bantu pembelajaran, pesan yang disampaikan tidak sepenuhnya
termuat di dalamnya, dia hanya berperan sebagai alat bantu yang menyalurkan
media yang berisi pesan, oleh karena itu alat bantu tidak mampu menimbulkan
efek interaktif tanpa ditunjang oleh pelatih/ fasilitator.
Dengan demikian untuk dapat berfungsi dengan baik dan menghasilkan efek
pembelajaran yang optimal, alat bantu pembelajaran sangat tergantung pada
kecakapan pelatih/ fasilitator dalam mengoperasikannya.
Fungsi Pokok Alat Bantu Pembelajaran adalah:
1) Sebagai alat untuk merangsang indera yang dikehendaki oleh fasilitator sesuai
dengan tingkatan domain yang ingin dicapai dalam tujuan pembelajaran.
2) Mengurangi efek distorsi persepsi, pemahaman, dan komunikasi yang sedang
ditangkap oleh pembelajar.
3) Menghasilkan daya lekat yang relatif lebih lama pada memori pembelajar.

163
4) Meningkatkan minat/ gairah pembelajar dalam mengikuti proses pembelajaran
terutama sesi dengan durasi waktu yang lama.
Ketepatan pemilihan dan penggunaan alat bantu pembelajaran ini akan
menghasilkan program pembelajaran yang efektif dan efisien karena disamping
dapat merangsang indera penglihatan juga indera yang lainpun ikut dirangsangnya
pula dan akan berefek kumulatif.
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka keduanya mempunyai perbedaan
sebagai berikut:

Media Pembelajaran Alat Bantu Pembelajaran

 Sarana/ wahana yang digunakan pelatih/  Alat yang digunakan pelatih/ fasilitator
fasilitator untuk mengemas ide/ pesan yang dalam membantu mem-perjelas/
akan disampaikan/ dibahas dalam proses mempermudah pesan/ materi yang
pembelajaran untuk mencapai tujuan disampaikan
pembelajaran

 Sarana/ wahana yang digunakan  Alat yang mempermudah mem-bantu


pembelajar untuk mempelajari/ me-mahami pembelajar untuk mengerti materi yang
pesan/ materi yang terkan-dung di disampaikan oleh pelatih/ fasilitator
dalamnya (terjadi internali-sasi proses
pembelajaran)

 Media yang dipilih dan digunakan sangat  Keberadaan pesan/ ide/ materi yang
tergantung pada isi pesan/ ide dan tujuan disampaikan tidak sepenuhnya
pembelajaran, karena pesan sepenuhnya terkandung dalam alat yang digunakan
termuat dalam media

2. Kriteria Pemilihan Media dan Alat Bantu Pembelajaran


Penggunaan media dan alat bantu pembelajaran memerlukan kriteria tertentu,
karena jika kurang tepat justru akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Untuk
itu sebelum memilih atau menggunakan media dan alat bantu tertentu perlu
dipikirkan persyaratan pemilihannya sebagai berikut:
a. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
1) Sesuaikan media pembelajaran dengan TPU/TPK yang hendak dicapai.
Sebelum pelatih/ fasilitator memutuskan memilih media yang akan
digunakan, maka perlu memahami dahulu tujuan pembelajaran yang akan
dicapai, domain apa yang akan distimulir dan seberapa dalam tingkatannya.
Sebagai contoh jika yang akan disentuh domain affektif dengan tingkat
“valuing” pada materi “kekerasan pada perempuan/ anak”, maka media
yang terbaik adalah program video yang menampilkan rekaman (life)
perempuan/ anak yang mengalami tindak kekerasan.

164
2) Karakteristik kemampuan pembelajar
Latar belakang pendidikan, sosial, budaya dan jenjang jabatan/ pekerjaan
sangat mempengaruhi dalam mendisain media pembelajaran yang akan
digunakan. Sebagai contoh jika pembelajar berlatar belakang pendidikan
strata satu atau pejabat eselon, maka disain media yang akan digunakan
berbeda jika pembelajar berpendidikan SLTA.
3) Sumber daya penunjang yang tersedia
Dalam pemilihan media juga perlu mempertimbangkan aspek ketersediaan
sumber daya yang disediakan oleh penyelenggara diklat. Sumber daya
yang perlu diperhitungkan itu diantaranya biaya yang dibutuhkan untuk
mengadakan media, waktu yang tersedia untuk memainkan media,
ketersediaan ruang untuk memainkan media dan sarana lain yang
dibutuhkan dalam rangka memainkan media itu.

b. Kriteria Pemilihan Alat Bantu Pembelajaran


1) Sesuaikan alat bantu pembelajaran dengan TPU/TPK yang hendak
dicapai
Sebelum seorang fasilitator memutuskan menggunakan alat bantu apa yang
akan digunakan, hendaknya memeriksa terlebih dahulu TPU/TPK,
perhatikan domain dan kompetensi apa yang diamanatkan oleh TPU/TPK
pada akhir pembelajaran ini. Jika yang diminta hanya sekedar “mengetahui”
(domain kognitif), maka dapat dipilih alat bantu yang menitikberatkan pada
sentuhan indera penglihatan, misalkan LCD projector, flip chart, whiteboard,
yang hanya dapat merangsang indera penglihatan pada domain kognitif.
Dengan demikian alat bantu yang digunakan akan berefek positif terhadap
proses pembelajaran dan dapat menyentuh sasaran domain seperti yang
diinginkan oleh TPU/TPK dalam kurikulum.

2) Sesuaikan alat bantu pembelajaran dengan metode yang digunakan


Alat bantu yang akan dipilih hendaknya juga memperhatikan metoda
pembelajaran yang akan digunakan, karena hal ini sangat berkaitan erat.
Jika metoda yang digunakan adalah “ceramah dan tanya jawab”, maka alat
bantu yang dipersiapkan cukup LCD Proyektor, white board atau sejenisnya
yang tidak memerlukan partisipasi aktif pembelajar.
Tetapi jika metoda yang akan digunakan adalah “praktik/ demonstrasi/
simulasi” atau yang memerlukan partisipasi aktif para pembelajar, maka alat

165
bantu yang diperlukan haruslah alat bantu yang memungkinkan pembelajar
dapat “melakukan” (partisipasi aktif).

3) Menghasilkan efek pembelajaran yang lebih baik


Jika alat bantu pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi alat
pembelajaran atau merangkap sebagai “learning material” sedapat mungkin
dipilih “benda asli”, tetapi jika tidak memungkinkan dapat dipilih “benda
tiruan” dengan catatan benda itu mempunyai bentuk.

4) Sesuaikan dengan kemampuan fasilitator


Syarat lain yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan seorang fasilitator
dalam mengoperasikan atau menjelaskan alat bantu yang digunakannya itu.
Jika hal ini diabaikan dapat mengurangi “kredibilitas” seorang fasilitator di
hadapan pembelajar. Tetapi jika tak memungkinkan seorang fasilitator dapat
dibantu oleh seseorang yang telah “handal” secara detail dalam
mengoperasikan atau menjelaskan alat bantu yang digunakan tersebut.

Secara umum kriteria dalam pemilihan media dan alat bantu pembelajaran
harus memenuhi prinsip efektif dan efisien karena jika “berlebihan” atau
“kekurangan” akan dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Sebagai misal jika yang diminta oleh TPU/TPK adalah “pembelajar dapat
mengetahui lima besar jenis kekerasan di Kota X” (domain kognitif), alat bantu
yang diperlukan cukup dengan white board atau flip chart, tidak perlu fasilitator
menyiapkan video atau foto yang memuat gambar board yang ada di
Puskesmas X yang memuat tulisan tentang “sepuluh besar penyakit itu”.
Sebaliknya jika yang diminta oleh TPU/TPK adalah “pembelajar dapat membuat
papan informasi yang memuat sepuluh besar jenis penyakit di puskesmas”
(domain psikomotor), maka alat bantu yang harus disiapkan oleh fasilitator
adalah membuat/ meminjam papan informasi tersebut (benda asli) atau jika
tidak memungkinkan fasilitator dapat menggunakan video atau foto sebelum
aktivitas pembelajaran dimulai.

3. Jenis-Jenis Media dan Alat Bantu Pembelajaran


Berbagai macam katagori pengelompokan jenis media dan alat bantu
pembelajaran, namun secara umum dapat digambarkan, sebagai berikut:
a. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Menurut bentuk penyampaian pesan melalui tulisan, gambar, suara (audio),
visual berbagai jenis media dapat dibedakan, sebagai berikut:

166
1) Media cetak
Media yang ditulis dan diproduksi sebagai bahan bacaan. Contoh: buku teks,
majalah, buklet modul, hand-out, dsb.
2) Media grafis
Media yang mengkombinasikan ide, informasi, dan pesar ataupun data dalam
pernyatan naratif dan gambar. Contoh: sketsa, grafik, bagan, diagram, kartun,
foto, dsb.
3) Media berbantuan komputer
Media yang dibuat dengan mempergunakan komputer atau dioperasikan
dengan komputer.
Contoh: Computer-Assisted Instruction (CAI) yaitu suatu media pembelajaran
yang dirancang untuk menghasilkan bentuk lingkungan interaksi belajar
khusus dengan tujuan memberikan fasilitas belajar dengan perangkat lunak
atau bentuk-bentuk aplikasi komputer.
4) Media audio
Media audio berkaitan dengan pendengaran, seperti misalnya: program
siaran radio, rekaman kaset, dan sebagainya.

5) Media visual
Media yang menampilkan pesan rekaman dalam gambar, baik yang bergerak
maupun tidak, baik yang bersuara maupun tidak.
6) Media audiovisual
Media yang dapat menampilkan gambar dan suara pada waktu bersamaan,
seperti: tayangan film, tayangan televisi, tayangan video dan lain sebagainya.

4. Jenis-jenis Alat Bantu Pembelajaran


Secara umum alat bantu pembelajaran yang sering digunakan dalam kegiatan
belajar-mengajar dapat dibedakan menjadi tiga katagori, sebagai berikut:
a. Alat bantu pembelajaran non projected
Alat bantu ini dalam penggunaannya tidak memerlukan alat lain, tidak perlu
diproyeksikan ke layar proyeksi.
Termasuk dalam jenis ini:
1) Buku pelajaran, text book, hand out, work sheet.
Karakteristik penggunaannya:

167
 Penggunaan alat bantu ini dimaksudkan agar pembelajar dapat memahami
topik bahasan secara mandiri (menurut persepsinya sendiri) sebelum
pembahasan oleh fasilitator dimulai di kelas.
 Proses pembelajaran akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan
metode diskusi terpimpin yang dipandu oleh fasilitator.
 Fasilitator dengan tegas mempertajam pada hal-hal yang paling banyak
mendapat perdebatan diantara pembelajar dengan merujuk pada teori dan
pengalaman yang pernah ada selama ini.
2) White board/papan tulis
Karakteristik penggunaannya:
 Point-point bahan ajar dipersiapkan dahulu pada potongan-potongan
kertas kecil sebagai panduan fasilitator agar alur penyampaiannya
beraturan.
 Sewaktu menulis di papan dengan posisi membelakangi pembelajar
sedapat mungkin fasilitator jangan sambil berbicara karena dapat
menghasilkan distorsi pendengaran pembelajar
 Mengatur tulisan di papan sedemikian rupa sehingga dapat memperjelas
alur materi pembelajaran dan tulisan yang sudah tidak terpakai hendaknya
segera dihapus karena dapat mengganggu pendalaman pembelajar
 Besar tulisan disesuaikan dengan jarak pembelajar yang terjauh tempat
duduknya.
3) Flip chart
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Bahan ajar ditulis di flip chart dahulu dan disusun sesuai dengan urutan
penyajian serta diberikan nomor halaman pada setiap lembarnya
 Jika perlu lembaran yang sudah disajikan dapat dilepaskan dari standart-
nya dan ditempelkan pada dinding untuk memperjelas urutan penyajian
 Hidarkan kesan padat tulisan dan besar tulisan disesuaikan dengan
pembelajar yang terjauh tempat duduknya.
4) Model
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Berupa benda asli atau benda tiruan yang digunakan sebagai media
pembelajaran
 Jika benda tiruan, warna dan bentuknya harus sesuai dengan benda
aslinya dengan ukuran sama atau diperkecil/ diperbesar dengan skala
yang proporsional

168
 Penempatan model hendaknya dapat dilihat oleh seluruh pembelajar
dengan jelas, jika ukuran benda tersebut relatif kecil hendaknya lebih dari
satu, sehingga pembelajar tidak mengalami kesulitan dalam menangkap
pesan yang disampaikan
 Peragaan harus dilakukan dengan langkah yang runtut dan dengan durasi
waktu yang cukup
 Beri kesempatan kepada seluruh pembelajar untuk mengamati,
merasakan, meraba dan mencoba mengoperasikannya.

b. Alat bantu pembelajaran projected


Alat bantu ini dalam penggunaannya memerlukan listrik sebagai power supply,
karena perlu diproyeksikan ke layar proyeksi.
Termasuk dalam jenis ini antara lain:
1) Over head projector (OHP)
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Bahan ajar (pointers) ditulis di atas transparan yang tidak terlalu penuh
dengan besar tulisan disesuaikan dengan jarak pembelajar yang terjauh
tempat duduknya.
 Jika kalimat/ kata-kata yang dianggap perlu mendapat perhatian, warna
atau model huruf (jenis fontasi) dapat dibedakan dengan yang lainnya
 Alat bantu ini juga dapat digunakan untuk menyajikan urutan proses/
tahapan kejadian dengn cara menumpuk beberapa transparan di atasnya
secara berurutan
 Posisi berdiri fasilitator diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak
menghalangi layar proyektor
 Penjelasan terhadap bahan ajar yang tertulis dapat dilakukan dengan dua
cara: jika posisi fasilitator berdiri disamping OHP, maka dapat langsung
menunjuk tulisan di transparan dengan menggunakan alat tunjuk (jangan
dengan jari); sedangkan jika pelatih berdiri jauh dari OHP dapat
menggunakan “spot light” (jangan menunjuk layar proyektor).
2) Epidioscope
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Alat bantu ini dapat digunakan dengan memproyeksikan bahan ajar yang
tertulis di atas kertas dalam bentuk dan warna aslinya
 Biasanya digunakan untuk menyajikan dokumen/ bahan ajar yang tidak
mungkin dipindahkan pada transparan

169
 Alat bantu ini menggunakan lampu proyeksi dengan daya watt yang tinggi
sehingga jika terlalu lama dinyalakan akan dapat merusak kertas bahan
ajar yang diproyeksikan (terbakar)
3) Slide projector
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Bahan ajar difoto dan dicetak pada film positif (slide) dengan bantuan
proyektor yang ditampilkan melalui layar proyektor
 Alat ini biasanya digunakan untuk menampilkan bahan ajar yang bersifat
“dokumentatif”
 Untuk menghasilkan gambar tayangan yang baik/ jelas, alat ini
membutuhkan ruangan yang relatif gelap.

c. Alat bantu pembelajaran audio visual


1) Video tape/VCD
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Alat ini biasanya digunakan untuk menampilkan bahan ajar sebuah proses
kejadian yang bersifat “life”
 Bahan ajar direkam pada kaset/ compact disk (CD) dengan menggunakan
skenario tertentu sehingga alur proses terlihat jelas dan runtut
 Jika direkam pada kaset video jenis VHS dan dengan menggunakan
fasilitas “shutle jog” penyajian gambar bagian yang dianggap penting dapat
diulang-ulang, dipercepat atau diperlambat (slow motion) secara detail dan
“time motion” untuk mengamati perubahan wujud suatu benda
 Layar monitor yang digunakan dapat dihubungkan dengan desktop
proyektor atau televisi. Jika menggunakan televisi hendaknya dengan
ukuran kaca yang lebar (minimal 29 inci) dengan jumlah yang cukup (satu
televisi untuk 6-10 pembelajar)
 Alat ini juga dapat menghasilkan suara (audio) sehingga dapat
merangsang indera penglihatan sekaligus indera pendengaran.
2) Desktop projector
Karakteristik dan cara penggunaannya:
 Fungsi utama dari alat ini adalah memperbesar tampilan layar monitor dari
video tape, VCD, epidioscope atau komputer
 Jika alat ini dihubungkan dengan komputer yang mempunyai fasilitas
software “multi media” akan menggantikan beberapa alat bantu
pembelajaran tersebut di atas seprti OHP, slide projector, epidioscope dan
video tape/ VCD.

170
Penugasan Pemilihan Media dan Alat Bantu Pembelajaran:
- Peserta dibagi dalam kelompok
- Masing-masing kelompok mempresentasikan bagaimana menggunakan media dan
alat bantu pembelajaran secara maksimal kedalam suatu diskusi/ pengajaran
- Bahan Presentasi bebas memilih materi, dengan penajaman pada media dan alat
bantu yang digunakan.

POKOK BAHASAN 6 TEKNIK PRESENTASI INTERAKTIF


1. Pengertian dan Tujuan Presentasi Interaktif
a. Pengertian Presentasi Interaktif
Presentasi interaktif terdiri dari 2 (dua) kata presentasi dan interaktif. Presentasi,
berarti pemaparan atau penyajian, sedangkan interaktif mengandung saling
mempengaruhi secara timbal balik (mutually).

Jadi presentasi interaktif mempunyai makna penyajian timbal balik/ bergantian


antara pelatih/ fasilitator (penyaji) dan pembelajar yang saling merespon
pembelajaran suatu topic bahasan. Dalam kaitan ini pembelajar dapat merespon
ditengah paparan penyaji dan penyaji dapat mengembangkan respon
pembelajar sepanjang masih dalam koridor pokok bahasan dan hal ini dapat
dilakukan berulang-ulang sampai tuntas.

Kata-kata bijak: “Pembelajar kita belajar dari apa yang kita sampaikan,
sementara itu kita perlu belajar dari apa yang mereka tanyakan” (Andreas
Harefa). Melalui kata-kata bijak ini pesan yang ingin disampaikan adalah
pelatih/fasilitator perlu mencermati setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh
pembelajar, karena di belakang pertanyaan itu sebenarnya seorang pelatih/
fasilitator dapat mengetahui respon pembelajar terhadap proses pembelajaran
yang sedang difasilitasinya.

Dengan kata lain penyajian (stimulus) yang dilakukan pelatif/ fasilitator


memperoleh respon dari pembelajar dan respon pembelajar ini (sebagai
stimulus) mengundang respon pelatih/ fasilitator. Dengan demikian dalam
presentasi interaktif yang terjadi sebenarnya adalah interaksi stimulus – respon
yang terjadi diantara pelatih/ fasilitator dan pembelajar saling menyajikan dan
saling membelajarkan.

171
Presentasi interaktif: penyaji pembelajar

b. Tujuan Presentasi Interaktif


Pada dasarnya tujuan presentasi interaktif untuk:
1) Menimbulkan perhatian dan ketertarikan pembelajar terhadap materi yang
disajikan.
2) Merangsang pembelajar berperan serta aktif untuk menemukan sendiri
bagian-bagian topic bahasan yang sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
3) Menggali lebih banyak pendapat dari berbagai pengalaman sehingga
pembahasannya dapat lebih komprehensif.
4) Mengendalikan pelatih/ fasilitator yang biasa mendominasi komunikasi
(komunikasi searah).

Hal-hal yang perlu diperhatikan pelatih/ fasilitator dalam menggunakan


pendekatan presentasi interaktif, adalah:
1) Waktu
Pelaksanaan presentasi interaktif membutuhkan waktu apalagi kalau pokok
bahasannya menyangkut isu-isu actual. Interaksi yang terjadi harus dijaga
masih berada dalam koridor waktu yang telah ditetapkan. Hal ini menuntut
kepiawaian pelatih/ fasilitator dalam mengelola waktu.

2) Keluar dari pokok bahasan


Pada pelaksanaan presentasi interaktif, tidak jarang muncul pertanyaan
menyimpang atau keluar dari alur pokok bahasan. Apabila pelatih/ fasilitator
terbawa arus ini, maka suasana pembelajaran dapat menjurus kea rah yang
tidak terkendali karena melahirkan perdebatan. Kalau sudah demikian, tujuan
pembelajaran tidak tercapai, motivasi pembelajar menurun dan akhirnya kelas
tidak bergairah bahkan cenderung tidak kondusif untuk melanjutkan proses
pembelajaran. Untuk itu pelatih/ fasilitator harus tetap memegang kendali dan
dapat menyajikan pembahasan lebih luas akan dilakukan di luar sesi.

3) Dominasi
Dalam presentasi interaktif, terdapat risiko pembelajar tertentu mendominasi
pertanyaan dan penyampaian tanggapan. Keadaan demikian harus dicermati
dan dicegah, agar kelas tidak terjerumus kea rah dominasi sehingga
mematikan dinamika kelas.

172
Jika terjadi keadaan demikian, maka yang harus dilakukan pelatih/ fasilitator
adalah melemparkannya kepada pembelajar lain atau dengan halus/ anekdot
mengembalikan pertanyaan/ tanggapan kepada yang bersangkutan tanpa
melibatkan pembelajar lain.

4) Menangkap dan membulatkan masukan/ tanggapan


Dalam menggunakan pendekatan presentasi interaktif, pelatih/ fasilitator
harus mampu menangkap dan memberikan pembulatan terhadap pertanyaan
ataupun tanggapan yang disampaikan oleh pembelajar.
Bahkan jika diperlukan, pembelajar yang bersangkutan diminta mengulang
pertanyaan atau tanggapannya untuk mendapat persetujuan forum/ kelas
(menyepakatinya atau menolaknya)

2. Menghantar Sesi Pembelajaran


Beberapa menit pertama setiap sesi penyajian erupakan waktu yang kritis,
seperti yang dikatakan orang bijak:”Lima menit pertama dari presentasi Anda
dapat menentukan keberhasilan ratusan menit berikutnya” (Andreas Harefa). Hal
ini mudah dipahami karena pada menit-menit pertama kemungkinan beberapa
pembelajar berfikir berbagai hal yang taka da kaitannya dengan materi
pembelajaran, atau sebaliknya mereka berharap yang berlebihan (over estimate)
terhadap materi yang akan dibahas.

Oleh karena itu untuk menjajaginya pelatih/ fasilitator harus mampu:


a. Menangkap minat seluruh kelompok pembelajar dan menyiapkan informasi
agar pembelajar dapat berproses secara optimal.
b. Membuat pembelajar menyadari harapan pelatih/ fasilitator tentang tujuan
pembelajaran yang akan dicapai bersama, sehingga dapat diciptakan iklim
pembelajaran yang kondusif.

Untuk mewujudkan keadaan tersebut, langkah awal yang harus dilakukan


pelatih/ fasilitator sebagai prakondisi menghantar sesi adalah hal-hal sebagai
berikut:
1) Mereview tujuan sesi
Menghantar pokok bahasan dengan meninjau ulang tujuan pembelajaran
(TPU dan TPK) dengan demikian setiap pembelajaran akan mengetahui
dengan pasti apa saja pokok bahasan yang akan dipelajari beserta ruang
lingkupnya.

173
2) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan pokok bahasan
Dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang terkait dengan pokok
bahasan, pelatih/ fasilitator dapat mengetahui apakah pembelajar pernah
memperoleh pengetahuan yang terkait dengan isi pokok bahasan dan
mengajak pembelajar mau berkontribusi dalam proses pembahasan.

3) Menghubungkan pokok bahasan dengan:


a) Materi sebelumnya
Pelatih/ fasilitator dapat menanyakan kepada kelas tentang materi yang
baru saja selesai dibahas dan mencoba menghubungkan garis merah
antara materi yang baru saja selesai dibahas dengan materi yang akan
dibahas.
Contoh:
……. yang baru saja dibahas adalah materi metoda pembelajaran dan
Anda semua sudah menguasainya, maka sekarang saya akan mengajak
Anda untuk membahas materi tentang media pembelajaran. Kaitan antara
kedua materi ini adalah sama-sama unsur terpenting dalam proses
pembelajaran karena media yang akan digunakan sangat tergantung pada
metoda pembelajaran yang akan digunakan, …..dst.
b) Pengalaman nyata penyaji (pelatih/ fasilitator)
Pada kesempatan ini pelatih/ fasilitator dapat mencoba menceritakan
kejadian nyata yang dialami pelatih/ fasilitator sekaitan dengan pokok
bahasan yang akan dipelajarinya. Melalui cara ini diharapkan akan
menjadi “magnet” yang menimbulkan atensi bagi pembelajar untuk
mengikutinya, karena topic yang akan dibahas adalah kejadian nyata
adanya, dan tidak menutup kemungkinan akan juga dialami pembelajar.
Contoh:
“…..topik berikutnya adalah Alat Bantu Pembelajaran, saya mempunyai
pengalaman pahit dengan alat bantu pembelajaran, yaitu ketika
memfasilitasi sebuah diklat yang cukup bergengsi. Masalahnya terletak
pada “flash disk” yang merekam tayangan power point yang sudah saya
siapkan jauh-jauh hari sebelumnya tiba-tiba tidak dapat dibuka pada
laptop yang disediakan Panitia.

Setelah usut punya usut ternyata kemasukan virus dari laptop itu yang
membuat rusak tayangan saya, dan terpaksa saya harus menggunakan

174
alat bantu whiteboard dan OHP yang tersedia. Dengan pengalaman itu
apa yang dapat dipetik hikmahnya?.........”, dst.

c) Pengalaman kerja pembelajar


Pada kesempatan ini pelatih/ fasilitator dapat mencoba meminta beberapa
pembelajar untuk menceritakan pengalaman kerja yang ada kaitan
dengan pokok bahasan atau salah satu sub popok bahasan yang akan
dipelajarinya. Melalui cara ini diharapkan akan menimbulkan atensi bagi
pembelajar untuk mengikutinya, karena topic yang akan dibahas.
Contoh:
……. Topik berikutnya adalah konseling klien yang akan menjalani operasi
amputasi kaki. Apakah Anda pernah menemukan klien Anda di rumah
sakit yang amat gelisah menghadapinya? Apa yang akan mereka katakan
atau perbuat? Bagaimana Anda menghadapinya dan apa yang akan Anda
katakan?..........dst.

d) Berbagi pengalaman
Pada kesempatan ini prinsipnya hamper sama dengan menghubungkan
pokok bahasan dengan pengalaman kerja pembelajar pada poin c, hanya
saja pada saat pembahasan pemecahan masalah diminta beberapa orang
pembelajar yang mempunyai pengalaman serupa untuk dijadikan
pembanding (komparatif). Dengan demikian kelas akan tertaris untuk
berpartisipasi dan sekaligus mendapatkan banyak variasi jawaban untuk
pemecahan masalah.

4) Menggunakan alat bantu yang sesuai/tepat


Langkah awal yang perlu dilakukan pelatih/ fasilitator sebagai prakondisi
menghantar sesi selain hal-hal diatas juga dapat dilakukan melalui
pemaparan dengan menggunakan alat bantu tertentu sesuai pokok kajian
yang ingin ditonjolkan.

Untuk keperluan ini sering digunakan gambar-gambar bersifat “affirmatif” yang


ditayangkan melalui LCD. Kemudian pembelajar diminta untuk
menanggapinya secara bergantian dan penyaji menyimpulkan dan
menggiringnya masuk pada penyajian materi inti (pokok bahasan).

175
Jika empat langkah diatas dalam mengawali sebuah presentasi (penyajian)
sudah dilakukan tetapi suasana kelas belum juga “bangun”, maka ada
baiknya jika hal-hal di bawah ini dilakukan untuk merebut atensi pembelajar:
 Mengajukan pertanyaan “retorikal” (tidak perlu jawaban) yang berkaitan
dengan topik yang akan dibahas.
Contoh: “Dalam proses pembelajaran yang difasilitasi seorang pelatih yang
hebat apakah masih memerlukan media dan alat bantu pembelajaran”?
 Memberikan definisi yang tidak “ghalib” (tidak biasa) terhadap salah satu
ungkapan yang terkandung dalam topik bahasan.
Contoh: Akronim dari kata DIALOGUE adalah DIA-LO-GUE dalam bahasa
Jakarta: DIA artinya “orang ketiga” sedangkan LO artinya “kamu” dan GUE
artinya “aku”. Jadi jika diartikan sebenarnya adalah : DIA boleh bicara, LO
(kamu) boleh bicara dan GUE (aku) juga boleh bicara. Pengertiannya
hampir mirip dengan arti kata “dialogue” yang sesungguhnya.
 Mengutip pendapat orang bijak yang dapat menegaskan topic bahasan.
Contoh: “Audiensi kita belajar dari apa yang kita sampaikan, sementara
kita perlu belajar dari apa yang mereka tanyakan” (Andreas Harefa).
 Memberikan pertanyaan misterius dengan tujuan agar pembelajar
penasaran dan mengikutinya untuk menemukan jawabannya.
Contoh: “Dimana letak perbedaan yang hakiki antara media pembelajaran
dan alat bantu pembelajaran”?
 Kemukakan hal-hal yang mendukung ide yang terkandung dalam pokok
bahasan dengan cara:
- Latar belakang historis analogi ilmiah
- Kesaksian dan komentar para pakar
- Pengalaman, insiden, dan peristiwa sejarah yang menakjubkan atau
dramatis/ tragis
- Contoh-contoh konkrit di sekitar kita
- Gunakan fakta dan data statistik
- Demonstrasikan/ peragaan langsung di depan pembelajar

Untuk meraih kepercayaan forum terhadap kredibilitas pelatih/ fasilitator,


maka pada awal menghantar sesi pembelajaran, hal yang perlu dihindari:
 Jangan memulainya dengan permintaan maaf karena hal ini akan
mengurangi kepercayaan pembelajar terhadap kemampuan/ kredibilitas
pelatih/ fasilitator yang akan memfasilitasi proses pembelajaran.

176
 Jangan memberikan hormat yang berlebihan kepada “orang penting” yang
ada diantara pembelajar karena hal ini secara tidak sengaja menempatkan
Anda sebagai seorang pelatih/ fasilitator berada pada posisi di bawah,
sehingga transaksi komunikasi pembelajaran yang terbentuk secara
vertikal.
 Jangan katakan betapa sulitnya Anda menyusun materi/ bahan
pembelajaran ini karena dapat menurunkan kualitas bahan ajar yang telah
Anda susun.
3. Merangkum Sesi Pembelajaran
Rangkuman digunakan untuk menguatkan isi penyajian dan menyediakan ruang
bagi pembelajar untuk meninjau ulang butir-butir inti penyajian. Pada umumnya
rangkuman dibuat pada setiap akhir presentasi. Apabila pokok bahasannya
kompleks atau terputus oleh waktu istirahat, rangkuman perlu dibuat secara
periodik per pokok bahasan untuk meyakinkan bahwa pembelajar telah dapat
menangkap materi yang disajikan dengan benar.

Syarat rangkuman:
a. Singkat
Rangkuman tidak terlalu banyak sehingga memudahkan setiap pembelajar
mengingatnya.
b. Menggambarkan kesatuan butir-butir inti.
Rangkuman hendaknya dibuat secara kronologis berupa butir-butir inti sesuai
dengan sekuens pembahasan.
c. Melibatkan pembelajar.
Rangkuman sebaiknya dilakukan oleh pembelajar secara curah pendapat
yang dipandu oleh pelatih/ fasilitator dengan maksud disamping untuk
memperekat daya ingat juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat
penyerapannya.

Beberapa teknik merangkum yang dapat digunakan, antara lain:


a. Meminta pembelajar bertanya
Cara ini memberi kesempatan kepada pembelajar untuk meyakinkan/
mempertegas tentang satu topik yang dirasakan/ mempertegas tentang satu
topik yang dirasakan masih ragu-ragu. Jawaban dilakukan oleh forum kelas
dan pada kesempatan ini memungkinkan terjadinya diskusi yang “hidup”
terutama pada butir-butir yang paling sulit ditangkap.

177
b. Bertanya kepada pembelajar
Jika tidak ada pertanyaan yang diajukan oleh pembelajar, maka pelatih/
fasilitator melemparkan pertanyaan kepada pembelajar dimulai dengan butir-
butir yang mudah dan secara gradasi menuju butir-butir utama/ inti
pembelajaran. Jika kelas mulai sulit menjawab, maka pelatih/ fasilitator dapat
memandu menemukan jawabannya.

c. Melaksanakan latihan atau tes tertulis


Latihan atau tes tertulis memberi kesempatan kepada pembelajar untuk
menampilkan pemahamannya terhadap materi yang dibahasnya secara
tertulis. Setelah selesai latihan atau tes, gunakan pertanyaan yang sama
sebagai bahan tanya-jawab/ curah pendapat untuk mendapatkan jawaban
beserta penjelasannya secara tepat.

d. Tanya – jawab saling silang antar kelompok pembelajar.


Kelas dibagi dua kelompok, masing-masing merumuskan pertanyaan yang
berbeda, contoh: Kelompok 1 menyusun pertanyaan 3 buah yang berasal dari
pokok bahasan 1, 4 dan 6 yang harus dijawab oleh kelompok II, sedangkan
kelompok II sisanya yang harus dijawab kelompok I dengan waktu masing-
masing 10 menit.

Setelah butir pertanyaan berhasil disusun, maka pelatih/ fasilitator bertindak


sebagai moderator memimpin sesi Tanya jawab kelompok I dan II. Dengan
kegiatan ini “memaksa” pembelajar harus membuka/ membaca ulang catatan
materi yang baru saja dibahasnya untuk mencari butir-butir bahasan ketika
menyusun pertanyaan dan sekaligus menjawab pertanyaan. Dengan demikian
tanpa sadar mereka telah berhasil membuat rangkuman secara bermakna dalam
waktu singkat.

Sedangkan bagi pembelajar bertanya kepada pelatih/ fasilitator mempunyai


maksud:
- Mendapatkan informasi tambahan karena pembelajar merasa belum lengkap.
- Menghilangkan keraguan karena pembelajar masih menyangsikan atas
informasi telah diterimanya.
- Sekedar memberikan komentar atas serentetan pernyataan penyaji.
- Menyatakan sudut pandang yang berbeda, karena menurut keyakinannya
pernyataan penyaji berbeda dengan pengalaman atau pemahamannya.

178
- Menyatakan dukungannya secara terselubung, artinya pembelajar setuju
dengan pernyataan penyaji karena menurut pemahaman dan pengalamannya
memang begitu adanya.
- Memberikan apresiasi terhadap pernyataan penyaji, pembelajar ingin
memberikan penghargaan terhadap pernyataan penyaji yang memang tepat
adanya.

4. Menggunakan Teknik Tanya Jawab yang Efektif


Agar kegiatan tanya jawab menjadi momentum produktif, maka pelatih/ fasilitator
perlu mempunyai kemampuan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Menyusun dan Mengajukan Pertanyaan
Kemampuan pelatih/ fasilitator untuk menyusun dan mengajukan pertanyaan
dalam suatu proses pembelajaran mutlak harus dikuasai agar mendapatkan
jawaban/ respon sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu seorang pelatih/
fasilitator harus menguasai prinsip-prinsip umum dalam menyusun dan
mengajukan pertanyaan dengan mengingat empat hal sebagai berikut ini:
1) Clarity: pertanyaan yang diajukan harus dirumuskan secara jelas, tidak
menimbulkan banyak arti/ tafsir, sehingga dengan sekali mendengar
pertanyaan sudah langsung mengerti apa yang dimaksud.
2) Simplicity: pertanyaan yang diajukan bersifat sederhana, tidak berupa
kalimat panjang lebar sehingga sulit untuk dapat menangkap inti
pertanyaannya.
3) Challenging: pertanyaan yang diajukan bersifat menantang, tidak hanya
sekedar memerlukan jawaban “ya” atau “tidak”, melainkan dapat
menimbulkan rangsangan sebagian besar pembelajar ingin ikut
menjawabnya.
4) Specific: pertanyaan yang diajukan bersifat khusus/ berkaitan langsung
dengan fokus yang sedang dibahas.

b. Jenis Pertanyaan
Salah satu tujuan pengajuan pertanyaan antara lain untuk mendapatkan
jawaban berupa pendapat/ gagasan yang bermanfaat, konstruktif dan analitik.
Untuk itu pelatih/ fasilitator perlu mempunyai kemampuan dalam
mengembangkan berbagai jenis pertanyaan yang diajukan agar dapat
mencapai tujuannya. Jenis dan tujuan dari pertanyaan itu dapat digambarkan
sebagai berikut:
1) Pertanyaan Tertutup (Closed Question)

179
Merupakan pertanyaan yang membatasi jawaban. Tujuannya
mendapatkan jawaban sederhana, singkat dan terbatas untuk
mengungkapkan fakta. Pertanyaan tertutup ini umumnya diikuti oleh
pertanyaan lain untuk memperdalam dan menjajagi sesuatu secara lebih
jauh lagi.

2) Pertanyaan Meduga-duga (Presumptive Question)


Merupakan pertanyaan yang mengandung adanya dugaan tertentu
terhadap pihak yang ditanya, dimana jawaban yang diharapkan
merupakan bagian dari yang dipertanyakan.
Contoh:
 Menurut Anda apakah yang dimaksud dengan prinsip pembelajaran
yang bernuansa “learning” dan apakah Anda sependapat dengan
pendekatan tersebut?

Dalam pertanyaan di atas, pihak penanya menduga atau mengasumsikan


bahwa pihak yang ditanya “seolah-olah”/ “diduga” sering menggunakan
pendekatan itu.

3) Pertanyaan Mengarahkan (Learning Questions)


Suatu pertanyaan yang jawabannya telah diarahkan atau dikehendaki
oleh penanya atau jawaban untuk pertanyaan ini sudah diketahui oleh
penanya.

Contoh:
 Dapatkan Anda menyebutkan 5 “core values” tenaga kesehatan yang
telah diresmikan Menkes pada akhir-akhir ini?

4) Pertanyaan Terbuka (Open Questions)


Pertanyaan yang memberi kesempatan dan kebebasan bagi pembelajar
dalam memberikan jawaban, gagasan, pendapat, komentar dan
sebagainya. Pertanyaan terbuka dimaksudkan untuk mengungkapkan
gagasan yang bersifat analitis, kreatif, dan sekaligus dapat digunakan
untuk mengetahui tingkat kedalaman pemahaman.
Contoh:
 Apa yang mendasari Anda mengatakan metoda-metoda role playing
dapat meningkatkan peran aktif pembelajar?

180
 Mengapa dalam pemilihan alat bantu pembelajaran harus juga
memperhatikan metoda yang akan digunakan?

5) Pertanyaan Hipotetik (Hypothetical Questions)


Merupakan jenis pertanyaan yang mengarahkan dan memancing jawaban
pada timbulnya praduga.
Contoh:
 Apa yang terjadi jika seluruh diklat bidang kesehatan telah
terakreditasi sesuai dengan ketentuan pada Kepmenkes No. 725
Tahun 2003?

6) Pertanyaan Menyelidik (Probing Questions)


Merupakan pertanyaan yang bersifat “menyelidik” untuk memenuhi rasa
ingin tahu atau memperoleh jawaban lebih jauh dan mendalam atas
jawaban yang telah disampaikan. Biasanya digunakan untuk
menindaklanjuti pertanyaan sebelumnya dan umumnya pertanyaan
bersifat tertutup.
Contoh:
 Setujukah Anda dengan kebijakan pemerintah melalui Kepmenkes No.
725 Tahun 2003 yang mengharuskan seluruh pelatihan bidang
kesehatan terakreditasi? Dilanjutkan dengan pertanyaan “menyelidik”:
 Jika Anda setuju, mengapa? Dapat dilanjutkan lagi dengan pertanyaan
lebih dalam:
 Apa keuntungan kebijakan tersebut bagi unit kerja Anda?

Di samping berbagai jenis pertanyaan seperti diatas masih ada lagi jenis
pertanyaan dengan kategori lain yang perlu diketahui oleh pelatih/ fasilitator:
1) Pertanyaan Ingatan:
Sejak kapan Anda menjadi tenaga pelatih pada diklat teknis program
kesehatan di unit kerja Anda? Adakah kesulitan yang Anda alami?
2) Pertanyaan Pengamatan:
Dalam teori perkembangan kelompok, apa yang terjadi pada saat
kelompok memasuki tahapan “storming”? Apakah Anda melihat ada
sesuatu yang menarik disana?
3) Pertanyaan Analitis:
Mengapa pada setiap proses pembelajaran selalu diperlukan penciptaan
iklim pembelajaran yang kondusif?

181
4) Pertanyaan Perbandingan:
Diantara metoda simulasi dan role playing, metoda pembelajaran mana
yang dapat menyentuh domain psikomotor lebih banyak
5) Pertanyaan Proyektif:
Apa yang akan terjadi apabila tenaga pelatih teknis program
dilembagakan menjadi jabatan fungsional?

Apapun juga jenis pertanyaan yang akan dipakai sebaiknya pergunakan kata
tanya: APA, SIAPA, DIMANA, KAPAN, BAGAIMANA, dan MENGAPA dengan
panduan:
1) Untuk mengungkap fakta pergunakan: Apa, Siapa, Kapan, dan Dimana.
2) Untuk mengungkap ide, pendapat atau gagasan yang berhubungan
dengan proses, kerangka piker dan fakta lain pergunakan: Mengapa dan
bagaimana.

c. Teknik Bertanya
Teknik bertanya merupakan kemampuan yang penting agar kegiatan tanya –
jawab menjadi momentum produktif, karena jika keliru dalam cara
memberikan/ melempar pertanyaan, maka yang terjadi justru sebaliknya.
Dalam hal teknik bertanya pelatih/ fasilitator perlu mempunyai kemampuan
dalam hal sebagai berikut:
1) Pertanyaan untuk Umum (over head questions)
Pertanyaan ini ditujukan untuk kelas, dengan harapan ada beberapa
volunteer yang bersedia menjawab. Tujuan pertanyaan ini jika pelatih/
fasilitator menginginkan klatifikasi, penjajakan, pendapat kelas tentang
suatu topic yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibahas.

Teknik bertanya seperti ini berpotensi didominasi oleh volunteer tertentu


karena mungkin dia yang paling berani menjawab, sedangkan yang lain
tidak menjawab belum tentu tidak mengetahui jawabannya, melainkan
lebih banyak disebabkan kurang berani mengungkapkan pendapat.

Untuk menghindarinya, pelatih/ fasilitator dapat memberikan komentar


“saya ingin yang menjawab wajah-wajah baru dari deretan bangku
sebelah kiri dan tengah, ingat ya semua mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam proses pembelajaran ini”.

2) Pertanyaan dengan Sasaran (target questions)

182
Pertanyaan ditujukan pada seseorang dengan tujuan:
a) Pelatih/ fasilitator memerlukan dukungan atas butir-butir bahasan yang
dirasakan sulit untuk menjelaskannya, untuk itu perlu bantuan
pembelajar yang selama ini telah dikenal dan dianggap mampu
menjawabnya atau isi pertanyaannya berhubungan erat dengan
bidang tugasnya sehari-hari.
b) Menegor secara halus kepada anggota kelas yang sedang asyik
mengobrol/ kurang perhatian, ataupun yang sedang mengantuk,
dengan harapan yang bersangkutan sadar akan kekeliruannya.
Teknik yang digunakan dalam memberikan pertanyaan untuk point 1)
dan 2) di atas dapat dilakukan sebagai berikut:
 Untuk point 1): Lontarkan pertanyaannya sesaat, lalu sebut nama
pembelajar yang diinginkan untuk menjawabnya atau tunjuk
pembelajar yang memang memberi isyarat dapat menjawabnya.
 Untuk point 2): Sebutkan namanya sesaat, kemudian lontarkan
pertanyaannya.

3) Teknik Menanggapi Jawaban


Selain teknik bertanya, kemampuan menanggapi jawaban yang baik juga
harus dikuasai oleh seorang pelatih/ fasilitator. Jawaban atas pertanyaan
yang dilontarkan pelatih/ fasilitator maupun dari sesama pembelajar akan
mempunyai kemungkinan:

a) Jawaban benar secara keseluruhan, maka lakukan hal berikut:


 Ulangi jawabannya untuk penguatan agar yang lainnya ikut
memahami
 Berikan reward secukupnya untuk pertanyaan yang dijawab dengan
sekali benar
 Berikan reward yang besar untuk pertanyaan yang sulit dijawab
dengan benar (setelah dijawab berkali-kali oleh banyak orang baru
benar)

b) Jawaban tidak benar atau sebagian benar, maka lakukan hal berikut:
 Jangan dikritik tapi bimbinglah untuk menemukan jawabannya, tetapi
jika tidak juga berhasil maka lemparkan pertanyaannya kepada yang
lain untuk membantu menjawabnya.

183
Jika hal ini gagal juga, maka kelas dipandu dengan cara curah pendapat
untuk menemukan jawabannya, setelah terjawab perlu diklarifikasi
(disempurnakan) oleh pelatih/ fasilitator agar dapat diadopsi secara
umum.
c) Pembelajar yang diberi pertanyaan tidak mau menjawab (diam), maka
lakukan hal sebagai berikut:
 Turunkan tingkat kesulitan atau sederhanakan kalimat
pertanyaannya, tetapi jika tidak mau menjawab juga, maka ulangi
pertanyaannya lalu lemparkan ke pembelajar lain untuk
menjawabnya.
 Setelah terjawab (benar atau salah) coba sekali lagi kembalikan
kepada pembelajar yang tak mau menjawab tadi untuk
menanggapinya “jawaban itu benar atau salah”. Kemungkinan yang
terjadi:
- Jika dia menyatakan jawaban itu “salah”, maka yang benar seperti
apa? Setelah menjawab cek silang dengan penjawab pertama
dan pancing untuk diskusi agar dapat menghilangkan “sifat
diamnya” itu.
- Jika dia menyatakan jawaban itu “benar” (padahal jawaban
temannya tadi salah), maka hal ini dapat dilemparkan lagi ke
pembelajar yang lain “apakah benar jawaban itu benar”. Setelah
terjawab cek silang dengan pembelajar yang tidak mau menjawab
tadi dan pancing untuk diskusi agar dapat menghilangkan “sifat
diamnya itu”. Dalam kasus ini jawaban benar atau salah tidak lagi
menjadi penting, yang penting “si pendiam” ini harus bersedia ikut
aktif berproses.
- Jika tidak mau menjawab juga, maka berikan anekdot yang
menyegarkan sebagai “punishment”.

d) Teknik Menghadapi Situasi Sulit


Dalam presentasi interaktif hampir dipastikan ruang tanya jawab selalu
terbuka lebar karena memang sifatnya yang “interaktif” harus memberi
peluang terjadinya “stimulus - respon” seluas-luasnya seperti yang
diinginkan dalam proses pembelajaran yang bernuansa “learner center”.
Keadaan di atas membutuhkan seorang pelatih/ fasilitator yang handal
dalam menghadapi situasi seperti itu.

184
Hal seperti di atas terkadang masih diperberat lagi jika harus menghadapi
pembelajar sebagai individu-individu yang “matang”, sedangkan iklim
pembelajaran yang kondusif gagal tercipta karena kegagalan tahapan
proses sebelumnya.

Oleh karena itu di bawah ini beberapa strategi yang masih perlu
dikembangkan untuk menghadapi situasi sulit dalam proses
pembelajaran, yaitu:
a) Ketika pertanyaan yang diajukan tidak tepat momennya. Jika hal ini
terjadi maka dengan halus pelatih/ fasilitator dapat mengatakan bahwa
saat ini sedang tidak membahas hal itu, nanti mungkin dapat dicarikan
waktunya tersendiri agar kita dapat bebas membahasnya.

b) Ketika penanya justru “mempresentasikan” tandingan.


Untuk kejadian ini yang harus dilakukan pelatih/ fasilitator:
 Tanyakan kepada pembelajar lain apakah waktunya terganggu?
 Pelatih/ fasilitator dengan halus dapat memotongnya dan
menanyakan inti pertanyaannya yang mana?
 Mempersilahkan diskusinya dilanjutkan nanti saja jika sesi ini
selesai.

c) Ketika pertanyaan diajukan secara beruntun.


Jika hal ini terjadi, maka pelatih/ fasilitator dapat meminta
pertanyaannya satu per satu saja atau pilih mana pertanyaan yang
perlu dijawab.
d) Ketika pertanyaannya bersifat hipotesis atau pengandaian.
Untuk menanggapinya pelatih/ fasilitator dapat meminta agar
pertanyaannya yang aktual saja karena faktor waktu yang sempit atau
katakan jawabannya kita cari di text book saja.

e) Ketika pertanyaan berdasarkan pada asumsi yang keliru.


Jika hal ini terjadi maka pelatih/ fasilitator dapat meluruskan dasar
pemikiran (asumsi) yang digunakan itu dan bersama-sama penanya
dapat meluruskan pertanyaannya.

f) Ketika pertanyaan cenderung menyerang pribadi pelatih/ fasilitator.

185
Untuk hal ini pelatih/ fasilitator melontarkan kembali pertanyaan itu
kepada forum kelas atau dijawab dengan anekdot dan katakan nanti
akan dijawab di forum lain.

g) Ketika tidak ada pertanyaan yang diajukan sama sekali.


Hal yang harus dilakukan pelatih/ fasilitator adalah melempar
pertanyaan dimulai yang mudah dijawab kemudian dilanjutkan dengan
pertanyaan yang sulit dan ketika terjawab jawaban itu dapat dilempar
kembali kepada yang lain untuk ditanggapi, demikian seterusnya,
sehingga menjadi dinamis.

5. Mengelola Hubungan Interaktif


Pelatih/ fasilitator bukanlah satu-satunya orang yang harus melakukan
komunikasi karena dalam proses pembelajaran dengan pola interaktif pelatih/
fasilitator harus dapat memfasilitasi komunikasi interaktif yang efektif. Interaktif
yang dimaksud adalah keadaan yanag memungkinkan terjadinya interaksi antar
sumber belajar. Secara nyata interaksi yang terjadi adalah terciptanya stimulus-
respon antara pelatih/ fasilitator dengan pembelajar, antar pembelajar, dan
antara pembelajar/ fasilitator dengan sarana pembelajaran.
Berikut ini beberapa strategi untuk mengelola hubungan interaktif yang
berguna bagi pelatih/ fasilitator agar dapat mempertahankan suasana
kondusif sampai akhir sesi.
a. Menyesuaikan diri dengan pembelajar yang menjadi pendengar
Sesuatu yang menurut pelatih/ fasilitator sudah jelas tetapi mungkin
mempunyai arti yang sama sekali berbeda, atau boleh jadi sama sekali tidak
dapat dimengerti secara keseluruhan oleh para pembelajar.

Hal ini karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Sehingga mereka dapat mempunyai pemahaman yang
berbeda-beda terhadap kata-kata, tanda-tanda dan gerak-gerik atau ekspresi
wajah pelatih/ fasilitator.

Alternatif berikut merupakan kiat yang dapat dipakai untuk mengurangi


distorsi pemahaman yang berbeda-beda tersebut:

1) Bahasa yang digunakan pelatih/ fasilitator


Pastikan bahwa istilah-istilah yang dipergunakan adalah istilah-istilah yang
sudah umum di telinga pembelajar. Hindari penggunaan istilah-istilah

186
teknik yang hanya umum digunakan oleh suatu profesi atau bidang studi
tertentu.
Sebaiknya tidak menggunakan istilah asing bila sudah ada istilah bahasa
Indonesia. Kesalahpahaman dapat terjadi karena hal tersebut.

2) Berbicara secara efektif


Tidak hanya isi kata-kata yang ditangkap oleh pembelajar, tetapi juga
akan dirasakan bagaimana cara penyampaiannya yang dapat tercermin
pada intonasi, ekspresi wajah, sikap dan gerakan tubuh lainnya. Oleh
karena itu pelatih/ fasilitator perlu menyadari hal ini jika tidak ingin terjadi
distorsi pemahaman.

Untuk mengurangi kebosanan dan penyegaran dapat juga digunakan


kosa kata yang berwarna warni atau yang tidak biasa tetapi tanpa
merubah makna dan diselingi humor atau anekdot yang menyegarkan
sepanjang masih terkait dengan topik bahasan.

Tidak ada ukuran secara pasti harus seperti apa penampilan dan gaya
yang paling tepat, tetapi yang terbaik penampilan dan gaya seorang
pelatih/ fasilitator adalah yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan/
karakteristik pembelajar yang biasanya dapat diketahui dari jenis
pelatihan, tingkat pendidikan dan tingkat eselon para pembelajar.
Dari kesemuanya itu yang paling penting bagi pelatih/ fasilitator mampu
bersikap setara, bersahabat dan hangat. Jika penampilan dan gaya
pelatih/ fasilitator terlalu mewah akan membuat pembelajar tidak berdaya
karena terdapat jarak dan mereka merasa takut atau sebaliknya jika
tampilan dan gaya pelatih/ fasilitator yang kurang meyakinkan (terlalu
sederhana) membuat pembelajar merendahkan (under estimate).

3) Mendengarkan secara efektif


Mendengar (listening) itu mudah tetapi mendengarkan (hearing) ternyata
tidaklah mudah. Pada umumnya ketika seseorang sedang berbicara
dengan kita, yang terjadi adalah kita tidak sedang mendengarkannya
dengan serius, karena biasanya kita tengah sibuk mempersiapkan
jawaban apa yang akan kita berikan.

187
Seorang pelatih/ fasilitator yang sedang memfasilitasi proses
pembelajaran hendaknya dapat menjadi pendengar yang efektif. Untuk itu
perlu berlatih agar proses komunikasi menjadi produktif.

Langkah-langkah yang dapat digunakan berlatih agar dapat menjadi


pendengar yang efektif, yaitu:
a) Temukan beberapa area minat pembaca ketika transaksi komunikasi
itu terjadi;
b) Nilailah isinya, bukan cara menyampaikannya;
c) Tahan keinginan untuk menjawab sebelum paham betul apa yang
diutarakan lawan bicara;
d) Dengarkan dan temukan ide (isu inti) yang diutarakannya;
e) Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu pemahaman
dan memperdalam mengenai apa yang sedang dipikirkan dan
dirasakan lawan bicara;
f) Bersikaplah toleran pada gangguan yang ada pada pembicara saat
dia mengutarakan ide/ gagasan;
g) Bukalah pikiran dengan mempertimbangkan perbedaan sudut
pandang walaupun tajam adanya;
h) Usahakan agar tidak dengan segera melakukan evaluasi tentang apa
yang sedang dikatakan, kecuali jika lawan biacara telah mengutarakan
kesimpulan akhir.

4) Menyadari apa yang sedang terjadi ketika proses pembelajaran


sedang berlangsung
Ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, pelatih/ fasilitator
hendaknya tetap waspada/ peka terhadap signal-signal (verbal & non
verbal) yang dimunculkan oleh para pembelajar oleh karena adanya
beberapa sebab yang mungkin tanpa disadari oleh pelatih/ fasilitator yang
tengah sibuk “bermain”.
Berikut ini adalah beberapa catatan pengalaman penulis ketika
memfasilitasi proses pembelajaran:
a) Pembelajar terlihat resah dengan sering berpindah tempat, berdiri,
mendehem, bercakap-cakap tentang hal lain. Jika hal ini terjadi maka
yang harus dipikirkan ada beberapa kemungkinan: 1) jam pelajaran
sudah habis, 2) pelatih/ fasilitator membosankan atau bicaranya terlalu

188
tinggi (sulit dimengerti), atau 3) pembelajar merasa lelah perlu
energizer.
b) Suasana kelas terjadi keheningan. Suasana kelas yang hening tidak
selamanya positif, untuk itu pastikan apakah mereka kelihatan serius
mengikuti atau apatis. Suasana hening dapat juga diakibatkan karena
pembelajar “takut” sehingga tegang dan keadaan ini membuat
pembelajar merasa tersiksa. Jika yang terjadi adalah apatis biasanya
disebabkan proses pembelajaran yang tidak menarik, media/ alat
bantu yang digunakan tidak menarik/ terlalu sederhana.
c) Pembelajar lebih banyak menatap pada pelatih/ fasilitator ketika
berbicara. Hal ini kemungkinan besar pembelajar tertairk dengan
menunjukkan atensinya dalam mengikuti pembahasan materi.

5) Ekspresi wajah, gerak tubuh dan suara


Pelatih/ fasilitator yang berdiri di kelas menjadi pusat perhatian pembelajar
dan agar proses interaksi berhasil secara optimal, hal-hal seperti di bawah ini
perlu diperhatikan:
a) Ekspresi wajah:
Usahakan terkesan ramah dan senang berada di tengah-tengah
pembelajar untuk memfasilitasi materi. Kontak mata dengan pembelajar
secara bergantian ke seluruh ruangan tanpa terkesan menyelidik dan
perlu dilakukan secara periodik.
b) Gerak tubuh:
Posisi tubuh berdiri harus dapat dilihat oleh seluruh pembelajar tetapi juga
harus mudah mengontrol alat bantu/ media pembelajaran. Sesekali dapat
juga bergerak mendekati pembelajar yang mengajukan pertanyaan atau
ke arah pembelajar yang kurang menaruh minat (atensi rendah).
Posisi kaki berdiri tegak, jarak antar dua kaki 20-25 cm, dan jangan
bertumpu pada satu kaki karena terkesan santai.
Hindarkan menggerak-gerakkan anggota badan tanpa ada tujuan yang
mendukung pembahasan, demikian juga tangan jangan memegang-
megang benda keras yang tak ada kaitannya dengan topik bahasan.
c) Suara:
Volume tidak terlalu keras, menggunakan nada (intonasi) sedang, nada
yang tinggi terkesan marah, sedangkan nada rendah terkesan malas. Atur
kecepatan bicara agar artikulasinya dapat ditangkap dengan jelas.

189
Penugasan Simulasi Teknik Presentasi Interaktif
- Peserta dibagi dalam kelompok
- Masing-masing kelompok melakukan Simulasi Teknik Presentasi Interaktif dengan
memilih dari materi inti yang ada

POKOK BAHASAN 7 PENGERTIAN, TUJUAN, PRINSIP EVALUASI HASIL


PEMBELAJARAN
1. Pengertian, Tujuan dan Prinsip Evaluasi Hasil Belajar
a. Pengertian evaluasi hasil pembelajaran
Suatu proses pengambilan keputusan untuk memberikan nilai (scoring) dengan
menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar
dengan menggunakan instrument tes ataupun non tes.
b. Tujuan evaluasi hasil pembelajaran
1) Mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian TPU dan TPK
2) Umpan balik perbaikan proses pembelajaran
3) Pedoman penentuan Passing Grade dan posisi peringkat
4) Dasar untuk menyusun laporan kemajuan pembelajaran
c. Prinsip evaluasi hasil pembelajaran
1) Harus jelas kemampuan mana yang dinilai
2) Penilaian merupakan bagian integral dari seluruh rangkaian proses
pembelajaran dalam sebuah diklat.
3) Mengukur seluruh domain kognitif, afektif, dan psikomotor, sesuai dengan
hasil analisis TPK
4) Alat yang digunakan harus sesuai, yaitu mengukur apa yang harus diukur
5) Penilaian harus diikuti dengan tindak lanjut.

2. Jenis-Jenis Evaluasi Hasil Pembelajaran


a. Pre dan Post Test
1) Tujuan test
Mengetahui hasil pembelajaran secara rata-rata kelas dan hasilnya dapat
dianggap sebagai hasil penyelenggaraan pelatihan.
2) Proses
a) Menghitung prosentase rata-rata kenaikan nilai yang didapat melalui tes
sebelum dan sesudah pembelajaran, bila perlu dilakukan uji t-test,

190
dengan anggapan selisih kenaikan nilai yang didapat adalah sebagai
hasil pembelajaran pada diklat yang diselenggarakan.
b) Perakitan soal disusun secara komprehensif yang mewakili materi yang
telah dipelajari (dangkal tapi luas).

b. Formative Test
1) Tujuan test
Mengetahui tingkat perkembangan dan daya serap yang dapat dilihat
melalui butir-butir soal yang dapat dijawab dengan benar.
2) Proses
a) Dilakukan di tengah-tengah pada diklat yang lebih dari 3 minggu
b) Perakitan soal memenuhi seluruh TPK pada materi inti yang dengan
tingkat kesulitan bervariasi (30% mudah, 50% sedang, 20% sulit)
c) Memeriksa nilai rata-rata, tertinggi, terendah, modus dan lakukan
“difficulty index” untuk mengetahui tingkat kesulitan soal
d) Jika hasil tes negative, perlu meninjau ulang beberapa aspek yang
dianggap dapat mempengaruhi proses pembelajaran, antara lain:
metoda, alat bantu, fasilitator, lingkungan pembelajaran, dll.
e) Lakukan “remedial” khususnya pada materi/ TPK terlemah.

c. Summative Test
1) Untuk pelatihan yang mendapatkan STTPL
a) Tujuan tes
Menentukan kelulusan bagi setiap individu peserta diklat yang ber-
STTPL (surat tanda tamat pendidikan dan latihan).
b) Proses
 Dilakukan pada akhir sebuah diklat
 Perakitan soal memenuhi seluruh TPK/U pada materi dasar (15%), inti
(70%) dan penunjang (15%) yang disusun dengan tingkat kesulitan
bervariasi (20% mudah, 50% sedang, dan 30% sulit/ analisis)
 Penentuan Penentuan Batas Kelulusan menggunakan PAP/ CRT
(Criterion Referenced Test): menetapkan nilai batas kelulusan.
 Butir-butir soal harus mempunyai daya saring/ daya pembeda: jika
lulus melewati saringan ujian ini berarti yang bersangkutan memang
memenuhi kualifikasi seperti yang diharapkan oleh tujuan pelatihan
dan berhak mendapatkan STTPL.

2) Untuk pelatihan yang mendapatkan sertifikat

191
a) Tujuan tes
Menentukan posisi peringkat setiap individu pada agregat sebaran nilai
hasil ujian (biasanya untuk diklat yang bersertifikat).
b) Proses
 Dilakukan pada akhir sebuah diklat
 Perakitan soal memenuhi seluruh TPK/U pada materi dasar (15%), inti
(70%) dan penunjang (15%) yang disusun dengan tingkat kesulitan
bervariasi (20% mudah, 50% sedang, dan 30% sulit/ analisis)
 Penentuan Batas Posisi Peringkat menggunakan PAN/ NRT (Norm
Referenced Test) dengan cara mencari nilai Mean, Median, Modus,
dan Standar Deviasi.
 Butir-butir soal harus dapat menggambarkan: perbedaan antara
pembelajar yang telah menguasai materi dan yang belum menguasai
materi yang tergambar dalam sebuah skala gradasi.

3. Prosedur Penyusunan Instrumen Penilaian Pembelajaran dan Pengukuran


Evaluasi Hasil Pembelajaran
a. Prosedur Penyusunan Instrumen Penilaian Pembelajaran

Menetapkan Formulasi
tujuan test Butir soal

Analisis Menyusun
Kurikulum Kisi - kisi

192
Analisis
Tujuan (TPK)

Syarat Penilaian:
 Validitas  menilai apa yang seharusnya dinilai
 Reliabilitas  kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun penilaian itu digunakan
akan mendapatkan hasil yang relatif sama.

b. Pengukuran Evaluasi Hasil Pembelajaran


1) Pengukuran Domain Kognitif
ANALISIS TPK PADA
DOMAIN KOGNITIF
TPU

Tentukan
PB/ SPB Indikator

TPK TIDAK YA

BUTIR
SOAL
Tentukan Jenjang Tergambar Tingkah Laku
Taksonomi dalam yang Langsung dapat Diukur
Domain Kognitif

a) Metoda dan Alat Ukur Domain Kognitif


- Mengukur “apa yang diketahui”, bukan apa yang dirasakan/
dikerjakan.
- Jenjang Domain Kognitif terdiri dari: 1) Pengetahuan, 2) Pemahaman,
3) Penerapan, 4) Analisa, 5) Sintesa, 6) Penilaian.
- Metode Pengukuran: Tes Lisan dan Tertulis
- Alat Ukur: Soal, Kuesioner, Check list, Angket dan Lembar Panduan.

b) Bentuk Instrumen Pengukuran Domain Kognitif


c) Teknik Penulisan Soal Pengukuran Domain Kognitif

193
- Perakitan soal harus mengacu pada kisi-kisi soal yang telah disusun
sebelumnya.
- Soal harus valid, mengukur TPK yang telah dibelajarkan
- Soal ditulis dengan bahasa yang lugas, tegas dan sederhana (tidak
menimbulkan pengertian ganda/ salah tafsir.
- Soal jenis uraian/ esai harus dilengkapi dengan “key word”.
- Jika mungkin hindari pernyataan soal yang antagonis, jika terpaksa
tulis dalam huruf besar.
- Berikan petunjuk cara mengerjakan
- Hindari kesalahan ketik, kalau memang ada cepat adakan ralat.

2) Pengukuran Domain Afektif


ANALISIS TPK PADA
DOMAIN AFEKTIF
TPU
Tentukan
Indikator
PB/ SPB
TERUKUR
TIDAK
TPK TERUKUR

BUTIR
SOAL
Tentukan Jenjang Tentukan Tingkah Laku
Taksonomi dalam Menunjukkan Domain Afektif
Domain Afektif
a) Kisi-Kisi Penyusunan Butir Soal Domain Afektif
Nama diklat : ……………………………………………………….
Mata diklat : ……………………………………………………….
Beban Pelatihan : ………………………………………………………..
Jumlah Soal : ……………..
Waktu Penyelesaian :
………………………………………………………..
TPU PB/ SPB TPK TL Afektif Indikator Butir
pernyataan

194
b) Metoda dan Alat Ukur Domain Afektif
 Mengukur “apa yang dirasakan”, bukan apa yang diketahui
 Jenjang Domain Afektif (Taksonomi Bloom) adalah mulai dari Receiving,
Responding, Valuing, Organization s.d. Character.
 Metoda pengukuran: Observasi langsung/ partisipatif, wawancara,
angket
 Alat ukur: Check list, lembar isian, lembar panduan, studi kasus.
Contoh bentuk Instrumen Pengukuran Domain Afektif:

No Pernyataan SS S TS STS TT

1 Pekerjaan Anda sangat berhubungan


.erat dengan pembentukan kualitas SDM
Indonesia.

2 Sebenarnya Anda lebih betah bekerja di


dalam gedung Puskesmas untuk
melayani Pasien.
- Pekerjaan Anda tidak memerlukan
prinsip kehati-hatian secara ketat
- Pekerjaan Anda tidak mempunyai risiko
gagal
- dst.

SS : Sangat Setuju TS : Tidak Setuju


S : Setuju STS : Sangat Tidak Setuju
TT : Tidak Tahu

3) Pengukuran Domain Psikomotor


ANALISIS TPK PADA
DOMAIN PSIKOMOTOR
TPU
Tentukan
Indikator
PB/ SPB
TERUKUR KRITERIA
TIDAK
TPK TERUKUR

195
BUTIR
SOAL
Tentukan Jenjang Tergambar Tingkah Laku
Taksonomi dalam yang Spesifik
Domain
Psikomotor

a) Jenjang Domain Psikomotor


- Gerakan-gerakan reflex
- Gerakan fundamental dasar
- Kemampuan Perseptual/ mangamati
- Kemampuan fisik/ jasmani
- Gerakan-gerakan terampil
- Komunikasi non diskursif/ atau tingkat meniru sampai dengan tingkat
naturalisasi

b) Kisi-Kisi Penyusunan Butir Soal Domain Psikomotor


Nama diklat : …………………………………………………
Mata diklat : …………………………………………………
Beban Pelatihan : ………………………………………………….
Jumlah Soal : ……………......................................................
Waktu Penyelesaian : ..………………………………………..

TPU PB/ SPB TPK TL Spesifik/ Kriteria Butir


Indikator Kegiatan

c) Contoh bentuk Instrumen pengukuran Domain Psikomotor

No Urutan Kriteria Hasil


Kegiatan

1 Menyiapkan alat  Alat: Sput Imunisasi BCG, Vaksin BCG B S


dalam Cold Chain, Kapas alcohol
 Waktu maks: 1 menit
 TL: bekerja dengan prinsip bersih dan
hati-hati

196
2 Mencuci tangan  Alat: Air bersih mengalir, sabun, lap B S
bersih
 Waktu maks: 1 menit
 TL: Mencuci tangan sampai pangkal
pergelangan, memakai sabun dan dilap
dengan lap bersih dan kering.

3 Dst.

4. Nilai Hasil Pembelajaran


a. Tingkat Kesukaran (Difficulty Index)
Untuk mengetahui derajat kesukaran pada setiap butir soal

Ba + Hasil:

D < 0,35 : Sukar


D=
D > 0,35 s.d. < 0,70 : Sedang
Ja + Jb
D > 0,70 : Mudah D :
Indeks
Kesukaran
Ba : Jumlah yang menjawab benar dari kelompok atas (27%)
Bb : Jumlah yang menjawab benar dari kelompok bawah (27%)
Ja : Jumlah lembar jawaban kelompok atas (27%)
Jb : Jumlah lembar jawab kelompok bawah (27%)

b. Tingkat Daya Pembeda


Untuk mengetahui tingkat Daya Beda pada setiap butir soal sehingga dapat
membedakan yang pandai dan kurang pandai.

197
Ba Bb Hasil:

DP > 0,75 : Tinggi


DP =
DP > 0,50 s.d. < 0,75 : Sedang
Ja Jb
DP < 0,50 : Rendah DP :
Indeks Daya
Beda
Ba : Jumlah yang menjawab benar dari kelompok atas (27%)
Bb : Jumlah yang menjawab benar dari kelompok bawah (27%)
Ja : Jumlah lembar jawaban kelompok atas (27%)
Jb : Jumlah lembar jawab kelompok bawah (27%)

Penugasan Diskusi Kelompok Evaluasi Hasil Belajar


- Peserta dibagi dalam kelompok
- Kelompok mendiskusikan tentang:
 Kelompok 1 : Teknik evaluasi dengan menggunakan Pre dan Post Test
 Kelompok 2 : Teknik evaluasi dengan menggunakan Formatif Test
 Kelompok 3 : Teknik evaluasi dengan menggunakan Sumative Test

POKOK BAHASAN 8 MICRO FACILITATING


1. Persiapan Sarana Pembelajaran
a. Penyiapan media, alat bantu pembelajaran dan bahan ajar: siap saji/ digunakan,
kesesuaian dengan TPU/ TPK, mengecek dan mencoba alat bantu (AVA), loud
speaker, dll).
b. Pengkondisian situasi dan lingkungan: kesesuaian lay out ruangan dengan TPU/
TPK, menatap ke seluruh ruangan untuk memeriksa kesiapan, ekspresi wajah
bersahabat menatap beberapa pembelajar, dll.

2. Pembukaan
a. Pengucapan salam perjumpaan dan perkenalan: singkat, wajar, proporsional,
tetapi berkesan.
b. Apersepsi: Menyajikan judul materi (tulisan atau gambar/ grafis affirmasi) dan
meminta pembelajar untuk mempersepsikan/ menebak kira-kira apa yang akan
“kita bahas” bersama, kemudian dilakukan klarifikasi oleh kelas.

198
3. Proses Kegiatan Pembelajaran
a. Presentasi Interaktif
1) Menghantar sesi pembelajaran
Menangkap minat keseluruhan kelompok pembelajar dan membuat
pembelajar menyadari harapan pelatih/ fasilitator dengan cara:
 Mereview tujuan sesi dengan menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti sesuai dengan situasi kondisi pekerjaan pembelajar di unit
kerjanya.
 Menghubungkan pokok bahasan dengan: materi sebelumnya, pengalaman
nyata penyaji, pengalaman kerja peserta, berbagi pengalaman antar-
peserta.
Jika menginginkan agar suasana lebih “hidup” dapat dilakukan (salah satu):
 Mengajukan pertanyaan yang bersifat retorikal.
 Membuat definisi/ pengertian/ sinonim yang tidak ghalib.
 Mengutip pendapat orang bijak.
 Memberikan pertanyaan “misterius”
 Mengemukakan ide yang mendukung pokok bahasan dengan: analogi
ilmiah/ fakta ststistik, kesaksian pakar, pengalaman tragis/ dramatis.

2) Mengelola Hubungan Interaktif


 Menyesuaikan diri dengan pembelajar sebagai pendengar: bahasa yang
digunakan, berbicara efektif, gaya penampilan.
 Mendengarkan secara efektif: memberi perhatian khusus kepada penanya.
 Menyadari apa yang sedang terjadi ketika proses pembelajaran sedang
berlangsung, keadaan tiap individu, suasana kelas, sarana, lingkungan, dll.
 Ekspresi wajah ramah, gerak tubuh dinamis tapi wajar, volume suara,
intonasi, kecepatan berbicara.

b. Teknik Bertanya Efektif


1) Cara/kaidah pertanyaan: dirumuskan secara jelas, bersifat sederhana,
bersifat menantang, bersifat khusus.
2) Kesesuaian pertanyaan dengan tujuan/ momen: pertanyaan yang diajukan
mempunyai tujuan tertentu dan sesuai dengan momentumnya.
3) Cara menanggapi jawaban:
 Untuk pertanyaan yang dijawab sekali benar.
 Untuk pertanyaan yang dijawab kurang benar.
 Untuk pertanyaan yang dijawab berkali-kali baru benar.

199
 Untuk pertanyaan yang sasarannya tidak mau menjawab.
4) Cara menanggapi pertanyaan: seluruh pertanyaan dari pembelajar ditawarkan
ke forum dan dibimbing untuk menemukan jawabannya.

c. Penggunaan metoda pembelajaran:


1) Beragam metoda yang digunakan sesuai dengan dinamika kelas.
2) Kesesuaian tiap metoda yang digunakan dengan TPK.
3) Pengembangan/ kreativitas metoda yang digunakan.

d. Penggunaan media dan alat bantu pembelajaran (ABP)


1) Beragam media dan ABP yang digunakan sesuai dengan dinamika kelas.
2) Kesesuaian setiap media dan ABP yang digunakan dengan TPK.
3) Pengembangan/ kreativitas media dan ABP yang digunakan.

e. Penguasaan substansi materi bahasan: pembahasan diarahkan pada materi inti,


aplikasi dan penunjanng secara proporsi sesuai TPU/ TPK.
1) Harus dikuasai sepenuhnya (materi inti yang sesuai dengan TPU/ TPK)
2) Perlu dikuasai (materi aplikasi yang berkaitan dengan TPU/ TPK)
3) Baik untuk diketahui (materi penunjang yang mendukung TPU/ TPK)

f. Penggunaan alokasi waktu: penggunaan waktu secara efektif dengan proporsi:


1) > 75% digunakan untuk membahas materi yang harus dibahas sesuai
TPU/TPK.
2) < 25% digunakan untuk membahas materi yang perlu dibahas sesuai
TPU/TPK.
3) < 15% digunakan untuk membahas materi yang baik untuk dibahas sesuai
TPU/TPK.

4. Pengakhiran Kegiatan Pembelajaran


a. Merangkum sesi pembelajaran
Syarat: singkat, menggambarkan satu kesatuan butir-butir inti dan melibatkan
sebagian besar peserta. Teknik yang digunakan: (salah satu)
 Meminta peserta bertanya dan jawaban ditawarkan ke forum dengan metoda
curah pendapat.
 Bertanya kepada peserta, dimulai dengan butir pertanyaan mudah kemudian
menuju butir yang sulit.

200
 Latihan ter tertulis (semacam post test). Hasil test dibahas ulang di forum
kelas.
 Tanya jawab saling-silang antar-kelompok sesuai dengan jumlah pokok
bahasan/ sub-pokok bahasan. Kelompok A membuat pertanyaan untuk
dijawab oleh Kelompok B dan atau sebaliknya.
b. Penyimpulan pokok bahasan, kesesuaian dengan TPU/ TPK dan pemberian
pesan tindak lanjut. Menanyakan kembali slide/ transparansi yang memuat TPU/
TPK dan peserta diminta untuk menilai tingkat ketercapaiannya. Pesan tindak
lanjut (jika ada).
c. Pengucapan terima kasih dan salam perpisahan.
 Ucapan terima kasih karena telah sama-sama berhasil mencapai TPU/ TPK
dengan sukses.
 Ucapan maaf kalau ada yang kurang berkenan.
 Salam perpisahan, berpamitan.

VII. REFERENSI
1. Adult Education, Adult Education Association of The USA, 810 Eighteenth, N.W.,
Washington, D.C. 2006.
2. Andreas Harefa: 2003. Pengantar Presentasi Efektif, Gramedia, Jakarta.
3. A. Suryadi, M.A. PHD, Drs. Enam Puluh Lima Belajar Mengajar Dalam Kelompok,
Mandar Manju, Bandung 1989.
4. Bullard, Rebecca et al, The Occational Trainer’s Handbook: Educational
Technology Publication, New Jersey, 1992
5. Colin Rose dan Malcom J Nicholl: 1997. Accelerated Learning for the 21st century,
Delacorte Press, New York.
6. Deborah Harington-Mackin: 1994. The Building Tool Kit.
7. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Semarang, 1989.
8. DePorter Bobbi dan Mike Hernachi: 1992. Quantum Learning, Dell Publishing,
New York.
9. Hamzah B. Uno, dkk (2004), Model Pembelajaran, Nurul Jannah, Gorontalo
10. JPG Sianipar & Jenny Jory Salmon: 2002. Manajemen Kelas, LAN RI
11. Lunadi AG: 1982. Pendidikan Orang Dewasa, PT Gramedia, Jakarta.
12. Mansour Fakih dkk (2001), Pendidikan Popular Membangun kesadaran Kritis,
Read Book, Yogyakarta
13. Pusdiklat Kesehatan Depkes RI, Pedoman Pengukuran Hasil Pelatihan, Jakarta,
1994

201
14. Pedoman Program Evaluasi Diklat Kesehatan, Jakarta, 2000.
15. Pusdiklat SDM Kesehatan, 2011, Kurikulum dan Modul Pelatihan Tenaga Pelatih
Program Kesehatan (TPPK).
16. Roem Topatimasang dkk (1986), Belajar dari Pengalaman: Panduan Latihan
Pemandu POD untuk Pengembangan Masyarakat, P3M, Jakarta.
17. Suke Silvenus, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, Grasindo (PT Gramedia
Widia Sarana Indonesia), Jakarta, 1991

202
MATERI PENUNJANG - 1
MEMBANGUN KOMITMEN PEMBELAJARAN
(BUILDING LEARNING COMMITMENT)

I. DESKRIPSI SINGKAT

Dalam suatu pelatihan terutama pelatihan dalam kelas (in class training), bertemu
sekelompok orang yang belum saling mengenal sebelumnya,berasal dari tempat yang
berbeda,dengan latar belakang sosial budaya, pendidikan/pengetahuan,pengalaman,
serta sikap dan perilaku yang berbeda pula. Apabila hal ini tidak diantisipasi sejak awal
pelatihan kemungkinan akan mengganggu kesiapan peserta dalam memasuki proses
pelatihan yang bisa berakibat pada kelancaran proses pembalajaran selanjutnya.

Pada awal memasuki suatu pelatihan, sering para peserta menunjukkan suasana
kebekuan (freezing), karena belum tentu pelatihan yang diikuti. Mungkin saja
kehadirannya dipelatihan karena terpaksa, menuruti perintah atasan atau tidak ada lagi
calon lainnya, dan ini sering terjadi pada pelatihan bagi pegawai institusi pemerintah.
Mungkin juga terjadi, pada saat pertama hadir sudah memiliki angapan merasa sudah
tahu semua yang akan dipelajari atau membayangkan kejenuhan yang akan dihadapi.

Untuk mengantisipasi semua itu, perlu dilakukan suatu proses pencairan (unfreezing).
Membangun komitmen Belajar (BLC/Building Learning Commitment) adalah salah satu
metode atau proses untuk mencairkan kebekuan tersebut. BLC juga mengajak peserta
mampu mengemukakan harapan harapan mereka dalam pelatihan ini, serta
merumuskan nilai dan norma yang kemudian disepakati bersama untuk dipatuhi selama
proses pembelajaran.Jadi inti dari BLC juga adalah terbangunnya komitmen dari semua
peserta untuk berperan serta dalam mencapai harapan dan tujuan pelatihan, serta
mentaati norma yang dibangun berdasarkan perbauran nilai nilai yang dianut dan
disepakati. Proses BLC adalah proses melalui tahapan dari mulai saling mengenal antar
pribadi,mengidentifikasi dan merumuskan harapan dari pelatihan ini, sampai
terbentuknya norma kelas yang disepakati bersama serta kontrol kolektifnya.

Pada proses BLC setiap peserta harus berpartisipasi aktif dan dinamis. Keberhasilan
atau ketidakberhasilan proses BLC akan berpengaruh pada proses pembelajaran
selanjutnya.

203
II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan pembelajaran umum


Setelah mengikuti sesi ini peserta saling mengenal serta mampu merumuskan norma
kelas yang disepakati bersama.

B. Tujuan pembelajaran khusus:


Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
1. Melaksanakan perkenalan antara peserta,fasilitator dan panitia.
2. Mencapai suasana pencairan
3. Merumuskan harapan terhadap pelatihan yang merupakan kesepakatan bersama
dan menjadi norma kelas yang disepakati bersama
4. Menetapkan kontrol kolektif terhadap pelaksanaan norma kelas.

III. POKOK BAHASAN dan SUB POKOK BAHASAN

Pokok Bahasan : Membangun Komitmen Pembelajaran.


Sub pokok bahasan :
1. Perkenalan.
2. Pencairan.
3. Harapan kelas, kekhawatiran mencapai harapan dan komitmen menjadi norma
kelas.
4. Kontrol efektif.

IV. REFERENSI DAN BAHAN BELAJAR

1. Kementerian Kesehatan RI, 2016. Modul TOT Pelatihan Penanggulangan gangguan


indera
2. Pusdiklat Departemen Kesehatan RI,2001.Membangun Komitmen Belajar.
3. Lembar petunjuk penugasan

V. LANGKAH LANGKAH/PROSES PEMBELAJARAN

Langkah 1: Perkenalan
 Memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan pembelajaran.
 Mengajak peserta untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
 Memandu peserta untuk proses perkenalan dengan metode :
o Dalam 5 menit pertama setiap peserta diminta berkenalan dengan peserta lain
sebanyak-banyaknya

204
o Meminta peserta yang berkenalan dengan jumlah peserta terbanyak, dan dengan
jumlah peserta paling sedikit untuk memperkenalkan teman-temannya
o Meminta peserta yang belum disebut namanya untuk memperkenalkan diri,
sehingga seluruh peserta saling berkenalan

Langkah 2: Pencairan
 Fasilitator menyiapkan kursi sejumlah peserta dan disusun melingkar.
 Fasilitator meminta semua peserta duduk di kursi dan satu diantaranya duduk di
tengah lingkaran.
 Peserta yang duduk di tengah lingkaran diminta memberi aba-aba,agar peserta yang
disebut identitasnya pindah duduk,misalnya dengan menyeru: ”Semua peserta
berbaju merah pindah” Pada keadaan tersebut akan terjadi pertukaran tempat duduk
dan saling berebut. Hal tersebut menggambarkan suasana “storming”, atau seperti
“badai” yang merupakan tahap awal dari suatu pembentukan kelompok.
 Ulangi lagi, setiap peserta yang duduk di tengah lingkaran untuk menyerukan
identitas yang berbeda, misalnya pesrta yang berkaca mata atau yang berbaju batik
dan lain-lain.Lakukan permainan tersebut selama 10 menit.
 Fasilitator memandu peserta untuk merefleksikan perasaannya dalam permainan
tersebut serta pengalaman belajar apa yang diperolehnya.
 Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta,agar terjadi proses yang
dinamis.

Langkah 3: Merumuskan harapan terhadap pelatihan dan norma yang disepakati.


 Fasilitator membagi peserta dalam kelompok kecil masing-masing 5-6 orang,
kemudian menjelaskan penugasan kelompok yaitu :
 Masing-masing kelompok menentukan harapan terhadap pelatihan ini serta
kekhawatiran dalam mencapai harapan tersebut. Mula-mula secara individu,
kemudian hasil setiap individu dibahas dan dilakukan kesepakatan sehingga menjadi
harapan kelompok.
 Setiap kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil diskusikan.Peserta lainnya
diminta untuk memberikan tanggapan dan masukan.
 Fasilitator memandu peserta untuk membahas harapan dan kekhawatiran dari setiap
kelompok tersebut sehingga menjadi harapan kelas yang disepakati bersama.
 Berdasarkan harapan kelas yang telah disepakati kemudian fasilitator memandu
peserta untuk merumuskan norma kelas yang disepakati bersama.Peserta difasilitasi

205
sedemikian rupa agar semua berperan aktif dan memberikan komitmennya untuk
metaati norma kelas tersebut.

Langkah 4: Menentukan Kontrol Kolektif.

 Fasilitator memandu brainstorming tentang sanksi apa yang harus diberlakukan bagi
orang yang tidak mematuhi atau melanggar norma yang telah disepakati. Tuliskan
hasil brainstorming di papan flipchart agar bisa dibaca oleh semua peserta.Peserta
difasilitasi sedemikian rupa sehingga aktif dalam melakukan brainstorming.
 Fasilitator memandu membahas hasil brainstorming, sehingga dapat dirumuskan
sanksi yang disepakati kelas.
 Fasilitator meminta salah seorang peserta untuk menuliskan dengan jelas rumusan
sanksi yang telah disepakati tersebut pada kertas flipchart serta menempelnya di
dinding agar bisa dibaca dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

Langkah 5: Penutupan sesi


 Fasilitator memandu peserta membuat rangkuman dari semua proses dan hasil
pembelajaran selama sesi ini.
 Fasilitator memberi ulasan singkat tentang materi yang terkait dengan BLC.
 Fasilitator meminta peserta untuk berdiri membentuk lingkaran sambil berpegangan
tangan,dan mengucapkan ikrar bersama untuk mencapai harapan kelas dan
mematuhi norma yang telah disepakati.
 Mengakhiri sesi dengan tepuk tangan bersama.
 Fasilitator mengucapkan salam dan mengajak semua peserta saling bersalaman.

VI. URAIAN MATERI

Dalam sesi BLC, lebih banyak menggunakan metode games/permainan,penugasan


individu dan diskusi kelompok.Hanya di akhir sesi ada ulasan singkat tentang materi
yang terkait dengan BLC.

Komitmen

Adalah keterikatan,keterpanggilan seseorang terhadap apa yang dijanjikan atau yang


menjadi tujuan dirinya atau kelompoknya yang telah disepakati dan terdorong berupaya
sekuat tenaga untuk mengaktualisasinya dengan berbagai macam cara yang baik,efektif
dan efisien.

206
Komitmen belajar/pembelajaran,adalah keterpanggilan seseorang/kelompok/kelas
(peserta pelatihan) untuk berupaya dengan penuh kesungguhan mengaktualisasikan apa
yang menjadi tujuan pelatihan/pembelajaran.Keadaan ini sangat menguntungkan dalam
mencapai keberhasilan individu/kelompok/kelas,karena dalam diri setiap orang yang
memiliki komitmen tersebut akan terjadi niat baik dan tulus untuk memberikan yang
terbaik kepada individu lain,kelompok dan kelas secara keseluruhan.

Dengan terbangunnya BLC, juga akan mendukung terwujudnya saling percaya,saling


kerja sama, saling membantu,saling memberi dan menerima, sehingga tercipta
suasana/lingkungan pembelajaran yang kondusif

Harapan

Adalah kehendak/keinginan untuk memperoleh atau mencapai sesuatu. Dalam pelatihan


berarti keinginan untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dinginkan sebagai hasil
proses pembelajaran.

Dalam menetukan harapan harus realistis dan rasional sehingga kemungkinan untuk
mencapainya besar.Harapan jangan terlalu tinggi dan jangan terlalu rendah.

Harapan juga harus menimbulkan tantangan atau dorongan untuk mencapainya,dan


bukan sesuatu yang diucapkan secara asal asalan.Dengan demikian dinamika
pembelajaran akan terus terpelihara sampai akhir proses.

Norma

Merupakan nilai yang diyakini oleh suatu kelompok atau masyarakat,kemudian menjadi
kebiasaan serta dipatuhi sebagai patokan dalam perilaku kehidupan sehari hari
kelompok/masyarakat tersebut.Norma adalah gagasan, kepercayaan tentang
kegiatan,instruksi,perilaku yang seharusnya dipatuhi oleh suatu kelompok.

Norma dalam suatu pelatihan,adalah gagasan, kepercayaan tentang


kegiatan,instruksi,perilaku yang diterima oleh kelompok pelatihan,untuk dipatuhi oleh
semua anggota kelompok(peserta,pelatih/fasilitator dan panitia).

Kontrol Kolektif

Merupakan kesepakatan bersama tentang memelihara agar kesepakatan terhadap


norma kelas ditaati.Biasanya ditentukan dalam bentuk sanksi apa yang harus
diberlakukan apabila norma tidak ditaati atau dilanggar.

207
Lembar Kerja
Penugasan 1.
Menentukan Harapan Pembelajaran dan kekhawatiran untuk mencapai harapan
tersebut.
Tahap 1: Menentukan harapan kelompok.
 Peserta dibagi dalam kelompok kecil a 5-8 orang.
 Mula mula peserta bekerja secara individu.
 Secara sendiri sendiri setiap peserta mengidentifikasi apa yang menjadi
harapannya terhadap pelatihan ini.Tuliskan pada kertas catatan masing masing
3 harapan yang menjadi prioritas. Tuliskan juga kekhawatiran untuk mencapai
harapan
 Kemudian diskusikan harapan masing masing peserta dalam kelompok
dipandu oleh ketua kelompok.
 Dengan metode brainstorming setiap peserta menyampaikan pendapatnya
tentang usulan harapan kelompok berdasarkan hasil renungan dan analisis
dari harapan harapan semua anggota kelompok.
 Kelompok diharapkan dapat menentukan harapan kelompok dan kekhawatiran
sebagai hasil kesepakatan bersama.Setiap kelompok menentukan 3 harapan
yang menjadi prioritas kelompok.
 Tuliskan harapan kelompok dan kekhawatiran pada kertas flipchart.

Tahap 2. Menentukan harapan kelas.


 Setiap kelompok mempresentasikan harapan dan kekhawatiran kelompoknya .
 Fasilitator memandu brainstorming untuk menentukan harapan kelas berdasarkan
hasil analisis dari semua harapan kelompok dan kekhawatirannya
 Buat kesepakatan kelas untuk menentukan 5 harapan yang menjadi prioritas kelas
serta kekhawatiran mencapai harapan
 Tuliskan hasilnya pada kertas flipchart.

Harapan individu Kekhawatiran Harapan kelompok Kekhawatiran

Harapan kelompok Harapan kelas

208
Tahap 3,Menentukan norma kelas

Dalam menentukan norma kelas,peserta difasilitasi untuk melakukan


brainstorming.Fasilitasi dapat dilakukan oleh fasilitator atau diplih salah seorang dari
peserta untuk memandu kelas.
 Setiap peserta diminta mengemukakan pendapatnya tentang norma kelas
berdasarkan harapan kelas yang sudah disepakati (norma untuk mencapai harapan
kelas)
 Tuliskan pendapat peserta pada kertas flipchart agar terbaca oleh semua
orang.Dapat juga dengan mengetik di komputer dan ditayangkan.
 Pendapat peserta tidak boleh dikomentari dahulu.
 Setelah semua pendapat peserta tertulis,kemudian dikompilasi/dipilah ,yaitu
pendapat yang serupa digabung jadi satu.
 Hasil penggabungan kemudian dibahas,sehingga menjadi beberapa butir norma.
 Buatlah kesepakatan bersama dan menjadikannya sebagai norma kelas yang harus
ditaati.
 Tuliskan norma kelas yang sudah disepakati pada kertas flipchart dan tempelkan di
dinding agar dapat dibaca semua orang.

Norma Kelas yang disepakati

Norma yang disepakati



209
Lembar Penugasan 2. Menentukan Kontrol Kolektif

 Peserta kembali ke dalam kelompok kecil


 Norma yang di sepakati dibahas untuk ditentukan apa kontrol kolektif apabila ada
yang tidak mentaati norma kelas
 Hasil kelompok kemudian di presentasikan
 Fasilitator memandu peserta untuk menentukan control kolektif yang disepakati
bersama (kelas). Tuliskan hasil kesepakatan kontrol kolektif pada kertas flipchart.

Norma Kontrol Kolektif

1 1.

2. 2.

3. 3.

210
MATERI PENUNJANG 2

ANTI KORUPSI

I. Deskripsi Singkat

Sampai saat ini korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa
Indonesia dan berdampak tidak saja merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan
pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti kesejahteraan dan
demokrasi, merusak aturan hukum, dan menghambat pembangunan.Korupsi harus
dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu
memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan
korupsi–yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu (1) penindakan, dan (2) pencegahan–
tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa
melibatkan peran serta masyarakat.

Dalam rangka mempercepat pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013


tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi perlu disusun Strategi
Komunikasi Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Kementerian
Kesehatan sebagai salah satu kegiatan reformasi birokrasi yang dilaksanakan
Kementerian Kesehatan agar para Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian
Kesehatan terhindar dari perbuatan korupsi.Salah satu upaya yang dilakukan dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah dengan memberikan pengertian dan
kesadaran dampak perilaku dan tindak pidana korupsi, karena kesadaran tersebut dapat
menjadi kemauan kuat serta semangat tinggi untuk menghindarkan diri dari perilaku dan
tindak pidana korupsi, serta lebih jauh lagi membangun kepedulian untuk mengajak dan
membangun sistem atau lingkungan berintegritas, agar semakin banyak orang yang
terhindarkan dari perilaku dan tindak pidana korupsi.

Materi ini membahas tentang konsep korupsi, konsep anti korupsi, dampak tindak
pidana korupsi, niat, semangat dan komitmen melakukan pemberantasan anti korupsi,
serta gratifikasi. Materi disampaikan dengan metode dan curah pendapat dan ceramah
tanya jawab.

211
II. Tujuan Pembelajaran

C. Tujuan Pembelajaran Umum:


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu membentuk perilaku yang amanah dan
jujur serta berperan dalam pencegahan korupsi di lingkungan kerjanya.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan pengertian korupsi dan Konsep Anti Korupsi
2. Menjelaskan berbagai dampak dari perilaku dan tindak pidana korupsi
3. Menjelaskan niat, semangat dan komitmen melakukan pemberantasan anti
korupsi.
4. Menjelaskan Cara melakukan perubahan dan langkah perbaikan

III. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Pada modul ini akan dibahas pokok bahasan dan sub pokok bahasan berikut:
Pokok bahasan 1.Pengertian Korupsi dan Konsep Anti Korupsi
Pokok bahasan 2.Dampak dari perilaku dan tindak pidana korupsI.
Pokok bahasan 3.Cara membangun semangat dan komitment melakukan
pemberantasan korupsi.
Pokok bahasan 4. Cara melakukan perubahan dan langkah perbaikan.

IV. Bahan Belajar

Dalam proses pembelajaran modul ini, peserta dapat menggunakan bahan belajar
berikut:
 Permainan/games
 Instrumen
 Alat Permainan
 Departemen Kesehatan RI, 2010, Membangun Komitmen Belajar, Pusdiklat
 LAN 2010, Dinamika Kelompok
 Pusdiklat Depkes RI, 2010,Team Building.
 Bahan Presentasi

212
V. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran

Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini sebanyak 2 jam pelajaran (T=2, P=0,
PL=0) @45 menit untuk memudahkan proses pembelajaran, dilakukan langkah-langkah
kegiatan pembelajaran sebagai berikut.
Di dalam ruang kelas, kursi disusun melingkar sejumlah peserta

Langkah 1.
Pengkondisian peserta
Langkah kegiatan:
3. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan menyampaikan tujuan
pembelajaran
4. Sampaikan tujuan pembelajaran materi ini dan pokok bahasan yang akan
disampaikan, sebaiknya dengan menggunakan bahan tayang.

Langkah 2.
Penyampaian dan pembahasan
Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan
Fasilitator menyampaikan paparan seluruh materi sesuai urutan pokok bahasan dan sub
pokok bahasan dengan menggunakan bahan tayang. Fasilitator menyampaikan materi
dengan metode ceramah tanya jawab, kemudian curah pendapat.

Langkah 3.
Rangkuman dan Kesimpulan
1. Fasilitator melakukan evaluasi untuk mengetahui penyerapan peserta terhadap
materi yang disampaikan dan pencapaian tujuan pembelajaran.
2. Fasilitator merangkum poin-poin penting dari materi yang disampaikan.
3. Fasilitator membuat kesimpulan.

VI. URAIAN MATERI


Pokok Bahasan 1.Pengertian Korupsi Dan Konsep Anti Korupsi
A. Pengertian Korupsi
Apa Arti kata “korupsi?
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa
“corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari
bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),

213
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/ korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Ada banyak pengertian tentang korupsi, di antaranya adalah berdasarkan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan “penyelewengan atau penggelapan
uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keperluan pribadi”.
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali:
1998):
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/ sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya; dan
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi.

Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak,
berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat
amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut
faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.

B. Konsep Anti Korupsi

1. Nilai- nilai Anti Korupsi


Nilai-nilai anti korupsi yang akan dibahas meliputi kejujuran, kepedulian,
kemandirian, kedisiplinan, pertanggung-jawaban, kerja keras, kesederhanaan,
keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai inilah yang akan mendukung prinsip-prinsip
anti korupsi untuk dapat dijalankan dengan baik.
Ada sembilan nilai anti korupsi yang cara gampangnya untuk mengingatnya
dengan jembatan keledai “Jupe mandi tangker sebedil” sebagaimana digambarkan
pada bagan di bawah ini

Screen Shoot 1. Sembilan Nilai anti Korupsi

214
Berikut ini adalah uraian secara rinci untuk tiap nilai anti korupsi
a. Kejujuran
Menurut Sugono kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, tidak
berbohong, dan tidak curang. Jujur adalah salah satu sifat yang sangat penting
bagi kehidupan pegawai, tanpa sifat jujur pegawai tidak akan dipercaya dalam
kehidupan sosialnya (Sugono: 2008).

Nilai kejujuran dalam kehidupan dunia kerja yang diwarnai dengan budaya kerja
sangat-lah diperlukan. Nilai kejujuran ibaratnya seperti mata uang yang berlaku
dimana-mana termasuk dalam kehidupan di dunia kerja. Jika pegawai terbukti
melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada lingkup kerja maupun sosial,
maka selamanya orang lain akan selalu merasa ragu untuk mempercayai
pegawai tersebut.

Sebagai akibatnya pegawai akan selalu mengalami kesulitan dalam menjalin


hubungan dengan orang lain. Hal ini juga akan menyebabkan ketidaknyamanan
bagi orang lain karena selalu merasa curiga terhadap pegawai tersebut yang
terlihat selalu berbuat curang atau tidak jujur.
Selain itu jika seorang pegawai pernah melakukan kecurangan ataupun
kebohongan, akan sulit untuk dapat memperoleh kembali kepercayaan dari
pegawai lainnya. Sebaliknya jika terbukti bahwa pegawai tersebut tidak pernah
melakukan tindakan kecurangan maupun kebohongan maka pegawai ter-sebut
tidak akan mengalami kesulitan yang disebabkan tindakan tercela tersebut.
Prinsip kejujuran harus dapat dipegang teguh oleh setiap pegawai sejak masa-
masa ini untuk memupuk dan membentuk karakter mulia di dalam setiap pribadi
pegawai.

b. Kepedulian
Menurut Sugono definisi kata peduli adalah mengindahkan, memperhatikan dan
menghiraukan (Sugono: 2008). Nilai kepedulian sangat penting bagi seorang
pegawai dalam kehidupan di dunia kerja dan di masyarakat. Sebagai calon
pemimpin masa depan, seorang pegawai perlu memiliki rasa kepedulian
terhadap lingkungannya, baik lingkungan di dalam dunia kerja maupun
lingkungan di luar dunia kerja.

Rasa kepedulian seorang pegawai harus mulai ditumbuhkan sejak berada di


dunia kerja. Oleh karena itu upaya untuk mengembangkan sikap peduli di

215
kalangan pegawai sebagai subjek kerja sangat penting. Seorang pegawai
dituntut untuk peduli terhadap proses belajar mengajar di dunia kerja, terhadap
pengelolalaan sumber daya di dunia kerja secara efektif dan efisien, serta
terhadap berbagai hal yang berkembang di dalam dunia kerja. pegawai juga
dituntut untuk peduli terhadap lingkungan di luar dunia kerja. Beberapa upaya
yang bisa dilakukan sebagai wujud kepedulian di antaranya adalah dengan
menciptakan

Sikap tidak berbuat curang atau tidak jujur. Selain itu jika seorang pegawai
pernah melakukan kecurangan ataupun kebohongan, akan sulit untuk dapat
memperoleh kembali kepercayaan dari pegawai lainnya. Sebaliknya jika
terbukti bahwa pegawai tersebut tidak pernah melakukan tindakan kecurangan
maupun kebohongan maka pegawai tersebut tidak akan mengalami kesulitan
yang disebabkan tindakan tercela tersebut.

c. Kemandirian
Kondisi mandiri bagi pegawai dapat diartikan sebagai proses mendewasakan
diri yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas
dan tanggung jawabnya. Hal ini penting untuk masa depannya dimana pegawai
tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-orang yang berada di bawah
tanggung jawabnya sebab tidak mungkin orang yang tidak dapat mandiri
(mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain. Dengan
karakter kemandirian tersebut pegawai dituntut untuk mengerjakan semua
tanggung jawab dengan usahanya sendiri dan bukan orang lain (Supardi:
2004).

d. Kedisiplinan
Menurut Sugono definisi kata disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada
peraturan (Sugono: 2008). Dalam mengatur kehidupan dunia kerja baik kerja
maupun sosial pegawai perlu hidup disiplin. Hidup disiplin tidak berarti harus
hidup seperti pola militer di barak militier namun hidup disiplin bagi pegawai
adalah dapat mengatur dan mengelola waktu yang ada untuk dipergunakan
dengan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan tugas baik dalam lingkup kerja
maupun sosial dunia kerja.

Manfaat dari hidup yang disiplin adalah pegawai dapat mencapai tujuan
hidupnya dengan waktu yang lebih efisien. Disiplin juga membuat orang lain
percaya dalam mengelola suatu kepercayaan. Nilai kedisiplinan dapat

216
diwujudkan antara lain dalam bentuk kemampuan mengatur waktu dengan baik,
kepatuhan pada seluruh peraturan dan ketentuan yang berlaku di dunia kerja,
mengerjakan segala sesuatunya tepat waktu, dan fokus pada pekerjaan.

e. Tanggung Jawab
Menurut Sugono definisi kata tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan dan diperkarakan) (Sugono: 2008).
Pegawai adalah sebuah status yang ada pada diri seseorang yang telah lulus
dari penkerjaan terakhirnya yang melanjutkan pekerjaan dalam sebuah
lembaga yang bernama organisasi. Pegawai yang memiliki rasa tanggung
jawab akan memiliki kecenderungan menyelesaikan tugas lebih baik dibanding
pegawai yang tidak memiliki rasa tanggung jawab. Pegawai yang memiliki rasa
tanggung jawab akan mengerjakan tugas dengan sepenuh hati karena berpikir
bahwa jika suatu tugas tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat merusak
citra namanya di depan orang lain. Pegawai yang dapat diberikan tanggung
jawab yang kecil dan berhasil melaksanakannya dengan baik berhak untuk
mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar lagi sebagai hasil dari
kepercayaan orang lain terhadap pegawai tersebut. Pegawai yang memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi mudah untuk dipercaya orang lain dalam
masyarakat misalkan dalam memimpin suatu kepanitiaan yang diadakan di
dunia kerja.

Tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah perbuatan yang
salah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab tersebut
berupa perwujudan kesadaran akan kewajiban menerina dan menyelesaikan
semua masalah yang telah di lakukan. Tanggung jawab juga merupakan suatu
pengabdian dan pengorbanan.

f. Kerja keras
Bekerja keras didasari dengan adanya kemauan. Kata ”kemauan” menimbulkan
asosiasi dengan ketekadan, ketekunan, daya tahan, tujuan jelas, daya kerja,
pendirian, pengendalian diri, keberanian, ketabahan, keteguhan, tenaga,
kekuatan, kelaki-lakian dan pantang mundur. Adalah penting sekali bahwa
kemauan pegawai harus berkembang ke taraf yang lebih tinggi karena harus
menguasai diri sepenuhnya lebih dulu untuk bisa menguasai orang lain. Setiap
kali seseorang penuh dengan harapan dan percaya, maka akan menjadi lebih

217
kuat dalam melaksanakan pekerjaannya. Jika interaksi antara individu pegawai
dapat dicapai bersama dengan usaha kerja keras maka hasil yang akan dicapai
akan semakin optimum.
Bekerja keras merupakan hal yang penting guna tercapainya hasil yang sesuai
dengan target. Akan tetapi bekerja keras akan menjadi tidak berguna jika tanpa
adanya pengetahuan. Di dalam dunia kerja, para pegawai diperlengkapi
dengan berbagai ilmu pengetahuan.

g. Sederhana
Gaya hidup pegawai merupakan hal yang penting dalam interaksi dengan
masyarakat di sekitarnya. Gaya hidup sederhana sebaiknya perlu
dikembangkan sejak pegawai me-ngenyam masa penkerjaannya. Dengan gaya
hidup sederhana, setiap pegawai dibiasakan untuk tidak hidup boros, hidup
sesuai dengan kemampuannya dan dapat memenuhi semua kebutuhannya.
Kerap kali kebutuhan diidentikkan dengan keinginan semata, padahal tidak
selalu kebutuhan sesuai dengan keinginan dan sebaliknya.
Dengan menerapkan prinsip hidup sederhana, pegawai dibina untuk
memprioritaskan kebutuhan di atas keinginannya. Prinsip hidup sederhana ini
merupakan parameter penting dalam menjalin hubungan antara sesama
pegawai karena prinsip ini akan mengatasi permasalahan kesenjangan sosial,
iri, dengki, tamak, egois, dan yang sikap-sikap negatif lainnya lainnya. Prinsip
hidup sederhana juga menghindari seseorang dari keinginan yang berlebihan.
h. Keberanian
Jika kita temui di dalam dunia kerja, ada banyak pegawai yang sedang
mengalami kesulitan dan kekecewaan. Meskipun demikian, untuk
menumbuhkan sikap keberanian demi mempertahankan pendirian dan
keyakinan pegawai, terutama sekali pegawai harus mempertimbangkan
berbagai masalah dengan sebaik-baiknya.
Nilai keberanian dapat dikembangkan oleh pegawai dalam kehidupan di dunia
kerja dan di luar dunia kerja. Antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk berani
mengatakan dan membela kebenaran, berani mengakui kesalahan, berani
bertanggung jawab, dan lain sebagainya
Prinsip akuntabilitas dapat mulai diterapkan oleh pegawai dalam kehidupan
sehari-hari sebagai pegawai Misalnya program-program kegiatan arus dibuat
dengan mengindahkan aturan yang berlaku di dunia kerja dan dijalankan sesuai
dengan aturan.

218
i. Keadilan
Berdasarkan arti katanya, adil adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak. Bagi pegawai karakter adil ini perlu sekali dibina agar pegawai dapat
belajar mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara adil dan benar.

2. Prinsip-Prinsip Anti Korupsi


Setelah memahami nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk mencegah faktor internal
terjadinya korupsi, berikut akan dibahas prinsip-prinsip Anti-korupsi yang meliputi
akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan, untuk
mencegah faktor eksternal penyebab korupsi.
Ada 5 (lima) prinsip anti korupsi seperti diilustrasikan pada bagan di bawah ini

a. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua
lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam
bentuk konvensi (de facto) maupun konstitusi (de jure), baik pada level budaya
(individu dengan individu) maupun pada level lembaga (Bappenas: 2002).
Lembaga-lembaga tersebut berperan dalam sektor bisnis, masyarakat, publik,
maupun interaksi antara ketiga sektor.

Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk
mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan cara memberikan
kewajiban untuk dapat memberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah
otoritas eksternal (Dubnik: 2005). Selain itu akuntabilitas publik dalam arti yang
paling fundamental merujuk kepada kemampuan menjawab kepada seseorang
terkait dengan kinerja yang diharapkan (Pierre: 2007). Seseorang yang diberikan
jawaban ini haruslah seseorang yang memiliki legitimasi untuk melakukan
pengawasan dan mengharapkan kinerja (Prasojo: 2005).

219
Akuntabilitas publik memiliki pola-pola tertentu dalam mekanismenya, antara lain
adalah akuntabilitas program, akuntabilitas proses, akuntabilitas keuangan,
akuntabilitas outcome, akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik (Puslitbang,
2001). Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban
atas semua kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja administrasi, proses
pelaksanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh masyarakat baik secara
langsung maupun manfaat jangka panjang dari sebuah kegiatan.

b. Transparansi
Adalah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi. Prinsip
transparansi ini penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi
dan mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga
segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik (Prasojo: 2007).

Selain itu transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses
dinamika struktural kelembagaan. Dalam bentuk yang paling sederhana,
transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung
tinggi kepercayaan (trust) karena kepercayaan, keterbukaan, dan kejujuran ini
merupakan modal awal yang sangat berharga bagi para pegawai untuk dapat
melanjutkan tugas dan tanggungjawabnya pada masa kini dan masa mendatang
(Kurniawan: 2010).
Dalam prosesnya, transparansi dibagi menjadi lima yaitu:
1) proses penganggaran,
Proses penganggaran bersifat bottom up, mulai dari perencanaan,
implementasi, laporan pertanggung-jawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap
kinerja anggaran.
2) proses penyusunan kegiatan,
Proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait dengan proses
pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan) dan
alokasi anggaran (anggaran belanja).
3) proses pembahasan,
Proses pembahasan membahas tentang pembuatan rancangan peraturan yang
berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan) dana, mekanisme
pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan
finansial dan pertanggungjawaban secara teknis.
4) proses pengawasan,

220
Proses pengawasan dalam pelaksanaan program dan proyek pembangunan
berkaitan dengan kepentingan publik dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-
proyek yang diusulkan oleh masyarakat sendiri. Proses lainnya yang penting
adalah proses evaluasi.
5) proses evaluasi.
Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek dijalankan secara
terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga
secara teknis dan fisik dari setiap out put kerja-kerja pembangunan.
Hal-hal tersebut merupakan panduan bagi pegawai untuk dapat melaksanakan
kegiatannya agar lebih baik.
Setelah pembahasan prinsip ini, pegawai sebagai individu dan juga bagian dari
masyarakat/ organisasi/ institusi diharapkan dapat mengimplementasikan prinsip
transparansi di dalam kehidupan keseharian pegawai.
c. Kewajaran
Prinsip anti korupsi lainnya adalah prinsip kewajaran. Prinsip fairness atau
kewajaran ini ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran)
dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya.
Sifat-sifat prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu komprehensif dan
disiplin, fleksibilitas, terprediksi, kejujuran, dan informatif.
Komprehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek,
berkesinam-bungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran dan tidak
melampaui batas (off budget), sedangkan fleksibilitas artinya adalah adanya
kebijakan tertentu untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Terprediksi berarti
adanya ketetapan dalam perencanaan atas dasar asas value for money untuk
menghindari defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi
merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness.
Prinsip kewajaran dapat mulai diterapkan oleh pegawai dalam kehidupan di dunia
kerja. Misalnya, dalam penyusunan anggaran program kegiatan kepegawaian harus
dilakukan secara wajar. Demikian pula dalam menyusun Laporan pertanggung-
jawaban, harus disusun dengan penuh tanggung-jawab.

d. Kebijakan
Prinsip anti korupsi yang keempat adalah prinsip kebijakan. Pembahasan mengenai
prinsip ini ditujukan agar pegawai dapat mengetahui dan memahami kebijakan anti
korupsi. Kebijakan ini berperan untuk mengatur tata interaksi agar tidak terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti
korupsi ini tidak selalu identik dengan undang-undang anti-korupsi, namun bisa

221
berupa undang-undang kebebasan mengakses informasi, undang-undang
desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun lainnya yang dapat
memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap kinerja dan
penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara.
Aspek-aspek kebijakan terdiri dari isi kebijakan, pembuat kebijakan, pelaksana
kebijakan, kultur kebijakan. Kebijakan anti-korupsi akan efektif apabila di dalamnya
terkandung unsur-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi
kebijakan tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya.
Kebijakan yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh aktor-aktor
penegak kebijakan yaitu keKemenkesan, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan
lembaga pemasyarakatan.
Eksistensi sebuah kebijakan tersebut terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap,
persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hukum atau undang-undang anti
korupsi. Lebih jauh lagi, kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

e. Kontrol Kebijakan
Prinsip terakhir anti korupsi adalah kontrol kebijakan. Kontrol kebijakan merupakan
upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi semua
bentuk korupsi. Pada prinsip ini, akan dibahas mengenai lembaga-lembaga
pengawasan di Indonesia, self-evaluating organization, reformasi sistem
pengawasan di Indonesia, problematika pengawasan di Indonesia.
Bentuk kontrol kebijakan berupa partisipasi, evolusi dan reformasi. Kontrol kebijakan
berupa partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap kebijakan dengan ikut serta
dalam penyusunan dan pelaksanaannya dan kontrol kebijakan berupa oposisi.

C. CIRI-CIRI KORUPSI
Seperti apa ciri-ciri korupsi?
Ada 6 ciri korupsi adalah sebagai berikut:
1. dilakukan oleh lebih dari satu orang;
2. merahasiakan motif; ada keuntungan yang ingin diraih;
3. berhubungan dengan kekuasaan/ kewenangan tertentu;
4. berlindung di balik pembenaran hukum;
5. melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum
6. mengkhianati kepercayaan

222
Screen Shoot 2. Tanda-tanda Korupsi

D. BENTUK JENIS KORUPSI

Anda perlu tahu jenis atau bentuk korupsi


Berikut ini adalah berbagai bentuk korupsi yang diambil dari Buku Saku yang dikeluarkan
oleh KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK: 2006)

Screen Shoot 3. Pendidikan Anti Korupsi (BENTUK KORUPSI)

Tabel 1. Bentuk / Jenis Korupsi

223
No Bentuk Korupsi Perbuatan Korupsi

1 Kerugian Keuangan Negara

 Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi;

 Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.

2 Suap Menyuap

 Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara
dengan maksud supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;

 Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;

 Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah/janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;

3 Penggelapan dalam Jabatan

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan disimpan karena
jabatannya, atau uang/ surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan adminstrasi;

 Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau
daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jaba-tannya;

224
Tabel 2. Bentuk / Jenis Korupsi (Lanjutan)

4 Pemerasan

 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
 Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta
atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bu-kan merupakan utang;

5 Perbuatan Curang

 Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang;
 Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang;

6 Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan

Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

7 Gratifikasi

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

E. TINGKATAN KORUPSI
Ada 3 (tiga) tingkatan korupsi seperti uraian di bawah ini

Screen Shoot 4. Tiga Tingkatan Korupsi

225
1. Materi Benefit
Penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan material baik bagi
dirinya sendiri maupun orang kain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat
paling membahayakan karena melibatkan kekuasaan dan keuntungan material.
Ini merupakan bentuk korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia
2. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
Abuse of power merupakan korupsi tingkat menengah
Merupakan segala bentuk penyimpangan yang dilakukan melalui struktur
kekuasaan, baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural
lainnya termasuk lembaga pendidikan tanpa mendapatkan keuntungan materi.
3. Pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust)
 Pengkhianatan merupakan korupsi paling sederhana
 Orang yang berkhianat atau mengkhianati kepercayaan atau amanat yang
diterimanya adalah koruptor.
 Amanat dapat berupa apapun, baik materi maupun non materi
 Anggota DPR yang tidak menyampaikan aspirasi rakyat atau memanfaatkan
jabatan untuk kepentingan pribadi merupakan bentuk korupsi

F. FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Screen Shoot 5. Dua Faktor Penyebab Korupsi

Agar dapat dilakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi maka perlu diketahui faktor
penyebab korupsi. Secara umum ada dua penyebab korupsi yaitu faktor internal dan faktor
eksternal.

226
Berikut adalah faktor-faktor penyebab korupsi:
1. Penegakan hukum tidak konsisten: penegakan hukum hanya sebagai make-up
politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan/ wewenang, takut dianggap bodoh kalau tidak
menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup: sistem dan pedoman antikorupsi hanya
dilakukan sebatas formalitas.
4. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan yang diperoleh
harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong
penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi
masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan: masyarakat kurang mampu melakukan korupsi
karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan
korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan keuntungan.
6. Budaya memberi upeti, imbalan jasa, dan hadiah.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi: saat
tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya
diringankan hukumannya.
8. Budaya permisif/ serba membolehkan; tidak mau tahu: menganggap biasa bila
ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya
sendiri terlindungi
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi
beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: aspek individu pelaku korupsi, aspek organisasi,
aspek masyarakat tempat individu, dan korupsi yang disebabkan oleh sistem yang buruk

a. Aspek Individu Pelaku Korupsi

Korupsi yang disebabkan oleh individu, yaitu sifat tamak, moral kurang kuat
menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang
wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau
bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.

Aspek-aspek individu tersebut perlu mendapatkan perhatian bersama. Sangatlah


ironis, bangsa kita yang mengakui dan memberikan ruang yang leluasa untuk
menjalankan ibadat menurut agamanya masing-masing, ternyata tidak banyak
membawa implikasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Demikian pula dengan hidup konsumtif dan sikap malas. Perilaku konsumtif tidak
saja mendorong untuk melakukan tindakan kurupsi, tetapi menggambarkan

227
rendahnya sikap solidaritas sosial, karena terdapat pemandangan yang kontradiktif
antara gaya hidup mewah di satu sisi dan kondisi kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pokok bagi masyarakat miskin pada sisi lainnya.

b. Aspek Organisasi

Pada aspek organisasi, korupsi terjadi karena kurang adanya keteladanan dari
pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di
pemerintah kurang memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, serta
manajemen yang lebih mengutamakan hirarki kekuasaan dan jabatan cenderung
akan menutupi korupsi yang terjadi di dalam organisasi.

Hal tersebut ditandai dengan adanya resistensi atau penolakan secara kelembagaan
terhadap setiap upaya pemberantasan korupsi. Manajemen yang demikian, menutup
rapat bagi siapa pun untuk membuka praktik korkupsi kepada publik.

c. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada


Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada juga turut menentukan,
yaitu nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan
korupsi.
Masyarakat seringkali tidak menyadari bahwa akibat tindakannya atau kebiasaan dalam
organisasinya secara langsung maupun tidak langsung telah menanamkan dan
menumbuhkan perilaku koruptif pada dirinya, organisasi bahkan orang lain.

Secara sistematis lambat laun perilaku sosial yang koruptif akan berkembang
menjadi budaya korupsi sehingga masyarakat terbiasa hidup dalam kondisi
ketidaknyamanan dan kurang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

d. Korupsi yang Disebabkan oleh Sistem yang Buruk


Sebab-sebab terjadinya korupsi menggambarkan bahwa perbuatan korupsi tidak
saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku
pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang
kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi.
Sedangkan perilaku korupsi, sebagaimana yang umum telah diketahui adalah
korupsi banyak dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tetapi korupsi dalam
artian memberi suap, juga banyak dilakukan oleh pengusaha dan kaum
profesional bahkan termasuk Advokat.

228
Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik
ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh
penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi
negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas
kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa
dan bahkan ancaman akan terjadinya lost generation bagi Indonesia.
Dalam kaitannya dengan korupsi oleh lembaga birokrasi pemerintah, beberapa
faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah menyangkut manajemen Sumber
Daya Manusia (SDM) dan penggajian pegawai yang ditandai dengan kurangnya
penghasilan, sistem penilaian prestasi kerja yang tidak dievaluasi, serta tidak
terkaitnya antara prestasi kerja dengan penghasilan.
Korupsi yang disebabkan oleh sistem yang koruptif inilah yang pada akhirnya akan
menghambat tercapainya clean and good governance. Jika kita ingin mencapai
pada tujuan clean and good governance, maka perlu dilakukan reformasi birokrasi
yang terkait dengan pembenahan sistem birokrasi tersebut.

Jika awalnya kepentingan bertahan hidup menjadi motif seseorang atau


sejumlah orang melakukan tindak pidana korupsi, pada tahap berikutnya korupsi
dimotivasi oleh bangunan sistem, yang hanya bisa terjadi karena dukungan
kerjasama antar sejumlah pelaku korkupsi, pada berbagai birokrasi sebagai
bentuk korupsi berjamaah.

Pokok Bahasan 2.Dampak Perilaku Dan Tindak Pidana Korupsi

Kehidupan telah diciptakan dengan penuh harmoni, semua berjalan dengan orbitnya, ketika
sesuatu mengalami penyimpangan maka terjadi kerusakan dimuka bumi. Penanganan
korupsi perlu diselesaikan secara komprehensif, karena korupsi adalah masalah kehidupan.
Dampak dan bahayanya bisa ber pengaruh secara jangka panjang. Perbuatan korupsi
memberikan dampak antara lain:
1. Negara korup harus membayar biaya hutang yang lebih besar.
2. Harga infrastuktur lebih tinggi
3. Tingkat korupsi yang tinggi meningkkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
4. Korupsi menurunkan investasi
5. Persepsi korupsi memiliki dampak yang kuat dan negatif terhadap arus investasi asing.
6. Negara-negara yang dianggap memiliki tingkat korupsi yang relatif rendah selalu menarik
investasi lebih banyak dari negara rentan korupsi.
7. Niat, Semangat dan Komitmen Anti Korupsi+

229
Kesadaran Anti Korupsi Anda yang telah mencapai puncak tertinggi akan menyentuh
spiritual accountability Anda, apalagi ketika menyadari bahwa dampak korupsi itu tidak
sekedar kerugian keuangan negara, namun ada kaitannya dengan kerusakan kehidupan.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia dengan keyakinan akan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka kehidupan akan disadari sebagai 3 episode utama, sebelum kehidupan
dunia, kehidupan dunia sendiri dan kehidupan paska dunia. Penyimpangan secara sosial
terjadi ketika manusia menyimpang atau lupa pada perjanjian mereka dengan Tuhannya,
pada saat di alam roh (Primordial Covenant).

Pokok Bahasan 3.Cara Membangun Niat, Semangat Dan Komitmen Melakukan


Pemberantasan Anti Korupsi

A. Pengertian Spiritual
Spiritualitas adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta,
tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.
Menurut Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi aspek-aspek:
1. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidak pastian dalam
kehidupan,
2. Menemukan arti dan tujuan hidup,
3. Menyadari kemempuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,
4. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi.
5. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayaai atau mempunyai
komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua
pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga
keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dll. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang
mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang
keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).

Definisi Spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman


hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu
perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri sendiri),
interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan tranpersonal
(hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan Ketuhanan yang
merupakan kekuatan tertinggi).

230
Adapun unsur-unsur spiritualitas meliputi kesehatan spiritual, kebutuhan spiritual, dan
kesadaran spiritual. Dimensi spiritual merupakan suatu penggabungan yang menjadi satu
kesatuan antara unsur psikologikal, atau fisik, sosiologikal dan spiritual.

Pengertian Spirutual accountability adalah kualitas hubungan manusia dengan Tuhannya


membentuk manusia yg taat pada aturan Tuhannya, ikhlas dalam menjalani hidup dan
menyerahkan hasil atas usaha maksimalnya kepada Tuhan.

NIAT, SEMANGAT,
KOMITMEN ANTI KORUPSI

Bab 2 Hal.2 KPK Prima

Visi &
Spiritual Niat Usaha Hasil
Misi
Accountability Baik
Baik
Terbaik Terbaik

Spiritual Accountability : Kualitas hubungan manusia dengan Tuhannya membentuk


manusia yang taat pada aturan Tuhannya, Ikhlas dalam menjalani hidup dan
menyerahkan hasil atas usaha maksimalnya kepada Tuhan

Spiritual Accountability yang baik akan menghasilkan niat baik, yang akan menghasilkan
visi dan misi yang baik, selanjutnya akan diterjemahkan dalam usaha yang terbaik untuk
mendapatkan hasil terbaik.
Hubungan konsekuensi tersebut idealnya dapat menjamin bahwa pemilik spiritual
accountability yang baik akan mendorong public accountability yang baik pula, dan
tentunya tidak akan tergerak dan mempunyai niat sedikitpun untuk membuat kerusakan
termasuk didalamnya adalah melakukan korupsi, sebaliknya justru akan mempunyai niat
yang sangat kuat untuk menghindari korupsi.

B. Pengertian Niat
Kata Niat dalam bahasa Arab berarti mengingini sesuatu dan bertekad hati untuk
mendapatkannya.
Dengan kata lain niat berarti kehendak atau yakinnya hati untuk melakukan sesuatu dan
kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa keraguan.

231
Niat anti korupsi semakin kuat bagi mereka yang ingat pada Tuhannya, ia tidak ingin
urusan dunia merusak perjanjian dengan Tuhannya dan akan menjadi beban bagi
kehidupan setelah dunia.
Saat ini juga, niat anda untuk anti korupsi dan berusaha membangun integritas diri,
keluarga, organisasi masyarakat dan bangsa semakin menguat dan berubah menjadi
energi yang selalu menyemangatidan membuat komitmen untuk bergerak memberantas
korupsi.

Pokok Bahasan 4.Cara Melakukan Perubahan Dan Langkah Perbaikan

Korupsi masih terjadi secara masif dan sistematis. Praktiknya bisa berlangsung dimanapun,
di lembaga negara, lembaga privat, hingga di kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi seperti
itu, maka pencegahan menjadi layak didudukkan sebagai strategi perdananya.

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan pengertian korupsi, faktor-faktor penyebab korupsi,
nilai-nilai yang perlu dikembangkan untuk mencegah seseorang melakukan korupsi atau
perbuatan-perbuatan koruptif dan prinsip-prinsip upaya pemberantasan korupsi.

Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah
menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi.

Dengan demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban
yang paling tepat untuk memberantas korupsi.Merupakan sebuah realita bahwa kita sudah
memiliki berbagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-
undangan. Kita memiliki lembaga serta aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan
peraturan tersebut baik keKemenkesan, kejaksaan, dan pengadilan. Kita bahkan memiliki
sebuah lembaga independen yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
kesemuanya dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi.

Namun apa yang terjadi?


Korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat. Sedihnya lagi, dalam realita
ternyata lembaga dan aparat yang telah ditunjuk tersebut dalam beberapa kasus justru ikut
menumbuhsuburkan korupsi yang terjadi di Indonesia.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bekal penkerjaan (termasuk Pekerjaan Agama)
memegang peranan yang sangat penting untuk mencegah korupsi. Benarkah demikian?
Yang cukup mengejutkan, negara-negara yang tingkat korupsinya cenderung tinggi, justru
adalah negara-negara yang masyarakatnya dapat dikatakan cukup taat beragama.

232
Ada yang mengatakan bahwa untuk memberantas korupsi, sistem dan lembaga
pemerintahan serta lembaga-lembaga negara harus direformasi.

Apa saja yang harus direformasi?


Reformasi ini meliputi reformasi terhadap:
 sistem
 kelembagaan maupun pejabat publiknya
 ruang untuk korupi harus diperkecil
 transparansi dan akuntabilitas serta
 akses untuk mempertanyakan apa yang dilakukan pejabat publik harus ditingkatkan

Pada bagian atau bab ini, akan dipaparkan berbagai upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi yang dapat dan telah dipraktikkan di berbagai negara. Ada beberapa bahan menarik
yang dapat didiskusikan dan digali bersama untuk melihat upaya yang dapat kita lakukan
untuk memberantas korupsi.

A. Upaya Pencegahan Korupsi

Berikut akan dipaparkan berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas
korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program
Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit
(UNODC: 2004).

1. Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi


Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang
independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara di-
dirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman.

Peran lembaga ombudsmayang kemudian bn erkembang pula di negara lain, antara


lain menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang
dilakukan oleh Lembaga Pemerintah dan pegawainya. Selain itu lembaga ini juga
mem-berikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat serta mengembangkan
standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah maupun lembaga
hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah
mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka
untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah
(UNODC: 2004).

233
Bagaimana dengan Indonesia?
Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas
korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan.

Apa saja yang sudah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk
mencegah dan memberantas korupsi? Adakah yang masih harus diperbaiki dari kinerja
KPK yang merupakan lembaga independen anti-korupsi yang ada di Indonesia?

Ada beberapa negara yang tidak memiliki lembaga khusus yang memiliki kewenangan
seperti KPK Namun tingkat korupsi di negara-negara tersebut sangat rendah.
Mengapa?

Salah satu jawabannya adalah lembaga peradilannya telah berfungsi dengan baik dan
aparat penegak hukumnya bekerja dengan penuh integritas.

Bagaimana dengan Indonesia?


Tingkat keKemenkesan, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak
memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena
kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak
mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi.

Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan.
Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki
keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru
terlibat dalam berbagai perkara korupsi.

Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal


harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini sama sekali „tidak punya
gigi‟ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.

Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk
mencegah korupsi.

Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak
pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk menghindari praktik
suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara
resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti

234
mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB), dsb.

Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi risiko korupsi adalah dengan
memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah
diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan
demikian korupsi besar-besaran umumnya terjadi di Ibukota negara atau di Jakarta.
Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak
terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu
kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau
diawasi terbukti melakukan korupsi.

Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang


menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result
oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja
pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang
sifatnya positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya
dapat memacu kinerja pegawai negeri.

2. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu upaya pencegahan korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk
mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus
dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala
informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat
hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk
membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan.

Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai


kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.

Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian.

3. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik

Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik
untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum
maupun sesudah menjabat.

235
Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah
kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah
selesai menjabat.

Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah
maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan
melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas
atau akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau
penawaran tersebut.

Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi
masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini yang sangat penting dari
upaya memberantas korupsi.

Salah satu cara untuk meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan
kampanye tentang bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai
apa itu korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.
Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa (baik cetak
maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi.

Spanduk dan poster yang berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi „harus‟
dipasang di kantor-kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya
korupsi bahkan memasukkan materi budaya anti korupsi menjadi bagian dari
pembelajaran pada pelatihan bagi aparatur sipil negara.

Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk
melaporkan kasus korupsi.

Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana masyarakat dapat dengan mudah


dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Mekanisme
tersebut harus dipermudah atau disederhanakan misalnya via telepon, surat atau
telekgram

Di beberapa negara, pasal mengenai „fitnah‟ dan “pencemaran nama baik” tidak
dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran
bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan individu.

Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi
yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Media

236
memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat
publik.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau internasional
juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka
adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat
diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru yang bergerak di bidang Anti-
Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers yang bebas, LSM memiliki fungsi
untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.

Mengacu pada berbagai aspek yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi
sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, dapat dikatakan bahwa
penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri pribadi atau
individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem. Upaya
pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau
setidaknya mengurangi, kedua faktor penyebab korupsi tersebut.

Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam
dalam diri setiap individu. Nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi
kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
keberanian, dan keadilan.

Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat
mengatasi faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk mencegah terjadinya
faktor eksternal, selain memiliki nilai-nilai anti korupsi, setiap individu perlu
memahami dengan mendalam prinsip-prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas,
transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/
institusi/ masyarakat. Oleh karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai
anti korupsi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

B. Upaya Pemberantasan Korupsi


Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi
timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang menyatakan bahwa
korupsi ibarat penyakit „kanker ganas‟ yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia
menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini
menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit
untuk diberantas. Perlu dipahami bahwa dimanapun dan sampai pada tingkatan
tertentu, korupsi memang akan selalu ada dalam suatu negara atau masyarakat.

237
Dalam pemberantasan korupsi sangat penting untuk menghubungkan strategi atau
upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang
terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi. Tidak ada jawaban,
konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi.

Upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan
pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian
bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang
paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian?

Untuk memberantas korupsi tidak dapat hanya mengandalkan hukum (pidana) saja
dalam memberantas korupsi.

Padahal beberapa kalangan mengatakan bahwa cara untuk memberantas korupsi


yang paling ampuh adalah dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya
kepada pelaku korupsi. Kepada pelaku yang terbukti telah melakukan korupsi
memang tetap harus dihukum (diberi pidana), namun berbagai upaya lain harus
tetap terus dikembangkan baik untuk mencegah korupsi maupun untuk
menghukum pelakunya.

Adakah gunanya berbagai macam peraturan perundang-undangan, lembaga serta


sistem yang dibangun untuk menghukum pelaku korupsi bila hasilnya tidak ada?.
Jawabannya adalah: jangan hanya mengandalkan satu cara, satu sarana atau satu
strategi saja yakni dengan menggunakan sarana penal, karena ia tidak akan mempan
dan tidak dapat bekerja secara efektif. Belum lagi kalau kita lihat bahwa ternyata
lembaga serta aparat yang seharusnya memberantas korupsi justru ikut bermain dan
menjadi aktor yang ikut menumbuhsuburkan praktik korupsi.

C. Strategi Komunikasi Pemberantasan Korupsi (PK)


1. Adanyan regulasi
Kepmenkes No: 232 Menkes/SK/VI/2013, Tentang Strategi Komunikasi
Pemberantasan Budaya Anti Korupsi Kementerian Kesehatan Tahun 2013
 Penyusunan dan sosialisasai Buku panduan Penggunaan fasilitas kantor.
 Penyusunan dan sosialisasi Buku Panduan Memahami Gratifikasi.
 Workshop/pertemuan peningkatan pemahaman tentang antikorupsi dengan topik
tentang gaya hidup PNS, kesederhanaan, perencanaan keuangan keluarga sesuai
dengan kemampuan lokus.
 Penyebarluasan nilai-nilai anti korupsi (disiplin dan tanggung jawab) berkaitan
dengan kebutuhan pribadi dan persepsi gratifikasi.
 Penyebarluasan informasi tentang peran penting dann manfaat whistle blower dan
justice collaborator.

238
2. Perbaikan sistem
 Memperbaiki peraturan perundangan yang berlaku, untuk mengantisipasi
perkembangan korupsi dan menutup celah hukum atau pasal-pasal karet yang
sering digunakan koruptor melepaskan diri dari jerat hukum.
 Memperbaiki cara kerja pemerintahan (birokrasi) menjadi simpel dan efisien.
Menciptakan lingkungan kerja yang anti korupsi. Reformasi birokrasi.
 Memisahkan secara tegas kepemilikan negara dan kepemilikan pribadi,
memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan fasilitas negara untuk
kepentingan umum dan penggunaannya untuk kepentingan pribadi.
 Menegakkan etika profesi dan tata tertib lembaga dengan pemberian sanksi
secara tegas.
 Penerapan prinsip-prinsip Good Governance.
 Mengoptimalkan pemanfaatan teknologi, memperkecil terjadinya human error.

3. Perbaikan manusianya
KPK terus berusaha melakukan pencegahan korupsi sejak dini. Berdasarkan studi
yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ada peran penting keluarga dalam
menanamkan nilai anti korupsi.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa ada peran penting
keluarga dalam proses pencegahan korupsi. Keluarga batih menjadi pihak pertama
yang bisa menanamkan nilai anti korupsi saat anak dalam proses pertumbuhan.
"Keluarga batih itu adalah pihak pertama yang bisa menanamkan nilai anti korupsi ke
anak. Seiring anak tumbuh, nilai anti korupsi itu semakin mantap.

KPK menekankan pencegahan korupsi sejak dini. Sebabnya, ketika seseorang sudah
beranjak dewasa dan memiliki pemahaman sendiri, penanaman nilai anti korupsi
akan susah ditanamkan. Ketika orang sudah dewasa, apalagi dia adalah orang yang
pandai dan cerdas, sangat susah menanamkan nilai anti korupsi karena mereka
sudah punya pemahaman sendiri.
 Memperbaiki moral manusia sebagai umat beriman. Mengoptimalkan peran
agama dalam memberantas korupsi. Artinya pemuka agama berusaha
mempererat ikatan emosional antara agama dengan umatnya dan menyatakan
dengan tegas bahwa korupsi adalah perbuatan tercela, mengajak masyarakat
untuk menjauhkan diri dari segala bentuk korupsi, mendewasakan iman dan
menumbuhkan keberanian masyarakat untuk melawan korupsi.

239
 Memperbaiki moral sebagai suatu bangsa. Pengalihan loyalitas (kesetiaan) dari
keluarga/klan/suku kepada bangsa. Menolak korupsi karena secara moral salah
(Klitgaard, 2001). Morele herbewapening, yaitu mempersenjatai/ memberdayakan
kembali moral bangsa (Frans Seda, 2003).
 Meningkatkan kesadaran hukum, dengan sosialisasi dan penkerjaan anti korupsi.
 Mengentaskan kemiskinan. Meningkatkan kesejahteraan.
 Memilih pemimpin yang bersih, jujur dan anti korupsi, pemimpin yang memiliki
kepedulian dan cepat tanggap, pemimpin yang bisa menjadi teladan.

Bagaimana cara penanggulangan korupsi?


Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat preventif dan represif. Pencegahan
(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos
kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara
atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji),
menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam
memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol,
adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,dan pendidikan dapat menjadi instrumen
penting bila dilakukan dengan tepat bagi upaya pencegahan tumbuh dan
berkembangnya korupsi.

Sementara itu untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat
perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek individu
penegak hukum menjadi dominan, dalam perspektif ini pendidikan juga akan
berperan penting di dalamnya.

Pokok Bahasan 4.Tatacara Pelaporan Dugaan Pelanggaran Tindak Pidana Korupsi

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari dilingkup perusahaan mungkin kita melihat ada
beberapa “oknum” pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi namun kita binggung
bagaimana cara melaporkan kasus tersebut.

Pengertian laporan/pengaduan dapat kita temukan didalam Pasal 1 angka 24 dan 25 UU No.
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

240
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang
atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.(Pasal 1 angka 24 KUHAP)

Sedangkan yang dimaksud dengan pengaduan:

Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan


kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.(Pasal 1 angka 25 KUHAP).

A. Laporan

Dari pengertian di atas, laporan merupakan suatu bentuk pemberitahuan kepada


pejabat yang berwenang bahwa telah ada atau sedang atau diduga akan terjadinya
sebuah peristiwa pidana/kejahatan. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu
perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang
berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana atau bukan. Kita sebagai orang yang melihat suatu tidak kejahatan memiliki
kewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut.

Selanjutnya, di mana kita melapor? Dalam hal jika Anda ingin melaporkan suatu tindak
pidana korupsi yang terjadi di lingkungan kementerian Kesehatan, saat ini kementerian
Kesehatan melalui Inspektorat jenderal sudah mempunyai mekanisme pengaduan
tindak pidana korupsi.
Mekanisme pelaporan:
1. Tim Dumasdu pada unit Eselon 1 setiap bulan menyampaikan laporan penanganan
pengaduan masyarakat dalam bentuk surat kepada Sekretariat Tim Dumasdu.
Laporan tersebut minimal memuat informasi tentang nomor dan tanggal pengaduan,
isi ringkas pengaduan, posisi penanganan dan hasilnya penanganan.
2. Sekretariat Tim Dumasdu menyusun laporan triwulanan dan semesteran untuk
disampaikan kepada Menteri Kesehatan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi dan pihak-pihak terkait lainnya.

B. Penyelesaian Hasil Penanganan Pengaduan Masyarakat


Sekretariat Tim Dumasdu secara periodik melakukan monitoring dan evaluasi (monev)
terhadap hasil ADTT/Investigasi, berkoordinasi dengan Bagian Analisis Pelaporan dan
Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan (APTLHP). Pelaksanaan monev dan penyusunan
laporan hasil monevdilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
berlaku pada Inspektorat Jenderal.

241
Penyelesaian hasil penanganan dumas agar ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, berupa:
1. Tindakan administratif;
2. Tuntutan perbendaharaan dan ganti rugi;
3. Tindakan perbuatan pidana;
4. Tindakan pidana;
5. Perbaikan manajemen.

C. Pengaduan
Pengaduan yang dapat bersumber dari berbagai pihak dengan berbagai jenis
pengaduan, perlu diproses ke dalam suatu sistem yang memungkinkan adanya
penanganan dan solusi terbaik dan dapat memuaskan keinginan publik terhadap
akuntabilitas pemerintahan.Ruang lingkup materi dalam pengaduan adalah adanya
kepastian telah terjadi sebuah tindak pidana yang termasuk dalam delik aduan, dimana
tindakan seorang pengadu yang mengadukan permasalahan pidana delik aduan harus
segera ditindaklanjuti dengan sebuah tindakan hukum berupa serangkaian tindakan
penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Artinya dalam proses
penerimaan pengaduan dari masyarakat, seorang pejabat yang berwenang dalam hal ini
internal di Kementerian Kesehatan khususnya Inspektorat Jenderal, harus bisa
menentukan apakah sebuah peristiwa yang dilaporkan oleh seorang pengadu
merupakan sebuah tindak pidana delik aduan ataukah bukan.

D. Tatacara Penyampaian Pengaduan


Prosedur Penerimaan Laporan kepada Kemenkes adalah Berdasarkan Permenkes
Nomor 49 tahun 2012 tentang Pengaduan kasus korupsi, beberapa hal penting yang
perlu diketahui antaranya.
Pengaduan masyarakat di Lingkungan Kementerian Kesehatan dikelompokkan dalam:
1. Pengaduan masyarakat berkadar pengawasan; dan
2. Pengaduan masyarakat tidak berkadar pengawasan.

Pengaduan masyarakat berkadar pengawasan adalah: mengandung informasi atau


adanya indikasi terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh aparatur Kementerian Kesehatan sehingga mengakibatkan kerugian
masyarakat atau negara.

Pengaduan masyarakat tidak berkadar pengawasan merupakan pengaduan masyarakat


yang isinya mengandung informasi berupa sumbang saran, kritik yang konstruktif, dan
lain sebagainya, sehingga bermanfaat bagi perbaikan penyelenggaraan pemerintahan

242
dan pelayanan masyarakat. Masyarakat terdiri atas orang perorangan, organisasi
masyarakat, partai politik, institusi, kementerian/lembaga pemerintah, dan pemerintah
daerah.

Pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan dapat disampaikan


secara langsung melalui tatap muka, atau secara tertulis/surat, media elektronik, dan
media cetak kepada pimpinan atau pejabat Kerrienterian Kesehatan. Pengaduan
masyarakat berkadar pengawasan dapat disampaikan secara langsung oleh masyarakat
kepada Sekretariat Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.Pengaduan
masyarakat tidak berkadar pengawasan dapat disampaikan secara langsung oleh
masyarakat kepada sekretariat unit utama dilingkungan Kementerian Kesehatan.
Pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan harus ditanggapi dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak pengaduan diterima.

E. Tim Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di Lingkungan Kemenkes

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/ Per/ VIII/ 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Inspektorat Jenderal
mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian
Kesehatan, sehingga dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut perlu suatu pedoman
penanganan pengaduan masyarakat yang juga merupakan bentuk pengawasan. Selain
itu untuk penanganan pengaduan masyarakat secara terkoordinasi di lingkungan
Kementerian Kesehatan telah dibentuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 134/
Menkes/ SK/ III/ 2012 tentang Tim Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di
Lingkungan Kementerian Kesehatan (Tim Dumasdu) yang anggotanya para Kepala
bagian Hukormas yang ada pada masing-masing Unit Eselon I di Kementerian
Kesehatan.

Pengaduan masyarakat di lingkungan Kementerian Kesehatan ditangani oleh Tim


Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di Lingkungan Kementerian Kesehatan
yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan kewenangan masing-masing.

Penanganan pengaduan masyarakat terpadu di lingkungan Kementerian Kesehatan


harus dilakukan secara cepat, tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan Penanganan
pengaduan masyarakat meliputi pencatatan, penelaahan, penanganan lebih lanjut,
pelaporan, dan pengarsipan.

243
Penanganan lebih lanjut berupa tanggapan secara langsung melalui klarifikasi atau
memberi jawaban, dan penyaluran/ penerusan kepada unit terkait yang berwenang
menangani.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan pengaduan masyarakat tercantum dalam


Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat Terpadu di Lingkungan Kementerian
Kesehatan.

F. Pencatatan Pengaduan
Pada dasarnya pengaduan disampaikan secara tertulis. Walaupun peraturan yang ada
menyebutkan bahwa pengaduan dapat dilakukan secara lisan, tetapi untuk lebih
meningkatkan efektifitas tindak lanjut atas suatu perkara, maka pengaduan yang
diterima masyarakat hanya berupa pengaduan tertulis.

Pencatatan pengaduan masyarakat oleh Tim Dumasdu dilakukan sebagai berikut:


1. Pengaduan masyarakat (dumas) yang diterima oleh Tim Dumasdu pada Unit Eselon I
berasal dari organisasi masyarakat, partai politik, perorangan atau penerusan
pengaduan oleh Kementerian/ Lembaga/ Komisi Negara dalam bentuk surat, fax,
atau email, dicatat dalam agenda surat masuk secara manual atau menggunakan
aplikasi sesuai dengan prosedur pengadministrasian/ tata persuratan yang berlaku.
Pengaduan yang disampaikan secara lisan agar dituangkan ke dalam formulir yang
disediakan.
2. Pencatatan dumas tersebut sekurang-kurangnya memuat informasi tentang nomor
dan tanggal surat pengaduan, tanggal diterima, identitas pengadu, identitas terlapor,
dan inti pengaduan.
3. Pengaduan yang alamatnya jelas, segera dijawab secara tertulis dalam waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak surat pengaduan diterima, dengan tembusan
disampaikan kepada Sekretariat Tim Dumasdu pada Inspektorat Jenderal
Kementerian Kesehatan.

244
REFERANSI: Dasar Hukum Tentang Korupsi
Beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan korupsi adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/ MPR/ 1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
4. UU no. 28 Th. 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
5. UU no. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3874); sebagaimana telah diubah dengan UU no. 20 Th. 2001;

245
MATERI PENUNJANG 3

RENCANA TINDAK LANJUT

I. DESKRIPSI SINGKAT
Secara makro bahwa proses pembelajaran dikelas adalah langkah awal dalam
memperoleh kompetensi pengetahuan, sikap, perilaku dan psikomotor terkait dengan
substansi diklat, kemudian langkah berikutnya upaya menerapkan kompetensi tersebut
di tempat peserta latih bekerja. Seluruh kompetensi tidak akan bermanfaat bila tidak
diimplementasikan di tempat kerja.

Rencana tindak lanjut berupa rumusan rencana kegiatan terkait pelatihan harus
dirancang diakhir pembelajaran, sehingga peserta latih masih menyadari ada tugas
yang harus dikerjakan dengan kualitas yang lebih baik setelah bertugas kembali.

Dalam rencana tindak lanjut pelatihan TOT penanggulangan gangguan indera bagi
tenaga kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), diharapkan peserta
mampu melakukan penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan serta
gangguan pendengaran serta mampu menjadi pelatih dalam pelatihan penanggulangan
gangguan indera bagi tenaga kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP).

II. TUJUAN PEMBELAJARAN


A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu menyusun Rencana Tindak Lanjut
penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan serta gangguan pendengaran.

B. Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Memahami konsep rencana tindak lanjut (RTL)
2. Melaksanakan rencana tindak lanjut (RTL) kegiatan penanggulangan gangguan
penglihatan dan kebutaan serta gangguan pendengaran sesuai dengan
kesepakatan

III. POKOK BAHASAN


Pokok bahasan dari modul ini sebagai berikut:
1. Konsep rencana tindak lanjut
a. Pengertian, tujuan, ciri-ciri RTL

246
b. Ruang lingkup.
2. Langkah-langkah penyusunan RTL
a. RTL Fasilitator
b. RTL Petugas Puskesmas
 Pelaporan Pelaksanaan RTL Triwulanan

IV. BAHAN BELAJAR/ REFERENSI


- Modul Pelatihan penanggulangan gangguan indera bagi tenaga kesehatan di FKTP,
Kementerian Kesehatan 2016
- Petunjuk Teknis penanggulanagan gangguan penglihatan dan kebutaan
- Buku Petunjuk Teknis Penanggulangan ganggyuan pendengaran dan ketulian,
Kemenkes 2016
- Bahan presentasi
- Buku Pedoman Umum penanggulangan gangguan Indera, Kementerian Kesehatan,
2016

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini sebanyak 3 jam pelajaran (T=1 , P=1,
PL=0) @45 menit untuk memudahkan proses pembelajaran, dilakukan langkah-langkah
kegiatan pembelajaran sebagai berikut.

Langkah 1 Pengkondisian (5 menit)


Langkah pembelajaran:
5. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat. Apabila belum pernah
menyampaikan sesi di kelas, mulailah dengan perkenalan. Perkenalkan diri dengan
menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja dan judul materi yang akan
disampaikan.
6. Fasilitator menyampaikan judul materi, deskripsi singkat, tujuan pembelajaran umum
dan tujuan pembelajaran khusus, serta pokok bahasan.

Langkah 2 Penyampaian dan Pembahasan Pokok Bahasan dan Sub Pokok


Bahasan:
Penyampaian dan Pembahasan Pokok Bahasan
Konsep rencana tindak lanjut (RTL)
Langkah Kegiatan :
1. Fasiltator menyampaikan materi tentang konsep rencana tindak lanjut (RTL) dengan
bahan tayang

247
2. Fasiltator memberikan kesempatan kepada peserta utuk menanyakan atau
menklarifikasikan hal-hal yang perlu ditanyakan.
3. Fasilitator memberikan jawaban atau tanggapan yang sesuai.

3. Penyampaian materi dan pokok bahasan 2 Langkah-langkah penyusunan


RTLkegiatan penanggulangan gangguan indera sesuai Format RTL

Langkah Kegiatan :
1. Fasiltator menyampaikan materi tentang rencana tindak lanjut (RTL)yang akan
disusun.
2. Fasiltator memberikan kesempatan kepada peserta utuk menanyakan atau
menklarifikasikan hal-hal yang perlu ditanyakan.
3. Fasilitator memberikan jawaban atau tanggapan yang sesuai.

VI. URAIAN MATERI


Rencana tindak lanjut (RTL) menjadi materi penunjang dalam suatu pelatihan, dan
disampaikan diakhir sesi pembelajaran. Materi ini sangat penting, untuk merefleksikan
kembali kompetensi diklat yang diperoleh di kelas di tempat kerja.pada saat dikelas (sesi
terakhir). Rencana Tindak Lanjut dipersiapkan dalam bentuk rumusan format standar,
lalu setelah tiba ditempat tugas.

Pokok Bahasan 1 Konsep Rencana Tindak Lanjut (RTL)


a. Pengertian, Tujuan, Ciri-ciri RTL
Pengertian
Rencana tindak lanjut pelatihan adalah rencana kerja yang akan dilakukan oleh
peserta pelatihan setelah kegiatan pelatihan selesai. Dengan kata lain, RTL
pelatihan merupakan bentuk upaya peserta latih untuk mengimplementasikan hasil
belajarnya atau sebagai wujud implementasi hasil pelatihan di tempat tugas.
Selain bagi peserta latih, RTL juga bermanfaat bagi penyelenggara pelatihan.Bagi
peserta pelatihan dapat menjadi dasar penjabaran hasil pelatihan di tempat tugas.
Sedangkan manfaat bagi penyelenggara adalah akan memudahkan penelusuran
terhadap komitmen peserts dalam mengimplementasikan hasil pelatihan pada saat
melaksanakan evaluasi pasca pelatihan.
Modul ini menjelaskan tentang pengertian, ciri-ciri serta komponen-komponen RTL
untuk membekali peserta latih dalam proses menyusun RTL pada akhir pelatihan.

248
Tujuan
Tujuan akhir dari Rencana Tindak Lanjut adalah peningkatan kinerja khususnya
peningkatan kualitas tenaga kesehatan dalam melakukan tugas pokok dan
fungsinya. Peningkatan kinerja dapat dicapai dengan penerapan kompetensi
sebagai suatu standar proses. Selanjutnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
berdasarkan standar proses yang meningkatkan mutu cakupan pelayanan
kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat. Selaras dengan tujuan akhir
tersebut, secara spesifik tujuan dari Rencana Tindak Lanjut adalah sebagai berikut:
a. Teridentifikasinya rencana kegiatan tentang penerapan kompetensi pelatihan
yang diperoleh dari pelatihan di instansi asal peserta latih
b. Terdiseminasikannyamateri pelatihan yang diperoleh di instansi asal peserta
latih.

Ciri-ciri Rencana Tindak Lanjut


Dalam menyusun rencana kegiatan dalam suatu Rencana Tindak Lanjut,
hendaknya kegiatan-kegiatan tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Sederhana spesifik
Sederhana artinya setiap rencana kegiatan yang dicantumkan dalam Rencana
Tindak Lanjut hendaknya mudah dilaksanakan, yakni metodenya sederhana,
dibuat mudah dilakukan dan tidak mewah (biaya pengadaan atau pelaksanaan
kegiatannya tidak mahal) sehingga penerapannya tidak menimbulkan kesulitan
bagi pelaksana atau tidak menimbulkan kecemburuan dari lngkungan sendiri
atau masyarakat.

Spesifik artinya rencana kegiatannya tidak mengambang, tapi bersifat


khusus.Kegiatan spesifik merupakan bagian dari rangkaian kegiatan pokok,
misalnya kegiatan pemeriksaan berkala di sekolah, maka kegiatan spesifiknya
seperti koordinasi pelaksanaan dengan pihak sekolah untuk menyepakati
tempat, waktu, dan penyediaan informed consent, kuesioner dan form
pemeriksaan.

b. Measurable
Measurable artinya rencana kegiatan dapat diukur dan mempunyai satuan
ukuran seperti satuan jumlah, satuan waktu serta memiliki indikator proses
seperti trend yang menurun/meningkat yang dinyatakan dalam bentuk %, rate
dan ratio.

249
Misalnya pelaksanaan deteksi dini gangguan refraksi 100% di SD, SMP dan
SMA pada bulan Desember 2017.

c. Achievable
Kegiatan memiliki ciri achievable, jika kegiatan tersebut dilaksanakan, maka
tujuan kegiatan akan dapat dicapai.
Misalnya sosialisasi tentang program penanggualangan gangguan indera di
internal puskesmassehingga peran mantan peserta latih dapat dicapai sekalipun
yang bersangkutan mutasi atau berhalangan.

d. Relevan
Relevan artinya rencana kegiatan berhubungan langsung dengan kompetensi
pelatihan serta tugas pokok dan fungsi mantan peserta latih di instansinya.
Sosialisasi kegiatan penanggualangan gangguan indera ditempat kerja adalah
kompetensi diklat mantan peserta latih yang diharapkan diterapkan ditempat
kerjanya dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.

e. Timely
Timely artinya setiap rencana kegiatan yang dicantumkan dalam Rencana
Tindak Lanjut tepat waktuya dilakukan dan dapat dilaksanakan dalam kurun
waktu tertentu.

Penerapan kegiatan penanggualangan gangguan indera merupakan program


Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular.

b. Ruang lingkup
Ruang lingkup Rencana Tindak Lanjut (RTL) sebaiknya minimal mencakup:
a. Menetapkan kegiatan apa saja yang akan dilakukan
b. Menetapkan tujuan setiap kegiatan yang ingin dicapai
c. Menetapkan sasaran dari setiap kegiatan
d. Menetapkan metode yang akan digunakan pada setiap kegiatan
e. Menetapkan waktu dan tempat penyelenggaraan kegiatan
f. Menetapkan siapa pelaksana atau penangung jawab dari setiap kegiatan
g. Menetapkan besar biaya dan sumbernya.

250
4. Pokok Bahasan 2 Langkah-langkah penyusunan RTLkegiatan penanggulangan
gangguan indera sesuai Format RTL

Dalam Rencana Tindak Lanjut TOT penanggulangan gangguan indera bagi tenaga
kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, peserta latih harus membuat
rencana tindak lanjut yang merupakan kegiatan lanjutan dari pelatihan sebagai fasilitator
dan juga sebagai pelaksana pelayanan di instansi.

a. RTL Fasilitator
Format :
Nama Peserta : Email :
Institusi : No. Hp :

No Kegiatan Tujuan Sasaran Indikator Penanggung Waktu Biaya Ket


Keberhasilan Jawab

Keterangan pengisian setiap kolom:

No Jelas

Kegiatan Nama kegiatan

Tujuan Yang ingin dicapai melalui kegiatan tersebut

Sasaran Sebutkan secara spesifik

Indikator keberhasilan Ukuran

Penanggung jawab Pelaksana kegiatan

Waktu Jelas

Biaya Hal dan volume yang membutuhkan dana

b. Pelaporan Pelaksanaan RTL Pelatihan Triwulanan


Untuk memantau pelaksanaan kegiatan RTL setelah mengikuti pelatihan ini, setiap
peserta diharapkan membuat laporan pelaksanaan RTL triwulan untuk disampaikan
kepada Dinas Kesehatan atau Kementerian Kesehatan sesuai format berikut ini:

251
No Nama Tahapan kegiatan yang Hambatan dalam Lampirkan hasil
Kegiatan sudah dilaksanakan pelaksanaan kegiatan kegiatan (foto,
(Termasuk waktu, sasaran dokumen, dll)
dan anggaran bila ada)

VII. REFERENSI
- Lembaga Administrasi Negara, Bahan Diklat Bagi Pengelola Diklat Rencana Tindak
Lanjut, Jakarta 2009
- BPPSDMK - Modul Pelatihan Pengangkatan Pertama Jabatan Fungsional Penyuluh
Kesehatan Masyarakat (PKM) Terampil 2013

252

Anda mungkin juga menyukai